Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 27 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - PANGLIMA BURONAN

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Episode : Panglima Buronan


SATU


Sri Baginda Raja sepertidihenyakkan setan di atas kursikebesarannya. Singgasana itu terasa sepertibara panas. Wajahnya yang penuh kerutditelan usia lanjut tampak kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap takberkesip pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.



Sang  raja  meraskan  tenggorokannya  seperti  kering.  Mulutnya  terbuka  tapi lidahnya  seperti kelu.  Setelah hening beberapa lamanya, degnan  suara bergetar  Sri Bagindaakhirnyabersuarajuga.

“Jika bukan Raden Mas yang bicara  sungguh  sulit aku mempercayai cerita itu…..!”

“Sebenarnya hal itu  sudah lama  saya ketahui  Sri Baginda. Hanya saja saya takutuntuk menyampaikannya.”

“Kalau untuk kebenaran mengapa takut?Hanya saja,apakah kau punya bukti- buktinyata? Saksi-saksi…….?”

“Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti dan saksi hidup,” sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. “Sekian puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan dan Kepala Pasukan  Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa secara  aneh cincin itu tahu-tahu  sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda berkulit hitambertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya. Jika  tidak  terdapat  hubungan  rahasia  antara  Pangeran  Matahari  dengan  istri  Sri Baginda, bagaimana mungkincincin ituberpindah-pindah tangan?”

Lama   Sri  Baginda  terdiam.  Tutur  apa  yang  diketahuinya,  dibandingkan dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocokbenar.



“Raden Mas, tahukahengkau apa artinyajikakemudian keterangan yang kau sampaikan  saat ini ternyata tidak benar…..?”  Sang raja bertanya  seolah-olah ingin menolakhal yang sebenarnya diasendirisudah mempercayainya.

“Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda,” jawab Jayengrono. “Untuk itu saya bersedia dipancung … …”

Kembali  Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena tidaksabar Jayengrono membuka mulut berkata “Sri Baginda, saya mohon petunjuk lebihlanjut.”

“Aku  perintahkan  kau  menangkap  ibu  dan  anak  itu!”  Tiba-tiba  saja  Sri Baginda menjawabtegas.

“Itukah keputusan Sri Baginda?” bertanya Jayengrono.

“Itu keputusan raja! Sekalipun anak danistrisendiri, jika membuat kesalahan perlu  dihukum.  Pengadilan  para  sesepuh  Kerajaan  nanti  yang  akan  menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkanterhadapkedua perempuan itu … ..”

“Jika begitu bunyiperintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir sekali akhir-akhir ini Sri Baginda … ..”

“Hemmmm….. Apa maksudmu Raden Mas?”




BASTIAN TITO                                                                                                            2


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


“Saya  kawatir  kalau-kalau  Raden  Ajeng  Siti  Hinggil  dan puterinya  secara diam-diam  bersekutu  dengan  Pangeran  Matahari  untuk  merampas  tahta  kerajaan. Bukankah  tempo  hari  sewaktu  menyerbu  ke  mari  Pangeran jahat  itu  bermaksud menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas- ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud duatahunsilam … ..”

“Semua akantersingkap disidang pengadilan para sesepuh kelak … ..”

“Saya harapkan begitu,” kata  Raden  Mas  Jayengrono pula.  Lalu  Panglima Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikaphormat dan mohon diri.

Baru   saja  matahari  menerangi  jagat  pagi  itu,  Raden  Ayu  Puji  Lestari Ambarwati yang tegak di belakang jendelaberpaling padaibunyadan berkata “Ada rombongandatang … ..”

Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkantiraijendela dan memandang ke  arah halaman.  Benar  apa yang  dikatakan puterinya.  Serombongan orang  terdiri  dari  delapan  perajurit  memasuki  halaman  gedung  kediamannya.  Di sebelah belakang menyusul sebuahkereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki berpakaian mewah, menunggang  seekor kuda  coklat yang bukan  lain  Jayengrono, Panglima Balatentara Kerajaan.

“Dugaan  ibu tidak meleset Puji. Manusia  itu benar-benar menjalankan niat busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita … ..”

“Menangkap kita?!” kejutPuji Lestari mendengar ucapan sang ibu.

“Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau danaku!”

“Tapi apa salah kita?!” tukas sang puteri dengan mata membelalak.



Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono kemarin, lalu menjawab “Jika seseorang ingin mencelakai kita, diabisa mendapatkan seribu satu kesalahan padadiri kita … ..”

“Tapiibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau adalahistri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!”

“Jawabnya mudahanakku! Sri Baginda telah termakandan percaya pada hasut dan fitnah!”

“Saya akan  mengusir manusiagila itu!” kata Raden AyuPuji Lestari setengah berteriak.

“Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami nasib begini … .”

Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketikapintubesar ruangan depan itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.



“Raden Ajeng….” Jayengrono hanya sempat mengucapkandua patah kataitu karena Siti Hinggillebih cepat memotong.

“Tak  perlu  banyak  bicara  dan  segala  macam  peradatan  palsu!  Aku  dan puterikusiapuntuk ditangkap. Hanya sajaberiwaktuaku meninggalkan pesan pada para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak ituselama aku di penjara!”

Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden Ajeng  Siti  Hinggil  masuk  ke  dalam.  Tak  lama  kemudian  dia  keluar  lagi  dan melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.

Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa niatnya itudibatalkan.




BASTIAN TITO                                                                                                             3


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Sebelum naikke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada Jayengrono. Wajahnyasinis ketika berkata “Tentunya kau puas sekarang Raden Mas! Tapiaku lebih puas karenatidakbersedia memenuhi permintaanmu!”

Begitu  duduk  dalam kereta, baru  saja kendaraan  itu bergerak,  Puji  Lestari memandangpadaibunyadan bertanya “Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa ibu  merasa  lebih  puas  karena  tidak  bersedia  memenuhi  permintaan  Panglima Balatentara itu. Memangnya….. apa yang pernah dimintanya padamu…..?”

Siti Hinggil menggelengkan kepala.


 “Permintaan gila yang tak ada gunanya kau ketahui,Puji … .”

Tapi sang puteri malah mendesak “Kau harus menceritakan padakuibu!”

“Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu. kalau  saja  adikmu  Pangeran  Anom  masih  ada,  mungkin  tidak  seburuk  ini  nasib kita … .”

“Belum tentu ibu. Mungkin malahlebih buruk,” menyahutiPuji Letari.

Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. “Dunia ini memang aneh. Kita, istri dan puteri raja bisadiperlakukanseperti ini … .”

“Bukankah  tadi  ibu  sendiri  yang  bilang  bahwa  ini  semua  mungkin  takdir Tuhan … .”

Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyumpahit.

“Justru anehnya, sekarangaku malah meragukan. Apakah ini memang benar takdir  Tuhan  atau  maunya  manusia-manusia  jahat  dan  busuk  yang  memegang kekuasaan?!”

Kereta bergerak makin cepat kearah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran Matahari beberapawaktulalu.



BASTIAN TITO                                                                                                            4


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


DUA


Malam  yang indah dihiasibulan purnama empat belashari itu berubah menjadi  kelampekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada henti, mengeluarkan suara menggidikkandan menebar hawadingin mencucuk tulang.

Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali enam tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur dan lemari. Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan yang menyekap dan memenjarakanistri Sri Baginda yang ketiga itu.



Siti  Hinggil  duduk  termenung  di  atas  satu-satunya  kursi  dalam  kamar. Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekalitidak merasa takut disekap seperti ini. Namun yang dikawatirkannya adalahkeadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji Lestari ditahandikamar yang terpisah.

Sebelum   Panglima   Jayengrono   memerintahkan   pengawal   menutup   dan menguncipintu kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat melontarkan ancaman “Kalauterjadi apa-apa dengan puteriku, akubersumpah akan membunuhmu Jayengrono!” Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama sang panglima di hadapan para pengawal.

Sambiltersenyum Jayengrono menjawab “Di antara kita, kalauada yang harus mati  mungkin  kau  yang  lebih  dulu,  Raden  Ajeng!  Kecuali  jika  kau  merubah pikiranmu dan memenuhi permintaanku tempo hari … .”

“Manusia biadab!” hardi Siti Hinggil.

“Perempuan  tolol!”   dengus   Jayengrono.   Lalu  pintu  yang  masih  belum ditutupkanituditendangnya dengankeras.

Di  luar  angin bertiup  semakin kecang. Udara tambah  dingin.  Hujan mulai turun. Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah manjadi sangat lebat.

Siti Hinggil masih duduk di atas kursidengan mata sembab. Tubuhnya sangat letih,  seharian  itu  tak  sepotong  makananpun  masuk  ke  dalam perutnya  meskipun beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih yang  disentuhnya.  Itupun  hanya  beberapa  teguk  saja.  Kedua  matanya  tak  bisa dipicingkan. Ingatannya selalutertuju pada puterinya.

Dalam keadaansepertiitu mendadak sepasang mata Siti Hinggilterbuka lebar. Membelalak. Menatap ke  arah dinding batu ruangan di mana dia disekap.  Seperti tidak   percaya   pada   penglihatannya,   atau   menyangka   mungkin   dia   bermimpi, perempuan ini mengucak-ucakkedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi.


 Dinding batu tebal itu memang berputarke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran setengahpintu dansesosok tubuh muncul dengantersenyum.

Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!

“Aku datang menepati janji, Siti…..” katalelakiitulaludengan tangan kirinya mendorong batu yang berputarhinggatertutup rapat kembali.

“Apa maksudmu?!” sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.

“Apakautidakingat pembicaraan kitadua minggu lalu? Waktuaku datang ke tempat kediamanmu? Kau akan kutahandi tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku bisa masukke mari melalui pintutahasia itu. Takada yang melihat. Tak seorangpun tahu.  Dan  kita…..bisa  melakukan  seperti  masa  delapan  belas  tahun  silam  Siti.




BASTIAN TITO                                                                                                             5


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu. Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang … .”

“Lelaki keparat! Keluar kaudarisini….!”

“Jangan  bicara  seperti  itu  Siti.  Bagaimanapun  aku  adalah  kekasihmu  atau paling  tidak kita pernah berkasih-kasihan.  Bahkan  lebih  dari  itu hubungan kita  di masa lalu menghasilkandua orang turunan. Anom dan Puji … ..”

“Sudah!   Jangan  ucapkan   itu!   Keluar   dari   sini   kataku!   Atau   aku   akan menjerit!” Siti Hinggil mengancam.

Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu  takada yang bakaldapat mendengar……” sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke  arah mejakecildi mana terletak makanan. “Hemmm….. Kau tak mau makan rupanya. Jangan menyiksadiri. Nanti kau bisasakit … ..”

“Beri aku racun! Aku tidaktakut mati!”

Jayengrono tersenyum, lalu duduk ditepiranjang bertilambagus. Saat itudia mengenakan   pakaian   berbentuk   jubah   putih.   Sepasang   matanya   berkilat-kilat memandang Siti Hinggil.

“Kau mau bukan, Siti…..?” terdengar suara Jayengronosetengah berbisik.



Siti Hinggiltegakbersandardisudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai menangis.

Jayengrono   bangkit   berdiri    dan   mendekati   perempuan    itu.   Mencoba merangkulnyatapi dadanya didorong kuat-kuathinggadiaterjajar ke belakang.

“Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalahhukumanmu takakan berat.  Bahkan  aku  akan membatalkan  sidang pengadilan para  sesepuh.  Minggu  di muka kau boleh meninggalkan tempat ini … .”

“Busuk…..! Manusia busuk!Apakahkau masih belum mau bertobat?Apakah kau tuli dan hatimu sepertibatuhinggatidak mau mendeengar ucapan orang? Aku tidaksudi memenuhi permintaanmu! Keluar darisini atau bunuhaku saat ini juga!”

Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Tiba-tibakembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini berhasil.


 Ciumannya  bertubi-tubi  mendarat  di  wajah  Siti  Hinggil.  Perempuan  ini  meronta berusaha  membebaskan  diri.  Namun  tubuhnya  yang  lemah  memiliki  keterbatasan untuk bertahandan melepaskandiri. Kemben, angkindankainnya terlepas. Tubuhnya didorong ke atas ranjang hinggajatuhterlentang, hampir tak kuasauntuk berdirilagi. Saat   itu dilihatnyalelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apa-apa lagi! Siti Hinggil menjeritdannekad.



Tangan   kanannya   menyambar   ke   bawah   ketika   Jayengrono   berusaha menindihnya. Tangan berkuku pnajang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan itu  yang  ganti  menjerit!  Tubuhnya  sampai  terpental  oleh  rasa  sakit.  Sesaat  dia bergulingandilantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah putihnyakembali. Sebelum meninggalkan kamar itu lewatpitnurahasia didinding dia masih  sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah  Siti Hinggil  seraya berkata “Kali iniaku gagal. Tapijangan kira akutakbisa mendapatkan apa yang aku ingin!  Dan  sekali  hal  itu  kesampaian  kau  akan  kusingkirkan!  Perempuan  tolol! Perempuan gila!”

“Manusia  dajal!  Terkutuk  kau  selama-lamanya!”  teriak  Siti  Hinggil.  Lalu peremuan  ini  melompat.  Berusaha  menerobos  melaui  pintu  rahasia  dinding  yang masih terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itulebih dahulu menutup. Dan kini di hadapannya adalahdinding polos belaka. Sama sekalitidakadatanda-tandaadanya pintudi tempat itu.



BASTIAN TITO                                                                                                             6


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu melosohkelantai.




BASTIAN TITO                                                                                                             7


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


TIGA


Ketika  Raden  Kertopati muncul  di hadapannya  sambil menghatur  sembah,  Sri Baginda tersenyum lebar. TapiKertopati tahu bahwadi balik senyum itu tersembunyi kekalutan pikiran,kegundahan hati dan ketidak tenangan.

“Lebih dari seminggu akutidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu. Apakahsudah pulih benar…..?” menegur Sri Baginda.

Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar “Terima kasih atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belumpulihbenar. Namun dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima kasih Sri Baginda … …”

Setelah  Raden  Kertopati  mengambil  tempat  duduk  di  hadapannya  maka bertanyalah Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap.



“Pertama sekali saya ingin melapor bahwakeadaandi Kotaraja yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara takada lagikabar-kabaradanya menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak kita hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah … ..”

“Aku  gembira  mendengar  laporanmu  Kertopati.  Tapi  kita  sekali-kali  tidak  boleh  berlaku  lengah.  Meskipun  pemberontakan  orang-orang  di  utara  telah  kita  padamkan, aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga-  jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbangarah utara. Nah, mungkin masihada urusan atau keperluanlain yang hendakkau sampaikan……?”

“Benar  Sri  Baginda.  Dan untuk yang  satu  ini  saya harapkan maafterlebih dahulukarenaini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda … ..”

“Aku  sudah  dapat  meraba  apa  yang  hendak  kau  sampaikan,”  berkata  Sri Baginda. “Soal penahanan istriku Siti Hinggildan puterinyaPuji Lestari. Betul?”

“Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan … …”

“Kalau persoalan itusilakankau menghubungiPanglima Kerajaan Raden Mas Jayengrono … ..”

“Saya maklum hal itu SriBaginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih baikbertemu dan bicaralangsung dengan Sri Bagindasaja … …”

Sri Baginda berdiridarikursinya. “Tubuhku letihsekaliKertopati danakutak ingin membicarakan soalpenahanan anakistriku. Kau boleh menghadapku lain kali. Tapiingat,bukanuntuk urusan yang satu itu … ..”

Raden  Kertopati  ikut  berdiri.  Sebelum  raja  membalikkan  tubuh,  Kepala Pasukan Kotaraja ini berkata “Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani membantah.  Saya hanya  akan  sangat bersedih kalau  sidang pengadilan nanti  akan menjatuhkan  putusan  keliru.  Menjatuhkan  hukuman  pada  orang-orang  yang  tidak bersalah.”

Habis  berkata  begitu  Kertopati  membungkuk  hormat  lalu  melangkah  surut mengundurkan diri.

Sesaat    Sri    Baginda    tegak   termangu,    menatap    wajah    Kertopati    lalu melambaikan tangannya.

“Katakan   apa   sebenarnya   yang   hendak   kau   sampaikan.   Rupanya   kau mengetahui sesuatu Kertopati?”

Raden   Kertopati   mengangguk.   “Bolehkah   kita   bicara   berdua   saja   Sri Baginda?”




BASTIAN TITO                                                                                                             8


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Eh,  sikapmu  aneh  sekali  kali  ini  Kertopati.  Tapi  tak  apa.  Kukabulkan permintaanmu…..” Sri Baginda memandang kepadadua orang pengawal yang sejak tadi tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura lalu meninggalkan ruangan. Tapisalah seorang dari mereka menyelinapke balikpintu dan mendekam di belakang hordeng beludruhitam kebiruan.



“Nah, sekaranghanyakita berdua Kertopati. “Katakan urusanmu!” berkata Sri Baginda.

“Saya mendapatkabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itubetul Sri Baginda?”

“Betul dandisertaisaksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiridisidang pengadilan para sesepuh … ..”

“Selanjutnya  disangkakan  pula  bahwa  ada  kemungkinan  Raden  Ajeng  dan Raden  Ayu  mempunyai  hubungan   dengan  para  pemberontak   di  utara  melalui Pangeran Matahari itu … ..”

“Itujugabetul!”

“Sri Baginda, sampai saat inikita belum mampu mengetahuisiapasebenarnya Pangeran  Matahari.  Apa  tujuannya  menyerbu  ke  istana.  Mengapa  dia  membunuh Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dia orang putera Sri Baginda tercinta … ..”

“Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang perajuritapakah kau tidakbisa mengerti hal itu?!” Sri Baginda tampak gusar. Nada suaranya keras.

“Mohon  maafmu  Sri  Baginda.  Seperti  tadi  saya  katakan,  sebenarnya  tidak satupun di antara kita yang mampu menyingkap apa latarbelakang kejahatan yang dilakukan pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang menobatkan  diri  sebagai  seorang pangeran bernama  Pangeran  Matahari.  Mungkin juga  dia  memiliki  dendam  kesumat  terhadap  istana  dan  orang-orang  tertentu  di Kerajaan ini … … .”

“Dia bersekutudengananak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar belakang perbuatannya!”

“Hanya karenacincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda……?”

“Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!”

“Mengenai cincin itu saya punya ceritasendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda bersedia mendengar penuturan saya … ..”

“Kau  boleh  menuturkan  apa  yang  kau  ketahui  Kertopati.  Asalkan  benar!” sahut Sri Bagindapula.



“Sekitar duabulan lalu,ketika Raden Ajengdan Raden Ayukembali dari luar kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok  Sumo Gantra … …”

“Aku tahu peristiwaitu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu Kertopati.”

“Warok  Sumo  Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang yang dibawadan lekat di tubuh Raden Ajengdan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali, perampok-perampok ituhendak menculikistridan putri Sri Baginda. Mungkin sekali Warok Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahayaitu Raden Ajeng dan Raden




BASTIAN TITO                                                                                                             9


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. YaituPangeran Matahari itu. Warok Sumo Gantra dibunuhnya … …”

“Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh Tua Klungkung!” menyambung Sri Baginda.

Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata “Hal yang satu ini masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu mati dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah ditemukan?”

Sri Bagindaterdiam. “Bukan tidak mungkinNi Luh Tua Klungkung berserikat dengan Pangeran Matahari. Dia memberikisikanbahwa rombongan istana akan lewat jalan itu … ..”

“Mungkin  benar,  Sri  Baginda.  Tapi  sulit  untuk  membuktikannya.  Dalam rangkaian semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden Ajeng  tidak  berkomplot  dengan  Pangeran  Matahari. 



 Cincin  burung  rajawali  itu diberikan Raden AyupadaPangeran Matahari sebagaitanda terima kasih karenatelah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya … ..”

“Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”

“Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda.”

“Kau tidakberadadi tempat kejadian itu. Bagaimana kaubisa tahu pasti hal itu?”

“Karena   beberapa   pengawal   yang   masih   hidup   dan   kusir   kereta   yang menceritakannya pada saya, Sri Baginda … .”

“Ini benar-benar satu hal barubagiku. Sulit dipercaya!” kata sang raja seraya bangkit dari kursilalu melangkah mundar-mandir.

“Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayaiketerangan yang menuduh Raden Ajengdan Raden Ayuberbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayaiketerangan saya…..?”

“Semua harusdibuktikanKertopati!”

“Saya setuju … …”

“Dan  itu  akan  dilakukan  di  sidang  pengadilan  yang  dipimpin  oleh  para sesepuhKerajaan!”

“Mengapa harus menunggu  sidang pengadilan?  Kita bisa memanggil  kusir kereta dan pengawal-pengawal itu untuk memberikesaksian saat ini juga. Jika Raden Ajeng  dan  Raden  Ayu  terlalu  lama  dalam  tahanan  untuk  berbuat  yang  tidak dilakukannya, saya kawatirkesehatandan pikiran mereka akanterganggu … .”

Sang raja jadi terdiam dan termangu.



“Tidakkah  Sri  Baginda bersedia melakukan  sesuatu?  Melepaskan  dulu  istri dan puteri Sri Baginda sampai adakejelasanbahwa merekabenar-benarbersalah?”

“Aku   butuh   waktu   untuk   melakukan   penyelidikan   tersendiri   sebelum menempuh jalan itu … .”

“Terserah Sri Baginda, asalkan janganterlalulama. Kasihan Raden Ajeng dan Raden Ayu … .”

“Ada lagi yang hendakkau sampaikanKertopati?” bertanya Sri Baginda.

Kepala  Pasukan  Kotaraja  itu terdiam  sejenak. Apakah  akan  diceritakannya hubungan gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri  Sri Baginda yang ketiga itu? Yang tanpa  setahu  Sri  Baginda telah membuahi  dua  orang  anak tidak  syah yaitu Pangeran Anom  dan Puji  Lestari? Kertopati tiba-tiba  saja  ingat petuah  dan pesan gurunya di Banten ketikahendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata “Muridku Kertopati, sudahbanyak ilmu dan wejangan yang kauterima. Masih ada satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi lelaki



BASTIAN TITO                                                                                                           10


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

kotorandi mulut. Karena ituselalulahkau sengaja menjaga mulutmu sebaik-baiknya. Mulut kamu harimau kamu. Jangansekali-kali menceritakanaib seseorang pada orang lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah mungkin dapat menimbulkan pertumpahandarah sekerajaan … ..”

Mengingat sampaidisitu maka Raden Kertopatilalu menjawab pertanyaan Sri Baginda.



“Tak  ada  lagi yang  akan  saya  sampaikan.  Saya mohon  diri  dan  siap  sedia dipanggil setiap saat … .”

“Kau boleh pergi.”

Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai dipintu. Dia sama  sekali  seperti tidak melihat ada  seseorang yang mendekam di balik hordeng besar hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini tentu sajatidak mudahditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat pintu. Tapidiasengajaberpura-pura tidak tahu!



BASTIAN TITO                                                                                                           11


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


EMPAT


Ketika  Sri  Baginda  telah  masuk ke  ruangan  dalam untuk beristirahat,    Raden Kertopati yan melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkandiri dan masuk kembali ke  dalam istana. Ketika  sampai  di ruangan  dalam,  dua  orang pengawal raja barusaja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah seorang dari merekadan langsung mencekallehernya. Tentu sajapengawal ini menjadikaget dan pucatwajahnya.



“Ra….raden…..” suaranya tersengalsaking kerasnya cekikanKertopati.

“Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di baliktiraidan mencuri dengan pembicaraanku dengan Sri Baginda?!” bertanya Kertopati sementara pengawalkedua tegak tertegunkeheranan menykasikan kejadian itu.

“Saya…..saya tidak bersembunyi Raden……. Saya … …”

“Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan berani dusta! Salah-salah bisakupotonglidahmu!”

“Sayabersumpah tidakbersembunyi!”

“Keparat! Jangan kira aku buta!”

“Saya bersumpah  Raden.  Saya benar-benar tidak  sembunyi,  apalagi berani mendengarkan pembicaraan  Raden dengan raja … ..”

Plaaak!

Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir hampirjatuh. Pipinya  sebelah kiri  langsung  lebam  dan  dari bagian bibirnya yang pecah  mengucur  darah.  Pengawal  ini  merintih kesakitan  dan  duduk bersimpuh  di lantai. “Saya bersumpahraden…..saya bersumpah…..!” terdengar suaranya di antara rintihan.

“Berdiri!” hardik Raden Kertopati.

Pengawal ituberdirisambil mengusap-usap pipinya yang masihdisengat rasa sakit.

“Kau masih belum mau memberiketerangan?!” Raden Kertopati mengangkat tangankanannya tinggi-tinggi. Siapuntuk menampar kedua kalinya.



Dengan  ketakutan  pengawal  itu  membuka  mulut  “Saya  bersumpah  tidak  bersembunyi  dan  mencuri  dengar  pembicaraan  Raden  dengan  Sri  Baginda.  Saya  berada dekattiraiitudemi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja, lalu saya tegak di situ … .”

“Menjaga  keselamatan  raja!  Itu  bagus!  Tapi   Sri  Baginda   sendiri  yang  menyuruhmu   pergi!   Kau   melanggar   perintah   raja!   Perbuatanmu   nyata-nyata  mencurigai  diriku!  Dan  aku  yakin  kau  menyembunyikan  sesuatu!   Siapa  yang  menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau mungkin sekali memata-mataiku hah?!”

“Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduhsejauhitu. Saya perajurit biasa. Saya kalaubersalah siapdihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuridengar, tidak bermaksud jahat  apalagi  berani  melanggar perintah  Raja  dan  memata-matai Raden … …”

Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya menggembung.

“Kali  ini kuampuni kesalahanmu.  Tapi  ingat  sejak  detik  ini kau berada  di bawah pengawasanku langsung. Mulai besokkautidak ditempatkan didalam istana. Tugasmu dipindahsebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar?!”




BASTIAN TITO                                                                                                           12


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Saya…..saya dengar Raden….” Jawab si pengawal. Meskipun bertugas di pintu Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di dalam istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari padatunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.


Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatapwajah pengawal yang datang menghadapnya itulalubertanya.

“Kenapa tampangmu bengkakbegitu. Bibirmu jugakulihat adalukanya”

Sang  pengawal  menunduk  sesaat  sambil  mengusap  pipinya  yang  bengkak. “Saya……saya ditempiling Raden Mas…..” katanyakemudian.

“Yang menimpiling?”

“Kepala  Pasukan  Kotaraja.  Raden  Kertopati…..”  Lalu  pengawal  bernama Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadisiangtadidi istana.



“Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!”

“Sesuai dengan perintahmu Raden Mas.  Saya memata-matai pembicarannya dengan Sri Baginda. Ternyata dia mengetahui…..” menerangkan si pengawal.

“Kepala pasukan ituringan tangan sekali rupanya!” ujar Jayengrono dengan geram. “Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si Kertopati  itu.  Yang  aku  ingin  tahu  ialah  apa  yang  dibicarakannya  dengan  Sri Baginda….!”

“Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya mempunyai hubungan tertentu  dengan Pangeran Matahari. Dia  siap mendatangkan saksi-saksi….” Lalu Kontondo menuturkanselengkapnya.

“Begitu…..” ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. “Dia sudah terlalu  jauh  melangkah.  Dia  bertanggung  jawab  atas  keamanan  Kotaraja,  bukan keseluruhanKerajaan. Tapitidak apa. Kau terus saja memata-matainya … ..”

“Saat initidak mungkin lagi Raden Mas.”

“Hah, kenapatidak mungkin?”

“Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas dipintu gerbang utara … .”

“Hemm….. Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau boleh pergi….” Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan  sebungkah kecil perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkanterima kasih  berulang  kali  lalu  meninggalkan  gedung  kediaman  Panglima  Balatentara Kerajaan itu.

Ketika  sampai  di  pintu  pekarangan,  seorang  lelaki  tua  memikul  rumput menganggukkan kepala  dan menegur dengan hormat. Kuntondo  sama  sekali tidak membalas  teguran  dan  penghormatan  itu.  kudanya  dibedal  sekencang-kencangnya menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.



Gedung kediaman Raden Kertopatiteletak di barat Kotaraja, cukup besar dan mentereng,  tapi  tentu  saja  alah  mewah  dengan  gedung  kediaman  Raden  Mas JayengronoselakuPanglima Balatentara Kerajaan.

Lelaki  tua  pemikul  rumput  itu  mengambil  jalan  berputar  dan  sampai  di hadapan sebuah pintukecil yang terdapat ditembokhalaman belakang gedung. Dia menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali, lalu  dua kali  lagi. Ketukannya  itu  dilakukan berurutan  dua kali.  Sesaat kemudian



BASTIAN TITO                                                                                                           13


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

pintu  terbuka.  Seorang pengawal  memberi  tanda  agar  dia  cepat  masuk,  sekaligus membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnyalelaki tua tadidiantar menghadap Raden Kertopati, yang saat itubarusaja selesai sembahyang maghrib.

Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka bertanyalah Kertopati. “Bagaimana hasil penyelidikanmu…..?”

“Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas Jayengrono menjelang maghrib tadi…..” menjawablelalki tua itu.

“Kertopati  tersenyum.  “Memang  sudah  kuduga!”  katanya  sambil  menepuk bahu lelaki tua itu. “Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidakakandiberi hadiah apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depandapat bekerjadisini sebagai perajurit pengawal!”

“Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih…..” kata lelaki tua itu sambil membungkuk-bungkuk.



BASTIAN TITO                                                                                                           14


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


LIMA


Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya  Sri Baginda duduk berhadap-hadapan  dengan  Raden  Mas  Jayengrono.  Kertopati  menjura  memberi hormat.  Meskipun  di  situ masih  ada  dua buah kursi kosong, namun karena tidak dipersilahkan  maka  Kepala  Pasukan  Kotaraja  ini  tidak  berani  mengambil  tempat duduk.


“Sri   Baginda,   ada   apakah   memerintahkan   saya   menghadap?”   bertanya Kertopati. Di dalam hati diasudah menduga ada sesuatu yang penting –mungkintidak beres-. Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam, tegangtapisinis.

“Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono barusajamelaporkanbahwa seorang  kusir  kereta  dan  tiga  orang  perajurit  ditemui  mayatnya  di  tepi  hutan Kalimukus. Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapikeamanan di sana masihdalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal inibisaterjadi. Apakah kau sudah menerima laporandarianakbuahmu?”

Apa yang dikatakan  Sri Baginda ini tentu  saja membuat Kertopati terkejut. Sekilas dia melirik kearah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai.

“Maaf  Sri  Baginda,  saya  sama  sekali  belum  mendapat  laporan.  Apakah diketahuisebab musababkematian keempat orang itu?”

Yang menjawab justruadalah Jayengrono. “Justru kaudipanggil kemari untuk segera melakukan penyelidikandimas Kertopati!”

“Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan.”

“Tunggu dulu,” Sri Baginda cepat berkata. “Turut penjelasanmu beberapahari lalu bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian bahwaistriku yang ketiga dan puterinyatidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari … ..”

“Saya  tidak berani  memastikan,  Sri  Baginda.  Saya  perlu  menyelidik  lebih dulu,”  jawab  Kertopati  meskipun  hati  kecilnya  berdetak  membenarkan  bahwa keempat orang itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akandiajukannyapada sidang  pengadilan  para  sesepuh  kelak.  Kini  ternyata  mereka  sudah  mati.  “Kalau mereka matisekaligusdi tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil merekadibunuh!”

“Berkata    begitu    apakah    kau    punya    bukti-bukti    dimas    Kertopati? Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian? Apakah kau pernah mendengar  tentang  seekor  harimau  yang  kelihatan  muncul  di  sekitar  Kalimukus beberapahari belakangan ini?”

“Saya  mendengar  memang,  Raden  Mas…..  Tapi….  Entahlah,  saya  harus menyelidiklebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri Bagindadan padamu….. Saya minta diri sekaang!”

Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkandi atas empat usungan bambu. Sewaktu  Kertopati  sampai  di  situ  dan  memeriksa  keadaan  mayat  satu  persatu,  di tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.

“Mereka sepertidikoyak harimau…..” kata Kertopati dalam hati. “Tapi bukan harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh inidikoyak dengan pisau besar, mungkin  celurit  atau kelewang….. Ada  orang yang telah membunuh mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bis menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggildan puterinya. Ah….. bagaimana sekarang?”



BASTIAN TITO                                                                                                           15


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Bersama anak buahnya Kertopati kembalike istana. Saat dia menghadap raja Jayengrono takada lagidisitu.

“Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?” Sri Bagindalangsung bertanya.

“Keempat  orang yang malang  itu memang mati  dicabik-cabik harimau  Sri Baginda,” jawabKertopati.


Dapur  istana  malam  itu  tempak  sepi.  Hanya  ada  seorang juru  masak  dan seorang pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua   yang bekerja setengah terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu Raden Ajeng Siti Hinggildan Raden AyuPuji Lestari.

“Aku  memasak  begini  banyak,  begini  lezat  tapi  Gusti  Ajeng  Siti  Hinggil hanya makansedikitsekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah … ..”

“Dimakan atau tidak,sudah tugas kita memasak dan menghidangkan,” jawab si pelayan.

Saat itupintudapur terbuka. Kedua pelayan tua initerkejutdan gemetar ketika melihat  siapa  yang  masuk.  Satu  hal  yang  tidak  pernah  terjadi  bahwa  Panglima Balatentara Kerajaan masukke dalamdapuristana.


“Raden…..apakah  kami  berbuat  kesalahan…..?” juru  masak  tua  keluarkan suara   gemetar.   Dua   perempuan   tua   itu   langsung   lega   ketika   mereka   melihat Jayengrono justru tersenyum lebar.

“Semua orang sudahpulang. Kalian berdua masih bekerjadisini. Apakah itu hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggildan puterinya…..?”

“Betul sekali Raden Mas … …”

“Kalau  begitu  cepat  dibawa  ke  kamar  mereka  masing-masing.  Bawa  yang untuk Raden AyuPuji Lestari lebih dulu…..!”

Pelayan  tua  cepat  mengambil  napan  besar,  meletakkan  dua  piring  di  atas nampan itu, segelas besar air putih lalu membawa semua ituke ruangan di mana Puji Lestari ditahan.

“Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai.  Sebentar lagi pelayan akan mengambildan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil … …”

“Saya   pergi   Raden…..”   jawab   juru   masak   tua.   Terbungkuk   bungkuk perempuan ini mundur menujupintu.



Begitu  dia  hanya  tingaal  seorang  diri  di  tempat  itu,  dari  balik  sakunya Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubukinidisiramkannya di atas duapiring makanan yang ada di meja.

Baru saja dia hampir selesai menuangkanseluruh bubuk, tiba-tiba pintudapur terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget dan membentak.

“Ada apa kaukembali?!”

“Selendang saya Raden….. Selendang saya tertinggal … ..”

“Juru masak! Kau takakan matitanpa selendang itu! Keluar sana!”

Ketakutan setengah mati juru masak tua itukeluardaridapur dengan langkah sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelumberlalu, dia masih sempat melihat pelayan itubicara dengandua orang pengawal pintu ruangan tahanan Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintudibuka dansi pelayan masukke dalam.




BASTIAN TITO                                                                                                           16


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Selama  beberapa  hari  disekap  dalam  kamar  tahanan  itu  Raden  Ajeng  Siti Hinggil boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta rongga matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih muluskinipucat sepertitiada berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik dan mulus.

Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayandi atas meja, entah mengapa sekali initimbul saja hasratnyauntuk mencicipi makanan itu. Dua potong besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalunasi putih dan sepotong semangka merahtanpabiji.


Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam nasi dan disendokkannyakuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di kursi.   Selama  beberapa  hari  tidak  makan,  maka  hidangan  yang  ada  di  meja disantapnya dengan lahap meskipuntidakkeseluruhannya sanggup dihabiskan.

Selesai makandan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan tubuhnya  segar.  Pori-pori  di  sekujur  tubuhnya  melebar  dan  keringat  membasahi kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti barudisadarinya betapaindah dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu. Cuping hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnyalebih cepat.

Istri Bagindaketiga ini menggeliatkantubuhnya. Terasa adakenikmatan aneh  dalam geliatan itu. Dia menggeliatlagi. Semakin nikmat.

 

Perempuan ini bangkit dari  kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat. Dari  sela bibirnya terdengar  suara  seperti  erangan halus.  Kedua tangannya menggapai-  gapaiudaralaluditurunkan ke dada. Di situkedua tangan itu meremas-remas kencang. Siti Hinggil merasakantubuhnya panas. Bukan olehudaradalamkamar namun oleh  hawa   aneh  yang  kini  menguasai   sekujur  tubuhnya,  larut  dalam  aliran   darah,  melumpuhkan  indera  ingatannya.  Entah  sadar  entah  tidak  Siti  Hinggil  membuka  pakaiannya  satu  demi  satu.  Hampir  sekujur  tubuhnya  tak  tertutup  lagi,  tiba-tiba  terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlahcelah  setengahpintu.

Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang masuk.   Tapi   dia  tidak  menjerit   atau  mendamprat.  Malah  mengulurkan  kedua tangannya. Memeluk orang yang berusan masukitu seraya tiada hentinya menyebut namanya.

“Jayeng…… Jayengrono … … .”



BASTIAN TITO                                                                                                           17


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


ENAM


Sewaktu hawaaneh yang merangsang alirandarah dan membangkitkannafsunya itu mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa  sehelai benangpun menutupi auratnya.

“Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi?Apa yang telah kulakukan……?!”

Perempuan ini memandang ke dinding. Takada pintudi situ. Dia memandang seputarkamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di pintu sama sekalitidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa hingga kedap suara.

“Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!” teriak  Siti Hinggil. Lalu  seperti gila dia menjerit lagi berulang kali sambil memukul-mukul pintukayu yang snagat tebal dan berat.lapat- lapat suara pukulan ini sempat terdengaroleh dua perajurit yang mengawal pintudi sebelah  luar.  Keduanya  saling  pandang  sesaat.  Setelah  berunding,  salah  seorang segera mengambilkuncidan membuka pintu.

Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan  Siti Hinggil seperti itu tentu saja dua perajurit initerperangahkaget.

“Mana  Jayengrono!  Aku  harus  membunuhnya!  Mana  manusia  keparat  itu! mana…. Berikan tombakitupadaku! Berikan!” teriak Siti hinggildan menghambur ke  luar  kamar  seraya  mencoba  merampas  tombak  yang  ada  di  tangan  pengawal sebelah kanan.


“Raden Ajeng! Apa yang terjadi…..?!” Pengawal kedua bertanya lalu cepat menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itukembalikedalam kamar. Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja pegangan sipengawalterlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu,niscaya Siti Hinggil berhasillolos dan   lari sepanjang gang sambilberteriak-teriak seperti orang gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat dengan susahpayah, akhirnyaberhasil membawa Siti Hinggil masukkembalikedalam kamar lalu cepat- cepat pintubesardan berat ituditutup.

“Bagaimana  sekarang?  Apa  yang  harus  kita  lakukan?!”  tanya  pengawal pertama.

“Kita harus melaporkan kejadian inipada Sri Baginda!”

“Jangan   pada   Sri   Baginda.   Sebaiknya   pada   Patih   Kerajaan   saja.   Atau Panglima. Atau mungkin  Kepala Pasukan Kotaraja … … .”

“Eh, apa yang akankaulaporkan?” tanya pengawalkedua.

“Akan kukatakan Siti Hinggilkemasukan setan!” jawab pengawalkedua. Lalu setengah  berlari  dia  meninggalkan  tempat  itu.  Yang  ditujunya  adalah  gedung kediaman   Raden   Kertopati,   Kepala   Pasukan   Kotaraja.   Tapi   karena   kediaman Kertopati  cukup jauh  sedang  gedung  kediaman  Patih  Kerajaan  lebih  dekat,  maka pengawal  ini  langsung  menuju  kediaman  Patih  Haryo  Unggul.  Semula  pengawal gedung kepatiah menolakuntuk membangunkan Patih Haryo Unggul dilarut malam begitu. Namuan  setelah  diberitahu  apa yang terjadi maka pengawal  gedung  segea masukke dalam.



BASTIAN TITO                                                                                                           18


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Semua orang tahu bahwaselain memilikikepandaian silatdan kesaktian, Patih Haryo  Unggul    juga  mempunyai  keahlian  mengobati  berbagai  macam  penyakit, termasuk mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.

Ketika pintu kamar tahanandibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk dilantai, di salah  satu  sudut  sambil  menangis.  Keadaan  auratnya  masih  tetap  tidak  tertutup. Melihat  ada  orang  yang  masuk,  perempuan  ini  melompat  bangkit.  Bukan  untuk menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.


“Mana   keparat   itu!   Mana   manusia   iblis   Jayengrono   itu!   Aku   harus membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!”

Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang yang sengajadibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu kiri Siti Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit. Sang patih mencoba sekali lagi. Kali ini yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan  Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya memperlihatkan wajah meringis kesakitantetapitidak berteriak.

“Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini tiba-tibasaja menjadi gila?” begitu Patih HaryoUnggul membatin.

“Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!” kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya  kiri kanan.

“Jayengrono takada disini. Mengapa … ..”

“Tidak!  Tadi  dia  ada  di  sini!  Tadi  dia … ..”  Siti  Hinggil  tidak  sanggup meneruskan ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak dipegangi pastiterbating kelantai.


Ketika   perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa aneh keluardari mulut Siti Hinggil. Tapidiatidak tahu pastihawa apa itu gerangan.

Atas perintah  Patih  haryo  Unggul,  Siti  Hinggil  dibaringkan  di  atas  tempat tidur.  Pelayan  dipanggil  untuk  memebenahi  sisa  makanan.  Lalu  pada  beberapa perajuritdan pengawal yang adadisitudipesankan agar berjaga-jaga.

“Raden Ajeng tidak pingsan.  Dia hanya kehabisan  tenaga.  Salah  satu  dari kalian  cepat  menghubungi  kepala  pengasuh  istana.  Minta  paling  tidak  dua  orang inang pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor pada raja … .”

Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepaladan menarik nafas dalam. “Aneh sekalitindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan istrinya itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri Baginda sama sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian penahanan ini! Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting lagi  di  sini hingga tak  ada yang mau memberitahu?! Raja memenjarakan  istrinya sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!”



Sidang pengadilan para sesepuhdan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya seharusnyadilakukan hari itu. Namun karenasejak dua hari lalu Siti Hinggildinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur, maka sidangditunda. Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat tidur dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara meracau




BASTIAN TITO                                                                                                           19


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

yang tidakjelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk menjaga Raden AyuPuji Lestari.

Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil diperkenankandipindahkandandipulangkan ke rumahkediamannya. Tetapi dengan sikapkerasPuji Lestari menolak.

“Kalau ibundaku harus mati, biardia mati dikamar tahanan ini! Agar semua  orang yang bertanggung jawab  atas ketidak  adilan  ini bisa merasakan kepuasan!” begitukata-kata yang dikeluarkan Puji Lestaridi hadapan Patih HaryoUnggul dan Sri  Baginda yang datang menjenguk meskipunhanyasebentar.

Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryoUnggul duduk berhadap-hadapan dengan Sri Baginda.


“Menurut  paman  patih,  penyakit  Raden  Ajeng  Siti  Hinggil  masih  belum diketahui. Apakah tidak  dapat  diusahakan  cara  lain  agar  dia  disembuhkan. Paling tidak aga kedua tangan dan kakinya bisa digerakkankembali. Matanya yang terpejam bisadibukalagi … ..”

“Saya telah melakukan berbagai usaha  Sri Baginda. Mohon maafmu kalau segala   kemampuan   dan   keahlian  pengobatan   saya   kali   ini   hampir   tidak   ada manfaatnya…… Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden Ajeng. Turut penglihatandari luardia sepertikehabisan tenaga hinggatidak mampu menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk memberinya minum, apalagi makan … ..”

“Bagaimana    dengan    dugaan    bahwa    dia    kemasukan    roh    halus    atau kesurupan…..?”

“Seperti  saya  pernah  katakan  pada  Sri  Baginda  sebelumnya,  Raden  Ajeng sama  sekali  bukan  kemasukan  roh  atau  kemasukan  setan  atau  kesurupan.  Dalam kehabisantenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalamotaknya … ..”

“Penyakit aneh apa namanya itu?!” ujar Sri Bagindapula.

Seorang   ponggawa   masuk,   memberitahu   Raden   Kertopati   akan   datang menghadap.

“Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kitabicara bertigadisini … …”

Pembicaraan  kemudian  dilanjutkan  bertiga.  Raden  Kertopati  lebih  banyak menjadipendengar danbaru membuka mulut menyatakanpendapatnya ketika Patih Haryo  Unggul  mengusulkan  untuk  mencari  tabib  atau  orang  sakti  yang  sanggup menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.

“Sri Baginda, apakahingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….?” Raden Kertopati bertanya.


“Tentu   saja   aku   ingat  manusia   satu   itu.  Aneh   dan  terkadang   lancang. Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kitabalaskan sampai saat ini…..!”

“Manusia  seperti  dia  memang  tak  pernah  mengharapkan  balas  jasa,  Sri Baginda … ..”

Baginda  menganggukkan  kepalanya,  “Terakhir  kali  dia  raib  dari  penjara ketika dia ditahan atas kehendak Jayengrono … …”

“Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari  orang-orang yang tak mau melihat kenyataan…..” kata Raden Kertopati.

“Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatandimas Jayengrono tempo hari  karena  dialah yang  menjebloskan pendekar berambut  gondrong  itu ke  dalam penjara. Tapi itutelah berlalu, yang penting saat iniapakahdimas mempunyai saran




BASTIAN TITO                                                                                                          20


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng….?” Yang berkata dan bertanya adalah Patih HaryoUnggul.

“Justru saya menyebut nama pendekar itukarena ingatakan kemampuannya. Dia yang mengobati saya ketikaterluka dan hampir matikeracunan akibatpukulan Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balaudi depanistana beberapa waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata dua. Dengan senjataitulahdia menyedot racun yang hampir membunuh saya….. Saya menunggu pendapat dankeputusan Sri Baginda.”

“Semua urusan aku  serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian anggap paling baik…..” Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan itu.

Ketika  mereka  hanya  tinggal  berdua  saja,  maka  Raden  Kertopati  bicara perlahan pada Patih HaryoUnggul.

“Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan pada Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari pada saya … …”

“Siapa yang kau maksudkandengan orang itu dimas Kertopati?” “Raden Mas Jayengrono … ..”

“Hemmmm…..Aku  dengar  hubungan  kalian  akhir-akhir  ini  tidak  begitu

sreg … …

“Sayaakui Paman Patih. Semua berpangkalpadatuduhan tak beralasanbahwa Raden Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari yang hendak merampas tahtakerajaan … ..”

“Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kausebutkan itu,” kata Patih HaryoUnggul membelokkan pembicaraan.

“Saya  dengar bahwa  setiap  kali  berteriak  kalap  yakni  sebelum jatuh  sakit seperti ini, Raden Ajeng selalu meneriakkaningin membunuh Jayengrono. Mengapa? Apa alasannya? Sayatidak tahu. Paman Patih jugatidak tahu. Sri Bagindatidak tahu dan jugatidakacuh. Hanya adadua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng sendiridan Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa ditanyaisetiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karenahubungan saya dengandia sedangtidakbaik. Tetapi … ..”

“Ya…..ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnyasiapa yang bakal  menanyai  Panglima  Kerajaan  itu?  Kurasa  hanya  Sri  Baginda.  Tapi  seperti katamu, Sri Bagindatidakacuh!”

“Tidak acuh karenaada yang menggosok!”

“Lagi-lagi  tentu  yang  dimas  maksudkan  adalah  Jayengrono…..”  kata  sang patih pula.


Kertopati   tersenyum.   “Saya   tidak   mengatakan   itu.   Paman   Patih   yang menyebut namanya!”

Kedua orang itu sama-sama tersenyum.

“Dimas Kerto, jika kau memang yakinsahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga Geni  212  yang  sableng  itu  bisa  menolong,  sebaiknya  kau  segera  mencarinya  dan membawanya ke mari.”

“Hal itu segera saya lakukanjika paman patih memang memberi dukungan dan restu.  Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada. Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?”

“Katakan apa keinginandimas … ..”

“Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan daritahanan ituke satu tempat yang dirahasiakan … ..”



BASTIAN TITO                                                                                                          21


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena  Sri Baginda  sendiri memang sudah  menyetujui.  Tapi  karena  kau  yang  meminta  maka  aku  melihat     adanya keanehan … ..”

“Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketikaderetankamar-kamar itu dibangun?  Semua  ditangani  oleh  Jayengrono.  Serba  rahasia.  Siang  malam  dia menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi seorang Panglima  Balatentara.  Dan  satu  lagi jangan  lupa.  Jayengrono  ahli  dalam  bidang bangunandan benda-benda rahasia … ..”

Patih   Haryo   Unggul   menatap   wajah   Raden   Kertopati   lekat-lekat   lalu memegang bahu Kepala Pasukan Kotaraja itudan berkata “Dimas Kerto, kurasa kali inikau, tepatnyakita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepaladua … ..”

“Mungkinkepalanyalebih dari dua, paman patih!” sahut Kertopati.

“Kalau begitu laksanakantugasmu secepat-cepatnya!”

“Saya mohon dirisekarang … ..”

Baru   saja   Kertopati   hendak   berdiri   tiba-tiba   masuk   seorang   ponggawa membawa  segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa  dia membawa  surat dari Raden Mas Jayengrono,ditujukan pada Patih HaryoUnggul.


Patih mengambil surat itudan membacanya.

Patih HaryoUnggul

Laporandari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok sisa-sisapemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan cepat.  Siang  ini  dengan  sejumlah  besar  pasukan  berangkat  ke  utara.  Saya  tidak melaporkan  pada  Sri  Baginda  karena  maklum  Sri  Baginda  cukup  banyak  beban pikiran  saat  ini.  Tentang  keamanan  kota  mohon  batuan  YM  untuk  menghubungi Raden Kertopatidan meminta agar diatetap waspada.

Sayatidak dapat memastikankapan akan kembalike Kotaraja.

Teriring salam dan hormat,



R.M. Jayengrono

Patih  Haryo  Unggul  menyerahkan  surat  itu pada  Raden  Kertopati.  Selesai Kepala  Pasukan  Kotaraja  ini  membaca,  sang  patih  bertanya  “Apa  pendapatmu dimas?”

“Pertama  Raden  Mas  Jayengrono  tentunya  sudah jauh  saat  ini.  Kalaupun dipanggil diabisa menolak denganalasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan. Yang  aneh,  bagaimana  dia  bisa  membawa  sejumlah  besar  pasukan  tanpa  terlihat gerakan-gerakan pemberangkatan … ..”

“Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam … …” kata Patih HaryoUnggul pula.

“Saya   berangkat   sekarang   Paman   Patih.   Yang   paling   penting   adalah mengobati  Raden  Ajeng  lebih  dulu.  Jika  dia  bisa  disadarkan  saya  rasa  segala sesuatunya akan menjadijelas. Jangan lupa mengamankanibudananak itu … ..”

“Ya, kau pergilahdimas. Lekas kembali. Aku takingin kau kembali  terlambat dan hanya menemuitanah merah makam Raden Ajeng!”




BASTIAN TITO                                                                                                          22


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


TUJUH


Diiringi  enam  orang pengiring,  dua  di  antaranya perwira muda berkepandaian  tinggi, Raden Kertopati memacu kuda menujuke utara. Sebentar lagi malam akantiba. Sebelum malamdatang dengan segalakepekatannya dia harus mencapaiDelanggu di  kaki pegunungan Kendeng.

Celakanyahujan turun rintik-rintik dan tiupanangin mulai terasa kencang dan dingin.  Jalan  tanah  yang  mereka  lalui  menjadi  licin.  Ternyata  kegelapan  malam datanglebih cepat dari yang diperkirakan.

“Pacu kuda kalian lebih cepat!” teriak Kertopati.

Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan tiba-tibaterjadilah malapetaka yang tidak merekaduga.


Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki kuda menginjaknya.  Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget. Tujuh ekor kuda meringkikkeras. Kuda-kuda dan tujuh orang itu langsung amblas masukke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus bamburuncing! Jerit pekik bersatupadu dengan ringkik-ringkikkuda!

Empat orang perajurit langsung menemuiajalditambus bamburuncingpada bagiandada atau perut. Malah salah satu tepat disatedibagian lehernya. Satu dari dua perajurit mudaterhempas kedalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu runcing.  Empat  ekor  kuda  melejang-lejang   sambil  meringkik  sementara  darah mengucur deras daribagiantubuh yang tertusuk bambu. Perwira muda kedua masih untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing.  Sebagian tubuhnya tergelompang ditepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa panas  di  sekujur  tubuh.  Dia  mengerang  pendek,  berusaha  bangkit  tapi jatuh  lagi karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!

Raden  Kertopati  yang  paling  untung  dari  semua  rombongan.  Tubuhnya selamat karenajatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu sendiri  setelah  menggelepar  beberapa  kali  meregang  nyawa  mandi  darah  akibat ditembus enam belas potong bambu runcing.


Raden Kertopatiberusaha melepaskankakikirinya yang terjepit di antara dua tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas maksudnya segera melompat dari  lubang  neraka  itu.  Namun  niatnya  serta  merta  dibatalkan  katika  dia  melihat beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa bergelak.  Raden  Kertopati  langsung jatuhkan  diri  kembali,  menyelinapkan  diri  di antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam kedua  matanya  dibuka  sedikit  demi  sedikit  untuk  melihat  siapa  orang-orang  itu. ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing dengan topeng kain hitam. Hanyabagian mata saja yang tampak!

“Kalau    Kala    Srenggi    yang    punya    kerja,    tak    ada    yang    meleset! Ha…ha….ha….!” orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. “Semua mereka matisesuaidengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesaiaku minta imbalannya…..!”

Orang  itu  lalu  ulurkan  tangan  kanannya  ke  arah  lelaki  berbadan  tegap, mengenakan pakaian hitam yang berdiridi tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di tepilubang mengambilsebuahkantong kain di balikpakaiannya dengan tangan kiri. Kantong inidiserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.




BASTIAN TITO                                                                                                          23


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Lima puluh keping emas?” desis Kala  Srenggi  seraya memegang kantong kain.

“Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!” jawab orang yang mengulurkan kantong kain. Kantong itu sepertihendak dilepaskannyake dalam genggaman Kala Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin salju! Detik itujuga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya yang ditembus senjata sakti sampaike jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya goyah. Kedua matanya mencelet.


“Bangsat  penipu … ..  Terkutuk!”  hanya  sumpah  serapah  itu  yang  sempat dilontarkan  Kala  Srenggi.  Tubuhnya jatuh, terguling  dan masuk ke  dalam  lubang maut, tepat menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa yang terjadikemudian.

Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana dengan  berteriak  marah  langsung  menghunus  golok  dan  menyerbu  si  pembunuh. Perkelahian pendek terjadidi antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapiagaknya yang memegang senjata yang memancarkan   sinar putih memilikikepandaian silat sangat tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandidarah dan tewas menyusul pimpinan mereka!


Raden Kertopati memanggul tubuh yan terasa  sangat panas  itu  dan berlari sekencang yang bisadilakukannya. Orang yang dipanggul tiadahentinya mengerang dan  meminta  “Raden,  lebih  baik  kau  bunuh  aku  saat  ini juga!  Rasa  panas  yang memanggang initakbisakutahan lagi … ..”

“Perwira  muda,  sebagai  perajurit  Kerajaan  kau  harus  sanggup  bertahan! Sebentar lagikita akan sampaiditujuan!”

“Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akanterlepas dari beban dan bisa sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak Raden!”

Raden Kertopatiterharu mendengar ucpan bawahannya itu. “Jika kau sembuh,  aku  bersumpah  untuk  menaikkan  pangkatmu!”  meluncur  kata-kata  itu  dari  mulut  Raden  Kertopati.  Meskipun  tenaganya  sudah  terkuras,  tapi  semangatnya  seperti  memberikekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggultubuh perwira muda itu.

Di kejauhan tampak nyala  lampu kecil  sekali  di tengah  sawah. Ke  situlah Raden Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu tidakkejatuhanhujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan menyusahkannya.


Di atas dangau di tengah  sawah  saat itu tampak dua orang pemuda duduk bercakap-cakap.  Yang  pertama  seorang  pemuda  bertubuh  ramping  berkulit  halus mengenakan pakaian kelabu. Yang keduaberbadan tegap kekar, berambut gondrong sebahu, berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.

“Ada orang datang…..” kata pemuda berbajukelabu.

“Aku sudah tahu,” jawab sigondrong sepertitakacuh. Lalu dia memandang ke  jurusan  barat,  dari  arah  mana  orang  yang  berlari  itu  datang.  “Hem … .  Dia memanggul  seseorang.  Berlari  kencang  di  pematang  sawah  yang  kecil  dan  licin. Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh danilmu lari yang andal!”

Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan podok  seraya berseru  gembira  “Pendekar  212 Wiro  Sableng!  Syukur pada  Tuhan akhirnyakutemui juga kau!”



BASTIAN TITO                                                                                                          24


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Hai!  Siapa  dirimu?!”  bertanya  si  gondrong  seraya  berdiri.  Ternyata  dia adalah murid  Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sama sekalitidak mengenali siapa orang yang datang ini karenabaik muka maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas Wiro segera saja mengenali dan berserukaget.

“Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba- tiba  muncul  di  malam buta  dalam  keadaan  bercelemongan  darah  dan  memanggul sesosok mayat!”

“Perwira  ini  masih  belum  mati!  Luka  pada  pahanya  mengandung  racun! Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!” lalu Raden  Kertopati  menurunkan  tubuh  perwira  muda  dari  panggulannya.  Pemuda berpakaian kelabu membantunya “Bagus, kaupunternyata adadisinisahabat … ..”

“Bagaimana Raden tahu kami adadisini?” tanya Wiro seraya garukkepala.

“Aku punya ratusan mata-mata disebardi delapan penjuru angin. Tidak sulit mengetahui di mana kalian berada…. Tapi yang penting tolong duluperwira muda itu…..!”  kata  Raden  Kertopati.  Lalu  dia  sendiri  menjatuhkan  diri  di  atas  dangau. Tubuhnya terasa luluhlantak dan napasnya menyengal karenalarisejauhitu … ..

Wiro merobek  celana  di bagian paha perwira muda  itu hingga  dia melihat lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging tepidaging paha yang terluka tampak berwarnahijaugelap.


“Racun ular jahat….” Desis pemudaberpakaian kelabu.

Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang masih setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Sinar kapak memutih perak menerangigubuk di tengah sawah itu.   Mata kapak  ditempelkannya  ke  luka  yang  terdapat  di  paha.  Lalu  pendekar  ini  mulai kerahkan  tenaga  dalam.  Seperti  disedot  oleh  satu  kekuatan  hebat,  dari  luka  itu mengucur ke  luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan  darah yang keluar berubah  menjadi  merah.  Setelah  dirasakan  tubuh  perwira  itu  terbebas  dari  segala racun jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.

“Dia selamat Raden … ..”

“Aku   tahu   kau   sanggup   menolongnya,”   jawab   Kertopati.   Dia   masih menelentang di lantaidangaudengandadasesak turun naik.

“Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami? Pasti ada yang tak bereslagidi Kotaraja.”




BASTIAN TITO                                                                                                          25


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


DELAPAN


Gedung   Kepatihan   di   mana   Haryo   Unggul   tinggal   bersama   keluarganya merupakan  gedung  kedua  yang  memiliki  penjagaan  ketat  setelah  keraton  tempat kediaman raja dan permaisuri serta putera puterinya. Di  sebuah kamar besar yang terdapat di bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah kamar di mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.

Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi seorang perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh Raden Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju istana dan memperlihatkan surat itupada Sri Baginda.


Teruntuk YM

Patih HaryoUnggul

Di Kotaraja

Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka bisa menerobos dan melewati perbatasan.

Melalui  surat ini  saya  ingin melaporkan  satu hal yang tidak terduga.  Saya melihat  Raden  Kertopati  bersama  Pendekar  Kapak  Maut  Naga  Geni  212  Wiro Sableng  di  antara pasukan pemberontak.  Masih  terdapat  seorang  kawannya  yakni pemudabaju abu-abu yang tidak saya ketahui namanya.

Saya harap paman patih memberitahu hal inipada Sri Bagindadan mengambil tindakanterhadap Raden Kertopati.

Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigaiKapala Pasukan itu. Saya yakin dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktuditahandi penjara dulu.

Jika  orang  ini  tidak  segera  diamankan  istana  dan  kerajaan  akan  terancam malapetaka besar.


Teriringsalamdanhormat, R.M. Jayengrono

Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu bertanya “Di mana Kertopatisekarang?”

“Dia  memang  berada  di  luar  kota.  Namun  kepergiannya  katanya  adalah mencari Pendekar 212 Wiro Sableng untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng … ..”

“Itu alasan yang dikatakannya padakita. Sebenarnya dia ingin menemuikaum pemberontak. Musuh dalam selimut!”

“Saya mohon petunjuk Sri Bagindalebih lanjut … .”

“Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu. Awasi gedung kediamannya!”

“Bukan lebih baik kalaukita menyelidikkebenaran isi surat initerlebih dulu?” “Eh, mengapa begitu Raden Mas?”

“Saya kawatirtindakan yang terburu-buru malahbisa mengundang kericuhan lebih besar, ingat ketikakita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu…..Kita ikut salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar.”

Sri Baginda terdiam sejenak. “Aku serahkan  semua kebijaksanaan padamu. Tapi akutakingin kita menempuh jalan salah danterkecoh. Kalau sampai apa yang



BASTIAN TITO                                                                                                          26


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

dilaporkan  Raden  Mas  Jayengrono  betul  dan  kita  kebobolan,  ingat  baik-baik, tanggung jawabada dipundakmu!”

“Saya   ingat  hal   itu   Sri  Baginda.  Ada   satu  hal   lagi  yang   ingin   saya laporkan … ..”

“Soal apa?”

“Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang sejak beberapahari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan yang saya dapat kamar ituduludibangun secara sangat rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak boleh diketahuioleh orang lain … .”

“Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamaritu dankamar- kamar lainnya … ..”

“Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya melakukan penyelidikan. Saya merasakanadanya keanehan padakamar satu itu, tapi tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang dulujadi juru batu dan juru kayupembangunan kamar. Gundil Ablang sudahpikun. Namun  dari rangkaian keterangannya yang  coba  saya  sambung  satu  dengan yang lainnya  dapat  diduga  terdapat  sebuah  pintu  rahasia  di  dinding  kamar  itu.  Gundil Ablang  saya  datangkan  sendiri ke  situ. Dia berhasil mengingat  di mana pintu  itu berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya … ..”

“Kalau begitu…..” uajr  Sri Baginda dengan muka berubah, “Selama istriku ditahandi kamar ituada seseorang yang mengunjunginya!”

Patih HaryoUnggul tak berani mengiyakan.

“Mungkin sekaliPangeran Matahari!” Sri Bagindatiba-tibaberkata.


“Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat ketat. Meskipun dia memilikikepandaian tinggi luarbiasa, tak mungkin menyelinap tanpa diketahui. Dugaan saya ialahbahwa orang itu – siapapundia adanya – adalah seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang dalam sendiri.”

“Orang dalam sendiri? Siapa?!”

“Saat initak dapat saya menebaknya Sri Baginda … ..”

“Aku harustahusiapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beriwaktu dua hari!”

Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan raja.


Angin malam bertiup dingin.  Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat binatang   itu  pada  batang  pohon   yang   tersembunyi   dalam  kegelapan.   Setelah memperhatikan  keadaan  sekitarnya,  dengan  cepat  dia  melangkah  menuju  tembok timur  gedung kepatihan.  Gerakannya  gesit,  enteng, tanpa  suara ketika  dia  dengan mudah melompati tembok tinggi itulalu melompat lagike atas atap bangunan.


Malam  begitu   gelap.   Orang   itu  mengenakan  pakaian   serba  hitam   dan wajahnya ditutupcadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak- gerak.   Hampir   tidak   mengeluarkan   suara   sama   sekali   si   penyelinap   mulai membongkar genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk ke dalam wuwungan.

Kamar yang hendak disusupinyaituberadatepat di bawah. Dari atas orang itu dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala lampu minyakkecilsekali. Tapi cukup menerangikeadaan didalamnya. Cukup untuk melihat bahwadi atas ranjang besar yang tertutup kelambuterbaring tidurdua orang



BASTIAN TITO                                                                                                          27


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidurdilantai. Yang di atas ranjang besar pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari. Dua perempuan yang tidurdilantai tentu dua orang inang pengasuh.


Orang  di  atas  loteng  menggerakkan  tangan  kanannya.  Satu  cahaya  putih  memancar. Di tangankanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih. Dengan  senjata  di tangan  orang  ini  lalu melompat turun ke  dalam kamar.  Kedua  kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah  mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya  dihujamkan  berulang  kali  ke  tubuh  dua  orang  perempuan  yang  terbaring  di  atas  tempat tidur itu.

“Aman sekarang!” desis si pembunuh. Sekali melesat diasudah sampaidi atas atap. Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik jerit berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara itu. Dadanya berdebar. Sesaat dia inginkembali melompat turun dan masukke dalamkamar. Tapi saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menujukamar. Lain dari itu, dari arah pintu gerbang gedung, tampak masuk  seorang penunggang kuda diiringi tiga pengawal. Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja kembali dari istana.


Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta merta melompat darikudanya. Ketika dia hendak lari masukke dalam didengarnya salah seorang pengiringberteriak.

“Patih! Ada orang melompat dari atap kearah tembok!”

Haryo Unggul berpaling kearah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia masih  sempat melihat  sosok bayangan hitam  laksana  terbang,  melompat  dari  atap menuju tembok.

“Jangan lari!” teriak sang patih seraya memburu. Namun langkahnyatertahan ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya. Serangkum  angin  dahsyat  melabrak  sang  patih.  Untung  saja  patih  tua  ini  masih sempat merasakan datangnya bahaya.  Secepat kilat diajatuhkan diri ke tanah lalu berguling. Sambilberlutut diabalas menghantam dengan pukulan tangan kosong  kiri kanan sekaligus.

Braak!

Tembok gedung hacurberantakan. Tapi orang berpakain serba hitamitutelah lenyapdi balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia hanya  mendengar  suara  rentak  kaki  kuda  yang  dipacu  dan  akhirnya  lenyap  di kegelapan malam.

Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit.


Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masukke dalam. Saat itulampu-lampu besar telahdinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk dan merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masukke dalam kamar yang penuh sesak oleh perajurit pengawal.

“Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit … …”

Puji  Lestari  menunjuk  ke  arah  ranjang  besar  di  mana  terbaring  dua  sosok tubuh perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir seluruh tempat tidur.

“Ya Tuhan…..” mengucap sang patih. Dia memandang kelantaidi sudut kiri. Hatinya lega ketikadi situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak kurang suatu apa meskipun seperti beberapahari lalu masih sajatidak sadarkandiri karena tubuh kurus itukini hampirtanpatenaga lagi. Kedua matanyaterpejam.




BASTIAN TITO                                                                                                          28


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Raden Ayu…. Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu danibunda Siti Hinggiltelah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta Raden Ayu danibundauntuk tidurdilantaisepertiinang pengasuh. Kalau terjadi apa- apa  siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan ibunda … …”

“Kasihan  dua  inang  itu….”  bisik  Puji  Lestari  masih  menangis  walau  kini sudah tenang dan berhentiberteriak.

“Apakah  Raden  Ayu  melihat  atau  mengenali  siapa  orang  yang  masuk  dan melakukan kejahatan ini?” bertanya Patih HaryoUnggul.

Puji Lestari menggeleng. “Lampu dalam kamar initidak begitu terang. Saya sudah  tertidur.  Semuanya  berlangsung  dengan  cepat.  Saya  baru  terbangun  ketika mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur … ..”

Patih  Haryo  Unggul  memandang  berkeliling  ke  arah  para  perajurit  dan pengawal. Rahangnya menggembung. “Musuh masukke dalam gedung. Tak satupun dari  kalian  yang  mengetahui!  Apalagi  mencegah  terjadinya  pembunuhan!  Kalian dipecat semua!”



BASTIAN TITO                                                                                                          29


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


SEMBILAN


Raden  Kertopati  langsung  membawa  Wiro  Sableng  dan  si pemuda berpakaian kelabuke gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan Dari Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemudaberpakaian kelabu ini bukan lainadalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagainenek sakti bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikandiripadaKerajaan selama empattahun.

Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur. Meskipun ingin bicarapanjanglebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara sang  patih  membawa  ketiga  orang  itu  ke  kamar  di  mana  istri  Sri  Baginda  itu ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dualusin perajuritditambah dua orang perwira.

Raden Ajeng  Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro Sableng hampirtidak mengenalilagi perempuan itusaking kurus dan  pucatnya. Puji Lestari memandang penuhtanda tanya begitu melihat pendekaritu muncul.


“Kami  sangat  mengharap  bantuanmu  Wiro.  Lakukan  apa  yang  bisa  kau lakukan….” Berkata Patih haryoUnggul.

Murid  Sinto  Gendeng  garuk-garuk  kepalanya.  Sesaat  dipandanginya  sosok tubuh  kurus  dan  wajah  pucat  itu.  Lalu  dia  membungkuk  dan  dengan  jari-jari tangannya dia membukakelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu berputar sedikit, tapipinggir kelopak mata tampak membiru, hampirtidakkelihatan kalautidak diperhatikan dengan teliti.

“Raden Ajeng inikeracunan…..” kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan Kertopati. Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji Lestari menjadikaget.

Pendekar  212  Wiro  Sableng  lalu  keluarkan  kapak  saktinya.  Sinar  putih membersit di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata “Izinkan saya menggores ibu jari ibundamu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan.”

Puji Letari mengangguk.


Wiro memandang pada Patih HaryoUnggul.

Sang patih juga mengangguk.

Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke  ibu jari kaki kanan Raden Ajeng  Siti  Hinggil.  Ketika  ibu  jari  itu  dipencetnya,  darah  yang  keluar  tampak berwarna hitam. Wiro mengambilnya  sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir yang aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-garukkepala, membuatbaik Kertopati maupun HaryoUnggul jaditidaksabaran.

“Bagaimana……?” bisik sang patih bertanya.

Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya dulu. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannyapada goresan luka diibu jari kaki Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulaikerahkan tenaga dalam. Ternyata  tanpa  mengerahkan  tenaga  dalam  terlalu  banyak,  dia  berhasil  menyedot racun yang adadalamalirandarah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuricairan putih.

Setelah memperhatikancairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati dan Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengaroleh Puji Lestari dia berkata “Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena



BASTIAN TITO                                                                                                           30


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

memang  bukan  racun  mematikan.   Tapi  mungkin  karena   sebelumnya  keadaan tubuhnya sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadiseperti lumpuh, bahkan membuka matapun dia tak sanggup … …”

“Lalu racun apa yang adadalam rubuh Raden Ajeng?” bertanya Patih haryo Unggul.

“Racun mesum…..” bisik Wiro.

“Maksudmu?” tanya Kertopati.

“Racun  yang  dapat  membuat  seseorang  naik  nafsu  dan  bergairah  untuk melakukan hubungan badan … ..”

Haryo  Unggul  terbelalak.  Sebaliknya  Kertopati  kini  menjadi  maklum  apa sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan? Ketika sang patih saat itutiba-tibasajaingatakan pinturahasia didinding kamar tahanan, Kertopati segera sajaluncurkan ucapan “Siapalagi! Pasti Jayengronodalam semua ini!”

“Jangan  bicara  seperti  itu,  dimas.  Kita  harus  mencari  bukti.  Sebaliknya Jayengrono  seperti  memegang  kartu  atas  dirimu.  Ada  sepucuk  surat  yang  akan kuperlihatkanpadamu … ..”

“Apakah Panglima itu telahkembali dari luar kota?”

Patih HaryoUnggul menggeleng.

Terdengar suara erangan halus dariarah tempat tidur. Semua orang berpaling. Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanyaterbukasedikit.

“Nah….nah. Raden Ajeng mulai sadar…..” kata Wiro gembira. Puji Lestari langsung memeluk ibunya.

Patih HaryoUnggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh Tua Klungkung, orang-orang itu tinggalkankamar tersebut.


“Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!” teriak Kertopati selesai membaca surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden Mas  Jayengrono  yang  isinya  mengungkapkan  keterlibatan  Kertopati  dan  Wiro Sableng dengangerakankaum pemberontak.

“Paman  Patih  tahu  sendiri  apa  tujuan  saya  keluar  Kotaraja.  Mencari  Wiro untuk dimintakan pertolongannya. Dan saya kembalikemari untuk membuktikan hal itu … ..”

“Terus terang sebelumnya adakeraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah kau benar-benar kembali  dan  kini  Raden Ajeng  tertolongjiwanya  maka  keraguan itupun buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya … ..”

“Kurasa…..,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kalau ada orang yang tak kembali ke  Kotaraja,  orang  itu  adalah  Raden  Mas  Jayengrono.  Dia  akan jadi

Panglima Buronan … … …”

“Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja menghindarke luarkotauntuk melihat perkembangan apakahkedoknya akanterbuka atau tidak! Kini sebagian sandiwaranyatelah tersingkap. Pastidia yang keluar masuk kamar tahanan Raden Ajenglewat pinturahasia didinding kamar! Pasti dia pula yang memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskannafsunya. Bukankah Raden Ajeng selalu menolak permintaannya……?”

“Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?” bertanya Haryo Unggul.

Raden Kertopatisadarkalautelah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro dan berkata “Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kitarahasiakan?



BASTIAN TITO                                                                                                           31


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengarketika merekabicaradigedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?”

Wiro Sableng jadigaruk-garukkepala. “Kau saja yang menceritakannya pada paman patih, Raden…..” sahutsipendekar.

Tapi  Kertopati  menggeleng.  “Meskipun  aku  tahu  kebusukan  Jayengrono, namun sebagai atasan akutetap menghormatinya!”

“Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini untuk   menghilangkan   dugaan   dan   kecurigaan   bahwa   kalian   memang   bukan memfitnah … ..”

Wiro jadi  serba  salah.  Tiba-tiba  seorang  perajurit  masuk  menghadap.  Dia melapor bahwadua orang perempuan tua yang berkerja didapuristana pada malam di mana Raden Ajeng diduga diracun orang telahdipanggildankini berada di luar.

“Suruh kedua perempuan ittu masuk!” perintah Patih HaryoUnggul.

Dua  perempuan  tua  itu  kemudian  masuk  dengan     wajah  keriput  penuh ketakutan.

“Kalian berduatak perlutakut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari lalukalian berdua diketahui melayanidan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng dan puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan…..?’

“Kami   sama   sekali  tidak  melihat  keanehan   apa-apa   Patih,”  jawab   dua perempuan tua berbarengan.


“Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulubaik-baik…..!” membentak Haryo Unggul.

Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan sekali.  Suaranya  gemetar  ketika  berkata  “Saya…..saya  hanya  mencuri  sepotong daging ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan saya pulang. Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkalbahala … ..”

“Apa maksudmu pangkalbahala?” tanya Kertopati.

“Saya malu menceritakannya Raden … ..”

“Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kauakan masuk penjara nek!”

Juru masak tua itujadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia berkata  “Sehabis  makan  sepotong  daging  ayam  kecil  itu,  kami  merasakan  tubuh masing-masing jadi  panas.  Hawa  aneh  menggerayangi  kami.  Darah  kami  seperti bergejolak. Kami diselimutinafsu dan….dan….dan kami lalu melakukan hubungan badan  sampai pagi.   Padahal  itu tak pernah  dan tak  sanggup kami  lakukan  sejak sepuluhtahunterakhir … ..”

Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua telapak  tangan.  Wiro  menahan  cekikikan.  Kertopati  dan  Haryo  Unggul  tesenyum- senyum sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merahwajahnya.

Tiba-tibaterdengar suara sinenek menangis.

“Eh, apa-apa ini. Kenapakau menangis nek?” tanya Wiro.

“Kalau  pencurian  secuil  ayam  itu  merupakan  kesalahan  dan  dosa  terhadap Kerajaan,  saya  bersedia  dihukum.  Tapi  bagaimana  suamiku…..  bagaimana  anak cucuku…..?”

Patih HaryoUnggul memegang bahu si nenek dan berkata “Tak ada yang akan menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui malam itu?’

“Ada   keanehan   lain … ..”   yang   menjawab   nenek   pelayan.   Dia   yang mengantarkan makam malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalupulang lebih dulu.



BASTIAN TITO                                                                                                           32


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Bagus! Ceritakan apa itu!” ujarKertopati pula.

“Malam itu…..setelah makanansiap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk ke dapur … ..”

“Saya   ingat   sekarang!”   menyambung   nenek  juru   masak.   “Raden   Mas Jayengrono bicara  sebentar lalu menyuruh  saya pulang karena katanya tugas  saya selesai.   Saya   meninggalkan   dapur   tapi   balik   kembali   karena   selendang   saya ketinggalan.  Ketika   saya  masuk  ke  dalam  dapur  lagi,  saya  lihat  Raden  Mas Jayengrono masihdi situ. Dia tengah menuangkan sesuatu kedalam makanan untuk Raden Ajeng … ..”

“Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?” tanya Kertopati.

“Karena makanauntuk Raden AyuPuji sudahdibawa pelayan lebih dulu. Dan Raden Jayeng memang mengaturbegitu … ..”

Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata salingpandang. Kertopati mendekati  Haryo  Unggul  dan  berkata  “Paman  Patih,  saya  ingat  keteranganpun tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin kaukinitahu siapapelakunya!”

Patih   Haryo   Unggul   mengangguk.   Dari   mulutnya   meluncur   kata-kata “Memang  keparat  betul  si  Jayengrono  itu.  Sudah  saatnya  aku  harus  melaporkan semua   perbuatannya   pada   Sri   Baginda.   Tapi … .   kalian   berdua   masih   belum menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu … ..”

“Biarlah saya yang menceritakan,” akhirnya Raden Kertopati membuka mulut. “Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu  Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak. Pertama Puji Lestari dankedau Pangeran Anom, yang sampai saat ini masihlenyap dan tak diketahuidi mana beradanya … ..”

Patih HaryoUnggulseperti mendengar suara geledek.


“Ini bukankarangan atau fitnah Raden?”

“Terkutuk diriku jika memfitnah!” sahut Raden Kertopati pula.

Sang patih menjaditegang luarbiasa. Kedua tangannyaterkepal tanda dia juga sangat geram

“Kini aku dapat mendugajelas. Bukan…..bukan menduga. Tapi memastikan!” berkata HaryoUnggul dengan mata berkilat-kilat. “Manusia yang menyelinap malam  tadi  ke  gedung  kediamanku  ini  dan  membunuh  dua  inang  di  atas  ranjang  adalah  Panglima keparat itu!”

Wiro  menyeringai.  Sambil  menggaruk kepala  dia berkata  “Aku yang  tolol inipun akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat Raden  Ajeng  karena  takut  rahasianya  bocor.  Sekaligus  dia  membunuh  puterinya sendiri  karena  mengira  pasti  sang  ibu  telah  memberi  tahu  siapa  adanya  ayahnya sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darahdagingnya sendiri!”

HaryoUnggul bangkit dari kursinya.

“Aku akan menghadap raja saat ini juga…….” Katanya.


Kata-kata  Haryo  Unggul  terputus  karena  seorang  perajurit  berlari  masuk denganwajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah.

“Ada apa kauseperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapaberani masuk?!”

“Maafkan   saya   Patih,”  jawab   si  perajurit   sambil   membungkuk   dalam. “Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepalake dinding batu. Tak seorangpun dapat mencegah. Begitutiba-tibadan tak terduga!”

“Gusti  Allah!”  seru  Patih  Haryo  Unggul.  Dan  semua  orang  yang  ada  di ruangan itu sama menghamburkeluar.



BASTIAN TITO                                                                                                           33


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Paman patih…..” Raden Kertopati cepat berkata. “Saya harap paman tidak usah menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan menambah  kalut  pikiran  Sri  Baginda  dan  sekaligus  menimbulkan  rasa  bencinya terhadap   Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan Raden  Ayu  mengetahui  sebenarnya  dirinya,  bukan  mustahil  gadis  itupun  akan mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!”

Patih Kerajaan itu termangu  sesaat. Akhirnya dia berkata “Kalian tak usah kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin.  Soal aib Raden Ajeng menjadi rahasia kitabersama … ..”



BASTIAN TITO                                                                                                           34


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


SEPULUH


Didalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru sajakembali dari Kotaraja.

“Kabar  buruk  untukmu  Panglima.  Kabar  buruk  bagi  kita  semua!”  berkata orang kepercayaan itu.


“Aku sudah menduga…..” jawab sang Panglima seraya memandang ke luar  goa  di  mana  sekitar  tiga  ratus  perajurit  yang  dibawanya  dari  perbatasan,  duduk  bertebaran  di  bawah  kemah-kemah.  “Katakan  berita  buruk  apa  yang  kau  bawa!” Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan  kanannyabersitekan padahulu Keris KiyaiGajah Putih yang sengajadiselipkannyadi  pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan  adanyasedikit ketenangan.

“Sri   Baginda   memerintahkan  penangkapan   Panglima.   Siapa   yang   dapat menangkapPanglima hidup atau mati akan mendapathadiah seratus tail emas … ..”

Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudiandia tertawa gelak-gelak.

“Kepala  Jayengrono  tidak  semurah  itu  harganya!”  katanya.  “Hai,  apa  lagi yang kau ketahuidi Kotaraja?”

“Perintah penangkapan itu telahdisebarkeseluruh pelosokKerajaan … .”

“Lupakan  dulu  segala  perintah  gila  itu.  Apakah  kau  melihat  Kertopati  di Kotaraja?” bertanya Jayengrono.

Orang   kepercayaan   itu   mengangguk.   “Bukan    dia    seorang   Panglima. Kawannya pemuda gondrong yang  seperti berotak miring itujuga ada di Kotaraja bersama pemudaberpakaian serba abu-abu!”

“Pendekar 212 Wiro Sableng….” Desis Jaengrono. Suaranya jelasterdengar agak bergetar.


“Berita  paling  hebat,  Panglima.  Raden  Ajeng  Siti  Hinggil  ditemukan  mati bunuh diri!”

Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. namun diatak mau memperlihatkan   perubahan   air   mukanya.   Sambil   mengusap   janggutnya   yang meranggas kasardia berkata perlahan “Kematian memang lebih baikbagi perempuan itu…. Ada hallain yang perlukau sampaikan?”

“Yang  satu  ini  saya  tidak  pasti  Panglima.  Saya  merasa  seperti  ada  yang menguntit gerakgerik saya waktukembalike mari … ..”

Sepasang  mata  Jayengrono  membeliak  “Berarti  kau  berbuat  tolol!  Suruh menghadap Perwira Kesatu sekarang juga!” bentak Jayengrono.

Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul menghadap. Dalam jajaranbalatentaraKerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda yang  dekat  hubungannya  dengan  Jayengrono.  Ketika  dia  ikut  membelot  bersama atasannya   itu,   Jayengrono   langsung   mengangkatnya   menjadi   Perwira   Kesatu. Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua dan Perwira Ketiga.

“Siapkan pasukan! Kita harus  segera berangkat ke lereng  Sigumpil  saat ini juga … .”

“Ada perkembangan baru agaknya Panglima?”

“Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan kita disini.”




BASTIAN TITO                                                                                                           35


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Saya  akan  siapkan  pasukan.  Saya  usul  kita  bergerak  menembus  hutan Ronggowereng. Lebih cepat dan sulit dijejak lawan … ..”

“Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!” memuji Jayengrono. “Satu hal  lagi.  Kapan  tokoh  silat bergelar  Titisan  Rahwono  itu berjanji  akan bergabung bersama kita……?”

Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengarangin bersiurdan orang bicara “Aku sudah hadirdisini Panglima!”

Orang-orang  yang  ada  di  situ  –  termasuk  Jayengrono  –  jadi  terkesiap. Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelaicelana hitam, bertelanjang dada dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi berbentuk aneh.  Wajahnya  angker  luar  biasa.  Sepasang  mata  besar  merah,  hidung  lebar ditambah  cambang  bawuk.  Mulutnya  selalu  terbuka,  memperlihatkan  gigi-giginya yang besar serta taring yang mencuat keluar.


Di pinggangnya dia membawasebuah penggada hitamterbuat dari batukeras. Inilah  senjatanya.  Penggada  ini  diikat  dengan  rotan  kecil.  Potongan  tubuh  serta tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda dia memilikikepandaian tinggi dibuktikan  dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak diketahui  oleh  sekian  ratus  pasukan,  bahkan  tidak  disadari  oleh  Jayengrono  dan pembantu-pembantunya.

“Ah,   syukur   kau   sudah   ada   di   sini,   sahabat!”   Jayengrono   menunjuk kegembiraanya sambil menepuk-nepukbahu Rahwono yang gemuk gempal.

Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang tidak sedap. “Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara. Mereka   siap  menyambut  dan  bergabung  dengan  kita  di  sebelah  timur  lereng Sigumpil!”

“Bagus! Kita berangkat sekarang juga!” ujar Jayengrono.

Dengan  cepat  seluruh pasukan yang berjumlah  sekitar tiga ratus  orang  itu disiapkan, ketika mereka hampirhendakberangkat, dari arah barat tiba-tibaterlihat pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini menerpa wajah Jayengrono  beberapa   kali,   membuat   Panglima  buronan   ini   terkesiap,  berubah parasnya dan memandang kearah kejauhan.


Di puncak sebuah buktikecil yang tandus tanpa pepohonansejarak tiga ratus tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba putih tegak bertopang pada sepotong tongkat bambukecil. Pada tangan kanannya orang ini memegang  sebuah  benda  yakni  sebuah  kaca  bulat.  Kaca  ini  digerak-gerakannya berulang   kali   ke   arah   sinar   matahari   yang   kemudian   mengeluarkan   pantulan menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah Jayengrono. Dan agaknya memang sengajaditujukan kepadanya.

“Rahwono,” kata Jayengrono, “Kau dan yang lain-lainnya tunggu disini. Aku akan menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama … .”

“Siapakah  orang  itu  Panglima?”  tanya  Perwira  Kesatu  sementara  Titisan Rahwono hanya menyeringai dansepertitidakacuh.

Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil. Hatinya sangattidakenak.

Sesaat  kemudian  Jayengrono  sampai  di  hadapan  orang  di  puncak  bukit. Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih. Kepalanya terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak seram, namun diam-diam Jayengrono merasakan ketakutandihatinya.



BASTIAN TITO                                                                                                           36


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya menyebut “Guru … ..”

Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulaidaritopi tingginya yang penuh debu, pakaiannya yang bagustapi kotor, sampaike kakinya yang mengenakankasut kulit.

“Jayeng,  seharusnya tempatmu  di Kotaraja. Mengapa kau berada  di  daerah terpencil ini…..” Orang tua itutiba-tiba menegur dengan suara datar.

Jayengronotakbisa menjawab.


“Agaknya Kotaraja tidakbersahabatlagi denganmu, Jayeng?”

Karena Jayengrono hanya menunduk dan takbisa menjawab maka orang tua itukembali berkata “Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai Gajah Putih padaku!”

Kagetlah Panglima buronan ituhinggakepalanya tersentak mendongak.

“Guru…..apa maksudmu?” tanya Jayengrono.



“Kau tak perlubertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas. Aku meminta kau mengembalikankeris sakti itu!”

“Tapi, bukankahsudah guru berikandanwariskan padaku?”

“Betul,” sahut si orang tua. “Tapi dengan perjanjian. Bahwa kautidak boleh melanggar pantangan yang dulukusebutkan! Jangan kau mengatakantidakingat, atau lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari seribu satu alasanuntuk menyatakandirinya benar!”

Jaengronoterdiam. Tenggorakannya turun naik.

“Aku, akutelah melanggar pantangan guru,” berkataJayengronodengan suara bergetar. “Aku telah berzina … …”

“Kau bukan hanyaberzina Jayeng! Tapi bahkankau memperkosa! Dan orang yang kau perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibatpenderitaan dan kehancuran harga  diri yang tidak dapat  ditanggungnya  lagi! Mana  senjata itu?!”  Si  orang tua ulurkan  tangan kirinya.



“Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpahuntuk tidak melakukan hal itulagi … ..”

Orang tua itu tersenyum tawar. “Janji dan sumpahitu cukup hanya satu kali. Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpahlagi! Waktukutidak banyak. Aku mendapat  firasat  bahwa  daerah  sekitar  sini  akan jadi  medan  pertumpahan  darah. Serahkan KiyaiGajah Putih padaku! Atau haruskanaku mengambilnya sendiri……?”

“Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkahaku mengembalikannya nanti, setelah urusankuselesai. Paling lambat dalamwaktu tiga puluh hari … …”

Orang  tua  itu  gelengkan  kepala.  “Aku  minta  sekarang  dan  harus  dapat sekarang. Aku takingin segala dosadan kekejian melumuri senjata itulebih banyak!”

Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono berkata “Baiklah guru. Kalau begitukeputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan padamu…..” Lalu  degnan  sikap  setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan senjata itu dengan sikappenuhkhidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanandan kiri membuat gerakan lain dan secepat gerakan kilat!

Keris   Kiyai   Gajah   Putih  meluncur  keluar   dari   sarungnya.   Sinar  putih menyilaukan  berkiblat.  Ujung  senjata  itu  menghujam  ke  arah  dada  orang  tua berselempang kain putih.




BASTIAN TITO                                                                                                           37


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambukecil yang dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono. Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuahbatuberbentuk empat   persegi   panjang   berwarna   hitam.   Batu   ini   menghantam   tangan   kanan Jayengrono dengankerashingga Panglima buronan initerpekikkesakitan, lepaskan keris  sakti  di  tangannya.  Senjata  itu mental ke udara.  Orang  tua bepakaian putih melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu beradu,kedua benda itusaling bertempelan. Ketika bambu jatuh kebawah dankeris sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang masih berada ditanganJayengrono.

Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang amgin dahsyat sehinggabaik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih sama-sama roboh ke tanah!




BASTIAN TITO                                                                                                           38


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


SEBELAS


Sambil memegang Keris KiyaiGajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu cepat berdiritegak sementara Jayengrono bangkitagak sempoyongan.

Memandang  berkeliling  dua  orang  yang  tegak  di  puncak  bukit  tandus  itu dapatkantiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden Kertopati – Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemudaberpakaian serba kelabu.

Wiro Sableng melompat darikudanya, memungut batu hitam yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannyauntuk menghantam tangan Jayengrono.


Ketika  Wiro  menyelipkan  batu  hitam  itu  ke  balik  pinggangnya  orang  tua bepakaian putih di samping kirinyaterdengarberdehembeberapa kali

“Hemm…. Jadiitulahtadipukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah lama mendengar barusekali ini melihat dan merasakan…..!”

Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kagetsekaliketika melihat kenyataan orang tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda inihanyabisa menyeringai dan garuk-garukkepala. Untuk pertanyakan siapa orang tua itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak tepat.

“Raden  Mas  Jayengrono,  kami  datang  menjalankan  perintah  Sri  Baginda. Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!” Dari atas punggung kudanya Raden Kertopati mengeluarkan suara lantang.

Jayengrono tertawa dingin.

“Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hinggajauh- jauh datang turun tangan sendiri, bukan membawapasukan tapi mengajak gembel- gembelini!”

Yang  dimaksud  Jayengrono  dengan  gembel-gembel  itu  tentu  saja  Wiro Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi marah sekali dan siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak bertindak.

“Raden  Mas,  kau  memiliki  sederet  dosa  dan  kesalahan  yang  harus  kau pertanggung  jawabkan  di  hadapan  Sri  Baginda!”  berkata  Raden  Kertopati  tanpa mengacuhkanejekan orang.

“Coba  katakan  apa  dosa  dan  kesalahanku  itu!”  ujar  Jayengrono   seraya berkacak pinggang.


“Pertama,  kau  diketahui  selama  ini  terlibat  membantu  kaum pemberontak. Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Sigumpil dengan  maksud  merongrong  dan  menjatuhkan  Kerajaan…..  Kedua  kau  penyebab kematian Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua orang inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya. Masih banyak lagi sederet dosadan kesalahanmu yang kurasa tak perludisebutkan. Tapi ada satu kesalahan yang perlukuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala Srenggi melakukan  penghadangan  dengan  membuat  perangkap  lubang  maut  terhadapku! Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira muda……!”

Jayengrono merasa geram mendengarkata-kata yang dilontarkan Kertopati itu.



BASTIAN TITO                                                                                                           39


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

“Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut pautnya   dengan   diriku!   Aku   berada   di   sini   dalam   menjalankan   tugas   untuk menghancurkan    kaum    pemberontak!    Malah    dituduh    berhubungan    dengan pemberontak! Fitnah! Kau pandai memutar balikkan kenyataanKertopati! Jika Raden Ajeng memang mau mampus, ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengandiriku?! Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagifitnah!”

Orang  tua  berpakaian  putih  maju  dua  langkah.  Dengan  gerakan  kilat  dia merampas sarung keris Kiyaigaah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini berkata “Jayengrono, ada pepatah tangan mencencang bahu memikul. Ada jugaujar- ujarsiapa menggalilobang, diabakal masukke dalamnya. Lalu masihada  lagisiapa yang berbuat dosadan kesalahan, dia yang akan menanggung. Nah, di hadapan orang- orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!”

Habis berkata begitusi orang tua putartubuhnya dantinggalkan tempat itu.

“Guru!  Jangan  pergi  dulu…..!”  seru  Jayengrono.  Dalam  keadaan  terjepit seperti itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru melangkah terus dengantegar, menolehpuntidak!

Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas. Yang tertawa adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Gurumu sendiritidak perduli! Nah kepada siapakau minta tolong sekarang Panglima buronan?!”

“Gembel keparat! Kau juga seorang buronan daripenjara Kerajaan!” hardik Jayengrono.

Empat  sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang sebelah kanan  adalah  Titisan  Rahwono,  lalu yang  lain-lain  adalah  Perwira  Kesat, Perwira Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.


“Ada apa ribut-ribut di sini?  Siapa mereka?!” Titisan Rahwono membentak sambil memandangi orang-orang di hadapannya.

“Hemm…. Rupanya cakil satu iniikut bergabung denganmu Raden Mas … .. kata  Kertopati  yang  tetap  menyebut  bekas  atasannya  itu  dengan  panggilan  gelar kehormata. “Dia memang sejak lama dicariKerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua pentolan sesat bisaditangkap….!”

“Kalian  cecunguk-cecunguk  hendak  menangkap  kami?  Ladalah!”  Titisan Rahwono  tertawa  bergelak  sambil  usap-usap  dadanya  dengan  tangan  kiri  sedang tangan kanan mengusap kepala gada batu di pinggang. “Kalau bermimpi, bemimpilah yang enak-enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini!  Siapa yang menggotong bangkaikalian ke sana….?” Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara gelaknya  ditimpali  oleh  suara  gelak  yang  lebih  keras.  Demikian  kerasnya  hingga Titisan  Rahwono   dan  yang   lain-lainnya  meraskan  jalan  darah  mereka   seperti tersentak-sentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih dari separuhnya!

“Cakil berperutkembung ini memang lucu tampang dan lucubicara! Raden Kertopati, jika diananti kita tangkap sebaiknya dijadikan badutsajauntuk menghibur keluarga istana!”

“Bangsat rendah bermulut haram jadah!” teriak Titisan Rahwono lalu cabut gada batunya dari lilitan rotan di pinggang.

Jayengrono yang melihat kesempatan  segera berkata  “Kalian hadapi  antek- antekKerajaan ini! Aku mau tahu sampaidi mana besar mulut mereka!”

Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono pergunakan  kesempatan  untuk  berbalik  dan  lari  menuruni  lereng  bukit  ke  arah



BASTIAN TITO                                                                                                          40


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

pasukan yang menunggu. Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia menunggang kuda maka sesaat saja Kertopatiberhasil mengejar. Dari atas punggung kuda Kertopati melompati bekas atasannya ituhinggakeduanyajatuh bergulingandi sepanjanglereng bukit. Perkelahian antara merekatak dapat dihindarilagi. Dari arah bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbuke atas.

Di  atas  bukit  kini  tinggal  Pendekar  212  Wiro  Sableng  dan  Ni  Luh  Tua Klungkung berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira.


Tiga  Perwira  yang  membelot  itu  sebelumnya  sudah  mengetahui  kehebatan Pendekar  212  Wiro  Sableng.  Karenanya  mereka  biarkan  saja  Titisan  Rahwono menghadapipendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik mengeroyok pemudabajukelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan! Tapi  ketiganya  segera  kena  batu.  Begitu  mereka  bergerak  menyerbu,  pemuda berpakaian kelabuitu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak tangan dirapatkan,jaridisusundandinaikkan menyentuh kening. Ketika keduatangan itu  dipecah  dan  dihantamkan  ke bawah,  tiga  Perwira  yang menyerang  merasakan sepertiditarik ke kiri dan ke kanan.


 Ketiganya terbanting ke tanah. Satu tak bangun lagi,   dua   tegak   dengan   sempoyongan.   Satu   di   antaranya   merasakan   dadanya mendenyut   sakit   tapi   bersama   kawannya   berlaku   nekad   menyerbu   kembali. Perkelahian  dua  lawan  satu berlangsung  hanya  dua jurus.  Memasuki jurus  ketiga salah  satu  dari  mereka  mencelat  dimakan  tendangan  kaki  kanan  Ni  Luh  Tua Klungkung. Kawannya  segera cabut  sebilah golok pendek. Dengan  senjata ini dia menyerbu pemuda berbajukelabuitu. Setelah menggempur habis-habisanselama tiga jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama jotosan tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar semburkan darah segar dan tak bangkit lagi!




BASTIAN TITO                                                                                                          41


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


DUA BELAS


Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki kegesitan luarbiasa. Tubuhnyaberkelebat cepat kian kemari. Gada batunya menderu- derupulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapasebenarnya.


Setelah  menggempur  lima  jurus  terus  menerus  tanpa  mampu  menyentuh apalagi merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekikaneh. Gerakan ilmu silatnya  tiba-tiba  berubah.  Dan  satu  hal  yang  luar  biasa  terjadi.  Wiro  melihat lawannya itu berubah bentuk. Kepalanya jadidua dan tangannya jadi empat!

“Gila! Ilmu iblis apa ini!” memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki begitu empattangan melabrak kearah tubuhnya. Dua merupakan pukulangada hitam, dualagicengkeraman ganas!

“Edan!”  teriak  murid  Sinto  Gendeng  dan  ceapt  melompat  mundur  seraya hantamkan tangna kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh luar  biasa!  Pukulan  sakti  yang  disertai  aliran  tenaga  dalam  tinggi  itu  seperti menembus dindingangin, sama sekalitidak berbekas dan lewat begitusajaditubuh lawan!

“Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!” desis Wiro geram. “Aku mau lihat apakah dia mampu menghadapi ini!” Lalu Wiro keluarkanKapak Naga Geni 212 dan batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagilawan merangsak coba menghampirinya,  Wiro  gosokkan  batu  hitam  ke  mata  kapak  sambil  mulutnya merapal mantera.

Buuuuusssss!

Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam.

Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua kini  kembali  satu.  Tangannya  yang  tadi terlihat  empat  kini  kembali  dua.  Sekujur wajah dantubuhnya tampakhangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan bergulingan  di tanah.  Tubuh tak bernyawa  itu baru berhenti ketika terganjal  oleh semakbelukarpendek dilereng bukit.

Pendekar  212  Wiro  Sableng  balikkan  tubuh  ketika  mendengar  suara  riuh ratusan perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian menghadapi Jayengrono.



Sebagai  Panglima  Balatentara  Kerajaan  tentu  saja  Jayengrono  memiliki kepandaian silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati. Karenanya  setelah  bertahan  lebih  dari  dua  puluh  jurus,  pukulan-pukulan  tangna kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak matang biru  dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya  seperti melesak  disambar  ujung  kaki  lawan.  Ketika  sekali  lagi  satu jotosan  mendarat  di lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak riuh rendah.

“Cincang  Kepala  Pasukan  itu!”  teriak  Jayengrono.  Maka  laksana  air  bah ratusan perajurit melompat ke  depan  dengan berbagai  senjata.  Mulai  dari tombak sampai pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya tidak tertolong lagi!

Dari atas bukit duasosok tubuhlari laksanaterbang.




BASTIAN TITO                                                                                                          42


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Yag di  sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan  seluruh tenaga dalamnya.

“Tahan! Siapa berani mendekatiKepala Pasukan itu berarti minta mampus!”

Meski   mendengar   jelas   peringatan   itu,   namun   ratusan   perajurit   yang berpikiran   dangkal   itu   mana   mau   mengerti.   Mereka   tetap   menyerbu   untuk mencincanglumat tubuh Raden Kertopati.

Wiro garuk kepalanya.


“Tak ada jalan lain sahabat!” bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat itu   tangan   kanan   Wiro   sudah   berubah   menjadi   putih   keperak-perakan   dan membersitkan sinarberkilauan penuhangker. “Hantam!”

Maka  Pendekar  212  Wiro  Sableng  hantamkan  tangan  kanannya  ke  arah kelompok perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Jayengrono. “Lekas menghindar!”

Tapi  terlambat.  Sinar  putih  menyilaukan  disertai  hawa  panas  luar  biasa berkiblat  seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad  akan mencincang Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua belaslainnya tergelimpang pngsang degnan tubuh penuh luka bakar! Jerit dan erangan bercampur jadi satu dengan debutanah bukit yang beterbangankeudara.

Ketika  debu  turun  perlahan-lahan  suasana  di  lereng  bukit  itu  sehening  di pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.

“Panglima keparat! Kau mau larike mana?!” terdengarteriakan Ni Luh Tua Klungkung.

“Kejar dia! Jangan sampai lolos!” terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.


Wiro  bertindak  cepat  ketika  dilihatnya  Jayengrono  melarikan  diri  ke  arah rimba belantara dilereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki ilmu  lari  sehebat  yang  dipunyai  Wiro  Sableng,  tapi  karena jarak mereka  saat  itu terpisahjauh bekas Panglima  itu berhasil mencapai hutan  dan menyelinap  lenyap ketika Wiro baru sampaiditepi hutan.

“Sialan! Kemanapun kaulariakan kukejar!” kertak Wiro.

Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga.

Memang  ketajaman  pendengaran  satu-satunya  yang  sangat  membantu  di  daerah seperti inidi mana mata sulit tembus memandang. Setelah laridan memasukirimba belantara  cukup lama  dan   masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono melarikandiri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohondan memperhatikan keadaan   di  bawahnya.   Tak   ada   gerakan,  tak  terdengar   apa-apa.   Tak  tampak Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon lainnya sampai akhirnyatelinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya. Memandang kebawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas cabang pohon yang sama, dua cabangdi sebelah bawah. Jayengrono memandang berkeliling. Dia merasa lega  karena  tak  terlihat  tanda-tanda  pengejarnya  berada   di   sekitar   situ.   Lalu memutuskan untuk mendekam terus  di  cabang pohon. Dia  sama  sekali tidak tahu kalau Wiro sudahadadi atasnya.


“Manusia  satu ini pantas dimandikan dulu  sebelum kutangkap!” kata Wiro dalam hati. Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah.  Sesaat kemudian mengucurlahcairan putih kekuningan,jatuh kebawahdan mendaratdi atas kepala Jayengrono.

Tentu sajakagetnya Jayengrono bukankepalang ketika merasa ada air hangat danagak bau mengucur membasahikepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, laludia



BASTIAN TITO                                                                                                          43


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

mendongak.  Justru  ini  membuat  air  mancur  itu  menghantam  mukanya!  Sebagian menyiram matanya, sebagian lagiada yang masukke dalam mulutnya!

“Setan!” runtuk Jayengrono ketika melihatsosok tubuh yang adaduacabang di atasnya. Dia menghantam dengan pukulan  tangan kosong. Dua cabangdi sebelah atas patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar kearah Wiro.

Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali celananya diabalas menghantam kebawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh. Hutan itusepertidilandapunting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono berada  bergoyang-goyang  seolah-olah  hendak  tercabut  dari  akarnya.  Ranting  dan daun-daun gugur meranggas.


Jayengrono  merasakan  tekanan  hebat.  Bukan  saja  karena  pukulan  yang dilepaskan   Wiro   tapi   karena   angin   pukulannya   tadi   ikut   terseret   dan   balik menghantam dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan padabatang pohon. Tapi  meleset  kaena  batang  pohon  itu  licin  tertutup  lumut.  Tak  ampun  tubuhnya mental kebawahbersama patahan cabang yang tadi didudukinya. Dia coba andalkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinyadan jungkir balik diudara agar dapat turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang datang dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannyatidak karuan. Dia sampaiditanah dengan kepala lebih dahulu.

Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepalapecahdan leher patah. Wir garuk kepala, melompat  dan turun ke bawah  lewat patahan  cabang-cabang pohon. Kembali diagaruk-garukkepalaketika melihat mayat Jayengrono.

Seseorang  menyeruak  pohon  berdaun  lebar  di  belakangnya.  Wiro  cepat berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.

“Mampus  juga   akhirnya!”   kata   Wiro   sambil   menunjuk   ke   arah   mayat Jayengrono.

Gadis   yang   menyamar  jadi   pemuda   itu   sesaat   memandang   ke   mayat Jayengrono, ketika diaberpaling kearah Wiro, tiba-tibasaja dia membalikkantubuh.

“Eh, kenapakau……sahabat?!” tanya Wiro heran.

“Orang gila!”

“Gila! Siapa yang gila?” Wiro terheran-heran.

“Rapikandulucelanamu!” teriak sang dara.

Wiro   memandang   ke   bawah.   Astaga!   Ternyata   sehabis   mengencingi Jayengrono dari atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat- cepat pemuda initarik celana putihnyake atas sambil menyengir!


Ruangan besar tempat pertemuan  dalam istana  itu penuh  sesak  oleh  orang banyak yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh  Sri Baginda. Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212 Wiro Sableng bersama  sahabatnya  Ni  Luh  Tua  Klungkung.  Mereka  sengaja  mengambil  tempat duduk agak sebelah belakang.

Patih  Haryo  Unggul  baru  saja  selesai  membacakan  keputusan  raja  atas pengangkatan Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk itu gelarnyapundirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.

Selesai  pembacaan  pengumuman  pengangkatan  Kertopati  menjadi  Kepala Pasukan Kerajaan yang baru itu maka Kertopatinaikke mimbar untuk membacakan pulakeputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.

Dalam surat keputusan itudisebutkan bahwasesuaidegnan jasa-jasanya yang sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 Wiro Sableng diangkat menjadi



BASTIAN TITO                                                                                                          44


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Kepala  Pasukan  Kotaraja  sedang  pemuda  sahabatnya  yang  sampai  hari  ini  tida diketahui pastisiapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap pembantu khususKepala Pasukan Kerajaan.

“Untuk  itu  kami  harapkan  kedua  tokoh  Kerajaan  yang  baru  itu  naik  ke mimbar!” begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.


Semua  orang  berpaling  ke  deretan  kursi  sebelah  belakang  di  mana  Wiro Sableng  dan  sahabatnya  itu tadi tampak  duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua orang  itu  tak  lagi  di  sana.  Beberapa  orang  mengejar ke  luar ruangan,  sampai  ke langkandan halaman istana. Tapi dua pemuda ituraibtanpa seorangpun tahu ke mana perginya!



                                         TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive