1
SIANG ITU laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis. Burung- burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknyasinar sang surya.
Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masing- masing untuk persiapan turun ke laut malam nanti. Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-
pohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketikatelinga merekamenangkap suara tiupanseruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup sulingbambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaianayahnya...." berkatasalah seorang nelayan lalu menyedot
rokok kawungnyadalam-dalam.
Ketika anak dan kerbau bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru, "Bocah pintar! Berhentisajadibawah pohon kelapa sana! Teruskan meniupsulingmu agar kami terhibur!"
Anak di atas punggung kerbau tertawa lebar. Dia mengacung- acungkan suling di tangan kanannya dan terus berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah berlawanan jalannya kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang seperti dikejar setan sambil tiadahentinya meringkik dan melejang-lejangkan kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawakerbaunya ke tepi jalan. Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekikketakutan, melompat turun dari punggung kerbaudan lari sekencang-kencangnya ke arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu. Mukanyapucat dannafasnya memburu.
"Ada apa Kambali?!" bertanya seorang nelayan.
"Del.... delman itu " bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke arah delman yang saat itu hampir lenyap dikelokanteluk. Semua orang memandang ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, darikejauhan para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang. Tetapi Kambali yang tadi sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbahdarah malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikutbicara, "Bukankahitu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali katakan lekas! Kau melihat sesuatu! Mengapawajahmu pucat dantubuhmu menggigilanak?!"
"Ada tiga orang.... ada tiga orang di atas delman itu," menerangkan Kambali. "Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang darah.... Sayatakut ...."
"Anak initidak dusta! Sesuatu telah terjadi!"
"Jangan-jangan...."
"lebih baikkitaberlari mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumahkediaman Ageng Lontar!"
Tanpa diberiaba-abalagi, semua nelayan yang adaditeluk serta merta lari berhamburan kearah lenyapnyakuda penarik delman tadi. Mereka lari menujurumah kediaman AgengLontar, juraganikan yang memiliki belasan perahu sekaligus juragan ternak yang mempunyai puluhankerbau dan sapi, belumlagi kambing itik dan ayam. Di kaki bukit sebelahtimur sawahnya puluhan petak. Ageng Lontar memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenalbukan saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantianjabatan bulandi muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini angsrok ke tanah tak berkutik. Dan didalam delman yang tersungkur miring ke tanah, tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya dilihat danditerangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga sosok tubuh bersimbah luka dandarah mulaidarikepala hingga ketubuh. Meskipun wajah- wajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih dapat mengenali denganjelas siapaadanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuahdari matanya takada lagidirongganya!
Orang kedua yang bernasib malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka padawajahnya tidak seberapa dantubuhnya hampir sepertitidakberpakaian lagi. Mungkin dirobek sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang jauhlebih mudah dari Ageng Lontar initelah diperkosakarena pakaiannya di sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak dilantaidelman sebelah depan adalahpemuda yang dikenal dengan nama Jajamat, orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai kusir kereta keluarga Ageng
Lontar.
Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar. Siapa yang telah melakukan pembunuhan keji biadabseperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta kusir delman! Siapa pelakujahanamitu? Gerombolan rampok? Tak ada rampok malang melintang di teluk Parangtritis
bahkandi pantal selatanwaktu itu. Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab. Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengarpekik perempuan. Seorang gadis menghamburlarike arah delman sambil tiada henti berseru memanggil. "Ayah.... ayah!" Tapi begitu sampai didepandelman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si gadis langsung pingsan dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar seorang berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara lalnterdengarlantang.
"Menyingkir! Apa yang terjadidisini?"
Orang banyak yang berkerumun di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal. Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Ki Demang! Untung sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan istrinya dibunuh orang. Juga kusir
Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorongdan menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman. Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami akan membantumuKepala Desa!" jawab orang banyak.
Ki Demang memandang berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya tertancap pada seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan kepala. Pakaian putihnya yang lusuh di bagian dada lampak ada warna merah. Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa pembunuhnya!" ujar Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada Kepala Desa merekaitu. Ki Demang angkat tangankanannya, menunjuk tepat-tepat pada pemuda berpakaian putih lalu berseru, "Tangkap pemuda gondrong itu!"
Beberapa orang dengan cepat mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya,adapula yang menjambakrambutnya.
"Hai! Apa-apaan in?!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan pegangan orang banyak. Tapi tidakbisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan ini?!" pemuda itukembalibertanya.
"Jangan banyak tanya! Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan jugakusir delman!"
"Tuduhan gendeng!" teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di tempat ini! Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau orang asing di sini! Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam delman!"
Si pemuda memperhatikan percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah … "
"Nah apalagi! Kau sudah mengaku!" ujar Ki Demang.
"Kata-kataku belum habis! Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh danaku sampal didekatnya! Lihat saja, saat inipun masihadadarah yang menetes dari lantaidelman!"
"Siapa percaya ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa pembunuh itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh, si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya jatuhtergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali lagikauberani melawan akan kusuruh semua orang di sini mencingcangmu!" Ki Demang Wesi berteriak marahdan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku bukan pembunuh! Siapa yang berani melarangaku membeladiri!"
.
berteriak, "Bunuh pemuda itu!"
Orang banyak berteriak ikut terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai. "Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di tangan kanannya kearah mata kiripemuda yang berada dalam keadaandicekal orang banyak.
Jauh sebelum menjadi Kepala Desa, Ki Demang Wesi adalah
murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul. Kabarnya guru silat itujuga memiliki berbagaikesaktian yang kemudianditurunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih punya kaitan atau hubungandengan guru silattersebut karena Ageng Lontar pernah pula berguru padaadik guru di Bukit Tunggul. Dengan kata lain antara Ageng Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungandekat lewat guru masing-masing.
Pemuda yang diserang dengan tongkat kearah mata kirinya tentu sajaterkejut melihat bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan adanya sambaran angin mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu akhirnya meledak juga. Didahului satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki kanannya menendang ke depan.
Empat orang mencekal si pemuda terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah. Meskipun mereka tidak cidera namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti diserang demam
panas.
Untuk beberapa lamanya ke empatnya terhampar ke liangan.
Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si pemudadapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih terkejut ketikatusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam kearah selangkangannya!
MaklumlahkiniKepala Desa itubahwa pemuda yang dituduhnya sebagaipembunuhsuaml istriAgeng Lontar dan kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda sembarangan, tapi pasti sekali memiliki
"isi".
"Bagus! Rupanya kau mengusalilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa lolos dari tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih itu. "Akutidak melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar seperti titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata inikembali dia menyerang pemuda itu.
Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa kali. Memasuki juruskeduaterdengar pemuda ini berseru, "Lihat tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan. Tongkatnya menderu ke arah dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi kaget ketika dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah memegang ujung tongkatnya padahal ujung senjata ituhanya tinggal seujung kuku dari tenggorakan lawan!
Kepala Desa Parangtritis coba selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si pemuda telah lebih dulu membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnyahanyalah bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedangdi tangankanan Ki Demang saat itu tampakbagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap dengan mata pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu
adalahsebuah golok pendek yang tajamberkilauan!
Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.
"Pembunuh, kau telah tolong membukakan sarung senjataku. Berarti kau memang sudah siap untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemudabalas mengejek. "Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata begitupemuda ini bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampaisetengahnya.
"Kau kira aku takut dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda! Tapi di hadapankukauharusserahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan golok pendeknya. Senjata ini mengeluarkanangin deras menebar hawadingin. Pastilah inisebuah senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepaia Desa itu menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke sana ke mari. Tetapi dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari tusukan atau sambaran golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di sekian banyak mata penduduk Parangtritis. Didahului oleh bentakan garang dia rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola karet yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar. Pemuda ini berserukaget dan melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek pakaiannya di bagian dada, tapi kulit
dadanya jugaada yang ikuttergurat!
"Kepala Desa sialan … " maki sipemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus menelannya sekalian!" Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri pakaiannya di bagian depan. Robekan kain pakaian dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang Wesikembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat yang aneh sepertitadi.
Hanya sajakali ini diakecele. Kehebatan dan keanehan ilmu silatnya itu menjaditidak berguna karena pemuda lawannyakini telah pula mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya sepertl orang mabuk sempoyangan kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli itu merupakan sasaran serangan yang ernpuk. Tapi sungguh aneh, setiap dia menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerakke jurusan lain sementara tangannya yang memegang buntalan kainbergerak-gerak berusaha menggapaikearahmulutnya! Ki Demang merangsak sekali lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar suaranya seperti tercekik. Sesaat kemudian halaman rumahAgeng Lontarjadi ramaioleh suara tawa orang banyak,padahal di situ masih tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang terjadidan apa yang kinidisaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiridengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu celana luar dan celana dalamnya kelihatan merosot sampaike lututhingga aurat terlarangnya tersingkap denganjelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengandirinya, tapidiatakbisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk
menarik celananya ke atas. Kepala Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak hampir semuanya tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagidi tempat itu.
***
2
MESKIPUN HATINYA kini lega dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh Ageng Lontar dan istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia menyingkap tabirrahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa masih mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi dia masihada satu keperluan pentingdi timur.
"Kepala Desa sialan! Enak saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian. Diperhatikannya pakaian putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda debu dan darah sambil jalan akhirnyapakaian itudibuka laludilemparkannyake semak-semak di tepi jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat.
"Manusia sial dangkalan! Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"
Sf pemuda yang telah berjalan beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan kepalanya. Astaga! Di pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak berjongkok seorang berpakaian serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau perempuan karenasekujurkepalanya sampaikewajah tertutup olehpakaian putih yang tadi dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu dia muncul di situ dan gila betul! Masakan
aku mau-mauan mencampakkan bajuku menutupi kepalanya begitu
rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang jongkok di tepi jalan, lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat tampaklah wajah orang itu. Ternyata dia seorang nenek bermuka hitam yang ketikamenyeringai tampaklah deretan gigi-giginya yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda yang memang Wiro Sableng menjadi terkejut karenatidak menyangkanenek itu mengenal dirinya sedangia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu sebelumnya. "Aku sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya saja tidak menduga kalau begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua! Berani melemparkan pakalan busuk sampai-sampai menutupi muka dankepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek, memberi hormat membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan maksudkuberlakukurang ajar. Tapiwaktulewattadi sama sekalitidak melihatmudisini. Kalau kau memang adadisini masakanakuberani berlakusekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat terkena sinar matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia memang bukan sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa
kupercaya!" berkata sinenek sambilgeleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang keriput terus saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun yang menyambar dari balik semakbelukardan kau tidak sempat melihatnya berarti kau akan matikonyolanak muda."
Wiro yang tak mau berdebat dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya manggut-manggut saja lalu berkata, "Harap maafkandiriku..."
Si nenek balas mengangguk. "Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa sengaja hendak memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu.... ?"
Astaga! Wiro baru sadar. Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia tidak menyadari senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik pinggang celana. Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus mengenakan kembali pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia hendak mengambil pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan tubuhmu!" lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Sesaat kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata masih sangat baru. Pakaian itudilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!" seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan panjang dengan potongan kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih… " Wiro segera berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok sekali dengan tubuhnya.
Pakaian putih itu terasa enak dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak sulaman benang merah bergambarkan mahkota dan keris silang.
"Kau senang mengenakan pakaian itupendekar muda?" sinenek bergigi emas bertanya.
"Senang sekali nek, sedap dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa artisulaman gambar mahkota dankeris bersilang ini?"
"Ah, ituhanyasekedar gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau gambar ular takada bedanya…" Sambil bicarasi nenek mematahkan sepotong belukar kering di samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada garis panjang,ada yang berbentuk bola, garis bersilang danterakhir sekali si nenek membuat garis panjang mulai dari tepi jalan di sebelah depannyasampaitepi jalan didekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah, hanya iseng saja. Orang sepertiku mana pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan pakaian itupendekar muda. Aku jaditeringat pada Suto Engging. Wajah dan potongan tubuhmu banyakkesamaannya dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto Enggingitunek?"
"Kekasihku di masa muda, Lima tahun yang lalukami berpisah. Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapiaku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau pasti memiliki paras cantik jelita. Sekarangpunkau masihkulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya. Tapi hatinyaberbunga-bunga
mendapatpujian itu dan tertawalah dia mengekeh. "Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang. Pangalaman hidup jadi bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup itu pula yang mengajarku agar tidak melakukan perkawinandengan siapapun! Dan percaya atau tidak anak muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang perawan sejati! Hik… hik... hik...!"
Wiro merasa tenggorokannya sepertitercekik dengan keterangan sinenek. Dia cepat-cepat mengangguk dan berkata, "Aku percaya nek. Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua kulihat tubuhmu masih kencang, tak banyak guratan diwajahmu … "
Si nenek tertawa panjang sampaikeluar air mata.
"Nek, aku harus melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pastitahubanyak tentang diriku. Sebelumkitaberpisah maukah kau mengatakan siapadirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang memanggilku Nenek Hitam Bergigi Emas. Hik...hik..hik..."
"Terima kasihkautelah menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasihlagi atas pemberian pakaian ini. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati garis panjang yang tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wino merasakan seperti ada satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia tidak bisa meneruskan langkah, malah kakinya terbanting ke belakang. Dicobanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga tetapi tetap saja dia tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun berpalingpadanenek yang
saat itu masih tetap jongkok ditepi jalan sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, matakujadi terbuka betapa luas dan tingginya ilmu kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku miliki sekarang hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan. Mohon diberikan petunjuk...."
Si nenek tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh peradatan. Mengapa banyak orang mengatakannya kurang ajar, konyoldan bersifat seenaknya? Ah, lama-lama aku bisa jatuhhatipadanya"
"Nek, kauseperti melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewatigarisaneh yang kaugurat di tanah ini..."
"Oh itu! Mudah saja anak muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garisitu. Setelah garishapus kau bisa lewat.... " menjawab
Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang dikatakan si nenek. Dia membungkuk. Dengan telapak tangan kirinya dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah jalanan. Setelah hapus dia coba melangkah. Ternyata dia kini bisa melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong takada lagi.
"Kau luarbiasa nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan tangan kanannya ke mulut. terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan perempuan ini, pikir Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya seraya berkata, "Ambillah! Mungkinada gunanya di saat kau kesusahan..."
Wiro ulurkan tangannya. Si nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda. Ketika diteliti ternyata sebuah gigi emas yang
masih basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima pemberianmu ini nek," kata
Pendekar 212.
"Kau jijik?!"
"Tidak..." jawab Wiro agak gagap karena memang walau gigi palsuitu terbuat dari emas namun ada rasa jijikdalam dirinya. "Jika inikauberikan berarti kauakan kehilangan salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya banyak persediaan gigi seperti itu!" berkata sinenek. "Lihatlah!"
Lalu daridalamsebuahkantung perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi emas. Dia mengambil tiga buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang ompong. Gigi kedua ternyata bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil menunjukkan barisan gigi emasnya. "Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."'
Wiro garuk-garuk kepala. "Terima kasih atas pemberian gigi emas ininek. Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura lalumelangkah pergi sambil menggenggam gigi emas di tangankanannya.
***
TIGA HARI setelah suami isrti Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki Demang Wesi mendatangi rumah kediaman orang kaya didaerah selatanitubertemudan bicara dengan puteri yang merupakan anak tunggal mendiang suami istri yang Malang itu, yakni Winayu Tindi.
"Anakku Winayu...." Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa memanggil gadis itu dengansebutan
anak mengingathubungannya denganAgeng Lontar yang terkait pada hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku malam ini guna menyambung pembicaraan kitadua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu langsung ajukan pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengansebutan pakde begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat membongkar rahasia pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku hati-hati serta bersedia memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang perjuangan kelompok tersebut..."
Sulit bagi Winayu untuk mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu. Maka diapun bertanya, "Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde katakan tadi? Lalu sumbangan bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak mengerti. Kepala saya pusing...."
"Jika kau merasa kurang sehat,
pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapahari dimuka."
"Tapi saya ingin mengetahui pembunuh biadab itupakde! Malam ini juga! Bahkan saat ini juga kalaubisa!"
"Itu tidak mungkin aku lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balikkematiankedua orang tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkartabirrahasia inilalu membekuk pembunuhitu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan menerangkan siapa-siapa yang adadalam kelompok itu...."
"Tunggu dulupakde. Hari ketika ayah danibuditemukan tewas di atas delman bukankah pakdetelah mencurigai seorang pemuda. Pakde
menyuruh tangkapnyatapi gagal. Orang ituberhasil melarikandiri..."
"Memang berat dugaanku saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan pembunuhan. Kepandaiannya terlalu tinggi hingga akutidak berdaya menghadapinya. Namun aku yakindia tidakbekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk mencari tahu di mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga telah bersedia untuk mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda itu."
Winayu Tindi menyekapeluh dikeningnya. "Sekarangceritakan kelompok yang pakde katakantadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk. "Aku akan terangkan Winayu, asalkau mau berjanjiuntuk merahasiakan apa-apa yang kitabicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalahKerajaan...."
Bertambahtidak mengerti jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan dan lebih dari itu ingin mengetahul siapa pembunuhkedua orang tuanya maka Winayu anggukkan kepala dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku akan mulai.
Dengarbaik-baik dan jangan bertanya sebelum keteranganku selesai," kata Ki Demang Wesi pula. "Seperti kau sendiri mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedanggering. Di dalam keratontersiarkabarbahwa ada kemungkinan orang-orang tertentu tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai haknya atau tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan Sri Bagindatelah membuat surat wasiat. Sebelum bagindawafat, sebelum orang yang tidak berhak menduduki tahtakerajaan, makasekelompok
pejabat Kerajaan yang didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran Adi Bintang Sasoko sebagai pewaris tahta. Menurut silsilah saat ini dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia putera tertua meskipun bukan dari istri pertama
Sri Baginda
"Tetapi bukankah Pangeran itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak dia berusia empat belas tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu hanya titnah yang sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang mendukung Pangeran Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura, ditambah oleh banyak sekalitokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan baik, kelompok itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya akan masukke Kotaraja. Begitu tahtajatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para pendukungnya termasuk aku dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada Sri Baginda nanti..."
"Sayatidak menginginkan jabatan tinggi pakde. Sayahanya ingin mengetahui siapa pembunuh ayah danibu. Lalu menuntuk balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul… Aku jugatidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya kuterangkan panjang lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya mereka yang bisa membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakdeadalah salah seorang anggotakelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang menjadi penggantinya. Kau harus bergabung
dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamupakde?"
"Harus. Demi meneruskan cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang akan membantu mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat ini kelompok sangat membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan makanan! Kau bisa menyumbangkanduahal. Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya. Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan belas tahun ini berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok pakde itu. Soal bantuan saya tidak keberatan...."
"Terima kasih anakku. Kalau kaubersedia membantu kelompok kami sudah sama artinya kau telah bergabung dengan kami...." Ki Demang Wesiikut berdiri. Dia menyerahkan sebuah bungkusan pada
Winayu.
"Apainipakde?"
"Kebaya dalamberwarnabiru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku pergi sekarang Winayu. Jaga dirimu baik-baik..."
Sesaat setelah Kepala Desa itu meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan yang tadidiserahkan Ki Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelaikebaya panjang berwarnabiru muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketikakebaya itu dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan keris bersilang dari benang merah, terletak di bagiandadakirikebaya itu
***
3
PENDEKAR 212 Wlro Sableng terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran Wonosari. Semua orang yang ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat, paling tidak menganggukkan kepala atau merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah aku ini seorang pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habispikirdalam hati.
Ketika perutnya terasa lapar dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan, penyambutan orang kedai dan tamu-tamu yang adadi situ membuat Wiro jadi salah tingkah. Semua orang yang sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul di pintu kedai. Pemilikkedai bersama istri dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan mempersilahkannya duduk dikursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak pantas makan di sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri mendapat kunjungan raden..." begitu pemilik kedai berkata.
"Raden...Aku dipanggil raden ...." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini..."
"Raden, silahkan duduk menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling enak dan segar. Apakah raden ingin
minum tuak nomor satu...?" bertanya istri pemilikkedai.
"Terima kasih. Beri aku air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak nomor satu..." Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani memungut bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan raden..."
Lalu suami istri pemilik kedal itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan. Wiro memandang berkeliling. Setiap orang yang kebetulan melihat kejurusannya buru-buru menganggukkan kepala.
"Aku ini dikatakan orang penting...Gila! Apa sebenarnya yang terjadidi kota ini. Jangan-jangan mereka salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang tampangnya miripwajahku yang jelek ini. Ha..ha..Eh, tadi orang kedai itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa...? Ah perdulisetanlah! Perutku lapar, makandan bayarlalupergi. Tapi orang kedai itu bilang aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapibagaimana semua inibisa terjadi...?!"
Tak lama menunggu hidanganpun diletakkandi atas meja. Mulai darisebakulnasi putih harum mengepul, dua potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk besar lalu masihadakerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambalterasidi cobek besar.
"Silahkan makanraden, silahkan..." Kata pemilikkedai berulang kali sambil membungkuk-bungkuk sementara istrinya meletakkan sebuah cangkirtanahdan buli-buliberisituakharum.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuaknikmat dan harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua matanya setengah terpejam sakingenaknyatapi juga mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin istirahat, kami sudah menyiapkan kamar untukmu... "
Wiro menguap lebar-lebar, tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus melanjutkan perjalanan saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar makanandan minuman yang telahdisantapnya.
Melihat hal ini suami istri pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden, jangan! Ambil kembali uang itu. Semua yang kau telah makandan minum tidak usahdibayar..."
Wiro geleng-geleng kepala. "Aneh...aneh..." katanya dalam hati. "Tidakusah bayardemi perjuangan. Begitu...?
"Betul sekaliraden."
"Kalian keliru. Justru demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat tinggalkan kedai itu. Ketika diapergi semua orang berdiridan membungkuk memberihormat.
Suami istri pemilik kedai saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata, "Baru sekali ini aku menemui yang sepertidia. Benar- benar pejuang yang tidak mau memberatkan rakyat. Simpan baik-baik uang ituistriku. Jangan sampai terlihat dandiketahuioleh orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa kita dituduh menghambat perjuangan!"
Di luar Wonosari terdapat sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda. Karena ingin mengambil jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit. Perjalanan ini menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus pemandangan tampak di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil bersiul-siul. Suara
siulannya bergema di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar kita hentikan siulannya. Ada suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro melihatada delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu singkat delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas mereka sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka adalah tujuh orang prajurit kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda
Perwira itu memperhatikan Wiro sesaat. matanya tertuju pada
sang pendekar lalu diapun berkata, "Kami tidak ingin membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baik-baik'"
Seorang prajurit bersenjatakan kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapatidak dibunuh saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia mempunyaikedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyakketerangandarinya. Kembalike tempatmu prajurit!" Jawab sang perwiradengan suara agak berbisik.
"Kalian ini mau mengapakan aku?" Wiro bertanya sambilgaruk- garuk kepala. Baru saja beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya merasa seperti seorang pangeran, kinitahu-tahu dia menghadapiperlakuan yang jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih bertanya dengan baik maka aku akan menjawabdenganbaik pula," menyahutisi perwira muda. "Kau kami tangkap danakandibawake Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampaiditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuridan merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa lalu keluarkan suara mendengus.
"Jangan berpura-pura tolol!" dia mulai keluarkan suara keras. "Perbuatanmu lebih jahat dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara baik-baik atau terpaksa aku menurunkan tangankasar?!"
"Gila! Tidak bersalah tidak apa-apa disuruh menyerah! Apa- apaan ini!"
"Kalau begitukau minta digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu berterlak pada anak buahnya untuk menangkap Wiro. Tujuh prajurit melompat turun darikuda masing-masing. Tiga orang menghunus senjata untuk melindungi empat kawannya yang ingin meringkus Wiro.
Pendekar 212 tegak tak bergerak sambil bertolak pinggang. "Perwira, suruh prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu sudah kami kuntit sejak di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas kau adalah salah seorang pentolan berbahaya yang tengahdicari-cari!"
"Pentolan? Aku pentolan? Pentolan apa...?"
"Masih berani berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali laqi dia berteriak memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro. Maka tujuhprajurit itukembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya dihantamnya dengan satu jotosan sehingga orang initerpentaldan menjerit kesakitan. Dua kawannya balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih dahulu diterjang jotosan
pendekar 212. Melihat ini prajurit-prajurit yang memegang senjata tanpa menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masing- masing ketubuh dan muka Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekaltubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan kini mengerang kesakitan sambil pegangi perutnya yang kenatonjok. Ketika tiga senjata datang menusuk Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata. Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan senjata terpaksa menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda di atas kuda marah sekali. Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus sebilah golok pendek yang menjadisenjatanya. Belumlagi kakinya menjejak tanah, senjata di tangan kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Ini satu pertandabahwa perwira ini memang terlatih dan memilikiilmu beladiri yang tinggi.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang sangat ganas tanda dia memang ingin membunuh lawannya saat itujuga. Wiro berkelebat mengelak dengan cepat. Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira hanya menghantam tempat kosong.
"Perwira! Sebaiknya lekas pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidakada silang sengketa denganmu!"
"Kau memang tidak adasilang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang sengketa besar dengan Kerajaan!" Menyahuti perwiraitulalukembali memburu dengan serangan-serangan gencar.
"Gila! Silang sengketa apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau yang gila! Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu pertanyaan lagi namun terpaksa bungkam karena didepannyakembali perwira muda itu menyerbu. Gerakan goloknya tampak berubah dan serangan senjataitubenar-benarberbahayakini. Wiro sadardiatakbisabertahandan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan pastiakan mencelakai dirinya. Ketika dia bersiapuntuk kirimkan serangan balasan tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kudadan berteriak.
"Perwira! Bahaya mengancam dibawah bukit!"
Perwira muda itu melompat mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling pada prajurit yang barusan datang. "Ada
apa?!"tanyanya.
"Serombongan pasukan musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang tengah menuju kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokohsilat dari timur. Kita harus menyingkir darisini. Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu prajurit yang datang memberikan laporan.
"Kalian semua lekas menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian setelah menamatkan riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan matikonyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang begitu besar!" jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku yang memerintah di tempat ini! Kalian jangan berani
menampik!"
Mendengaritudelapan prajurit yang ada di tempat itutidak berani membuka mulut lagi. Mereka segera naik ke atas kuda masing- masing, padahal beberapa di antaranya beradadalam keadaanterluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi. Kedelapan prajurit itu segera menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar yang datang daribawah.
"Perwira tolol! Kau menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka memang pantas untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa juruslagi!"
"Edan! Perwira macam apa kau ini!" teriak Wiro penasaran. Da1am hatinyakini muncul niat untuk menghajar perwira itu habis- habisan. Tapi sebelum menghajarnya dia ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benar-benar tahu rasa.
Dengan tangan kirinya Wiro patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia pergunakan sebagai senjata untuk menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjatasebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro menyeringai mendengar ucapan perwra itu dan menjawab: "Menghadapi perwira tolol sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata. Ranting inisudahlebih dari cukup!"
"Bangsat! Kau akan menyesal sampaike liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar. Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting di tangan kirinya diputarberlawanan arah dengan putaran golok si perwira. Perwira ini merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya.
Angin yang keluar dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapitubuhnya sampai bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba Wiro membentak. Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan lawan. Sewaktu si perwiraberkelit ke samping rnurtd Sinto Gendeng cepat pukulkan ranting ke kiri. Terdengar suara sang perwira terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam belakang tangannya yang memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental. Dia coba melompat untuk menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting. Untuk kedua kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun ke tanah kembali dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambilbolang-bolangkan golok milik si perwira yang kini berada di tangankanannya.
"Memalukan! Perwira totol! Kalau aku jadi Raja, manusia macammu takakanterpakai! Ini, ambilkembali golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata ini menancap satu jengkal di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampaisetengahnya.
Merasa malu dan marah karena dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itucabut goloknya dari tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya habis-habisan. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah itu tak sanggup dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu pergunakan pula tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Golok di tanah sama sekali tak bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau mencabut golok sajatidak sanggup
bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat kurang ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak dapat dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di tanah. Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam mukasi perwira. Golok yang adadalam pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu denganujungnya yang runcingtajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel, Wiro putar tangannya. Golok membalikke kanan, berputardi pertengahan ranting sepertisebuahtitiran.
"Manusia keparat, jangan kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan kosong!" teriak perwira muda itulalusekali lompat diasudah menerjang dengan tendangandan jotosan.
Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting. Tiba-tiba pendekarinitarik ranting dari badan golok. Senjata ini mental ke bawah, gagangnya menghantam kening si perwira dengan keras. Sang perwira menjerit kesakitan, mundur terhuyung- huyung sambil pegangikeningnya yang mengucurkandarah!
Pada saat itulah dua orang berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itudiikuti oleh hampir lima puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian kelabu.
Dua penunggang kudadi sebelah depanadalahdua orang kakek berwajah hampir mirip satu sama lain. Pada dada pakaian hitam yang merekakenakan tampakada gambar mahkota dankeris bersilang yang disulam dengan benang merah. Anggota rombongan lainnya juga
memiliki gambar itu pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari sulaman benang berwarnabiru.
Dua kakek berpakaian hitam yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek di pinggangnya masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelahkanankeluarkan ucapan" "Ah..ah..ah...! Kalian berdua barusaja selesai berlatih!"
Kakek yang satu menimpali, "Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya kulihat salah satu dari kalian sampai-sampai mengucurkandarah dikening!"
Perwira muda itu hanya berdiam diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka darah yang masih mengucur dari luka di keningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hatisiapa puladua kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini banyak. Tadi jelas dia mendengar sendiribahwa orang-orang yang baru datang ini adalah serombongan pasukan musuh. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan perwira muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita tidak punya waktubanyak. Malam ini ada pertemuan penting. Pangeran tidak ingin melihat ada yang datang terlambat! Mari...."
"Eh, apakah kau bicara denganku juga?!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan bicara.
"Apa kaukiraakubicara dengan penghunigaib bukit Jati ini?!" sahutsi kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota dan keris bersilang di dada
pakalan si kakek. Untuk pertama kali dia ingat akan gambar yang sama didada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh ...apa artinya gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan sulaman di dada pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dariNenek Hitambergigi Emas...?" Wiro tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak enak. Lalu mengapa kakek tadi mengajaknya ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama didada pakaian merekadan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka berada dalam satu kelompok yang sama? Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam Kerajaannya. Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di balik pakalan itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga adasulaman benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro jadi memandang lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakekberseru. Dua orang lalu maju menuntun duakuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi pada Wiro. Sesaat Wiro dan si perwirasaling pandang.
"Kita berangkat!" terdengar kakek tadi berteriak memberi aba- aba.
Si perwira muda langsung melompat ke atas punggung kuda. Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak seperti orang bingung, sahabat?!" bertanyasikakekhitman di samping kiri.
"Kalian mau mengajakku kemana?!" tanya Wiro sambil garuk- garukkepala.
"Kemana lagikalau bukan ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah kau masih mau bertanya? Kita orang-orang satu golongan!Aku sudah melupakan kejadian tadi! Anggap benar- benarsebagallatihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil meinandang berkeliling. "Apa yang sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang ini…! Gila ! Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku harus ikut dengan mereka!" Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan bergerak menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who melihat delapan sosok tubuh berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah. Semuanya sudah meregang nyawa dengantubuh penuh luka. Wiro melirik kearah perwira muda yang kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauhdi sampingnya. Di saat yang sama perwira itu jugaberpaling ke arahnya, tersenyumkecil dankedipkan mata!
***
4
DALAM perjalanan ke Parangtritis tak satupun anggota rombongan ada yang membuka mulut atau bicara. Tampaknya mereka dipe- rintahkanuntuk membungkam diri. Dua kakekberpakaian serba hitam bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda yang ternyata adalah seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini bergerak puluhan penunggang kudaberpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu ditengah-tengah mereka. Walau ada hasrat untuk menyelinap dankabur dari rombongan itu, namun lebih besar laginiatnyauntuk ikut terus guna mengetahuisiapasebenarnya orang- orang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang Sasoko. Lalu apakahdia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi Emas yang memberikanpakalan putih bersulam mahkota dankeris bersilang itu?
Karena rombongan tidak mau menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu setengah kali lebih panjang dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru sampal di tujuan yakni bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan jarang didatangi orang. Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan berpakaian kelabu. Banyak pula yang berseragamperajurit Kerajaan. Kelompok ini tangsung memberi hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang merekakenal. Semua kudaditambatkan,ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi makan dan minum. Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek berpakalan hitam memandang
berkeliling, mencari-cari Wiro Sableng yang saat itu duduk memencilkandiridibawah sebatang pohon kelapa. Kakek ini segera menghampirinya lalu memberi isyarat untuk mengikuti. Bersama- sama dengan perwira mudadan kakek yang satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang tua itu. Mereka bergerakke bagianteluk yang penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau. Setelah merancahair lautsebatas mata kaki dan menyibak kelebatan pohon-pohon bakaukeempat orang itu sampai di sebuah gundukan tanah keras bercampur batu yang di bagian tengahnya merupakan sebuah lobang besar atau mulut goa selebar dansetinggi tiga tombak. Kakek yang memimpin memandang sesaat pada perwira muda itu, lalupada Wiro dan akhirnya memberi isyarat agar mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari bagian bawah sampai dinding dan langit-langitnya. Kira-kira sepeminuman teh berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak lama kemudian merekasampaipadaujung goa yang ternyata tertetakpadasebuah bukit kecil yang penuhditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat. Sinar matahari yang hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan. Beberapa belas tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ dibangunsebuah gubuk panjang tanpa dinding.
Sepanjang gubuk terdapat meja papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang yang jugaterbuatdarikayu hutan, setiapsisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ Wiro melihat kira-kira selusin orang duduk memandang kearah mereka sementara dikepala meja sebelah kanan tampak duduk seorang pemudaberpakaian sangat mewah, bermukaagak pucat dansetiap saat selalu tersenyum-senyum
menyunggingkan gigi-giginya yang tonggos.
Di samping pemuda itu duduk seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot sebatang pipa panjang. Bau tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama dikepala meja terdapatbanyak makanan. Kendi-kendi tanah berisituaktakterbilang banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama sekali. Mungkin masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling, mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek Hitam Bergigi Emas tak tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru datang ini mengambil tempat duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang Wiro dan si perwiradi bangkupanjang lapis belakangbagian tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas pipanya, berpaling pada pemuda berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan berkata, "Semua yang ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting inibisakita mulai
Pangeran Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko mengangguk lalu tertawa gelak-gelak. "Aku sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah lapar dan haus! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu sekenyang- kenyangnya! Ha...ha...ha...! Eh, kau setuju calon patihKerajaan?!"
Si gemuk yang disebut sebagalcalon patih membuka mulut dan setengahberteriak menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di situ langsung menyambar
hidangandan meneguk minuman yang adadi atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!" seorang lelaki berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih duduk berdiamdiri.
"Atau mungkin dia menunggu sampai calon patihkita marah?!" seseorang berseru. Lalu orang itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang lainnya.
Wiro akhirnya mengulurkan tanganjuga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng yang dihiasi goreng paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindahke dalam perutnya. Ketika dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke dalamnya tiba-tiba dia mendengar suara halus sepertinyamuk mengiang ditelinganya.
"Pendekar muda.... Kau boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di atas meja! Tapi jangan sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itutelah berubah menjadi minuman celaka! Minuman ituberacun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua matanya berputar memandang berkeliling. Siapa gerangan yang barusan bicarajarak jauh dengannya itu? Satu persatu dipandanginya wajah orang-orang yang ada di
tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran Bintang Sasoko
sibuk menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil melahap paha ayam. Semua orang termasuk Pangeran Adi meneguk tuak yang dihidangkan, malahada yang begitulahaphingga berceceran menumpahidagudan pakaiannya. Wiro melihat bahwaada duadi antara orang-orang yang adadisituhanyaberpura-pura minum. Tuak yang diteguknyahanyadilelehkan kebawahdagu!
"Semua sudah kenyang dan puas mlnum?!" tiba-tiba si gemuk
yang disebut calon patihberseru.
"Kenyang! Puas!" orang banyak menyahuti. Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi. "Pangeran, saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk, matanyaberputar-putar laluPangeran yang berotaktidak waras ini tertawa gelak-gelak.
Si gemuk berdiri dari bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata, "Sebelum pembicaraan penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga kerahasiaannya! Pohon di sekitarsinibisajaditelinga musuh!Apalagi manusia penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip ke arah Pendekar 212 membuat murid Sinto Gendeng jadi menahannafas.
"Sebelum pembicaraan dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar kitasaling kenal satu sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Rajakita semua, calon pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat ini sedang gering! Bukan begituPangeran Adi?!"
Pangeran Adi berdiri dari duduknya, menjura dan berteriak. "Betul! Aku yang bakal memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan!Hanya aku! Ha… ha...hal…!"
Si gemuk kembali membuka mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak Api. Sesuai dengan kehendak Pangeran Adi, bakal mendudukijabatan Patih Kerajaan!" Habis berkata begitu
si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya sama lain.
Terdengar suara meletup dan lidah api mencuat keluardaricelah dua telapak tangan itu.
Semua orang berdecakkagum melihathal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto kembali duduk. Dia memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari duduknya, menjura lalu memperkenaikandiri.
"Aku Jaliteng Teguh, Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus orang perajuritku siap sedia di timur
Patrangtritis!"
Orang ketigategak pula dari bangkukayu. SepertiAdipati Klaten tadi dia juga menjura, mendongak sebentar lalu membuka mulut. "Namaku jelek, tampangku jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha…! Aku Sumo Kandil, diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuangbersama Pangeran Adi! Di usia tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang menjadi pejabat Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke atas meja. Ternyatakaki kanannya memang terbuatdarikayu. Dengan satu gerakan seperti asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunyake meja. Papan meja yang terbuatdarikayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan berlobang besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembalike tempat duduknya.
Orang keempat berdiri dari bangkunya. Dia seorang kakek bermuka cekung, mengenakan baju hijau yang kebesaran dengan sulaman mahkota dankeris bersilang didada kiri. Sulaman seperti ini juga terdapat pada semua pakaian para yang hadir di tempat itu, termasuk Wiro Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua tangannya di atas meja, tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki
kuku-kuku panjang berbentukaneh sepertisepertipisau-pisaukecil!
"Aku tua bangkajelek ini sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si Pengupas Kepala! Itu saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan melihat sendiri siapa aku ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke bangkunya.
Orang kelima sampai ke sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat. Setelah menyebutkan nama masing-naasing dan berasaldari Kadipaten mana, sambil tak lupa mengatakanbahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnyasudah bersiapsedia, maka masing-masing kembali duduk di bangkupanjang.
Orang yang ke sepeluh adalah satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga ikut-ikutan pikun. Lupa nama. Bersama adikku ini … " Si kakek menunjuk pada kakek satunya yang duduk di sebelahnya, "Kami dikenaldenganjulukan Sepasang Tombak Dewa! Aku mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaandan adikku menjadiwakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan adikku Tombak Dewa Kedua! Soal kepandaian kami pernah merajairimba persilatan di pantai selatan ini. Tapi saat inikamitidak enak badan, tak mau pamer kepandaian! Ha-ha-ha!"
Orang keduabelasadalah perwiramuda yeng duduk di samping Wiro Sableng. Setelah mengerling sesaat pada Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri.
"Namaku Aryo Ladam. Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukankerajaan. Tapi mulai detik inijabatan itutidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada calon Raja kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin banyak
di antara para hadirin memiliki kepandaianjauh lebih tinggi dariku. Sebelum berangkat ke mariakutelah berhasii membinasekitar enam puluh perajurit dan duaperwira muda untuk berjuang di pihak kita. Mereka semua berada di Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan menghantaan lawan di pusat Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.
Sambil mengangkat kendi tuak Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kauakanakuangkat sebagal Kepala Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkandua tingkat!"
"Terima kasih Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu duduk ke tempatnyakembali.
Kini giliran Pendekar 212 Wiro Sableng memperkenalkan diri. Setelah menggaruk kepala lebih dulu, pendekar ini berdiri dan menjura kearah Pangeran Adi serta Si TapakApi. Sikapini membuat kedua orang itu merasa senang karena sebelumnya tidak ada seorangpun yang memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar pengangguran yang dicap berotak kurang waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir di sini menjadi tujuanku pula! Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk kembali. Dalam hati dia menyumpah. "Persetan dengan perjuangan gila ini? Aku ingin buru-buru pergi dari sini! Edan, mengapa aku sampai terdampar di antara para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk beberapa kali, lalu disusul suara
orang bicara. Yang bicara adalah Sumo Kandil alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luarbiasa! Tidak disangka-sangka kalautokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara kita Pendekar 212, apakah keikutsertaanmu bersama kami mendapat restu dari gurumu di puncak Gunung Gede...?!"
"Ah, si kaki kayu ini rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin Wiro. Pendekar ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan menjawab, "Ketika aku melapor, guru sedangtidak di tempat. Aku hanya meninggalkan pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan..." Wiro berdusta.
"Bagus...bagus... Sebetulnya kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya menyertai kita. Tapi yang ada sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke empat belas yang duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai Tumenggung Gandana Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada sejurnlah besar pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang kelima belasadalah yang paling lucu, paling konyol gerak-geriknya. Dia mengenakan baju merah menyala yang sangat besartetapiseperti yang lainnya didada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris bersilang. Rambutnya yang panjang digulung ke atas dan pada ujunggulungandiberipita merah. Mukanya dirias secara seronok yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotandari bibir sampaike pipidandagusedangalis mata diberi jelaga hitam bercelemongan. Orang ini berdiri dengan sikap malu-maluseperti perempuan. Suaranya kecil ketika memperkenalkan diri,
"Namaku Tatata Tititi. Aku tidak bergelartidak berjuluk! Tidak punya kepandaian silat! Tapi pandai bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu menunjuk padasepiring makanandi atas meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro pejamkan matanya. Ketika kedua mata dibuka dan mereka memandang kearah piring! Astaga! Memang diataspiring itu kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi seonggok tahi kerbau! Semua orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada
pemandangan masing-masing dan banyak yang mengusap-usap kedua
matanya!
"Jadi tadi kalian bukan bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau...hik…hik..hik!" orang bermuka celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya bergurau. Lihat sekali lagi. Apa yang adadipiring memang makanan!"
Dan ketika semua orang memandang lagikearah piring, memang di situ kini tampak makanan seperti semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah makananjaditahikerbau, aku juga bisa merubahwajah Sri Baginda menjaditahikerbau! Hik...hik...hik!"
"Tukang sulap!" tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba terangkan, kau inilelaki atau perempuan!"
"Hik..hik..hik! Aku bukan lelaki bukan perempuan!" jawabnya
Tatata Tititi.
"Maksudmu....?!" Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan
pertanyaan.
"Aku banci! Hik..hik..hik!"
"Jangan melantur! Kau berhadapan dengan calon Sri Baglnda!"
Membentak SI TapakApi.
"Hik..hik..hik! Aku tidak melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan pakaianku! Mau melihat...?!"
Pangeran Adi Bintang tertawa gelak-gelak dan goyang- goyangkan tangannya ketika Tatata Tititi hendak menyingkapkan pakalannya yang lebar.
"Sudah! Kami percaya padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok dengan kami!" ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti...."
"Maaf, namaku Tatata Tititi,Pangeran. Bukan Tatiti .... !"
"Oh, ya akukesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada Suto Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu cabut pipanya dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit tampak tambah sipit ketika dia memandangi satu persatu semua orang yang adadi tempat Itu.
"Saudara-saudara satu perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat ini harus dibersihkandarl penyusup mata- mata musuh!"
"Eh…! Apakah ada mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu alias Sumo Kandil.
Suto Gunoro menyeringal buruk. Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi memperkenalkan diri denganjuiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkankepalanya.
Melihat isyarat ini Si Pengupas Kepala bangkit dart kursinya. Kedua matanya memandang menyorot satu persatu pada orang-orang yang adadisekitar meja. Kedua tangannya sailing digosok-gosokkan.
Kuku-kukunya yang beradu satu sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak beda seperti pisau-pisau saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah memutari meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana terpaku. Wiro merasakan tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepalaberhenti melangkah dantegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuhtadi! Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan kanan, diam-diam menyiapkan pukulan sakti "sinar matahari". Kedua telinganya dipasang tajam- tajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan menghantam.
Dibelakangnya Si Pengupas Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat tangannya, mencekalleher orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung Gandana Jipang! Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat! Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang tampak kaku sekujur tubuhnya. Mukanya seputih kertas. Suaranya tercekikketlkabicara. "Lepaskan! Jangan! Kau salah tuduh! Aku bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru untuk bergabung! Bukankah aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya Raja....?!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh. Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara menggereng. Cekalannya mengencang. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang dilemparkannya ke atas meja besar. Begitu orang ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki kuku sekuat dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerlnda. Terjadilah satu pemandangan luar biasa mengerikan. Tumenggung Gandana Jipang menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan tubuhhya sementara kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka dikelupas oleh kuku-kuku maut itu! Hanya beberapa kejapan mata sajakepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh Tumenggung Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah…" bisik Wiro dalam hati dan membuang mukake jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek oleh suara tawa mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak Api sementara Si Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya yang bersimbah darah. Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata, "Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan yang coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada dalampenjara!"
Wiro tidak perduli apa yang diucapkan oleh orang itu. Ingin sekali dia meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak bergerak bangkittiba-tiba Si TapakApiberseru.
"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat yang mulal tenggelam dalam gelapnya malam yang baru turun.
***
5
YANG DATANG ternyata ada dua orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan kanannya. Di samping orang ini, agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis berkebaya panjang biru dangan sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di dada kirinya. Gadis ini tampakagak ragu-ragu untuk melangkahlebih dekat kearah meja besar dimana berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi lelaki berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya. "Tak ada yang harusditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman seperjuangan … "
"Aha! Ki Demang Wesi! Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum dimulai!" Si Tapak Api berseru. Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik gadis di samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa
Parangtritis.
"Harap maafkan.... "sahut Ki Demang Wesi sambil menjura. "Aku terlambat karena harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik begitu perjuangan selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia adalah puteri almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap akusebagalayah! Dan yang penting, Winayu Tindi telah
memutuskan untuk menyumbang kekayaannya bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si TapakApi.
Pangeran Adi Bintang Sasoko tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya memandang tak berkesip pada Winayu Tindi. Tangan kanannyadiangkat. Jari telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada gadis itu, tenggorokannya turun naik. "Cantik! Cantik sekali puterimu ini Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan sangat besar! Apakah balas jasa yang paling baik harus kita berikan pada si cantikjelita ini...?!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro berdiri. "Menurut pendapatku, dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri begitu pangeran dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?! Tepat! Tepat sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut bertepuk tangan dan mengatakan setuju. Di antara tepuk tangan dan suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti nyamuk mengiang dikeduatelinganya, "Anak tolol!
mengapa mulutmu selancang itu mengatur perjodohan orang?!
Sableng!"
Wiro merasakan mukanyajadi merahdan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-cari siapa diantara yang hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya untuk menduga. Mungkin Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si TapakApi.
Atau mungkin pula salah satu dari Sepasang Tongkat Dewa?
Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap, terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuhayah danibu saya…!"
"Oh begitu? Urusan gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh orang tuamu! Mencari tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!" berkata Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuhrendaholeh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing Winayu lalukeduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini adalah di samping Wiro. Begitu melihatsi pemuda kening Ki Demang Wesijadi berkerut.
"Eh, anak muda! Kau … "
"Rupanya kita orang-orang satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang melakukan…?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu sajatidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti apa yang dibicarakankedua orang itu. Tapi sejak mendengar ucapan Wiro tadi, gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro memandang padanya gadis ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang benar! Apa keuntunganmu mengatakan itu tadi … "
Untuk kedua kalinya Wiro merasa wajahnya menjadi merah. Sadar kalau mulutnya ketelepasan.
"Maafkan akusahabat. Aku tidak bermaksudlancang. Tapi kata- kataku tadi memang tidak pada tempatnya. Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing betina yang bengekpun tidak mau jadi istriPangeran gila itu…!"
Suto Gunoro sang calon patih Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah menghisap pipanya panjang-panjang diapun
menyatakan bahwa pembicaraan rahasia segera dimulai. Adapun pembicaraan itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari tiga jurusan dengan kekuatan hampir seribu orang. Lalu melakukan penculikan terhadap Sri Baginda dan menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang diduga akandiangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri Baginda mangkat. Setelah itu dilakukan penggantian terhadappucuk pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipatl, kecuali Adipati yang berpihak dan membantu Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa penyerbuan akan dilakukan dua harl dimuka, dinihari menjelang subuh. Sebelum itu, pada permulaan malam akandilakukan pembunuhan terhadap para tokoh silat Istana. Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis Kaki Kayudan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak sampaii sekendi penuh. Winayu Tindi sama sekalitidak menyentuh minuman ini, dan jugatidak mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan yang ada dalam minuman.
Selain bangunan panjang tanpa dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata masih ada tiga bangunan lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan rumah-rumah kecil. Salah Satu rumahituditempatl oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko bersama Si TapakApi. Rumahkedua danketiga tadinya dibagi-bagi untuk para anggota komplotan pemberontakitu namun yang satu kemudian harus diberikan pada Winayu Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan mereka malam itu ke tempat itu, tidak satu orangpun
diperkenankan meninggalkan tempat rahasia itu. Penjagaan ketat dilakukandi setiapsudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur mendengkurdi bangkupanjang. Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di pantai terdengar mengerikan. Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah kanan. Murid Sinto Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan. Ketika dilihatnyagelagatbaik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di kegelapan malam lalu melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai tepat di atas rumah di mana ketiga orang ituberada. Dari atas pohon Wiro dapat mendengarpembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantikitu. Apa jawabmu Ki Demang?" terdengar suara
Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya. Tunggulah beberapa hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran memang menyukainya…" Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku menyukainya! Ha..ha...ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dankopi hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"
"Ki Dernang, tadi aku mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan diberikannya dengan imbalan kita harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah persoalan itu sudah kuserahkan agar kau selesaikandengan tuntas?" Yang bicara adalah Si
TapakApi.
"Telah aku usahakan Suto. Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu kalau pemuda asing yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita sendiri.... "
"Terus terang aku menaruh curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan kepandaiannya tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari golongan putih...."
"Dunia bisa berubah,apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.
"Tapi tak ada salahnya untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam kelompok kita … "
Melihat hal ini Ki Demang Wesi mintadiri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki Demang membuka pintu terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jagabaik-baik Winayu Tindi itu, Ki Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan akulakukan Sumo. Tentu saja!"
"Satu hallagi harusskaujagabaik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu...?"
"Jangan sampai dara itu mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya … "
Ki Demang Wesi mengangguk perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengarkata-kata Sumo Gunoro itu. Maka diapun berkata, "Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak akan mau berlaku sekeji itu Sumo... Lagi pula dia menolakuntuk diajak serta. Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kitake Istana!"
"Memang manusiaseperti dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinyatelahdirusakkehormatannya sebelumdibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang kau lakukan Ki Demang!" terdengar
suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu terlalu cantik dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu dari suaminya tentang komplotan kita. Jugakusir kereta.... "
"Aku tidak bertanya si kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukanterhadap istri Ageng Lontar! Ha... ha...ha.... ! Ceritakan saja saja Ki Demang.... "
"Aku memang dirasuk nafsu. Perempuan itu kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup rahasia kusir delman terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha...ha.... ha....!"
"Kau boleh pergl Ki Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan sajaakan terusjadiKepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran. Aku minta izin mengundurkan diri...." Terdengar suara pintudibuka laluditutupkankembali.
Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentakkagetseperti disengat kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang terakhir. "Manusia setan haram jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-benardajal!" Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu. Begitu melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluardaridalam rumahdia segera hendak melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tibaada suara mengiang ditelinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan amarahmu! Belum saatnya! Belum
saatnyauntuk memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!" maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang berkeliling. Tidak nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itupintu rumah ter- dengar terbuka kembali. Lalu tampak Si Tapak Api keluar dan bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti di bawah pohon, tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya. Apakah tuak itu benar-benar kau
campur racun?"
"Seperti yang kitarencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan mampus! Putus dan hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan merekalagi! JugatidakPangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas berikan padakuobat penawar racun itu! Aku tidak mau matikonyol!"
S! Tapak Api tertawa mengekeh. Lalu dikeluarkansebutirbenda putih dari dalam saku pakalannya dan diserahkan pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki Demang bertanya.
"Bukankah itu yang kitarencanakan? Akujadi Raja, kau menjadi Patih...! Nah, hari hampirpagi. Kau pergilahtidur. Mudah-mudahan mimpi enak..." Si Tapak Api menepuk bahu Ki Demang Wesi. Keduanyaberpisah.
"Jahanam! Benar-benar manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu. Minuman itu ternyata beracun!"
Wiro memandang lagi berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih
sempat mendengar ada suara bergeresek di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapiterlambat. Dia hanya sempat melihat bayangandalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu lenyap! Tapi dari sosok tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisamenduga siapa adanya orang itu. Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi tengah tidur mengorok dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di sana, Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ? Wiro melangkah mendekati orang ini. Memperhatikannya sejenak. Dia melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata Tititi. Lalu diperhatikannya tangan sendiri. Noda yang sama jugaterdapat pada keduatelapak tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212 tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Hemmm... Jadi diarupanya!" Wiro manggut- manggut dan diam-diam merasa lega.
Paling tidak dia tahu kalau dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya itu.Ada seorang teman bersamanya walaudia masih tidak dapat memastikan siapa adanya orang itu. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di mana dia berbarlng sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan suara mengorok tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang celemongan oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itusudah tahu rupanya … "
***
6
SEJAK SIANG hujan turun terus. Menjelang sore redasebentartetapi begitu matahari menggelincirke ufuk tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut bergelombang menggemuruh. Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-gulung setinggi rumah. Di kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan. Tampak kilat sambar-menyambar lalu suara guntur menggelegar seperti hendak membalikan isi laut. Beberapa pohon kelapa di tepi pasir patahberderak, tumbang kelaut. Ringkik kuda yang ketakutan terdengarberulang kali.
Di dalam rumahkecil Si Tapak Api tampak melangkahi mundar mandir sementara Pangeran Adi tegak di sudut sambil tersenyum- senyum lalu menyanyi-nyanyi kecil seolah-olah mengiringkan deru hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang Tombak Dewa berdiam diri sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan kaki kayunya. Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pinturumah, memegang sehelaikapas berwana merah. Tengah berhias rupanya sibanci ini! Si TapakApi diam-diam memaki melihat tingkah laku orang-orang yang ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata Tititi.
"E… Hujan celaka !" akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto Gunoro sang calon Patih Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kitasiap bergerak!"
"Tenang saja Suto. Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu
berhenti kita segera bergerak menuju Kotaraja," berkata Pengemis
Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti, kalau tidak…? Kita bisa terlambat dan kesiangansampaidi sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?" bertanya Dewa Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlukitatakuti di dunia ini, tapi jangan tolol. Cuaca bisa membuat kacaugerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa sebenarnya yang terjadidi luar sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?! Tatata Tititi, kau pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar,apakah hujanakan reda atau tidak?!"
Tatata Tititi tampak terkejut. Dia hentikan membenahiwajahnya dengan bedak merah itu, memandang Si Tapak Api dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan keluar, bedakku, gincuku, alisku... semua akan luntur! Hik...hik! Mukaku akan lebih buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain … "
Si Tapak Api menjadi sewot perintahnya ditampik begitu rupa. Dia menjangkausebuahcaping lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu! Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi adapada Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi janganada yang berani menolak perintah … "
Tatata Tititi batuk-batuk beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksadisambutnya dandikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat itu udaradi luar mulaigelap. Hujan lebat sepertitidakbisaditembus dengan pandangan mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju bagian bukit yang
agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan laut. Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya terbatas hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigilkedinginan Tatata Tititi memandang berkeliling, mencari- cari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat. Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengancabang-cabang yang berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang mengakubanci ini memandang berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun melayang ke atas cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap sajadiatidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya sambaran-sambarankilatlalu suara guntur yang sepertihendak merobeklangit. Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka celemong ini untuk naik ke atas pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya sedang sebelah bawah ditancapi sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya yang laindia mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka, batuapi ini basah…!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu kepakaiannya agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar marah-marah karena sepasang batuapinyalenyapentahkemana. Padahal yang kini berada di tangan Tatata Tititiitulah batuapi miliknya, dicurioleh si mukaseronok!
Setelah sepasang batu api kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi benda bulat bersumbu agar tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang batuapi itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan kuat dan keras
maka sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah api didekatkan ke sumbu benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.
"Setan alas!" maki Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu itu dapat dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain yang cepat dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut kebagian benda bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan pegangannya pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras, dalam keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat keudara. Siapapun yang berada di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupunhanyaseketikayakni sebelumpadam diterpa air hujandanudara dingin. Tatata Tititi untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak mempergunakan ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal turun. Air laut akan segera naik. Pasang pastiakanmenenggelamkan goa...."
Lalu dia turun dari atas pohon kembalikedalam rumah.
"agaimana? Apa yang bisa kau laporkan…?!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu Tatata Tititi muncul dipintu.
"Kita harus berangkat saat ini juga. Ada badaibesarberkecamuk dilaut. Dalam waktu cepat air lautakan pasang dan goa panjang satu- satunya jalan menujuke pantai akanterendam air!"
Mendengar keterangan Tatata Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan memegang lengan Si Tapak Api kuat-kuat. Wajahnya menunjukkan ketakutan. "Aku tak mau matiditabrak badai! Aku tak mau mampus tenggelam di tempat ini! Aku harus hidup
karena aku harusjadi Raja! Dan permaisuriku itu.... Dia yang nomor satu harusdiselamatkan…!"
"Tenang Pangeran... tenang! Semua akan kita atur dengan cepat. Kita akan segera meninggalkan tempat ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua tokoh silat dan para Adipati yang ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambilkedudukandan tanggung jawab sesuai yang sudahdiberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa Kedua serta dua orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran Adi dan Winayu Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo, merekaharus kalian bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di sana sampai ada utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itubersama Ki Demang Wesi … "
Aryo Ladam cepat tinggalkan tempat itu, berlaridibawah hujan menuju rumah kecil di mana Winayu Tindi dan Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala Pegawal Raja ini kembali dengan mukapucat.
"Ada apa.... ? Mana kedua orang itu...?!" tanya SiTapakApi.
"Gadis itu tak ada di dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan tertotok. Aku berusaha melepaskan totokannyatapitidakbisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso keluarkan suara seperti meraung menangislalulari menghamburkeluar,diikuti oleh yang lain-lain.
Ketika sampaidi rumah sebelah memang di situ hanyaditemul Ki Demang Wesitegak kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke dinding membelakangipintu. Winayu Tindi sama sekali takada di
tempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari tangan kanannya ke punggung untuk melepaskantotokanditubuh orang itu. Tapi gagal. Totokan itutidak musnah. Paras Si TapakApi tampak berubah.
"Ini bukan totokan sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu melarikan diri! Ada pengkhlanat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata calon Patih itu dengan
mata berapi-api lalu menatap semua orang yang ada di situ satu
persatu.
"Ka1au begitupendapatmu, berarticalon permaisuri telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran Adi Bintang Sasoko meraung danjatuhkandirike lantailalu menangis sepertianakkecil.
"Manusia gila! Sedeng!" maki Si TapakApidalam hati. Dia sama sekali tidak memperdulikan sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki Demang Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol danbanci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititl. Dia maju mendekati Ki Demang Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tibasekali dia menarik celana Kepala Desa Parangtritis ituhingga melorot kebawah. Di sebelah muka tampak perut dan pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya yang jelek hitam.
"Manusia banci!Apa yang kau lakukan ini?!" teriak SiTapakApi sementara yang lain-lain tampak senyum-senyum dan Wiro sendiri hanyagaruk-garukkepala.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat
pengunci totokananeh ini adadipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-kuat dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
Duuutttt!
Angin busuk keluar dari bagian bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang menyumpah dan menekap hidung karena baunya yang sepertihendak meruntuhkan bulu hidung. Namun di saat itu pula Ki Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat dan akhirnya membuat gerakan seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokananeh luarbiasa itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa yang terjadi ?!" tanya Si TapakApi.
"Aku mendengar suara angin bersiur, lalu tubuhkuterdorong ke depan dan ketika aku sadar, kudapati tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisabersuara. Winayu Tindi lenyap!"
"Kau sama sekali tidak melihat siapa yang melakukan?" tanya
Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku … Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan
Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita pasti menemukan gadis itu...." kata Tatata Tititi. Tapi sang Pangeran terus meraung sepertianakkecil.
Tiba-tiba seseorang muncul di pintu. Dia adalah salah seorang yang ditugasi memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa?!" membentak Si TapakApi.
"Saya datang untuk melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa. Badai darilaut mulaimenerjang tepi pantai. Pohon-pohon bertumbangan. Banyak kuda yang terlepas dan lari.
Anggotapasukan mulairesah … "
Si Tapak Api mendekati Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang inibicara berbisik-bisik. Lalu Si Tapak Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu. Beritahu semua orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Langsung menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam, kuminta kaupergi bersama orang ini... "
Aryo Ladam mengangguk lalu tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap berdiri di tempatnya. "Ada lagi satu halpenting terjadidi luarsanal Dua orang pengintai melihatada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur, utara dan barat, menujuke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Suasana berubah tegang sementara Pangeran Adi masih terus meraung-raung sambil jambakirambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagalmana ini bisa terjadi kalau tidak ada ponghianatan diantara kita! Musuh dalam selimut! Penyusup keparat…!" teriak Si Tapak Api sambil kepalkan kedua tangannya. "Lekas mengaku! Siapa di antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa di antara kalian yang jadi mata-mata Kerajaan! Kalau tidakada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah bersembunyi diluar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
"Baik!" ujar Si Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-apidan suara bergetarsaking marahnya. "Tidak apa kalautidak ada yang mau mengaku!Tapi dengarkalian semua! Malam lalukalian
telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak itu mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalautidak dapat obat penawarnya, kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa! Siapa yang ketahuan menjadi pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan
tahta Kerajaan direbut, jangan harap akan kuberikan obat penawar
racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak Api itu tentu saja semua orang yang adadisitujaditerkejut dan marah. Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si Tapak Api. Si Pengupas Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur selangkah. Sambil menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut mati! Kalian boleh membunuhku sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian! Silahkan pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut dan darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!" mendamprat Pengemis Kaki Kayu. "Kami sudah percaya padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipudan mencelakai kami dengan racun dalam minuman?!"
"Manusia keparat! Pasti dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap kita! Jangan-jangan kita hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak satupun di antara kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku akan memberikan obat penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah dijanjikan tetap akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar. Lekas tinggalkan tempat ini... "
Baru saja Si Tapak Api mengakhiri kata-katanya, tiba-tibaangin dahsyat menderu. Bangunan kecil di mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh ketika atap rumahitu terbang dihantamangin bersama sebagian dinding bangunan. Beberapa pohon disekitar tempat ituterdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampaidisini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko. Dia masih saja menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat angkat tubuhnya namun sang Pangeran meronta sambil berteriak-teriak. "Aku tidak mau pergi! Mana permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergibersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini! Air laut akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si TapakApi.
Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi. Begitu sang Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknyahingga kaku dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu memanggul tubuh calon Raja kita!" memerintah Si TapakApi.
"Bukankah tugasku bersama Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat duluan menuju Kotaraja untuk menghabisi tokoh-tokohsilat Istana?" menjawab Wlro.
"Jangan toloi! Jangan berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata mendelik. "Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira para tokoh itu masih buta tidak
mengetahul apa yang terjadi? Apa kaukira mereka enak-enakantidur danngorok?! Jalankan perintahku!"
Wlro garuk-garuk kepala lalu memanggul tubuh Pangeran Adi. "Bebanku berat! Aku tak bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar murid Sinto Gendeng pula.
Ketika orang-orang itu berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa panjang menujuke pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu menyandarkannya kesebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro mengikat tubuh pangeran itukepohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi Wiro larike bagian timur bukit, menyelinap ke balik serumpun semak belukar. Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah kuyupolehair hujan, tampak dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam. Perempuan ini ternyata adalah Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk diselamatkan laludisembunyikandi semakbelukaritu.
Dengan tangan kanannya Wiro mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap untuk menjerit. Wiro cepat menutup mulut sang dara.
"Anak manis... jangan menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-tangan pemberontak itu asalkan kau mau menuruti nasihatku..."
"Kau! Kau menyebut mereka pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!" tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau tidakbedadariku, anak manis..."
"Jangansebut akuanak manis! Aku bukananak-anak … "
Tapi kalau orang-orang Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan lebih buruk dariku. Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan kusir delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah. Dia berdiridengan cepat. "Siapa?!" tanyanya menjerit di antara deruhujan dan angin. Sementara malam tambah gelapdanudara dingin bukan main.
"Aku akan katakan itu nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi ketika Wiro menarik tangannya. Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi terikat sang dara berbunyi. "Apa yang terjadidengan Pangeran gila itu?!"
"Dia sedang mimpi jadi raja! Dan kau permaisurinya!" jawab
Pendekar 212.
"Kau sama saja saja sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau! Keterlaluan!" Winayu merengutjengkel tapidalam hati dia merasa geli juga melihattingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengansusahpayah Wiro berhasil mendapatkandua ekor kuda yang sebelumnya memang ditambatkandisekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalandisebelah belakang. Tapi ingat, harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh silat itu punya mata setajam setan! Jangan sampaikauterlihat oleh mereka!"
***
7
WIRO MEMACU kudanya meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai meredatetapitiupan angin tambah menggila dan malam semakin pekat. Air lautnaik terus. Di bagiantepi pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di sebelah depan ratusan pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga orang Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda adalah Si Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang ketiga orang ini bergerak Pengemis Kaki Kayudan Si Pengupas Kepala. Sedang Tatata Tititi yang memakai caping menunggang kudaagak jauh diujung kanan pasukan.
Pasukan pemberontak bergerak perlahan. Bukan sajakarena hujan dan angin badai tetapi juga karena semuanya kini diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada apa yang kini mereka katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar pasukan Kerjaan secara tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan. Padahal sebelumnya mereka penuh semangat den harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan serangan mendadak di mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini sebaliknya malah pasukan Kerajaan yang datang muncul dan menyerbudi pusat markas mereka di teluk Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai alam berupahujan danangin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang basah olehair hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata Tititi. Sejaraklima belaslangkah dari banci
berbaju gombrang merah itu mendadak Wiro mendengar suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan kesempatan, selalu perempuan cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana Pangeran Gila itu? Hik...hik...hik … "
"Eh, suara itulagi..." desis Wiro. Dia memandang kearah orang bercaping itulalu bergerak mendekatinya. "Hanya dia tokohsilat yang terdekat denganku..." Begitu berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarakjauhitu! Dan aku yakin kau bukanbanci! Siapakau inisebenarnya badutcelemongan?!"
Orang yang ditegur tertawa haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-breettt dia merobekipakaian merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau menelanjangi diri sendiri?!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja merobekipakaiannya lalu mencampakkan pakaian ituketanah yang telah digenangi airlaut. Ternyata di balik pakaian merah yang adasulaman mahkota dankeris bersilang itudia masih mengenakan sehelai pakaian berwarna hitam. Selagi Wiro keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka celemongan angkat capingnya dari atas kepalalaluacuhtakacuhtapilebardaribambu ini dilemparkannya ke arah kiri. Benda ini melesat deras di udara, menembushujan danangin lalu menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata lemparan caping itu merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu menghantam punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa orang-orang di sekitarnya menyadarikejadian itu. Mereka hanya melihat sang Adipati tetap duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata Tititi membuat luntur bedak tebal,gincudan alis yang celemongan itu. Kini kelihatanlahwajah yang asli. Wajah ituberkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berserukaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-gigimu tampak putih?!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya kedalam mulut itu. Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis berwarna putih. Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatanbarisan gigi-giginya yang terbuat dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang, sinenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang Kerajaan melihatmu dalam pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan keris bersilang itu, kau akan merekacincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan pakaian itu!"
"Hem mm… Jadi itu sebabnya kau membuang baju merahmu tadi, nek...!" Wiro berkata. "Baju darimu ini cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja yang aku robek!" Wiro angkat bagiandada kiri pakaian ke mulutnya, lalu menggigitsulaman benang merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri pakaian itukini bolong sebesartelapak tangan. Sulaman mahkota dankeris bersilang lenyap.
"Aku tak mau kedinginan...." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang dirimu. Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang lalu, apakah kau bukannya salah seorang daripentolanpemberontakitu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh silat Istana yang berhasil menyusup ke
dalam komplotan dan markas pemberontak. Kita sama satu haluan. Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada
Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu muka dan beradu senjata!"
"Kita harus berusaha menangkaphidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari pemberontakan ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila itu, padahal begitu dia menang, Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat diri sebagai Raja..."
"Aku sudah tahu hal itu. Apakah dua malam yang lalukau ikut mencuri dengar pembicaraan rahasia antara Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang lain .... Dengar, kita tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak Api. Yang lain- lainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana dua ujung tombak pasukan sudah salingbertamu. Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara beradu senjata, pekikkesakitandan kematlanditimpal oleh ringkikan
kuda serta deruhujan danangin. Darah mengucur, membuat
air laut tampak merahdalam kegelapan malam.
Di ujung sebelah depan pasukan pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk ganas. Belasan prajurit Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia
membentak, "Manusia pengkhianat, kau kuberikesempatan menyerah, kecualikalau menginginkan mampus dengannoda memalukan!"
Si tinggi besar itu adalah perwira tinggi atasan langsung Aryo
Ladam.
"Majurai! Jangan bicara besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkankau menyebrang kepihakku atau akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangankanannya. Bekas bawahandan atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan satu yang seru. Namun setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingikehebatan atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas kuda. Kelewang Majurai mercbek dada Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena mengharapkanjabatan dan pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan dada bersimbah darah lalu terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya, sesudah itu nafasnyapun berhenti!
Majurai putarkudanya. Namun gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok panjang mengurungnya. Tanpa memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung menyarang. Kali ini kehebatan Majurai tidak sanggup menghadapikeroyokan salah seorang dari tiga lawannya namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan
parah, membuatnya menjadikorban pertama berpankat tinggi dipihak
Kerajaan.
Dari arah belakang barisan pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengansebat. Satu di antaranya langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyoksi perwira tinggi. Empat prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat menyongsong. Dua hantamkan
tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan golok. Yang dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan berkilat sinar biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu suara senjata berdentrangan dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka sesaat tergontai di atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam di tangan. Ada luka yang mengeringkandi dada, leher, perut dan kepala. Darah mengucur. Satu demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh danjatuhke tanah yang digenangiairlaut.
"Iblis Pedang Biru!" desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali siapa adanya penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu gebrakan saja! "Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan berada dipihak
Kerajaan...?!"
Si Tapak Api berpaling ke kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke depan bersama Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang itu kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi bukan tokoh silat Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang sama sekali tidak diduga akan muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si Benang Malaikat lalu Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan inipun sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang ke jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan membawa senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi bertongkat hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang memiliki rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat
potongan besi berbentuk mata tombak! Si Tapak Api sama sekali tidak takutkandua tokohsilat Istana ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya harus memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala Desa Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh silat Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada
Sepasang Tombak Dewa, bahkan berteriak ke arah Si Pengupas
Kepala.
"Hadapi tiga orang di sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokohsilat Istana. Ki Demang minta Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia menghampiri pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan keras menghantam pangkai lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup kaku di atas punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas. Lalu perempuan initarik leher tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini menghadap ke arah pantai. "Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek usap kepala binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu, sikudaberlari menuju ke pantai, tepat dariarah mana Winayu Tindi mendatangi.
"Tapak Api, kulihat urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki Kayu.
"Apa maksudmu?!" tanya Si TapakApi.
"Aku tidaktakut menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru dirimu! Jika kau mampus di tangan mereka,
bagaimana dengan obat penawar racun itu! Kami tidak ingtn mati konyoldiharike tiga belassedangkankausudah mampus duluan!"
"Aku tidak akan mati lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu! Mari kita serbu mereka!" Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah suara kuku-kuku jari SI Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besitipis dantajam.
"Kau saja yang menyerbu mereka sendirian Tapak Api!" berkata Sf Pengupas Kepala. "Tetapi berikan dulu obat penawar racun itu! Aku mendapat kisikan dari Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya maksud busuk tersembunyi. Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara keji belaka. Bila Kotaraja jatuh kauakan membunuhPangeran itulalu mengangkat diri jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau racuni secara kejiakankaubiarkan matikonyol!"
Paras Si Tapak Api berubah. "Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak. Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta seseorang yang sebelumnya tak pernah merekalihat.
"Sahabatku Tatata Tititi tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku turut mencuridengar rencana kejimu itu waktukau bicarakandengan Ki Demang Wesiseusai pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata Tititi itu!"
Si nenek di samping Wiro tertawa ngekeh. "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulahorangnya"
"Penyusup pengkhianat! Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangkakeparat bermuka hitamitu! Dan kau! Biar aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku memang sudah curiga padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Apt gosokkankedua tangannya keras- keras. Terdengar suara meletup. Lidah api keluar dari sela kedua tangan yang digosokkan, langsung menyambar kearah Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng itu melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent 212. Terdengar kuda yang tadi ditungganginya meringkikkeras,disusul baudaging hangusterbakar. Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagiantubuhnya hangusdihantam lidahapi serangan Si TapakApi!
Sepasang Tombak Dewa sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi Emas, maka begitu menyerang, keduanyasudah pergunakan tombak pendek masing-masing.
Tiga tokohsilat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku Beracun tampak terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan pemberontak saat itu terjadi saling serang! Lain halnya dengan dua tokoh silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka sudah mengetahui bahwa Nenek Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke dalam komplotan pemberontak, namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda yang saat itu diserang SiTapakApi dengan lidahapinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil sebuah terompet yang tergantung di leher kudalalu meniupnya kuat-kuat. Mendengartiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan hentikan pertempuran dan cepat mundur
sampai sejarak lima tombak dari pasukan pemberontak, membuat pasukan pemberontak terheran-heran.
"Kalian akandiberikan pengampunan jika menyerah!" teriak Iblls
Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demiklah sambung menyambung hingga seluruh pasukan pemberontak mendengardandiam-diam mereka merasa gembira. Saat itu sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari tiga arah. Semangat hampirpatah,apalagiketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku hantam satu sama lain! Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung membentuklingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa gelakketika dapatkandirinya diserangoleh Sepasang Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat tolol!Apakah kaliantidak punya senjata lain hingga menyerangku denganular-ularlaut?!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapil terlambat. Sepasang Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat pada pedang masing-masing. Justru inilah kesalahan mereka karenadisitukekuatan sihirsi nenek muka hitam. Tombak itu sebenarnyatidak berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya Tombak Dewa Kedua, senjata mereka tampak benar-benarseperti seekorularlaut. Panjang hijau dan licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan kepretkan senjata masing-masing. Begitu senjata itu jatuh ke air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk astinya. Sadarlah mereka kalau sudah tertipu. Cepat-
cepat keduanya melompat dari alas kuda untuk mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah pedang biru menempel di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya tergulung oteh benang putih halus tapi semakin dicobanya membebaskan diri, semakin kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata tokoh silat bergelar Si Benang Malaikat! Dua pentolanpemberontak itujadi tak berdaya. BeberapaperwiraKerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru menotokkeduanya.
Kini semua mata tertuju pada pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku Beracun siapa adanya pemuuda tanpa pakaian yang bersenjatakankapak tengah menghadapi SI Tapak Api itu.
"Apakau buta?" sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali siapa dia. Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilatditangankanannya...!"
"Astaga! Jadi dia Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu...!" berucap Iblis Pedang Biru. "Tidak disangkadia muncul disini danikut berbaktipada Kerajaan...!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan serangan-serangan dahsyat. Setiappukulan atau jotosan atau gerakan apapun yang dibuat tangannya maka lidah api yang panas berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian kemari dan menyadarikalaudiatakbisa bertahan lebih lama maka pendekar ini segera putar Kapak Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung sepertiseribu lebah mengamuk. Lidah api serangan SI Tapak Api terpental dan
membalik menghantam ke arah Si Tapak Api sendiri. Orang ini berteriak kaget dan kesakitan. Lidah api membakar muka dan se- bagiandadanya! Dia jatuhkandirike tanah dancelupkan kepala serta tubuhnya keairlaut sakingtidak sanggup menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu terkena air lout, rasa sakitnya malahsemakin menggila. Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi diatidak dapat melihat apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri ternyata kinitelah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalulari menghambur merancahair laut.
Iblis Pedang Biru berpaling pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Pendekar Paku Beracun segera mengeruk saku pakalannya. Gerakan ini terlihat oleh Si Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang kawatirkan ancaman maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak mendapatkanobat penawar, padahalobatituadapada Si Tapak Api, Mereka sama-sama berteriak, "Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buahpakuberacun sudahkeburu melesat. Satu menacap di batokkepala Si Tapak Api, satunya lagi menembus pinggangnya. Orang initersungkur ke dalam genangan airlaut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke arah mayat Si Tapak Api dengan menggeledahpakaiannya. Tapi merekatidak menemukanobat itu!
"Celaka!" seru Pengemis Kaki Kayu.
"Apakahini yang kalian cari...?" terdengar orang bertanyadisusul suara tawa mengekeh. .
Si Pengupas Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.
Dia melihat Nenek Hitam Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih. Keduanyajadi beringas lalu melompati sinenek. Tapi maksud mereka mengambil obat-obat penawar itu tidak berhasil karenasinenekcepattariktangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak Pengemis Kaki Kayu lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!" berteriak SI Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang obat penawar?!"
Nenek Hitam Bergigi Emas tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si Tapak Api, apa susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas butir! Hik..hik..hik...! Aku akan berikanobat inipada kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkandiripada pasukan Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dandiadili sesuaidengandosa-dosakalian berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu dia menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas. BegitujugaPengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketikaberkelebat menyambar ke arahbatokkepala si nenek. Sekali kena pastilah kulit kepala dan kulit muka perempuan tua itu akanterkelupas dankepalanya akan berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat ituu menyambarsinar putih yang sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat Wiro menghantamkan kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kinidiarahkan untuk menangkap
tangan dan lengankanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putarkapaknya. Tring-tring-tring.... Si Pengupas Kepalaberserukaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang sekeras besiitu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas kelapa ini! Ha…ha...hah....!" Yang berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-putar gulungan benang halus berwarna putih. Melihat ada lagi yang hendak menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika melihat benang halusdi tangan Si kakekberambut putih bergulung-gulung ke arahnya. Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku jarinya yang masihutuh.
Des ...des...des...
Ujung benang saktiberputusan. Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang danyakindapat membunuh lawannya itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kinidiulurdan tampak makin panjang. Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan kedua tangannya. Sekali ini serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-tahu kedua tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampaikebawah bahu!
"Setan haram jadah!" maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskanikatan benang. Tapi kulitnya serta merta teriris dandarahmulal mengucur. Sadar kalau dirinyatakbisalolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk menjelepok di tanah tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini mengingatkannya pada benang sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat berbahaya itu Si Benang Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si Pengupas Kepala lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawake Kotaraja. Tapitidak diduga, begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya, tubuh yang duduk menjelepok di tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya menendang denganderas.
Dukk!
Tendangankerasitu menghantam dadasi Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini sempat mengelak. Tubuhnya terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!" teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung membabat. Sinar biru pekat berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala Si Pengupas Kepala menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak tokoh-tokoh silat kelas satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk menghadapi mereka semua. Tapi untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin
dilakukannya. Maka diapun berpaling pada Nenek Hitam Bergigi
Emas.
"Jika kau berikan obat penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini dan melupakan semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketakatamu?!" sinenek tertawa
"Ini bukan silang sengketakaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau berkomplot untuk merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin pembunuhan terhadap prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokohsilat Kerajaan. Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada kami?!" Iblis Pedang Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu tanganmudan satu matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"
Sebagal jawaban Iblis Pedang Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun dari kuda. Pengemis Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan lawan, kaki kayunya yang terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung ditusukkan ke bawah perut Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke bawah.
Traang!
Pedang dan kaki kayuberadukeras. Sungguh hebat, pedang sakti dantajam itutidak sanggup memutus ataupun merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidakbisadianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan kilat padatitik kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis Kaki Kayu. Berkelahi dialas pasir yang digenangiairlaut ternyata bukan hal yang mudahbagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjaditumpuan bobottubuhnya melesat ke dalam pasir sedangkankaki kayunya beberapakaliterseok akibatlekatan pasir dan genangan air. Ketika lawannya mengajak bertempur berputar-putar,
tokoh silat yang ikut terbujuk memberontak inijadi kerepotan dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis Kaki Kayu mulaikehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini membuatnya menjadi nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada. Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung pedang oleh Iblis Pedang Biru. Pengemis Kaki Kayu hanya sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka bahkan sempat menggebuk kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak tepat. Namun untuk itu dia harus membayar mahal denganjiwanya sendiri. Ujung pedang menembus dada kirinya, tepat diarah jantung!
Teluk yang gelapkinidiselimutikesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai mulai mereda. Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan puluhan korban. Mulai dari prajurit rendah sampal perwira dan tokohsilat.
Pendekar 212 melompat ke atas kuda. Dia menjura kearah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para tokohsilat Istana.
"Ada satu urusan lagi yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku sangat berharap di lain waktu dapat bertemu lagi denganmu...!"
"Hai! Kau mau ke mana pendekar gagah? Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang Biru. Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat dia! Di mana Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis Pedang Biru.
Yang menjawab adalah Nenek Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, diatelah menotoklalu mengikatPangeran itupada
sebatang pohon di bukit tak berapa jauh dari mulut goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naiklebih tinggi, sebelum goa terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya. Pangeran gila itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si TapakApi dan Ki Demang Wesi...."
"Kepala Desa Pemberontak itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang Biru.
Si nenek muka hitam mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212. Kewajlban kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan...."
Semula Winayu Tindi berniathendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang yang terbujur menelungkup bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa langkah saja lagidan dia mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas punggung binatang itu,kagetlah gadis ini.
"Pakde!" teriaksi gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalulari kearah orang di atas kuda. "Pakde! Kau pingsan atau bagaimana...?" Tubuh danwajah Ki Demang Wesi ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil tetap tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi menurunkan tubuh Ki Demang Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapaiketinggian di atas mata kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah sendiri itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu membaringkannya di situ. Kebetulan ada sebatang pohon kelapa. Punggung dan kepala Ki Demang Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali dia berusaha membangunkan orang yang disangkanya pingsan itukarenadia tidak melihat adanya bekas-bekas
luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga berhasil akhirnya Winayu Tindi mulaikeluarkan suara sesenggukan menahan tangis.
Winayu Tindi tidak tahu entah berapa lama diategak menangis di tempat ituketika dikejauhandilihatnya ada seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya kearah tempat dia berada.
Yang datang ternyata adalah pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang sebelumnya jugatelah menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro melompat turun dari kuda lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat menangis. Apakahkau menangisi orang itu? Dia cuma pingsankarenaditotok."
"Saudara lekas kau tolong dia. Lepaskan totokannya!" berkata
Winayu Tindi.
"Kecintaanmu pada Ki Demang Wesibesarsekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahkusendiri!" sahut sang dara.
"Justru dia adalah manusia paling kejidan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.
"Maksudmu.... ?" tanya Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, akuberjanji akah menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan jugakusir delman itu? Dialah orangnya!"
Winayu Tindi sepertidisambar petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku tidak percaya. Kau berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap sepertiayah sendiri? Pakdeku!"
"Jika kau tidak percaya kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara Ki Demang Wesi tapi tubuhnya tetap dalam keadaantertotok.
"Pakde...Benar kau yang membunuh ayah dan ibu...?" Winayu Tlndi bertanya begitu melihat Ki Demang Wesi gerakkan mulut.
"Siapa yang mengatakan fitnahdan bohong besar itu, anakku?"
Winayu Tindi menuding kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi pemuda itu. "Bangsat! Kau memang tidak kupercayasejak semula! Dialah yang membunuhkedua orang tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo haritapi berhasil melarikandiri!"
"Keparat kalaubegitu...!"
"Tunggu dulu saudari, jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya sang dara menjadi galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika kau tidak percaya padaku. Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka menolakuntuk bergabung dengan komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan melaporiaan kamplotan ituke Kotaraja.
Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu, jugaibumu dan kusir delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan ibumu... dia merusak kehormatan Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!" teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling busuk di dunia ini Ki Demang Wesi. Aku menjadisaksi atas apa yang diucapkan Pendekar 212 tadi!" Tahu-tahu di tempat itutelah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu anakku! Jangan percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan pemuda itu!" teriak Ki Demang Wesi.
Si nenek ganda tertawa lalu lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya berkata, "Bacalah! Itu surat Perintah dari Sri
Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi. Surat itu sudah lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku mengeluarkannyalebih cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ. Di sebelah bawah terdapat cap Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang jatuh ke dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro. Sebelum pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga Gent 212 yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar putih berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!" seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke batok kepala Ki Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu. Tapi Nenek Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannyatertahan. Di depan sana terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batokkepalanya yang hampir terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit ketika melihat dan menyadari apa yang barusandilakukannya. Lalu gadis ini berdiriterhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang lain melepaskan Kapak Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelumjatuh keairlalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.
Pasang semakinnaik. Malam bertambah gelap danudara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itulalu menaikkannyake atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang membuat Winayu menjadi lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke punggung kuda dan duduk di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar
jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba ada suara mengiang. "Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik…hik...hik...!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek Hitam Bergigi Emas takada lagi di tempat itu. Tapi pasti sekali dialah yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng hanyabisa menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkankepalanya ke dadanya.
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh mau
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar