WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Panglima Buronan
SATU
Sri Baginda Raja sepertidihenyakkan setan di atas kursikebesarannya. Singgasana itu terasa sepertibara panas. Wajahnya yang penuh kerutditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap takberkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri Bagindaakhirnyabersuarajuga.
“Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita itu…..!”
“Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya takutuntuk menyampaikannya.”
“Kalau untuk kebenaran mengapa takut?Hanya saja,apakah kau punya bukti- buktinyata? Saksi-saksi…….?”
“Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup,” sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. “Sekian puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitambertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri Baginda, bagaimana mungkincincin ituberpindah-pindah tangan?”
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocokbenar.
“Raden Mas, tahukahengkau apa artinyajikakemudian keterangan yang kau sampaikan saat ini ternyata tidak benar…..?” Sang raja bertanya seolah-olah ingin menolakhal yang sebenarnya diasendirisudah mempercayainya.
“Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda,” jawab Jayengrono. “Untuk itu saya bersedia dipancung … …”
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidaksabar Jayengrono membuka mulut berkata “Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebihlanjut.”
“Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!” Tiba-tiba saja Sri Baginda menjawabtegas.
“Itukah keputusan Sri Baginda?” bertanya Jayengrono.
“Itu keputusan raja! Sekalipun anak danistrisendiri, jika membuat kesalahan perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkanterhadapkedua perempuan itu … ..”
“Jika begitu bunyiperintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda … ..”
“Hemmmm….. Apa maksudmu Raden Mas?”
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan. Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas- ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud duatahunsilam … ..”
“Semua akantersingkap disidang pengadilan para sesepuh kelak … ..”
“Saya harapkan begitu,” kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikaphormat dan mohon diri.
Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendelaberpaling padaibunyadan berkata “Ada rombongandatang … ..”
Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkantiraijendela dan memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di sebelah belakang menyusul sebuahkereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.
“Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita … ..”
“Menangkap kita?!” kejutPuji Lestari mendengar ucapan sang ibu.
“Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau danaku!”
“Tapi apa salah kita?!” tukas sang puteri dengan mata membelalak.
Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab “Jika seseorang ingin mencelakai kita, diabisa mendapatkan seribu satu kesalahan padadiri kita … ..”
“Tapiibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalahistri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!”
“Jawabnya mudahanakku! Sri Baginda telah termakandan percaya pada hasut dan fitnah!”
“Saya akan mengusir manusiagila itu!” kata Raden AyuPuji Lestari setengah berteriak.
“Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib begini … .”
Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketikapintubesar ruangan depan itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.
“Raden Ajeng….” Jayengrono hanya sempat mengucapkandua patah kataitu karena Siti Hinggillebih cepat memotong.
“Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan puterikusiapuntuk ditangkap. Hanya sajaberiwaktuaku meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak ituselama aku di penjara!”
Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.
Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itudibatalkan.
BASTIAN TITO 3
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sebelum naikke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono. Wajahnyasinis ketika berkata “Tentunya kau puas sekarang Raden Mas! Tapiaku lebih puas karenatidakbersedia memenuhi permintaanmu!”
Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari memandangpadaibunyadan bertanya “Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima Balatentara itu. Memangnya….. apa yang pernah dimintanya padamu…..?”
Siti Hinggil menggelengkan kepala.
“Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui,Puji … .”
Tapi sang puteri malah mendesak “Kau harus menceritakan padakuibu!”
“Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu. kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib kita … .”
“Belum tentu ibu. Mungkin malahlebih buruk,” menyahutiPuji Letari.
Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. “Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisadiperlakukanseperti ini … .”
“Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir Tuhan … .”
Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyumpahit.
“Justru anehnya, sekarangaku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang kekuasaan?!”
Kereta bergerak makin cepat kearah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran Matahari beberapawaktulalu.
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA
Malam yang indah dihiasibulan purnama empat belashari itu berubah menjadi kelampekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada henti, mengeluarkan suara menggidikkandan menebar hawadingin mencucuk tulang.
Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali enam tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur dan lemari. Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan yang menyekap dan memenjarakanistri Sri Baginda yang ketiga itu.
Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-satunya kursi dalam kamar. Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekalitidak merasa takut disekap seperti ini. Namun yang dikawatirkannya adalahkeadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji Lestari ditahandikamar yang terpisah.
Sebelum Panglima Jayengrono memerintahkan pengawal menutup dan menguncipintu kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat melontarkan ancaman “Kalauterjadi apa-apa dengan puteriku, akubersumpah akan membunuhmu Jayengrono!” Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama sang panglima di hadapan para pengawal.
Sambiltersenyum Jayengrono menjawab “Di antara kita, kalauada yang harus mati mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng! Kecuali jika kau merubah pikiranmu dan memenuhi permintaanku tempo hari … .”
“Manusia biadab!” hardi Siti Hinggil.
“Perempuan tolol!” dengus Jayengrono. Lalu pintu yang masih belum ditutupkanituditendangnya dengankeras.
Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara tambah dingin. Hujan mulai turun. Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah manjadi sangat lebat.
Siti Hinggil masih duduk di atas kursidengan mata sembab. Tubuhnya sangat letih, seharian itu tak sepotong makananpun masuk ke dalam perutnya meskipun beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih yang disentuhnya. Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua matanya tak bisa dipicingkan. Ingatannya selalutertuju pada puterinya.
Dalam keadaansepertiitu mendadak sepasang mata Siti Hinggilterbuka lebar. Membelalak. Menatap ke arah dinding batu ruangan di mana dia disekap. Seperti tidak percaya pada penglihatannya, atau menyangka mungkin dia bermimpi, perempuan ini mengucak-ucakkedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi.
Dinding batu tebal itu memang berputarke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran setengahpintu dansesosok tubuh muncul dengantersenyum.
Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!
“Aku datang menepati janji, Siti…..” katalelakiitulaludengan tangan kirinya mendorong batu yang berputarhinggatertutup rapat kembali.
“Apa maksudmu?!” sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.
“Apakautidakingat pembicaraan kitadua minggu lalu? Waktuaku datang ke tempat kediamanmu? Kau akan kutahandi tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku bisa masukke mari melalui pintutahasia itu. Takada yang melihat. Tak seorangpun tahu. Dan kita…..bisa melakukan seperti masa delapan belas tahun silam Siti.
BASTIAN TITO 5
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu. Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang … .”
“Lelaki keparat! Keluar kaudarisini….!”
“Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun aku adalah kekasihmu atau paling tidak kita pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari itu hubungan kita di masa lalu menghasilkandua orang turunan. Anom dan Puji … ..”
“Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini kataku! Atau aku akan menjerit!” Siti Hinggil mengancam.
Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu takada yang bakaldapat mendengar……” sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke arah mejakecildi mana terletak makanan. “Hemmm….. Kau tak mau makan rupanya. Jangan menyiksadiri. Nanti kau bisasakit … ..”
“Beri aku racun! Aku tidaktakut mati!”
Jayengrono tersenyum, lalu duduk ditepiranjang bertilambagus. Saat itudia mengenakan pakaian berbentuk jubah putih. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Siti Hinggil.
“Kau mau bukan, Siti…..?” terdengar suara Jayengronosetengah berbisik.
Siti Hinggiltegakbersandardisudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai menangis.
Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati perempuan itu. Mencoba merangkulnyatapi dadanya didorong kuat-kuathinggadiaterjajar ke belakang.
“Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalahhukumanmu takakan berat. Bahkan aku akan membatalkan sidang pengadilan para sesepuh. Minggu di muka kau boleh meninggalkan tempat ini … .”
“Busuk…..! Manusia busuk!Apakahkau masih belum mau bertobat?Apakah kau tuli dan hatimu sepertibatuhinggatidak mau mendeengar ucapan orang? Aku tidaksudi memenuhi permintaanmu! Keluar darisini atau bunuhaku saat ini juga!”
Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Tiba-tibakembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini berhasil.
Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah Siti Hinggil. Perempuan ini meronta berusaha membebaskan diri. Namun tubuhnya yang lemah memiliki keterbatasan untuk bertahandan melepaskandiri. Kemben, angkindankainnya terlepas. Tubuhnya didorong ke atas ranjang hinggajatuhterlentang, hampir tak kuasauntuk berdirilagi. Saat itu dilihatnyalelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apa-apa lagi! Siti Hinggil menjeritdannekad.
Tangan kanannya menyambar ke bawah ketika Jayengrono berusaha menindihnya. Tangan berkuku pnajang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan itu yang ganti menjerit! Tubuhnya sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia bergulingandilantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah putihnyakembali. Sebelum meninggalkan kamar itu lewatpitnurahasia didinding dia masih sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah Siti Hinggil seraya berkata “Kali iniaku gagal. Tapijangan kira akutakbisa mendapatkan apa yang aku ingin! Dan sekali hal itu kesampaian kau akan kusingkirkan! Perempuan tolol! Perempuan gila!”
“Manusia dajal! Terkutuk kau selama-lamanya!” teriak Siti Hinggil. Lalu peremuan ini melompat. Berusaha menerobos melaui pintu rahasia dinding yang masih terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itulebih dahulu menutup. Dan kini di hadapannya adalahdinding polos belaka. Sama sekalitidakadatanda-tandaadanya pintudi tempat itu.
BASTIAN TITO 6
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosohkelantai.
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA
Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya sambil menghatur sembah, Sri Baginda tersenyum lebar. TapiKertopati tahu bahwadi balik senyum itu tersembunyi kekalutan pikiran,kegundahan hati dan ketidak tenangan.
“Lebih dari seminggu akutidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu. Apakahsudah pulih benar…..?” menegur Sri Baginda.
Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar “Terima kasih atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belumpulihbenar. Namun dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima kasih Sri Baginda … …”
Setelah Raden Kertopati mengambil tempat duduk di hadapannya maka bertanyalah Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap.
“Pertama sekali saya ingin melapor bahwakeadaandi Kotaraja yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara takada lagikabar-kabaradanya menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak kita hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah … ..”
“Aku gembira mendengar laporanmu Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak boleh berlaku lengah. Meskipun pemberontakan orang-orang di utara telah kita padamkan, aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga- jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbangarah utara. Nah, mungkin masihada urusan atau keperluanlain yang hendakkau sampaikan……?”
“Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini saya harapkan maafterlebih dahulukarenaini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda … ..”
“Aku sudah dapat meraba apa yang hendak kau sampaikan,” berkata Sri Baginda. “Soal penahanan istriku Siti Hinggildan puterinyaPuji Lestari. Betul?”
“Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan … …”
“Kalau persoalan itusilakankau menghubungiPanglima Kerajaan Raden Mas Jayengrono … ..”
“Saya maklum hal itu SriBaginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih baikbertemu dan bicaralangsung dengan Sri Bagindasaja … …”
Sri Baginda berdiridarikursinya. “Tubuhku letihsekaliKertopati danakutak ingin membicarakan soalpenahanan anakistriku. Kau boleh menghadapku lain kali. Tapiingat,bukanuntuk urusan yang satu itu … ..”
Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja membalikkan tubuh, Kepala Pasukan Kotaraja ini berkata “Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani membantah. Saya hanya akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan nanti akan menjatuhkan putusan keliru. Menjatuhkan hukuman pada orang-orang yang tidak bersalah.”
Habis berkata begitu Kertopati membungkuk hormat lalu melangkah surut mengundurkan diri.
Sesaat Sri Baginda tegak termangu, menatap wajah Kertopati lalu melambaikan tangannya.
“Katakan apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan. Rupanya kau mengetahui sesuatu Kertopati?”
Raden Kertopati mengangguk. “Bolehkah kita bicara berdua saja Sri Baginda?”
BASTIAN TITO 8
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati. Tapi tak apa. Kukabulkan permintaanmu…..” Sri Baginda memandang kepadadua orang pengawal yang sejak tadi tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura lalu meninggalkan ruangan. Tapisalah seorang dari mereka menyelinapke balikpintu dan mendekam di belakang hordeng beludruhitam kebiruan.
“Nah, sekaranghanyakita berdua Kertopati. “Katakan urusanmu!” berkata Sri Baginda.
“Saya mendapatkabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itubetul Sri Baginda?”
“Betul dandisertaisaksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiridisidang pengadilan para sesepuh … ..”
“Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada kemungkinan Raden Ajeng dan Raden Ayu mempunyai hubungan dengan para pemberontak di utara melalui Pangeran Matahari itu … ..”
“Itujugabetul!”
“Sri Baginda, sampai saat inikita belum mampu mengetahuisiapasebenarnya Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu ke istana. Mengapa dia membunuh Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dia orang putera Sri Baginda tercinta … ..”
“Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang perajuritapakah kau tidakbisa mengerti hal itu?!” Sri Baginda tampak gusar. Nada suaranya keras.
“Mohon maafmu Sri Baginda. Seperti tadi saya katakan, sebenarnya tidak satupun di antara kita yang mampu menyingkap apa latarbelakang kejahatan yang dilakukan pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang menobatkan diri sebagai seorang pangeran bernama Pangeran Matahari. Mungkin juga dia memiliki dendam kesumat terhadap istana dan orang-orang tertentu di Kerajaan ini … … .”
“Dia bersekutudengananak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar belakang perbuatannya!”
“Hanya karenacincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda……?”
“Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!”
“Mengenai cincin itu saya punya ceritasendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia mendengar penuturan saya … ..”
“Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui Kertopati. Asalkan benar!” sahut Sri Bagindapula.
“Sekitar duabulan lalu,ketika Raden Ajengdan Raden Ayukembali dari luar kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Sumo Gantra … …”
“Aku tahu peristiwaitu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu Kertopati.”
“Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang yang dibawadan lekat di tubuh Raden Ajengdan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampok-perampok ituhendak menculikistridan putri Sri Baginda. Mungkin sekali Warok Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahayaitu Raden Ajeng dan Raden
BASTIAN TITO 9
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. YaituPangeran Matahari itu. Warok Sumo Gantra dibunuhnya … …”
“Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua Klungkung!” menyambung Sri Baginda.
Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata “Hal yang satu ini masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu mati dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah ditemukan?”
Sri Bagindaterdiam. “Bukan tidak mungkinNi Luh Tua Klungkung berserikat dengan Pangeran Matahari. Dia memberikisikanbahwa rombongan istana akan lewat jalan itu … ..”
“Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk membuktikannya. Dalam rangkaian semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden Ajeng tidak berkomplot dengan Pangeran Matahari.
Cincin burung rajawali itu diberikan Raden AyupadaPangeran Matahari sebagaitanda terima kasih karenatelah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya … ..”
“Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”
“Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda.”
“Kau tidakberadadi tempat kejadian itu. Bagaimana kaubisa tahu pasti hal itu?”
“Karena beberapa pengawal yang masih hidup dan kusir kereta yang menceritakannya pada saya, Sri Baginda … .”
“Ini benar-benar satu hal barubagiku. Sulit dipercaya!” kata sang raja seraya bangkit dari kursilalu melangkah mundar-mandir.
“Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayaiketerangan yang menuduh Raden Ajengdan Raden Ayuberbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayaiketerangan saya…..?”
“Semua harusdibuktikanKertopati!”
“Saya setuju … …”
“Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh para sesepuhKerajaan!”
“Mengapa harus menunggu sidang pengadilan? Kita bisa memanggil kusir kereta dan pengawal-pengawal itu untuk memberikesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng dan Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk berbuat yang tidak dilakukannya, saya kawatirkesehatandan pikiran mereka akanterganggu … .”
Sang raja jadi terdiam dan termangu.
“Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan sesuatu? Melepaskan dulu istri dan puteri Sri Baginda sampai adakejelasanbahwa merekabenar-benarbersalah?”
“Aku butuh waktu untuk melakukan penyelidikan tersendiri sebelum menempuh jalan itu … .”
“Terserah Sri Baginda, asalkan janganterlalulama. Kasihan Raden Ajeng dan Raden Ayu … .”
“Ada lagi yang hendakkau sampaikanKertopati?” bertanya Sri Baginda.
Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak. Apakah akan diceritakannya hubungan gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri Baginda yang ketiga itu? Yang tanpa setahu Sri Baginda telah membuahi dua orang anak tidak syah yaitu Pangeran Anom dan Puji Lestari? Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah dan pesan gurunya di Banten ketikahendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata “Muridku Kertopati, sudahbanyak ilmu dan wejangan yang kauterima. Masih ada satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi lelaki
BASTIAN TITO 10
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kotorandi mulut. Karena ituselalulahkau sengaja menjaga mulutmu sebaik-baiknya. Mulut kamu harimau kamu. Jangansekali-kali menceritakanaib seseorang pada orang lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah mungkin dapat menimbulkan pertumpahandarah sekerajaan … ..”
Mengingat sampaidisitu maka Raden Kertopatilalu menjawab pertanyaan Sri Baginda.
“Tak ada lagi yang akan saya sampaikan. Saya mohon diri dan siap sedia dipanggil setiap saat … .”
“Kau boleh pergi.”
Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai dipintu. Dia sama sekali seperti tidak melihat ada seseorang yang mendekam di balik hordeng besar hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini tentu sajatidak mudahditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat pintu. Tapidiasengajaberpura-pura tidak tahu!
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT
Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan dalam untuk beristirahat, Raden Kertopati yan melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkandiri dan masuk kembali ke dalam istana. Ketika sampai di ruangan dalam, dua orang pengawal raja barusaja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah seorang dari merekadan langsung mencekallehernya. Tentu sajapengawal ini menjadikaget dan pucatwajahnya.
“Ra….raden…..” suaranya tersengalsaking kerasnya cekikanKertopati.
“Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di baliktiraidan mencuri dengan pembicaraanku dengan Sri Baginda?!” bertanya Kertopati sementara pengawalkedua tegak tertegunkeheranan menykasikan kejadian itu.
“Saya…..saya tidak bersembunyi Raden……. Saya … …”
“Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan berani dusta! Salah-salah bisakupotonglidahmu!”
“Sayabersumpah tidakbersembunyi!”
“Keparat! Jangan kira aku buta!”
“Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar tidak sembunyi, apalagi berani mendengarkan pembicaraan Raden dengan raja … ..”
Plaaak!
Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir hampirjatuh. Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari bagian bibirnya yang pecah mengucur darah. Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk bersimpuh di lantai. “Saya bersumpahraden…..saya bersumpah…..!” terdengar suaranya di antara rintihan.
“Berdiri!” hardik Raden Kertopati.
Pengawal ituberdirisambil mengusap-usap pipinya yang masihdisengat rasa sakit.
“Kau masih belum mau memberiketerangan?!” Raden Kertopati mengangkat tangankanannya tinggi-tinggi. Siapuntuk menampar kedua kalinya.
Dengan ketakutan pengawal itu membuka mulut “Saya bersumpah tidak bersembunyi dan mencuri dengar pembicaraan Raden dengan Sri Baginda. Saya berada dekattiraiitudemi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja, lalu saya tegak di situ … .”
“Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi Sri Baginda sendiri yang menyuruhmu pergi! Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu nyata-nyata mencurigai diriku! Dan aku yakin kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau mungkin sekali memata-mataiku hah?!”
“Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduhsejauhitu. Saya perajurit biasa. Saya kalaubersalah siapdihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuridengar, tidak bermaksud jahat apalagi berani melanggar perintah Raja dan memata-matai Raden … …”
Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya menggembung.
“Kali ini kuampuni kesalahanmu. Tapi ingat sejak detik ini kau berada di bawah pengawasanku langsung. Mulai besokkautidak ditempatkan didalam istana. Tugasmu dipindahsebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar?!”
BASTIAN TITO 12
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Saya…..saya dengar Raden….” Jawab si pengawal. Meskipun bertugas di pintu Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di dalam istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari padatunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.
Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatapwajah pengawal yang datang menghadapnya itulalubertanya.
“Kenapa tampangmu bengkakbegitu. Bibirmu jugakulihat adalukanya”
Sang pengawal menunduk sesaat sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Saya……saya ditempiling Raden Mas…..” katanyakemudian.
“Yang menimpiling?”
“Kepala Pasukan Kotaraja. Raden Kertopati…..” Lalu pengawal bernama Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadisiangtadidi istana.
“Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!”
“Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya memata-matai pembicarannya dengan Sri Baginda. Ternyata dia mengetahui…..” menerangkan si pengawal.
“Kepala pasukan ituringan tangan sekali rupanya!” ujar Jayengrono dengan geram. “Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si Kertopati itu. Yang aku ingin tahu ialah apa yang dibicarakannya dengan Sri Baginda….!”
“Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari. Dia siap mendatangkan saksi-saksi….” Lalu Kontondo menuturkanselengkapnya.
“Begitu…..” ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. “Dia sudah terlalu jauh melangkah. Dia bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, bukan keseluruhanKerajaan. Tapitidak apa. Kau terus saja memata-matainya … ..”
“Saat initidak mungkin lagi Raden Mas.”
“Hah, kenapatidak mungkin?”
“Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas dipintu gerbang utara … .”
“Hemm….. Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh pergi….” Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan sebungkah kecil perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkanterima kasih berulang kali lalu meninggalkan gedung kediaman Panglima Balatentara Kerajaan itu.
Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang lelaki tua memikul rumput menganggukkan kepala dan menegur dengan hormat. Kuntondo sama sekali tidak membalas teguran dan penghormatan itu. kudanya dibedal sekencang-kencangnya menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.
Gedung kediaman Raden Kertopatiteletak di barat Kotaraja, cukup besar dan mentereng, tapi tentu saja alah mewah dengan gedung kediaman Raden Mas JayengronoselakuPanglima Balatentara Kerajaan.
Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil jalan berputar dan sampai di hadapan sebuah pintukecil yang terdapat ditembokhalaman belakang gedung. Dia menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali, lalu dua kali lagi. Ketukannya itu dilakukan berurutan dua kali. Sesaat kemudian
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pintu terbuka. Seorang pengawal memberi tanda agar dia cepat masuk, sekaligus membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnyalelaki tua tadidiantar menghadap Raden Kertopati, yang saat itubarusaja selesai sembahyang maghrib.
Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka bertanyalah Kertopati. “Bagaimana hasil penyelidikanmu…..?”
“Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas Jayengrono menjelang maghrib tadi…..” menjawablelalki tua itu.
“Kertopati tersenyum. “Memang sudah kuduga!” katanya sambil menepuk bahu lelaki tua itu. “Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidakakandiberi hadiah apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depandapat bekerjadisini sebagai perajurit pengawal!”
“Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih…..” kata lelaki tua itu sambil membungkuk-bungkuk.
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA
Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya Sri Baginda duduk berhadap-hadapan dengan Raden Mas Jayengrono. Kertopati menjura memberi hormat. Meskipun di situ masih ada dua buah kursi kosong, namun karena tidak dipersilahkan maka Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani mengambil tempat duduk.
“Sri Baginda, ada apakah memerintahkan saya menghadap?” bertanya Kertopati. Di dalam hati diasudah menduga ada sesuatu yang penting –mungkintidak beres-. Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam, tegangtapisinis.
“Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono barusajamelaporkanbahwa seorang kusir kereta dan tiga orang perajurit ditemui mayatnya di tepi hutan Kalimukus. Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapikeamanan di sana masihdalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal inibisaterjadi. Apakah kau sudah menerima laporandarianakbuahmu?”
Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja membuat Kertopati terkejut. Sekilas dia melirik kearah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai.
“Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum mendapat laporan. Apakah diketahuisebab musababkematian keempat orang itu?”
Yang menjawab justruadalah Jayengrono. “Justru kaudipanggil kemari untuk segera melakukan penyelidikandimas Kertopati!”
“Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan.”
“Tunggu dulu,” Sri Baginda cepat berkata. “Turut penjelasanmu beberapahari lalu bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian bahwaistriku yang ketiga dan puterinyatidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari … ..”
“Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda. Saya perlu menyelidik lebih dulu,” jawab Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak membenarkan bahwa keempat orang itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akandiajukannyapada sidang pengadilan para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka sudah mati. “Kalau mereka matisekaligusdi tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil merekadibunuh!”
“Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti dimas Kertopati? Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian? Apakah kau pernah mendengar tentang seekor harimau yang kelihatan muncul di sekitar Kalimukus beberapahari belakangan ini?”
“Saya mendengar memang, Raden Mas….. Tapi…. Entahlah, saya harus menyelidiklebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri Bagindadan padamu….. Saya minta diri sekaang!”
Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkandi atas empat usungan bambu. Sewaktu Kertopati sampai di situ dan memeriksa keadaan mayat satu persatu, di tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.
“Mereka sepertidikoyak harimau…..” kata Kertopati dalam hati. “Tapi bukan harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh inidikoyak dengan pisau besar, mungkin celurit atau kelewang….. Ada orang yang telah membunuh mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bis menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggildan puterinya. Ah….. bagaimana sekarang?”
BASTIAN TITO 15
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Bersama anak buahnya Kertopati kembalike istana. Saat dia menghadap raja Jayengrono takada lagidisitu.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?” Sri Bagindalangsung bertanya.
“Keempat orang yang malang itu memang mati dicabik-cabik harimau Sri Baginda,” jawabKertopati.
Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya ada seorang juru masak dan seorang pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua yang bekerja setengah terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu Raden Ajeng Siti Hinggildan Raden AyuPuji Lestari.
“Aku memasak begini banyak, begini lezat tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil hanya makansedikitsekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah … ..”
“Dimakan atau tidak,sudah tugas kita memasak dan menghidangkan,” jawab si pelayan.
Saat itupintudapur terbuka. Kedua pelayan tua initerkejutdan gemetar ketika melihat siapa yang masuk. Satu hal yang tidak pernah terjadi bahwa Panglima Balatentara Kerajaan masukke dalamdapuristana.
“Raden…..apakah kami berbuat kesalahan…..?” juru masak tua keluarkan suara gemetar. Dua perempuan tua itu langsung lega ketika mereka melihat Jayengrono justru tersenyum lebar.
“Semua orang sudahpulang. Kalian berdua masih bekerjadisini. Apakah itu hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggildan puterinya…..?”
“Betul sekali Raden Mas … …”
“Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka masing-masing. Bawa yang untuk Raden AyuPuji Lestari lebih dulu…..!”
Pelayan tua cepat mengambil napan besar, meletakkan dua piring di atas nampan itu, segelas besar air putih lalu membawa semua ituke ruangan di mana Puji Lestari ditahan.
“Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai. Sebentar lagi pelayan akan mengambildan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil … …”
“Saya pergi Raden…..” jawab juru masak tua. Terbungkuk bungkuk perempuan ini mundur menujupintu.
Begitu dia hanya tingaal seorang diri di tempat itu, dari balik sakunya Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubukinidisiramkannya di atas duapiring makanan yang ada di meja.
Baru saja dia hampir selesai menuangkanseluruh bubuk, tiba-tiba pintudapur terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget dan membentak.
“Ada apa kaukembali?!”
“Selendang saya Raden….. Selendang saya tertinggal … ..”
“Juru masak! Kau takakan matitanpa selendang itu! Keluar sana!”
Ketakutan setengah mati juru masak tua itukeluardaridapur dengan langkah sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelumberlalu, dia masih sempat melihat pelayan itubicara dengandua orang pengawal pintu ruangan tahanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintudibuka dansi pelayan masukke dalam.
BASTIAN TITO 16
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Selama beberapa hari disekap dalam kamar tahanan itu Raden Ajeng Siti Hinggil boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta rongga matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih muluskinipucat sepertitiada berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik dan mulus.
Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayandi atas meja, entah mengapa sekali initimbul saja hasratnyauntuk mencicipi makanan itu. Dua potong besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalunasi putih dan sepotong semangka merahtanpabiji.
Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan disendokkannyakuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di kursi. Selama beberapa hari tidak makan, maka hidangan yang ada di meja disantapnya dengan lahap meskipuntidakkeseluruhannya sanggup dihabiskan.
Selesai makandan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan tubuhnya segar. Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan keringat membasahi kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti barudisadarinya betapaindah dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu. Cuping hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnyalebih cepat.
Istri Bagindaketiga ini menggeliatkantubuhnya. Terasa adakenikmatan aneh dalam geliatan itu. Dia menggeliatlagi. Semakin nikmat.
Perempuan ini bangkit dari kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat. Dari sela bibirnya terdengar suara seperti erangan halus. Kedua tangannya menggapai- gapaiudaralaluditurunkan ke dada. Di situkedua tangan itu meremas-remas kencang. Siti Hinggil merasakantubuhnya panas. Bukan olehudaradalamkamar namun oleh hawa aneh yang kini menguasai sekujur tubuhnya, larut dalam aliran darah, melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar entah tidak Siti Hinggil membuka pakaiannya satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak tertutup lagi, tiba-tiba terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlahcelah setengahpintu.
Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang masuk. Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat. Malah mengulurkan kedua tangannya. Memeluk orang yang berusan masukitu seraya tiada hentinya menyebut namanya.
“Jayeng…… Jayengrono … … .”
BASTIAN TITO 17
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM
Sewaktu hawaaneh yang merangsang alirandarah dan membangkitkannafsunya itu mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya.
“Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi?Apa yang telah kulakukan……?!”
Perempuan ini memandang ke dinding. Takada pintudi situ. Dia memandang seputarkamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di pintu sama sekalitidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa hingga kedap suara.
“Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!” teriak Siti Hinggil. Lalu seperti gila dia menjerit lagi berulang kali sambil memukul-mukul pintukayu yang snagat tebal dan berat.lapat- lapat suara pukulan ini sempat terdengaroleh dua perajurit yang mengawal pintudi sebelah luar. Keduanya saling pandang sesaat. Setelah berunding, salah seorang segera mengambilkuncidan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil seperti itu tentu saja dua perajurit initerperangahkaget.
“Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya! Mana manusia keparat itu! mana…. Berikan tombakitupadaku! Berikan!” teriak Siti hinggildan menghambur ke luar kamar seraya mencoba merampas tombak yang ada di tangan pengawal sebelah kanan.
“Raden Ajeng! Apa yang terjadi…..?!” Pengawal kedua bertanya lalu cepat menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itukembalikedalam kamar. Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja pegangan sipengawalterlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu,niscaya Siti Hinggil berhasillolos dan lari sepanjang gang sambilberteriak-teriak seperti orang gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat dengan susahpayah, akhirnyaberhasil membawa Siti Hinggil masukkembalikedalam kamar lalu cepat- cepat pintubesardan berat ituditutup.
“Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?!” tanya pengawal pertama.
“Kita harus melaporkan kejadian inipada Sri Baginda!”
“Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada Patih Kerajaan saja. Atau Panglima. Atau mungkin Kepala Pasukan Kotaraja … … .”
“Eh, apa yang akankaulaporkan?” tanya pengawalkedua.
“Akan kukatakan Siti Hinggilkemasukan setan!” jawab pengawalkedua. Lalu setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang ditujunya adalah gedung kediaman Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi karena kediaman Kertopati cukup jauh sedang gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat, maka pengawal ini langsung menuju kediaman Patih Haryo Unggul. Semula pengawal gedung kepatiah menolakuntuk membangunkan Patih Haryo Unggul dilarut malam begitu. Namuan setelah diberitahu apa yang terjadi maka pengawal gedung segea masukke dalam.
BASTIAN TITO 18
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Semua orang tahu bahwaselain memilikikepandaian silatdan kesaktian, Patih Haryo Unggul juga mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit, termasuk mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.
Ketika pintu kamar tahanandibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk dilantai, di salah satu sudut sambil menangis. Keadaan auratnya masih tetap tidak tertutup. Melihat ada orang yang masuk, perempuan ini melompat bangkit. Bukan untuk menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.
“Mana keparat itu! Mana manusia iblis Jayengrono itu! Aku harus membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!”
Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang yang sengajadibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu kiri Siti Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit. Sang patih mencoba sekali lagi. Kali ini yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya memperlihatkan wajah meringis kesakitantetapitidak berteriak.
“Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tibasaja menjadi gila?” begitu Patih HaryoUnggul membatin.
“Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!” kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya kiri kanan.
“Jayengrono takada disini. Mengapa … ..”
“Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia … ..” Siti Hinggil tidak sanggup meneruskan ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak dipegangi pastiterbating kelantai.
Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa aneh keluardari mulut Siti Hinggil. Tapidiatidak tahu pastihawa apa itu gerangan.
Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil dibaringkan di atas tempat tidur. Pelayan dipanggil untuk memebenahi sisa makanan. Lalu pada beberapa perajuritdan pengawal yang adadisitudipesankan agar berjaga-jaga.
“Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya kehabisan tenaga. Salah satu dari kalian cepat menghubungi kepala pengasuh istana. Minta paling tidak dua orang inang pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor pada raja … .”
Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepaladan menarik nafas dalam. “Aneh sekalitindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan istrinya itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri Baginda sama sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian penahanan ini! Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting lagi di sini hingga tak ada yang mau memberitahu?! Raja memenjarakan istrinya sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!”
Sidang pengadilan para sesepuhdan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya seharusnyadilakukan hari itu. Namun karenasejak dua hari lalu Siti Hinggildinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur, maka sidangditunda. Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat tidur dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara meracau
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yang tidakjelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk menjaga Raden AyuPuji Lestari.
Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil diperkenankandipindahkandandipulangkan ke rumahkediamannya. Tetapi dengan sikapkerasPuji Lestari menolak.
“Kalau ibundaku harus mati, biardia mati dikamar tahanan ini! Agar semua orang yang bertanggung jawab atas ketidak adilan ini bisa merasakan kepuasan!” begitukata-kata yang dikeluarkan Puji Lestaridi hadapan Patih HaryoUnggul dan Sri Baginda yang datang menjenguk meskipunhanyasebentar.
Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryoUnggul duduk berhadap-hadapan dengan Sri Baginda.
“Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum diketahui. Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling tidak aga kedua tangan dan kakinya bisa digerakkankembali. Matanya yang terpejam bisadibukalagi … ..”
“Saya telah melakukan berbagai usaha Sri Baginda. Mohon maafmu kalau segala kemampuan dan keahlian pengobatan saya kali ini hampir tidak ada manfaatnya…… Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden Ajeng. Turut penglihatandari luardia sepertikehabisan tenaga hinggatidak mampu menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk memberinya minum, apalagi makan … ..”
“Bagaimana dengan dugaan bahwa dia kemasukan roh halus atau kesurupan…..?”
“Seperti saya pernah katakan pada Sri Baginda sebelumnya, Raden Ajeng sama sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan setan atau kesurupan. Dalam kehabisantenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalamotaknya … ..”
“Penyakit aneh apa namanya itu?!” ujar Sri Bagindapula.
Seorang ponggawa masuk, memberitahu Raden Kertopati akan datang menghadap.
“Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kitabicara bertigadisini … …”
Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga. Raden Kertopati lebih banyak menjadipendengar danbaru membuka mulut menyatakanpendapatnya ketika Patih Haryo Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau orang sakti yang sanggup menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.
“Sri Baginda, apakahingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….?” Raden Kertopati bertanya.
“Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh dan terkadang lancang. Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kitabalaskan sampai saat ini…..!”
“Manusia seperti dia memang tak pernah mengharapkan balas jasa, Sri Baginda … ..”
Baginda menganggukkan kepalanya, “Terakhir kali dia raib dari penjara ketika dia ditahan atas kehendak Jayengrono … …”
“Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari orang-orang yang tak mau melihat kenyataan…..” kata Raden Kertopati.
“Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatandimas Jayengrono tempo hari karena dialah yang menjebloskan pendekar berambut gondrong itu ke dalam penjara. Tapi itutelah berlalu, yang penting saat iniapakahdimas mempunyai saran
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng….?” Yang berkata dan bertanya adalah Patih HaryoUnggul.
“Justru saya menyebut nama pendekar itukarena ingatakan kemampuannya. Dia yang mengobati saya ketikaterluka dan hampir matikeracunan akibatpukulan Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balaudi depanistana beberapa waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata dua. Dengan senjataitulahdia menyedot racun yang hampir membunuh saya….. Saya menunggu pendapat dankeputusan Sri Baginda.”
“Semua urusan aku serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian anggap paling baik…..” Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, maka Raden Kertopati bicara perlahan pada Patih HaryoUnggul.
“Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan pada Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari pada saya … …”
“Siapa yang kau maksudkandengan orang itu dimas Kertopati?” “Raden Mas Jayengrono … ..”
“Hemmmm…..Aku dengar hubungan kalian akhir-akhir ini tidak begitu
”
sreg … …
“Sayaakui Paman Patih. Semua berpangkalpadatuduhan tak beralasanbahwa Raden Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari yang hendak merampas tahtakerajaan … ..”
“Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kausebutkan itu,” kata Patih HaryoUnggul membelokkan pembicaraan.
“Saya dengar bahwa setiap kali berteriak kalap yakni sebelum jatuh sakit seperti ini, Raden Ajeng selalu meneriakkaningin membunuh Jayengrono. Mengapa? Apa alasannya? Sayatidak tahu. Paman Patih jugatidak tahu. Sri Bagindatidak tahu dan jugatidakacuh. Hanya adadua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng sendiridan Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa ditanyaisetiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karenahubungan saya dengandia sedangtidakbaik. Tetapi … ..”
“Ya…..ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnyasiapa yang bakal menanyai Panglima Kerajaan itu? Kurasa hanya Sri Baginda. Tapi seperti katamu, Sri Bagindatidakacuh!”
“Tidak acuh karenaada yang menggosok!”
“Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan adalah Jayengrono…..” kata sang patih pula.
Kertopati tersenyum. “Saya tidak mengatakan itu. Paman Patih yang menyebut namanya!”
Kedua orang itu sama-sama tersenyum.
“Dimas Kerto, jika kau memang yakinsahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang sableng itu bisa menolong, sebaiknya kau segera mencarinya dan membawanya ke mari.”
“Hal itu segera saya lakukanjika paman patih memang memberi dukungan dan restu. Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada. Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?”
“Katakan apa keinginandimas … ..”
“Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan daritahanan ituke satu tempat yang dirahasiakan … ..”
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena Sri Baginda sendiri memang sudah menyetujui. Tapi karena kau yang meminta maka aku melihat adanya keanehan … ..”
“Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketikaderetankamar-kamar itu dibangun? Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba rahasia. Siang malam dia menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi seorang Panglima Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa. Jayengrono ahli dalam bidang bangunandan benda-benda rahasia … ..”
Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden Kertopati lekat-lekat lalu memegang bahu Kepala Pasukan Kotaraja itudan berkata “Dimas Kerto, kurasa kali inikau, tepatnyakita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepaladua … ..”
“Mungkinkepalanyalebih dari dua, paman patih!” sahut Kertopati.
“Kalau begitu laksanakantugasmu secepat-cepatnya!”
“Saya mohon dirisekarang … ..”
Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba masuk seorang ponggawa membawa segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia membawa surat dari Raden Mas Jayengrono,ditujukan pada Patih HaryoUnggul.
Patih mengambil surat itudan membacanya.
Patih HaryoUnggul
Laporandari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok sisa-sisapemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan cepat. Siang ini dengan sejumlah besar pasukan berangkat ke utara. Saya tidak melaporkan pada Sri Baginda karena maklum Sri Baginda cukup banyak beban pikiran saat ini. Tentang keamanan kota mohon batuan YM untuk menghubungi Raden Kertopatidan meminta agar diatetap waspada.
Sayatidak dapat memastikankapan akan kembalike Kotaraja.
Teriring salam dan hormat,
R.M. Jayengrono
Patih Haryo Unggul menyerahkan surat itu pada Raden Kertopati. Selesai Kepala Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih bertanya “Apa pendapatmu dimas?”
“Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya sudah jauh saat ini. Kalaupun dipanggil diabisa menolak denganalasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan. Yang aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah besar pasukan tanpa terlihat gerakan-gerakan pemberangkatan … ..”
“Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam … …” kata Patih HaryoUnggul pula.
“Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang paling penting adalah mengobati Raden Ajeng lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa segala sesuatunya akan menjadijelas. Jangan lupa mengamankanibudananak itu … ..”
“Ya, kau pergilahdimas. Lekas kembali. Aku takingin kau kembali terlambat dan hanya menemuitanah merah makam Raden Ajeng!”
BASTIAN TITO 22
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH
Diiringi enam orang pengiring, dua di antaranya perwira muda berkepandaian tinggi, Raden Kertopati memacu kuda menujuke utara. Sebentar lagi malam akantiba. Sebelum malamdatang dengan segalakepekatannya dia harus mencapaiDelanggu di kaki pegunungan Kendeng.
Celakanyahujan turun rintik-rintik dan tiupanangin mulai terasa kencang dan dingin. Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam datanglebih cepat dari yang diperkirakan.
“Pacu kuda kalian lebih cepat!” teriak Kertopati.
Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tibaterjadilah malapetaka yang tidak merekaduga.
Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget. Tujuh ekor kuda meringkikkeras. Kuda-kuda dan tujuh orang itu langsung amblas masukke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus bamburuncing! Jerit pekik bersatupadu dengan ringkik-ringkikkuda!
Empat orang perajurit langsung menemuiajalditambus bamburuncingpada bagiandada atau perut. Malah salah satu tepat disatedibagian lehernya. Satu dari dua perajurit mudaterhempas kedalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing. Empat ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah mengucur deras daribagiantubuh yang tertusuk bambu. Perwira muda kedua masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Sebagian tubuhnya tergelompang ditepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!
Raden Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya selamat karenajatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat ditembus enam belas potong bambu runcing.
Raden Kertopatiberusaha melepaskankakikirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas maksudnya segera melompat dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak. Raden Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu. ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan topeng kain hitam. Hanyabagian mata saja yang tampak!
“Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak ada yang meleset! Ha…ha….ha….!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. “Semua mereka matisesuaidengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesaiaku minta imbalannya…..!”
Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke arah lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian hitam yang berdiridi tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di tepilubang mengambilsebuahkantong kain di balikpakaiannya dengan tangan kiri. Kantong inidiserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.
BASTIAN TITO 23
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Lima puluh keping emas?” desis Kala Srenggi seraya memegang kantong kain.
“Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!” jawab orang yang mengulurkan kantong kain. Kantong itu sepertihendak dilepaskannyake dalam genggaman Kala Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin salju! Detik itujuga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya yang ditembus senjata sakti sampaike jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya goyah. Kedua matanya mencelet.
“Bangsat penipu … .. Terkutuk!” hanya sumpah serapah itu yang sempat dilontarkan Kala Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk ke dalam lubang maut, tepat menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa yang terjadikemudian.
Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana dengan berteriak marah langsung menghunus golok dan menyerbu si pembunuh. Perkelahian pendek terjadidi antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapiagaknya yang memegang senjata yang memancarkan sinar putih memilikikepandaian silat sangat tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandidarah dan tewas menyusul pimpinan mereka!
Raden Kertopati memanggul tubuh yan terasa sangat panas itu dan berlari sekencang yang bisadilakukannya. Orang yang dipanggul tiadahentinya mengerang dan meminta “Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang memanggang initakbisakutahan lagi … ..”
“Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau harus sanggup bertahan! Sebentar lagikita akan sampaiditujuan!”
“Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akanterlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak Raden!”
Raden Kertopatiterharu mendengar ucpan bawahannya itu. “Jika kau sembuh, aku bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!” meluncur kata-kata itu dari mulut Raden Kertopati. Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti memberikekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggultubuh perwira muda itu.
Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali di tengah sawah. Ke situlah Raden Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu tidakkejatuhanhujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya.
Di atas dangau di tengah sawah saat itu tampak dua orang pemuda duduk bercakap-cakap. Yang pertama seorang pemuda bertubuh ramping berkulit halus mengenakan pakaian kelabu. Yang keduaberbadan tegap kekar, berambut gondrong sebahu, berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.
“Ada orang datang…..” kata pemuda berbajukelabu.
“Aku sudah tahu,” jawab sigondrong sepertitakacuh. Lalu dia memandang ke jurusan barat, dari arah mana orang yang berlari itu datang. “Hem … . Dia memanggul seseorang. Berlari kencang di pematang sawah yang kecil dan licin. Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh danilmu lari yang andal!”
Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan podok seraya berseru gembira “Pendekar 212 Wiro Sableng! Syukur pada Tuhan akhirnyakutemui juga kau!”
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Hai! Siapa dirimu?!” bertanya si gondrong seraya berdiri. Ternyata dia adalah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sama sekalitidak mengenali siapa orang yang datang ini karenabaik muka maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas Wiro segera saja mengenali dan berserukaget.
“Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba- tiba muncul di malam buta dalam keadaan bercelemongan darah dan memanggul sesosok mayat!”
“Perwira ini masih belum mati! Luka pada pahanya mengandung racun! Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!” lalu Raden Kertopati menurunkan tubuh perwira muda dari panggulannya. Pemuda berpakaian kelabu membantunya “Bagus, kaupunternyata adadisinisahabat … ..”
“Bagaimana Raden tahu kami adadisini?” tanya Wiro seraya garukkepala.
“Aku punya ratusan mata-mata disebardi delapan penjuru angin. Tidak sulit mengetahui di mana kalian berada…. Tapi yang penting tolong duluperwira muda itu…..!” kata Raden Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di atas dangau. Tubuhnya terasa luluhlantak dan napasnya menyengal karenalarisejauhitu … ..
Wiro merobek celana di bagian paha perwira muda itu hingga dia melihat lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging tepidaging paha yang terluka tampak berwarnahijaugelap.
“Racun ular jahat….” Desis pemudaberpakaian kelabu.
Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang masih setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Sinar kapak memutih perak menerangigubuk di tengah sawah itu. Mata kapak ditempelkannya ke luka yang terdapat di paha. Lalu pendekar ini mulai kerahkan tenaga dalam. Seperti disedot oleh satu kekuatan hebat, dari luka itu mengucur ke luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan darah yang keluar berubah menjadi merah. Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas dari segala racun jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.
“Dia selamat Raden … ..”
“Aku tahu kau sanggup menolongnya,” jawab Kertopati. Dia masih menelentang di lantaidangaudengandadasesak turun naik.
“Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami? Pasti ada yang tak bereslagidi Kotaraja.”
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN
Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul tinggal bersama keluarganya merupakan gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat setelah keraton tempat kediaman raja dan permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah kamar besar yang terdapat di bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah kamar di mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.
Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi seorang perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh Raden Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju istana dan memperlihatkan surat itupada Sri Baginda.
Teruntuk YM
Patih HaryoUnggul
Di Kotaraja
Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka bisa menerobos dan melewati perbatasan.
Melalui surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang tidak terduga. Saya melihat Raden Kertopati bersama Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng di antara pasukan pemberontak. Masih terdapat seorang kawannya yakni pemudabaju abu-abu yang tidak saya ketahui namanya.
Saya harap paman patih memberitahu hal inipada Sri Bagindadan mengambil tindakanterhadap Raden Kertopati.
Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigaiKapala Pasukan itu. Saya yakin dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktuditahandi penjara dulu.
Jika orang ini tidak segera diamankan istana dan kerajaan akan terancam malapetaka besar.
Teriringsalamdanhormat, R.M. Jayengrono
Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu bertanya “Di mana Kertopatisekarang?”
“Dia memang berada di luar kota. Namun kepergiannya katanya adalah mencari Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng … ..”
“Itu alasan yang dikatakannya padakita. Sebenarnya dia ingin menemuikaum pemberontak. Musuh dalam selimut!”
“Saya mohon petunjuk Sri Bagindalebih lanjut … .”
“Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu. Awasi gedung kediamannya!”
“Bukan lebih baik kalaukita menyelidikkebenaran isi surat initerlebih dulu?” “Eh, mengapa begitu Raden Mas?”
“Saya kawatirtindakan yang terburu-buru malahbisa mengundang kericuhan lebih besar, ingat ketikakita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu…..Kita ikut salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar.”
Sri Baginda terdiam sejenak. “Aku serahkan semua kebijaksanaan padamu. Tapi akutakingin kita menempuh jalan salah danterkecoh. Kalau sampai apa yang
BASTIAN TITO 26
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilaporkan Raden Mas Jayengrono betul dan kita kebobolan, ingat baik-baik, tanggung jawabada dipundakmu!”
“Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal lagi yang ingin saya laporkan … ..”
“Soal apa?”
“Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang sejak beberapahari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan yang saya dapat kamar ituduludibangun secara sangat rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak boleh diketahuioleh orang lain … .”
“Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamaritu dankamar- kamar lainnya … ..”
“Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya melakukan penyelidikan. Saya merasakanadanya keanehan padakamar satu itu, tapi tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang dulujadi juru batu dan juru kayupembangunan kamar. Gundil Ablang sudahpikun. Namun dari rangkaian keterangannya yang coba saya sambung satu dengan yang lainnya dapat diduga terdapat sebuah pintu rahasia di dinding kamar itu. Gundil Ablang saya datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil mengingat di mana pintu itu berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya … ..”
“Kalau begitu…..” uajr Sri Baginda dengan muka berubah, “Selama istriku ditahandi kamar ituada seseorang yang mengunjunginya!”
Patih HaryoUnggul tak berani mengiyakan.
“Mungkin sekaliPangeran Matahari!” Sri Bagindatiba-tibaberkata.
“Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat ketat. Meskipun dia memilikikepandaian tinggi luarbiasa, tak mungkin menyelinap tanpa diketahui. Dugaan saya ialahbahwa orang itu – siapapundia adanya – adalah seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang dalam sendiri.”
“Orang dalam sendiri? Siapa?!”
“Saat initak dapat saya menebaknya Sri Baginda … ..”
“Aku harustahusiapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beriwaktu dua hari!”
Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan raja.
Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat binatang itu pada batang pohon yang tersembunyi dalam kegelapan. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan cepat dia melangkah menuju tembok timur gedung kepatihan. Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika dia dengan mudah melompati tembok tinggi itulalu melompat lagike atas atap bangunan.
Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan wajahnya ditutupcadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak- gerak. Hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap mulai membongkar genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk ke dalam wuwungan.
Kamar yang hendak disusupinyaituberadatepat di bawah. Dari atas orang itu dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala lampu minyakkecilsekali. Tapi cukup menerangikeadaan didalamnya. Cukup untuk melihat bahwadi atas ranjang besar yang tertutup kelambuterbaring tidurdua orang
BASTIAN TITO 27
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidurdilantai. Yang di atas ranjang besar pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari. Dua perempuan yang tidurdilantai tentu dua orang inang pengasuh.
Orang di atas loteng menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya putih memancar. Di tangankanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih. Dengan senjata di tangan orang ini lalu melompat turun ke dalam kamar. Kedua kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya dihujamkan berulang kali ke tubuh dua orang perempuan yang terbaring di atas tempat tidur itu.
“Aman sekarang!” desis si pembunuh. Sekali melesat diasudah sampaidi atas atap. Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik jerit berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara itu. Dadanya berdebar. Sesaat dia inginkembali melompat turun dan masukke dalamkamar. Tapi saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menujukamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang gedung, tampak masuk seorang penunggang kuda diiringi tiga pengawal. Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja kembali dari istana.
Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta merta melompat darikudanya. Ketika dia hendak lari masukke dalam didengarnya salah seorang pengiringberteriak.
“Patih! Ada orang melompat dari atap kearah tembok!”
Haryo Unggul berpaling kearah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia masih sempat melihat sosok bayangan hitam laksana terbang, melompat dari atap menuju tembok.
“Jangan lari!” teriak sang patih seraya memburu. Namun langkahnyatertahan ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya. Serangkum angin dahsyat melabrak sang patih. Untung saja patih tua ini masih sempat merasakan datangnya bahaya. Secepat kilat diajatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Sambilberlutut diabalas menghantam dengan pukulan tangan kosong kiri kanan sekaligus.
Braak!
Tembok gedung hacurberantakan. Tapi orang berpakain serba hitamitutelah lenyapdi balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia hanya mendengar suara rentak kaki kuda yang dipacu dan akhirnya lenyap di kegelapan malam.
Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit.
Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masukke dalam. Saat itulampu-lampu besar telahdinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk dan merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masukke dalam kamar yang penuh sesak oleh perajurit pengawal.
“Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit … …”
Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di mana terbaring dua sosok tubuh perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir seluruh tempat tidur.
“Ya Tuhan…..” mengucap sang patih. Dia memandang kelantaidi sudut kiri. Hatinya lega ketikadi situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak kurang suatu apa meskipun seperti beberapahari lalu masih sajatidak sadarkandiri karena tubuh kurus itukini hampirtanpatenaga lagi. Kedua matanyaterpejam.
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Raden Ayu…. Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu danibunda Siti Hinggiltelah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta Raden Ayu danibundauntuk tidurdilantaisepertiinang pengasuh. Kalau terjadi apa- apa siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan ibunda … …”
“Kasihan dua inang itu….” bisik Puji Lestari masih menangis walau kini sudah tenang dan berhentiberteriak.
“Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali siapa orang yang masuk dan melakukan kejahatan ini?” bertanya Patih HaryoUnggul.
Puji Lestari menggeleng. “Lampu dalam kamar initidak begitu terang. Saya sudah tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat. Saya baru terbangun ketika mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur … ..”
Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke arah para perajurit dan pengawal. Rahangnya menggembung. “Musuh masukke dalam gedung. Tak satupun dari kalian yang mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya pembunuhan! Kalian dipecat semua!”
BASTIAN TITO 29
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN
Raden Kertopati langsung membawa Wiro Sableng dan si pemuda berpakaian kelabuke gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan Dari Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemudaberpakaian kelabu ini bukan lainadalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagainenek sakti bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikandiripadaKerajaan selama empattahun.
Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur. Meskipun ingin bicarapanjanglebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara sang patih membawa ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri Baginda itu ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dualusin perajuritditambah dua orang perwira.
Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro Sableng hampirtidak mengenalilagi perempuan itusaking kurus dan pucatnya. Puji Lestari memandang penuhtanda tanya begitu melihat pendekaritu muncul.
“Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro. Lakukan apa yang bisa kau lakukan….” Berkata Patih haryoUnggul.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Sesaat dipandanginya sosok tubuh kurus dan wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan dengan jari-jari tangannya dia membukakelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu berputar sedikit, tapipinggir kelopak mata tampak membiru, hampirtidakkelihatan kalautidak diperhatikan dengan teliti.
“Raden Ajeng inikeracunan…..” kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan Kertopati. Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji Lestari menjadikaget.
Pendekar 212 Wiro Sableng lalu keluarkan kapak saktinya. Sinar putih membersit di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata “Izinkan saya menggores ibu jari ibundamu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan.”
Puji Letari mengangguk.
Wiro memandang pada Patih HaryoUnggul.
Sang patih juga mengangguk.
Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketika ibu jari itu dipencetnya, darah yang keluar tampak berwarna hitam. Wiro mengambilnya sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-garukkepala, membuatbaik Kertopati maupun HaryoUnggul jaditidaksabaran.
“Bagaimana……?” bisik sang patih bertanya.
Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya dulu. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannyapada goresan luka diibu jari kaki Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulaikerahkan tenaga dalam. Ternyata tanpa mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak, dia berhasil menyedot racun yang adadalamalirandarah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuricairan putih.
Setelah memperhatikancairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati dan Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengaroleh Puji Lestari dia berkata “Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena
BASTIAN TITO 30
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
memang bukan racun mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya keadaan tubuhnya sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadiseperti lumpuh, bahkan membuka matapun dia tak sanggup … …”
“Lalu racun apa yang adadalam rubuh Raden Ajeng?” bertanya Patih haryo Unggul.
“Racun mesum…..” bisik Wiro.
“Maksudmu?” tanya Kertopati.
“Racun yang dapat membuat seseorang naik nafsu dan bergairah untuk melakukan hubungan badan … ..”
Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati kini menjadi maklum apa sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan? Ketika sang patih saat itutiba-tibasajaingatakan pinturahasia didinding kamar tahanan, Kertopati segera sajaluncurkan ucapan “Siapalagi! Pasti Jayengronodalam semua ini!”
“Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus mencari bukti. Sebaliknya Jayengrono seperti memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk surat yang akan kuperlihatkanpadamu … ..”
“Apakah Panglima itu telahkembali dari luar kota?”
Patih HaryoUnggul menggeleng.
Terdengar suara erangan halus dariarah tempat tidur. Semua orang berpaling. Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanyaterbukasedikit.
“Nah….nah. Raden Ajeng mulai sadar…..” kata Wiro gembira. Puji Lestari langsung memeluk ibunya.
Patih HaryoUnggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua Klungkung, orang-orang itu tinggalkankamar tersebut.
“Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!” teriak Kertopati selesai membaca surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden Mas Jayengrono yang isinya mengungkapkan keterlibatan Kertopati dan Wiro Sableng dengangerakankaum pemberontak.
“Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya keluar Kotaraja. Mencari Wiro untuk dimintakan pertolongannya. Dan saya kembalikemari untuk membuktikan hal itu … ..”
“Terus terang sebelumnya adakeraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau benar-benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolongjiwanya maka keraguan itupun buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya … ..”
“Kurasa…..,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kalau ada orang yang tak kembali ke Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas Jayengrono. Dia akan jadi
Panglima Buronan … … …”
“Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja menghindarke luarkotauntuk melihat perkembangan apakahkedoknya akanterbuka atau tidak! Kini sebagian sandiwaranyatelah tersingkap. Pastidia yang keluar masuk kamar tahanan Raden Ajenglewat pinturahasia didinding kamar! Pasti dia pula yang memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskannafsunya. Bukankah Raden Ajeng selalu menolak permintaannya……?”
“Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?” bertanya Haryo Unggul.
Raden Kertopatisadarkalautelah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro dan berkata “Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kitarahasiakan?
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengarketika merekabicaradigedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?”
Wiro Sableng jadigaruk-garukkepala. “Kau saja yang menceritakannya pada paman patih, Raden…..” sahutsipendekar.
Tapi Kertopati menggeleng. “Meskipun aku tahu kebusukan Jayengrono, namun sebagai atasan akutetap menghormatinya!”
“Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa kalian memang bukan memfitnah … ..”
Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang perajurit masuk menghadap. Dia melapor bahwadua orang perempuan tua yang berkerja didapuristana pada malam di mana Raden Ajeng diduga diracun orang telahdipanggildankini berada di luar.
“Suruh kedua perempuan ittu masuk!” perintah Patih HaryoUnggul.
Dua perempuan tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput penuh ketakutan.
“Kalian berduatak perlutakut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari lalukalian berdua diketahui melayanidan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng dan puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan…..?’
“Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Patih,” jawab dua perempuan tua berbarengan.
“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulubaik-baik…..!” membentak Haryo Unggul.
Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan sekali. Suaranya gemetar ketika berkata “Saya…..saya hanya mencuri sepotong daging ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang. Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkalbahala … ..”
“Apa maksudmu pangkalbahala?” tanya Kertopati.
“Saya malu menceritakannya Raden … ..”
“Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kauakan masuk penjara nek!”
Juru masak tua itujadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia berkata “Sehabis makan sepotong daging ayam kecil itu, kami merasakan tubuh masing-masing jadi panas. Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami seperti bergejolak. Kami diselimutinafsu dan….dan….dan kami lalu melakukan hubungan badan sampai pagi. Padahal itu tak pernah dan tak sanggup kami lakukan sejak sepuluhtahunterakhir … ..”
Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati dan Haryo Unggul tesenyum- senyum sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merahwajahnya.
Tiba-tibaterdengar suara sinenek menangis.
“Eh, apa-apa ini. Kenapakau menangis nek?” tanya Wiro.
“Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan kesalahan dan dosa terhadap Kerajaan, saya bersedia dihukum. Tapi bagaimana suamiku….. bagaimana anak cucuku…..?”
Patih HaryoUnggul memegang bahu si nenek dan berkata “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam itu?’
“Ada keanehan lain … ..” yang menjawab nenek pelayan. Dia yang mengantarkan makam malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalupulang lebih dulu.
BASTIAN TITO 32
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujarKertopati pula.
“Malam itu…..setelah makanansiap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk ke dapur … ..”
“Saya ingat sekarang!” menyambung nenek juru masak. “Raden Mas Jayengrono bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden Mas Jayengrono masihdi situ. Dia tengah menuangkan sesuatu kedalam makanan untuk Raden Ajeng … ..”
“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?” tanya Kertopati.
“Karena makanauntuk Raden AyuPuji sudahdibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden Jayeng memang mengaturbegitu … ..”
Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata salingpandang. Kertopati mendekati Haryo Unggul dan berkata “Paman Patih, saya ingat keteranganpun tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin kaukinitahu siapapelakunya!”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata “Memang keparat betul si Jayengrono itu. Sudah saatnya aku harus melaporkan semua perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi … . kalian berdua masih belum menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu … ..”
“Biarlah saya yang menceritakan,” akhirnya Raden Kertopati membuka mulut. “Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak. Pertama Puji Lestari dankedau Pangeran Anom, yang sampai saat ini masihlenyap dan tak diketahuidi mana beradanya … ..”
Patih HaryoUnggulseperti mendengar suara geledek.
“Ini bukankarangan atau fitnah Raden?”
“Terkutuk diriku jika memfitnah!” sahut Raden Kertopati pula.
Sang patih menjaditegang luarbiasa. Kedua tangannyaterkepal tanda dia juga sangat geram
“Kini aku dapat mendugajelas. Bukan…..bukan menduga. Tapi memastikan!” berkata HaryoUnggul dengan mata berkilat-kilat. “Manusia yang menyelinap malam tadi ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua inang di atas ranjang adalah Panglima keparat itu!”
Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala dia berkata “Aku yang tolol inipun akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat Raden Ajeng karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia membunuh puterinya sendiri karena mengira pasti sang ibu telah memberi tahu siapa adanya ayahnya sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darahdagingnya sendiri!”
HaryoUnggul bangkit dari kursinya.
“Aku akan menghadap raja saat ini juga…….” Katanya.
Kata-kata Haryo Unggul terputus karena seorang perajurit berlari masuk denganwajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah.
“Ada apa kauseperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapaberani masuk?!”
“Maafkan saya Patih,” jawab si perajurit sambil membungkuk dalam. “Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepalake dinding batu. Tak seorangpun dapat mencegah. Begitutiba-tibadan tak terduga!”
“Gusti Allah!” seru Patih Haryo Unggul. Dan semua orang yang ada di ruangan itu sama menghamburkeluar.
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Paman patih…..” Raden Kertopati cepat berkata. “Saya harap paman tidak usah menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan menambah kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus menimbulkan rasa bencinya terhadap Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan Raden Ayu mengetahui sebenarnya dirinya, bukan mustahil gadis itupun akan mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!”
Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya dia berkata “Kalian tak usah kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib Raden Ajeng menjadi rahasia kitabersama … ..”
BASTIAN TITO 34
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH
Didalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru sajakembali dari Kotaraja.
“Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk bagi kita semua!” berkata orang kepercayaan itu.
“Aku sudah menduga…..” jawab sang Panglima seraya memandang ke luar goa di mana sekitar tiga ratus perajurit yang dibawanya dari perbatasan, duduk bertebaran di bawah kemah-kemah. “Katakan berita buruk apa yang kau bawa!” Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan kanannyabersitekan padahulu Keris KiyaiGajah Putih yang sengajadiselipkannyadi pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan adanyasedikit ketenangan.
“Sri Baginda memerintahkan penangkapan Panglima. Siapa yang dapat menangkapPanglima hidup atau mati akan mendapathadiah seratus tail emas … ..”
Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudiandia tertawa gelak-gelak.
“Kepala Jayengrono tidak semurah itu harganya!” katanya. “Hai, apa lagi yang kau ketahuidi Kotaraja?”
“Perintah penangkapan itu telahdisebarkeseluruh pelosokKerajaan … .”
“Lupakan dulu segala perintah gila itu. Apakah kau melihat Kertopati di Kotaraja?” bertanya Jayengrono.
Orang kepercayaan itu mengangguk. “Bukan dia seorang Panglima. Kawannya pemuda gondrong yang seperti berotak miring itujuga ada di Kotaraja bersama pemudaberpakaian serba abu-abu!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng….” Desis Jaengrono. Suaranya jelasterdengar agak bergetar.
“Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng Siti Hinggil ditemukan mati bunuh diri!”
Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. namun diatak mau memperlihatkan perubahan air mukanya. Sambil mengusap janggutnya yang meranggas kasardia berkata perlahan “Kematian memang lebih baikbagi perempuan itu…. Ada hallain yang perlukau sampaikan?”
“Yang satu ini saya tidak pasti Panglima. Saya merasa seperti ada yang menguntit gerakgerik saya waktukembalike mari … ..”
Sepasang mata Jayengrono membeliak “Berarti kau berbuat tolol! Suruh menghadap Perwira Kesatu sekarang juga!” bentak Jayengrono.
Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul menghadap. Dalam jajaranbalatentaraKerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda yang dekat hubungannya dengan Jayengrono. Ketika dia ikut membelot bersama atasannya itu, Jayengrono langsung mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu. Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua dan Perwira Ketiga.
“Siapkan pasukan! Kita harus segera berangkat ke lereng Sigumpil saat ini juga … .”
“Ada perkembangan baru agaknya Panglima?”
“Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan kita disini.”
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita bergerak menembus hutan Ronggowereng. Lebih cepat dan sulit dijejak lawan … ..”
“Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!” memuji Jayengrono. “Satu hal lagi. Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono itu berjanji akan bergabung bersama kita……?”
Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengarangin bersiurdan orang bicara “Aku sudah hadirdisini Panglima!”
Orang-orang yang ada di situ – termasuk Jayengrono – jadi terkesiap. Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelaicelana hitam, bertelanjang dada dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi berbentuk aneh. Wajahnya angker luar biasa. Sepasang mata besar merah, hidung lebar ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu terbuka, memperlihatkan gigi-giginya yang besar serta taring yang mencuat keluar.
Di pinggangnya dia membawasebuah penggada hitamterbuat dari batukeras. Inilah senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan kecil. Potongan tubuh serta tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda dia memilikikepandaian tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak diketahui oleh sekian ratus pasukan, bahkan tidak disadari oleh Jayengrono dan pembantu-pembantunya.
“Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!” Jayengrono menunjuk kegembiraanya sambil menepuk-nepukbahu Rahwono yang gemuk gempal.
Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang tidak sedap. “Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara. Mereka siap menyambut dan bergabung dengan kita di sebelah timur lereng Sigumpil!”
“Bagus! Kita berangkat sekarang juga!” ujar Jayengrono.
Dengan cepat seluruh pasukan yang berjumlah sekitar tiga ratus orang itu disiapkan, ketika mereka hampirhendakberangkat, dari arah barat tiba-tibaterlihat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini menerpa wajah Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima buronan ini terkesiap, berubah parasnya dan memandang kearah kejauhan.
Di puncak sebuah buktikecil yang tandus tanpa pepohonansejarak tiga ratus tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba putih tegak bertopang pada sepotong tongkat bambukecil. Pada tangan kanannya orang ini memegang sebuah benda yakni sebuah kaca bulat. Kaca ini digerak-gerakannya berulang kali ke arah sinar matahari yang kemudian mengeluarkan pantulan menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah Jayengrono. Dan agaknya memang sengajaditujukan kepadanya.
“Rahwono,” kata Jayengrono, “Kau dan yang lain-lainnya tunggu disini. Aku akan menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama … .”
“Siapakah orang itu Panglima?” tanya Perwira Kesatu sementara Titisan Rahwono hanya menyeringai dansepertitidakacuh.
Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil. Hatinya sangattidakenak.
Sesaat kemudian Jayengrono sampai di hadapan orang di puncak bukit. Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih. Kepalanya terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak seram, namun diam-diam Jayengrono merasakan ketakutandihatinya.
BASTIAN TITO 36
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya menyebut “Guru … ..”
Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulaidaritopi tingginya yang penuh debu, pakaiannya yang bagustapi kotor, sampaike kakinya yang mengenakankasut kulit.
“Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja. Mengapa kau berada di daerah terpencil ini…..” Orang tua itutiba-tiba menegur dengan suara datar.
Jayengronotakbisa menjawab.
“Agaknya Kotaraja tidakbersahabatlagi denganmu, Jayeng?”
Karena Jayengrono hanya menunduk dan takbisa menjawab maka orang tua itukembali berkata “Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai Gajah Putih padaku!”
Kagetlah Panglima buronan ituhinggakepalanya tersentak mendongak.
“Guru…..apa maksudmu?” tanya Jayengrono.
“Kau tak perlubertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas. Aku meminta kau mengembalikankeris sakti itu!”
“Tapi, bukankahsudah guru berikandanwariskan padaku?”
“Betul,” sahut si orang tua. “Tapi dengan perjanjian. Bahwa kautidak boleh melanggar pantangan yang dulukusebutkan! Jangan kau mengatakantidakingat, atau lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari seribu satu alasanuntuk menyatakandirinya benar!”
Jaengronoterdiam. Tenggorakannya turun naik.
“Aku, akutelah melanggar pantangan guru,” berkataJayengronodengan suara bergetar. “Aku telah berzina … …”
“Kau bukan hanyaberzina Jayeng! Tapi bahkankau memperkosa! Dan orang yang kau perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibatpenderitaan dan kehancuran harga diri yang tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata itu?!” Si orang tua ulurkan tangan kirinya.
“Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpahuntuk tidak melakukan hal itulagi … ..”
Orang tua itu tersenyum tawar. “Janji dan sumpahitu cukup hanya satu kali. Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpahlagi! Waktukutidak banyak. Aku mendapat firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi medan pertumpahan darah. Serahkan KiyaiGajah Putih padaku! Atau haruskanaku mengambilnya sendiri……?”
“Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkahaku mengembalikannya nanti, setelah urusankuselesai. Paling lambat dalamwaktu tiga puluh hari … …”
Orang tua itu gelengkan kepala. “Aku minta sekarang dan harus dapat sekarang. Aku takingin segala dosadan kekejian melumuri senjata itulebih banyak!”
Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono berkata “Baiklah guru. Kalau begitukeputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan padamu…..” Lalu degnan sikap setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan senjata itu dengan sikappenuhkhidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanandan kiri membuat gerakan lain dan secepat gerakan kilat!
Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari sarungnya. Sinar putih menyilaukan berkiblat. Ujung senjata itu menghujam ke arah dada orang tua berselempang kain putih.
BASTIAN TITO 37
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambukecil yang dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono. Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuahbatuberbentuk empat persegi panjang berwarna hitam. Batu ini menghantam tangan kanan Jayengrono dengankerashingga Panglima buronan initerpekikkesakitan, lepaskan keris sakti di tangannya. Senjata itu mental ke udara. Orang tua bepakaian putih melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu beradu,kedua benda itusaling bertempelan. Ketika bambu jatuh kebawah dankeris sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang masih berada ditanganJayengrono.
Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang amgin dahsyat sehinggabaik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih sama-sama roboh ke tanah!
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS
Sambil memegang Keris KiyaiGajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu cepat berdiritegak sementara Jayengrono bangkitagak sempoyongan.
Memandang berkeliling dua orang yang tegak di puncak bukit tandus itu dapatkantiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden Kertopati – Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemudaberpakaian serba kelabu.
Wiro Sableng melompat darikudanya, memungut batu hitam yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannyauntuk menghantam tangan Jayengrono.
Ketika Wiro menyelipkan batu hitam itu ke balik pinggangnya orang tua bepakaian putih di samping kirinyaterdengarberdehembeberapa kali
“Hemm…. Jadiitulahtadipukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah lama mendengar barusekali ini melihat dan merasakan…..!”
Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kagetsekaliketika melihat kenyataan orang tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda inihanyabisa menyeringai dan garuk-garukkepala. Untuk pertanyakan siapa orang tua itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak tepat.
“Raden Mas Jayengrono, kami datang menjalankan perintah Sri Baginda. Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!” Dari atas punggung kudanya Raden Kertopati mengeluarkan suara lantang.
Jayengrono tertawa dingin.
“Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hinggajauh- jauh datang turun tangan sendiri, bukan membawapasukan tapi mengajak gembel- gembelini!”
Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-gembel itu tentu saja Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi marah sekali dan siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak bertindak.
“Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan kesalahan yang harus kau pertanggung jawabkan di hadapan Sri Baginda!” berkata Raden Kertopati tanpa mengacuhkanejekan orang.
“Coba katakan apa dosa dan kesalahanku itu!” ujar Jayengrono seraya berkacak pinggang.
“Pertama, kau diketahui selama ini terlibat membantu kaum pemberontak. Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Sigumpil dengan maksud merongrong dan menjatuhkan Kerajaan….. Kedua kau penyebab kematian Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua orang inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya. Masih banyak lagi sederet dosadan kesalahanmu yang kurasa tak perludisebutkan. Tapi ada satu kesalahan yang perlukuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala Srenggi melakukan penghadangan dengan membuat perangkap lubang maut terhadapku! Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira muda……!”
Jayengrono merasa geram mendengarkata-kata yang dilontarkan Kertopati itu.
BASTIAN TITO 39
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya dengan diriku! Aku berada di sini dalam menjalankan tugas untuk menghancurkan kaum pemberontak! Malah dituduh berhubungan dengan pemberontak! Fitnah! Kau pandai memutar balikkan kenyataanKertopati! Jika Raden Ajeng memang mau mampus, ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengandiriku?! Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagifitnah!”
Orang tua berpakaian putih maju dua langkah. Dengan gerakan kilat dia merampas sarung keris Kiyaigaah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini berkata “Jayengrono, ada pepatah tangan mencencang bahu memikul. Ada jugaujar- ujarsiapa menggalilobang, diabakal masukke dalamnya. Lalu masihada lagisiapa yang berbuat dosadan kesalahan, dia yang akan menanggung. Nah, di hadapan orang- orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!”
Habis berkata begitusi orang tua putartubuhnya dantinggalkan tempat itu.
“Guru! Jangan pergi dulu…..!” seru Jayengrono. Dalam keadaan terjepit seperti itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru melangkah terus dengantegar, menolehpuntidak!
Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas. Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Gurumu sendiritidak perduli! Nah kepada siapakau minta tolong sekarang Panglima buronan?!”
“Gembel keparat! Kau juga seorang buronan daripenjara Kerajaan!” hardik Jayengrono.
Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah kanan adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain adalah Perwira Kesat, Perwira Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.
“Ada apa ribut-ribut di sini? Siapa mereka?!” Titisan Rahwono membentak sambil memandangi orang-orang di hadapannya.
“Hemm…. Rupanya cakil satu iniikut bergabung denganmu Raden Mas … .. kata Kertopati yang tetap menyebut bekas atasannya itu dengan panggilan gelar kehormata. “Dia memang sejak lama dicariKerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua pentolan sesat bisaditangkap….!”
“Kalian cecunguk-cecunguk hendak menangkap kami? Ladalah!” Titisan Rahwono tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya dengan tangan kiri sedang tangan kanan mengusap kepala gada batu di pinggang. “Kalau bermimpi, bemimpilah yang enak-enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini! Siapa yang menggotong bangkaikalian ke sana….?” Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara gelaknya ditimpali oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian kerasnya hingga Titisan Rahwono dan yang lain-lainnya meraskan jalan darah mereka seperti tersentak-sentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separuhnya!
“Cakil berperutkembung ini memang lucu tampang dan lucubicara! Raden Kertopati, jika diananti kita tangkap sebaiknya dijadikan badutsajauntuk menghibur keluarga istana!”
“Bangsat rendah bermulut haram jadah!” teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada batunya dari lilitan rotan di pinggang.
Jayengrono yang melihat kesempatan segera berkata “Kalian hadapi antek- antekKerajaan ini! Aku mau tahu sampaidi mana besar mulut mereka!”
Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono pergunakan kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni lereng bukit ke arah
BASTIAN TITO 40
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pasukan yang menunggu. Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia menunggang kuda maka sesaat saja Kertopatiberhasil mengejar. Dari atas punggung kuda Kertopati melompati bekas atasannya ituhinggakeduanyajatuh bergulingandi sepanjanglereng bukit. Perkelahian antara merekatak dapat dihindarilagi. Dari arah bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbuke atas.
Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira.
Tiga Perwira yang membelot itu sebelumnya sudah mengetahui kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Karenanya mereka biarkan saja Titisan Rahwono menghadapipendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik mengeroyok pemudabajukelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan! Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu mereka bergerak menyerbu, pemuda berpakaian kelabuitu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak tangan dirapatkan,jaridisusundandinaikkan menyentuh kening. Ketika keduatangan itu dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga Perwira yang menyerang merasakan sepertiditarik ke kiri dan ke kanan.
Ketiganya terbanting ke tanah. Satu tak bangun lagi, dua tegak dengan sempoyongan. Satu di antaranya merasakan dadanya mendenyut sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad menyerbu kembali. Perkelahian dua lawan satu berlangsung hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga salah satu dari mereka mencelat dimakan tendangan kaki kanan Ni Luh Tua Klungkung. Kawannya segera cabut sebilah golok pendek. Dengan senjata ini dia menyerbu pemuda berbajukelabuitu. Setelah menggempur habis-habisanselama tiga jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama jotosan tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS
Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki kegesitan luarbiasa. Tubuhnyaberkelebat cepat kian kemari. Gada batunya menderu- derupulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapasebenarnya.
Setelah menggempur lima jurus terus menerus tanpa mampu menyentuh apalagi merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekikaneh. Gerakan ilmu silatnya tiba-tiba berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi. Wiro melihat lawannya itu berubah bentuk. Kepalanya jadidua dan tangannya jadi empat!
“Gila! Ilmu iblis apa ini!” memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki begitu empattangan melabrak kearah tubuhnya. Dua merupakan pukulangada hitam, dualagicengkeraman ganas!
“Edan!” teriak murid Sinto Gendeng dan ceapt melompat mundur seraya hantamkan tangna kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh luar biasa! Pukulan sakti yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu seperti menembus dindingangin, sama sekalitidak berbekas dan lewat begitusajaditubuh lawan!
“Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!” desis Wiro geram. “Aku mau lihat apakah dia mampu menghadapi ini!” Lalu Wiro keluarkanKapak Naga Geni 212 dan batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagilawan merangsak coba menghampirinya, Wiro gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil mulutnya merapal mantera.
Buuuuusssss!
Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam.
Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat empat kini kembali dua. Sekujur wajah dantubuhnya tampakhangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru berhenti ketika terganjal oleh semakbelukarpendek dilereng bukit.
Pendekar 212 Wiro Sableng balikkan tubuh ketika mendengar suara riuh ratusan perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian menghadapi Jayengrono.
Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu saja Jayengrono memiliki kepandaian silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati. Karenanya setelah bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-pukulan tangna kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak matang biru dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya seperti melesak disambar ujung kaki lawan. Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak riuh rendah.
“Cincang Kepala Pasukan itu!” teriak Jayengrono. Maka laksana air bah ratusan perajurit melompat ke depan dengan berbagai senjata. Mulai dari tombak sampai pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya tidak tertolong lagi!
Dari atas bukit duasosok tubuhlari laksanaterbang.
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yag di sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Tahan! Siapa berani mendekatiKepala Pasukan itu berarti minta mampus!”
Meski mendengar jelas peringatan itu, namun ratusan perajurit yang berpikiran dangkal itu mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu untuk mencincanglumat tubuh Raden Kertopati.
Wiro garuk kepalanya.
“Tak ada jalan lain sahabat!” bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat itu tangan kanan Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-perakan dan membersitkan sinarberkilauan penuhangker. “Hantam!”
Maka Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah kelompok perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.
“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Jayengrono. “Lekas menghindar!”
Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan disertai hawa panas luar biasa berkiblat seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad akan mencincang Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua belaslainnya tergelimpang pngsang degnan tubuh penuh luka bakar! Jerit dan erangan bercampur jadi satu dengan debutanah bukit yang beterbangankeudara.
Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di lereng bukit itu sehening di pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.
“Panglima keparat! Kau mau larike mana?!” terdengarteriakan Ni Luh Tua Klungkung.
“Kejar dia! Jangan sampai lolos!” terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.
Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya Jayengrono melarikan diri ke arah rimba belantara dilereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu lari sehebat yang dipunyai Wiro Sableng, tapi karena jarak mereka saat itu terpisahjauh bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan dan menyelinap lenyap ketika Wiro baru sampaiditepi hutan.
“Sialan! Kemanapun kaulariakan kukejar!” kertak Wiro.
Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga.
Memang ketajaman pendengaran satu-satunya yang sangat membantu di daerah seperti inidi mana mata sulit tembus memandang. Setelah laridan memasukirimba belantara cukup lama dan masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono melarikandiri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohondan memperhatikan keadaan di bawahnya. Tak ada gerakan, tak terdengar apa-apa. Tak tampak Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon lainnya sampai akhirnyatelinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya. Memandang kebawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas cabang pohon yang sama, dua cabangdi sebelah bawah. Jayengrono memandang berkeliling. Dia merasa lega karena tak terlihat tanda-tanda pengejarnya berada di sekitar situ. Lalu memutuskan untuk mendekam terus di cabang pohon. Dia sama sekali tidak tahu kalau Wiro sudahadadi atasnya.
“Manusia satu ini pantas dimandikan dulu sebelum kutangkap!” kata Wiro dalam hati. Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah. Sesaat kemudian mengucurlahcairan putih kekuningan,jatuh kebawahdan mendaratdi atas kepala Jayengrono.
Tentu sajakagetnya Jayengrono bukankepalang ketika merasa ada air hangat danagak bau mengucur membasahikepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, laludia
BASTIAN TITO 43
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mendongak. Justru ini membuat air mancur itu menghantam mukanya! Sebagian menyiram matanya, sebagian lagiada yang masukke dalam mulutnya!
“Setan!” runtuk Jayengrono ketika melihatsosok tubuh yang adaduacabang di atasnya. Dia menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua cabangdi sebelah atas patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar kearah Wiro.
Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali celananya diabalas menghantam kebawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh. Hutan itusepertidilandapunting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak tercabut dari akarnya. Ranting dan daun-daun gugur meranggas.
Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan saja karena pukulan yang dilepaskan Wiro tapi karena angin pukulannya tadi ikut terseret dan balik menghantam dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan padabatang pohon. Tapi meleset kaena batang pohon itu licin tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya mental kebawahbersama patahan cabang yang tadi didudukinya. Dia coba andalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinyadan jungkir balik diudara agar dapat turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang datang dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannyatidak karuan. Dia sampaiditanah dengan kepala lebih dahulu.
Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepalapecahdan leher patah. Wir garuk kepala, melompat dan turun ke bawah lewat patahan cabang-cabang pohon. Kembali diagaruk-garukkepalaketika melihat mayat Jayengrono.
Seseorang menyeruak pohon berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.
“Mampus juga akhirnya!” kata Wiro sambil menunjuk ke arah mayat Jayengrono.
Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat memandang ke mayat Jayengrono, ketika diaberpaling kearah Wiro, tiba-tibasaja dia membalikkantubuh.
“Eh, kenapakau……sahabat?!” tanya Wiro heran.
“Orang gila!”
“Gila! Siapa yang gila?” Wiro terheran-heran.
“Rapikandulucelanamu!” teriak sang dara.
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata sehabis mengencingi Jayengrono dari atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat- cepat pemuda initarik celana putihnyake atas sambil menyengir!
Ruangan besar tempat pertemuan dalam istana itu penuh sesak oleh orang banyak yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh Sri Baginda. Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212 Wiro Sableng bersama sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil tempat duduk agak sebelah belakang.
Patih Haryo Unggul baru saja selesai membacakan keputusan raja atas pengangkatan Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu gelarnyapundirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.
Selesai pembacaan pengumuman pengangkatan Kertopati menjadi Kepala Pasukan Kerajaan yang baru itu maka Kertopatinaikke mimbar untuk membacakan pulakeputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.
Dalam surat keputusan itudisebutkan bahwasesuaidegnan jasa-jasanya yang sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro Sableng diangkat menjadi
BASTIAN TITO 44
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kepala Pasukan Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang sampai hari ini tida diketahui pastisiapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap pembantu khususKepala Pasukan Kerajaan.
“Untuk itu kami harapkan kedua tokoh Kerajaan yang baru itu naik ke mimbar!” begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.
Semua orang berpaling ke deretan kursi sebelah belakang di mana Wiro Sableng dan sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua orang itu tak lagi di sana. Beberapa orang mengejar ke luar ruangan, sampai ke langkandan halaman istana. Tapi dua pemuda ituraibtanpa seorangpun tahu ke mana perginya!
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Creatid : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar