Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 31 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SERIKAT CANDU IBLIS

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com

WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Karya: Bastian Tito

SERIKAT CANDU IBLIS

SATU

MUSIM panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus. Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama  menjadi  pendataran  liar  yang  terdiri  dari  bongkah-bongkah  tanah  kering kerontang dan alang-alang.
Di    bawah    teriknya    sinar    matahari    yang    seperti    membakar    bumi menghanguskan jagat, di sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat didepan, empat di belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberiberatap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat darikayujatihitam.
Karena  kayu  jatinya  merupakan  kayu  jati  paling  bagus  dan  tebal  maka keseluruhan tandu itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi kalau di atas tandu itu ada orangnya.
Di samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang ada didalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari.
Sambil bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan “Satu-dua-tiga- empat...! Satu-dua-tiga-empat!” Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan “Anjing gila jilat pantat...! Anjing gila jilat pantat!”

Begitu  seterusnya  sepanjang  perjalanan  selalu  terdengar:  “Satu-dua-tiga- empat...! Anjing gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat...! Anjing gila jilat pantat!”
Tubuh, muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat. Tetapi hebatnya, mereka tidak tampakletih.
Rombongan pengusung tandu anehitu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah  Magetan  menuju  ke  Barat.  Ke  delapan  orang  pengusung  sama  sekali  t idak mengetahuike mana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang tertutup itu mereka mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau tiga kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan  berarti jalan  terus  ke  depan.  Dua  ketukan  membelok  ke  kanan.  Kalau terdengar tiga kaliketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari dalam tandujuga sesekalikeluar asap tipis berwarna putih agak kelabu. Anehnya,  setiap  asap putih  itu keluar, ke  delapan orang  lelaki pengusung  seperti berebutan  meninggikan hidung,  serentak  menghirup  asap  tersebut.  Begitu  mereka dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadikemerahan. Rasa letihdi sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap!
Di suatu tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera membelokke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup kerimbunan  daun-daun  pepohonan.  Kini  sejak  dilanda  musim  kemarau  panjang selama  delapan  bulan,  rimba  belantara  itu  hanya  tinggal pohon-pohon  nyaris  tak berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Dilantai tandu terdengar suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalahlurus ke depan.
Di salah satu bagian hutan, ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu  berganti dengan ketukan tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung serta  merta berhentiberlari. Suara seruan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!” langsung sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidakberkesip.
Sebenarnya  sejak  memasuki rimba  belantara  tadi mereka  diam-diam telah mengetahui ada serombongan orang tengah menguntit mereka. Namun karena tidak mendapat “petunjuk” dari dalam tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu

dan dengan tenang  sambil terus mengumandangkan ucapan-ucapan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”, kedelapannya terus saja berlari.
Kini tujuh ketukan tadi telah mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti mereka harus berhentiberlari karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan bahaya itu Delapan lelaki bertubuh tegap itu tidak menunggu lama. Semakbelukar di sekeliling mereka tersibak. Dua belas orang berpakaian merahdan berikat kepala kain merah  muncul.  Tampang  mereka  rata-rata  angker  dan  masing-masing  mencekal sebilah golok besar.
Seorang dari mereka melangkah maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan dari   sebelas   kawan-kawannya.   Berewok   dan   kumisnya   sangat   lebat.   “Kalian rombongan dari mana dan mau ke mana!?”
“Kami dari Magetan, dalam perjalanan menuju ke Barat.” Salah seorang dari delapan lelaki pengusung tandu menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan depan.
“Barat itu luas. Sebutkan tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki padaku!” bentak si berewok ini.
“Kami tidak berteka-teki. Kami bicara apa adanya!” jawab si pengusung di kanan depan. Rupanya dia tidak takut menghadapi rombongan orang-orang angker yang kini mengurungnya didalam rimba belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak menunjukkan rasa khawatir. Sikap mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing tidakberkesip mengawasikeadaan sekeliling mereka.
Lalu kawannya didepan kiri menyusuli ucapan itu. “Kami sudah menjawab. Sekarang beri jalan jangan menghalangi!”
Lelaki   berewok   berpakaian   merah   sesaat   menatap   pengusung   itu   lalu menyeringai. Setelah itu kembali dia membentak. “Turunkan usungan! Aku mau lihat apa yang kalian bawa!”
Yang  menjawab  kembali  adalah  pengusungan  di kiri  depan.  “Kami  tidak membawa barang atau benda berharga. Jadi t idak perlu tanduditurunkan.”
“Hemm … Begitu kau bilang?” orang berpakaian merah dengan berewok lebat kembali menyeringai. “Di rimba belantara Karangkuku san ini aku yang punya kuasa. Aku yang memerintah. Hanya mereka yang ingin cepat mampus boleh unjuk lagak coba-coba membangkang!”

“Kita sesama teman, mengapa harus bicara keras? Apalagi sampai memeriksa isi tanduini!”
“Kita  sesama teman kau bilang! Aku Krincing Wungu tidak pernah punya teman manusia-manusia dogol macammu dan kawan-kawanmu! Turunkan tandu atau kepala kalian kubikin menggelinding satu demi satu!”
“Hah!   Rupanya   kami   berhadapan   dengan   gembong   penjahat   rimba Karangkukusan yang terkenal itu!” kata sipengusung didepan sebelah kiri.
Dari dalam tandu tiba-tiba keluar  asap putih kelabu.  Delapan orang  lelaki pengusung tandu meninggikan leher dan menghirup dalam-dalam. Tampang mereka serta merta menjadi merah  segar dan mereka  seperti mendapat  satu kekuatan dan keberanian. Hal ini t idaklepas dari pemandangan dua belas orang berpakaian merah, termasuk pimpinannya yang bernama Krincing Wungu itu.
“Tandu tidak akan kami turunkan! Terserah kau  mau berbuat  apa! Adalah bodoh kalau kau tidak  melihat tingginya  Gunung Merapi dan dalamnya  Samudra Selatan. Kau mencaripenyakit sobat!”
Krincing Wungu mendengus. Dia berpaling pada sebelas anak buahnya lalu goyangkan  kepalanya.  Melihat  isyarat  ini  sebelas  orang  lelaki  berpakaian  merah segera menyerbu ke arah usungan. Sebelas golok besar berkelebat mencari sasaran di tubuh  atau  kepala  delapan  orang  lelaki  pengusung  tandu.  Dalam  keadaan  masih memikul beban berat,  serangan ganas  itu pastilah akan membawa  celaka bagi ke delapan orang yang jadi sasaran. Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Satu orang lelaki pengusung di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang melesat keluar sedang enam lainnya tetap ditempat masing-masing. Lalu tangan dan kaki mereka yang bebas bergerak cepat menyambut serangan.
Dua anggota pengusung yang tadi keluar dari rombongan menyusup dan tahu- tahu sudah berada di belakang sebelas orang yang menyerbu. Keduanya membuat gerakan gerakan cepat dan ganas.
Kesebelas  penyerang  itu  kini  seolah-olah  terjepit  di  tengah-tengah.  Lalu terdengar jerit pekik. Enam golok mentalke udara. Empat sosokberpakaian merah roboh  dengan  kepala  pecah.  Tiga  lainnya  menggelepar-gelepar  di  tanah  sambil pegangibatang leher yang remuk lalu tak berkutiklagi, mati dengan mata mencelet.
Sisa penyerang yang tinggal empat dan saat itu tidak lagi memegang senjata karena telah mental atau jatuh. Mereka melompat mundur dengan muka pucat.

Dipihak para pengusung tandu, salah seorang di antara mereka yang di bagian belakang kelihatan masih tegak mengusung tandu tetapi pangkal bahu kirinya luka besar kena hantaman golok.
Darah mengucur deras membasahi dadanya yang telanjang dan juga celana hitamnya. Dari air mukanya jelas orang ini menahan rasa sakit yang amat  sangat. Hebatnya, dalam keadaan luka parah seperti itu dia tetap tegak menahan tandu dengan bahu kanannya. Namun darah yang terlalu banyakkeluar membuat orang ini mulai merasa dirinya limbung dan pemandangannya mulai berkunang.
Krincing  Wungu  sesaat  masih  tertegak  dengan  tubuh  bergetar  dan  mata melotot. Dalam hati dia menggeram. “Siapa orang-orang ini sebenarnya? Tujuh anak buahku mereka bunuh dalam sekejapan!” Seberkas asap tiba-tiba keluar dari sela-sela lantai tandu. Menyapu ke arah pengusung yang berada dalam keadaan luka parah tadi. Orang ini segera menghirup asap itu, kawan-kawannya di sebelah menyebelah ikut menghirup.  Begitu  hawa  dari  asap  aneh  masuk  ke  saluran pernafasan  dan paru- parunya, lalu mengalir dalam saluran pembuluh darahnya, pengusung yang terluka ini merasa ada perubahan dalam dirinya. Rasa sakit hilang sama sekali. Tubuhnya yang tadi  lemah  kini  menjadi  segar  dan  kuat   sedang  pemandangan  matanya  yang sebelumnya berkunang kini menjadi pulih dan terang kembali.
Di  lantai  tandu  terdengar  suara  ketukan  satu  kali.  Itu  pertanda  bahwa rombongan  pengusung  harus  segera  bergerak  meninggalkan  tempat  itu,  lurus  ke depan.
Rombongan ini segera bergerak. Namun baru maju dua langkah, dari samping didahului suara bentakan garang, Krincing Wungu melompat setinggi dua tombakke udara. Dilain saat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas tandu.

-- == 0O0 == --

DUA

BEGITU  kedua  kakinya  menginjak  atas  tandu.  Krincing  Wungu  segera tusukan golok besarnya ke atap itu. Delapan orang pengusung tetap tidak bergerak sedikitpun padahal berat tubuh Krincing Wungu paling tidak sekitar 90 kati!

Sesaat lagi golok Krincing Wungu akan menembus atap tandu, tiba-tiba atap tandu  terbuka  dan  dari  dalam  tandu  melesat  sebuah  tombak,  mencuat  langsung menusuk selangkangan Krincing Wungu.
Kepala penjahat hutan Karangkukusan ini meraung keras. Golok besar terlepas dari  tangannya.  Kedua  tangannya  kini  dipergunakan  untuk  memegangi  bawah perutnya  dari  bagian  mana  darah  mengucur  deras.  Sekali  lagi  Krincing  Wungu menjerit. Lalu tubuhnya jatuh ke bawah. Tiga orang anak buahnya berseru tegang. Mereka serempak melompat ke arah di mana tubuh pimpinan mereka bakal jatuh, berusaha menyahuti tubuh itu agar tidakjatuh ke tanah.
Namun tubuh  Krincing  Wungu besar  dan berat.  Tiga  anak  buahnya  t idak sanggup menahan. Keempat penjahat ini akhirnya jatuh terkapar di tanah. Krincing Wungu tampak menggeliat. Dari mulutnya tiada henti terdengar raungan. Suaranya menjadi parau. Tubuhnya berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergeming lagi.
“Pemimpin!”  seru  tiga  anak  buah  Krincing  Wungu  lalu  menubruk  tubuh pemimpin mereka. Tapi Krincing Wungu sudahjadi mayat.
Dilantai tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu tanda perjalanan harus dilanjutkan, lurus ke muka. Delapan lelaki pengusung tandu mendongak. Kaki mereka bergerak. Tandu itu kembali mereka gotong dan larikan. Dari mulut mereka kembali terdengar suara: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Tiga  orang  anak  buah  Krincing  Wungu  perhatikan  kepergian  rombongan pengusung tandu itu. “Rombongan aneh. Siapa mereka sebenarnya?” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku takbisa menduga. Tapi jangan-jangan …” orang ini t idak meneruskan  ucapannya. Wajahnya kelihatan pucat mendadak. Dua temannya tampak ketakutan  juga. Dia cepat berdiri seraya berkata, “Kita tidakbisa mengurus semua mayat ini.  Jenazah pemimpin saja yang bisa kita bawa dari sini. Bantu aku menggotongnya!” Masih didalam rimba belantara Karangkukusan, di arah barat yang bakaldilalui oleh  rombongan pengusung tandu tadikelihatan gerakan-gerakan di balik semakbelukar  dan di atas beberapa buah pohon besar. Lalu terdengar suara suitan-suitan pendek dari  arah kanan. Suitan inidisambut dengan suitan pula dari jurusan kiri.
Ketika suara suitan yang bersahut-sahutan itu lenyap, serumpun keladi hutan berdaun tinggidan lebar tampakbergoyang. Satu tangan muncul di antara daun-daun

keladi itu, menggaruk-garuk satu kepala berambut gondrong. Orang di balik pohon keladi mengongakke langit.
“Itu  bukan  suitan  biasa.  Siapa  yang  tadi  berbalas  suitan?”  orang  yang berambut  gondrong  ini  yang  ternyata  seorang  pemuda  bertanya  dalam  hati.  Dia memandang   berkeliling.   Tidak   terlihat   gerakan,   tidak   terlihat   apa   pun.   Dia mendongak  lagi.  Saat  itulah dia  melihat  sebuah benda panjang  menjulai di udara hampir tersamar di antara cabang-cabang pepohonan.
Belum  sempat  dia  menduga  benda  apa  adanya  itu  tiba-tiba  telinganya menangkap seruan-seruan tak berkeputusan dikejauhan di arah selatan. Makin lama seruan-seruan itu semakin keras dan tambahjelas. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Edan! Dalam rimba belantara begini siapa pula yang berteriak seperti itu! Anjing  gila  mana  yang jilat  pantat!” pemuda  berambut  gondrong  di balik pohon keladi besar berkata dalam hati setengah memaki. Tapi diam-diam dia juga merasa heran dan agak was-was.
“Jangan-jangan itu bukan suara manusia. Tapi suara hantu rimba belantara!” katanya lagi dalam hati. Dia memandang ke jurusan datangnya  suara-suara seruan  ramai itu. Lalu terlihatlah rombongan pengusung tandu yang terdiridaridelapan lelaki  bertubuh besar, hanya mengenakan celana hitam panjang sebatas betis.
“Hemm …” si gondrong bergumam. Kedua matanya memperhatikan kaki-kaki delapan orang yang berlari itu. Semuanya menginjak tanah. “Manusia juga adanya mereka.   Tapi   jelas   berkepandaian   tinggi.   Bukan   sembarang   orang   mampu menggotong tandukayu jati seberat itu. Malah sambilberseru-seru seperti itu! Dan berlari pula! Gila!” Rombongan pengusung tandu itu lewat didepan si gondrong yang bersembunyi di balik rumpun keladi.
“Siapa adanya orang-orang itu. Apa yang ada didalam tandu? Harta pusaka, perhiasan, emas berlian, atau seorang putri cantik jelita?”
Tiba-tiba  delapan  lelaki  bertelanjang  dada  yang  menjadi pengusung  tandu mendengar suara tujuh ketukan dilantai tandu. Tanda bahaya! Mereka baru saja lo los dari satu bahaya, kinibahaya apa pula yang datang menghadang?
Mereka  memandang  berkeliling.  Saat  itulah terdengar  suara berdesir.  Lalu sebuahjaring rak sasa, entah dari mana munculnya, laksana turun dari langit jatuh ke

bawah, tepat menimpa rombongan itu. Delapan lelaki pengusung berikut tandu yang diusung kini terkurung dalam jaring besar.
Delapan pengusung  berseru kaget. Namun  sebagai orang-orang  yang telah banyak pengalaman, cepat sekalikemudian mereka menguasaikeadaan. Masihdalam keadaan memanggul tandu yang berat, delapan pasang tangan mereka bergerak ke pinggang. Delapan pasang tangan kemudian terpentang ke depan.
Kelihatan setiap orang kini memegang sebilah pisau kecil yang sangat tajam di tangan kiri kanan. Pisau-pisau kecil itu mereka babatkan ke depan untuk memutus jaring. Namun jaring yang menjerat rupanya bukan jaring biasa. Atos tak mempan sayatan  pisau!  Padahal  pisau  kecil  itu  bukan  senjata  sembarangan.  Pernah  diuji kesanggupannya menusuk batu!
Delapan lelaki pengusung tandujadi terperangah dapatkan pisau-pisau mereka tidak sanggup memutus jaring. Sesaat mereka saling pandang. Salah seorang di antara mereka berkata, “Coba dengan pedang asap!”
Delapan orang itu terdengar merapal lalu serentak sama-sama meniup. Dari mulut mereka melesat aneh selarik sinar putih berbentuk pedang panjang.
“Wut … wut … wut … wut … wut … wut … wut … wut … !”
Delapan pedang asap menghantam jaring di delapan bagian. Jaring besar itu bergoyang keras seperti mau ambrol. Tapi ternyata tidak! Benda berbentuk pedang panjang malah tiba-tiba membalikke arah mereka. Dalam keadaan kaget kembalike delapan lelakipengusung tandu meniup. Pedang asap pupus lenyap tidak berbekas!
Di  kejauhan  terdengar  suara  ringkikan.  Lalu  ada  suara  derap  kaki  kuda mendatangi.   Sebelum   itu   dari   balik   semak   belukar   dan   pohon-pohon   besar berlompatan hampir dua lusin orang bersenjatakan tombak dan pedang.
Sepuluhdi antaranya memegang busur dan membidikkan anak panah ke arah orang-orang yang terjerat itu. Sementara itu dari atas pohon-pohon di sekitar tempat itu berserosoran turun sembilan orang berpakaian serba biru. Begitu sampaidi tanah mereka   langsung   menghunus   senjata   masing-masing   dan  menebar   mengurung rombongan yang barusan kena jerat. Berada dalam keadaan tak berdaya dibawah jala serta dikurung rapat demikian rupa, delapan orang lelaki pengusung tandukini tegak tak bergerak. Mata mereka mengawasi para pengurung. Telinga mereka menunggu aba-aba daridalam tandu namun tanda yang ditunggu tidak kunjung terdengar. Para

pengurung sendiri kelihatan tidak bergerak dari tempat masing-masing  seakan ada yang ditunggu. Memang benar. Saat itu muncul t iga orang penunggang kuda.
Pemuda  gondrong  yang  mendekam  di  balik  kerapatan  semak  belukar  dan pohon keladi besar mengeryitkan kening. Salah satu di antara tiga penunggang kuda itu,   yakni   yang   berpakaian   bagus   dan   berambut   putih   dikenalnya   sebagai Lawunggeno, Adipati Magetan. Di sebelahnya, seorang kakek berkulit hitam bermata sangat  cekung  berambut  panjang  sebahu.  Orang  tua  ini  mengenakan  baju  hitam berbelang-belang putih sehingga pakaiannya sepertibergambar jala atau jaring.
Si gondrong garuk-garukkepala di tempat persembunyiannya. Otaknya coba mengingat-ingat.  “Aku  pernah  tahu  tua  bangka  berkulit  hitam  itu.  Ah …  sialan! Masakan akulupa. Padahal dua bulan lalu aku melihatnya di pantai selatan. Siapa … Aku ingat! Dia adalah Jala Gandring! Tokoh silat yang dikenal memiliki keahlian dalam soal jebak-menjebak! Punya hubungan dekat dengan pembesar di Kotaraja. Betul, dia memang Jala Gandring!”
Lalu pemuda ini memperhatikan penunggang kuda yang ketiga, yaitu seorang lelaki separuh baya bertampang gagah dan berpembawaan tegang. Di pinggangnya bergelung  seuntai rantai besar  yang terbuat  dari perak berkilat.  “Pasti itu  senjata andalannya,” pikir si pemuda. Dia coba menduga-duga tapi tidak berhasil mengetahui siapa adanya orang ini.
Setelah  menatap  orang-orang  pengusung  tandu  yang  terperangkap  dalam jaring  itu  beberapa  ketika,  orang  tua  berkulit  hitam  tertawa  mengekeh.  “Tidak percuma dua tahun aku merancang jala itu. Kini terbukti memang luar biasa. Tak bisa dirobek apalagidijebol!”
Adipati Lawunggeno majukan kudanya dua langkahlalu berkata dengan suara keras.  “Iblis-iblis  perusak jagat!  Hari  ini  habis  riwayat  kalian!  Sebelum  kusuruh pancung lekas turunkan tandu!”
“Kami tidak  layak mengikuti perintah siapa pun kecuali pemimpin kami!” menjawablelakipengusung didepan kanan.
Lawunggeno menyeringai. “Kalau begitu aku perintahkan agar pimpinanmu lekas keluar dari tandu!”
“Tanduinikosong! Kami t idak membawa barang atau manusia!”
“Jangan berani dusta!” bentak orang berikat pinggang rantai perak.     “Siapa yang dusta! Kalian lihat sendiri!” jawablelakipengusung tadi.

Lalu dia memberi isyarat kepada kawannya yang berada di sebelah tengah kanan. Orang ini segera ulurkan tangan membuka pintu tandu. Begitu pintu terbuka kelihatanlah bagian dalam tandu. Ternyata memang tandu itu kosong!
Lawunggeno, si rantai perak dan Jala Gandring melengak dan saling pandang.
“Aneh,”  bisik  Adipati  Magetan  itu.  “Aku  berani  bersumpah.  Aku  sendiri melihat   iblis   terkutuk   itu   masuk   ke   dalam   tandu   sebelum   rombongannya meninggalkan Magetan!”
“Mungkin dia menyelinap di tengah jalan,” kata si rantai perak.
“Aneh … Aku t idak bisa percaya hal ini,” berkata Jala Gandring. Matanya yang besar dipelototkan melihat bagian dalam tandu. Tapi di dalam sana memang tidak ada siapa-siapa. Kosong melompong!
Melihat  tiga  penumpang  kuda  itu  bingung,  pengusung  yang  di  tengah menutupkan pintu tandu kembali.  Lalu kawannya  yang  di  sebelah depan berkata. “Kalian sudah melihat sendiri tidak ada apa-apa di dalam tandu. Sekarang izinkan kami pergi!”
“Pergi?!”  Adipati  Lawunggeno  tertawa  bergelak.  “Kalian  memang  boleh pergi. Tapi pergike neraka! Selama ini kalian ja dikaki tangan Serikat Candu Iblis. Merusak   rakyat   dan   negeri.   Setelah   tertangkap   begini   apakah   kami   akan membebaskan kalian begitu saja? Enakbetul!”
“Kalian salah sangka! Kami bukan orang-orang Serikat Candu Iblis!”
“Siapa percaya pada mulut busuk penipu sepertimu!” bentak Jala Gandring.
“Bunuh mereka! Tinggalkan satu hidup-hidup!” Lawunggeno berteriak lalu memberi  isyarat  pada  sembilan  orang  berseragam  biru.  Mereka  prajurit-prajurit Kadipaten yang ada dibawah perintahnya dan sengaja mengenakan pakaian seragam biru.
Sembilan orang itu segera melompat sambil menghujamkan senjata masing- masing.  Melihat  hal  ini  Jala  Gandring  cepat  berteriak,  “Tunggu!  Jangan  dekati mereka!”
Namun enam dari sembila orang berseragam biru sudah terlanjur menyergap ke depan. Senjata mereka berkelebatan menusuk di antara rongga-rongga jaring. Lalu terjadilah hal yang mengejutkan. Enam buah tangan melesat keluar daridalam jala. Tiga menangkap lengan yang menusukkan senjata, dua menghantam ke arah dada dan satu ke arah kepala pihak yang menyerang.

Terdengar  pekik  keras.  Dua  dari penyerang  langsung  roboh  terbanting  ke tanah. Yang pertama pecah kepalanya,  yang  satu  lagi remuk tulang  dadanya  dan muntahkan darah segar. Sesaat kemudian keduanya meregang nyawa. Di sebelah kiri, orang  berpakaian  biru  ketiga  tampak  terhuyung-huyung  sambil  pegangi  golok miliknya sendiri yang kini menancap diperutnya. Penyerang ke empat terduduk di tanah. Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur membasahi pakaiannya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke tanah. Empat dari pihak penyerang menemuikematian secara mengejutkan. Dua lainnya sempat melompat mundur menyelamatkan diri.
Paras tiga orang penunggang kuda jadi berubah kaku membesi. Jala Gandring sangat  terpukul  karena  merasa  terlambat  memberi  peringatan.  Dia  sudah  tahu sebelumnya bagaimana kehebatan ilmu orang-orang yang menamakan dirinya Serikat Candu  Iblis.  Sangat  berbahaya kalau  diserang  dalam jarak pendek.  Orang tua  ini mengusap dagunya lalu membisikkan sesuatu pada Adipati Magetan. Lawunggeno lalu mendekati sepuluh orang yang tegak dengan busur dengan panah terpentang.
“Ganti panah kalian dengan panah-panah beracun! Bunuh pengusung tandu itu. Yang paling depan sebelah kanan biarkan hidup. Dia pasti pimpinan dari tujuh kawannya!”
Sepuluh  orang  yang  tengah  merentang  dan  membidikkan  panah  segera turunkan busur masing-masing, lalu mengganti anak panah dengan anak panah baru yang ujungnya terbuat dari besidan berwarna hitam pekat. Seluruh ujung besi anak panah itu mengandung racun yang amat jahat. Jangankan manusia, seekor gajah pun akan menemui ajalnya dalam beberapa kejapan saja sekali terkena.
“Izinkan  aku  membereskan  mereka,”  tiba-tiba  lelaki  gajah  berpembawaan tenang lo loskan ikat pinggang peraknya. Tapi sebelum dia bergerak Jala Gandring cepat menghalangi seraya berkata dengan suara perlahan.
“Dimas Barataji, aku tahu kehebatan rantai perakmu. Tetapikalau senjata itu menjebol jala, aku kawatir delapan manusia iblis itu malah akan punya kesempatan melarikan diri. Seperti usaha kita selama ini akan sia-sia belaka.”
Sebenarnya  Jala  Gandring  tidak  yakin  kalau  senjata  orang  yang  bernama Barataji mengalami nasib seperti empat prajurit Kadipaten Magetan tadi. Hanya saja dia tidak mau Barataji merasa tersinggung kalau hal itu dikatakannya secara terus terang. Barataji angkat bahu kemudian anggukan kepala.

Adipati Lawunggeno lalu memberi tanda pada sepuluh orang yang telah siap dengan  panah  beracun.  Di  dalam  jala  delapan  lelaki  bertelanjang  dada  tampak menatap angker ke arah sepuluh orang itu. Seperti yang diperintahkan Lawunggeno kesepuluh  pembidik  mengarahkan  anak  panah  mereka  pada  tujuh  orang  lelaki pengusung tandukarena yang seorang harus dibiarkan hidup-hidup. Berarti ada satu atau dua orang yang akan menerima sambaran lebih dari satu anak panah!
“Hantam!” teriak Lawunggeno. Dari dalam tandu keluar asap putih. Delapan lelaki pengusung menengadah, meninggikan hidung dan menghirup. Sepuluh panah beracun melesat. Dalam jarak yang begitu dekat kecepatan lesat anak-anak panah itu laksana sambaran kilat!

-- == 0O0 == --

TIGA

Delapan lelaki bertelanjang dada bercelana hitam mendengus lalu keluarkan bentakan  menggidikkan.  Kemudian  serentak  mereka  meniup  ke  arah  datangnya sepuluh anak panah maut.
Enam anak panah mentalke udara. Dua di antaranya hancur dan satu patah. Bagian  ujung  besi  yang  lancip  mencelat  ke  salah  seorang  yang  tadi  melepaskan panah.  Karena  tidak  menyangka  orang  ini t idak  sempat  menghindar.  Mata panah menancap di bahu kirinya. Suara jeritan menggidikkan. Bahunya tampak menghitam. Warna  hitam  ini  menjalar  ke  bagian  tubuhnya  yang  lain.  Sekali  lagi  terdengar jeritannya lalu tubuhnya terkapar di tanah!
Walaupun delapan orang lelakidibawah jala mengeluarkan kepandaian luar biasa, mengandalkan tenaga dalam meniup anak panah beracun, namun hanya empat di antaranya masihlo los. Dua panah beracun sekaligus menancap didada pengusung tandu di depan kiri. Satu panah menembus leher lelaki di depan kiri dan satu lagi menembus di perut orang ketiga, yaitu yang tegak di bagian kanan tengah.
Ketiganya menjerit keras. Tubuh atas mereka yang tanpa pakaian itu  serta merta kelihatan menghitam. Dari dalam tandukembali tampak asap mengepul keluar. Tapi  sekali  ini  apa  pun  kekuatan  yang  ada  dalam  asap  aneh  itu  tidak  sanggup

menyelamatkan nyawa tiga orang  lelaki pengusung tandu. Mereka menjerit  sekali lagi.  Lalu  tiba-tiba,  ketiganya  mencabut  panah  yang  menancap  di tubuh  masing- masing. Sebelum meregang nyawa mereka masih sanggup melemparkan panah panah beracun itu keluar jaring.
Empat batang panah kiniberbalik menyerang empat anak buah Lawunggeno. Luar  biasanya,  walau  anak-anak  panah  itu  hanya  dilemparkan  dengan  tangan telanjang, tetapi daya lesatnya hampir tidak beda seperti dilepas dengan busur! Empat jeritan terdengar dalam rimba belantara  itu. Empat  sosok anak buah Lawunggeno yang tidak mampu selamatkan diri terguling di tanah. Tubuh mereka kelihatan hitam sampaike muka!
Didalam jala tiga orang lelaki pengusung tampak terguling di tanah. Ternyata mereka pun tidak mampu melawan racun jahat panah yang tadi sempat menancap di tubuh mereka. Lima kawan mereka kini mengerahkan kekuatan untuk tetap dapat memanggul tandu. Ini bukan satu pekerjaan mudah, apalagi saat itu mereka tengah menghadapi serangan.
“Kurang ajar! Bakar mereka hidup-hidup!” teriak Lawunggeno marah sekali.
“Itu memang sudah kurencanakan Dimas Adipati, ” kata orang tua bermuka hitam bernama Jala Gandring. “Agaknya hanya itu satu-satunya cara memusnahkan manusia-manusia iblis ini!”
“Kumpulkan kayu kering! Tebar di sekitar jala!” perintah Lawunggeno. Maka semua orang yang ada di situ  sibuk mencari kayu. Karena  saat  itu musim kering dengan  mudah  dan  cepat  mereka  berhasil  mengumpulkan  kayu  lalu  ditumpuk mengitarijala.
“Nyalakan api!” teriak Lawunggeno.
Seseorang segera menyalakan api membakar tumpukan kayu kering di tiga bagian. Untuk pertama kalinya para pengusung tandu yang kini hanya tinggal lima orang itu berubah paras mereka.
Jala Gandring tertawa mengekeh. “Kalian mungkin punya seribu kehebatan! Tapi melawan api kalian tidak akan sanggup! Aku melihat bayangan ketakutan pada tampang-tampang kalian! Ha … ha … . Ha … !”
“Kangmas Lawunggeno,” Barataji membuka mulut. “Kalau mereka dibakar, berarti t idak ada yang bakal selamat untuk kita tanyai. Bukankah kau ingin  salah seorang dari mereka dibiarkan hidup?”

“Tadinya  memang  aku  menginginkan  begitu  Dimas.  Tapi  setelah  mereka membunuh orang-orang kita, sekarang aku lebih suka mereka mampus semua!”
Kobaran api tampak semakin membesar. Lima lelaki didalam jala berteriak teriak. Mereka berusaha melo loskan diri namun sia-sia saja. Semula mereka mengira api akan turut membakar jala sehingga mereka bisa menyusup keluar. Tetapi ternyata api hanya membuat hitam jala, tidak sanggup membakarnya!
Sungguh luar biasa jala ciptaan Jala Gandring ini. Teriakan kelima orang itu semakin keras menggidikkan. Bau daging yang terbakar mulai memenuhi seantero rimba  belantara.  Lalu  satu  demi  satu  kelimanya  roboh  tergelimpang.  Bersamaan dengan itu tandukayu jati yang berusaha mereka pertahankan agar tetap dapat mereka usung  ikut pula roboh berbarengan dengan jatuhnya tubuh mereka ke tanah.  Api mulai menjilat kayu tandu yang keras.
Tidak terduga sama sekali, tiba-tiba atap tandu terbuka dengan mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu daridalam tandu membumbung asap tebal yang menebar bau aneh.
“Asap candu iblis!” teriak Jala Gandring seraya menarik kudanya menjauhi tempat itu. “Cepat menyingkir! Tutup penciuman kalian!”
Semua  orang  segera  menyingkir.  Bau  aneh  yang  keluar  bersama  asap  itu membuat mereka seperti melayang. Untung semuanya sudah menjauh. Kalau sempat mereka  mencium asap  itu niscaya  mereka  akan jatuh pingsan.  Keanehan ternyata tidakhanya sampaidi situ.
Laksana batu terlempar keluar dari mulut gunung yang meletus, dari dalam tandukayu yang terbakar melesat keluar satu benda. Meskipun sangat samar-samar karena tertutup oleh ketebalan asap namun semua orang masih sempat melihat serta mengetahui bahwa benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Sambil melesat orang ini gerakkan kedua tangannya. “Brett!!!”
Jala  Gandring  terbeliak.  Jala  buatannya  yang  sangat  kokoh  itu  ternyata sanggup dibikin robek. Lewat jalan yang kinijebolitu, orang di atas sana loloskan diri dengan cepat.
“Ada orang keluar daridalam tandu!” seru Barataji.
“Pasti itu Ketua Serikat Candu Iblis!” teriak Jala Gandring.
“Kurung cepat! Jangan sampaidia lo los!” teriak Adipati Lawunggeno.

Baratajilo loskan ikat pinggang peraknya. Dia menyentakkan talikekang kuda. Binatang ini menghambur ke depan, Barataji sabatkan rantai peraknya ke arah mana tadi dia melihat  berkelebatnya bayangan sosok manusia.  Sinar putih laksana kilat menyambar menerangi tempat itu, dibarengi oleh suara menggelegar dahsyat. Tapi sasaran yang dihantam telahlenyap!
Penasaran Adipati Lawunggeno ikut menghantam. Dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Serangannyapun juga luput, hanya menghantam sebatang pohon kayu kering didepan sana sehingga patahdan tumbang berantakan.
“Iblis perusak! Kau tak bakallo los dari tanganku!” teriakkakek berkulit hitam Jala Gandring. Mata orang tua berkepandaian tinggi ini memang tak dapat ditipu. Tubuhnya yang langsing tinggi melesat ke udara. Pada ketinggian dua tombak dia membuat gerakan membalik. Lalu laksana seekor rajawalidia menukikke bawahdan lenyap di balikkerapatan daun-daun keladi besar yang dikelilingi oleh semak belukar lebat. Sesaat kemudian dari balik pohon keladi terdengar seruan orang tua itu “Adipati Lawunggeno!   Aku   berhasil   menangkap   Ketua   Serikat   Candu   Iblis!”   Adipati Lawunggeno, Barataji dan belasan orang  lainnya  segera melompat ke arah pohon keladi.

-- == 0O0 == --

EMPAT

Apa yang dikatakan Jala Gandring ternyata benar. Di hadapan si orang tua, di antara batang-batang keladi tampak meringkuk di tanah sesosok tubuh dalam keadaan menungging,  tak  bergerak,  tak  berdaya,  hanya  kedua  matanya  saja  yang  tampak berputar jelalatan.  Rupanya  Jala  Gandring  telah  menotok  orang  ini  dengan  satu totokan yang amat lihay.
Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Ketika ada sosok tubuh melesat keluar dari tandukayu yang terbakar dan tiga serangan menghantam ke arah sosok tubuh itu susul menyusul, dengan kecepatan luar biasa orang yang diserang membuat gerakan menyusup lalu menghilang ke arah kiri.

Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Serikat Candu Iblis
Dilain kejap dia sudah mendekam di balik pohon keladi. Pemuda berambut gondrong yang sebelumnya sudah berada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang muncul dekat sekali di sebelahnya, mengeluarkan nafas memburu.   Dia   berpaling.   Pandangannya   membentur   sosok   tubuh   aneh.   Di sampingnya  saat  itu  ada  seorang  lelaki  pendek  sekali,  mungkin  manusia  katai, berpakaian berbentuk jubah hitam penuh dengan hiasan renda-renda yang terbuat dari benang emas. Orang ini memiliki muka berwarna abu-abu aneh. Kepalanya botak plontos. Sepasang matanya sipit sedang daun telinganya sangat lebar.
“Eh,  kau  ini  tuyul  atau  cucunya  tuyul?!”  tanya  si pemuda.  Yang  ditanya tersenyum sambil melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan bicara keras- keras, nanti mereka dengar dan tahu aku di sini!”
“Kau siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa!”
“Sialan! Bukan siapa-siapa maksudmu?! Kau pasti orang yang melesat keluar dari dalam tandukayu. Kau yang disebut sebagai Ketua Serikat Candu Iblis?! Kau tak mungkin lolos darikeputusan mereka. Karena kurasa kau memang orang jahat. Aku akan membantu orang-orang itu meringkusmu!”
“Jangan lakukan itu! Kita memang tidak saling kenal dan tidak bersahabat. Tapi itu bukan berarti kita punya  silang  sengketa. Dengar, biarkan aku  lolos dari tempat ini. Aku titipkan kotakinipadamu!”
Habis berkata begitu lelaki katai berkepala botakitu masukkan sebuah kotak kayu ke balik pinggang pakaian pemuda di hadapannya.
“Eh, apa-apaan ini?!” Si pemuda menolak menerima kotak itu dan berusaha menarik jubah merah orang di sampingnya. Si katai meniup ke depan. Ada asap tipis menyambar wajah pemuda berambut gondrong, membuatnya sesaat menjadi lemas. Kesempatan ini dipergunakan o leh orang pendek berjubah merah untuk mendorong dada pemuda  di depannya  hingga terduduk  di tanah.  Selagi pemuda  ini berusaha berdiri  t iba-tiba  semak  belukar  di  sampingnya  terkuak  dan  satu  totokan  hebat bersarang di punggungnya hingga dia terdorong keras ke depan dan kaku sekujur tubuhnya. Kepala menekan tanah, pantat menungging ke atas.
Lebih  sepuluh orang mengurung tempat  itu. Tiga di antaranya adalah Jala Gandring, Barataji dan Adipati Lawunggeno. “Ha... ha... ha..! Kali inikau takbisa lolos lagi Ketua Serikat Candu Iblis!” kata Jala Gandring.

“Hari ini tamat riwayatmu! Manusia perusakinibaiknya kita cincang sekarang juga!”  kata  Barataji.  Dia  mengambil  sebilah  golok  dari  tangan  seorang  prajurit Kadipaten yang ada didekatnya.
“Tunggu dulu!” berkata Lawunggeno. “Aku mau lihat dulu tampang manusia ini!” Lalu dengan tumitnya didorongnya tubuh yang masih berada dalam keadaan kaku dan menungging itu hingga terguling.
“Hemmm …   Tidak   dinyana   sang   ketua   masih   muda   belia   begini.” Lawunggeno jongkok di hadapan sosok tubuh yang terguling. Dia jambak rambut  gondrong si pemuda kuat-kuat lalu membentak.
“Umurmu  hanya  tinggal  beberapa  kejapan  saja!  Sebelum  batang  lehermu kutebas, lekas katakan siapa kau sebenarnya! Di mana markasmu dan siapa saja yang melindungi Serikat Candu Iblis pimpinanmu!”
“Manusia iblis! Totokanku hanya membuat kau kaku! Kau tidak bisu! Kau bisa bicara!” bentak Jala Gandring.
Si pemuda kembali menyeringai. Barataji hilang  sabarnya. Dia menggertak dengan menghantamkan rantai peraknya ke tanah, hanya  sejarak dua jengkal dari kepala pemuda  yang terguling  di tanah.  Tubuh pemuda  itu terangkat  sampai tiga jengkal lalu terbanting kembali ke tanah. Tanah yang tadi dihantam ikat pinggang perak berbentuk rantai itu tampak tenggelam berlobang panjang sedalam hampir dua jengkal. Tanah kering bercampur debu dan pasir muncrat lalu jatuhkembali menutupi sipemuda.
“Kalau dia tak mau bicara tak ada gunanya menghabiskan waktu. Tapi dia tidak  boleh  mati  secara  cepat.  Terlalu  enak  baginya!  Adipati  kau  tebas  tangan kanannya.  Aku  akan  hancurkan paha  kirinya!  Dimas  Barataji kau  boleh  mencari sasaranmu sendiri!” kata Jala Gandring pula.
Lalu    kaki    kanannya    diangkat    tinggi-tinggi.    Tumitnya    siap    untuk menghancurkan paha kanan pemuda berambut  gondrong itu. Adipati Lawunggeno mengangkat tangan kanannya yang memegang golok siap membacok, sedang Barataji sudah memutar rantai peraknya. Sasarannya adalah kaki kiri si pemuda.
Sesaat lagi tiga hantaman akan melabrak tubuh si pemuda, tiba-tiba pemuda itu   masih   sambil  menyeringai   dan   tenang   saja   mengeluarkan   suara.   “Kalian membunuh orang yang salah!”

“Bangsat!  Apa  maksudmu!”  bentak  Adipati  Lawunggeno.  Kaki  kanannya ditendangkan ke pinggul pemuda itu hingga orang ini terlempar beberapa langkah. Pakaiannya  di  bagian  perut  tersingkap.  Di  pinggang  celananya  kelihatan  terselip sebuah kotakkayu.
“Kotak candu iblis!” teriak Lawunggeno, Barataji dan Jala Gandring hampir bersamaan.
Lawunggeno  mendahului  membungkuk  dan  menyambar  kotak  kayu  dari pinggang celana di pemuda. “Lihat! Seru sang Adipati sambil menunjuk bagian atas kotak di mana terukir tiga buah hurup besar yaitu SCI.”
“Bukti cukup! Kau masih hendak berdusta. Kotak ini ada tanda tiga hurup singkatan Serikat Candu Iblis!” teriak Lawunggeno.
“Mana aku tahu segala macam huruf atau singkatan!” jawab si pemuda enak saja.
“Buk!” satu tendangan dilayangkan Jala Gabdring hingga pemuda itu terpental dan meringkuk kesakitan didepan semakbelukar.
“Orang tua,  aku tahu  siapa kau adanya,” kata pemuda berambut  gondrong sambil  menahan  sakit  pada perutnya  yang  tadi  di tendang.  “Kau  bukan  manusia penjahat dan penjilat yang mencari nama dan upah dengan berbuat kebajikan. Kau dan kawan-kawanmu menjatuhkan tuduhan keliru tidak terbukti!”
“Tutup  mulut  busukmu!”  dan  “Plakk!!!”  tamparan  Adipati  Lawunggeno mendarat di pipi si pemuda hingga bibirnya mengucurkan darah. “Kotakinilebih dari suatu bukti!”
Lalu  Adipati  Magetan  itu  membuka  kotak  kayu  tersebut.  Begitu  kotak dibukanya terlihat lapisan benda coklat gelap. Hidungnya di dekatkan dan dia coba mengendus. “Candu!” teriaknya lalu isi kotakitu diperlihatkannya pada Baratajidan Gala Gandring.
“Sudah tertangkap basah berikut barang bukti calon bangkai ini masih terus berdusta!” radang Barataji.
“Kotakini bukan milikku. Seseorang menyelinapkannya ke pinggangku.”
Lawunggeno dan Barataji serta Jala Gandring tertawa bergerak mendengarkan ucapan sipemuda.
“Kau kira kami ini manusia-manusia pandir yang bisa dikecoh. Di sini tidak ada seorang lain pun kecuali kau!” bentak Lawunggeno.

“Mungkin  ada  setan  yang  tiba-tiba  muncul  dan  menyelinapkan  kotak  ini sepertikatanya!” kata Jala Gandring pula, lalu bersama dua orang lainnya kembali dia tertawa gelak-gelak.
“Aku mengerti. Lebih dari enam bulan kita mengejar manusia terkutuk itu. Puluhan bahkan ratusan manusia menjadi korbannya, termasuk kerabat dekat kita. Tapi sekalilagi, izinkan dulu aku menanyainya.”
Adipati  Lawunggeno  tidak  menjawab.  Dia  membuang  muka  sementara Baratajihanya bisa tegak berdiam diri.
Jala Gandring melangkahlebih dekat. Sesaat dia memperhatikan sosok tubuh pemuda  yang  terguling  di  tanah  itu.  “Aku  tidak  yakin  bahwa  kau  benar-benar Pendekar 212, murid nenek sakt i dari Gunung Gede itu. Pendekar 212 yang kukenal adalah manusia sakti mandraguna penegakkeadilan pembela kebenaran. Sebaliknya kau justru saat ini terbukti sebagai Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Aku sudah bilang aku bukan Ketua Serikat Candu Iblis atau serikat apa pun!”
“Kau  muncul  di  dalam  tandu  yang  digotong  oleh  delapan  orang  anggota Serikat, kau …”
“Kau juga telah membunuh orang-orangku!” sambung Lawunggeno.
Lawunggeno  hendak  menendang  pemuda   itu  tapi  Jala   Gandring   cepat mencegah.
“Setahuku, Pendekar 212 selalu membekal sebilah senjata yang dalam dunia persilatan   dikenal   dengan   nama   Kapak   Maut   Naga   Geni   212.   Bisa   kau memperlihatkan padaku senjata mustika itu?” bertanya Jala gandring.
“Kapak saktiku ada di balik pinggang. Kau bisa memeriksa, tapi kau jangan berani menyentuh apalagi mengambilnya!,”
Mendengar jawaban itu Jala Gandring, Baratajidan Lawunggeno bergerakke samping  kiri.  Jala  Gandring  singkapkan baju  si  pemuda  di  belakang.  Tampaklah sebilah kapak bermata dua yang memancarkan  sinar berkilauan. Pada  setiap mata kapak tertera angka 212.
“Hemmm … Dia memang murid Sinto Gendeng. Ah, bagaimana urusan bisa jadi begini? Meski selama inidia dikenal sebagai seorang pendekar golongan putih tapi … rasanya bukan mustahil kalau dia menempuh jalan sesat karena tergoda oleh keuntungan besar.” Begitu batin jala Gandring mendua dalam keraguan.

Tiba-tiba Lawunggeno ulurkan tangan dan menarik kapak itu dari pinggang si pemuda. Jala Gandring terkejut tapi tidakbisa berbuat apa-apa.
“Kembalikan senjataku! Kau tidak menghormati perjanjian kita!”
Lawunggeno   mendengus.   “Perlu   apa   kau   menghormati   manusia  jahat sepertimu?  Manusia  penyebar  candu  perusak  kehidupan  umat!  Senjata  ini  akan kutahan sampai nanti terbuktikau memang bukan Ketua Serikat Candu Iblis! Atau mungkin dengan senjatamu ini aku akan memenggal-menggal tubuhmu!”
“Anak  muda, jika  kau  memang  benar  Pendekar  212  coba  kau  terangkan bagaimana kau bisa muncul disini. Bagaimana kotak canduinibisa ditanganmu.”
“Dia bisa mengarang seribu jawaban, kakang Jala!” kata Lawunggeno pula.
“Mungkin  begitu.  Sebaiknya  kita  dengar  dulu  keterangannya,” jawab  Jala Gandring. Lalu dia berpaling pada si pemuda, “Bicaralah!”
“Orang  tua  bernama  Jala  Gandring,  kita  sesama  orang-orang  dari  dunia persilatan.  Apakah  pantas  kau  bicara  padaku  dalam  keadaan  aku  tertotok  dan terguling di tanah seperti ini?!”
“Kau   harus   bersyukur   sampai   saat   ini   masih   bisa   bernafas!”   bentak
Lawunggeno.
“Seharusnya sudah sejak tadi-tadi kau kami habisi!”
“Pendekar  212,”  kata  Jala  Gandring.  “Kau  berada  dalam  kesulitan  besar. Karena itu bicaralah sejujurnya.”
“Aku  tak  akan  bicara  sebelum  kau  melepaskan  totokan  di  tubuhku  dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212 padaku!”
“Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!” kata Adipati Lawunggeno. Tangan kanannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212 diayunkan sekuat-kuatnya ke arah  kepala  pemuda  yang  masih  tergeletak  di  tanah  itu.  Jala  Gandring  tak  bisa mencegah, apalagi Barataji. Nyawa si pemuda memang tidak tertolong lagi!

-- == 0O0 == --

LIMA

Hanya sekejapan lagikepala murid Eyang Sinto Gendeng akan terbelah oleh senjata  sakti  miliknya  sendiri,  tiba-tiba  terjadilah  satu  hal  yang  aneh.   Secara mendadak Adipati Lawunggeno merasakan bahunya kesemutan. Setelah itu sekujur
tangan kanannya menjadi kaku tak bisa digerakkan. Mukanya serta merta menjadi
pucat.
“Dimas  Lawunggeno.  ada  apa  dengan  dirimu?”  bertanya  Jala  Gandring terheran.
“Tangan-tanganku...   Aku   tak   bisa   menggerakkannya.   Seseorang   telah menotokku!” jawab Adipati Magetan itu setengah berteriak.
Jala Gandring dan Barataji memandang berkeliling. “Tidak ada seorang lain pun di sini Dimas. Aku t idak mengerti...” Jala Gandring cepat mendekati Adipati itu. Ketika dia memegang lengan Lawunggeno, kagetlah dia. Tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi sebatang kayu.! Selagi semua orang yang ada di situ kaget heran dan juga ada rasa-rasa ngeri, tiba-tiba tercium bau harum aneh. Bau ini santer sekali, bau bunga Kenanga!
“Aku mencium bau bunga Kenanga...,” bisik Jala Gandring.
“Aku juga,”  balas  Barataji.  “Itu  bunga  mayat.”  Bulu  kuduk jago  tua  ini mendadakjadi merinding.
Terguling di tempatnya Pendekar 212 Wiro Sableng menghirup bau bunga itu dalam-dalam. Dia mulai menduga-duga tapi sulit untuk yakin. “Mungkinkahdia yang sedang   menolongku...?”   pikir   murid   Eyang   Sinto   Gendeng.   Dia   memandang berkeliling. Tidak tampak orang lain ataupun satu bayangan muncul di tempat itu. Dia berpaling ketika tiba-tiba didengarnya Lawunggeno menjerit. Apa yang terjadi?
Tubuh Adipati Magetan itu tiba-tiba terangkat ke atas lalu terlempar di sebuah pohon.  Punggungnya  menghantam  batang  kayu  dengan  keras.  Tulang  bahunya sebelah kiri patah. Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya terlepas dan mental lalu menancap pada  sebatang pohon di atas kepalanya. Lawunggeno  sendiri kemudian melosoh ke tanah, jatuh duduk  setengah  sadar  setengah t idak.  Sementara  itu bau bunga Kenanga semakin menjadi-jadi.
“Dimas! Apa yang terjadi!?” seru Jala Gandring, lalu melompat mendapatkan Adipati  itu.  Barataji  ikut  memburu  sementara  para  anak  buah  Adipati  tampak keheranan melihat keadaan pemimpin mereka. Di antara mereka mulai saling bisik-

bisik. “Jangan-jangan rimba belantara ini ada hantunya... Kalau bukan hantu masakan Adipatibisa terlempar seperti itu?”
Lompatan  yang  dibuat  Jala  Gandring  tidak  mencapai  Lawunggeno.  Dari tempatnya tergeletak, Wiro  Sableng samar-samar melihat ada satu sosok bayangan putih memotong gerakan orang tua berkulit hitam itu. Bayangan tadi bukan hanya menghalangi  lompatan  Jala  Gandring,  tetapi  sekaligus  menelikung  pinggangnya. Sesaat kemudian tokoh silat  itu dilemparkan dan melayang ke atas  sebuah pohon besar yang kering kerontang, tinggal cabang dan rerantingan saja!
Baju hitam belang putih yang dikenakan Jala Gandring terkait pada ujung salah  satu cabang pohon. Untuk beberapa  saat  lamanya  orang tua  ini tergantung- gantung diudara.
“Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku!?” damprat Jala Gandring dalam hati. Dia tarik pakaiannya kuat-kuat hingga robek besar. Dengan cara begitu dia berhasil melepaskan diridarikaitan cabang pohon. Dengan mengerahkan kepandaiannya Jala Gandring melayang turun ke tanah.
Tapi  di  bawah  sana  rupanya  dia  sudah  “ditunggu  orang.”  Begitu  kedua kakinya  menginjak  tanah,  bayangan  putih  tadi  yang  hanya  Wiro  yang  dapat melihatnya kembali menyergapnya. Kali ini dengan melancarkan satu tendangan ke arah tulang kering kaki kiri si orang tua.
“Kraak!!”
Jala Gandring memekikkeras. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah. Tulang  kaki  kiri  berderak  patah.  Dia  tak  sanggup  berdiri  lagi,  menggeliat  dan melejang-lejang di tanah.
Barataji   tentu   saja   menjadi   kecut   melihat   apa   yang   terjadi   atas   diri Lawunggeno dan Jala Gandirng. Khawatir kalau dirinya pun akan dapat bagian, maka diputar-putarkan rantai peraknya di sekitar tubuhnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata andalan Barataji itu menderu-deru memancarkan sinar menyilaukan.
Namun meskipun sudah memagar diri sepertiitu nasib Barataji t idaklebih dari kedua  orang terdahulu.  Rantai besi  yang berputar-putar  sebat  itu tiba-tiba  seperti dibetot   oleh  satu  tangan  raksasa  yang  tak  kelihatan.   Selagi  Barataji  dilanda keterkejutan dan belum sempat melakukan sesuatu tahu-tahu rantai perak itu sudah menggelung dilehernya. Demikian kencangnya sehingga Barataji tercekik. Lidahnya terjulur dan kedua matanya mendelik!

“Tolong...! Aduh! Jangan...!” teriak Barataji. Dia berusaha melepaskan rantai yang menjerat lehernya namun tak berhasil. Akhirnya orang inihanya bisa lari sana lari sini sambilberteriak tiada hentihingga kehabisan nafas lalu jatuh menggeletak megap-megap di tanah!
Anak buah Lawunggugeno menjadi gempar. Mereka sebenarnya ingin lari dari tempat  itu  namun  takut  pada  atasan  maka  mereka  berkumpul  menjadi  satu  dan mendekam dekat sebuah pohon besar dengan wajah-wajah yang membayangkan rasa takut amat sangat.
Wiro sendiri saat melihat bayangan putih yang tadi samar-samar kini bergerak  laksana berjalan di atas awan menuju ke arahnya. “Kalau bukan dia, celaka aku!” pikir Wiro. “Nasibku akan sama dengan ketiga orang yang berkaparan di sana!”
Makin dekat ke arahnya bayangan putih yang samar-samar itu semakin jelas. Wiro kini melihat satu sosok perempuan berpakaian kebaya panjang dan kain putih. Wajah perempuan  ini  mula-mula  kosong  hampa.  Perlahan-lahan  wajah  itu  mula i berbentuk. Ketika pada akhirnya wajah itu terlihat jelas, yaitu wajah seorang gadis berparas  cantik  yang  dikenalnya,  Wiro  merasa  lega  dan  tak  dapat  lagi  menahan dirinya untuk berteriak.
“Suci!”
“Wiro..!” sosokbayangan itu menjawab. Suaranya hanya Wiro saja yang bisa mendengar.
“Suci, kau datang menolongku. Terima kasih Suci!”
Sosok tubuh dan bayangan itu semakin jelas dan akhirnya sempurna seperti manusia  adanya. Namun  inilah keanehannya,  baik  suara  maupun  sosok  dan rupa hanya Wiro yang bisa mendengar dan melihat. Orang-orang lain di tempat itu tidak.
Siapakah adanya orang yang muncul secara aneh ini? Manusia atau hantukah dia? Apa hubungannya dengan Pendekar 212?
Seperti yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, yaitu Dewi Bunga Mayat, seorang gadis bernama Suci telah diracun mati oleh kekasihnya. Sang kekasih kemudian kawin dengan adik tiri Suci. Pengkhianatan dan kematian yang sangat  mengenaskan  itu  telah  menyebabkan  roh  Suci  muncul  kembali ke  duania secara menggegerkan. Bukan untuk berbuat jahat atau menakuti orang, tetapi justru untuk  membasmi  manusia-manusia  jahat  terutama  orang-orang  sesat  dari  dunia

persilatan.  Setiap  kemunculannya  pasti  dibarengi  oleh  bau  bunga  Kenanga  yang menggidikkan orang-orang jahat.
Dewi  Bunga  Mayat  memiliki  senjata  aneh  yaitu  bunga  Kenanga.  Bunga lembut ini bisa berubah laksana sebuah senjata rahasia sekeras besi. Bunga mayat telah menjadi salah satu senjata rahasia yang paling ditakutidalam dunia persilatan.
Pada saat penjelmaannya itulah Pendekar 212 bertemu dengan Suci. Keduanya saling bercinta dan sulit untuk berpisah. Namun Suci menyadari bahwa bagaimana pun  dunianya   dengan   dunia  Wiro   berlainan.  Mereka  tidak  mungkin  bersatu. Perpisahan tidak mungkin dihindari. Suci kembali ke alamnya. Wiro mendapatkan sekuntum bunga Kenanga yang tidak pernah layu.
Menurut Suci, bilamana dia ingin bertemu, terutama pada saat-saat mengalami kesulitan atau bahaya besar, Wiro harus menggenggam bunga itu dan membayangkan wajahnya. Maka Suci akan menjelma dan muncul. Selama ini memang murid Sinto Gendeng belum pernah melakukan hal itu.
Suci mengusap punggung Pendekar 212 dengan tangan kirinya. Totokan Jala Gandring yang bersarang di tubuhnya serta merta punah. Wiro cepat berdiri. Sesaat dia  tegak  berhadap-hadapan  dengan  penjelmaan  roh  Dewi  Bunga  Mayat  yang dilihatnya  seperti  manusia  biasa,  tidak  beda  seperti  saat  dulu  dia  sering-sering melihatnya.   Untuk   seketika   keduanya   saling   berpandangan.   Kemudian   Wiro mengembangkan tangannya.  Suci melangkah masuk ke dalam pelukannya.  “Aku... akukangen padamu Suci,” bisik Wiro dan membelai mesra rambut gadis itu.
“Aku juga,” balas Suci. “Tapi kau tak pernah memanggildiriku.”
“Aku ingin tapi aku takut akan membuatmu susah saja...”
“Apakah selama inikau pernah menyusahkan aku?”
Wiro  tersenyum.  “Entahlah...,”  jawabnya.  “Yang  jelas  saat  ini  kau  telah menyelamatkan aku dari tangan orang-orang yang bertindak  seenaknya  itu.  Kalau terlambat sedikit saja pasti aku sudah menyusulmu ke alammu.” Suci tertawa. Wiro tak tahan lagi. Langsung saja dia mencium kedua pipi, mata dan kening gadis itu.
Semua orang yang ada di tempat itu meskipun dicekam rasa takut dan sakit akibat cedera, tentu saja terheran-heran melihat Pendekar 212 berbicara seorang diri, tertawa dan senyum-senyum, membuat gerakan-gerakan seperti tengah memeluk dan menciumi seseorang.

“Apa yang dilakukan pemuda itu?!” bisik Jala Gandring sambil menahan sakit kakinya yang patah.
“Hantu  rimba  belantara  ini  pasti  telah  masuk  ke  dalam  dirinya!”  sahut
Lawunggeno.
Di  depan  sana  Wiro  mengecup  bibir  Suci  dengan  lembut.  “Mari  kita tinggalkan tempat ini Suci,” bisik Pendekar 212.
“Ya, jangan lupa senjatamu!”
“Tentu!” Wiro lepaskan pelukannya lalu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang saat itu masih menancap di batang pohon di mana Adipati Lawunggeno duduk tersandar.
Selagi  Wiro   mengulurkan  tangan  untuk  mencabut   senjata   itu  tiba-tiba Lawunggeno tampak menggerakkan tangan kanannya. Meninju ke arah bagian bawah perut Pendekar 212. Meskipun dalam keadaan cedera tulang belikat sebelah kirinya, namun pukulan sang Adipati adalahpukulan berbahaya karena ditujukan ke bagian yang  terlarang.  Sekali jotosan  itu  mengenai  sasarannya  Pendekar  212  pasti  akan menemui ajal, paling tidak cacat seumur hidup.
Dari  tempatnya  berdiri  Suci  dapat  melihat  apa  yang  dilakukan  Adipati Lawunggeno secara licikitu. Dia berseru memberi peringatan pada Wiro. Sebetulnya Wiro  sendiri  pun  sudah  tahu  bahaya  yang  mengancamnya.  Dengan  cepat  dia menggeser tubuhnya ke samping kiri sambil melipat kaki.
“Buukkk!”  Lutut  kanan  Pendekar  212  bersarang  di  muka  Lawunggeno. Hidungnya amblas ke dalam, pipi kirinya remuk. Adipati menjerit. Bersamaan dengan jeritannya itu darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Tubuhnya kemudian terkulai lalu roboh ke tanah.
Wiro   sisipkan  Kapak  Naga  Geni  212  ke  balik  pinggangnya.   Sebelum meninggalkan tempat itu dia menghancurkan dulu kotak kayu berisi candu dengan Pukulan Sinar Matahari. Kotak dan isinya leleh dan candu yang ada didalam kotak itu tak dapat dipergunakan lagi.
Jala Gandring yang tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Wiro meninggalkan tempat itu, berteriak pada orang-orang Lawunggeno yang bergerombo l didekat sebuah pohon besar.
“Bunuh orang itu! Jangan biarkan dia lo los!”

Tapi tidak satu pun dari mereka berani beranjak dari tempat masing-masing. Kalau ketiga orang berkepandaian tinggi itu bisa babak belur dihantam oleh orang yang  tidak  kelihatan,  nasib  mereka  bisa  lebih jelek  dari  itu jika  mereka  berani melakukan sesuatu.
“Keparat! Kalian semua akan menerima hukuman dan dipecat!” teriak Jala Gandring marah sekali. Dia coba berdiri. Tapi kakinya yang patah terasa sakit sekali. Mau tak mau terpaksa  dia  melosoh ke tanah kembali.  Dia  masih  sempat  melihat punggung Pendekar 212 di antara dua batang pohon.
Orang tua bermuka  hitam itu  mengambil  sebilah golok  yang tergeletak  di tanah di sampingnya. Senjata ini secepat kilat dilemparkannya ke arah Wiro. Hanya beberapa jengkal sebelum golok itu mencapai sasarannya, tiba-tiba ada serangkum angin menderu.
Golok yang dilemparkan membalik lalu melesat ke arah pelemparnya. Jala Gandring berteriak tegak. Kalau saja dia tidak cepat jatuhkan dirike tanah, kepala atau lehernya pasti sudah kena disambar golokitu.
“Pendekar  212!  Kau  boleh  kabur  saat  ini.  Tapi  kau  tak  bakal  lo los  dari tanganku!” gertak Jala Gandring dengan geram.

-- == 0O0 == --

ENAM

Udara di tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon- pohon besar yang masihbisa tumbuh cukup subur karena dekat air memilikidedaunan yang rindang, membuat keadaan sekitar situ teduhdari sengatan sinar matahari musim kemarau panjang. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi batu-batu  kecil terlihat  dengan jelas.  Di kejauhan  terdengar  suara  burung-burung berkicau.
Pendekar 212 Wiro Sableng duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai. Suci membaringkan tubuhnya berbantalkan pangkuan sang pendekar.
“Selama  ini kau baik-baik  saja Suci … ?” tanya Wiro  seraya membelai pipi gadis itu. Yang ditanya tersenyum.

“Ditanya kenapa tertawa?”
“Duniaku selalu berada dalam keadaan baik, aman dan tenteram Wiro. Tidak seperti duniamu. Selalu dilanda keonaran, dikotori oleh manusia-manusia jahat.”
“Semua orang menginginkan dunia seperti duniamu itu. Termasuk aku …”
“Kau ingin ikut akuke sana sekarang?”
“Tentu…” Wiro kemudian sadar apa arti ucapannya itu.
Dia cepat berkata, “Tidak sekarang Suci. Aku masihingin hidup lebih lama di dunia ini.”
Suci tertawa panjang lalu mencium jari-jari tangan sipemuda.
“Sebetulnya aku ingin kau selalu berada didekatku …”
“Yaah, aku mengerti perasaanmu Wiro. Tapi kau harus menyadari, dunia kita berbeda.  Pertemuan  sekali-kali  seperti  ini  sudah  merupakan  satu  hal  yang  luar biasa …”
“Dunia  ini  memang  aneh.  Dan  kekuasaan  Tuhan juga  kurasa  aneh,”  kata Pendekar 212.
“Kau  betul,”  sahut  Suci.  “Kalau  tidak  dengan  kekuasaan-Nya  yang  Maha Besar  mana  mungkin  aku bisa  menemuimu.  Mana  mungkin kita bisa berdua-dua seperti ini …”
“Dan saling mencintai …” sambung Wiro.
“Kau masih mencintaiku Wiro?” tanya Suci. Matanya yang bening menatap wajah pemuda itu.
Wiro balas menatap sepasang mata yang indah itu, lalu menciumnya seraya berbisik,  “Kau  tahu  aku  mencintaimu.  Selalu  mengingat-ingatmu.  Namun  setiap kerinduan datang, aku sadarikau tidak ada di sampingku.” Suci memeluk Pendekar 212 erat-erat. Ada air mata mengambang dikedua matanya. “Kau masih menyimpan bunga Kenanga itu, bukan?”
Wiro mengangguk.
“Kau bisa memanggilku setiap saat kau ingini. Sebaliknya sulit bagiku untuk muncul dengan kemauan sendiri jika tidak ada  sesuatu hal yang  sangat besar dan penting. Sepertikejadian ketika kau terancam bahaya tadi …”
“Aku akan ingat hal itu, …”
“Wiro …”
“Hemmm …”

“Tadi kau  bilang  mencintaiku.  Apakah  selama  ini tidak  ada  gadis  lain  di hatimu?”
Wiro tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berkata “Rupanya roh bisa juga cemburu!”
“Aku tahu apa yang kau ucapkan di hatimu,” kata Suci tiba-tiba, membuat Pendekar 212 jadi salah tingkahlalu tertawa gelak-gelak.
“Kau belum menjawab pertanyaanku Wiro.”
“Aku...  memang banyak bertemu  dengan  gadis-gadis.  Kebanyakan  mereka orang-orang dunia persilatan. Sebagian dari mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi yang rasanya mencintai... mereka terlalu tolol kalau mau mencintai pemuda sableng sepertiku ini!”
“Bukan mereka. Tapibagaimana dengan kau. Apa kau tidak pernah mencintai salah seorang dari mereka?”
“Kalau kujawab pun mungkin kau takbakal percaya,” ujar Wiro pula.
“Bilang dulu jawabanmu.”
“Aku pernah mencintai  seseorang dari mereka.  Sampai  saat  ini aku  masih tetap mencintainya. Juga sampai nanti …”
Paras Suci kelihatan berubah. Suaranya bergetar ketika bertanya, “Siapa gadis yang beruntung mendapatkan cintamu itu, Wiro?”
“Orangnya sangat cantik. Melebihikecantikan seorang bidadari …”
“Siapa  orangnya?” tanya  suci lagi dengan  suara  tercekat  dan air  mukanya tidak mampu menyembunyikan rasa cemburu.
“Saat ini orangnya berada dalam pelukanku. Namanya Suci …” bisik Wiro ke telinga gadis itu.
Suci mengeluarkan desah panjang lalu memeluk Pendekar 212 ke dadanya sekuat  yang bisa  dilakukannya. Keduanya berangkulan kencang  seperti t idak mau dipisahkan lagi …
“Aku harus meninggalkanmu Wiro,” bisik Suci.
“Sekarang?”
Gadis itu mengangguk.
“Secepat itukah?”
“Kita akan bertemu lagi …”

Wiro mengangguk perlahan. “Sebelum kau pergi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Mungkin kau bisa memberi penjelasan.”
“Tentang apa?”
“Serikat Candu Iblis. Siapa sebenarnya mereka? Aku telah dituduh sebagai ketua   komplotan   itu.   Dalam   waktu   dekat   pasti   ketiga   orang   tadi   akan menyebarluaskan  berita  bohong  bahwa  akulah  ketua  Serikat  Candu  Iblis.  Berarti semua petugas kerajaan akan memasukan akudalam daftar penjahat, menjadi orang yang dicari-cari dan harus ditangkap hidup atau mati! Gila!”
“Serikat Candu Iblis satu komplotan terkutuk. Mereka mulai bergerak sejak dua,  mungkin  tiga  tahun  lalu.  Mula-mula  secara  gelap.  Sekarang  bahkan  berani terang-terangan. Ratusan korban telah masuk dalam perangkapnya, menjadi pemadat keras. Sekalijadi pemadat tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap terkutuk itu. Untuk mendapatkan secuil candu mereka harus membayar mahal. Kalau tidak ada uang merampok dan membunuh pun mereka tidak segan. Aku mendapat kabar banyak orang-orang kerajaan yang telahjadi pemadat. Tapi yang menyedihkan kabarnya ada beberapa  di antara mereka  yang terlibat  sebagai kaki tangan  Serikat  Candu  Iblis. Beberapa bulan yang lalu aku pernah menumpas salah satu kelompok komplotan itu. Tapi mereka  seperti sudah berakar.  Satu dibasmi,  yang  lainnya  muncul di mana-

mana.
“Kau sempat melihat orang pendek berkepala botak pakai jubah merah yang keluar daridalam tandu tadi?” tanya Wiro.
Suci menggeleng.
“Keparat  itu  yang  membuat  aku terjebak  dan dituduh  sebagai  sang ketua. Sebelum kabur dia meninggalkan kotak berisi candu. Aku tertangkap tangan pada saat kotak itu ada padaku. Si katai botak itu, apakah dia memang Ketua Serikat Candu Iblis?”
“Mungkin ya mungkin juga bukan. Jaringan kelompok itu luas sekali. Sampai- sampaike istana. Tapi siapa-siapa pimpinan utamanya masih sulit diketahui.”
“Aku harus menumpas mereka. Kalau tidak bakal tambahbanyak orang yang masuk perangkap mereka.”
Suci mengangguk.  “Aku akan membantu jika kau perlukan. Mulailah pada sebuah rumah makan dan rumah penginapan besar di perbatasan. Aku sudah lama mencurigai ada apa-apanya di tempat itu. Nah Wiro, sekarang aku harus pergi.”

Wiro  mencium  muka  gadis  itu  dan  memeluk  tubuhnya  lama  sekali  baru dilepaskan. “Aku pergi Wiro …”
Pendekar  212  mengangguk.   Sosok  tubuh  Suci  perlahan-lahan  kelihatan berubah menjadi samar. Pakaiannya melambai-lambai tertiup angin pagi. Wajahnya berubah  kosong.  Keseluruhan  diri  gadis  itu  berubah  menjadi  bayang-bayang  lalu laksana asap membumbung ke udara dan lenyap.
Pendekar 212 menarik nafas dalam. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di tepi sungai itu. “Dunia aneh,” bisik hatinya. “Dan aku bercinta dalam keanehan itu…” Murid Sinto Gendeng garuk-garukkepala.
Seperti yang dikatakan  Suci, rumah makan di perbatasan sebelah utara itu memang merupakan rumah makan paling besar yang pernah dilihat  dan dimasuki Pendekar 212 Wiro Sableng. Pengunjungnya ramai bukan main. Apalagi saat itu tepat tengah  hari.  Wiro  harus  menunggu  cukup  lama  baru  pesanannya  dihidangkan. Ternyata makanannya juga enak.
Selain bangunan besar itu dijadikan rumah makan, di sebelah belakang agak menyamping ke kiri terdapat sebuah bangunan lain yang lebih besar. Inilah tempat penginapan yang terbuat darikayu dan bertingkat di sebelah atasnya.
Selesai  makan  Wiro  duduk  pura-pura  terkantuk-kantuk.  Tapi  sebenarnya matanya tengah menelit i keadaan dan otaknya berpikir-pikir  bagaimana dia  mulai melakukan penyelidikan.
Seorang pelayan mendatangi. Wiro mengeluarkan sebuahkantong kain. Dia sengaja  memperlihatkan  kantong  berisi  banyak  uang  itu  kepada  pelayan.  “Ini bayaranku, kembalinya kau boleh ambil. ”
Si pelayan bukan saja gembira tapi juga hampir tidak percaya. Sisa kembalian yang dihadiahkan tetamu itu hampir sama dengan upah nya bekerja satu bulan di rumah makan itu. Si pelayan membungkuk dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Kau   boleh  pergi,   biarkan   aku   duduk   dulu   di   sini.   Aku   mengantuk kekenyangan.”
“Tentu …  tentu!  Raden  boleh  duduk  di  situ  selama  Raden  suka,”  kata  si pelayan. Sekalilagi dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Ketika dia mengantongi uang kembalian, kebetulan pemilik rumah makan dan penginapan melihatnya. Dia seorang gemuk bermata sipit, berambut dicukur pendek

dan  bermuka  berminyak.  Hidungnya  sangat  merah  dan  mulutnya  kecil.  Sepintas tampang orang ini t idakbeda dengan muka seekor babi! Namanya Sentiko.
“Siapa yang memberimu hadiah uang kembalian itu?” bertanya Sentiko. Si pelayan menunjuk ke arah Wiro yang duduk di sudut rumah makan dengan setengah terpejam dan kepala terangguk-angguk. “Uangnya satu kantong. Agaknya dia seorang hartawan muda yang kaya raya,” menerangkan si pelayan.
Sentiko  memperhatikan  tamunya  itu  sesaat.  “Belum  pernah  dia  kulihat sebelumnya. Mungkin dia seorang pedagang keliling. Jika dia memang banyak uang, Hemmm …”  Sentiko  melangkah  menuju  meja  tempat  Wiro  Sableng  berada.  Dia mendehem beberapa kali.  Ketika dilihatnya Wiro membuka kedua matanya  lebar- lebar, pemilik rumah makan ini cepat membungkuk lalu duduk di kursi di hadapan Pendekar 212.
“Nama saya Sentiko. Saya pemilik rumah makan ini. Saya berterima kasih raden mau makan di sini. Apakah makanan kami cukup enak?”
“Ah..” Wiro garuk-garuk kepalanya.  “Hidangan di sini sungguh lezat. Aku sampai mengatuk kekenyangan.”
“Jika   raden   memang   butuh   istirahat,   di   samping   ada   penginapan,” menawarkan Sentiko.
“Aku  dalam  perjalanan jauh.  Memang  perlu  istirahat.  Mungkin  aku  perlu menginap barang satu malam …”
Sentiko tertawa lebar.  “Saya  akan berikan kamar yang paling bagus untuk raden serta pelayanan paling istimewa!”
“Pelayanan paling istimewa?” tanya Wiro seraya keluarkan kantong uangnya. Dia berpura-pura menghitung uang yang ada dalam kantong  itu lalu menyelipkan kantong kembalike balik pinggangnya. Sepasang mata Sentiko berkilat-kilat melirik kantong uang itu. “Pelayanan macam apa pula itu?”
Sentiko tertawa lebar. “Tergantung raden maunya apa,” katanya. “Bersenang- senang  sampai  pagi  dengan  gadis-gadis  cantik  selangit?  Seorang  atau  dua  orang sekaligus? Atau cuma mau dipijat sambil ganti memijat? Atau mungkin raden hanya suka menyaksikan pertunjukan khusus gadis-gadis di atas ranjang?”
“Ah, yang terakhir itu aneh kedengarannya,” kata Wiro.
“Memang aneh. Baru di tempat saya ini ada pertunjukan seperti itu. Raden mau melihat? Saya bisa atur sekarang juga.”

Wiro menguap. “Sebetulnya, tubuhku ini sangat letih. Kalau bermain dengan gadis-gadismu aku pasti tambah ringsek..!”
“Kalau begitu pijat saja raden. Pasti segala keletihan raden akan lenyap.”
“Itu kalau aku tidak terangsang. Kalau aku sampai terangsang, berarti sama saja  celakanya.  Aku  ingin  sesuatu  yang  bisa  menyegarkan  badan  dan  pikiran. Mungkin akuhanya perlu tidur saja …”
Sentiko mendekatkan kursinya ke kursi Wiro lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Jika kesegaran pikiran dan tubuh yang raden cari, saya ada obatnya. Kita bicara di tempat lain. Raden mau mengikuti saya?”
“Obat apa yang sampeyan maksudkan?” tanya Wiro.
“Lihat saja nanti. Mari … !”
Wiro berdiridan melangkah mengikuti orang bertubuh gemuk itu.
-- == 0O0 == --

TUJUH

DI BAGIAN belakang penginapan terdapat sebuah pintu kayu yang dipalang dengan balok tebal dan digembok dengan dua buah gembok besi besar. Dua orang lelaki  bertubuh  tinggi  kekar,  bertampang  sangar  dan  hanya  mengenakan  sehelai celana hitam berdiridi kiri kanan pintu. Keadaan kedua orang ini mengingatkan Wiro pada delapan orang pengusung tandu yang menemui ajaldi hutan Karangkukusan.
“Betul dugaan  Suci.  Penginapan  ini menyembunyikan  sesuatu.  Sesuatu  itu ditangani oleh orang-orang Serikat Candu Iblis. Pastidi sini ada tempat pengisapan candu,” kata Wiro dalam hati.
Dua orang lelaki bertelanjang dada di samping pintu kayu bersikap hormat ketika Sentiko muncul di hadapan mereka. “Buka pintu,” kata pemilik rumah makan dan penginapan itu.
Salah   seorang   dari   lelaki   tinggi   besar   segera   mengambil   kunci   yang digantungkan di pinggangnya. Kawannya memperhatikan Wiro  lalu bertanya pada Sentiko. “Siapa dia?”
“Langganan baru,” jawab Sentiko pendek.

Pintu terbuka. “Ikuti saya Raden,” kata pemilik penginapan.
Di  balik  pintu  itu  terdapat   sebuah  lorong  papan  yang  pada  ujungnya membelok ke kiri lurus,  lalu membelok lagi ke kiri. Pada ujung lorong papan ini terdapat sebuah tangga kayu menuju ke bawah. Wiro mencium bau aneh. Bau madat!
Di bawah tangga terdapat sebuah ruangan besar yang redup dan pengap karena sama sekali t idak ada lubang angin. Lantai, dinding dan atap ruangan terbuat dari batu. Menurut  dugaan Wiro, ruangan batu  itu berada kira-kira di bawah halaman samping kiri rumah makan. Di sini Wiro menyaksikan pemandangan yang membuat bulu  tengkuknya  merinding.  Satu-satunya  penerangan  di  ruangan  batu  itu  adalah rambasan cahaya yang datang darilorong papan.
Sekitar  seratus  orang  tampak  bergeletakan  di  lantai  ruangan,  beralaskan sehelai t ikar dan bantal jerami. Semua mereka rata-rata berwajah pucat, bermata dan berpipi cekung. Setiap orang memegang sebuah pipa yang setiap kali mereka sedot sambil memejamkan mata dan menengadah seolah-olah menikmati sesuatu yang luar biasa.
Tidak seorang pun yang mengacuhkan kedatangan Sentiko dan Wiro. Mereka semua asyik dengan pipa candu masing-masing. Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka mendekam di situ. Minum dan makan sedikit, menghabiskan waktu hanya untuk menghirup candu. Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke tempat seperti itu sulit baginya akan keluar lagi.
Wiro kemudian melihat ada seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut ruangan batu. Masing-masing membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil yang digantungkan di pinggang. Mereka duduk di atas sebuah bangkukayu.
“Bagaimana pendapat Raden?” tanya Sentiko pada Wiro Sableng. “Ini rupanya yang dinamakan surga dunia,” jawab Wiro.
“Raden boleh mencobanya.  Secuil pertama tidak dipungut bayaran.  Cuilan selanjutnya baru dibayar tapi harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati cuilan
pertama.”
“Yang aku pikirkan saat ini justru bukan bersenang-senang mengisap candu, tapi …”
“Tapi apa Raden?”
“Aku  tiba-tiba  saja  punya  niat  untuk  membuka  usaha  penghisapan  candu seperti ini!” kata Wiro pula.

“Saya  tahu  Raden  punya  banyak  uang.  Tapi  t idak  sembarang  orang  bisa membuka  tempat  penghisapan  candu  seperti  ini.  Bahayanya  besar  dan  harus  ada perlindungan serta kepercayaan dari orang-orang di atas,” menerangkan Sentiko.
“Tempatmu ini sama sekali t idak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan anak buahmu pasti kena bekuk secara mudah.”
Sentiko tertawa. “Raden tidak melihat empat pengawalbertelanjang dada yang ada di sudut-sudut ruangan?”
“Mereka memang bertubuh besar tapikulihat seperti t idak punya kekuatan,” jawab Wiro.
“Kalau aku membuka usaha seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak akan kupakai!”
“Raden terlalu  menganggap  enteng  orang,”  kata  Sentiko  dengan  air  muka kurang senang.
“Dengan  tangan  kosong  mereka  sanggup  memukul  hancur  kepala  kerbau bahkan menjebol tembok! Atau mungkin Raden punya  ilmu yang diandalkan dan hendak menjajal mereka?”
Wiro  mengangkat  bahu.  Pengawal  di  sudut  kanan  berdiri  dan  mendekati mereka.
“Apakah tamu ini sudah siap untuk diberikan satu cuil?” tanya pengawal itu.
“Bagaimana Raden?”  Tanya  Sentiko.  “Terima kasih,  niatku  semakin keras untuk membuka usaha beginian. Untungnya pasti besar!”
Sentiko tampakkecewa. “Jika Raden tidak mau bersenang-senang di sini t idak apa. Tapi ada aturan yang harus dijalankan …”
“Hem … aturan apakah?” tanya Wiro.
“Pertama Raden harus menjaga kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada siapa pun apa yang Raden telah lihat di sini.”
“Kalau hanya aturan itu kau tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan pada siapa pun.”
“Bagus kalau begitu. Sekarang aturan yang kedua. Raden harus membayarkan sejumlah uang karena sudah masuk kemari.”
“Tapi aku tidak menghisap candu,” kata Wiro pula.
“Menghisap atau tidak Raden tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak. Hanya separuh dari apa yang ada dalam kantong uang Raden itu.”

“Separuh uang dalam kantong? Gila! Itu tidak sedikit!”
“Begitu  aturan  kami  agar  tidak  sembarang  orang  masuk  kemari!”  suara Sentiko yang tadi lunakkini berubahkeras.
“Aku  tidak  akan  membayar!”  Wiro  melangkah  ke  arah  tangga.  Di  depan tangga ternyata telah menghadang seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini menyeringai. “Kalau kau tidak mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!”
Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat tajam. Pisau ini sama dengan pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di hutan Karangkukusan.
“Kalau kalian memaksa dengan kekerasan, kalian akan menyesal!”
Si pengawalkembali menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia melangkah mendekati Wiro. “Uangmu atau lidahmu!” ancamnya.
Wiro  cepat  menjauh.  Dia  telah  menyaksikan  cara  berkelahi  orang-orang Serikat  Candu  Iblis  di rimba  Karangkukusan.  Sekali  lawan kena tertangkap pasti celaka. Wiro mundur lagi ketika pengawal didepannya bergerak maju. Tiba-tiba dari belakang  ada  yang  menangkap bahunya.  Sebelum dia bisa berbuat  apa, tubuhnya sudahdibaringkan ke lantai batu!
Pendekar 212 merasakan tulang belulangnya seperti remuk. Pemandangannya berkunang. Ketika dia coba berdiri satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
“Ayo   keluarkan   lidahmu!”   bentak   pengawal   yang   menginjak   lehernya demikian keras sehingga lidahnya hampir terjulur. Di sampingnya tiba-tiba Sentiko membungkuk  dan  menyambar  kantong  uang  yang   ada  di  pinggangnya.   Tapi tangannya cepat ditangkap Wiro lalu dipuntir hingga si gemuk ini terpekikkesakitan.
Pengawal  yang  menginjak  lehernya  marah  besar.  “Kau  minta  mampus!” teriaknya. Kaki kanannya dihujamkan kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar 212  telahlebih dahulu menghantamkan tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang  menginjaknya.
“Kraak!!!”
Pukulan yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal hingga dia menjerit keras.  Selagi dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam keadaan  terbaring  di  lantai  batu  Wiro  hantamkan  tumit  kirinya  keselangkangan pengawal itu. Orang ini meraung kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai, menimpa seorang yang sedang merem melek menghisap candu!

Tiga orang pengawal melompat dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro berkelit dengan cepat sambil mengayunkan satu jotosan ke perut lawan yang terdekat.
“Bukk!!”  Jotosan  itu  tepat  menghantam  perut.  Tapi  si  pengawal  hanya menyeringai. Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali inike arah batokkepala si pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan yang kukuh mencekal tangan kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan lagi  dari  samping  kiri  melesat.  Satu  menjambak  rambut  gondrongnya  satu  lagi mencekallehernya.
Menyadari  bahaya  besar  ini  Wiro  cepat  membuat  gerakan  “Kincir  padi berputar” . Tangan dan kakinya yang masih bebas menghantam. Dua orang pengawal menjerit kesakitan, lepaskan cekalan mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur. Yang di sebelah kanan tampak pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya yang kena tendang. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
“Setan alas! Kau berani mengacau di sini!” teriak pengawalketiga. Tubuhnya paling besar di antara semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat itu. Dia  mendekati  Wiro  dengan  tangan  terpentang.  Tiba-tiba  dia  meniup  ke  depan. Serangkum angin menderu lalu berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di hutan Karangkukusan beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat ilmu  kesaktian  aneh  ini.  Karenanya  dia  t idak  merasa  terkejut.  Namun  dia  harus berhati-hati.  Cepat  dia  menyingkir  selamatkan  diri  dari  tusukan  pedang  asap.  Si pengawal menggeram melihat serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu dia keluarkan suara menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular, bergelung ke kiri, menyambar ke arahleher murid Sinto Gendeng!
“Gila!”   maki  Pendekar   212   dalam  hati.   Dia   rundukkan  kepala  untuk selamatkan   leher  tapi  dari  depan   lawannya  menyambut   dengan   satu  jotosan. Penasaran  serta  ingin  menjajaki  kehebatan-kehebatan  lawan,  Pendekar  212  balas menghantam dengan tinju kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid Sinto Gendeng keluarkan keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai lima langkah dan jatuh duduk dilantai batu. Ketika diperhatikannya tangan kanannya tampak jari-jarinya menggembung kemerahan!
“Bangsat  itu  tidak  memiliki  tenaga  dalam  tinggi.  Tapi  dia  mempunyai kekuatan aneh luar biasa!” kata Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si

pengawal tersandar ke dinding ruangan. Mukanya mengeryit menahan sakit. Tangan kanannya terkulai. Ketika Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu telah remuk sampaike pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
“Kau telah membunuh seorang pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau bakal menerima hukuman berat! Jangan harap kau bisa lo los!” Sentiko larike arah tangga. Namun Wiro cepat menyusul dan memegang leher bajunya.
“Jika kau tidak membawa aku pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu saat ini juga!” gertak Wiro.
Lelaki gemuk  itu tampak kecut. Tapi dalam hati dia menyumpah setengah mati. “Ikuti aku,” katanya kemudian. Dia menaiki tangga dan melangkah cepat di sepanjang lorong papan. Di pintu dia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu kayu yang dipalang dan digembok dibukakan dua pengawal dari luar.
“Teman-teman kalian mendapat cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!” berkata Sentiko sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dua pengawal tentu  saja keheranan.  Mereka hendak bertanya tapi  Sentiko sudah berlalu bersama Wiro. Yang satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk ke dalam. “Coba kau periksa apa sebenarnya yang terjadi.”
Pengawal itu masuk. Tak lama kemudian dia keluar kembali setengah berlari. “Jaka dolok mati! Tiga kawan lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!”

-- == 0O0 == --

DELAPAN

SENTIKO membawa Wiro ke dalam sebuahkamar di tingkat atas penginapan. “Kau tidak membawa aku pada pimpinanmu?” tanya Wiro.
“Sebaiknya  kau  melupakan  saja  niat  untuk  membuka  usaha  penghisapan candu. Kau telah membunuh seorang di antara kami, mencrderai t iga orang lainnya! Apakah pimpinanku akan mengabulkan begitu saja permintaanmu?”
“Kau tak perlu meributkan apakahdia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau harus mengantarkan aku padanya!”
“Jika aku tidak mau?” ujar Sentiko.

Wiro melangkah mendekati pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah dia maju, tanpa diketahuinya Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja. Lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosokke bawah. Dia ternyata jatuh ke dalam sebuah ruangan batu  sedalam empat tombak. Tidak mungkin baginya untuk dapat melompat setinggi itu.
“Keparat!” teriak Wiro memaki. Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Daridalam lubang Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko yang  tegak  di  pinggir  lubang.  Lelaki  gemuk  ini  cepat  menyingkir  begitu  dia mendengar  ada  suara  angin  menggemuruh  dari  bawah  lubang.  Angin  pukulan menghantam langit-langit ruangan hingga jebol berantakan.
“Kau boleh mengamuk di dalam lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada mahluk-mahluk lucu yang bakal menemanimu !”
Habis berkata begitu Sentiko melangkah ke sudat kamar. Di sinidia menarik sebuahkawat. Di Dalam lubang Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah kecil didinding lobang sebelah kanan bawah. Lalu lima kepala pipihlebar berwarna hijau kelihatan menjulur! Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar 212 melompat mundur. Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada ruangan untuk menghindar. Lima ular sendok melata dilantailobang. Kepala masing- masing bergerak naikke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro  segera siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tetapi dia  sadar. Membunuh kelima ular berbisa itu dengan pukulan saktidi ruangan yang begitu sempit sama saja dengan  bunuh  diri.  Pukulan  saktinya  akan  berbalik  menghantam  dirinya  sendiri. Menurut  gurunya Eyang  Sinto  Gendeng,  dia kebal terhadap  segala macam racun. Apakahitu juga berartikebal terhadap bisa ular?
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi bahaya terancam lima ekor ular sendokberbisa. Kita ikuti rombongan Adipati Magetan yang bergerak menuju  Kotaraja.  Karena  Lawunggeno,  Jala  Gandring  dan  Barataji  sama-sama menderita cedera, maka rombongan itu tidakbisa bergerak cepat. Satu harikemudian baru  mereka  sampai  di  Kotaraja.  Lawunggeno  langsung  memimpin  rombongan menuju gedung Kepatihan.
“Astaga, apa yang terjadidengan diri kalian?!” tanya Patih Sagara Wisamala ketika  melihat  kemunculan  ketiga  orang  itu.  Tangan  kiri  Adipati  Lawunggeno

dilihatnya tergantung dalam kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal lengannya yang patah.
Tapi yang paling menggidikkan ialah mukanya yang sepertihancur. Hidung melesak ke dalam dan kelihatannya dia mengalamikesulitan bernafas. Di samping Adipati Magetan itu tegak orang tua bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada sebuah  tongkat.  Kaki  kirinya  dibalut  dan  diganjal  dengan  sepotong  kayu.  Patih Kerajaan berpaling pada Barataji. Leher orang ini tampakbengkak membiru. Seperti Jala dan Lawunggeno, dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena tidak ada satu pun dariketiga orang itu yang membuka mulut, Patih Sagara   Wisamala   kembali   bertanya,   “Orang-orang   Serikat   Candu   Iblis   yang menghajar kalian?”
Sentak menarik nafas panjang dan dalam Jala  Gandring menjawab.  “Kami memang  berhasil  menjebak  rombongan  orang-orang  Serikat  Candu  Iblis  di  hutan Karangkukusan. Pemimpinnya nyaris kami tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan. Ada satu mahluk yang tidakkelihatan menolong Ketua Serikat Candu Iblis sehingga dia berhasill lolos.”
“Lolos setelah menghajar kalian lebih dulu?” tanya Patih Kerajaan.
“Bukan  dia  yang  menghajar  kami.  Tapi  mahluk  yang  tidak  kelihatan  itu. Mahluk tersebut ternyata menjadikawan sang ketua.” Barataji yang menjawab.
“Keteranganmu sungguh tidak dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah satu  dari  kalian  menceritakan  apa  sesungguhnya  yang  telah  terjadi.  Yang  lebih penting kalian telah bertemu dengan Ketua Serikat Candu Iblis itu. Apakah kalian mengenal siapa adanya dia?”
“Manusia terkutuk itu ternyata  adalah Pendekar  212 Wiro  Sableng.  Murid nenek saktibernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” kata Jala Gandring.
“Pendekar 212 Wiro  sableng?! Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu Iblis?”
Jala Gandring dan Lawunggeno mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
“Tidak dapat kupercaya! Sungguh t idak aku duga! Bukankah Pendekar 212 seorang  tokoh  silat  muda  yang  sangat  disegani  dan berasal  dari  golongan putih? Malah setahuku dia telah berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah ikut membantu menumpas pemberontakan.”

“Kakang Patih, biar saya ceritakan agar jelas bagikakang Patih,” kata Jala Gandring pula. Lalu dia pun menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia dan rombongannya   berhasil   menjebak   orang-orang   Serikat   candu   Iblis   di   hutan Karangkukusan sampai akhirnya mereka dibuat babak belur.
“Aneh …” kata patih  Sagara  Wisamala  sambil  melangkah  mondar  mandir. “Hutan  Karangkukusan  memang  termasuk  salah  satu  hutan  angker  di  kawasan perbatasan. Tapi jika ada satu mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini benar-benar tidak masuk akal. ”
“Turut penglihatan saya,” kata Jala Gandring pula, “Agaknya antara Pendekar 212 dan mahluk itu sudah saling kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan saya mahluk itu adalah mahluk perempuan.” “Kuntil anak? Sebangsa peri atau gendaruwo atau  penghuni  laut  selatan?  Atau jin  peliharaannya?”  ujar  Patih  Kerajaan  sambil memandang pada ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno batuk-batuk beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih mengalir  darah.  Dengan  sehelai  sapu  tangan  basah  dia  menyeka  mukanya  lalu berkata. Suaranya terdengar sangau akibat hidungnya yang rusak.
“Siapa atau apa pun adanya mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini ialah menyebarkan pengumuman penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita sudah mengetahuikedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Apa yang dikatakan Adipati Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap hidup atau mati,” ikut bicara Barataji.  “Kerajaan harus mengirimkan surat kepada gurunya  di Gunung  Gede  serta para  sesepuh dunia persilatan.  Mereka  harus  ikut bertanggung jawabdan membantu menangkap pemuda itu!”
Pati Sagara Wisamala tercenung sesaat. “Antara jasa dan kejahatan memang tidak dapat dibanding-bandingkan,” katanya. “Walau pemuda itu telah banyak berjasa pada Kerajaan dan dunia persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua dari komplotan perusak ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan surat penagkapan atas  diri Pendekar  212!  Berita  ini harus  diumumkan di  seluruh Kerajaan, sampaidi pelosok-pelosok!”

SEHARI  sebelum  kedatangan  rombongan  Jala  gandring  ke  Keraton,  pada  suatu malam gelap tanpa bulan, delapan orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan celana  hitam  berlari  cepat  di  wilayah  selatan  luar  Kotaraja.  Mereka  mengusung

sebuah  tandu.  Gerakan  mereka  laksana  hantu  malam.  Dari  mulut  mereka  selalu terdengar ucapan: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Di sebuah persimpangan sunyi rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama kemudian mereka  memasuki halaman sebuah gedung yang berada dalam keadaan gelap gulita. Hanya ada sebuahlampu minyak menyala dekat tangga depan. Delapan pengusung tandu hentikan ucapan-ucapan mereka.
Lima orang pengawal muncul menyongsong kedatangan orang-orang pemuda tandu  itu.  Dari pihak  yang  disongsong,  yang  bertindak  sebagai pemimpin  segera berkata: “Beri tahu Raden Haryo Adipuro kalau kami sudahdatang.”
“Raden   Haryo   memang   sudah   menantikan,”  jawab  pengawal   itu.   Dia mengangkat tangannya seperti memberi tanda. Pintu besar gedung kelihatan terbuka. Delapan lelaki pengusung tandu  segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung, terus masukke dalam gedung bersama tandu yang mereka usung!
Bagian dalam gedung ternyata berada dalam keadaan gelap.  Sebuah lampu minyak terdapat di atas sebuah meja di tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat kecil dan redup tidak dapat menerangi seluruh ruangan yang cukup besar. Segala yang ada di tempat itu terlihat sepertibayang-bayang menghitam.
Di sudut kiri ruangan ada sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan tampak duduk seorang lelaki berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya menunjukkan rasa khawatir yang coba disembunyikannya.
Delapan lelaki bertelanjang dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian depannya sengaja membelakangi nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung kemudian berdiri tak bergerak,  empat  di samping kiri dan empat  lagi di samping kanan tandu. Suasana di ruangan itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian kemudian  dipecah  oleh  suara  berkeretekan.  Bagian  depan tandu  yang  merupakan sebuah pintu perlahan-lahan terbuka.  Di dalam  tandu,  terbungkus  oleh kegelapan kelihatan duduk satu sosok tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang laki- laki katai. Menggunakan jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya botak dan mukanya berwarna kelabu!
Raden Haryo Adipuro adalah Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang pejabat tinggi Kerajaan yang setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika pintu tandu terbuka, dia segera berdiridan menjura memberikan hormat pada orang

pendek yang duduk didalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan sikap hormat, menunggu.
“Raden Haryo” orang didalam tandu terdengar berkata. “Aku datang seperti biasa  mengantarkan  uang  perlindungan.”  Lalu  dari  dalam  tandu  melesat  sebuah kantong.  Kantong  ini  mengeluarkan  suara  berdering  ketika jatuh  di  atas  meja  di samping lampu minyak.
Raden  Haryo  Adipuro  memperhatikan  kantong  itu  sesaat.  Dilihatnya  ada kelainan pada ukuran kantong. Tapidia diam saja. Tidakberani menanyakan.
Orang didalam tandukembali membuka suara. “Jumlah yang aku sampaikan kali inijauh lebih kecil. Itu satu pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo berikan terhadap Serikat tidak memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa.”
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Raden Haryo Adipuro.
“Sebelumnya  aku  sudah  memberi  bisikan.  Aku  mencurigai  Patih  Sagara Wisamala.  Dia  bisa  membahayakan  Serikat.  Karena  itu  Raden  aku  minta  untuk menyelidik. Apa yang telah Raden lakukan?”
“Saya telah menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menyelidik …”
“Orang-orang Raden tidak  lebih  dari kerbau-kerbau tolol!” kata  si pendek dalam tandu yang membuat Raden Haryo Adipuro jadi terdiam.
“Beberapa  hari  lalu  orang-orang  Patih  Sagara  menyerang  dan  menjebak rombonganku di hutan Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga dibunuh dengan panah beracun. Lima dibakar hidup-hidup!”
Dalam gelap paras Raden Haryo Adipuro jadi berubah dan memucat.
“Ini adalahkealpaan yang tidak dapat dimaafkan Raden haryo!”
“Saya …  saya  mengerti  Soltan  Ramada,”  jawab  Kepala  Pengawal  Istana menyebut nama orang kate yang duduk didalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia tak berani menatap mata orang di hadapannya itu.
Lalu dia berkata, “Mohon Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin rombongan yang melakukan penyergapan itu. Saya akan segera mengambil t indakan.”
“Ada  tiga  orang.  Jala  Gandring,  tokoh  silat  istana  sahabat  kental  Patih kerajaan. Lalu Adipati Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh silat yang selama ini menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu sendiri!”

Paras Raden Haryo berubah. Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang  tokoh berkepandaian tinggi.  “Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!” kata Raden Haryo Adipuro akhirnya.
“Bagus!   Karena   memang   itulah   satu-satunya  jalan  untuk   mengampuni kelalaianmu! Sekarang aku minta laporan perkembangan kegiatanmu!”
“Satu tempat penghisapan baru mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur. Dua lainnya di Sleman dan Klaten.”
“Bagaimana dengan orang-orang penting yang jadi sasaran Serikat?”
“Tumenggung Jarot Agasa masukke dalam bujukan kita. Salah seorang selir Sri Baginda diam-diam sudah mulai menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan seorang keponakannya juga berhasildibujuk …”
“Bagus,  sekarang  tugas  utamamu  adalah  berusaha  agar  Sri  Baginda  bisa dibujuk. Kau bisa memperalat gundiknya yang telah jadi pemadat itu atau melalui pangeran Dipa Alit.”
“Saya siap melakukannya Soltan.”
“Aku segera pergi. Ada pertanyaan yang ingin kau ajukan?”
“Tidak. Kecuali permintaan agar jumlah kiriman candu diperbanyak,” jawab Raden Haryo Adipuro.
“Tak usah kau kawatirkan. Itu sudah ada dalam benakku!” jawab si botak muka kelabu yang bernama Soltan Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu tertutup.   Delapan   lelaki  bertelanjang   dada   segera   mengangkat   tandu   itu   lalu mengusungnya  keluar  gedung.  Tak  lama  kemudian  di  dalam  kegelapan  malam kembali terdengar suara mereka. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”

-- == 0O0 == --

SEMBILAN

GOA  batu  itu  terletak  di  kaki  selatan  Gunung  Merapi,  tersamar  di  balik kerapatan pepohonan dan semakbelukar. Suasana sunyi senyap yang sesekali ditandai oleh  kicau  burung-burung  hutan jadi  terusik  ketika  dikejauhan  terdengar  seruan berkepanjangan. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat … !”

Makin lama suara itu semakin keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama kemudian terlihatlah rombongan  yang  tak  asing  lagi.  Delapan  lelaki  bertelanjang dada,  hanya  mengenakan  celana  panjang  hitam  sebetis  mengusung  sebuah  tandu sambilberlari.
Didepan goa rombongan berhenti. Perlahan-lahan tanduditurunkan ke tanah. Seorang dari delapan pengusung melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa. Dengan kedua tangannya yang kukuhdipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke kanan. Sesaat kemuadian terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu terjadilah satu keanehan. Rerumputan pohon dan semak belukar yang menutupi mulut goa perlahan-lahan turun ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut goa kinikelihatan dengan jelas namun lima langkah ke sebelahdalam menghadang sebuah batu besar.
Tiba-tiba pintu tandu berkereketan dan terpentang  lebar. Dari dalam tandu melesat keluar satu sosok pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut
goa.
Di depan batu besar yang menyumpal mulut goa sebelah dalam,  orang in i yang bukan lain adalah manusia bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali berturut-turut. Ketukan yang disertaipengerahan tenaga dalam itu menggetarkan batu. Getaran ini menjalar sepanjang lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang terletak disuatu ruangan agakketinggian.
Di  atas  kursi  batu  ini  duduk  seorang  lelaki.  Baik  bentuk  tubuh  maupun wajahnya  yang  terlihat  samar-samar  karena  pada  pertengahan  ruangan,  beberapa langkah didepan kursibatu terdapat sebuah tirai berwarna merah dengan garis garis kuning. Di sebelah bawah ada gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah
tua.
Begitu merasakan getaran pada kursi batu yang didudukinya, orang di balik tirai  menekan  ujung  kanan  lengan  kursi.  Bagian  ini  rupanya  merupakan  sebuah tomboldari peralatan rahasia. Begitu lengan kursiditekan, di mulut goa, batu besar yang menutup bergeser ke kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di belakangnya batu besar bergeser kembali, menutup mulut goa.
“Kau membawa kabar baik untukku Soltan?”
Orang  yang  duduk  di  atas  kursi  batu  bertanya.  Suaranya  keras,  bergema panjang didalam goa itu.

“Tentu,  tentu  Pangeran!”  jawab  Soltan  Ramada.  Lalu  manusia  katai  in i jatuhkan dirinya dekat tiga alur tangga batu dan bersujud beberapa lamanya. Kalau tidak disuruh bangkit dia tidak akan terus bersujud seperti itu.
Orang  yang  disebut  dengan  panggilan  Pangeran  menyeringai.  “Bangunlah Soltan. Berikan laporanmu!”
Soltan Ramada bangkit dari sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
“Sesuaidengan petunjuk Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212 menjadi bulan-bulanan pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang Persilatan. Kinidia dianggap sebagai Ketua dari Serikat Candu Iblis. Perintah penangkapannya hidup atau mati telahdisebarluaskan di seluruh pelosokkerajaan.”
Mendengar keterangan itu orang yang duduk dikursi batu tertawa gelak gelak. “Kau memang pembantuku paling hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”
Lalu Soltan menuturkan peristiwa di hutan Karangkukusan.
“Bagus … ! Bagus! Delapan korban tak jadi apa.  Candu palsu  dalam kotak yang kau selipkan di pinggang Pendekar 212! Ha …ha …ha. !”
Soltan Ramada ikut tertawa mengekeh.
“Sekarang aku tidak susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku itu. Orang-orang berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan mengerjakannya. Menurut perkiraanku, paling lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng itu pasti akan tertangkap! Kalau dia t idak matidalam perlawanan maka Kerajaan akan menggantungnya sampai mampus! Ha …ha …ha … .!”
“Berita  lain  yang  menggembirakan,  Pangeran,”  kata  Soltan  Ramada  pula. “Saat  ini  sudah  banyak  orang-orang  yang  dekat  dengan  Keraton  masuk  dalam perangkap candu kita. Dua di antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran Alit.”
“Hebat! Berartikita sudah dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!”
“Saya  sudah perintahkan  Raden  Haryo  Adipuro  untuk  melakukan  hal  itu. Rasa-rasanya  segala  rencana  akan berjalan  mulus.  Katakanlah paling  lambat  kita harus menunggu tiga purnama …”
“Ya, paling lambat memang sekitar sembilan puluh hari.”
“Kalau  Sri  Baginda  sudah  masuk  dalam  perangkap  Serikat  Candu  Iblis... Ha …ha …ha …ha … !  Tanda  kerajaan tak  lama  lagi akan  lumpuh  dan kita  dengan mudahbisa merebut tahta!”

“Tahta memang adalah hak warismu yang sah Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Tapiingat Soltan. Dalam setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan waktu semua orang-orang kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada! Aku merisaukan beberapa  orang  yang bisa  menjadi  penghalang.  Pertama  Patih  Sagara Wisamala.”
“Saya memang terus memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus pada tiga orang tokoh. Jala Gandring. Baratajidan Adipati Lawunggeno.”
“Mereka  orang-orang  berkepandaian  tinggi,”  kata  Sang  Pangeran  sambil pangkukan kaki kirinya ke kaki kanan.
“Tidak usahkhawatir Pangeran. Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah bahwa dia harus membunuh ketiga orang itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo saya perintahkan untuk  meninggalkan tanda pada  setiap pembunuhan. Yaitu  SCI, singkatan dari nama serikat kita.”
“Otakmu sungguh luar biasa Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran itu?” tanya sang Pangeran dari balik tirai sambil menyeringai.
“Saya hanya belajar darimu Pangeran!” jawab Soltan Ramada lalu letakkan keningnya dilantai goa, bersujud! Lalu sambil terus menempelkan keningnya dilantai Soltan berkata penuh penjilatan, “Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak?!”
Orang di atas kursi batu tertawa mengakak. “Kau ingat betul sifat-sifatku itu Soltan,” katanya. “Dan aku tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua orang akan  menuduh  Pendekar  212-lah  yang  telah  membunuh  ketiga  orang  itu.  Bukan begitu?”
“Betul sekali Pangeran!” jawab Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
“Hemmmm … Soltan, masih ada satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat Candu Iblis kita. Raden Mas Kuntoro Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan …”
“Saat ini dia masih berada di luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan ke Tanah Melayu. Dia tidak akan kembali dalam waktu empat atau lima bulan,” kata Soltan Ramada.
Sang Pangeran mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata, “Baiklah Soltan, Kau tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemuikekasihmu saat ini?”

“Kalau   Pangeran   mengizinkan.    Sudah   satu   bulan   lebih    saya   t idak melihatnya …”
Sang  Pangeran  tertawa  lalu  menekan  ujung   lengan  kursi  sebelah  kiri. Terdengar suara menderu perlahan. Satu celah tampak didinding sebelah kiri dekat lorong menuju keluar.
Soltan Ramada bersujud lebih dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia bangkit dan berkelebat ke dalam celah batu. Di belakang celahitu ternyata terdapat sebuahkamar yang bagus sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang dialas dengan kasur jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas tempat  tidur, berdiri  satu  sosok tubuh perempuan yang  luar  biasa buntak dan gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telahjadi satu  dengan dadanya.  Wajahnya  merah karena  diberi pupur  berlebihan.  Gincunya tebal bukan kepalang dan alis matanya yang sepertibulan sabit diberi alat penghitam. Perempuan gemuk ini tegak bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat Soltan Ramada masuk ke dalam kamar batu itu.
“Kanda Ramada!” kata si perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut serta mata penuh genit. “Kalau hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya sudah mati menelan kerinduan …”
“Kekasihku  Ramini!”  seru  Soltan  Ramada  seraya  melompat  naik  ke  atas tempat tidur. “Rindumu adalah rindukujuga!” Berdiriberhadap-hadapan tinggi Soltan Ramada hanya sampai sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi, perempuan itu tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah tipis yang melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa mengenakan  sepotong  pun  kain  pelindung.  Di  mata  Soltan  Ramada,  tubuh  yang gemuk  buntak  penuh  lemak  itu  seindah  tubuh  bidadari.  Dia  menjerit  keras  lalu melompat merangkulleher si gemuk.
Dari tempatnya duduk di kursi batu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran dapat melihat ke dalam kamar melalui celah yang masih belum ditutupnya. Dia tertawa-tawa seorang diri.
“Apa  yang  aku  lihat  ini?  Seekor  sapi  betina  bulat  melawan  seekor  kadal sawah? Ha …ha …ha!” dia menekan ujung lengan kirikursi batu. Celah didinding goa menutup kembali.

-- == 0O0 == --

SEPULUH

KOTARAJA menjadi geger ketika dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan Ramada menemui Raden Haryo Adipuro, pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita mengejutkan kematian tiga orang penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno dan Barataji.
Jika tiga orang penting menemui kematian  secara bersamaan maka hal ini bukanlah  suatu  peristiwa  biasa.  Kematian  mereka  tidak  bisa  disebut  wajar.  Dan memang ketiga tokoh itu tewas akibat dibunuh!
Jala Gandring dan Baratajiditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing di perumahan khusus untuk tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana sebelah timur. Sedang Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya dikawasan pusat Kotaraja.
Ketiga orang ini menemui ajal dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil berbentuk  sumpit  menancap  di  tenggorokan  masing-masing.  Leher  dan  sebagian muka mereka kelihatan membiru tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada bagian ujung kayu terdapat bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini tertera tiga huruf SCI yang merupakan singkatan dari Serikat Candu Iblis.
Seperti diketahui ketiga  orang  yang jadi korban pembunuhan  itu  memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa berarti si pembunuh  memiliki kepandaian  yang  sangat  luar  biasa.  Atau  mungkin ketiganya dibokong satu demi satu?! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota Serikat Candu Iblis yang bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu juga Sri Baginda memanggil Patih Sagara Wisamala.
“Kita kebobolan Patih,” kata Sri Baginda.
“Saya  mengerti  Sri  Baginda.  Semua  karena  kelalaian  saya,”  jawab  Patih Sagara Wisamala. “Yang menjadikorabn pembunuhan ketiganya adalah orang-orang yang saya percayakan untuk menanganikomplotan candu jahat itu.”
“Mereka sekarang secara terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari Serikat mereka,” kata Sri Baginda pula. “Aku merasa dipermalukan. Belum lagi rasa

tanggung jawab terhadap orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih, katakan kalau benar bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah masuk perangkap jahat menjadi penghisap candu!”
“Hal itu memang menjadikekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera melakukan penyelidikan.” jawab sang Patih. Dia tidakberani mengatakan terus terang bahwa dia memang sudah mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan Istana telah masuk ke  dalam perangkap  Serikat  Candu  Iblis.  “Bagaimana  dengan Pendekar 212? Masih belum diketahui di mana dia berada?”
“Belum  Sri  Baginda.  Saya  telah  menambah jumlah  mata-mata  di  seluruh pelosok Kerajaan.”
“Jangan terlalu memperhatikan daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu berada di Kotaraja dan sempat membunuh tiga orang kepercayaanmu!”
Ucapan Sri Baginda itu membuat air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu merah.
“Kuharap  kau  bekerjasama  dengan  Raden  Haryo  Adipuro.  Geledah  setiap tempat yang mencurigakan di Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat yang mencurigakan jangan segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu Iblis t idak  mungkin berkembang  secepat  dan  seberani itu kalau t idak mempunyai tulang punggung yang mereka andalkan.”
“Petunjuk Sri Baginda akan saya laksanakan. Saya mohon diri …”
“Tunggu!  Ada  satu  hal  lagi  Patih.  Hubungi  tokoh-tokoh  dunia  persilatan. Minta mereka membantu menangkap atau membunuh Pendekar 212. Kita tidakbisa bekerja sendirian. Kita perlu bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui Sinto Gendeng. Perintahkan dia menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang mungkin bisa memaksa muridnya keluar daripersembunyian.”
“Kalau saya boleh tahu Sri Baginda, rencana apakahitu?”
Sri Baginda menatap wajah Patihnya itu beberapa saat. Sang Patihjadi merasa tidak enak dipandang seperti itu. Maka dia cepat berkata, “Jika Sri Baginda tidak percaya bahwa saya tidak dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak perlu mengatakannya pada saya.” Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendakberlalu. “Tunggu  Patih!  Jangan  salah  menduga.  Aku percaya padamu.  Aku  akan katakan rencana itu. Tapi jangan sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!”
“Saya berjanji t idak akan membuka rahasia,” kata Sagara Wisamala pula.

“Begitu Sinto Gendeng masuk ke Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu jika dalam waktu sepuluhhari setelahdia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua Serikat Candu  Iblis  itu tidak  muncul menyerahkan diri,  perempuan tua  itu  akan kusuruh gantung sampai mati!”
Tersirap darah Patih  Sagara Wisamala  mendengar ucapan  Sri Baginda  itu. Dalam hati dia  membatin.  “Nenek  sakt i  Sinto  Gendeng  memang bisa  dimintakan pertanggungan jawab atas kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai si nenek digantung, sama saja dengan menantang perang terhadap orang-orang dunia persilatan!”
SENTIKO  menggeliat  beberapa  kali  lalu  turun  dari  tempat  tidur.  Setelah meneguk  air  putih  dari  dalam  sebuah  kendi  dia  naik  ke  kamar  di  tingkat  atas penginapan. “Keparat bermulut besar itu pasti sudah mampus dilalap lima ekor ular sendok!” berucap Sentiko dalam hati.
Pintu  kamar  dibukanya.  Sebelum  melihat  ke  dalam  lobang  dia  membuka semua jendela kamar agar cahaya terang masukke dalam. Lalu baru dia melangkah ke tepilobang dan memandang ke bawah. Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh Pendekar 212 terkapar tak bernyawa.
Tetapi alangkah terkejutnya pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini ketika yang dilihatnya bukan sosok tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak adalah bangkailima ekor ular sendok bergeletakan menghitam sepertidipanggang!
Apakah yang telah terjadi didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212 Wiro Sableng terjebak dan terperangkap?
Kita kembali pada saat Wiro berada didalam lobang dan mengurungkan untuk melepaskan pukulan sinar mataharikarena di ruang batu yang sempit itu pukulan sakti tersebut bisa berbalik menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada  saat  lima  ekor  ular  sendok  semakin  meninggikan  tubuh  dan  siap mematuk, murid Sinto Gendeng ini t idak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga Mayat yang setiap saat bisa membantunya jika dipanggil.
Di  saat-saat  genting  seperti  itu  hatinya  mendua  bahwa  dirinya juga  kebal terhadap bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian lima ekor ular, Wiro merapat ke dinding di belakangnya  sambil kedua tangannya bergerakke pinggang.

Yang kiri mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan batu hitam pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba ular paling kanan bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan ikut bergerak. Wiro jatuhkan diri ke lantai lobang batu.  Serentak dengan itu batu hitam diadu dan digeserkannya kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api melesat ke atas. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga Geni 212 dan batu hitam warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat ekor ular sendok surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad meneruskan  mematuk  ke  arah  muka pendekar  212.  Lidah  api  segera  menyambar binatang ini. Tubuhnya langsung terpanggang hangus lalu jatuh ke lantailobang.
Wiro   gosokkan  lagi  batu  saktinya  ke  mata  kapak.  Kembali  lidah  api menyembur. Dua ekor ular sendokjatuh berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara didalam lobang itu menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut
terpanggang.
Dua  ekor  ular  yang  masih  hidup  bersurut  mundur,  memendekkan  badan masing-masing, kelihatannya hendak menyelinap larilewat celahdibawah dinding. Wiro tidak mau membiarkan binatang-binatang itu lolos. Sekali lagikapak mustika dan batu saktidigosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan dilantai.
Murid  Eyang  Sinto  Gendeng  menarik  nafas  lega.  Dadanya  turun  naik. Hidungnya kembang kempis. Tubuhnya terasa letih sekali sepertikehabisan tenaga dan  basah  oleh  keringat.  Salah  satu  lengan  pakaiannya  baru  disadarinya  hangus terbakar.
Pendekar   ini   melosoh   dan   menjatuhkan   diri   ke   lantai.   Dia   berhasil menyelamatkan diri. Namun masih adakah bahaya baru yang bisa keluar dari celahdi bawah dinding itu? Sebelum malam tiba dia harus keluar daridalam lobang celaka itu. Wiro memutar akal sambil memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana?
Perlahan-lahan Wiro berdiri.  Dia  memukul-mukul dinding batu  itu  dengan tinjunya. Hampir tidak terdengar bunyi keras ataupun gema pertanda dinding lobang itu  tebal  sekali.  Lalu  dia  coba  mengukur-ukur jarak  antara  satu  dinding  dengan dinding didepannya dengan kedua tangannya.
“Tolol!” Wiro memaki sendiri. “Mengapa dengan tangan? Aku bukan monyet atau orang utan yang bisa memanjat hanya mengandalkan tangan!”

Dikangkangkannya kedua kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa menempelke dinding kiri dan kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos daridalam lobang itu sudah terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid Eyang Sinto Gendeng kernyitkan kening dan garuk-garukkepala.
Dinding lobang yang terbuat dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya menginjak, tidak dapat tidak, dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawahkembali. Dia memerlukan sesuatu untuk menjadi pegangan.
“Geblek!” Tiba-tiba  sang pendekar kembali memaki dirinya  sendiri sambil menepuk jidatnya. Dia keluarkan kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya.  Senjata  itu  dibacokkannya  ke  dinding  batu  di  hadapannya.  Begitu menancap,  gagang  kapak  terus  dipegangnya.  Lalu  kedua  kakinya  dikembangkan, diinjakkan pada dinding lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali  dicoba  gagal,  kali  kedua  gagal.  Kali  keempat  baru  dia  berhasil menekankan kedua kakinya pada dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang kukuh tubuhnya berhasil bergerakke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang kapak, Wiro  cabut  senjata  itu dan  sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah  secepatnya  mata kapak dibacokkannya ke dinding sebelah atas.
Sesaat   dia  bergantungan  pada  gagang   senjata   ini.   Lalu  perlahan-lahan tubuhnya  beringsut  naik  ke  atas.  Mencapai pertengahan  lobang  ternyata  dinding- dinding lobang itu agak menyempit. Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi lebih kuat. Tanpa kesulitan akhirnya Wiro memanjat ke atas dan keluar daridalam lobang, dengan tubuh serta pakaian basah mandikeringat.
Sentiko masih tertegun bengong di tepilobang ketika tiba-tiba dari atas langit- langit kamar yang jebol melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher pakaiannya.  Sesaat  kemudian  manusia  bertubuh  gemuk  ini  merasakan  tubuhnya terangkat.  Sebelum  dia  bisa  berbuat  apa  tubuhnya  sudah  dilemparkan  orang  ke dinding!
Dinding ruangan yang terbuat darikayu hancur berantakan. Sentiko menjerit kesakitan.  Badannya  yang  gemuk  menyangsang  di  jebolan  dinding.  Selagi  dia berusaha melo loskan dirinya, Wiro tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk ini. Lalu dari atas meja dia menyambar segulung tali.
Ketika  Sentiko  berhasil  lolos  dari  dinding  dan  berusaha  hendak  berdiri matanya mendelik dan dari mulutnya terdengar teriakan keras. Ternyata dengan tali

tadi Pendekar 212 telah mengikat anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal maupun yang kembar! Ketika tali dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan yang juga  menjalankan  tempat  pengisapan  candu  ini  menjerit  kesakitan  setengah mati!
Wiro tarik tali yang dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti maju sepertikerbau dicucuk hidung.
“Ampun … jangan! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Sentiko. “Sakit?” tanya Wiro.
“Sakit! Tentu saja! Wadaw!”
“Dengar babi gemuk!” kata Wiro seraya main-mainkan tali yang dipegangnya. “Burung perkututmu ini akan kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku
tanya!”
“Bangsat!  Setan!  Adaw … !”  Sentiko  memaki  lalu  menjerit  ketika  Wiro sentakkan tali yang dipegangnya. “Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku akan berteriak memanggil pengawal!”
“Kalau kau masih sayang pada perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macam- macam! Lekas katakan siapa pemimpin Serikat Candu Iblis dan di mana aku bisa menemuinya?” “Demi Tuhan aku tidak tahu!”
“Jangan dusta!” Bentak Wiro sambil membuat gerakan hendak menarik tali keras-keras.
“Jangan ditarik! Ampun!”
“Kalau begitu lekas bicara!”
“Sumpah! Aku tidak tahu siapa pimpinan Serikat Candu Iblis …”   “Lalu siapa yang mengirimkan candu-candukeparat itu padamu?”
“Seorang penghubung. Aku tidak tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada malam hari dan meletakkan kotakkecilberisi candu pada tempat tertentu.”
“Lalu  bagaimana  caranya  dia  menerima  uang  pembayaran  candu  serta keuntungan hasil perbuatan celakamu pada seratus orang-orang yang kini mendekam dikamar bawah tanah itu?!”
“Aku… Aku memasukkan uang di sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada malam hari di satu tempat. Besoknya kotakitu lenyap tanda sudahdiambil o leh orang Serikat Candu Iblis.”

“Aku t idakbisa percaya begitu saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota Serikat itu …”
“Demi tuhan aku …”
“Dalam bahaya dan mau mampus kau menyebut nama  Tuhan.  Waktu kau menyeret  orang-orang  itu jadi penghisap  madat  dan  mendapat  keuntungan  besar, apakahkau juga ingat Tuhan?!”
Dengan geram Wiro sentakkan tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit. “Babi gemuk, aku tahu kau tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini secara bebas kalau tidak ada yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!”
“Aku… Tidak ada yang melindungi. Serikat Candu Iblis hanya menyediakan enam orang pengawaldi tempat ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau telah membunuh seorang di antaranya … !”
“Aku tidak percaya!” seringai Wiro. “Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat. Kalau  kau  t idak  mau  bilang,  kupotes  telor  kodok  dan  lontong  kumelmu!”  Wiro gerakkan tangannya yang memegang tali.
“Ampun! Jangan! Aku akan katakan, Aku akan katakan! Tapilepaskan dulu ikatan tali celaka itu. Aku bisa cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat … !”
Wiro  menyeringai.  “Ikatan  akan  kulepaskan  kalau  kau  sudah  mengatakan siapa yangjadipelindung komplotanmu. Kau dengar?”
“Ya …     ya”    kata     Sentiko     sambil    membungkuk    terhuyung-huyung memperhatikan bagian bawah perutnya. Seolah-olah memeriksa apakah sang burung berikut sarangnya masih tersangkut di sana! Ketika dilihatnya keadaanya masihbaik- baik  saja  walau  bentuknya  tidak  karuan  rupa  lagi  maka  dia  cepat  meneruskan
ucapannya.
“Baik   akan   aku   katakan.   Orangnya   adalah …”  Belum   sempat   Sentiko menyelesaikan ucapannya tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di pangkal leher lelaki gemuk itu. Sentiko menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela. Pohon di seberang bangunan dilihatnya bergoyang.  Seseorang melompat dari atas pohon ke punggung seekor kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan penunggangnya sudahlenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya sempat merusakbagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
“Kurang  ajar!”  maki  Wiro.  Dia  lari  mendapatkan  Sentiko  yang  saat  itu menggeletak di lantai dalam keadaan menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk

sumpit yang ujungnya ada bundaran pipih dengan tulisan SCI menancap dilehernya. Melihat tengkuk Sentiko yang mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu mengandung racun keras. Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro berusaha menotok jalan darah sekitar kayu yang menancap.
“Dengar, kau tak bakal apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapilekas katakan siapa pelindung komplotanmu. Ayo Sentiko! Lekas bilang …”
Kedua mata sipit lelaki gemuk itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika  Wiro  menuruni  tangga  dari  tingkat  atas  menuju  tingkat  bawah penginapan dia berpapasan dengan dua orang lelaki yang hanya mengenakan celana hitam.  Keduanya  adalah  dua  dari enam pengawal baru  yang  ditempatkan di  situ. Mereka sejak tadi curiga mendengar suara ribut-ribut di bagunan sebelah atas lalu lari menaiki tangga, berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
“Hai! Jangan lari! Kau pasti … !”
Wiro  tidak  memberi  kesempatan.  Dia  melompat  dari  anak  tangga  yang kesembilan. Kedua kakinya menendang ke depan. Dua anggota Serikat Candu Iblis yang berbadan kekar itu mencelat lalu tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya. Satu lagi hancur mulut dan hidungnya!

-- == 0O0 == --

SEBELAS

SEPERTI setiap kali datang, malam kali ini t idakbeda dengan malam-malam sebelumnya.  Empat  oramg pengawal  gedung  di  luar  Kotaraja  sebelah  selatan  itu menyongsong kedatangan rombongan pengusung tandu.  Pintu  gedung  dibuka  dan tandulalu digotong ke dalam.
Juga  seperti  dulu-dulu,  ruangan  di  mana  tandu  diturunkan  berada  dalam keadaan suram temaram. Hanya ada satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat orang pengusung dikiridan empat lagidi sebelah kanan. Dengan suara berkereketan pintu tandu terbuka. Raden Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan berdiri dan menjura memberi hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di dalam tandu dengan sikap seperti seorang raja diraja.

Tanpa  memulai pertemuan  itu  dengan pembicaraan terlebih  dahulu  Soltan Ramada langsung melemparkan kantong uang ke atas meja.
“Kantongmu makin lama makin kecil Raden Haryo …”
Raden Haryo tampak seperti hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada mengangkat tangan dan berkata, “Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang kau dengar dulu apa yang akan akukatakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!”
Raden Haryo Adipuro anggukan kepala.
“Pertama,   aku   cukup   gembira  bahwa  kau   memang   membereskan  Jala Gandring,  Barataji  dan  Lawunggeno.  Tetapi  pahala  yang  kau  buat  itu  terkubur bersama kejadian di perbatasan!”
“Pusat  penghisapan  candu  di  sana  diobrak-abrik  oleh  orang  tak  dikenal. Beberapa  orang  anggota  serikat  yang  menjadi  pelindung  dan pengawal  dibunuh. Beberapa lainnya cedera berat. Bagaimana inibisa terjadi!? Kau harus menjawabnya nanti!”
“Halkedua, orang kita di tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan pada keadaan mayatnya. Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku risau! Yang perlu  diungkapkan  ialah bahwa  Sentiko  mati akibat  ditancap  sumpit beracun yang ada lambang singkatan Serikat Candu Iblis! Adalah aneh kalau orang Serikat membunuh kawannya sendiri! Halketiga …”
Raden Haryo Adipuro tampak berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap memotong kata-kata  Soltan Ramada.  “Hal ketiga  atau keempat  atau kelima tidak penting bagiku! Aku ingin bertanya! Apakahkau juga ingin mati dengan kemaluan dijirat seperti yang terjadidengan Sentiko?!”
“Eh!” Soltan Ramada keluarkan seruan tertahan saking kagetnya mendengar ucapan  itu.  Dia  cepat  berdiri.  Delapan  lelaki  pengusung  tandu  juga  terkesiap mendengar kata-kata yang mereka anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu. Salah seorang di antara mereka berbisik pada kawannya. “Kepala Pasukan Pengawal Istana ini ingin cepat mampus rupanya …”
“Suaramu lain Raden Haryo! Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat tubuhmu yang agaklangsingan …”
Raden Haryo Adipuro tertawa bergelak.
“Kurang  ajar!  Berani kau  tertawa  seperti  itu  di  depanku?!”  bentak  Soltan Ramada melompat dari tandu.

Saat itu tiba-tiba ruangan tersebut menjadi terang benderang. Limapuluh orang prajurit Kerajaan, dua puluhdi antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar masih ada sekitar seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si katai ini memandang berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembaliberpaling pada orang didepannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada rambutnya hingga kinikelihatan rambutnya yang gondrong.
“Kau!” seru Soltan Ramada. “Ternyata kau adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Pemimpinku  sendiri!  Sungguh  satu  pertemuan  yang  tidak  diduga!”  Lalu  Soltan Ramada  menjura  dalam-dalam.  Delapan pengusung  yang tidak tahu  apa-apa  ikut- ikutan menjura. Sesaat suasana menjadi senyap di ruangan itu.
Suara  tawa  seseorang  kemudian  memecah  kesunyian  yang  mencekam  itu. Orang  yang  tertawa  menyeruak  di  antara  deretan  prajurit  yang  mengurung.  Di sampingnya mengapit dua orang perwira tinggikerajaan. Orang yang barusan tertawa ini bukan lain adalah Patih Sagara Wisamala.
“Soltan Ramada alias Cula Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu muncul  lagi  menimbulkan  malapetaka.  Dirimu  rupanya  t idak  pernah  kering  dari kejahatan! Otakmu cerdik dan licin. Tapikau tidak bisa menipu diriku dengan begitu cerdik  mengatakan  bahwa  pemuda  berambut  gondrong  ini  adalah  Ketua  Serikat Candu Iblis! Dia adalah Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendakkau libatkan dan cemarkan namanya! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo Adipuro yang jadi kaki tanganmu sudahditangkap!”
Berubahlah  tampang  kelabu  manusia  katai  berkepala  botak  itu.  Kedua matanya berputar liar. “Aku masih bisa kabur. Masih bisa lo los …” katanya dalam hati. Matanya melirikke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hai!” ujar Wiro seraya tersenyum lebar dan angkat tangannya. “Apa saat ini ada lagi kotak candu yang hendakkau berikan padaku?!”
Di  balik  kulit  mukanya  yang  kelabu,  tampang  Soltan  Ramada  alias  Cula Singkir mengelam membesi. Dia melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah maklum kalau tandu  itu memiliki berbagai senjata rahasia maju tiga  langkah lalu
hantamkan  tangan  kanannya  melepas  pukulan  sakti  “Dewa  Topan  Menggusur
Gunung” .

Tandu  kayu jati  yang  kokoh  itu  mencelat  dan  hancur  berantakan.  Soltan Ramada sendiri kalau tidak cepat menyingkir pastikena disambar mental. Dengan air muka geram si katai ini berteriak pada delapan lelakipengusung tandu.
“Bunuh pemuda gondrong itu!” Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju. Melihat hal ini Patih Sagara Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-prajurit serta pimpinan mereka. “Habisi mereka semua!”
“Tunggu   dulu!”  teriak   Pendekar   212.   “Paman  Patih,   mohon  maafmu. Mengingat saya yang punya hajat, biar saya yang mengurusi tetamu-tetamu terhormat itu! Harap yang lain mengawasi si kate itu. Dia punya banyak akal untuk melarikan diri!”
Lalu  Wiro  keluarkan  Kapak  Maut  Naga  Geni  212  dan  batu  saktinya. Sebelumnya dia telah menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak sanggup  bertahan  terhadap  api.  Sebaliknya,  delapan  orang  pengusung  tampaknya seperti menganggap remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului bentakan nyaring, Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api menyembur. Kini baru delapan orang itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga orang   terlambat.   Tubuh   mereka   segera   dilalap   api.   Ketiganya   meraung   dan bergulingan dilantai.
Lima temannya dalam marah  seperti menjadi kalap. Dengan nekat  mereka menyerbu  Wiro.  Batu  dan kapak  mengeluarkan  suara keras ketika  saling  beradu. Lidah  api  yang  lebih  besar  menyambar  ke  depan.  Lima  raungan  menggema  di ruangan itu!
Selagi  semua  orang  seperti  terpukau  melihat  peristiwa  dahsyat  itu  Soltan Ramada alias Cula Singkir pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sengaja menyeruak ke dalam barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang kecil pendek menyusup di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia mengeluarkan benda hitam sebesar ujung jarikelingking. Benda inidimasukannya ke dalam mulutnya.
Selagi para prajurit itu sibuk berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup keras-keras.  Asap  kelabu  menggebubu  dari  mulutnya  disertai  menyebarnya  hawa aneh.  Begitu  hawa  itu terhirup ke  dalam pernafasan,  lebih  dari duapuluh prajurit langsung lemas keliangan. Dua perwira tinggi tertegun sesaat. Mereka hampir ikut

roboh kalau Patih Sagara Wisamala t idak menarik keduanya menjauhi asap candu iblis.
“Celaka! Manusia katai itu lenyap!” teriak Patih  Sagara. Dia melompat ke pintu depan. Wiro ikut mengejar. Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di luar terjadikegaduhan karena tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung melihat sosok Soltan ramada.
“Sialan!” maki Wiro. Sementara Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga gedung. Semua orang terdiam seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam didalam dan  di  luar  gedung.  Namun  tiba-tiba  ada  satu  suara  tertawa  cekikikan  dari  arah persimpangan jalan yang gelap di seberang sana.
“Siapa yang tertawa?” tanya Patih Sagara pada Wiro.
“Tak dapat saya pastikan. Tapi itu suara perempuan!” jawab Wiro. Lalu dia mendahului melompati tangga dan lari ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara mengikuti, semua orang langsung menghambur pula.

-- == 0O0 == --

DUA BELAS

DI  persimpangan jalan  yang  tadinya  gelap  dan  kini  diterangi  oleh  sekian banyak  obor,  kelihatan  Soltan  Ramada  tegak  tak  bergerak.  Di  depannya  berdiri seorang nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya sepertihanya tinggal kulit pembalut tulang. Kulitnya hitam pekat sepertijelaga. Pipi dan kedua matanya cekung. Batok kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya. Lima buah  tusuk  kundai  perak  menghiasi  kepalanya.  Kelima  tusuk  kundai  itu  tidak disisipkan disela-sela rambut tapiditusukan ke kulit kepala!
“Guru! Eyang!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di tengah jalan itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih Sagara Wisamala terkesiap. Selama inidia belum pernah bertemu muka dengan si nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam hatinya tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro jatuhkan dirinya didepan sang guru. Si nenek memandang padanya.

“Anak sableng!” si nenek memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang mengirim kabar bahwa kau sekarang  sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas kakap! Katanya kau juga sudahjadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul begitu?”
“Semua dusta dan fitnahbusuk dari orang-orang Serikat Candu Iblis,” jawab Wiro.
“Nenek sakt i, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata Patih Sagara Wisamala.
Sinto  Gendeng  melirik pada  sang patih.  Dia  sebenarnya  sudah tahu  siapa adanya orang yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.
“Ah, kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan yang tidakbisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadikorban. Malah aku menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan diri maka aku akan digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.
Paras Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam hati dia bertanya. “Bagaimana nenekini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku benar- benar jadi t idak punya muka.”
“Eyang, bagamana kau bisa muncul di sini?” bertanya Wiro.
“Tubuh tua keropos ini t idakubah sepertidaun kering,” jawab Sinto Gendeng pula. “Mudahditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botakini berlari seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudahkencing di celana! Hik …hik… hik!” si nenek tertawa cekikikan.
Patih Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampir- hampir tak bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dangan gayanya waktu bicara. “Wiro! Kowe tahu siapa adanya kecoakbotakini?!”
“Namanya Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting Serikat Candu Iblis,” menerangkan Wiro.
“Ah..ah … ah!  Jadi  namanya  Sultan  bercula!”  kata  si  nenek  sengaja  salah menyebut  nama  manusia  katai  itu.  “Karena  curiga,  begitu  kepapasan  aku  totok tubuhnya. Ternyata dia adalah bangsat yang harus dibekuk!”
“Kami berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami laporkan kepada Sri Baginda,” kata patihkerajaan.

Si  nenek  tersenyum.  Senyumnya  itu justru  membuat  tampangnya  tambah angker.  “Hidup  hampir  seratus  tahun,  tak  pernah  aku  mencari  nama  meminta pamrih!” Sinto gendeng berpaling pada muridnya. “Sableng! Kau bangkit lah! Aku bukan  orang  penting  yang  patut  kau  hormati  dengan  berlutut!”  Sinto  Gendeng mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam tubuhnya   menjadi   seberat   seekor   gajah.   Sinto   Gendeng   tampak   mengerut tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik bahu muridnya.
“Brettt!!!”
Pakaian Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.
“Anak setan!” maki si nenek perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga dalam luar biasa …”
“Saya tidak punya apa-apa eyang. Masihbodoh seperti dulu,” sahut Wiro.
Si  nenek  melotot  lalu  mendongak  dan  tertawa  gelak-gelak.  Dia  memberi isyarat  agar  Wiro  berdiri.  Setelah  muridnya  berdiri  maka  Sinto  Gendeng  lantas berkata.  “Aku  tidak  punya  kepentingan  lama-lama  di  tempat  ini.  Sebelum  aku berangkat ada satu pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat baik-baik. Kau mau mendengarnya anak sableng?!”
“Saya mendengar Eyang …”
“Dalam  perjalanan  hidup  seseorang, jika  dia  berbuat  satu  kebenaran  atau kebaikan, tidak ada orang yang mengingatnya. Tapibilamana dia berbuat kealpaan atau kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat halitu baik-baik agar kau hidup mawas diridan mandiri!”
“Saya akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih atas budibaik Eyang menyampaikan pegangan hidup ini.”
“Bagus! Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis berkata begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudahlenyap dari persimpangan itu.
Untuk  beberapa  lamanya  tempat  itu  diselimuti  kesunyian.  Tak  ada  yang bergerak,  tak  ada  yang  bersuara.  Akhirnya  Patih  Sagara  Wisamala  melangkah mendekati Soltan Ramada.
“Aku tahu kau bukan Ketua Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami siapa pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!”

“Aku… aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di mana markasnya …” jawab si kate.
Pendekar  212   Wiro   Sableng  melangkah  ke  hadapan  si  katai.   “Begitu katamu … ?” Dia memandang berkeliling lalu berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian kecoakini! Cari tali! Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”
Mendengar teriakan Wiro  itu  lumerlah nyali  si katai.  Dia  segera  meratap. “Jangan … jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua Serikat Candu Iblis menyebut dirinya dengan Pangeran …”
“Pangeran?” ujar Patih Sagara Wisamala.
Wiro sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu. “jangan-jangan sikeparat itu…” katanya dalam hati.
“Betul.  Pangeran.  Begitu  aku  memanggilnya.  Aku  akan  tunjukkan  tempat kediamannya … Tapi jangan anuku diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai babak belur. Tapi anuku itu… jangan...!”
Wiro menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam  Soltan Ramada. Lalu orang yang  masih  berada  dalam keadaan  tertotok  ini  dilemparkannya  ke  dalam  sebuah gerobak.
Dengan  petunjuk   Soltan  Ramada,  pepohonan  dan  semak  belukar  yang menutupi mulut goa berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di sebelah   dalam   menjadi   persoalan   karena   Soltan   tidak   tahu   bagaimana   cara membukanya.
Patih Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakahdia terpaksa memperlihatkan kehebatannya  membobol  batu  itu.  Bagaimana  kalau  ternyata  kesaktiannya  tidak mampu  menghancurkan  batu.  Atau  akan  dimintanya  saja  Pendekar  212  untuk melakukannya?
Wiro  yang  melihat  sang  patih  ragu-ragu  segera  angkat  tangan  kanannya. Kedua kakinya terpentang. Perutnya mengempis.  Tangan kanannya bergetar hebat tanda  seluruh  tenaga  dalam  yang  ada  di  perut  tengah  dialirkannya  ke  tangan. Perlahan-lahan tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti apa   yang   hendak   dikeluarkan   Wiro   guna   menghantam  batu,   “Pukulan   Sinar Matahari.” Selama inidia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kin i

dia  akan  menyaksikannya  sendiri.  Orang-orang  lainnya  yang  berjumlah  hampir seratus, menunggu dengan tegang.
Pendekar  212  membentak  keras.  Bersamaan  dengan  itu  tangan  kanannya dipukulkan ke depan. Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya hawa panas luar biasa, membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah dalam hancur berantakan. Jalan masukke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang leletkan lidah. Patihkerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti yang tadi dilepaskan Wiro itu.
Pendekar  212  melompat  masuk  ke  dalam  goa.  Untuk  beberapa  lamanya Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal yang  tak  terduga  di  dalam  sana.  Patih  Sagara  menyusul  masuk  sambil  menyeret Sultan  Ramada.  Seluruh  ruangan  dalam  goa  diperiksa,  termasuk  kamar  di  mana biasanya perempuan gemuk bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu Soltan Ramada.
Atas petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemuidi tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
“Goa inikosong! Jangan-jangan kau mengadali kami!” Patih Sagara Wisamala menggeram  dan  memandang  mendelik pada  Soltan Ramada.  Tangannya  bergerak mencekikleher jubah si katai ini.
“Saya tidakberdusta. Sekali ini saya tidakberdusta. Pangeran itu pasti telah melarikan diri …” kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.
“Awas ada benda jatuh!” satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di dalam   goa   berteriak   memberi  peringatan.   Mengira   ada   senjata   rahasia   yang menyerang Wiro dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang jatuh  adalah  sehelai  kertas  putih  yang  rupanya   sebelumnya  memang   sengaja ditempelkan di langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro cepat menangkap kertas itu.
“Ada tulisan di sebelah belakang!” seorang prajurit memberi tahu.
Wiro membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.
“Sialan keparat!” maki Wiro kemudian.  Kertas itu hendak dirobeknya tapi cepat diambil o leh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.

Jangan kau merasa menang.  Bagaimana pun juga aku sempat mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih belum bisa menangkapku. Selamasiang selalu berganti dengan malam, selama itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu.  Serikat Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak bisa kau kalahkan! Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap berada dipihak yang kalah. Ingathalitubaik-baik. Ha..ha…ha…!
Pangeran Matahari

“Pangeran keparat!” terdengar Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi biang racun … ! Ketua Serikat Candu Iblis! Bangsat! Satu ketika kelaklehernya pasti akan kupuntir!”

                                TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive