Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Selasa, 28 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG- BADAI DI PARANG TRITIS

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


1



SIANG ITU laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di  pantai  Parangtritis.  Burung- burung           laut           terbang berkelompok-kelompok        dan angin     bertiup     membendung teriknyasinar sang surya.

Belasan    perahu     tampak berjejer   di   tepi   pasir.   Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi     jaring     masing- masing  untuk  persiapan  turun ke  laut  malam  nanti.  Di  tepi pantai, dibawah jejeran pohon-


pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun  anak-anak  itu  semuanya  serta  merta  memalingkan  kepala ketikatelinga merekamenangkap suara tiupanseruling yang keras dan merdu.   Yang   meniup   seruling   ternyata   adalah   seorang   bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup sulingbambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.

"Anak  si  Kantolo  itu  pandai  sekali  meniup  suling.  Mengalahi kepandaianayahnya...." berkatasalah seorang nelayan lalu menyedot


rokok kawungnyadalam-dalam.

Ketika  anak  dan  kerbau  bergerak  menjauhi  tepi  pasir  seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhentisajadibawah pohon kelapa sana! Teruskan meniupsulingmu agar kami terhibur!"

Anak  di  atas punggung kerbau tertawa  lebar. Dia mengacung- acungkan   suling   di   tangan   kanannya   dan   terus   berlalu,   tidak mengacuhkan permintaan orang.

Saat   itu   tiba-tiba   terdengar   suara   ringkik   kuda   keras   dan berkepanjangan.  Dari   arah  berlawanan  jalannya  kerbau,  muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiadahentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawakerbaunya ke tepi jalan. Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekikketakutan, melompat turun dari punggung kerbaudan lari  sekencang-kencangnya  ke  arah  nelayan-nelayan  yang  ada  di sepanjang jejeran perahu. Mukanyapucat dannafasnya memburu.

"Ada apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.

"Del.... delman itu " bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap dikelokanteluk. Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, darikejauhan para  nelayan  sama  sekali  tidak  melihat  kusir  ataupun  penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbahdarah malang melintang di atas delman!

"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.

Nelayan Satunya ikutbicara, "Bukankahitu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"


"Eh,  kau  betul!  Kambali  katakan  lekas!  Kau  melihat  sesuatu! Mengapawajahmu pucat dantubuhmu menggigilanak?!"

"Ada   tiga   orang....   ada   tiga   orang   di   atas   delman   itu," menerangkan Kambali.  "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah.... Sayatakut ...."

"Anak initidak dusta! Sesuatu telah terjadi!"

"Jangan-jangan...."

"lebih baikkitaberlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumahkediaman Ageng Lontar!"

Tanpa diberiaba-abalagi, semua nelayan yang adaditeluk serta merta lari berhamburan kearah lenyapnyakuda penarik delman tadi. Mereka lari menujurumah kediaman AgengLontar, juraganikan yang memiliki belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhankerbau dan sapi, belumlagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelahtimur sawahnya puluhan petak. Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenalbukan saja  karena  kekayaannya  tetapi  karena  sikap  pemurahnya  kepada orang-orang  yang  bekerja  untuknya,  juga  orang-orang  lain  yang sewaktu-waktu  membutuhkan  pertolongan  apa  saja.  Karena  itulah penduduk  setempat  telah  sama-sama  bersepakat  umuk  memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantianjabatan bulandi muka.

Ketika  nelayan-nelayan  teluk  Parangtritis  itu  sampai  di  rumah kediaman  Ageng  Lontar,  halaman  rumah  itu  telah  penuh  dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki  kuda  coklat  hingga  binatang  yang  tadi  seperti  gila  ini  kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan didalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.


Seperti yang sebelumnya dilihat danditerangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dandarah mulaidarikepala hingga ketubuh. Meskipun wajah- wajah   itu  rusak  mengerikan  namun   semua   orang  masih   dapat mengenali denganjelas siapaadanya ketiga orang itu.

Yang  pertama,  yang  menggeletak  paling  bawah  lantal  delman adalah  Ageng  Lontar  sendiri.  Pakaiannya  yang  berwana  kelabu tampak  merah  dan  basah  oleh  darah.  Pakaian  itu  robek-robek  di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar  seperti  dicincang.  Hancur  mengerikan.  Hidungnya  hampir sumplung dan salah sebuahdari matanya takada lagidirongganya!

Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka padawajahnya tidak seberapa dantubuhnya hampir sepertitidakberpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah  dia  dibunuh.  Dan  berat  dugaan  orang  banyak,  perempuan yang jauhlebih mudah dari Ageng Lontar initelah diperkosakarena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!

Korban ketiga yang menggeletak dilantaidelman sebelah depan adalahpemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja  lebih  dari  lima tahun  sebagai kusir kereta keluarga Ageng

Lontar.

Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding  dan  tubuh  menggeletar.   Siapa  yang  telah  melakukan pembunuhan keji biadabseperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelakujahanamitu? Gerombolan rampok?  Tak  ada  rampok  malang  melintang  di  teluk  Parangtritis


bahkandi pantal selatanwaktu itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!

Pertanyaan  itu belum  lagi terjawab.  Tiba-tiba  dari  arah rumah besar terdengarpekik perempuan. Seorang gadis menghamburlarike arah delman sambil tiada henti berseru memanggil. "Ayah.... ayah!" Tapi begitu sampai didepandelman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.

"Mayat-mayat  ini  harus  diurus!  Ambil  usungan  dan  bawa  ke dalam rumah!" terdengar seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara lalnterdengarlantang.

"Menyingkir! Apa yang terjadidisini?"

Orang  banyak  yang  berkerumun  di  sekitar  delman  palingkan kepala. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut  kelabu  dan  memegang  sebuah  tongkat  sepanjang  tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.

"Ki   Demang!   Untung   sampean   datang!"   seorang   nelayan membuka mulut.

"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir

Jajamat!"

Ki Demang Wesi mendorongdan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.

"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"


"Kami akan membantumuKepala Desa!" jawab orang banyak.

Ki Demang memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak   dan   pandangannya   tertancap   pada    seorang   pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke arah  delman  sambil  tiada  henti  geleng-gelengkan  kepala.  Pakaian putihnya  yang  lusuh  di  bagian  dada  lampak  ada  warna  merah. Percikan darah.

"Kurasa  kalian  tidak  perlu  bersusah  payah  membantuku!  Aku sudah  tahu  siapa  pembunuhnya!"  ujar  Ki  Demang  yang  membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada Kepala Desa merekaitu. Ki Demang angkat tangankanannya, menunjuk tepat-tepat pada  pemuda  berpakaian  putih   lalu  berseru,   "Tangkap  pemuda gondrong itu!"

Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya,adapula yang menjambakrambutnya.

"Hai!  Apa-apaan  in?!"  teriak  si  pemuda  sambil  coba  meronta untuk lepaskan pegangan orang banyak. Tapi tidakbisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut mencekalnya.

"Kepala Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itukembalibertanya.

"Jangan  banyak  tanya!  Kaulah  pembunuh  suami  istri  Ageng Lontar dan jugakusir delman!"

"Tuduhan  gendeng!"  teriak  si  pemuda  tampak  marah.  "Aku barusan   saja   sampai   di  tempat   ini!   Bagaimana   enak   saja  kau menuduhku?!"

"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam delman!"


Si pemuda memperhatikan percikan  darah  di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah … "

"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang.

"Kata-kataku  belum  habis!  Darah   ini  memercik   dari   lantai delman, tepat ketika delman rubuh danaku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masihadadarah yang menetes dari lantaidelman!"

"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus.  "Sebagian dari  kalian  bawa  pembunuh  itu  ke  Balai  Desa.  Selebihnya  segera mengurus jenazah-jenazah ini!"

Melihat  orang tetap menuduh,  si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya jatuhtergelimpang.

"Pembunuh biadab! Sekali lagikauberani melawan akan kusuruh semua  orang  di  sini  mencingcangmu!"  Ki  Demang  Wesi berteriak marahdan mengancam.

"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarangaku membeladiri!"


.

berteriak, "Bunuh pemuda itu!"

Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.

"Kepala   Desa,   kalau   kau   tidak   menyuruh   orang-orang   ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat yang terjadi!"

Ki  Demang  menyeringai.   "Manusia  biadab!  Lagakmu  hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di tangan kanannya kearah mata kiripemuda yang berada dalam keadaandicekal orang banyak.

Jauh  sebelum  menjadi  Kepala  Desa,  Ki  Demang  Wesi  adalah


murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itujuga memiliki berbagaikesaktian yang kemudianditurunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu  ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungandengan guru silattersebut karena Ageng Lontar pernah pula berguru padaadik guru di Bukit Tunggul. Dengan  kata  lain  antara  Ageng  Lontar  dan  KI  Demang  Wesi  ada hubungandekat lewat guru masing-masing.

Pemuda yang diserang dengan tongkat kearah mata kirinya tentu sajaterkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan    adanya    sambaran    angin    mendahului    tusukan    itu. Gerahamnya   bergemelatakan   menahan   marah   namun   marah   itu akhirnya   meledak   juga.   Didahului   satu   bentakan   si   pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.

Empat   orang   mencekal   si   pemuda   terpelanting   dan   jatuh bergelimpangan  di  tanah.  Meskipun  mereka  tidak  cidera  namun masing-masing  mereka  merasakan  mereka  seperti  diserang  demam

panas.

Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan.

Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemudadapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketikatusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam kearah selangkangannya!

MaklumlahkiniKepala Desa itubahwa pemuda yang dituduhnya sebagaipembunuhsuaml istriAgeng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah  seorang  pemuda  sembarangan,  tapi  pasti  sekali  memiliki


"isi".

"Bagus! Rupanya kau mengusalilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si pembunuh lolos.

"Kepala Desa, aku bilang  sekali lagi padamu!"  sentak pemuda berpakaian putih itu. "Akutidak melakukan pembunuhan!"

"Siapa  percaya  padamu!"  tukas  Ki  Demang  Wesi.  Tongkat  di tangan  kanannya  diputar  seperti  titiran  dan  mengeluarkan  suara menderu. Dengan senjata inikembali dia menyerang pemuda itu.



Yang  diserang tak tinggal  diam. Dia berkelebat beberapa kali. Memasuki juruskeduaterdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"

Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun  ucapan  lawan.  Tongkatnya  menderu  ke  arah  dada  lalu menusuk  ke  arah  leher.  Tapi  Kepala  desa  ini  jadi  kaget  ketika dirasakan  dan  dilihatnya  sendiri tangan kiri  lawan tahu-tahu  sudah memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata ituhanya tinggal seujung kuku dari tenggorakan lawan!

Kepala   Desa   Parangtritis   coba   selamatkan   senjatanya   dari rampasan lawan, tetapi si pemuda telah lebih dulu membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnyahanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedangdi tangankanan Ki Demang saat itu tampakbagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap  dengan mata pisaunya yang panjang.  Ternyata tongkat  itu


adalahsebuah golok pendek yang tajamberkilauan!

Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.

"Pembunuh,  kau  telah  tolong  membukakan  sarung  senjataku. Berarti  kau  memang  sudah  siap  untuk  menerima  kematian  sesuai dosamu!"

Si pemudabalas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata begitupemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampaisetengahnya.

"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda! Tapi di hadapankukauharusserahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan golok pendeknya. Senjata ini mengeluarkanangin deras menebar hawadingin. Pastilah inisebuah senjata mustika andalan.



Lima jurus Kepaia Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar  dan  menusuk ke  sana  ke  mari.  Tetapi  dia  seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca serangannya,  dia  mendahului  bergerak  untuk  menghindari  tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis. Didahului   oleh  bentakan   garang   dia   rubah  permainan   silatnya. Tubuhnya  kini  melompat-lompat  ke  udara  seperti  bola  karet  yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar. Pemuda ini berserukaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi  bukan  saja  merobek  pakaiannya  di  bagian  dada,  tapi  kulit


dadanya jugaada yang ikuttergurat!

"Kepala    Desa    sialan … "    maki    sipemuda.    "Kau    merobek pakaianku!  Kau  harus  menelannya  sekalian!"  Lalu  semua  orang melihat  pemuda  itu  merobek  sendiri  pakaiannya  di  bagian  depan. Robekan  kain  pakaian  dibuntalnya  lalu  dia  melangkah  mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang Wesikembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat yang aneh sepertitadi.


 Hanya sajakali ini diakecele. Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjaditidak berguna karena pemuda lawannyakini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya sepertl orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh  lawan  seperli  itu  merupakan  sasaran  serangan  yang  ernpuk. Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerakke jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kainbergerak-gerak berusaha menggapaikearahmulutnya! Ki  Demang merangsak  sekali  lagi.  Inilah kali terakhir  dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti tercekik. Sesaat kemudian  halaman rumahAgeng Lontarjadi ramaioleh suara tawa orang banyak,padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!

Apa yang terjadidan apa yang kinidisaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiridengan mata melotot dan  mulut  tersumpal  potongan  kain.  Lalu  celana  luar  dan  celana dalamnya kelihatan merosot sampaike lututhingga aurat terlarangnya tersingkap denganjelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengandirinya, tapidiatakbisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk


menarik celananya ke atas. Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya.  Karena perhatian  orang banyak hampir  semuanya  tertuju pada  sang  Kepala  Desa,  tidak  satupun  menyadari  kalau  pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagidi tempat itu.



***


2



MESKIPUN  HATINYA  kini   lega   dapat  meninggalkan   desa   di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati  si  pemuda.  Siapa  yang  telah  membunuh  Ageng  Lontar  dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia menyingkap tabirrahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa masih  mencurigainya  sebagai  pembunuh  akan  sulit  baginya  untuk bergerak. Apalagi dia masihada satu keperluan pentingdi timur.

"Kepala  Desa  sialan!  Enak  saja  dia  menuduhku!"  Si  pernuda memaki  sendirian.  Diperhatikannya  pakaian  putihnya  yang  robek besar  di  bagian  dada,  kotor  bernoda  debu  dan  darah  sambil jalan akhirnyapakaian itudibuka laludilemparkannyake semak-semak di tepi  jalan.   Pada   saat   itu   pula   tiba-tiba   terdengar   suara   orang mendamprat.

"Manusia  sial  dangkalan!  Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"

Sf pemuda  yang  telah  berjalan  beberapa  langkah  serta  merta berhenti  dan  palingkan  kepalanya.  Astaga!  Di  pinggir jalan  yang barusan  dilewatinya  tampak  berjongkok  seorang  berpakaian  serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau perempuan karenasekujurkepalanya sampaikewajah tertutup olehpakaian putih yang tadi dilemparkannya!

"Aneh!  Tadi  waktu  lewat  di  situ  tak  kulihat  ada  orang  sama sekali! Mengapa tahu-tahu dia muncul di situ dan gila betul! Masakan


aku mau-mauan mencampakkan bajuku menutupi kepalanya begitu

rupa!"

Buru-buru pemuda  yang kini bertelanjanq  dada  itu melangkah mendekati   orang   yang  jongkok   di   tepi  jalan,   lalu   mengambil pakaiannya.  Begitu  pakaian  diangkat  tampaklah  wajah  orang  itu. Ternyata dia seorang nenek bermuka hitam yang ketikamenyeringai tampaklah  deretan  gigi-giginya  yang  terbuat  dari  emas  berwarna kuning berkilat-kilat.

"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat  si pemuda yang memang Wiro  Sableng menjadi terkejut karenatidak menyangkanenek itu mengenal dirinya sedangia sendiri tidak  pernah  bertemu  perempuan  tua  itu  sebelumnya.  "Aku  sudah lama  mendengar  kekonyolanmu  pendekar  muda.  Hanya  saja  tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua! Berani melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dankepalaku!

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan  si  nenek,  memberi  hormat  membungkukkan  tubuh  lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan maksudkuberlakukurang ajar. Tapiwaktulewattadi sama sekalitidak melihatmudisini. Kalau kau memang adadisini masakanakuberani berlakusekurang ajar itu!"

Si  nenek  tertawa  tergelak-gelak.  Gigi-gigi  emasnya  kembali tampak berkilat-kilat terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir  bagaimana  hal  tersebut  bisa  terjadi.  Jangan-jangan  si  nenek sengaja  mempermainkannya  dan  tampaknya  dia  memang  bukan sembarang orang tua.

"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam!  Sungguh tak bisa


kupercaya!" berkata sinenek sambilgeleng-geleng kepala. Ucapannya bernada  keras  tapi  wajahnya  yang  keriput  terus  saja  mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun yang menyambar dari balik semakbelukardan kau tidak sempat melihatnya berarti kau akan matikonyolanak muda."

Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkandiriku..."

Si nenek balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak  berbaju,  apa  sengaja  hendak  memamerkan  senjata  mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu.... ?"

Astaga!  Wiro  baru   sadar.   Dengan  membuang  pakaian   dan setengah telanjang  seperti  itu  dia tidak menyadari  senjata  saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus mengenakan kembali pakaiannya yang  sudah kotor dan robek besar. Ketika dia hendak  mengambil  pakaian  itu  dari  tanah,  si  nenek  tertawa  lalu berkata,

"Aku  memiliki  sehelai  pakaian  putih.  Masih  baru.  Ukurannya kurasa   pasti   cocok   dengan   tubuhmu!"   lalu   perempuan   tua   itu menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata masih sangat baru. Pakaian itudilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"

"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih… " Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok sekali dengan tubuhnya.


Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak  sulaman  benang  merah  bergambarkan  mahkota  dan  keris silang.

"Kau senang mengenakan pakaian itupendekar muda?" sinenek bergigi emas bertanya.

"Senang  sekali  nek,  sedap  dipakainya.  Tapi  kalau  aku  boleh bertanya apa artisulaman gambar mahkota dankeris bersilang ini?"

"Ah, ituhanyasekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau gambar ular takada bedanya…" Sambil bicarasi nenek  mematahkan  sepotong  belukar  kering  di  samping jalan  lalu dengan potongan kayu itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada garis panjang,ada yang berbentuk bola, garis bersilang danterakhir sekali si  nenek  membuat  garis  panjang  mulai  dari  tepi jalan  di  sebelah depannyasampaitepi jalan didekat dia duduk.

"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.

"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku   mana pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan pakaian itupendekar muda. Aku jaditeringat pada Suto Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyakkesamaannya dengan dirinya di masa muda."

"Siapa orang bernama Suto Enggingitunek?"

"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang lalukami berpisah. Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapiaku yakin dia masih hidup!"

"Ah,  pengalaman  hidupmu  tentu  banyak  sekali  nek.  Dan  aku yakin   di   masa   muda   kau   pasti   memiliki   paras   cantik  jelita. Sekarangpunkau masihkulihat cantik."

Si nenek tampak merah mukanya. Tapi hatinyaberbunga-bunga


mendapatpujian itu dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang. Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinandengan siapapun! Dan percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang perawan sejati! Hik… hik... hik...!"

Wiro merasa tenggorokannya sepertitercekik dengan keterangan sinenek. Dia cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek. Dan  aku  melihat  buktinya.  Meskipun  tua  kulihat  tubuhmu  masih kencang, tak banyak guratan diwajahmu … "

Si nenek tertawa panjang sampaikeluar air mata.



"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pastitahubanyak tentang diriku. Sebelumkitaberpisah maukah kau mengatakan siapadirimu ini?"

"Waktu kecil  aku  diberi nama  Tuwini  Jenti.  Sudah tua begini orang-orang     memanggilku     Nenek     Hitam     Bergigi     Emas. Hik...hik..hik..."

"Terima kasihkautelah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasihlagi atas pemberian pakaian ini. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wino merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia tidak bisa  meneruskan  langkah,  malah  kakinya  terbanting  ke  belakang. Dicobanya   sekali   lagi,   sekali   lagi,   sekali   lagi   lalu   dengan mengerahkan  seluruh  tenaga  tetapi  tetap  saja  dia  tidak  mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun berpalingpadanenek yang


saat itu masih tetap jongkok ditepi jalan sambil senyum-senyum.

"Kau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, matakujadi terbuka betapa luas dan tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku miliki sekarang hanya merupakan satu  tetesan  kecil  belaka!  Nek,  aku  mau jalan.  Mohon  diberikan petunjuk...."

Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan  penuh  peradatan.  Mengapa  banyak  orang  mengatakannya kurang ajar, konyoldan bersifat seenaknya? Ah, lama-lama aku bisa jatuhhatipadanya"

"Nek, kauseperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewatigarisaneh yang kaugurat di tanah ini..."

"Oh  itu!  Mudah  saja  anak  muda.  Pergunakan  tangan  kirimu menghapus garisitu. Setelah garishapus kau bisa lewat.... " menjawab

Nenek Hitam Bergigi Emas.

Wiro lakukan apa yang dikatakan  si nenek. Dia membungkuk. Dengan   telapak   tangan   kirinya   dihapusnya   guratan   garis   yang memanjang  di  tanah jalanan.  Setelah  hapus  dia  coba  melangkah. Ternyata   dia   kini   bisa   melangkah.   Kekuatan   aneh   yang   tadi mendorong takada lagi.

"Kau luarbiasa nek!" memuji Wiro.

Si  nenek  tertawa.  Dia  gerakkan  tangan  kanannya  ke  mulut. terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro.   Tiba-tiba   si   nenek   ulurkan   tangannya   seraya   berkata, "Ambillah! Mungkinada gunanya di saat kau kesusahan..."

Wiro ulurkan tangannya.  Si nenek letakkan  sesuatu ke telapak tangan  si  pemuda.  Ketika  diteliti  ternyata  sebuah  gigi  emas  yang


masih basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.

"Aku   tidak   berani   menerima   pemberianmu   ini   nek,"   kata

Pendekar 212.

"Kau jijik?!"

"Tidak..." jawab Wiro  agak  gagap karena memang walau  gigi palsuitu terbuat dari emas namun ada rasa jijikdalam dirinya. "Jika inikauberikan berarti kauakan kehilangan salah satu gigimu!"

"Ambil  saja!  Aku  punya  banyak  persediaan  gigi  seperti  itu!" berkata sinenek. "Lihatlah!"

Lalu daridalamsebuahkantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa   potong   gigi   emas.   Dia   mengambil   tiga   buah   lalu mecocokkannya  dengan  baglan  giginya  yang  ompong.  Gigi  kedua ternyata   bisa   menempel   dengan   baik.   Dia   tersenyum   sambil menunjukkan   barisan   gigi   emasnya.    "Lihat,   gigi-gigiku   utuh kembali."'

Wiro  garuk-garuk  kepala.  "Terima  kasih  atas  pemberian  gigi emas ininek. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura lalumelangkah pergi sambil menggenggam gigi emas di tangankanannya.


***

TIGA  HARI  setelah  suami  isrti  Ageng  Lontar  dimakamkan, Kepala   Desa   Parangtritis   Ki   Demang   Wesi   mendatangi   rumah kediaman orang kaya didaerah selatanitubertemudan bicara dengan puteri  yang  merupakan  anak  tunggal  mendiang  suami  istri  yang Malang itu, yakni Winayu Tindi.

"Anakku   Winayu...."   Begitu   Ki   Demang   Wesi   memulai pembicaraan. Dia memang biasa memanggil gadis itu dengansebutan


anak mengingathubungannya denganAgeng Lontar yang terkait pada hubungan  guru  mereka  masing-masing.  "Kedatanganku  malam  ini guna menyambung pembicaraan kitadua hari lalu."

"Apakah pakde  Wesi  sudah mengetahui  siapa pembunuh  ayah dan ibu saya?" Winayu langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengansebutan pakde begitu.

"Belum Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat membongkar rahasia pembunuhan ayah dan   ibumu.  Namun  kita  harus  berlaku  hati-hati   serta  bersedia memberikan   sesuatu   sumbangan   untuk   menunjang   perjuangan kelompok tersebut..."

Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu. Maka diapun bertanya, "Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde   katakan   tadi?   Lalu   sumbangan   bagaimana.   Pakde  juga menyebut-nyebut  perjuangan.   Saya  tidak  mengerti.  Kepala   saya pusing...."

"Jika kau merasa kurang sehat,


 pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapahari dimuka."

"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh biadab itupakde! Malam ini juga! Bahkan saat ini juga kalaubisa!"

"Itu  tidak  mungkin  aku  lakukan,  anakku.  Kelihatannya  ada masalah besar di balikkematiankedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkartabirrahasia inilalu membekuk pembunuhitu adalah  kelompok  yang  aku  katakan  tadi.  Aku  akan  menerangkan siapa-siapa yang adadalam kelompok itu...."

"Tunggu dulupakde. Hari ketika ayah danibuditemukan tewas di atas delman bukankah pakdetelah mencurigai seorang pemuda. Pakde

menyuruh tangkapnyatapi gagal. Orang ituberhasil melarikandiri..."

"Memang  berat  dugaanku  saat  itu  bahwa  pemuda  tersebutlah yang melakukan pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi hingga akutidak berdaya menghadapinya. Namun aku yakindia tidakbekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk mencari tahu di mana  pemuda  itu  berada.  Pimpinan  pasukan  wilayah  juga  telah bersedia  untuk  mengirimkan   sejumlah  pasukan   guna  membantu menangkap pemuda itu."

Winayu Tindi menyekapeluh dikeningnya. "Sekarangceritakan kelompok yang pakde katakantadi!"

Ki Demang Wesi mengangguk.  "Aku  akan terangkan Winayu, asalkau mau berjanjiuntuk merahasiakan apa-apa yang kitabicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalahKerajaan...."

Bertambahtidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan  dan  lebih  dari  itu  ingin mengetahul  siapa pembunuhkedua orang tuanya maka Winayu anggukkan kepala dan berkata,  "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita bicarakan."

"Baik kalau begitu. Aku akan mulai.


 Dengarbaik-baik dan jangan bertanya sebelum keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula. "Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedanggering. Di dalam keratontersiarkabarbahwa ada  kemungkinan  orang-orang  tertentu  tengah  menyiapkan  calon pengganti  yang  sebenarnya  belum  sampai  haknya  atau  tidak  syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan  Sri Bagindatelah membuat surat wasiat. Sebelum bagindawafat, sebelum orang yang tidak berhak menduduki tahtakerajaan, makasekelompok


pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran  Adi  Bintang  Sasoko  sebagai pewaris  tahta. Menurut  silsilah  saat  ini  dialah  yang  berhak  memegang  tampuk kerajaan karena dia putera tertua meskipun bukan dari istri pertama

Sri Baginda

"Tetapi  bukankah  Pangeran  itu  diketahui  menderita  penyakit kurang ingatan sejak dia berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.



"Itu  hanya  titnah  yang  sengaja  disebar  ke  mana-mana  dan perjuangan  kelompok  yang  mendukung  Pangeran  Adi  Bintang  ini mendapat dukungan pula dari Keraton  Sura, ditambah oleh banyak sekalitokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan baik, kelompok  itu  bersama  ribuan  rakyat  yang  menjadi  pendukungnya akan masukke Kotaraja. Begitu tahtajatuh ke tangan Pangeran Adi, semua   para   pendukungnya   termasuk   aku   dan   kau   tidak   akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada Sri Baginda nanti..."

"Sayatidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Sayahanya ingin mengetahui siapa pembunuh ayah danibu. Lalu menuntuk balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.

"Betul, betul… Aku jugatidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah   sebabnya  kuterangkan  panjang   lebar  mengenai  kelompok orang-orang  penting  ini.  Hanya  mereka  yang  bisa  membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"

"Jadi pakdeadalah salah seorang anggotakelompok tersebut?"

"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang menjadi penggantinya. Kau harus bergabung


dengan kelompok kami, Winayu!"

"Harus katamupakde?"

"Harus.  Demi  meneruskan  cita-cita  ayahmu.  Jika  kau  sudah masuk kelompok banyak yang  akan membantu mencari tahu  siapa pembunuh  ayah  dan  ibumu!  Sebaliknya  saat  ini  kelompok  sangat membutuhkan bantuan  dana. Baik  dalam bentuk uang,  senjata  dan makanan! Kau bisa menyumbangkanduahal. Uang dan makanan!"

Winayu tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut  campur  urusan  kelompok  pakde  itu.  Soal  bantuan  saya  tidak keberatan...."

"Terima kasih anakku. Kalau kaubersedia membantu kelompok kami  sudah  sama  artinya kau telah bergabung  dengan kami...." Ki Demang Wesiikut berdiri. Dia menyerahkan sebuah bungkusan pada

Winayu.

"Apainipakde?"

"Kebaya dalamberwarnabiru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik..."

Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan yang tadidiserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelaikebaya panjang berwarnabiru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketikakebaya itu dibentang,  Winayu  melihat  sulaman  gambar  mahkota  dan  keris bersilang dari benang merah, terletak di bagiandadakirikebaya itu


***


3




PENDEKAR  212  Wlro   Sableng  terheran-heran  sejak  dia  mulai memasuki pinggiran Wonosari.  Semua  orang yang  ditemuinya  dan dipapasinya  pasti  menjura  hormat,  paling  tidak  menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.

"Eh, jadi  siapa  aku  hari  ini  rupanya!  Semua  orang  memberi hormat. Seolah-olah aku ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habispikirdalam hati.

Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan, penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang adadi situ  membuat  Wiro jadi  salah  tingkah.  Semua  orang  yang  sedang makan  langsung  tegak  berdiri  begitu  dia  muncul  di  pintu  kedai. Pemilikkedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan mempersilahkannya duduk dikursi paling bagus, di ujung meja besar.

"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami  suami istri mendapat kunjungan raden..." begitu pemilik kedai berkata.

"Raden...Aku dipanggil raden  ...." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk  kepala  dan  tertawa  lebar.  "Bintang  apa  yang jatuh  di kepalaku hari ini..."

"Raden,  silahkan  duduk  menunggu.  Tidak  lama.  Kami  akan hadiahkan  makanan  paling  enak  dan  segar.  Apakah  raden  ingin


minum tuak nomor satu...?" bertanya istri pemilikkedai.

"Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak nomor satu..." Jawab Wiro polos.

"Ah, jangan berkata begitu raden,  " kata pemilik kedai.  "Kami mana berani memungut bayaran untuk orang  seperti dan  sepenting raden. Semua demi perjuangan raden..."

Lalu suami istri pemilik kedal itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan. Wiro memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya buru-buru menganggukkan kepala.

"Aku ini  dikatakan  orang penting...Gila! Apa  sebenarnya yang terjadidi kota ini. Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang tampangnya miripwajahku yang jelek ini. Ha..ha..Eh, tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa...? Ah perdulisetanlah! Perutku lapar, makandan bayarlalupergi. Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapibagaimana semua inibisa terjadi...?!"

Tak lama menunggu hidanganpun diletakkandi atas meja. Mulai darisebakulnasi putih harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk besar lalu masihadakerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambalterasidi cobek besar.

"Silahkan makanraden, silahkan..." Kata pemilikkedai berulang kali  sambil  membungkuk-bungkuk  sementara  istrinya  meletakkan sebuah cangkirtanahdan buli-buliberisituakharum.

Tanpa   tunggu   lebih   lama   Wiro   menyantap   makanan   yang dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuaknikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua matanya setengah terpejam sakingenaknyatapi juga mengantuk.


Istri  pemilik  kedai  mendatangi  dan  berkata,  "Raden, jika  kau mengantuk   dan   ingin   istirahat,  kami   sudah  menyiapkan  kamar untukmu... "

Wiro  menguap  lebar-lebar,  tersenyum  dan  menjawab,  "Terima kasih,  aku harus melanjutkan perjalanan  saat  ini juga."  Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanandan minuman yang telahdisantapnya.

Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden, jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makandan minum tidak usahdibayar..."

Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh...aneh..." katanya dalam hati. "Tidakusah bayardemi perjuangan. Begitu...?

"Betul sekaliraden."

"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat tinggalkan kedai itu. Ketika diapergi semua orang berdiridan membungkuk memberihormat.

Suami istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain.  Sang suami berkata, "Baru sekali ini aku menemui yang sepertidia. Benar- benar pejuang yang tidak mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang ituistriku. Jangan sampai terlihat dandiketahuioleh orang-orang Pangeran Adi Bintang  Sasoko. Bisa-bisa kita  dituduh menghambat perjuangan!"

Di  luar Wonosari terdapat  sebuah bukit kecil. Di  sini tumbuh pohon-pohon jati muda. Karena ingin mengambil jalan pintas  agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus pemandangan tampak di bawah   bukit.   Wiro   berlari-lari   kecil   sambil   bersiul-siul.   Suara


siulannya bergema di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar kita hentikan siulannya.  Ada   suara   derap  kaki  kuda   di  belakangnya.  Ketika berpaling, Wiro melihatada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati  dengan  cepat.  Dalam  waktu  singkat  delapan  orang  itu  sudah berada  di  sekelilingnya.  Dari  sikap  mereka  jelas  mereka  sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka  adalah tujuh  orang prajurit kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda

Perwira  itu  memperhatikan  Wiro  sesaat.  matanya  tertuju  pada

sang pendekar  lalu  diapun  berkata,  "Kami  tidak  ingin  membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baik-baik'"

Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapatidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"

"Kelihatannya dia mempunyaikedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyakketerangandarinya. Kembalike tempatmu prajurit!" Jawab sang perwiradengan suara agak berbisik.

"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambilgaruk- garuk   kepala.   Baru    saja   beberapa   waktu    lalu   mendapatkan penghormatan   dan   perlakuan   yang   membuatnya   merasa   seperti seorang pangeran, kinitahu-tahu dia menghadapiperlakuan yang jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!

"Karena  kau  masih  bertanya   dengan  baik  maka   aku   akan menjawabdenganbaik pula," menyahutisi perwira muda. "Kau kami tangkap danakandibawake Kotaraja!"

"Eh, apa salahku sampaiditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuridan merampok!"

Perwira  di  atas kuda tertawa  lalu keluarkan  suara mendengus.


"Jangan   berpura-pura   tolol!"   dia   mulai   keluarkan   suara   keras. "Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangankasar?!"

"Gila!  Tidak  bersalah  tidak  apa-apa  disuruh  menyerah!  Apa- apaan ini!"

"Kalau begitukau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah  lalu  berterlak  pada  anak  buahnya  untuk  menangkap  Wiro. Tujuh prajurit melompat turun darikuda masing-masing. Tiga orang menghunus  senjata  untuk  melindungi  empat  kawannya  yang  ingin meringkus Wiro.

Pendekar  212  tegak  tak  bergerak  sambil  bertolak  pinggang. "Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"

"Tidak!  Gerak-gerikmu  sudah  kami  kuntit  sejak  di  Wonosari! Dan  dari  pakaianmu  itu jelas  kau  adalah  salah  seorang  pentolan berbahaya yang tengahdicari-cari!"

"Pentolan? Aku pentolan? Pentolan apa...?"

"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali laqi  dia  berteriak  memberi  perintah  anak  buahnya  agar   segera menangkap Wiro. Maka tujuhprajurit itukembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.

"Gila!"  Wiro  mulai  jengkel.  Prajurit  terdekat  yang  hendak mencekal lehernya dihantamnya dengan satu jotosan sehingga orang initerpentaldan menjerit kesakitan. Dua kawannya balas menggebuk, tapi  mengalami  nasib  sama  karena  lebih  dahulu  diterjang jotosan


pendekar  212.  Melihat  ini prajurit-prajurit yang memegang  senjata tanpa  menunggu  perintah  lagi  langsung  tusukkan  senjata  masing- masing ketubuh dan muka Wiro!

Saat itu Wiro sudah mencekaltubuh salah seorang prajurit yang tadi  dihantamnya  dan  kini  mengerang  kesakitan  sambil  pegangi perutnya yang kenatonjok. Ketika tiga senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata. Melihat hal  ini  tentu  saja mereka yang menyerang  dengan  senjata terpaksa menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.

"Kurang   ajar!   Kau   berani   melawan   dengan   mengandalkan kepandaianmu!"  Perwira  muda  di  atas  kuda  marah   sekali.  Dia melompat  turun  dari  atas  kuda  sambil  menghunus  sebilah  golok pendek yang menjadisenjatanya. Belumlagi kakinya menjejak tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertandabahwa perwira ini memang terlatih dan memilikiilmu beladiri yang tinggi.

Begitu  kedua  kakinya  menjejak  tanah,  perwira  itu  kirimkan serangan   susulan   yang   sangat   ganas   tanda   dia   memang   ingin membunuh lawannya saat itujuga. Wiro berkelebat mengelak dengan cepat.  Lima  jurus  menempur  habis-habisan  sang  perwira  hanya menghantam tempat kosong.

"Perwira!  Sebaiknya  lekas  pergi  dari  sini.  Bawa  semua  anak buahmu! Aku tidakada silang sengketa denganmu!"

"Kau memang tidak adasilang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwiraitulalukembali memburu dengan serangan-serangan gencar.


"Gila! Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.

"Kau  yang  gila!  Berkomplot  menjatuhkan  Raja  kini  bertanya pura-pura tidak tahu!"

Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena didepannyakembali perwira muda itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjataitubenar-benarberbahayakini. Wiro sadardiatakbisabertahandan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan pastiakan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiapuntuk kirimkan    serangan   balasan   tiba-tiba    seorang   prajurit   muncul menunggang kudadan berteriak.

"Perwira! Bahaya mengancam dibawah bukit!"

Perwira  muda  itu  melompat  mundur,  melintangkan  golok  di depan dada dan berpaling pada prajurit yang barusan datang.  "Ada

apa?!"tanyanya.

"Serombongan  pasukan  musuh  bersenjata  lengkap,  berjumlah sekitar  lima puluh  orang  tengah  menuju  kemari.  Mereka  dipimpin oleh dua orang tokohsilat dari timur. Kita harus menyingkir darisini. Kekuatan  sangat  tidak  berimbang!"  Begitu  prajurit  yang  datang memberikan laporan.

"Kalian  semua  lekas  menghadang  di  lereng  bukit.  Aku  akan bergabung dengan kalian setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.

"Perwira! Kita semua akan matikonyol jika berani menghadapi kekuatan  lawan  yang  begitu  besar!"  jawab  prajurit  yang  datang melapor.

"Aku  yang  memerintah  di  tempat  ini!  Kalian  jangan  berani


menampik!"

Mendengaritudelapan prajurit yang ada di tempat itutidak berani membuka  mulut  lagi.  Mereka  segera  naik  ke  atas  kuda  masing- masing, padahal beberapa di antaranya beradadalam keadaanterluka di  dalam  akibat  gebukan  Wiro  tadi.  Kedelapan  prajurit  itu  segera menuruni buklt, menyongsong  gerakan pasukan basar yang  datang daribawah.

"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"

"Mereka  memang  pantas  untuk  mampus!  Kau!  Mari  hadapi golokku beberapa juruslagi!"

"Edan!  Perwira  macam  apa  kau  ini!"  teriak  Wiro  penasaran. Da1am hatinyakini muncul niat untuk menghajar perwira itu habis- habisan. Tapi sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benar-benar tahu rasa.

Dengan  tangan  kirinya  Wiro  patahkan  sebatang  ranting.  Lalu ranting ini dia pergunakan sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.



"Jika kau punya senjatasebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"

Wiro menyeringai mendengar ucapan perwra itu dan menjawab: "Menghadapi  perwira  tolol  sepertimu  mengapa  harus  pakai  segala macam senjata. Ranting inisudahlebih dari cukup!"

"Bangsat! Kau akan menyesal sampaike liang kubur!"

"Mulutmu  terlalu  besar.  Jangan  menganggap  rendah   semua orang!" sahut Wiro. Ranting di tangan kirinya diputarberlawanan arah dengan  putaran  golok  si  perwira.  Perwira  ini  merasakan  adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya.


Angin yang keluar dari ranting bukan  saja membuat goloknya terbendung, tapitubuhnya sampai bergoyang keras.

"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak. Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan lawan. Sewaktu si perwiraberkelit ke samping  rnurtd   Sinto  Gendeng  cepat  pukulkan  ranting  ke  kiri. Terdengar  suara  sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting  itu menghantam belakang tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar  lepas  mental.  Dia  coba  melompat  untuk  menyambar golok  itu,  tapi  kakinya  tiba-tiba  dihantam  ranting.  Untuk  kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan.  Sewaktu dia turun ke tanah kembali  dilihatnya  Wiro  sudali  tegak  dengan  senyum  mengejek sambilbolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangankanannya.

"Memalukan!  Perwira  totol!  Kalau   aku  jadi  Raja,  manusia macammu takakanterpakai! Ini, ambilkembali golokmu!"

Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke  tanah.  Senjata  ini  menancap  satu jengkal  di  depan  kaki  sang perwira dan menghujam tanah sampaisetengahnya.

Merasa malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itucabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia   hendak  menyerbu   lawannya   habis-habisan.   Tetapi   alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah itu tak sanggup dicabutnya.   Dia   kerahkan   tenaga   dalam   sekuat-kuatnya,   lalu pergunakan  pula  tenaga  dalam.  Sekujur  tubuhnya  mandi  keringat. Golok di tanah sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.

"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau mencabut golok sajatidak sanggup


bagaimana mau berperang melawan musuh!"

"Keparat kurang  ajar!" maki  si perwira.  Dia kerahkan  seluruh tenaganya untuk mencabut  golok.  Ternyata  senjata  itu kini mudah sekali  dicabut.  Hingga  tak  dapat  dicegah,  begitu  golok  tercabut perwira  itu  langsung  jatuh  terjengkang  di  tanah.  Wiro  tertawa tergelak-gelak. Merah padam mukasi perwira. Golok yang adadalam pegangannya  dilemparkannya  ke  arah  Wiro.  Senjata  ini  menderu denganujungnya yang runcingtajam menyambar ke arah dada sang pendekar.   Murid   Sinto   Gendeng   angkat   tangan   kirinya   yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel, Wiro putar tangannya. Golok membalikke kanan, berputardi pertengahan ranting sepertisebuahtitiran.

"Manusia  keparat,  jangan  kira  aku  sudah  kalah!  Mari  kita berkelahi dengan tangan kosong!" teriak perwira muda itulalusekali lompat diasudah menerjang dengan tendangandan jotosan.

Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba pendekarinitarik ranting dari badan golok. Senjata ini  mental  ke  bawah,  gagangnya  menghantam  kening  si  perwira dengan keras.  Sang perwira menjerit kesakitan, mundur terhuyung- huyung sambil pegangikeningnya yang mengucurkandarah!

Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itudiikuti oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian kelabu.

Dua penunggang kudadi sebelah depanadalahdua orang kakek berwajah hampir mirip satu sama lain. Pada dada pakaian hitam yang merekakenakan tampakada gambar mahkota dankeris bersilang yang disulam  dengan  benang  merah.  Anggota  rombongan  lainnya juga


memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari sulaman benang berwarnabiru.

Dua  kakek  berpakaian  hitam  yang  membekal  sebitah  senjata berbentuk  tombak  pendek  di  pinggangnya  masing-masing,  tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelahkanankeluarkan ucapan" "Ah..ah..ah...! Kalian berdua barusaja selesai berlatih!"

Kakek  yang  satu  menimpali,  "Latihan  kalian  pasti  berat  dan keras!   Buktinya   kulihat   salah   satu   dari   kalian   sampai-sampai mengucurkandarah dikening!"

Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk  menyeka  luka  darah  yang  masih  mengucur  dari  luka  di keningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hatisiapa puladua kakek  yang  datang  membawa  rumbongan  manusia  begini  banyak. Tadi jelas dia mendengar sendiribahwa orang-orang yang baru datang ini   adalah   serombongan   pasukan   musuh.   Tetapi   kini   setelah berhadapan  satu  sama lain dengan perwira muda itu, mereka  sama sekali   tidak   nampak    sebagai   bermusuhan.   Wiro   memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk melakukan penghadangan.

"Saudara-saudara, kita tidak punya waktubanyak. Malam ini ada pertemuan  penting.  Pangeran  tidak  ingin  melihat  ada  yang  datang terlambat! Mari...."

"Eh,  apakah  kau bicara  denganku juga?!"  tanya  Wiro pada  si kakek yang barusan bicara.

"Apa kaukiraakubicara dengan penghunigaib bukit Jati ini?!" sahutsi kakek.

Wiro  perhatikan  gambar  mahkota  dan  keris  bersilang  di  dada


pakalan  si kakek. Untuk pertama kali dia ingat akan gambar yang sama didada pakaiannya sebelah kiri.

"Eh  ...apa  artinya  gambar-gambar  itu.  Mengapa  sulaman  di dadaku  sama  dengan  sulaman  di  dada  pakalan  mereka.  Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dariNenek Hitambergigi Emas...?" Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia  merasa  tak  enak.  Lalu  mengapa  kakek  tadi  mengajaknya  ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama didada pakaian merekadan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka berada dalam satu  kelompok  yang  sama?  Selagi  Pendekar  212  Wiro  Sableng berpikir-pikir  seperti  itu  dilihatnya  perwira  muda  tadi  membuka pakaian   seragam   Kerajaannya.   Ketika   pakaian   itu   dibuka   dan dilemparkannya ke tanah ternyata di balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga adasulaman benang merah  bergambar  dan  keris  bersilang  di  dada  kirinya!  Wiro jadi memandang   lagi   pada   gambar   yang   sama   yang   ada   di   dada pakaiannya.

"Berikan  dua  kuda  pada  sahabat-sahabat  ini!"  Salah  seorang kakekberseru. Dua orang lalu maju menuntun duakuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwirasaling pandang.

"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi aba- aba.

Si  perwira  muda  langsung  melompat  ke  atas  punggung  kuda. Wiro masih tegak terheran-heran.

"Eh,  kenapa  kau  tampak  seperti  orang  bingung,  sahabat?!" bertanyasikakekhitman di samping kiri.


"Kalian mau mengajakku kemana?!" tanya Wiro sambil garuk- garukkepala.

"Kemana lagikalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah kau masih mau bertanya? Kita orang-orang satu golongan!Aku  sudah melupakan kejadian  tadi! Anggap benar- benarsebagallatihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu

"Gila!"  desis  Wiro  sambil  meinandang berkeliling.  "Apa  yang sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota  serta  keris  bersilang  ini…!  Gila  !  Hanya  ada  satu  cara mencari  jawaban.   Aku  harus   ikut   dengan   mereka!"   Wiro   lalu melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak menuruni bukit Jati. Di satu  lereng  bukit  Who  melihat  delapan  sosok  tubuh  berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah.  Semuanya  sudah meregang nyawa dengantubuh penuh luka. Wiro melirik kearah perwira muda yang kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauhdi sampingnya. Di saat yang sama perwira itu jugaberpaling ke arahnya, tersenyumkecil dankedipkan mata!



***


4



DALAM perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada  yang  membuka  mulut  atau  bicara.  Tampaknya  mereka  dipe- rintahkanuntuk membungkam diri. Dua kakekberpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda yang ternyata adalah  seorang  pembelot.  Di  belakang  ke  tiga  orang  ini  bergerak puluhan penunggang kudaberpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu ditengah-tengah mereka. Walau ada hasrat untuk menyelinap dankabur dari rombongan itu, namun lebih besar laginiatnyauntuk ikut terus guna mengetahuisiapasebenarnya orang- orang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang Sasoko. Lalu apakahdia akan   bertemu   lagi   dengan   Nenek   Hitam   Bergigi   Emas   yang memberikanpakalan putih bersulam mahkota dankeris bersilang itu?

Karena  rombongan  tidak  mau  menempuh  jalan  umum  maka perjalanan menjadi satu setengah kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru sampal di tujuan yakni bagian  teluk  Parangtritis  yang  agak  terpencil  dan jarang  didatangi orang. Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragamperajurit Kerajaan. Kelompok ini tangsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang merekakenal. Semua kudaditambatkan,ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.

Salah  seorang  dari  dua  kakek  berpakalan  hitam  memandang


berkeliling,   mencari-cari   Wiro   Sableng   yang   saat   itu   duduk memencilkandiridibawah sebatang pohon kelapa. Kakek ini segera menghampirinya  lalu  memberi  isyarat  untuk  mengikuti.  Bersama- sama dengan perwira mudadan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang tua itu. Mereka bergerakke bagianteluk yang penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau. Setelah merancahair lautsebatas mata kaki dan menyibak kelebatan pohon-pohon bakaukeempat orang itu sampai  di  sebuah  gundukan  tanah  keras  bercampur  batu  yang  di bagian  tengahnya  merupakan  sebuah  lobang  besar  atau  mulut  goa selebar dansetinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang sesaat pada perwira muda itu, lalupada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar mengikutinya memasuki goa.



Bagian  dalam  goa  merupakan  satu  tanjakan  yang  terbuat  dari batu, mulai dari bagian bawah sampai dinding dan langit-langitnya. Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak lama kemudian merekasampaipadaujung goa yang ternyata tertetakpadasebuah bukit kecil yang penuhditumbuhi semak  belukar  dan  pepohonan  rapat.  Sinar  matahari  yang  hendak tenggetam masih  sempat menyeruak  di  antara  dedaunan.  Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ dibangunsebuah gubuk panjang tanpa dinding.



Sepanjang  gubuk  terdapat  meja  papan  kasar  yang  diapit  oleh bangku-bangku panjang yang jugaterbuatdarikayu hutan, setiapsisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang kearah mereka sementara dikepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemudaberpakaian sangat mewah, bermukaagak pucat dansetiap saat selalu tersenyum-senyum


menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.

Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus  menyedot  sebatang  pipa  panjang.  Bau  tembakau  yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama dikepala meja terdapatbanyak makanan. Kendi-kendi tanah berisituaktakterbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.

Wiro memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro dan perwira  muda  itu.  Lalu  keempat  orang  yanog  baru  datang  ini mengambil  tempat  duduk.  Dua  kakek  di  kepala  meja  sebelah  kiri sedang Wiro dan si perwiradi bangkupanjang lapis belakangbagian tengah.



Lelaki   gemuk   yang   menghisap   pipa,   sesaat   memangdang berkeliling  lalu  lepas  pipanya,  berpaling  pada  pemuda  berpakaian mewah  yang  sebentar-bentar  tertawa  dan  berkata,  "Semua  yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting inibisakita mulai

Pangeran Adi?"

Pemuda berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang  Sasoko mengangguk lalu tertawa gelak-gelak.  "Aku  sudah lama  menunggu.  Kalian  juga!   Sudah  lapar  dan  haus!   Sebelum memulai  pembicaraan  kita  makan  dan  minum  dulu   sekenyang- kenyangnya! Ha...ha...ha...! Eh, kau setuju calon patihKerajaan?!"

Si gemuk yang disebut sebagalcalon patih membuka mulut dan setengahberteriak menjawab, "Setuju!"

Maka  semua  orang  yang  ada  di  situ  langsung  menyambar


hidangandan meneguk minuman yang adadi atas meja.

"Hai! Sampean tidak lapar dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!"  seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih duduk berdiamdiri.

"Atau mungkin dia menunggu sampai calon patihkita marah?!" seseorang berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang lainnya.



Wiro akhirnya mengulurkan tanganjuga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng yang  dihiasi  goreng paha  ayam.  Sebentar  saja makanan itu sudah berpindahke dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil  cangkir  dan  menuang  tuak  ke  dalamnya  tiba-tiba  dia mendengar suara halus sepertinyamuk mengiang ditelinganya.

"Pendekar  muda....  Kau  boleh  sumpal  perutmu  dengan  semua makanan yang ada di atas meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itutelah berubah menjadi minuman celaka! Minuman ituberacun!"

Wiro  tersentak  kaget.  Kedua  matanya  berputar  memandang berkeliling. Siapa gerangan yang barusan bicarajarak jauh dengannya itu?  Satu  persatu  dipandanginya  wajah  orang-orang  yang  ada  di

tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran         Bintang Sasoko

sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil  melahap  paha  ayam.  Semua  orang  termasuk  Pangeran  Adi meneguk tuak yang dihidangkan, malahada yang begitulahaphingga berceceran menumpahidagudan pakaiannya. Wiro melihat bahwaada duadi antara orang-orang yang adadisituhanyaberpura-pura minum. Tuak yang diteguknyahanyadilelehkan kebawahdagu!

"Semua  sudah kenyang dan puas mlnum?!" tiba-tiba  si gemuk


yang disebut calon patihberseru.

"Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti. Si gemuk berpaling pada   Pangeran   Adi.   "Pangeran,   saatnya   kita   mulai   melakukan pembicaraan!"

Pangeran Adi mengangguk, matanyaberputar-putar laluPangeran yang berotaktidak waras ini tertawa gelak-gelak.

Si gemuk berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit  lalu  berkata,  "Sebelum  pembicaraan  penting  dimulai,  tempat pertemuan  ini  harus  benar-benar  dijaga  kerahasiaannya!  Pohon  di sekitarsinibisajaditelinga musuh!Apalagi manusia penyusup!"

Sekali  lagi  si  gemuk  memandang  berkeliling.  Tatapan  kedua matanya sesaat tak berkedip ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahannafas.

"Sebelum   pembicaraan    dimulai    setiap    yang    hadir   harus memperkenalkan diri agar kitasaling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Rajakita semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat ini sedang gering! Bukan begituPangeran Adi?!"

Pangeran  Adi  berdiri  dari  duduknya,  menjura  dan  berteriak. "Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan!Hanya aku! Ha… ha...hal…!"

Si  gemuk  kembali  membuka  mulut.  "Aku  sendiri  adalah  Suto Gunoto, bergelar  Si Tapak Api.  Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal mendudukijabatan Patih Kerajaan!" Habis berkata begitu

si  gemuk  usap-usapkan  kedua  telapak  tangannya           sama  lain.


Terdengar suara meletup dan lidah api mencuat keluardaricelah dua telapak tangan itu.

Semua orang berdecakkagum melihathal itu dan sambil tertawa mengakeh  Suto  Gunoto kembali  duduk. Dia memberi  isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari duduknya, menjura lalu memperkenaikandiri.

"Aku  Jaliteng  Teguh,  Adipati  Klaten,  siap  berjuang  di  pihak Pangeran   Adi.   Seratus   orang   perajuritku   siap   sedia   di   timur

Patrangtritis!"

Orang ketigategak pula dari bangkukayu. SepertiAdipati Klaten tadi  dia juga  menjura,  mendongak  sebentar  lalu  membuka  mulut. "Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek  dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha…! Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuangbersama Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin  menghabiskan   sisa  hidup   dengan  tenang  menjadi  pejabat Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke atas meja. Ternyatakaki kanannya memang terbuatdarikayu. Dengan satu  gerakan  seperti  asal-asalan  saja  orang  ini  hantamkan  kaki kayunyake meja. Papan meja yang terbuatdarikayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembalike tempat duduknya.



Orang  keempat  berdiri  dari  bangkunya.  Dia  seorang  kakek bermuka  cekung,  mengenakan  baju  hijau  yang  kebesaran  dengan sulaman mahkota dankeris bersilang didada kiri. Sulaman seperti ini juga  terdapat  pada  semua  pakaian  para  yang  hadir  di  tempat  itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki


kuku-kuku panjang berbentukaneh sepertisepertipisau-pisaukecil!

"Aku tua bangkajelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku.  Si Pengupas Kepala! Itu  saja. Aku tidak mau banyak  cerita.  Kelak  kalian  akan  melihat  sendiri  siapa  aku  ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke bangkunya.

Orang kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat.  Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasaldari Kadipaten mana, sambil tak lupa mengatakanbahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnyasudah bersiapsedia, maka masing-masing kembali duduk di bangkupanjang.



Orang yang ke  sepeluh adalah  satu dari dua kakek berpakaian hitam.  "Aku juga  ikut-ikutan  pikun.  Lupa  nama.  Bersama  adikku ini … "  Si  kakek  menunjuk  pada  kakek  satunya  yang  duduk  di sebelahnya, "Kami dikenaldenganjulukan Sepasang Tombak Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaandan adikku menjadiwakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan  adikku  Tombak  Dewa  Kedua!  Soal  kepandaian  kami  pernah merajairimba persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat inikamitidak enak badan, tak mau pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"

Orang keduabelasadalah perwiramuda yeng duduk di samping Wiro Sableng. Setelah mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri.

"Namaku  Aryo  Ladam.  Jabatan  terakhir  Perwira  Muda  pada pasukankerajaan. Tapi mulai detik inijabatan itutidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin banyak


di antara para hadirin memiliki kepandaianjauh lebih tinggi dariku. Sebelum berangkat ke mariakutelah berhasii membinasekitar enam puluh perajurit dan duaperwira muda untuk berjuang di pihak kita. Mereka semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup  dan  menghantaan  lawan  di  pusat  Kota.  Mereka  siap menunggu perintah!"

Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.

Sambil  mengangkat  kendi  tuak  Pangeran  itu  berkata,  "Sesuai janji, kauakanakuangkat sebagal Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkandua tingkat!"

"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu duduk ke tempatnyakembali.


Kini giliran Pendekar 212 Wiro  Sableng memperkenalkan diri. Setelah  menggaruk  kepala  lebih  dulu,  pendekar  ini  berdiri  dan menjura kearah Pangeran Adi serta Si TapakApi. Sikapini membuat kedua   orang   itu   merasa   senang   karena   sebelumnya   tidak   ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.

"Mohon  dimaaafkan  kalau  namaku jelek  didengar.  Aku  Wiro Sableng! Pendekar pengangguran yang dicap berotak kurang waras. Apa  yang  menjadi  tujuan  para  tokoh  yang  hadir  di  sini  menjadi tujuanku  pula!  Kita  bersama-sama  berjuang!"  Wiro  lalu   duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah.  "Persetan dengan perjuangan gila  ini? Aku  ingin buru-buru pergi  dari  sini!  Edan, mengapa  aku sampai terdampar di antara para pengkhianat ini!"

Terdengar  suara  batuk-batuk  beberapa  kali,  lalu  disusul  suara


orang bicara. Yang bicara adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luarbiasa! Tidak disangka-sangka kalautokoh silat muda  terkenal  sepertimu  ikut  berada  di  antara  kita  Pendekar  212, apakah keikutsertaanmu bersama kami mendapat restu dari gurumu di puncak Gunung Gede...?!"

"Ah,  si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang  diriku  dan guruku,"   membatin   Wiro.   Pendekar   ini   agak   gugup   mendapat pertanyaan  itu  tapi  cepat  kuasai  diri  dan  menjawab,  "Ketika  aku melapor, guru sedangtidak di tempat. Aku hanya meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan..." Wiro berdusta.

"Bagus...bagus... Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama  lainnya  menyertai  kita.  Tapi  yang  ada  sekarangpun  sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.


Orang  ke   empat  belas  yang   duduk   di   samping  kiri  Wiro memperkenalkan diri sebagai Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo  Ladam  dia  juga  menerangkan  bahwa  ada  sejurnlah  besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.

Orang terakhir atau yang kelima belasadalah yang paling lucu, paling konyol gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besartetapiseperti yang lainnya didada pakaiannya juga tersulam  gambar  mahkota  dan  keris  bersilang.  Rambutnya  yang panjang digulung ke atas dan pada ujunggulungandiberipita merah. Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotandari bibir sampaike pipidandagusedangalis mata diberi jelaga hitam bercelemongan.  Orang ini berdiri  dengan  sikap malu-maluseperti perempuan. Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri,


"Namaku Tatata Tititi. Aku tidak bergelartidak berjuluk! Tidak punya  kepandaian  silat!  Tapi  pandai  bermain  sulap,  kalau  perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu menunjuk padasepiring makanandi atas meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat lagi ke arah   piring!   Kalian   tidak   akan   melihat   makanan   lagi!   Nah lakukanlah!"

Karena  tertarik,  hampir  semua  orang  yang  ada  di  tempat  itu termasuk  Wiro pejamkan  matanya.  Ketika kedua mata  dibuka  dan mereka memandang kearah piring! Astaga! Memang diataspiring itu kini  yang  mereka  lihat  bukan  lagi  makanan,  tapi  seonggok  tahi kerbau!    Semua    orang   mengerenyit   jijik.    Tak   percaya   pada

pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua

matanya!

"Jadi   tadi   kalian   bukan   bersantap   enak.   Tapi   makan   tahi kerbau...hik…hik..hik!"   orang   bermuka   celemongan   itu   tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya bergurau. Lihat sekali lagi. Apa yang adadipiring memang makanan!"

Dan ketika semua orang memandang lagikearah piring, memang di  situ kini tampak makanan  seperti  semula.  Terdengar  orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah makananjaditahikerbau, aku juga bisa merubahwajah Sri Baginda menjaditahikerbau! Hik...hik...hik!"

"Tukang  sulap!"  tiba-tiba  Suto  Gunoro  alias  Si  Tapak  Api berseru. "Coba terangkan, kau inilelaki atau perempuan!"

"Hik..hik..hik! Aku bukan  lelaki bukan perempuan!" jawabnya

Tatata Tititi.

"Maksudmu....?!"   Pangeran   Adi   Bintang   yang   kini   ajukan


pertanyaan.

"Aku banci! Hik..hik..hik!"

"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baglnda!"

Membentak SI TapakApi.

"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan pakaianku! Mau melihat...?!"

Pangeran   Adi   Bintang   tertawa    gelak-gelak    dan    goyang- goyangkan  tangannya  ketika  Tatata  Tititi  hendak  menyingkapkan pakalannya yang lebar.


"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi  satu  kelompok  dengan  kami!"  ujar  Pangeran  Adi  sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti...."

"Maaf, namaku Tatata Tititi,Pangeran. Bukan Tatiti .... !"

"Oh, ya akukesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia  berpaling  pada   Suto   Gunoro   dan  berbisik,   "Saatnya  untuk melakukan pembersihan, patih!"

Suto   Gunoro   mengangguk   lalu   cabut   pipanya   dan   berdiri. Sepasang   matanya   yang   sipit   tampak   tambah   sipit   ketika   dia memandangi satu persatu semua orang yang adadi tempat Itu.

"Saudara-saudara  satu  perjuangan.  Sebelum  pembicaraan  amat rahasia kita mulai, tempat ini harus dibersihkandarl penyusup mata- mata musuh!"

"Eh…! Apakah ada mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu alias Sumo Kandil.

Suto  Gunoro  menyeringal  buruk.  Dia  berpaling  pada  kakek bermuka cekung yang tadi memperkenalkan diri denganjuiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkankepalanya.


Melihat  isyarat  ini  Si  Pengupas  Kepala bangkit  dart  kursinya. Kedua matanya memandang menyorot satu persatu pada orang-orang yang adadisekitar meja. Kedua tangannya sailing digosok-gosokkan.

 Kuku-kukunya  yang  beradu  satu  sama  lain  mengeluarkan  suara bergemericik,   tidak   beda   seperti   pisau-pisau   saling   bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah memutari meja, mengitari  lima  belas  orang  yang  duduk  laksana  terpaku.  Wiro merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepalaberhenti melangkah dantegak tepat dibelakangnya.

"Jangan-jangan    orang    ini   mencurigaiku.    Pasti    aku   yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuhtadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan  tenaga  dalam  ke  tangan  kanan,  diam-diam  menyiapkan pukulan  sakti  "sinar  matahari".  Kedua  telinganya  dipasang  tajam- tajam. Begitu terdengar orang bergerak maka  serta merta dia  akan menghantam.


Dibelakangnya  Si  Pengupas  Kepala  dengan  gerakan  sebat  dan tiba- tiba mengangkat tangannya, mencekalleher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.

"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.

Tumenggung  Gandana  Jipang  tampak  kaku  sekujur  tubuhnya. Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekikketlkabicara. "Lepaskan! Jangan!  Kau  salah  tuduh!  Aku  bukan  mata-mata  Kerajaan!  Aku datang   kemari   justru   untuk   bergabung!   Bukankah   aku   yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya Raja....?!"


Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan    suara    menggereng.    Cekalannya    mengencang.    Tubuh Tumenggung  Gandana  Jipang  dilemparkannya  ke  atas  meja  besar. Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki  kuku  sekuat  dan  setajam  pisau  bergerak  cepat  seperti menggerlnda.  Terjadilah  satu pemandangan  luar biasa  mengerikan. Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan  tubuhhya  sementara  kepalanya  mulai  dari kulit kepala sampai kulit muka dikelupas oleh kuku-kuku maut itu! Hanya beberapa kejapan mata sajakepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.


"Gusti Allah…" bisik Wiro dalam hati dan membuang mukake jurusan lain.

Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi  Bintang  dan  Suto  Gunoro  alias  Si  Tapak  Api  sementara  Si Pengupas  Kepala  sibuk  membersihkan  tangan  dan  kukunya  yang bersimbah darah.  Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada dalampenjara!"

Wiro  tidak  perduli  apa  yang  diucapkan  oleh  orang  itu.  Ingin sekali  dia  meninggalkan  tempat  itu.  Ketika  dia  hendak  bergerak bangkittiba-tiba Si TapakApiberseru.

"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"


Pengemis Kaki Kayu  cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap  diantara  pohon-pohon  lebat  yang  mulal  tenggelam  dalam gelapnya malam yang baru turun.



***


5



YANG  DATANG  ternyata  ada  dua  orang.  Yang  pertama  seorang lelaki tinggi kekar berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal  di tangan kanannya.  Di  samping  orang  ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di dada kirinya. Gadis ini tampakagak ragu-ragu untuk melangkahlebih dekat kearah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak  dikenalnya.  Tapi  lelaki  berambut  kelabu  cepat  berbisik  dan memegang tangannya. "Tak ada yang harusditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman seperjuangan … "

"Aha!  Ki  Demang  Wesi!  Akhirnya  kau  datang juga!  Untung pembicaraan rahasia belum dimulai!"  Si Tapak Api berseru.  Sesaat matanya  jelalatan  menatap  wajah  cantik  gadis  di  samping  lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa

Parangtritis.

"Harap  maafkan....  "sahut  Ki  Demang  Wesi  sambil  menjura. "Aku  terlambat  karena  harus  meyakinkan  anakku  ini  dulu  bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan   seribu   kali   lebih   baik   begitu   perjuangan   selesai!   Aku perkenalkan  putriku,  Winayu  Tindi.  Sebenarnya  dia  adalah  puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku sudah   menganggapnya    sebagai    anak    sendiri    dan    dia    sudah menganggap akusebagalayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah


memutuskan untuk menyumbang kekayaannya bagi perjungan kita!"

"Hebat!" seru Si TapakApi.

Pangeran  Adi  Bintang  Sasoko  tiba-tiba  bangkit  dari  kursinya. Matanya  memandang  tak  berkesip  pada  Winayu  Tindi.  Tangan kanannyadiangkat. Jari telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik. "Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang!  Sumbangannya  untuk  perjuangan  sangat  besar!  Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si cantikjelita ini...?!"

Tak   ada   yang   menjawab.   Mungkin   tak   ada   yang   berani menjawab.  Tapi  tiba-tiba  Wiro  berdiri.  "Menurut  pendapatku,  dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"

"Hah?!  Tepat!  Tepat  sekali!"  teriak  Pangeran  Adi  lalu  tetawa gelak-gelak.

Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju. Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti nyamuk mengiang dikeduatelinganya, "Anak tolol!

mengapa   mulutmu   selancang   itu   mengatur   perjodohan   orang?!

Sableng!"

Wiro merasakan mukanyajadi merahdan panas. Dia memandang berkeliling,  mencari-cari  siapa  diantara  yang  hadir  yang  barusan mengirimkan  ucapan  itu.  Sulit  baginya  untuk  menduga.  Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si TapakApi.

Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa?

Ketika  tepuk  tangan  dan  suara  riuh  lenyap,  terdengar  suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat merah.


"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuhayah danibu saya…!"

"Oh begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.


"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu  siapa pembunuh orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang  di  langitpun  akan kulakukan!" berkata  Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuhrendaholeh orang banyak.

Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalukeduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihatsi pemuda kening Ki Demang Wesijadi berkerut.

"Eh, anak muda! Kau … "

"Rupanya  kita  orang-orang  satu  golongan.  Apakah  kau  masih menduga aku yang melakukan…?" Wiro mendahului.

"Tidak, tentu sajatidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.

Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakankedua orang itu. Tapi sejak mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro memandang padanya gadis ini segera menempelak   dengan   ucapan,    "Mulutmu   lancang   benar!   Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi … "

Untuk  kedua  kalinya  Wiro  merasa  wajahnya  menjadi  merah. Sadar kalau mulutnya ketelepasan.

"Maafkan akusahabat. Aku tidak bermaksudlancang. Tapi kata- kataku tadi memang tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing betina yang bengekpun tidak mau jadi istriPangeran gila itu…!"

Suto  Gunoro  sang  calon  patih  Kerajaan  bangkit  dari  tempat duduknya.   Setelah   menghisap   pipanya   panjang-panjang   diapun


menyatakan  bahwa  pembicaraan  rahasia  segera  dimulai.  Adapun pembicaraan  itu  menyangkut  rencana  penyerbuan  Kraton  dari  tiga jurusan  dengan  kekuatan  hampir  seribu  orang.  Lalu  melakukan penculikan  terhadap  Sri  Baginda  dan  menculik  atau  membunuh Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang diduga akandiangkat dan dinobatkan  menjadi  Raja  begitu  Sri  Baginda  mangkat.  Setelah  itu dilakukan penggantian terhadappucuk pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipatl, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu Pangeran Adi bintang Sasoko.


Diatur pula taktik bahwa penyerbuan  akan  dilakukan  dua harl dimuka,  dinihari  menjelang  subuh.  Sebelum  itu,  pada  permulaan malam akandilakukan pembunuhan terhadap para tokoh silat Istana. Dan  ini  dilaksanakan  oleh  tiga  orang  yaitu  Si  Pengupas  Kepala, Pengemis Kaki Kayudan Pendekar 212 Wiro Sableng!

Menjelang  tengah  malam  pertemuan  rahasia  itu  berakhir,  Ki Demang Wesi meneguk tuak sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekalitidak menyentuh minuman ini, dan jugatidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan yang ada dalam minuman.

Selain bangunan panjang tanpa  dinding yang  dijadikan tempat pertemuan  itu,  ternyata  masih  ada  tiga bangunan  lain  yang  dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan rumah-rumah kecil.  Salah Satu rumahituditempatl oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko bersama Si TapakApi. Rumahkedua danketiga tadinya dibagi-bagi untuk para anggota komplotan pemberontakitu namun yang satu kemudian harus diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan  mereka  malam  itu  ke  tempat  itu,  tidak  satu  orangpun


diperkenankan  meninggalkan  tempat  rahasia  itu.  Penjagaan  ketat dilakukandi setiapsudut.

Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkurdi bangkupanjang. Udara  dingin  sekali  dan  suara  deburan  ombak  di pantai  terdengar mengerikan.  Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro  sempat melihat Pangeran  Adi,  Si  Tapak  Api  dan  Ki  Demang  Wesi  melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah kanan.  Murid  Sinto  Gendeng  yakin  sekali  pasti  ada  pembicaraan. Ketika dilihatnyagelagatbaik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang ituberada. Dari atas pohon Wiro dapat mendengarpembicaraan orang-orang itu cukup jelas.

"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantikitu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara

Pangeran Adi.

"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua  orang  tuanya.  Tunggulah  beberapa  hari.  Dia  akan  menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran memang menyukainya…" Begitu jawaban Ki Demang Wesi.

"Tentu saja aku menyukainya! Ha..ha...ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dankopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"

"Ki Dernang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan  diberikannya  dengan  imbalan  kita  harus  mencari  tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikandengan tuntas?" Yang bicara adalah Si

TapakApi.


"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan.  Aku  tidak  tahu  kalau  pemuda  asing  yang  aku  tuduh  itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita sendiri.... "

"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari golongan putih...."

"Dunia bisa berubah,apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.

"Tapi   tak    ada    salahnya   untuk   menyelidiki,    siapa   yang membawanya masuk dalam kelompok kita … "

Melihat hal ini Ki Demang Wesi mintadiri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jagabaik-baik Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"

"Akan akulakukan Sumo. Tentu saja!"

"Satu hallagi harusskaujagabaik-baik, Ki Demang!"

"Apa itu...?"

"Jangan  sampai  dara  itu  mengetahui  kalau  kaulah  pembunuh kedua orang tuanya … "

Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengarkata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata, "Kalau  bukan  demi  perjuangan,  sebenarnya  aku  tidak  akan  mau berlaku sekeji itu Sumo... Lagi pula dia menolakuntuk diajak serta. Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kitake Istana!"

"Memang manusiaseperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinyatelahdirusakkehormatannya sebelumdibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"

"Ya,  ceritakan  apa  yang  kau  lakukan  Ki  Demang!"  terdengar


suara sang Pangeran.

Terdengar  Ki  Demang  Wesi  menarik  nafas.  Lalu  terdengar jawabannya.  "Perempuan itu terlalu cantik dan masih  sangat muda untuk  dihabisi.   Sayang  dia  banyak  tahu  dari  suaminya  tentang komplotan kita. Jugakusir kereta.... "

"Aku  tidak  bertanya  si  kusir  delman  itu!  Tapi  apa  yang  situ lakukanterhadap istri Ageng Lontar! Ha... ha...ha.... ! Ceritakan saja saja Ki Demang.... "

"Aku  memang   dirasuk  nafsu.  Perempuan   itu  kutiduri  baru kubunuh.   Untuk   menutup   rahasia   kusir   delman   terpaksa   pula kubunuh!"

"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha...ha.... ha....!"

"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan sajaakan terusjadiKepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"

"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri...." Terdengar suara pintudibuka laluditutupkankembali.

Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentakkagetseperti disengat kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir. "Manusia  setan  haram jadah!  Jadi  dia pembunuh  kedua  orang  tua gadis itu! Benar-benardajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluardaridalam rumahdia segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tibaada suara mengiang ditelinganya.

"Jangan  tolol!  Kendalikan  amarahmu!  Belum  saatnya!  Belum


saatnyauntuk memamerkan kehebatan!"

"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang berkeliling.  Tidak nampak  seorangpun, kecuali  Ki Demang Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itupintu rumah ter- dengar  terbuka  kembali.  Lalu  tampak  Si  Tapak  Api  keluar  dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini  sama berhenti di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.

"Sumo,  aku  perlu  bertanya.  Apakah  tuak  itu  benar-benar  kau

campur racun?"

"Seperti yang kitarencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang  minum  akan  mampus!  Putus  dan  hancur  ususnya!  Dan  kita memang tidak memerlukan merekalagi! JugatidakPangeran gila dan tolol itu!"

"Kalau begitu lekas berikan padakuobat penawar racun itu! Aku tidak mau matikonyol!"

S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkansebutirbenda putih dari dalam saku pakalannya dan diserahkan pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.

"Jadi  kau  tetap  akan  menghabisi  Pangeran  Adi  begitu  tahta direbut?" terdengar Ki Demang bertanya.

"Bukankah itu yang kitarencanakan? Akujadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah, hari hampirpagi. Kau pergilahtidur. Mudah-mudahan mimpi  enak..."  Si  Tapak  Api  menepuk  bahu  Ki  Demang  Wesi. Keduanyaberpisah.

"Jahanam!  Benar-benar  manusia-manusia jahanam!  Jadi  benar bisikan orang itu. Minuman itu ternyata beracun!"

Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih


sempat mendengar ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapiterlambat. Dia hanya sempat melihat bayangandalam gelap.  Dia  coba  memburu.  Bayangan  itu  lenyap!  Tapi  dari  sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisamenduga siapa adanya orang itu. Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya tokoh  silat yang mengaku banci  dan bernama Tatata Tititi tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa    ada    di    situ?    Wiro    melangkah    mendekati    orang    ini. Memperhatikannya sejenak. Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian  merah  Tatata  Tititi.  Lalu  diperhatikannya  tangan  sendiri. Noda yang sama jugaterdapat pada keduatelapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi diarupanya!" Wiro manggut- manggut dan diam-diam merasa lega.

Paling  tidak  dia  tahu  kalau  dia  tidak  sendirian  ditempat  yang sangat berbahaya itu.Ada seorang teman bersamanya walaudia masih tidak dapat memastikan siapa adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang  di mana  dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan suara mengorok  tampak  membuka  mata  kirinya.  Ada  sekelumit  senyum dimulutnya yang celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itusudah tahu rupanya … "



***


6



SEJAK SIANG hujan turun terus. Menjelang sore redasebentartetapi begitu matahari menggelincirke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila.    Air    laut    bergelombang    menggemuruh.     Suaranya menakutkan.  Ombak  memecah  di  teluk  bergulung-gulung  setinggi rumah.  Di  kejauhan  terdengar  suara  angin  menderu  mengerikan. Tampak  kilat  sambar-menyambar  lalu  suara  guntur  menggelegar seperti hendak membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patahberderak, tumbang kelaut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengarberulang kali.


Di dalam rumahkecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir  sementara  Pangeran  Adi  tegak  di  sudut  sambil  tersenyum- senyum  lalu menyanyi-nyanyi kecil  seolah-olah mengiringkan  deru hujan  dan  angin  serta  gemuruh  air  laut.  Sepasang  Tombak  Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan kaki kayunya. Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pinturumah, memegang sehelaikapas berwana merah. Tengah berhias rupanya sibanci ini! Si TapakApi diam-diam memaki melihat tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata Tititi.

"E… Hujan  celaka  !"  akhirnya meledak kejengkelan  Si  Tapak Api, alias Buto Gunoro sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kitasiap bergerak!"

"Tenang  saja  Suto.  Sebentar  lagi  hujan  pasti  berhenti.  Begitu


berhenti  kita  segera  bergerak  menuju  Kotaraja,"  berkata  Pengemis

Kaki Kayu.

"Kalau segera berhenti, kalau tidak…? Kita bisa terlambat dan kesiangansampaidi sasaran!"

"Kalaupun  hujan  tidak  berhenti,  apakah  kita  takut  menempuh malam dan hujan?" bertanya Dewa Tongkat Kesatu.

"Tidak ada yang perlukitatakuti di dunia ini, tapi jangan tolol. Cuaca bisa membuat kacaugerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa sebenarnya yang terjadidi luar sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?! Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar,apakah hujanakan reda atau tidak?!"

Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahiwajahnya dengan bedak merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.


"Kalau  aku  berhujan-hujan  keluar,  bedakku,  gincuku,  alisku... semua akan luntur! Hik...hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain … "

Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa. Dia menjangkausebuahcaping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi adapada Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi janganada yang berani menolak perintah … "

Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksadisambutnya dandikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat itu udaradi luar mulaigelap. Hujan lebat sepertitidakbisaditembus dengan pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung  Tatata  Tititi  berjalan  menuju  bagian  bukit  yang


agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan laut. Tapi malam    yang    mulai    turun    dan    derasnya    hujan    membuat pemandangannya  terbatas  hanya  sampal  dua  tombak  saja.  Sambil menggigilkedinginan Tatata Tititi memandang berkeliling, mencari- cari pohon yang baik  dan mudah untuk  dipanjat.  Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengancabang-cabang yang berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang mengakubanci ini memandang  berkeliling.  Lalu  sekali  dia  menggenjot  kaki  maka tubuhnya pun melayang ke  atas  cabang kedua. Walaupun  dia kini berada di atas pohon, tetap sajadiatidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambarankilatlalu suara guntur yang sepertihendak merobeklangit. Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke  atas pohon. Dari dalam  sakunya dia mengeluarkan  sebuah benda  bulat  panjang  sebesar  ibu jari.  Bagian  atas  benda  ini  ada sumbunya  sedang  sebelah  bawah  ditancapi  sepotong  bambu  kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang laindia mengeluarkan sepasang batu api.

"Celaka, batuapi ini basah…!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu kepakaiannya agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar marah-marah karena sepasang batuapinyalenyapentahkemana. Padahal yang kini berada di tangan Tatata Tititiitulah batuapi miliknya, dicurioleh si mukaseronok!

Setelah  sepasang  batu  api  kering  dan  dia  berusaha  sedapat mungkin  melindungi  benda  bulat  bersumbu  agar  tidak  terkena  air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang batuapi itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan kuat dan keras


maka   sebentar   saja   apipun   memerclk.   Tetapi   ketika   lidah   api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.

"Setan alas!" maki Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat  dari  sejenis  kain  yang  cepat  dimakan  api,  sumbu  itu  serta merta terbakar. Api menyulut kebagian benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang.  Tatata  Tititi  lepaskan pegangannya pada bambu kecil.  Seperti  didorong  oleh  sesuatu  kekuatan  yang  keras,  dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat keudara. Siapapun yang  berada  di  delapan  penjuru  angin  pasti  akan  melihat  nyala terangnya, walaupunhanyaseketikayakni sebelumpadam diterpa air hujandanudara dingin. Tatata Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas   pohon   itu.   Dia   lebih   banyak   mempergunakan   ketajaman telinganya dari pandangan mata.

"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pastiakanmenenggelamkan goa...."

Lalu dia turun dari atas pohon kembalikedalam rumah.

"agaimana?  Apa  yang  bisa  kau  laporkan…?!"  Si  Tapak  Api langsung bertanya begitu Tatata Tititi muncul dipintu.

"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badaibesarberkecamuk dilaut. Dalam waktu cepat air lautakan pasang dan goa panjang satu- satunya jalan menujuke pantai akanterendam air!"

Mendengar  keterangan  Tatata  Tititi  itu  Pangeran  Adi  Bintang Sasoko  melompat  dan  memegang  lengan  Si  Tapak  Api  kuat-kuat. Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau matiditabrak badai! Aku  tak  mau  mampus  tenggelam  di  tempat  ini!  Aku  harus  hidup


karena aku harusjadi Raja! Dan permaisuriku itu.... Dia yang nomor satu harusdiselamatkan…!"

"Tenang Pangeran...  tenang! Semua akan kita atur dengan cepat. Kita  akan  segera  meninggalkan  tempat  ini!"  Si  Tapak  Api  lalu memanggil  semua  tokoh  silat  dan  para  Adipati  yang  ikut  dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.


"Kita   semua   akan   beprangkat   saat   ini  juga.   Kalian   harus mengambilkedudukandan tanggung jawab sesuai yang sudahdiberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran Adi dan  Winayu  Tindi!  Ingat,  sebelum  mencapai  jembatan  di  dukuh Sitomulyo, merekaharus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itubersama Ki Demang Wesi … "

Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlaridibawah hujan menuju rumah kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan mukapucat.

"Ada apa.... ? Mana kedua orang itu...?!" tanya SiTapakApi.

"Gadis  itu  tak  ada  di  dalam  rumah  sana.  Ki  Demang  Wesi kutemui    dalam   keadaan    tertotok.    Aku   berusaha    melepaskan totokannyatapitidakbisa!"

Pangeran Adi Bintang  Sasoso keluarkan  suara  seperti meraung menangislalulari menghamburkeluar,diikuti oleh yang lain-lain.

Ketika sampaidi rumah sebelah memang di situ hanyaditemul Ki Demang Wesitegak kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangipintu. Winayu Tindi sama sekali takada di


tempat itu.

Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan  dua  ujung jari  tangan  kanannya  ke  punggung  untuk melepaskantotokanditubuh orang itu. Tapi gagal. Totokan itutidak musnah. Paras Si TapakApi tampak berubah.



"Ini bukan totokan  sembarangan!  Tak mungkin  gadis itu yang melakukannya lalu melarikan diri! Ada pengkhlanat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan

mata  berapi-api  lalu  menatap  semua  orang  yang  ada  di  situ  satu

persatu.

"Ka1au begitupendapatmu, berarticalon permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.

Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung danjatuhkandirike lantailalu menangis sepertianakkecil.

"Manusia gila! Sedeng!" maki Si TapakApidalam hati. Dia sama sekali   tidak   memperdulikan   sang   Pangeran.   Beberapa   kali   dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.



"Biar aku yang tolol danbanci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititl. Dia maju mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tibasekali dia menarik celana Kepala Desa Parangtritis ituhingga melorot kebawah. Di sebelah muka tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya yang jelek hitam.

"Manusia banci!Apa yang kau lakukan ini?!" teriak SiTapakApi sementara yang  lain-lain tampak  senyum-senyum dan Wiro  sendiri hanyagaruk-garukkepala.

"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat


pengunci totokananeh ini adadipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar  Ki  Demang  Wesi  kuat-kuat  dengan  jari  telunjuk  tangan kanannya. Ki Demang menjerit.

Duuutttt!

Angin  busuk  keluar   dari  bagian  bawah   Ki   Demang  Wesi membuat  semua  orang  menyumpah  dan  menekap  hidung  karena baunya yang sepertihendak meruntuhkan bulu hidung. Namun di saat itu  pula  Ki  Demang  Wesi  tampak  bergerak  lalu  menggeliat  dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokananeh luarbiasa itu.



"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!" tanya Si TapakApi.

"Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhkuterdorong ke depan dan ketika aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisabersuara. Winayu Tindi lenyap!"

"Kau  sama  sekali tidak melihat  siapa yang melakukan?" tanya

Dewa Tongkat Kedua.

Ki Demang Wesi menggeleng.

"Permaisuriku …   Permaisuriku!"   Kembali   terdengar   raungan

Pangeran Adi Sasoko.

"Pangeran  tenanglah.  Kita  pasti  menemukan  gadis  itu...."  kata Tatata Tititi. Tapi sang Pangeran terus meraung sepertianakkecil.

Tiba-tiba  seseorang muncul di pintu. Dia adalah  salah  seorang yang ditugasi memimpin satu kelompok pasukan.

"Ada apa?!" membentak Si TapakApi.

"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa. Badai darilaut mulaimenerjang tepi pantai. Pohon-pohon  bertumbangan.  Banyak  kuda  yang  terlepas  dan  lari.


Anggotapasukan mulairesah … "

Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang inibicara berbisik-bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor.   "Kembali   ke   tempatmu.   Beritahu   semua   orang  untuk bersiap-siap.  Kita  akan  segera meninggalkan  tempat  ini.  Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam, kuminta kaupergi bersama orang ini... "

Aryo  Ladam mengangguk  lalu  tinggalkan tempat  itu, tetapi  si pelapor masih tetap berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu halpenting terjadidi luarsanal Dua orang pengintai melihatada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur, utara dan barat, menujuke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"

Terkejutlah  semua  orang  yang  ada  di  situ.  Suasana  berubah tegang  sementara Pangeran Adi masih terus meraung-raung  sambil jambakirambutnya sendiri.

"Kurang   ajar!   Bagalmana   ini   bisa   terjadi   kalau   tidak   ada ponghianatan   diantara   kita!   Musuh   dalam   selimut!   Penyusup keparat…!" teriak Si Tapak Api sambil kepalkan kedua tangannya. "Lekas  mengaku!  Siapa  di  antara  kalian  yang jadi  penghianat  di tempat  ini!  Siapa  di  antara  kalian  yang jadi  mata-mata  Kerajaan! Kalau tidakada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi diluar sana!"

Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.

"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-apidan suara bergetarsaking marahnya. "Tidak apa kalautidak ada yang mau mengaku!Tapi dengarkalian semua! Malam lalukalian


telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalautidak dapat obat penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa! Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan

tahta Kerajaan  direbut, jangan harap  akan kuberikan  obat penawar

racun!"

Mendengar kata-kata  Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang adadisitujaditerkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat  ke  hadapan  Si  Tapak  Api.  Si  Pengupas  Kepala  angkat kedua   tangannya.   Si   Tapak   Api   mundur   selangkah.   Sambil menyeringai   dia  berkata,   "Aku  tidak  takut  mati!  Kalian  boleh membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu   kemudian!   Silahkan   pilih!   Ikut   bersamaku   meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau kalian memilih bunuh diri  sendiri-sendiri  dengan  racun  yang  ada  dalam perut  dan  darah kalian!"

"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu. "Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipudan mencelakai kami dengan racun dalam minuman?!"

"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak  baik  terhadap  kita!  Jangan-jangan  kita  hanya  dijadikan  alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.

"Tidak  satupun  di  antara  kalian  yang  akan  mati,  kecuali  para penghianat. Aku akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini... "


Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tibaangin dahsyat menderu. Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh ketika atap rumahitu terbang dihantamangin bersama sebagian dinding bangunan. Beberapa pohon disekitar tempat ituterdengar berderak bertumbangan.

"Badai sudah sampaidisini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.



Semua  orang  melompat  keluar  darl  runtuhan  rumah  kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan  meraung.  Si  Tapak  Api  cepat  angkat  tubuhnya  namun  sang Pangeran  meronta  sambil  berteriak-teriak.  "Aku  tidak  mau  pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergibersamanya!"

"Pangeran!  Permaisurimu pasti  akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan tempat ini!  Sebentar lagi badai  akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si TapakApi.

Tapi   Pangeran   berotak   miring    itu   malah   menjerit,    dan menggembor lalu menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan  kejengkelannya  lagi.  Begitu  sang  Pangeran  sampai  di hadapannya serta merta ditotoknyahingga kaku dan gagu.

"Pendekar  212!  Tugasmu  memanggul  tubuh  calon  Raja  kita!" memerintah Si TapakApi.

"Bukankah   tugasku   bersama   Pengemis   Kaki   Kayu   dan   Si Pengupas    Kepala    berangkat    duluan    menuju    Kotaraja    untuk menghabisi tokoh-tokohsilat Istana?" menjawab Wlro.

"Jangan toloi! Jangan berani menampik perintahku!" bentak  Si Tapak Api dengan mata mendelik.  "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira para tokoh itu masih buta tidak


mengetahul apa yang terjadi? Apa kaukira mereka enak-enakantidur danngorok?! Jalankan perintahku!"

Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi. "Bebanku berat!  Aku  tak bisa berjalan  cepat!  Kalian berangkatlah duluan!" ujar murid Sinto Gendeng pula.



Ketika  orang-orang itu berjalan menuruni bukit  dan  satu  demi satu memasuki goa panjang menujuke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu menyandarkannya kesebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro mengikat tubuh pangeran itukepohon tersebut!

Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro larike bagian timur bukit, menyelinap   ke   balik   serumpun   semak   belukar.   Sesosok   tubuh perempuan berpakaian biru yang basah kuyupolehair hujan, tampak dalam  kegelapan  malam.  Kedua  matanya  terpejam.  Perempuan  ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk diselamatkan laludisembunyikandi semakbelukaritu.

Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka.  Mulutnya  terbuka  dan  siap  untuk  menjerit.  Wiro  cepat menutup mulut sang dara.

"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari  tangan-tangan  pemberontak  itu   asalkan  kau  mau  menuruti nasihatku..."

"Kau!  Kau  menyebut  mereka  pemberontak,  kau  sendiri  salah seorang dari mereka!" tukas Winayu Tindi.

Wiro menyeringai. "Kau tidakbedadariku, anak manis..."

"Jangansebut akuanak manis! Aku bukananak-anak … "


Tapi  kalau  orang-orang  Kerajaan  tahu  kau  membantu  kaum pemberontak,  nasibmu  akan  lebih  buruk  dariku.  Sekarang  dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan kusir delman itu!"

Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiridengan cepat. "Siapa?!" tanyanya menjerit di antara deruhujan dan angin. Sementara malam tambah gelapdanudara dingin bukan main.

"Aku  akan  katakan  itu  nanti.  Yang  penting  mari  tinggalkan tempat celaka ini!"

Gadis  itu  tidak  menolak  lagi  ketika  Wiro  menarik  tangannya. Ketika  melewati  pohon  di  mana  Pangeran  Adi  terikat  sang  dara berbunyi. "Apa yang terjadidengan Pangeran gila itu?!"

"Dia  sedang  mimpi jadi  raja!  Dan  kau permaisurinya!" jawab

Pendekar 212.



"Kau  sama  saja  saja  sablengnya  dengan  Pangeran  itu!  Dalam keadaan  seperti  ini  masih  bisa  bergurau!  Keterlaluan!"  Winayu merengutjengkel tapidalam hati dia merasa geli juga melihattingkah laku pemuda itu.

Di mulut goa dengansusahpayah Wiro berhasil mendapatkandua ekor kuda yang sebelumnya memang ditambatkandisekitar situ.

"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalandisebelah belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan  dan  gelap,  tokoh-tokoh  silat  itu  punya  mata  setajam  setan! Jangan sampaikauterlihat oleh mereka!"



***


7



WIRO  MEMACU  kudanya  meninggalkan  Winayu  Tindi.  Saat  itu hujan mulai meredatetapitiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air lautnaik terus. Di bagiantepi pantai yang tertinggi mencapai  sebatas  kuku  kuda.  Di  sebelah  depan  ratusan  pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga orang Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayudan Si  Pengupas  Kepala.  Sedang  Tatata  Tititi  yang  memakai  caping menunggang kudaagak jauh diujung kanan pasukan.



Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan sajakarena hujan dan   angin   badai   tetapi   juga   karena   semuanya   kini   diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada apa yang kini mereka katahui  dan  hadapi  yaitu  munculnya  tiga  kelompok besar pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan. Padahal  sebelumnya  mereka  penuh  semangat  den  harapan  untuk menyerbu Kotaraja dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada   dalam   keadaan   lengah.   Kini   sebaliknya   malah  pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbudi pusat markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai alam berupahujan danangin serta pasukan musuh!

Wiro mengusap mukanya yang basah olehair hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata Tititi. Sejaraklima belaslangkah dari banci


berbaju  gombrang  merah  itu  mendadak  Wiro  mendengar   suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan kesempatan, selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana Pangeran Gila itu? Hik...hik...hik … "

"Eh, suara itulagi..." desis Wiro. Dia memandang kearah orang bercaping itulalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokohsilat yang terdekat  denganku..." Begitu berada  di  samping  Tatata  Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarakjauhitu! Dan aku yakin kau bukanbanci! Siapakau inisebenarnya badutcelemongan?!"

Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-breettt dia merobekipakaian merah yang dikenakannya.



"Hai! Kau mau menelanjangi diri  sendiri?!"  seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain pula cara gila manusia satu ini!"

Tatata Tititi terus saja merobekipakaiannya lalu mencampakkan pakaian ituketanah yang telah digenangi airlaut. Ternyata di balik pakaian merah yang adasulaman mahkota dankeris bersilang itudia masih  mengenakan  sehelai  pakaian  berwarna  hitam.  Selagi  Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini,  si muka celemongan angkat capingnya dari atas kepalalaluacuhtakacuhtapilebardaribambu ini dilemparkannya  ke  arah  kiri.  Benda  ini  melesat  deras  di  udara, menembushujan danangin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat.  Karena  begitu  caping  itu  menghantam  punggungnya,  serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa orang-orang di sekitarnya menyadarikejadian itu. Mereka hanya melihat sang Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.


Karena  kepalanya  tidak  lagi  memakai  caping  maka  air  hujan mengguyur wajah Tatata Tititi membuat luntur bedak tebal,gincudan alis yang celemongan itu. Kini kelihatanlahwajah yang asli.  Wajah ituberkulit hitam pekat!

"Hai!" Wiro berserukaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih?!"

Si nenek tertawa pendek.  Lalu buka mulutnya  lebar-lebar  dan masukkan jari-jari tangannya kedalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatanbarisan gigi-giginya yang terbuat dari emas.



Selagi Wiro tercengang-cengang, sinenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang  pemberontak  mahkota  dan  keris  bersilang  itu,  kau  akan merekacincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan pakaian itu!"

"Hem mm…  Jadi  itu  sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!"  Wiro berkata.  "Baju  darimu  ini  cukup bagus,  sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja yang aku robek!" Wiro angkat bagiandada kiri pakaian ke mulutnya, lalu menggigitsulaman benang merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri pakaian itukini bolong sebesartelapak tangan. Sulaman mahkota dankeris bersilang lenyap.

"Aku  tak  mau  kedinginan...."  kata  Wiro.  "Nek,  aku  tak  tahu banyak tentang dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam  ini  beberapa  hari  yang  lalu,  apakah  kau  bukannya  salah seorang daripentolanpemberontakitu?"

Nenek  Hitam  Bergigi  Emas  menyeringai.  "Anak  muda,  aku adalah salah seorang tokoh silat Istana yang berhasil menyusup ke 

dalam komplotan dan markas pemberontak. Kita sama satu haluan. Apa   salahnya   aku   mengajakmu   membantuku,   berbakti   kepada

Kerajaan!"

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?  Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu muka dan beradu senjata!"

"Kita harus berusaha menangkaphidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia  menang,  Pangeran  itu  akan  dibunuhnya  lalu  mengangkat  diri sebagai Raja..."

"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalukau ikut mencuri dengar pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.

Si  nenek  tertawa.  "Aku  berada  di  pohon  satunya  ketika  kau mendekam di pohon yang lain  .... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak Api. Yang lain- lainnya bagianku!"

Namun  terlambat.  Di  depan  sana  dua  ujung  tombak  pasukan sudah salingbertamu. Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Dua  pasukan  yang  berkekuatan  hampir  sama  baku  hantam.  Suara beradu senjata, pekikkesakitandan kematlanditimpal oleh ringkikan

kuda serta deruhujan danangin. Darah mengucur, membuat

air laut tampak merahdalam kegelapan malam.

Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga  Adipati  mengamuk  ganas.  Belasan  prajurit  Kerajaan  tewas  di tangan  mereka.  Seorang  penunggang  kuda  bertubuh  tinggi  besar merangsek   ke   depan   menghadang   gerakan   Aryo   Ladam.   Dia


membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberikesempatan menyerah, kecualikalau menginginkan mampus dengannoda memalukan!"

Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo

Ladam.


"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkankau menyebrang kepihakku atau akan mampus percuma!"

Majurai   si   perwira   tinggi   mendengus   marah   lalu   sabatkan kelewang di tangankanannya. Bekas bawahandan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingikehebatan atasannya  yang  memang  terlatih  dalam  pertempuran  di  atas  kuda. Kelewang Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena mengharapkanjabatan dan pangkat yang lebih tinggi  ini  terhuyung-huyung  dengan  dada  bersimbah  darah  lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya, sesudah itu nafasnyapun berhenti!

Majurai putarkudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata  golok  panjang  mengurungnya.  Tanpa  memberi  banyak kesempatan ketiga Adipati langsung menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapikeroyokan salah seorang dari tiga lawannya  namun  dirinya  sendiri  kemudian  menderita  dua bacokan

parah, membuatnya menjadikorban pertama berpankat tinggi dipihak

Kerajaan.

Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengansebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyoksi perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga  menunggang  kuda  cepat  menyongsong.  Dua  hantamkan


tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan golok. Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan  berkilat  sinar  biru  hampir  kehitaman.  Terdengar  suara menderu lalu suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka  sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkandi dada, leher, perut dan kepala. Darah mengucur. Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh danjatuhke tanah yang digenangiairlaut.



"Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika  mengenali   siapa  adanya  penunggang  kuda  yang  barusan membabat  empat  prajurit  dengan  satu  gebrakan  saja!  "Dia  bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan berada dipihak

Kerajaan...?!"

Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi  tergetar.  Yang  muncul  lagi-lagi bukan  tokoh  silat  Istana, tetapi  dua  datuk dunia persilatan golongan putih yang  sama  sekali tidak  diduga  akan  muncul  di  pihak  Kerajaan.  Mereka  adalah  Si Benang Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang ke jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi bertongkat hingga  berbentuk  payung  kecil  dan  satunya  lagi  sebuah  kelewang yang memiliki rantai-rantai kecil. Pada  setiap ujung rantai terdapat


potongan  besi  berbentuk  mata  tombak!  Si  Tapak  Api  sama  sekali tidak takutkandua tokohsilat Istana ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya harus memutar akal dengan cepat.  Dia  memandang  ke  arah  Ki  Demang  Wesi.  Kepala  Desa Parangtritis  ini  tak  bakal  sanggup  menghadapi  salah  satupun  dari tokoh  silat Istana itu. Maka  dia berseru  dan memberi isyarat pada

Sepasang  Tombak  Dewa,  bahkan  berteriak  ke  arah  Si  Pengupas

Kepala.

"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokohsilat Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"

Ki  Demang  Wesi  segera  menghambur  ke  arah  di  mana  Wiro Sableng berada.  Tapi begitu  dia menghampiri pendekar  ini, belum sempat  membuka  mulut,  satu  totokan  keras  menghantam  pangkai lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.

"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas. Lalu perempuan initarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang  ini  menghadap  ke  arah  pantai.  "Pergi  ke  tepi  pasir  dan tunggu  di  sana!"  Si  nenek  usap  kepala  binatang  itu,  lalu  tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu, sikudaberlari menuju ke pantai, tepat dariarah mana Winayu Tindi mendatangi.

"Tapak  Api,  kulihat  urusan  bisa  jadi  kapiran  tidak  karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.

"Apa maksudmu?!" tanya Si TapakApi.

"Aku tidaktakut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka,


bagaimana  dengan  obat penawar racun  itu! Kami tidak  ingtn mati konyoldiharike tiga belassedangkankausudah mampus duluan!"

"Aku tidak akan mati lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu! Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu  adalah  suara  kuku-kuku jari  SI  Pengupas  Kepala  yang  seperti potongan-potongan besitipis dantajam.

"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Sf Pengupas Kepala.  "Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu! Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi  punya  maksud  busuk  tersembunyi.  Perjuangan  yang  katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kauakan membunuhPangeran itulalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau racuni secara kejiakankaubiarkan matikonyol!"

Paras  Si  Tapak  Api  berubah.  "Dusta  keji!  Manusia  banci  itu ternyata seorang tukang fitnah!"

Terdengar  suara  tertawa  gelak.  Semua  orang  berpaling  dan melihat Pendekar 212 beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah merekalihat.

"Sahabatku  Tatata  Tititi  tidak  pernah  dusta  dan  tidak  pernah fitnah! Dua malam lalu aku turut mencuridengar rencana kejimu itu waktukau bicarakandengan Ki Demang Wesiseusai pertemuan!"

"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"

Si nenek  di  samping Wiro tertawa ngekeh.  "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulahorangnya"


"Penyusup  pengkhianat!  Sepasang  Tombak  Dewa!  Bunuh  tua bangkakeparat bermuka hitamitu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar  Sableng  ini!  Sejak  semula  aku  memang  sudah  curiga padanya!"

Sepasang  Tombak  Dewa  serta  merta  menyerbu  Nenek  Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Apt gosokkankedua tangannya keras- keras.  Terdengar  suara  meletup.  Lidah  api  keluar  dari  sela  kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar kearah Wiro Sableng!

Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut    Kapak    Naga    Gent    212.    Terdengar    kuda    yang    tadi ditungganginya meringkikkeras,disusul baudaging hangusterbakar. Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagiantubuhnya hangusdihantam lidahapi serangan Si TapakApi!

Sepasang  Tombak  Dewa  sebelumnya  sudah  tahu  betul  siapa adanya   Nenek   Hitam   Bergigi   Emas,   maka   begitu   menyerang, keduanyasudah pergunakan tombak pendek masing-masing.

Tiga tokohsilat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar  Paku  Beracun  tampak  terheran-heran  ketika  melihat  di antara  sesama pentolan pemberontak  saat  itu terjadi  saling  serang! Lain halnya  dengan  dua tokoh  silat Istana yang membekal  senjata aneh. Mereka sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang   sengaja  disusupkan  ke  dalam  komplotan  pemberontak, namun mereka tidak mengenal  siapa  adanya pemuda yang  saat itu diserang SiTapakApi dengan lidahapinya yang ganas.

Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kudalalu meniupnya kuat-kuat. Mendengartiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan hentikan pertempuran  dan  cepat mundur


sampai  sejarak  lima  tombak  dari  pasukan  pemberontak,  membuat pasukan pemberontak terheran-heran.

"Kalian akandiberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls

Pedang Biru.

Teriakan   ini   dikumandangkan   lagi   oleh   beberapa   perwira Kerajaan. Demiklah sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengardandiam-diam mereka merasa gembira. Saat itu   sebenarnya  kedudukan  mereka  telah  terjepit  dari  tiga  arah. Semangat hampirpatah,apalagiketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku hantam satu sama lain! Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tokoh-tokoh  silat  Kerajaan  itu  bersama  belasan  perwira  langsung membentuklingkaran, mengurung kalangan pertempuran.

Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelakketika dapatkandirinya diserangoleh Sepasang Tombak Dewa.

"Pengkianat-pengkhianat tolol!Apakah kaliantidak punya senjata lain hingga menyerangku denganular-ularlaut?!" Si nenek berseru.



"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.

Tapil  terlambat.  Sepasang  Tombak  Dewa  dalam  keterkejutan mereka  sama  melihat  pada  pedang  masing-masing.  Justru  inilah kesalahan mereka karenadisitukekuatan sihirsi nenek muka hitam. Tombak itu sebenarnyatidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu  dan  adiknya  Tombak Dewa Kedua,  senjata mereka tampak benar-benarseperti seekorularlaut. Panjang hijau dan licin berkilat!

Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing. Begitu  senjata  itu jatuh  ke  air  laut  ternyata  kini  mereka  melihat kembali bentuk astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-


cepat keduanya melompat  dari  alas kuda untuk mengambil  senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya  tergulung  oteh benang putih  halus  tapi  semakin  dicobanya membebaskan   diri,   semakin   kencang   tubuhnya   teriris.   Itulah kehebatan  senjata  tokoh  silat  bergelar  Si  Benang  Malaikat!  Dua pentolanpemberontak itujadi tak berdaya. BeberapaperwiraKerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru menotokkeduanya.

Kini  semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi  antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan  pada  Pendekar  Paku  Beracun  siapa  adanya  pemuuda tanpa pakaian yang bersenjatakankapak tengah menghadapi SI Tapak Api itu.



"Apakau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilatditangankanannya...!"

"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!" berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangkadia muncul disini danikut berbaktipada Kerajaan...!"

Si   Tapak   Api   menghujani   Wiro   dengan   serangan-serangan dahsyat. Setiappukulan atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya  maka  lidah  api  yang  panas  berkiblat.  Wiro  merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian kemari dan menyadarikalaudiatakbisa bertahan lebih lama maka pendekar ini  segera  putar  Kapak  Naga  Geni  212.  Sinar  putih  menyilaukan membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung sepertiseribu lebah  mengamuk.  Lidah  api  serangan  SI  Tapak  Api  terpental  dan


membalik  menghantam  ke  arah  Si  Tapak  Api  sendiri.  Orang  ini berteriak  kaget  dan  kesakitan.  Lidah  api  membakar  muka  dan  se- bagiandadanya! Dia jatuhkandirike tanah dancelupkan kepala serta tubuhnya keairlaut sakingtidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu terkena air lout, rasa sakitnya malahsemakin menggila. Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi diatidak dapat melihat  apa-apa.  Kedua matanya yang  terbakar  lidah  apinya sendiri ternyata kinitelah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalulari menghambur merancahair laut.

Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun  lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk  saku  pakalannya.  Gerakan  ini  terlihat  oleh  Si  Pengupas Kepala  dan  Si  pengemis  Kaki  Kayu.  Keduanya  yang  kawatirkan ancaman  maut  yang  bakal  merenggut  nyawa  mereka  jika  tidak mendapatkanobat penawar, padahalobatituadapada Si Tapak Api, Mereka sama-sama berteriak, "Jangan bunuh dia!"

Namun terlambat. Dua buahpakuberacun sudahkeburu melesat. Satu menacap di batokkepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya. Orang initersungkur ke dalam genangan airlaut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!

Pengemis   Kaki   Kayu   dan   Si   Pengupas   Kepala   sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledahpakaiannya. Tapi merekatidak menemukanobat itu!

"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.

"Apakahini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanyadisusul suara tawa mengekeh. .

Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.


Dia melihat Nenek Hitam Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih. Keduanyajadi beringas lalu melompati sinenek. Tapi maksud  mereka  mengambil  obat-obat  penawar  itu  tidak  berhasil karenasinenekcepattariktangannya.

"Aku  bersumpah  membunuhmu  jika  kau  tidak  berikan  obat penawar  racun  itu!"  teriak  Pengemis  Kaki  Kayu  lalu  angkat  kaki kayunya yang merupakan senjata.

"Tunggu dulu!" berteriak SI Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang obat penawar?!"

Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik  Si Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas butir! Hik..hik..hik...! Aku akan berikanobat inipada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkandiripada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dandiadili sesuaidengandosa-dosakalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"

"Kalau  begitu  biar  kami  memilih  mati  bersamamu!"  teriak  Si Pengupas Kepala. Lalu  dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas. BegitujugaPengemis Kaki Kayu.

Terdengar   suara  bergemerincing  jari-jari  kuku   Si  Pengupas Kepala ketikaberkelebat menyambar ke arahbatokkepala si nenek. Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akanterkelupas dankepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat ituu menyambarsinar putih yang sangat menyilaukan.

"Anjing  kurap!  Berani  kau  ikut  campur!"  teriak  Si  Pengupas Kepala  begitu  melihat  Wiro  menghantamkan  kapaknya  memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kinidiarahkan untuk menangkap


tangan dan lengankanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putarkapaknya. Tring-tring-tring.... Si Pengupas Kepalaberserukaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang sekeras besiitu somplak!

"Pendekar gagah!  Serahkan dia padaku!  Sudah lama aku ingin menjajal  tukang  kupas  kelapa  ini!  Ha…ha...hah....!"  Yang  berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-putar gulungan benang halus berwarna  putih.  Melihat  ada  lagi  yang  hendak  menyerangnya,  Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat benang halusdi tangan Si kakekberambut putih bergulung-gulung ke arahnya.  Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masihutuh.



Des ...des...des...

Ujung benang saktiberputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang danyakindapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kinidiulurdan tampak makin panjang. Si Pengupas  Kepala  kembali  menggebrak  dengan  kedua  tangannya. Sekali  ini  serangannya  luput.  Malah  ujung  benang  menyelinap  ke bawah  dan  tahu-tahu  kedua  tangannya  sudah  terlibat  mulai  dari pergelangan tangan sampaikebawah bahu!

"Setan haram jadah!" maki  Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskanikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dandarahmulal mengucur. Sadar kalau dirinyatakbisalolos, tokoh silat  sesat  ini jatuhkan  diri  dan  duduk  menjelepok  di  tanah  tanda menyerah!

"Hebat  sekali kekuatan benang  itu!" membatin Wiro  di  dalam hati.  Ini mengingatkannya pada benang  sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.


Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh  silat  sangat  berbahaya  itu  Si  Benang  Malaikat  turun  dari kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawake Kotaraja. Tapitidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya, tubuh yang duduk  menjelepok  di  tanah  itu  tiba-tiba  melesat.  Kaki  kanannya menendang denganderas.

Dukk!

Tendangankerasitu menghantam dadasi Benang Malaikat tanpa pendekar  tua  ini  sempat  mengelak.  Tubuhnya  terpental  dan  lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya menyembur darah segar.



"Pembokong   jahanam!"   teriak   Iblis   Pedang   Biru.   Pedang mustikanya   langsung   membabat.   Sinar   biru   pekat   berkiblat   di gelapnya  malam.   Sesaat  kemudian  kepala   Si   Pengupas   Kepala menggelinding di atas pasir.

Melihat    kejadian    itu    Pengemis    Kaki    Kayu.    Merasakan tengkuknya  dingin.  Begitu  banyak  tokoh-tokoh  silat  kelas  satu  di sekelilingnya.   Tak  mungkin  baginya  untuk  menghadapi  mereka semua.   Tapi   untuk   menyerah   begitu   saja   tentu   tak   mungkin

dilakukannya.  Maka  diapun  berpaling  pada  Nenek  Hitam  Bergigi

Emas.

"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan  teluk  ini  dan  melupakan  semua  silang  sengketa  di antara kita!"

"Silang sengketakatamu?!" sinenek tertawa

"Ini bukan silang sengketakaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan!   Kau   berkomplot   untuk   merebut   tahta   Sri   Baginda!


Memimpin  pembunuhan  terhadap  prajurit  dan  perwira  serta  kami tokoh-tokohsilat Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"

"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada kami?!" Iblis Pedang Biru bertanya.

Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.

"Satu tanganmudan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.

"Aku memilih bertempur melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"

Sebagal jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu  susul melompat.  Begitu  berhadapan  dengan  lawan,  kaki  kayunya  yang terbuat  dari  kayu  yang  merupakan  senjata  langsung  ditusukkan  ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke bawah.


Traang!


Pedang dan kaki kayuberadukeras. Sungguh hebat, pedang sakti dantajam itutidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidakbisadianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan kilat padatitik kelemahan lawan  yakni  tubuh  sebelah  kiri  yang  menjadi  tumpuan  kekuatan Pengemis Kaki Kayu. Berkelahi dialas pasir yang digenangiairlaut ternyata bukan hal yang mudahbagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjaditumpuan bobottubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkankaki kayunya beberapakaliterseok akibatlekatan pasir dan genangan air. Ketika lawannya mengajak bertempur berputar-putar,


tokoh  silat yang ikut terbujuk memberontak inijadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulaikehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini membuatnya  menjadi  nekat  dan  coba  menyerang  dengan  segala kekuatan  dan kemampuan yang  ada. Akibatnya  dengan mudah  dia dijadikan  bulan-bulanan   ujung  pedang   oleh   Iblis   Pedang   Biru. Pengemis Kaki Kayu hanya  sanggup bertahan  satnpai  empat belas jurus di muka bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal denganjiwanya sendiri. Ujung pedang menembus dada kirinya, tepat diarah jantung!

Teluk yang gelapkinidiselimutikesunyian. Hujan telah berhenti, angin  badai  mulai  mereda.  Pertempuran  antara  dua  pasukan juga sudah  berhenti  meninggalkan  puluhan  korban.  Mulai  dari  prajurit rendah sampal perwira dan tokohsilat.

Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura kearah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para tokohsilat Istana.



"Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"

"Hai!  Kau  mau  ke  mana  pendekar  gagah?  Ikut  kami  dulu  ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.

"Astaga! Aku baru  ingat  dia!  Di mana  Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis Pedang Biru.

Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas.  "Menurut Pendekar 212 tadi, diatelah menotoklalu mengikatPangeran itupada


sebatang  pohon  di  bukit  tak  berapa jauh  dari  mulut  goa  sebelah selatan. Sebelum air pasang naiklebih tinggi, sebelum goa terendam, kita  harus  mengirimkan  orang  untuk  menyelamatkannya.  Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh  Si TapakApi dan Ki Demang Wesi...."

"Kepala  Desa  Pemberontak  itu!  Aku  baru  ingat!  Dia  tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang Biru.

Si nenek muka hitam mengangguk.  "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan...."

Semula Winayu Tindi berniathendak menjauh ketika seekor kuda dengan     penunggang     yang     terbujur     menelungkup     bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa langkah saja lagidan dia  mengenali  siapa  orang  yang  tertetungkup  di  atas  punggung binatang itu,kagetlah gadis ini.



"Pakde!" teriaksi gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalulari kearah orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana...?" Tubuh danwajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah  payah  Winayu  Tindi  menurunkan  tubuh  Ki  Demang  Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapaiketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah    sendiri    itu    ke    bagian    yang    agak    ketinggian,    lalu membaringkannya  di  situ.  Kebetulan  ada  sebatang  pohon  kelapa. Punggung  dan kepala  Ki  Demang Wesi  disandarkannya ke batang kelapa.  Lalu  kembali   dia  berusaha  membangunkan   orang  yang disangkanya pingsan itukarenadia tidak melihat adanya bekas-bekas


luka.  Setelah  berusaha  berulang  kali  tak  juga  berhasil  akhirnya Winayu Tindi mulaikeluarkan suara sesenggukan menahan tangis.

Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama diategak menangis di tempat ituketika dikejauhandilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya kearah tempat dia berada.

Yang  datang ternyata  adalah pemuda yang  dikenalnya  sebagai penculik dirinya dan yang sebelumnya jugatelah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.

"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakahkau menangisi orang itu? Dia cuma pingsankarenaditotok."

"Saudara  lekas kau  tolong  dia.  Lepaskan totokannya!" berkata

Winayu Tindi.



"Kecintaanmu pada Ki Demang Wesibesarsekali, bukan?"

"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahkusendiri!" sahut sang dara.

"Justru dia adalah manusia paling kejidan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.

"Maksudmu.... ?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.

"Ingat, akuberjanji akah menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan jugakusir delman itu? Dialah orangnya!"

Winayu Tindi sepertidisambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya.  "Aku  tidak  percaya.  Kau  berdusta.  Memfitnah.  Dia orang yang aku anggap sepertiayah sendiri? Pakdeku!"

"Jika  kau  tidak  percaya  kau  tanya  sendiri!" jawab  Wiro  lalu lepaskan jalan  suara  Ki  Demang  Wesi  tapi  tubuhnya  tetap  dalam keadaantertotok.


"Pakde...Benar kau yang membunuh  ayah  dan ibu...?" Winayu Tlndi bertanya begitu melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.

"Siapa yang mengatakan fitnahdan bohong besar itu, anakku?"

Winayu Tindi menuding kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi pemuda itu.  "Bangsat! Kau memang tidak kupercayasejak semula! Dialah yang membunuhkedua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo haritapi berhasil melarikandiri!"

"Keparat kalaubegitu...!"

"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu   dilihatnya   sang   dara   menjadi   galak   dan   melangkah   ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika kau tidak percaya padaku. Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka menolakuntuk bergabung dengan   komplotannya,   memberontak   pada   Kerajaan.   Ayahmu mengancam akan melaporiaan kamplotan ituke Kotaraja.


 Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, jugaibumu dan kusir delman itu untuk menutup  rahasa.  Bahkan  ibumu...  dia  merusak  kehormatan  Ibumu sebelum membunuhnya!"

"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.

"Apa  yang  dikatakan  sahabat  mudaku  itu  tidak  dusta!  Kau memang manusia paling busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadisaksi atas apa yang diucapkan Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itutelah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.

"Winayu  anakku!  Jangan percaya pada  omongannya.  Dia juga sama dustanya dengan pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi.

Si  nenek  ganda  tertawa  lalu  lemparkan  segulung  kertas  pada Winayu Tindi  seraya berkata,  "Bacalah! Itu  surat Perintah dari  Sri


Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi.  Surat itu sudah lama kusimpan.    Hanya    saja    keadaan    tidak    memungkinkan    aku mengeluarkannyalebih cepat!"

Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang  tertera  di  situ.  Di  sebelah  bawah  terdapat  cap  Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh  ke  dalam  air  laut.  Tiba-tiba  gadis  itu  menjerit  dan  lari  ke hadapan  Wiro.  Sebelum  pendekar  itu  sadar  apa  yang  dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di pinggangnya  ditarik  lepas.  Lalu  ada  sinar  putih  berkiblat  disertai gaungan keras.



"Winayu!   Jangan!"    seru   Wiro   ketika   melihat   gadis   itu menghantamkan  kapak  ke  batok  kepala  Ki  Demang  Wesi.  Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu. Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannyatertahan. Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batokkepalanya yang hampir terbelah.

Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusandilakukannya. Lalu gadis ini berdiriterhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang  lain melepaskan  Kapak Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelumjatuh keairlalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.

Pasang semakinnaik. Malam bertambah gelap danudara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itulalu menaikkannyake atas punggung  kuda.  Jiwa  yang  tergoncang  membuat  Winayu  menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke punggung kuda  dan  duduk  di  sebelah  belakang  sang  dara,  menjaganya  agar


jangan sampai jatuh.

Tiba-tiba  ada  suara  mengiang.  "Pendekar  muda,  aku  merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik…hik...hik...!"

Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas takada lagi di  tempat  itu.  Tapi  pasti  sekali  dialah  yang  barusan  mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng hanyabisa menyerigai. Dan   hidungnya   jadi   kembang   kempis   ketika   Winayu   Tindi menyandarkankepalanya ke dadanya.




                                  TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Created  : matjenuh mau

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive