Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 30 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - GUNA GUNA TOMBAK API



https://matjenuh-channel.blogspot.com


HARI itu tanggal tiga bulan ke lima. Sebuah bukit yang 
selama bertahun-tahun su
nyi senyap, terletak di 
antara kaki Gunung Merapi dan Gunung Raung kini 
banyak didatangi oleh orang-orang yang muncul dari 
berbagai penjuru. Melihat gerak-gerik orang-orang itu dan 
memperhatikan cara mereka berlari menuju puncak bukit, 
dapatlah diduga bahwa orang-orang itu, siapapun mereka 
adanya, adalah orang-orang dari dunia persilatan. 
Ada kepentingan apakah orang-orang persilatan 
berdatangan di puncak bukit itu? Ternyata hal ini ada 
kaitannya dengan rencana peresmian dan pengenalan 
sebuah partai persilatan baru yang diberi nama Partai 
Bintang Blambangan. Partai silat ini diketuai oleh Gandring 
Wikoro, seorang kakek berusia 70 tahun. Lebih dari 
separuh masa hidupnya telah dihabiskan dengan 
pengabdian pada Keraton Sala. Di usia menjelang 
menutup mata, Gandring Wikoro yang tidak bisa 
melupakan masa muda dan asal-usulnya, setelah 
berunding dengan anak-istri serta para sahabat, akhirnya 
memutuskan untuk membentuk sebuah partai silat. Konon 
Gandring Wikoro memiliki darah keturunan ketiga dari Raja 
Blambangan. Semula dia hanya bermaksud mendirikan 
sebuah perguruan silat. Namun atas dorongan anak-anak 
dan sahabat-sahabatnya, dan mengingat nama 
Blambangan adalah satu nama besar di masa silam, maka 
disetujui merubah perguruan menjadi sebuah partai. 
Selama pengabdiannya di Keraton Sala, Gandring 
Wikoro dikenal dengan gelar kehormatan “Raja Panah 
Delapan Penjuru Angin.” Memang selain memiliki ilmu silat 

tangan kosong yang tinggi serta andal dalam ilmu golok, 
Gandring Wikoro juga menguasai ilmu panah secara luar 
biasa. Demikian hebatnya ilmu kepandaiannya, dia 
sanggup membidikkan tiga panah sekaligus pada tiga 
sasaran yang berlainan. Dia juga mampu membidik burung 
yang terbang di udara dengan mata tertutup! Dan kabarnya 
dia telah pula menciptakan beberapa jurus ilmu silat di 
mana orang yang memainkannya memegang busur di 
tangan kiri dan anak panah di tangan kanan. Busur dipakai 
sebagai pelindung, tidak beda dengan tameng sedang 
anak panah dijadikan senjata seperti golok atau pedang. 
Siapa saja yang sudah menguasai ilmu silat Panah dan 
Busur itu, lima orang bersenjata tidak akan mampu 
merobohkannya! 
Memandang kepada nama besar Gandring Wikoro 
itulah maka banyak tokoh silat yang punya nama besar 
tidak segan-segan datang ke puncak bukit tempat akan 
diresmikannya Partai Bintang Blambangan itu. 
Di puncak bukit yang sejuk itu dibangun sebuah 
panggung setinggi satu tombak dan luas sepuluh kali lima 
belas tombak. Di belakang panggung ini terdapat sebuah 
panggung lagi yang agak lebih tinggi. Di sini duduklah Raja 
Panah Delapan Penjuru Angin didampingi oleh istrinya, 
seorang perempuan ramping berambut putih. Di sebelah 
sang istri duduk seorang pemuda berbadan tegap berparas 
gagah. Pemuda ini bernama Bimo Argomulyo, putera dan 
anak tunggal pasangan suami-istri Gandring Wikoro. 
Menurut orang-orang yang tahu, di usianya yang baru 26 
tahun Bimo Argomulyo kabarnya sudah mewarisi seluruh 
kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang dimiliki ayahnya, 
kecuali ilmu silat Panah dan Busur. 
Di samping Bimo Argomulyo tampak duduk seorang 
pemuda berbadan tinggi semampai berkulit putih yang 
adalah keponakan Gandring Wikoro atau sepupu Bimo 
bernama Sarwo Bayu. Sejak masih kecil, yakni sejak kedua 
orang tuanya meninggal, Sarwo Bayu dipelihara oleh 
Gandring Wikoro. Karenanya sudah dianggap sebagai anak 

sendiri. Dalam hal umur Sarwo satu tahun lebih muda dari 
Bimo Argomulyo. 
Dalam pelajaran ilmu silat boleh dikatakan Gandring 
Wikoro tidak membeda-bedakan anak dan keponakannya. 
Keduanya diberi pelajaran ilmu yang sama. Dalam ilmu 
silat tangan kosong ternyata Bimo lebih cepat dan lebih 
banyak menguasai. Sebaliknya dalam ilmu silat Panah dan 
Busur, ternyata sang keponakan lebih menguasai dari 
anaknya sendiri. 
Di belakang deretan kursi keluarga ketua partai, duduk 
dengan rapi dan gagah 30 orang anggota partai yang terdiri 
dari anak-anak muda rata-rata berbadan tegap. Memang 
Gandring Wikoro sengaja mengambil anggota partai dari 
murid-muridnya sendiri, orang-orang yang masih muda dan 
bersih, belum tercemar segala macam keburukan dunia. 
Dia berharap dari orang-orang muda yang bersih dan 
berjiwa satria itulah kelak Partai Bintang Blambangan bisa 
berkembang menjadi partai besar, sebesar dan seharum 
Kerajaan Blambangan di masa lampau. 
Di depan panggung besar berderet-deret kursi yang 
diduduki oleh para tetamu. Masing-masing deretan diseling 
oleh sebuah meja panjang. Di atas meja ini terletak 
berbagai macam minuman dan makanan yang lezat-lezat. 
Di antara para tamu yang hadir, kelihatan seorang gadis 
berparas cantik, berambut panjang sebahu. Dia 
mengenakan pakaian berbunga-bunga warna-warni dan 
duduk di deretan kursi ke tiga. Sejak tadi keluarga Ketua 
Partai telah melihat gadis ini dan masing-masing bertanyatanya siapa gerangan adanya si jelita ini. 
Di antara para tetamupun banyak yang mengagumi 
kecantikannya. Mereka juga menduga-duga siapa dara ini 
yang tampaknya datang sendirian ke tempat itu. 
Selesai para tamu mencicipi hidangan, Gandring Wikoro 
berdiri dari kursinya untuk memberikan kata-kata 
sambutan disertai penjelasan asal muasalnya Partai 
Bintang Blambangan didirikan. Sekadar basa-basi, tak lupa 
Gandring Wikoro mengajak para tetamu yang bersedia, 

bergabung dalam partainya. 
Setelah beberapa tokoh silat yang diundang turut 
memberikan sambutan, termasuk seorang utusan Keraton 
Sala, maka para tamu kembali dipersilahkan mencicipi 
hidangan. Kini makanan yang lezat-lezat itu ditambah pula 
dengan sepuluh nampan nasi tumpeng. Sambil bersantap 
para tetamu disuguhi pertunjukan silat oleh anggota atau 
murid partai. 
Selesai pertunjukan itu, di antara sorak-sorai dan tepuk 
tangan, terdengar seseorang berseru agar ketua partai 
memperlihatkan kebolehannya barang sejurus dua jurus. 
Karena tak bisa mengelak, dan sesuai dengan adat-istiadat 
dunia persilatan, maka Gandring Wikoro berdiri kembali, 
menjura beberapa kali lalu berkata, “Sebagai tuan rumah 
aku wajib memenuhi permintaan para sahabat sekalian. 
Namun harap jangan ditertawakan kalau aku hanya akan 
memperlihatkan ketololan belaka!” 
Ketua Partai baru itu mengangkat tangan kirinya ke 
atas. Melihat tanda ini, seorang anak murid partai segera 
maju membawa sebuah busur dan kantong panjang 
terbuat dari kulit kerbau kering, berisi selusin anak panah. 
Gandring Wikoro menjura sekali lagi di hadapan para 
tetamu. Lalu orang tua yang memiliki tubuh sangat lentur 
ini melompat ke kiri. Begitu kakinya menginjak lantai 
panggung kembali, entah kapan dia melakukannya, 
kantong anak panah tahu-tahu sudah tersandang di bahu 
kanannya. Dengan sikap gagah dia cabut sebatang anak 
panah sementara busur di pegang di tangan kiri. Lalu 
mulailah orang tua ini menunjukkan kebolehannya, 
mainkan jurus-jurus ilmu silat ciptaannya. Busur di tangan 
kiri diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu. 
Hiasan janur yang tergantung tiga tombak di atas 
panggung tambah bergoyang-goyang. Di bawah panggung, 
para tetamu yang duduk di deretan kursi ke satu sampai ke 
tiga ikut merasakan bagaimana kerasnya sambaran angin 
yang menerpa keluar dari busur itu. Sementara busur 
diputar terus, tangan kanan Gandring Wikoro tidak tingga

diam, membuat gerakan-gerakan menusuk, membabat dan 
membacok. Anak panah sepanjang tiga jengkal itu seolaholah lenyap dari pemandangan. Yang tampak hanya 
bayang-bayangan lurus disertai suara menderu. Para 
hadirin bertepuk tangan menyatakan kekaguman. 
Di atas panggung, Ketua Partai Blambangan itu 
membuat gerakan berputar, sengaja membelakangi 
deretan para tetamu. Di tangan kanannya kini terlihat ada 
tiga anak panah. Suasana mendadak sontak menjadi sunyi 
senyap. Semua orang memandang tak berkesip, apa yang 
akan mereka saksikan, apa yang akan dilakukan oleh 
Gandring Wikoro. Tiba-tiba orang tua ini balikkan tubuhnya. 
Bersamaan dengan itu busur ditarik. Des... des... des! Tiga 
anak panah melesat ke bawah panggung secara 
bersamaan. Yang paling kanan menancap pada sosok 
ayam panggang yang terletak dekat nasi tumpeng pada 
meja paling depan. Anak panah kedua menancap pada 
sebutir buah kelapa yang juga berada di meja terdepan. 
Sedang anak panah ke tiga menancap tepat pada belahan 
buah nangka yang ada di atas meja deretan kedua! 
Terdengar suara menggemuruh tepuk tangan, suitan 
dan pujian kagum para hadirin. Ketua Partai Bintang 
Blambangan menjura berulang kali. 
“Maafkan atas semua ketololanku!” Lalu dia berbalik 
dan melangkah ke arah kursinya. 
Baru menindak dua langkah tiba-tiba terdengar suara 
tawa bergelak, disusul seruan keras, “Orang tolol bernama 
Gandring Wikoro! Sebelas tahun mencarimu, akhirnya 
ketemu juga! Hari ini kau meresmikan partaimu! Hari ini 
pula hari kematianmu!” 

BAB 2

SEMUA orang yang ada di atas dan di bawah panggung 
sama terkejut mendengar seruan itu, terlebih lagi 
Gandring Wikoro selaku Ketua Partai Bintang 
Blambangan yang baru saja diresmikan. Ketika satu 
bayangan berkelebat ke atas panggung, semua mata serta 
merta tertuju padanya. 
Paras sang ketua tampak berubah ketika dia melihat 
siapa adanya orang yang tegak beberapa langkah di 
depannya. Orang ini adalah seorang kakek-kakek berkulit 
hitam legam, mengenakan pakaian rombeng dekil dan bau. 
Wajahnya cekung dan rambutnya kotor awut-awutan. 
Sepasang mata Gandring Wikoro sesaat 
memperhatikan kedua tangan orang di hadapannya yang 
berwarna kebiru-biruan. “Dulu tangan itu biasa saja. Tidak 
berwarna biru seperti itu...” berkata Gandring Wikoro dalam 
hati. Lalu dia membuka mulut menegur seramah mungkin, 
“Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng! Kau rupanya! Aku 
turut bergembira kau datang kemari menghadiri peresmian 
partaiku! Harap dimaafkan kalau penyambutan kami 
kurang memuaskan hatimu!” 
Orang banyak jadi terkejut ketika mendengar nama dan 
alias yang diucapkan Gandring Wikoro. Sekitar tiga puluh 
tahun yang lalu nama dan alias itu merupakan satu momok 
yang menakutkan. Jangankan melihat orangnya, 
mendengar namanya sajapun orang sudah pada 
mengkerut. Pada waktu itu Suto Rawit menjadi raja diraja 
rampok yang malang melintang antara perbatasan Jawa 
Tengah dan Jawa Timur. Bahkan anak buahnya tersebar 
sampai ke Pulau Madura. Beberapa kali para penguasa 

mengirimkan pasukan untuk menggerebek dan 
menghancurkannya, namun dia selalu berhasil lolos 
bahkan tak jarang pasukan yang datang menumpas tak 
pernah kembali lagi, hancur ditumpas habis oleh Warok 
Gajah Ireng. 
Ketika bergundal rampok itu berkomplot dengan 
beberapa adipati dengan rencana merebut tahta Kerajaan 
Sala, Sultan tak mau bertindak ayal lagi. Raja Panah 
Delapan Penjuru Angin dikirim ke sarang Warok Gajah 
Ireng. Setelah dikepung selama tiga hari tiga malam 
akhirnya Suto Rawit mengirim utusan untuk berunding. 
Gandring Wikoro tidak bodoh. Dia tahu bahwa permintaan 
berunding itu adalah tipu muslihat belaka. Maka dia 
mengatakan bersedia melakukan perundingan asalkan dia 
yang menentukan tempat dan saatnya serta hanya mereka 
berdua saja yang boleh hadir. 
Pertemuan kemudian diadakan di sebuah lembah. 
Pada kedua bibir lembah, balatentara kerajaan dan 
pasukan rampok menunggu hasil perundingan itu. Ternyata 
Suto Rawit memang berlaku curang. Diam-diam dia sudah 
mengirimkan ke lembah dua orang tangan kanannya dan 
seorang tokoh silat golongan hitam yang berhasil 
ditariknya. Begitu Gandring Wikoro muncul mereka 
langsung menyerbu! 
Sebagai seorang yang penuh pengalaman Gandring 
Wikoro dengan segala kewaspadaan dan kesigapan yang 
ada segera mencabut anak panah dan merentang busur. 
Dua orang tangan kanan Suto Rawit langsung menemui 
ajal ditancapi dua anak panah. Meskipun kemudian dia 
hanya menghadapi Suto Rawit dan tokoh silat golongan 
hitam itu, namun tidak mudah bagi Raja Panah Delapan 
Penjuru Angin untuk menghadapi mereka. Perkelahian dua 
lawan satu itu berlangsung di dasar lembah yang gelap, 
sama sekali tidak diketahui oleh pasukan kedua belah 
pihak. 
Dalam keadaan tubuh luka-luka cukup parah, Gandring 
Wikoro berhasil merobohkan si tokoh golongan hitam dan menotok Suto Rawit. Sebelum ditangkap dan dibawa ke 
kotaraja Suto Rawit masih sempat membujuk Gandring 
Wikoro dengan imbalan separuh dari seluruh harta 
kekayaan yang dimilikinya asal dirinya dilepaskan. 
Gandring Wikoro saat itu tersenyum lalu lepaskan totokan 
di tubuh sang raja rampok. Menyangka Gandring Wikoro 
menyetujui bujukannya maka kesempatan ini tidak disiasiakan Suto Rawit. Secepat kilat dia lari meninggalkan 
dasar lembah. Namun baru lari sejauh sepuluh tombak, 
dua anak panah melesat dalam kegelapan malam dan 
menancap di betisnya kiri kanan! Suto Rawit terpekik. 
Tubuhnya terguling roboh. Pasukan kerajaan kemudian 
datang menangkapnya. 
Suto dibawa ke kotaraja. Seharusnya orang ini langsung 
dihukum mati. Tapi entah mengapa dia hanya dijatuhkan 
hukuman penjara selama sepuluh tahun. Dan kini tahutahu dia sudah muncul di tempat itu dengan sepasang 
tangan berwarna kebiruan, tanda dia memiliki satu ilmu 
baru. 
Kakek berbaju rombeng sesaat angguk-anggukkan 
kepalanya lalu kembali perdengarkan suara tawa 
bekakakan. 
“Bagus! Kau tidak lupakan diriku,” katanya. “Kau 
gembira melihatku, namun sebentar lagi akan terjadi 
kesedihan di tempat ini...” 
“Apa maksudmu Suto Rawit?” tanya Gandring Wikoro. 
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Selama lima tahun 
pertama mendekam dalam penjara aku mengalami 
kelumpuhan akibat dua anak panah yang kau tancapkan 
pada kedua betisku...” 
“Ah... Kalau itu yang jadi persoalan ketahuilah bahwa 
saat itu aku menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan. 
Sekarang kau sudah bebas, mengapa masih menyimpan 
dendam kesumat?” ujar Gandring Wikoro pula. 
Suto Rawit alias Warok Gajah Ireng meludah ke lantai 
panggung. “Dendam kesumat bukan dendam kesumat 
namanya kalau tidak dibalaskan! Kau dengar kata-kataku 

itu Gandring?!” 
“Suto Rawit. Segala persoalan masa lalu sudah kukubur 
dalam-dalam. Kita sudah pada tua bangka seperti ini, 
mengapa masih meributkan masa lalu...?” 
“Kau bisa mengatakan begitu, karena kau tidak 
merasakan siksaan sepuluh tahun dalam penjara! Kau 
tolol karena tidak membunuhku saat itu!” 
“Kalau kau memang hendak membicarakan urusan 
masa lampau itu, boleh-boleh saja Suto. Namun saat ini 
biar kau kupersilakan makan dan minum dulu, biarkan 
para tamuku pulang, setelah itu baru kita bicara!” 
“Waktuku tidak lama. Aku membutuhkan hampir 
sebelas tahun untuk mencari jejakmu! Dan tak perlu 
menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Biar mereka 
menyaksikan sendiri ganasnya pembalasan yang akan aku 
lakukan...” 
Tiba-tiba Bimo Argomulyo putera tunggal Ketua Partai 
Bintang Blambangan bangkit dari kursinya dan melangkah 
ke tengah panggung. “Ayah, jika kau ingin aku 
melemparkan kakek budukan ini ke kaki bukit, aku akan 
melakukannya sebelum mulutnya yang bau menceloteh 
terlalu banyak...” 
“Anak muda!” sentak Suto Rawit dengan muka hitam 
membesi. “Katakan siapa kau ini!?” 
“Aku Bimo Argomulyo, putera Ketua Partai Bintang 
Blambangan!” 
“Ooo, begitu...? Kau ternyata seorang anak yang berani. 
Tidak sepengecut ayahnya!” ujar Suto Rawit lalu untuk ke 
sekian kalinya dia tertawa gelak-gelak. 
“Bimo... Kembali ke tempatmu. Biar aku yang 
menyelesaikan urusan dengan orang gila ini...” kata 
Gandring Wikoro pada anak laki-lakinya itu. 
“Orang gila... Kau menyebutku orang gila! Apa kau tahu 
kalau di neraka ada ribuan orang gila yang sedang bersiapsiap menunggu kedatangan roh busukmu...? Ha... Ha... 
Ha...!” 
Merah padam wajah Gandring Wikoro. Ketika kakek

berbaju rombeng itu melompat menyerangnya, maka 
diapun tak tinggal diam, balas menghantam. Akibatnya dua 
tangan saling beradu keras. Suto Rawit alias Warok Gajah 
Ireng terhuyung-huyung tiga langkah. Wajahnya biasa-biasa 
saja. Sebaliknya Ketua Partai Bintang Blambangan 
terpental satu tombak lalu jatuh terduduk. Mukanya 
mengerenyit kemerahan. Ketika dia mencoba bangkit 
kelihatan lengannya yang tadi beradu dengan lengan lawan 
menjadi biru. 
Satu bayangan melesat ke atas panggung. “Ketua, kau 
keracunan! Lekas telan obat ini!” kata orang yang barusan 
melompat ke atas panggung. Lalu sang ketua merasakan 
sebuah benda dimasukkan ke dalam genggamannya. 
Ketika melihat siapa yang memberi dan menyadari 
memang ada kelainan dengan lengan serta aliran darah 
dan detak jantungnya, Gandring Wikoro cepat telan obat 
yang diberikan lalu atur jalan darahnya. 

BAB 3

ORANG yang memberikan obat kepada Ketua Partai 
Bintang Blambangan ternyata memiliki kulit yang tak 
kalah hitamnya dengan Warok Gajah Ireng alias Suto 
Rawit. Dia mengenakan baju 
putih yang terbuat dari kain 
sangat kasar dan gombrang dua kali melebihi besar 
tubuhnya. Di punggungnya dia menyandang sebuah tabung 
bambu yang memiliki dua buah tutup tanda tabung itu 
mempunyai dua ruangan. Ruangan pertama dari mana tadi 
dia mengeluarkan obat adalah Tabung Segala Macam 
Obat. Sedang bagian tabung yang satunya disebut Tabung 
Segala Macam Racun! Siapakah adanya manusia berbaju 
gombrang yang telah menolong Ketua Partai Bintang 
Blambangan itu? 
Dalam kalangan Keraton Sala dia dikenal sebagai juru 
obat. Dengan bekal puluhan butir obat yang selalu 
dibawanya ke mana-mana, dia sanggup menyembuhkan 
berbagai macam penyakit. Namun orang ini sekaligus juga 
dikenal sebagai tukang racun. Manusia atau binatang 
kalau sempat termakan racunnya, jangan harap bisa hidup 
dari seratus hitungan. Jangan pula diharap ada yang bakal 
bisa menyembuhkan kecuali dia. Dan racun-racun ganas 
itu selalu dibawanya ke mana-mana dalam tabung bambu 
di sebelah tempat dia menyimpan butir-butir obat! 
“Jembar Keling!” Suto Rawit yang rupanya mengenali 
siapa adanya orang itu menyebut namanya dengan suara 
keras. “Sebagai tetamu, lancang amat kau mencampuri 
urusanku dengan tuan rumah...” 
Si baju gombrang yang bernama Jembar Keling cibirkan 
bibir dan menyahuti, “Aku masih bisa bangga karena 

merupakan tamu yang diundang. Kau sendiri muncul di sini 
siapa yang mengundang? Jin gunung atau setan hutan? 
Sudah muncul jangan kira semua orang di sini senang 
melihat tampangmu! Sepuluh tahun dijebloskan dalam 
penjara rupanya tidak membuatmu kapok! Lekas turun dari 
panggung. Jangan ganggu sahabatku. Minggat dari tempat 
ini. Atau kau mau kusuguhi racun...?!” 
“Mulutmu pandai juga bicara! Tapi cukup cuma sampai 
hari ini! Selanjutnya kau bisa menyambung bicara di liang 
kubur!” Habis berkata begitu Warok Gajah Ireng langsung 
menyerang Jembar Keling. Dua manusia hitam itupun 
saling baku hantam. 
“Kau menyerang, aku bertahan!” si hitam yang diserang 
berseru. Kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu dua 
tangan itu menyembul keluar dari lengan baju yang 
gombrong kelihatanlah kuku-kuku jarinya yang hitam dan 
panjang runcing! 
Suto Rawit terkesiap juga melihat keangkeran sepuluh 
jari tangan lawan. Dia sudah tahu betul kehebatan dan 
keganasan kuku-kuku maut itu. Namun penuh percaya diri 
dia teruskan serangannya. Dirinya sepuluh tahun silam 
tidak sama dengan yang sekarang. Ketika lawan membuat 
gerakan mencakar ke arah kedua tangannya, Suto Rawit 
sengaja pentang lengannya kiri kanan yang berwarna biru. 
Sepuluh kuku hitam beracun menyambar. Tapi kuku-kuku 
itu seperti mencakar di atas batu yang sangat licin. 
Jangankan bisa mencengkeram, mengguratnya sajapun 
tidak mampu! 
Penasaran dan tidak percaya, Jembar Keling kembali 
mencengkeram sambil kerahkan tenaga dalam. Tapi saat 
itu lawannya tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan 
satu gerakan aneh Suto Rawit menghantam. 
Bukkk! 
Tubuh Jembar Keling terlipat ketika jotosan Suto Rawit 
mendarat di perutnya. Bagian perut itu langsung menjadi 
biru tanda racun di lengan lawan sudah mendekam di 
tubuhnya. Tapi Jembar Keling tidak merasa khawatr. Obat penawar yang memang sudah disiapkannya segera 
ditelannya. Tiga butir sekaligus! 
“Racunku tak bakal membuat mampus bangsat satu 
ini!” memaki Suto Rawit. “Berarti kepalanya harus 
kupecahkan atau kubetot lepas jantungnya!” Setelah 
membatin begitu, Suto Rawit keluarkan satu pekik keras 
yang membuat sakit telinga. Tubuhnya berkelebat lenyap 
berubah jadi bayang-bayang. Bau badan dan pakaiannya 
yang busuk menyebar di seantero panggung. Jembar Keling 
berkelebat kian kemari. Tangan kanannya menyambar di 
sebelah depan menyebar serangan, sedang tangan kiri 
menyambar di belakang tangan kanan sebagai tameng jika 
sewaktu-waktu ada serangan lawan yang masuk. 
Dua manusia sama-sama hitam ini berkelahi ganas dan 
mati-matian. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Pada 
jurus ke sembilan, Suto Rawit kembali membuat gerakan 
aneh. Tubuhnya seperti mengapung ke atas. Bagian perut 
dan dadanya sama sekali tidak terlindung. Kesempatan ini 
dipergunakan oleh Jembar Keling untuk menyerbu sasaran 
yang terbuka itu. 
“Jebol perutmu! Ambrol ususmu!” teriak Jembar Keling. 
Praakk! 
Suara Jembar Keling tak terdengar lagi. Tanpa jeritan 
ataupun erangan, tubuhnya terbanting ke lantai panggung. 
Kepalanya rengkah. Darah dan cairan otak menggenangi 
lantai. Si hitam satu ini telah berubah menjadi mayat 
membiru begitu cepatnya! Kematiannya disaksikan dengan 
pandangan mata menyatakan kengerian dari semua orang. 
Jembar Keling bukan seorang yang berkepandaian rendah. 
Namun jika lawan bisa membereskannya di bawah sepuluh 
jurus berarti ilmu kepandaian bekas kepala rampok itu 
berada pada tingkat yang sungguh sangat tinggi. 
Suasana di tempat itu untuk beberapa lamanya 
menjadi sunyi sepi dan kemudian dipecahkan oleh suara 
Suto Rawit. 
“Ada lagi di antara para tetamu yang hendak coba-coba 
berbakti menyelamatkan ketua partai baru ini...?!” 

Tak ada yang menjawab. 
Saat itu sang ketua sudah duduk kembali di tempatnya 
di atas panggung tinggi. 
“Kami yang akan menyelamatkan Ketua Partai dan 
melempar mayatmu ke bawah bukit!” Satu suara 
mengumandang tapi ada dua orang yang bergerak maju 
mendekati Suto Rawit. Ternyata mereka adalah dua orang 
pemuda yang bukan lain Bimo Argomulyo, putera sang 
ketua, serta Sarwo Bayu saudara sepupu Bimo. 
Melihat dua pemuda itu bergerak, Gandring Wikoro 
segera bangkit dari kursinya. 
“Aku tidak mengizinkan kalian bertindak! Aku yang akan 
menyelesaikan semua urusan dengan pembunuh ini. 
Singkirkan dan urus jenazah sahabatku Jembar Keling.” 
Walaupun hati dan darah muda mereka meradang, 
namun Bimo serta Sarwo harus taati perintah sang ketua. 
Mereka menggotong jenazah Jembar Keling. Di ujung 
panggung beberapa anak murid partai lalu mengambil alih 
jenazah itu. 
Untuk kedua kalinya Ketua Partai Bintang Blambangan 
saling berhadap-hadapan dengan Warok Gajah Ireng alias 
Suto Rawit. 
“Kali ini kau tak bakal lolos dari kematian, Gandring 
Wikoro. Kau dengar itu... Jika kau punya senjata 
keluarkanlah. Bukankah kau jagoan memanah? Mana 
busur dan panahmu...?” 
Mendengar ucapan itu, walau di luar wajahnya tampak 
tenang namun di dalam hatinya jadi panas juga. “Apa 
maumu akan kulayani Suto Rawit. Aku merasa tak perlu 
sungkan-sungkan terhadap rampok tua yang masih haus 
darah macammu ini!” 
Lalu Ketua Partai Bintang Blambangan itu mengangkat 
tangan kiri memberi tanda. Seorang anak murid partai 
segera berlari mendatangi sambil membawa sebuah busur 
dan sebatang anak panah. Di lain saat dua orang itu sudah 
berhadap-hadapan satu sama lain. 
“Keluarkan senjatamu! Mari kita berkelahi sampai 

salah satu dari kita menemui kematian!” 
Suto Rawit tertawa sinis mendengar kata-kata Ketua 
Partai Bintang Blambangan itu lalu sambil mengangkat 
kedua tangannya ke atas dia berkata, “Senjataku hanya 
sepasang tangan berwarna biru ini! Kau tak perlu banyak 
bicara. Silakan menyerang duluan!” 
Gandring Wikoro kertakkan rahang. Busur di tangan 
kirinya tiba-tiba lenyap, berubah seperti menjadi sebuah 
kitiran, menderu dengan deras. Suto Rawit merasakan 
seperti ada jarum-jarum kecil yang menembusi kulitnya 
ketika sambaran busur itu menerpa tubuhnya. Dengan 
cepat orang ini melompat menjauhi namun dia sempat 
keluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba sosok tubuh lawan 
entah bagaimana sudah berkelebat dari samping sambil 
menghunjamkan anak panah di tangan kanan ke arah 
batang leher Suto Rawit. 
“Serangan hebat!” memuji Suto Rawit namun setelah 
itu dia mengejek, “Ilmu silat rendahan ini tak ada gunanya 
bagiku Gandring! Lihat...!” 
Begitu seruan Suto Rawit berakhir, Gandring Wikoro 
merasakan ada satu gelombang angin melandanya hingga 
dia terjajar ke belakang. Cepat Ketua Partai ini babatkan 
busurnya. Serentak dengan itu tangan kanan yang 
memegang panah mencuat kian kemari, mengarah bagianbagian yang berbahaya dari tubuh Suto Rawit. 
Bekas kepala rampok besar itu hanya sunggingkan 
senyum. Malah keluarkan suara mendengus. Dua 
tangannya dipalangkan ke depan. 
Begitu busur di tangan kiri Gandring Wikoro 
menyambar, terdengar suara kraak! Ketua Partai Bintang 
Blambangan itu berseru kaget. Dia batalkan maksud 
menusuk dengan anak panah di tangan kanannya dan teliti 
busur di tangan kiri. Ternyata busur itu telah patah sewaktu 
menghantam lengan lawan yang berwarna biru! 
Marahlah Gandring Wikoro. Busur yang dijadikannya 
senjata itu bukan saja patah tapi tangan kirinyapun terasa 
mendenyut sakit

Kurang ajar! Kau patahkan busurku! Berarti akan 
kupatahkan batang lehermu!” teriak Gandring Wikoro 
marah sekali. Didahului oleh suara menggereng orang ini 
kembali menyerbu. Anak panah di tangan kanannya 
berkelebat kian kemari. Tubuhnya sendiri hanya tinggal 
merupakan bayang-bayang. Sang ketua melakukan 
gempuran dengan jurus-jurus silat simpanannya. Dalam 
waktu singkat Suto Rawit kena didesak hebat. Bekas 
kepala rampok ini berusaha menggebuk lawan dan senjata 
anak panah itu. Namun gerakan Gandring Wikoro cepat 
dan penuh tak terduga. Selain itu Gandring Wikoro selalu 
berjaga-jaga agar jangan ada bagian tubuh ataupun anak 
panahnya sampai beradu dengan salah satu lengah yang 
sangat berbahaya itu. 
Karena terdesak terus, Suto Rawit menjadi naik darah. 
Dia segera merubah gerakan-gerakan ilmu silatnya. 
Gerakan ilmu silat orang ini ternyata memang aneh dan 
membuat Gandring Wikoro semakin lama semakin sulit 
melancarkan serangan-serangan baru. Pada puncak 
kesulitannya dia merasakan tangan kanannya pedas. 
Ketika dia meneliti ternyata anak panah yang dijadikannya 
senjata telah tercabut lepas dari genggamannya. Dan 
telapak tangannya tampak lecet! Senjatanya kini berada di 
tangan lawan! 
Berusaha memperhatikan diri sendiri tanpa menjauhi 
lawan adalah satu kesalahan besar yang sebenarnya tidak 
mungkin dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat kawakan 
seperti Gandring Wikoro alias Raja Panah Delapan Penjuru 
Angin itu! Namun justru itulah yang terjadi. Selagi Ketua 
Partai Bintang Blambangan ini lengah, anak panah miliknya 
sendiri menghujam deras di lehernya. Gandring Wikoro 
mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Belasan mulut 
keluarkan seruan tertahan. Tak percaya akan apa yang 
mereka saksikan. Senjata makan tuan! 
Ketika Suto Rawit melepaskan ekor anak panah yang 
dipegangnya, tubuh Gandring Wikoro pun roboh ke 
panggung, kelojotan sebentar lalu diam tak berkutik lagi! 

Belasan orang berlompatan dari panggung tinggi. Paling 
depan adalah Bimo dan Sarwo, lalu istri Gandring Wikoro, 
diikuti oleh anggota dan anak murid Partai! 
Di bawah panggung puluhan tetamu sampai tersentak 
berdiri menyaksikan kematian Ketua Partai yang sangat 
cepat dan tak terduga. Tapi sang dara jelita berpakaian 
berbunga-bunga tampak tetap duduk di kursinya seolaholah tidak ada kejadian apa-apa. Sikapnya biasa-biasa 
saja, wajahnya dingin. 
“Manusia keparat! Kucincang tubuhmu!” teriak Bimo 
Argomulyo lalu cabut sebilah pedang putih dari belakang 
punggungnya. Lain halnya dengan Sarwo Bayu. Pemuda 
satu ini, setelah menyadari bahwa Gandring Wikoro tak 
bernyawa lagi, dengan darah mendidih dia sudah langsung 
menyerbu Suto Rawit! 
“Anak-anak muda! Aku hargai keberanian kalian! Tapi 
jika mau mendengar nasihatku, kalian akan selamat. Lekas 
minggat dari hadapanku!” 
“Keparat! Rohmu yang akan kubikin minggat!” teriak 
Bimo. Lalu menyusul adik sepupunya dia pun melompat ke 
dalam kalangan pertempuran. 
“Tahan dulu! Dengar ucapanku!” Suto Rawit berteriak 
keras. Pengaruh teriakan dahsyat yang disertai tenaga 
dalam itu sesaat membuat Bimo dan Sarwo Bayu hentikan 
gerakan. 
“Mulai saat ini jabatan Ketua Partai Bintang 
Blambangan aku ambil alih! Semua anak murid partai 
termasuk kalian berdua harus taat perintah! Mundur!” 
“Manusia keparat!” 
“Bangsat terkutuk!” 
Siapa yang mau mendengar ucapan Warok Gajah Ireng 
itu. Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu kembali menyerbu. 

BAB 4

WAROK Gajah Ireng tertawa mengekeh. Matanya 
yang cekung berputar liar. Bimo Aryo dengan 
pedang putih di tangan berada di depan sebelah 
kanan. Sarwo Bayu di sebelah kiri, tampaknya pemuda ini 
akan mengandalkan tangan kosong, namun kemudian 
sang warok melihat Bayu menyelinapkan tangan ke balik 
pakaian dan kini tampak dia menggenggam sebatang anak 
panah berwarna putih berkilat, terbuat dari baja putih. 
Anak panah ini berbentuk aneh. Selain ukurannya lebih 
besar, di bagian kepala memiliki tiga kepala sekaligus. 
Berarti jika sampai senjata itu menancap di sasaran, tidak 
mungkin mencabutnya tanpa sasaran mengalami 
kehancuran total! 
Selain Bimo dan Sarwo, panggung ternyata telah 
dikurung oleh lebih dari dua puluh anak murid dan anggota 
partai. 
“Jadi begini rupanya sifat orang-orang Bintang 
Blambangan! Mengandalkan pengeroyokan di sarang 
sendiri!” terdengar sang warok alias Suto Rawit keluarkan 
kata-kata ejekan. 
“Manusia jahanam sepertimu memang pantas 
dikeroyok dan dicincang!” menyahuti Bimo Argomulyo. Dia 
memberi isyarat pada sepupunya, juga pada murid-murid 
partai. Serentak dengan itu dua puluh pengurung 
merangsak maju sambil loloskan senjata mereka yakni 
busur di tangan kiri dan anak panah di tangan kanan! 
Di bawah panggung para tetamu banyak yang menarik 
nafas menyesalkan apa yang terjadi. Tetapi sebagian besar 
merasa memang manusia seperti Warok Gajah Ireng harus 
disingkirkan dari muka bumi untuk selama-lamanya. Lain 
halnya dengan dara berbaju kembang-kembang. Dalam 
hatinya dia membatin, “Ilmu silat busur dan panah 
memang bukan sembarangan. Apalagi dua pemuda itu 
akan bertempur berbarengan. Tapi... rasanya mereka akan 
mengalami malapetaka. Suto Rawit tetap bukan tandingan 
mereka. Aku harus mencegah.” 
Bimo Argomulyo tiba-tiba keluarkan teriakan keras, 
inilah tanda terakhir. Semua orang menyerbu ke arah Suto 
Rawit. 
Pada saat itulah melesat satu bayangan ke atas 
panggung. Angin sangat deras menyambar. Suto Rawit 
merasakan kedua kakinya menjadi goyah dan tubuhnya 
terhuyung-huyung. Rambutnya yang panjang awut-awutan 
berkibar-kibar. Bimo dan Sarwo merasakan hal yang sama, 
malah kedua pemuda itu terjajar sampai tiga langkah. Dua 
puluh anak murid partai banyak yang roboh berpelantingan 
sampai ke bawah panggung. Apakah yang terjadi? 
Di saat ketika angin menyambar terdengar suara orang 
berseru, “Semua orang Partai Bintang Blambangan harap 
mundur! Biar aku yang mewakili kalian membalaskan sakit 
hati kematian Ketua Partai!” 
Tentu saja semua kejadian ini membuat orang terkejut. 
Dan jadi tercengang tak percaya ketika mengetahui bahwa 
yang melakukan hal itu adalah sang dara jelita berpakaian 
warna-warni yang tadi duduk di antara para tetamu pada 
deretan kursi ke tiga. Masih begitu muda tapi memiliki 
hawa tenaga dalam yang sanggup membuat para jago di 
atas panggung sempoyongan! 
Bimo Argomulyo dan Sarwo hendak mendamprat marah 
karena ada yang berani mencampuri urusan balas dendam 
mereka. Namun dua pemuda ini jadi terkesima ketika 
melihat yang tegak di atas panggung saat itu bukan lain 
adalah gadis cantik yang sejak sebelumnya sudah 
membuat mereka kagum. 
“Saudari... Kami menghargai kegagahanmu. Namun 
biarlah kami orang-orang partai menyelesaikan urusan ini. 

Terima kasih...” 
“Betul saudari, sebaiknya kau kembali ke tempat 
dudukmu di antara para tamu,” menyambung Sarwo Bayu 
atas kata-kata Bimo tadi. 
Sang dara gelengkan kepala dan tersenyum. 
“Si baju rombeng bau yang tegak di depan kalian ini 
bukan manusia. Tapi iblis laknat yang harus cepat-cepat 
disingkirkan. Dia bukan lawan kalian. Jangan mengira aku 
sombong. Tapi hanya aku yang memiliki senjata untuk 
dapat menumpasnya!” 
Habis berkata begitu sang dara layangkan 
pandangannya. Meskipun sepasang mata itu bening bagus, 
tapi ada satu kekuatan aneh yang membuat semua orang 
Partai Bintang Blambangan menjadi terhening dan ketika 
Bimo Argomulyo melangkah mundur, adik sepupunya pun 
mengikuti. Kepada para murid partai Bimo memberi isyarat 
agar tetap melakukan pengepungan di empat sudut 
panggung. 
“Anak manis yang masih bau kencur! Apa sangkut 
pautmu dengan orang-orang Bintang Blambangan hingga 
mau-mauan turun tangan mencampuri urusan?!” Warok 
Gajah Ireng alias Suto Rawit menegur. Kedua matanya 
yang cekung memandang tak berkesip pada wajah cantik 
dan tubuh padat mulus itu. 
Yang ditanya menyeringai penuh ejek. “Usia hampir 
seabad. Badan sudah bau tanah! Hidup masih saja 
mengumbar kejahatan!” 
“Aku tidak minta keterangan atas diriku sendiri, gadis 
centil! Aku tahu, jangan-jangan salah satu dari dua pemuda 
itu adalah kekasihmu! Ah sungguh beruntung dirinya. 
Mengapa bukan aku yang kau jadikan kekasih...? Sehari 
pun aku kau jadikan kekasih bagiku sudah luar biasa...!” 
Suto Rawit lalu tertawa mengekeh. 
“Ternyata mulutmu sebusuk dan sekotor hatimu! Kau 
akan menerima kematian dalam tiga jurus!” 
Suto Rawit yang menganggap enteng sang dara kembali 
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan tubuhnya 

berkelebat. Kedua tangannya melesat ke depan. Satu 
berusaha menotok urat besar di leher sang dara, yang 
satunya lagi secara kurang ajar diulurkan sengaja untuk 
menjamah payudara gadis itu. 
“Jurus pertama!” teriak si gadis berbaju kembang 
warna-warni. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Dua tangan 
lawan hanya mencapai tempat kosong. Di saat itu kaki 
kanan si gadis terangkat ke atas, membabat ke arah perut 
Suto Rawit. Terkejutlah bekas raja diraja rampok ini. Kalau 
tidak lekas dia melompat ke belakang, pasti perutnya 
sudah kena hantam tendangan si gadis! Kini dia tidak mau 
menganggap rendah lagi. Dengan pelipis bergerak-gerak 
tanda amarahnya mulai mendidih, Suto Rawit maju dua 
langkah. Kedua lututnya tiba-tiba menekuk, tubuhnya 
setengah merunduk. Tenaga dalam terpusat di tangan 
kanan. Dan ketika tangan kanan ini melepaskan satu 
pukulan sakti, tampak sinar biru menderu, menyambar ke 
arah sang dara. 
“Jurus kedua!” seru sang dara. Tangannya menyelinap 
ke balik pakaian. Sinar merah seperti besi membara 
mencuat di udara. 
Bummm! 
Sinar biru warna pukulan sakti Suto Rawit terpental ke 
udara lalu lenyap pupus meninggalkan asap meliuk-liuk. 
Suto Rawit tercampak ke belakang. Untung dia bersikap 
waspada hingga tak sampai jatuh duduk atau terbanting 
punggung ke lantai panggung. Namun wajahnya jelas 
pucat. Keningnya tampak mengerenyit ketika dia coba 
luruskan badan. Matanya berkilat-kilat memandang pada 
sebuah senjata berbentuk tombak kecil, berwarna sangat 
merah laksana habis diganggang di atas api! 
“Dewi Tombak Api!” terdengar seseorang berseru di 
bawah panggung. Rupanya ada yang mengenali siapa 
adanya sang dara. 
Sementara itu Suto Rawit yang tak pernah mendengar 
nama atau gelar gadis berbaju kembang-kembang di 
hadapannya itu berteriak marah. “Dewi atau iblis! Kau 

akan menemui ajal dengan tubuh tercerai berai!” Lalu dia 
angkat kedua tangannya. Sepasang lengan sampai ke kuku 
dan ujung jari memancarkan warna biru pekat, itu pertanda 
bahwa orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya yang ada. Lalu dengan keluarkan suara meraung 
seperti srigala, Suto Rawit melompat. Lima jari tangannya 
kiri kanan menjentik. Sepuluh larik sinar biru yang 
mengerikan dan menebar bau busuk angker berkiblat, 
menderu ke arah sepuluh sasaran di tubuh sang dara. 
Semua orang yang menyaksikan itu keluarkan seruan 
tertahan. Sepuluh bagian tubuh terserang pukulan beracun 
yang mematikan. Betapapun hebatnya gadis itu, tak 
mungkin dia akan mampu mengelak atau menghindarkan 
diri dari serangan maut yang dilepas Suto Rawit! 

BAB 5

SELAGI semua orang menahan nafas, sang dara justru 
tampak tenang-tenang saja. Dan apa yang terjadi 
kemudian sungguh membuat semua orang 
membeliak. Begitu sepuluh lari
k sinar maut berwarna biru 
menerpa ke arahnya, sang dara yang dipanggil dengan 
gelar Dewi Tombak Api berseru keras, “Jurus ke tiga!” Lalu 
gadis ini membuat gerakan mengemplang dengan 
tombaknya yang seperti menyala itu. 
Pada saat tombak menggebrak, terdengar suara wuuss! 
Dan sebuah lidah api yang lebar dan panjang menjilat ke 
depan. Sepuluh larik sinar biru langsung ambalas ditelan 
lidah api itu. 
Di lain kejap terdengar jerit Suto Rawit. Dan semua 
orang yang berada di tempat itu sama menyaksikan 
bagaimana lidah api yang keluar dari tombak membara di 
tangan sang dara membuntal tubuh Suto Rawit hingga 
orang ini berteriak-teriak kalang kabut, melompat turun ke 
bawah panggung sambil berusaha memadamkan api yang 
membakar sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke 
kaki. Bekas kepala rampok ini coba bergulingan di tanah. 
Sia-sia saja. Kobaran api membuat tubuhnya laksana 
kambing panggang, menebar sangitnya bau daging 
terbakar. Dia tersungkur di samping deretan meja tamu ke 
empat, menggeliat-geliat beberapa ketika. Suara jeritannya 
makin lama makin perlahan. Akhirnya nyawanyapun lepas 
tak tertolong lagi! 
Di atas panggung Dewi Tombak Api nampak tegak tak 
bergerak. Wajahnya kelihatan memucat putih, dadanya 
turun naik. Pandangan matanya aneh. Lalu semua orang

menyaksikan bagaimana tubuh itu menggigil beberapa 
ketika. Sewaktu gigilan berhenti si gadis melemparkan 
pandangan aneh pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. 
Pada saat itu dua pemuda ini justru melangkah 
mendatangi dan menjura di hadapannya. 
“Saudari, siapa pun kau adanya kami menghaturkan 
terima kasih karena kau telah membalaskan sakit hati 
kematian ayah kami. Lebih dari itu kami orang-orang Partai 
Bintang Blambangan telah kau selamatkan dari 
kehancuran... Kami mengundangmu untuk duduk di antara 
keluarga partai sebagai tamu kehormatan yang telah 
berjasa besar!” 
Saat itu semua orang kembali memperhatikan 
bagaimana sang dara tubuhnya tampak seperti menggigil, 
pandangan matanya memberingas sedang wajahnya 
kelihatan seperti tak berdarah. Lalu perlahan-lahan wajah 
itu menjadi kemerahan. 
“Saudari... ada apa? Apakah kau mendadak sakit...?” 
tanya Bimo Argomulyo ketika melihat sang dara seperti 
menggigil kedinginan dan wajahnya memucat. 
“Aku tak apa-apa. Harap kalian memaafkan. Aku tak 
bisa duduk di antara keluarga partai. Aku harus pergi 
sekarang juga dan kalian berdua harus ikut bersamaku!” 
Tentu saja ucapan sang dara mengejutkan semua 
orang, terutama Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. 
“Saudari, maksudmu bagaimana?” tanya Bimo 
Argumulyo. 
Sementara Sarwo Bayu untuk pertama kalinya sadar 
bahwa jenazah ayah angkatnya yaitu Ketua Partai Bintang 
Blambangan masih menggeletak di ujung panggung. Dia 
cepat bertindak, melangkah ke arah jenazah, namun 
langkahnya tertahan ketika dia mendengar ucapan terakhir 
dara yang barusan membakar mati Suto Rawit dengan 
tombak apinya. Dia berpaling pada si gadis dan pandangan 
mereka saling bertemu. 
“Saudari, kami harus ikut bersamamu katamu...?” tanya 
Sarwo Bayu. Saat itu dia merasakan ada getaran aneh 

memancar dari kedua mata Dewi Tombak Api yang masuk 
menembus kedua matanya sendiri lalu menggeletari jalan 
darah di sekujur tubuhnya. Dia melangkah mendekati 
kakak sepupunya dan berbisik, “Kangmas Bimo, 
perasaanku mendadak aneh. Aku merasa seperti ingin ikut 
saja dengan gadis ini...” 
“Ada yang tidak beres adikku. Hati-hati. Jangan 
pandang kedua matanya...” 
Tapi terlambat. Saat itu apa yang dialami Sarwo Bayu 
juga mulai dirasakan oleh Bimo Argomulyo. Dua pemuda ini 
memandang lekat-lekat pada sang dara seolah-olah 
dipantek. Mereka melihat dara itu menganggukkan 
kepalanya lalu berkelebat turun dari panggung dan lari ke 
arah timur. Bimo dan Sarwo sesaat saling pandang lalu 
tidak terduga, keduanyapun melompat dari atas panggung, 
berlari ke jurusan timur menyusul Dewi Tombak Api. 
“Bimo! Sarwo! Kalian mau ke mana? Kembali...!” 
berteriak istri Ketua Partai Bintang Blambangan. 
Tapi kedua pemuda itu telah lenyap di lereng bukit 
sebelah timur. Kembali tempat itu dilanda kegegeran. Kali 
ini kegegeran yang disertai tanda tanya tak terjawab. Apa 
sebenarnya yang terjadi? Para tetamu kemudian ingat 
pada orang yang tadi berseru menyebut nama atau gelar 
dara jelita itu. Mereka mencari-cari. Orang itu ditemui. 
Tetapi astaga! Dia sudah menjadi mayat dengan leher 
membiru seperti dicekik

BAB 6

DARI dalam rumah yang terletak di lembah sunyi itu 
terdengar suara erangan-erangan halus di antara 
deru nafas yang memburu dan sesekali ditingkah 
oleh suara tawa gelak perempuan. “Kalian berdua memiliki 
tubuh kuat, masih muda-muda tapi tak dapat 
mengalahkanku! Hik... hik... hik...” terdengar suara 
perempuan berkata lalu disusul suara kecupan beberapa 
kali. 
“Terus terang kami tidak pernah berbuat begini 
sebelumnya...” Ada suara lelaki menjawab. 
“Betul. Baru sekali ini kami melakukan. Belum 
berpengalaman...” Satu suara lelaki lagi menimpali. 
Lalu kembali terdengar suara tawa perempuan. “Kalau 
begitu kalian harus kuajari ini-itu... Hik... hik...” Lalu 
terdengar lagi beberapa kali suara kecupan dan ranjang 
yang berderik-derik. 
Tapi tiba-tiba terdengar si perempuan berbisik, “Ada 
orang mengintai di atas atap...” Lalu perempuan itu 
membentak, “Manusia minta mati! Berani mengintip 
urusan orang!” 
Satu gelombang angin menderu. Atap rumah yang 
terbuat dari papan kayu besi hancur jebol berantakan. 
Bersamaan dengan itu terdengar pekikan kecil disertai 
berkelebatnya satu bayangan biru, melompat dari atas 
atap, turun ke tanah di halaman kiri rumah. 
Di dalam rumah, perempuan yang tadi membentak dan 
melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat cepat 
menyambar pakaiannya sambil memberi isyarat pada dua 
orang pemuda yang ada di atas ranjang agar cepat-cepat 

mengenakan pakaian. Begitu selesai berpakaian 
perempuan itu menghambur ke pintu, melesat ke luar 
rumah diikuti dua pemuda yang bukan lain adalah Bimo 
Argomulyo dan Sarwo Bayu. 
“Hah! Lagi-lagi kau rupanya”! membentak perempuan 
yang keluar dari dalam rumah, “kali ini jangan harap aku 
memberi ampunan padamu Simanti!” 
“Kakak Sumitri. Apakah kau tidak mau insaf dan 
bertobat? Jika kau mau kembali menghadap guru dan 
menyerahkan senjata pangkal bahala itu maka kau dan 
kita semua akan hidup tenteram...” 
“Hidup tenteram... Aku tak percaya kata-kata itu. Aku 
juga tak percaya kalau Tombak Api milikku merupakan 
senjata pangkal bahala dalam kehidupanku! Guru 
menginginkan senjata mustika itu untuk kepentingannya 
sendiri karena dia memang suka mengumpulkan senjata 
antik dan sakti...” 
“Kakak Sumitri, percayalah. Bukan itu tujuan guru. 
Selama kau memiliki senjata itu dirimu akan selalu berada 
di bawah pengaruh nafsu bejat! Apakah kau tidak juga 
mengerti... Apakah kau tidak sadar apa yang barusan kau 
lakukan bersama dua pemuda dari Partai Bintang 
Blambangan itu...?” 
“Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya 
dengan Tombak Api...!” 
“Apa yang kami lakukan adalah atas dasar suka sama 
suka...!” tiba-tiba menyeletuk Bimo Argomulyo. 
Gadis bernama Simanti, seorang dara berparas tak 
kalah jelita dengan Sumitri alias Dewi Tombak Api 
berpaling pada Bimo Argomulyo dan berkata sinis, 
“Sebagai manusia biasa aku tidak menyalahkan kalau kau 
dan saudaramu itu sampai tergoda. Tapi sebagai tokoh 
partai dan seorang pendekar sungguh memalukan kalau 
kalian berdua sampai ikut-ikutan sesat... Apa kalian tidak 
sadar telah jadi budak nafsu Dewi Tombak Api?!” 
“Simanti! Jaga mulutmu! Lekas pergi dari sini selagi aku 
masih mau memandangmu sebagai adik...” Dewi Tombak 

Api membentak. 
“Tidak kakak Sumitri. Sekali ini apapun yang terjadi aku 
harus membawamu pulang menghadap guru...” 
“Hemm... begitu...? Kepandaian apa yang kau miliki 
hingga berani bicara sesombong itu?!” 
“Dewi... Jika kau memang tak suka si lancang ini berada 
lebih lama dari sini biar aku yang memberi pelajaran 
padanya...” berkata Bimo Argomulyo. 
“Terima kasih kalau kau memang ingin bertindak. 
Hanya saja kuharap kau maju bersama saudaramu itu...” 
jawab Dewi Tombak Api pula karena dia sudah bisa 
menjajagi, seorang diri Bimo Argomulyo tak akan sanggup 
menghadapi Simanti yang memiliki kepandaian hanya satu 
tingkat saja darinya. 
“Kalau Dewi berkata begitu, biar kami berdua berebut 
pahala untuk mengusirnya!” kata Sarwo Bayu pula. Lalu dia 
menganggukkan kepala ke arah Bimo Argomulyo. Kedua 
orang ini serentak menggebrak ke arah dara berbaju biru. 
Bimo berusaha merangkul pinggang sang dara sedang 
Bayu coba menangkap kedua tangannya untuk diringkus. 
Tepat seperti dugaan Dewi Tombak Api ternyata tidak 
semudah itu untuk meringkus Simanti. Begitu dua pemuda 
bergerak, dia sudah lebih dahulu memapaki. Tangannya 
kiri kanan dihantamkan ke depan. Dua angin deras 
menderu membuat dua pemuda terkejut lalu sama 
menyingkir ke samping dan dari samping kembali 
menyerbu. 
Bukk! 
Dukk! 
Empat lengan saling beradu keras hingga 
mengeluarkan suara bergedebukan. Simanti terpental tiga 
langkah dan jatuh duduk di tanah. Sebaliknya Bimo 
Argomulyo dan Sarwo Bayu jatuh terguling-guling. Ketika 
mencoba bangkit jelas wajah keduanya kelihatan 
mengerenyit sakit dan pucat sedang lengan kanan masingmasing tampak bengkak membiru! 
Dua pemuda itu tidak mengira mereka bisa 

dipecundangi begitu rupa. Keduanya yang kini dipengaruhi 
oleh amarah segera mengurung Simanti. 
Sarwo Bayu sempat ajukan pertanyaan. “Dewi Tombak 
Api, apakah kau perkenankan kami membunuh saja gadis 
pengacau ini?!” 
“Lakukan apa yang kalian suka terhadapnya!” jawab 
Sumitri atau Dewi Tombak Api. 
Maka dari balik pakaiannya Sarwo Bayu keluarkan dua 
buah anak panah yang terbuat dari baja putih. Yang satu 
dilemparkannya pada Bimo Argomulyo. Lalu tanpa banyak 
bicara lagi dua pemuda itu langsung menyerbu Simanti. 
Dua anak panah berkiblat mengeluarkan suara menderu 
dan cahaya berkilauan. 
Seperti diketahui, Bimo Argomulyo memiliki ilmu silat 
tangan kosong yang tinggi. Dengan memegang senjata 
berupa anak panah seperti itu gerakan-gerakannya benarbenar berbahaya. Di lain pihak Sarwo Bayu sudah 
mendalami ilmu silat panah dan busur yang diwarisinya 
dari almarhum Ketua Partai Bintang Blambangan. Maka 
dalam waktu sekejapan saja Simanti telah menjadi bulanbulanan serangan kedua pemuda itu. 
Menyerang terus menerus selama lima jurus tanpa 
hasil membuat Bimo dan Sarwo menjadi meradang. 
Keduanya percepat gerakan masing-masing, keluarkan 
jurus-jurus penuh tipuan. Namun lagi-lagi lima jurus berlalu 
tanpa mereka mampu menyentuh tubuh atau pakaian 
Simanti. 
“Ah, anak itu maju jauh sekali tingkat kepandaiannya 
dari satu tahun lalu. Pasti guru telah membekalinya dengan 
jurus-jurus silat khusus...” Meskipun menyadari kehebatan 
ilmu silat adik seperguruannya itu namun Dewi Tombak Api 
tidak merasa jerih. 
“Pemuda-pemuda sesat jaga perut kalian!” terdengar 
Simanti berseru. Lalu dua tangannya membagi serangan 
berupa jotosan kuat ke arah perut Bimo dan Sarwo. 
Terpengaruh oleh ucapan lawan serta terjebak oleh apa 
yang mereka saksikan, dua pemuda Partai Bintang

Blambangan itu sapukan panah masing-masing ke arah 
perut untuk menangkis sekaligus menghantam tangan 
lawan. Tapi justru di kejap itu pula dua tangan sang dara 
yang tadi menjotos ke arah perut tiba-tiba kini melesat ke 
atas. Jari tengah dan jari telunjuk lurus membaja ke arah 
pangkal leher Bimo serta Sarwo. 
Tuk... tuk...! 
Dua pemuda itu merasakan tubuh mereka menjadi 
kaku tegang, tak bisa bergerak lagi begitu totokan kilat 
bersarang di leher masing-masing. Melihat kejadian ini 
Dewi Tombak Api tak bisa berdiam diri lagi. Sebelum 
melompati Simanti, dari samping dia sudah lepaskan satu 
pukulan tangan kosong. 
Wuss! 
Simanti terkejut dan cepat menyingkir ketika ada angin 
kencang disertai hawa panas menyambar ke arahnya. Dia 
balas menghantam dengan tangan kanan. Angin pukulan 
Sumitri memang sempat ditabraknya hingga buyar tapi 
diam-diam dia merasakan tangan kanannya seperti 
tertimbun dalam bara panas dan mau tak mau dia jadi 
keluarkan pekik kecil. 
Di hadapannya Sumitri alias Dewi Tombak Api tertawa 
mengejek. “Kalau ilmu baru sejengkal, jangan berani jual 
lagak di hadapanku!” 
“Kakak Sumitri. Kau harus sadar! Kau harus berusaha 
menjadi sadar! Kita harus segara menghadap guru!” 
berkata Simanti. 
“Jika kakek buntung itu yang memerlukan diriku, 
mengapa tidak dia sendiri yang keluar dari sarangnya 
menemuiku?!” tukas Sumitri. 
“Kakak, jangan kau bicara menghina guru seperti itu!” 
Simanti tampak marah sekali mendengar kata-kata kakak 
seperguruannya itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam 
sepenuhnya gadis ini lancarkan serangan-serangan 
balasan. Perkelahian seru berlangsung dan sepuluh jurus 
berlalu dengan cepat. 
Diam-diam Sumitri mulai berpikir-pikir apakah 

sebaiknya dia keluarkan saja senjata mustikanya yaitu 
Tombak Api saat itu dan langsung membunuh si adik. 
Namun bagaimanapun juga masih ada secuil rasa tidak 
tega jika dia sampai membunuh adik seperguruan yang 
selama lebih dari lima belas tahun hidup bersamanya, satu 
ketiduran dan sepermainan. 
Setelah dua jurus lagi berlalu Dewi Tombak Api rubah 
permainan silatnya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya 
kelihatan seperti lamban namun sekejapan bisa berubah 
cepat dan ganas. Simanti kini merasakan adanya tekanantekanan serangan yang berbahaya. Gadis ini segera pula 
merubah permainan silatnya. Tapi tetap saja dia berada 
dalam kungkungan serangan lawan dan semakin lama 
semakin sulit baginya untuk melepaskan diri apalagi 
melancarkan serangan balik. 
Pada jurus ke dua puluh Dewi Tombak Api tampak 
seperti terhuyung. Tubuhnya berputar membelakangi 
Simanti. Ketika Simanti masuk menyerbu tiba-tiba sikut 
kanan Dewi Tombak Api menghantam ke belakang. Simanti 
tak dapat mengelakan serangan yang tidak terduga ini. 
Bukkk! 
Simanti mengeluh tinggi. Dari sela bibirnya tampak ada 
darah mengucur. Wajahnya mengelam sedang sepasang 
matanya setengah tertutup. Tubuhnya terpental hampir 
satu tombak dan pasti terbanting jatuh punggung ke tanah 
kalau tidak tiba-tiba saja dia merasakan ada seseorang 
yang memegang tubuhnya dari belakang dan dia jatuh 
dalam pelukan orang itu

BAB 7

SEPASANG mata Dewi Tombak Api memandang 
membeliak pada pemuda berambut gondrong yang 
memeluk tubuh adiknya. “Pemuda kurang ajar! 
Berani kau memeluk tubuh adi
kku!” bentak Dewi Tombak 
Api seraya maju satu langkah dan siap menghantam 
dengan pukulan tangan kosong. 
“Walah! Aku memeluknya agar jangan tubuh bagus dan 
wajah cantik ini jatuh ke tanah! Masakan itu kau anggap 
kurang ajar! Kau sendiri tadi malah hendak membunuhnya. 
Itu lebih dari kurang ajar, Dewi Tombak Api!” 
“Antara aku dan dia ada urusan! Sebaliknya kau 
dengan dia tak ada sangkut paut apa-apa...!” sahut Dewi 
Tombak Api. 
“Dengar. Namaku Wiro Sableng...” 
“Setan alas! Aku tidak tanya namamu! Perduli setan 
apakah namamu si Sableng atau si Gendeng atau si Gila! 
Lepaskan tubuh adikku! Jangan kau berani memeluknya 
lebih lama...” 
Pemuda berambut gondrong yang memeluk tubuh 
Simanti tertawa lebar. Dia memandang ke wajah jelita yang 
ada di dadanya. Ternyata Simanti saat itu telah jatuh 
pingsan. Wiro mendukungnya dan membaringkan gadis ini 
di dekat serumpunan semak belukar. 
“Nah, sekarang aku sudah tidak memeluk tubuh 
adikmu itu. Apa perintahmu selanjutnya Dewi Tombak 
Api...?” tanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya bertolak 
pinggang. 
“Lekas minggat dari hadapanku! Aku muak melihat 
tampangmu yang cengar-cengir macam monyet liar...!” 

Wiro Sableng tertawa bergelak, garuk-garuk kepalanya 
lalu menjawab, “Ah, tampangku memang jelek. Tapi 
dibandingkan dengan dua pemuda yang barusan kau garap 
di dalam rumah sana, kurasa tampangku tidak kalah 
keren! Ha... ha... ha...!” 
Merah pada wajah Sumitri. “Rupanya pemuda ini sudah 
berada lama di sekitar sini,” katanya dalam hati. “Janganjangan dia ada hubungan apa-apa dengan Simanti atau 
guru...” 
“Hai! Gondrong! Apa hubunganmu dengan adikku itu?” 
“Aih, kau cemburu rupanya! Padahal aku tak ada 
hubungan apa-apa dengan dirinya!” jawab Wiro lalu 
kembali tertawa bergelak sementara Sumitri kembali 
tampak menjadi merah wajahnya. 
“Lalu apa hubunganmu dengan Resi Tambak Kebo 
Kenanga?!” kembali Dewi Tombak Api ajukan pertanyaan. 
“Aku pernah dengar nama Resi sakti itu. Tapi terus 
terang aku tidak ada hubungan dengan segala kerbo atau 
kerbauuu...!” 
“Kalau begitu lekas kau pergi dari tempat ini!” 
“Eh, ada hak dan kuasa apa kau mengusirku? Tanah ini 
bukan milikmu! Lembah ini bukan punyamu! Rumah di 
sebelah sana memang rumahmu. Tapi bisa juga jadi 
rumahku atau rumah kita berdua...!” 
“Pemuda sableng bermulut lancang! Apa maksudmu?!” 
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Maksudku begini Dewi. 
Rumah itu bisa jadi milikku kalau kau memberikannya 
padaku. Betul kan? Tapi bisa jadi milik kita berdua kalau 
kita tinggal berdua-dua di dalamnya!” 
“Manusia gendeng! Mulutmu kotor amat! Biar kurobek 
agar kau tahu rasa!” 
“Hai! tunggu dulu!” seru Wiro ketika dilihatnya Dewi 
Tombak Api hendak menyerangnya. “Mulutku memang 
kadang-kadang kotor. Tapi hatiku tidak! Kau bisa memaki 
orang kotor. Tapi kelakuanmu kotor selangit tembus! Apa 
kau tidak ingat kalau barusan saja berbuat mesum dengan 
dua pemuda itu?!” 

Aku tidak merasa berbuat mesum!” jawab Dewi 
Tombak Api marah sekali. 
“Ah, otakmu tidak beres agaknya!” Wiro berpaling pada 
Bimo Argomulyo dan mendekati pemuda ini. “Berbuat apa 
kau dan saudaramu ini dalam rumah itu beberapa waktu 
lalu...?” 
Meskipun tubuhnya tertotok kaku tapi Bimo maupun 
Sarwo masih bisa bicara. Hanya saja saat itu Bimo sama 
sekali tak mau menjawab. 
“Baiklah, aku akan coba mencari jawaban sendiri!” Lalu 
Wiro tarik pinggang celana Bimo Argomulyo dan melongok 
ke balik celana itu. “Nah, betul kan kataku! Kau kelupaan 
pakai celana dalammu! Ha... ha... ha...!” 
Merah pada wajah Bimo Argomulyo. Sementara itu dari 
samping Dewi Tombak Api terdengar membentak keras lalu 
menyerang Pendekar 212 dengan satu serangan ganas 
berupa satu cakaran ke arah mulut sang pendekar. Dia 
ingin melampiaskan amarahnya dengan merobek mulut si 
pemuda. 
“Hai! Kau hendak merobek mulutku!” seru Wiro. 
“Silakan saja kalau mau...!” Lalu Wiro sengaja buka 
mulutnya lebar-lebar. Lima jari tangan Dewi Tombak Api 
menyambar. Tapi dia hanya mencakar angin. Wiro sudah 
miringkan kepalanya ke samping sambil mencibirkan 
lidahnya panjang-panjang dan jerengkan kedua matanya. 
“Ih tidak kena...! Ayo robek lagi...” Wiro buka kembali 
mulutnya lebar-lebar. 
Amarah Dewi Tombak Api bukan alang kepalang. 
Seluruh tenaga dalamnya dihimpun ke tangan kanan. Lalu 
dia menghantam dengan dahsyat. Terdengar suara 
menggemuruh. Wiro tersentak kaget ketika ada gelombang 
angin laksana topan prahara menabrak ke arahnya. Cepat 
murid Eyang sinto Gendeng ini dorongkan kedua tangannya 
ke depan, menyambut serangan lawan dengan pukulan 
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. 
Dua tenaga dalam tingkat tinggi saling baku hantam. 
Debu pasir dan kerikil beterbangan ke udara. Semak 


belukar rambas sedang pohon-pohon di sekitar situ 
berderak-derik. Beberapa cabang dan ranting-rantingnya 
luruh berpatahan. Wiro dapatkan dirinya terangkat ke 
udara sampai satu setengah tombak. 
“Gila!” maki Pendekar 212. Seumur hidupnya baru 
sekali ini ada lawan yang sanggup berbuat seperti itu 
terhadapnya. Jatuh tidak mental pun tidak tapi tubuh 
terangkat ke atas laksana dijunjung makhluk yang tidak 
kelihatan! Semakin dia berusaha membalas dengan 
pukulan sakti, semakin ke atas tubuhnya terangkat! 
“Benar-benar edan! Masa kan pukulanku tadi tak 
sanggup menghadapi serangan lawan!” Kembali murid 
Sinto Gendeng memaki. Ketika tubuhnya terangkat 
semakin tinggi, kini sampai empat tombak di udara, tibatiba di depan sana Dewi Tombak Api putar kedua 
tangannya di udara lalu kedua tangan itu dibantingkan ke 
bawah laksana menancapkan sesuatu! 
Sejalan dengan gerakan kedua tangan Dewi Tombak 
Api, Wiro mendadak merasakan kekuatan yang tadi 
mengangkat tubuhnya ke atas lenyap secara tiba-tiba. 
Dirinya seperti dibantingkan ke bawah dan dijungkir balik 
demikian rupa hingga jika dia tak dapat menguasai diri 
atau melakukan sesuatu, kepalanya akan menghunjam 
tanah lembah itu lebih dahulu! 
Sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak kelabakan. 
Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia 
berteriak keras seraya lepaskan pukulan Sinar Matahari
dengan tangan kanan. 
Bummm! 
Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro 
terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga 
bukan kepala tapi punggungnya yang terhempas ke tanah. 
Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai 
menghamparnya hawa panas. Di seberang sana Dewi 
Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka 
seputih kertas lalu perlahan-lahan jatuh duduk di tanah. 
Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan Sinar Matahari. Tapi hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit 
pun yang hangus padahal di sebelah dalam akibat pukulan 
sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana 
dibetot dan diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur 
dari sela bibirnya! 
“Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku 
harus keluarkan Tombak Api. Tapi... ah! Jika itu kulakukan, 
aku...!” Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun akhirnya 
tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia 
menyimpan Tombak Api. Namun sebelum dia sempat 
menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat 
berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam. 
“Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik 
menghindar. Salah-salah aku bisa membunuhnya!” 
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu 
dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuktepuk pakaian putihnya yang kotor oleh tanah. 
“Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!” Bimo 
Argomulyo berteriak. 
“Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!” 
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan 
kabur ke arah selatan lembah. 
“Gadis hebat!” Wiro memuji sendirian. “Tapi mengapa 
budi pekertinya begitu kotor dan jahat...” Lalu dia teringat 
pada Simanti yang terbujur di bawah pohon. “Gadis itu! 
Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong.” 
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping 
tubuh si gadis. Dia melihat ada bagian dada yang bengkak 
membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan Dewi Tombak Api 
tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas 
ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada 
pakaian Simanti. Serangan Dewi Tombak Api tepat 
bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan 
telapak tangannya di celah payudara itu. Lalu mulai alirkan 
tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan tenaga dalam 
mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin 
diganti dengan hawa hangat. Sekujur tubuh Pendekar 212 

telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua 
matanya tanda siuman. Namun dirinya belum terlepas dari 
bahaya maut. 
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua 
telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat 
itulah terdengar suara membentak garang. 
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak 
senonoh terhadap muridku?!” 

BAB 8

BELUM sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah 
benda berbentuk tongkat menyambar ke arah 
kepalanya. Karena tak tahu benda apa yang 
menyerang, murid Sinto Gendeng tak berani pergunakan 
tangan untuk menangkis. Dia terpaksa jatuhkan diri di atas 
tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil dorongkan 
tangan kiri melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya Pendekar 
212 ketika tahu-tahu ada kekuatan yang lebih kuat balas 
mendorong hingga pukulannya sendiri ikut berbalik 
menghantamnya! 
Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan 
pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan 
Benteng Topan Melanda Samudera. Tenaga dalamnya 
dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana 
dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang 
berseru kaget. Sosok tubuh yang tadi menyerang lenyap 
berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru 
angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata 
rahasia berbentuk paku besar terbuat dari perak! 
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima 
paku perak itu. Wiro melompat dua tombak sambil 
hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil 
dielakkan, dua lainnya dibuat mental. Tapi yang kelima 
masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet 
betis kanannya! 
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah 
dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan 
kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia 

tidak jadi melepas pukulan Sinar Matahari yang sudah 
disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di 
seberang sana. 
Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai 
seorang Resi. Kaki kirinya buntung. Tubuhnya disanggah 
oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak. 
“Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga 
dalamnya sungguh luar biasa. Tongkat penyanggah kakinya 
itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!” begitu 
Wiro membatin. 
“Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku 
membabi buta?!” bertanya Wiro Sableng. 
“Karena kau memang seekor babi buta!” jawab Resi itu 
dengan mata berkilat-kilat. 
“Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu?!” 
“Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap 
basah menggerayangi tubuh muridku Simanti. Kalau aku 
tidak segera muncul di sini pasti kau sudah 
menggagahinya!” 
“Buset! Benar-benar buset!” teriak Wiro lalu gelenggelengkan kepala. “Kek, matamu nyala tapi buta. Otakmu 
cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa gadis ini, 
mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa? Di 
sana ada rumah dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa 
dia ke sana? Lalu masakan aku setolol itu melakukannya 
di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan 
tertotok itu?!” 
“Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!” tanya 
sang Resi. 
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu. 
“Siapa mereka? Mengapa keduanya tertotok?” 
bertanya sang Resi. 
“Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus. 
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan 
menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di 
dalam cukup parah terkena hantaman kakak 
seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi 

Tombak Api...!” 
Terkejutlah si kakek. “Ah, murid sesat itu! Mana dia!” 
“Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong 
muridmu ini dulu!” ujar Wiro pula. 
Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti 
yang masih terbujur. Lalu memandang lekat-lekat pada 
Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang 
tua itu. “Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga 
dari badan tombak itu tadi dia melesatkan lima paku 
perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan tongkat.” 
“Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga, 
harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?” kata si 
kakek. 
“Namaku Wiro Sableng...” 
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan 
namanya. “Namamu Wiro Sableng...? Kau murid si nenek 
centil Sinto Gendeng dari gunung Gede?!” 
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek 
centil ini berarti kakek itu cukup kenal baik dengan 
gurunya. 
“Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto 
Gendeng. Kini justru ketemu murid tunggalnya yang 
namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani 
kawan...” 
“Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apaapanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan 
pengangguran!” 
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang 
mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau tak usah merendah 
anak muda. Semua orang tahu siapa Sinto Gendeng. Dan 
dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut 
Naga Geni 212...” 
“Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis 
itu, beberapa saat lagi pasti nyawanya tidak tertolong!” 
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan. 
Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati 
tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu 

berpaling pada Wiro. “Kau tadi telah berusaha 
mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku 
menyarankan agar kau menotok beberapa urat ke arah 
jantung dan paru-paru...” Habis berkata begitu sang Resi 
melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di 
sana. Dia seperti melamun dan wajahnya nampak suram. 
Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya 
Simanti namun ada sesuatu yang menancapi pikirannya 
saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama Sumitri 
dan bergelar Dewi Tombak Api. 
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak 
Kebo Kenanga tadi, pergi duduk bersila di samping tubuh 
Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata 
sayu. 
“Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong. 
Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata 
dua kali...” 
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro 
merasa lega. Sesuai petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga 
dia menotok beberapa urat besar di tubuh Simanti lalu 
dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara 
perlahan-lahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin 
dan panas secara bergantian. Beberapa saat kemudian 
setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga 
dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut 
bibir gadis itu lalu menelankan sebutir obat ke dalam 
mulutnya. 
“Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat 
beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang, 
gerakkan tangan dan kakimu, jika itu mampu kau lakukan 
tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh duduk. Atur 
jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam 
ke bagian yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh 
berdiri...” 
“Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti 
sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya 
mengatur jalan darah dan pernafasan. Terima kasih

Saudara. Kau telah menyelamatkanku...” Terdengar 
Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang. 
“Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa, 
tak mungkin dia sembuh secepat ini!” kata Wiro dalam 
hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan darah 
dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi 
Tambak Kebo Kenanga. 
“Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi 
ganjalan?” bertanya Wiro. 
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling 
pandangi wajah Wiro lalu berkata. “Aku memikirkan anak 
itu...” 
“Anak itu yang mana kek?” 
“Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu 
tahun belakangan ini tidak tenteram gara-gara dia. Hendak 
kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh dia 
terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat 
mesum. Dulu-dulu sudah kuingatkan untuk tidak berbuat 
macam-macam mencari segala macam ilmu sundal. Tapi 
dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih 
banyak ilmu, ternyata salah langkah...” 
“Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang 
muridmu itu, Kek. Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri 
Sumitri?” bertanya Wiro. 
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang 
beberapa kali, baru menjawab, “Sekitar enam belas bulan 
yang lalu aku melepas Sumitri setelah hampir lima belas 
tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama 
Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan 
niatnya untuk mencari seorang sakti bernama Ki 
Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika 
yang akan dijadikan pegangannya dalam petualangan 
sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika kulepas 
aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa 
kuwariskan padanya. Aku tidak keberatan dia mencari dan 
menemukan sendiri segala macam senjata sakti. Asalkan 
jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang 

persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati 
culas, memiliki seribu satu tipu muslihat. Yang paling 
terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan mesum. Namun 
ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia 
tetap pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko 
muridku memang mendapatkan sebilah senjata mustika 
bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar 
mahal. Dia harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan 
sampai saat ini pun muridku itu terus-terusan berada di 
bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu 
merangsangnya untuk berbuat zinah!” 
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku masih kurang paham 
kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang 
berbuat mesum seperti katamu...” 
“Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang, 
yaitu seorang perempuan seperti Sumitri misalnya, Ki 
Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam 
guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata 
tersebut, mempergunakannya dengan pengerahan tenaga 
dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan 
kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan 
maka nafsunya bangkit setiap melihat lawan jenisnya, tak 
perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang lelaki, 
maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya 
muncul. Dia akan meniduri perempuan mana saja 
termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan 
muridku sejak dia pertama kali menyentuh senjata itu. 
Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang 
diberikan oleh Ki Kamandoko, setiap dia mengerahkan 
tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki 
Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama 
beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya 
pergi. Namun muridku tidak terlepas dari hal-hal terkutuk 
itu. Setiap dia bertempur dengan mempergunakan Tombak 
Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak 
luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa 
saja yang ada di dekatnya untuk berbuat mesum!” 

“Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan 
selama empat puluh hari...” ujar Wiro pula. 
“Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki 
Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam 
senjata yang diberikannya pada muridku. Guna-guna itu 
kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri 
setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan 
mengerahkan tenaga dalamnya!” 
“Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan 
muridmu adalah dengan melenyapkan Ki Kamandoko!” 
“Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar 
dan minta bantuan orang-orang persilatan. Mencari tahu di 
mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia tidak 
punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat 
ke tempat lainnya. Karena itu untuk sementara aku 
terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat ini 
adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata 
terkutuk dari tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia 
sudah berbuat cabul dengan belasan lelaki. Tapi juga 
belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban 
senjatanya itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan 
dirinya mungkin tidak akan sanggup menghadapi senjata 
saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada hidup 
dengan menanggung malu besar!” 
“Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan 
dengan Sumitri. Ternyata dia memiliki tingkat tenaga dalam 
yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak mengeluarkan 
Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja. 
Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku. 
Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di 
kejauhan...” 
“Mungkin begitu... Mungkin begitu...” kata Resi Tambak 
Kebo Kenanga lalu mengusap wajahnya berulang-ulang. 
Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu. 
Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk 
bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan 
pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua 

matanya. Pandangannya beradu dengan sepasang mata 
Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini 
tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang 
ada di dadanya kelihatan tidak separah sebelumnya. Wiro 
ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian yang 
tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya 
berbisik, “Terima kasih... Kau menyelamatkan nyawaku...” 
Wiro tersenyum. “Bukan aku yang menolongmu 
Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau 
Dia belum menghendaki...” Lalu Wiro membantu gadis itu 
bangkit berdiri. Ketika keduanya berpaling ke jurusan 
gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga 
berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah 
lenyap. 
“Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku 
mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul...!” 
“Aku ikut bersamamu!” kata Wiro pula. 
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja 
menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus 
sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, pegang 
lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ. 
Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar 
suara orang berseru, “Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi 
dulu! Bebaskan kami dari totokan ini!” 
Wiro dan Simanti hentikan langkah. “Aku pikir-pikir 
memang kasihan kedua pemuda itu. Apa yang terjadi 
bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka.” 
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan 
melepaskan totokan di leher pemuda itu. Tapi alangkah 
terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas 
totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya. 
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan 
kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau 
saja murid Sinto Gendeng tak lekas rundukkan kepala, 
mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang 
terbuat dari baja itu! 
“Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu?!” tanya 


Wiro. 
“Kau lupa kalau tadi kau menghina aku dan saudaraku 
sebagai dua ekor kampret?! Pantas kalau saat ini aku 
memberi pelajaran padamu!” sahut Bimo Argomulyo. 
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. “Sama 
saja aku seperti melepas anjing kejepit. Begitu dilepas 
menggonggong dan malah menggigitku!” 
“Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau 
samakan diriku dengan anjing! Makan panahku ini!” Bimo 
Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro. 
“Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong. 
Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!” 
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda 
pangkal leher putera Ketua Partai Bintang Blambangan itu. 
Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang 
seperti tadi, malah kini totokan lihay itupun membuat 
mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil tertawatawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu 
hanya bisa memandangi dan tak berani keluarkan ucapan 
apa-apa meskipun mulutnya masih bisa bicara. Diam-diam 
dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah 
hingga bukan kebebasan yang mereka dapat malah 
kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa 
lama totokan itu akan lepas dengan sendirinya. Mungkin 
setengah harian, mungkin satu sampai dua hari. Dan saat 
itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba. 
Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua 
berada dalam keadaan seperti itu! 

BAB 9

DEWI Tombak Api alias Sumitri menggolekkan 
badannya yang bagus di lantai reruntuhan candi. 
Saat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk 
tenggelamnya. Langit yang kebi
ruan kini seperti disaput 
oleh warna kuning keemasan. Serombongan burung pipit 
terbang di udara melintas candi menuju ke selatan. 
Sumitri bangkit dan duduk termenung. Dalam hatinya 
timbul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. 
Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru 
demikian rupa. Bukan hanya oleh guru dan adik 
seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh silat dan 
pimpinan perguruan. Apa yang telah merasuk dalam hati 
dan jalan darahnya hingga dia melakukan perbuatanperbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia tidak sanggup 
menolak semua rangsangan itu bahkan menambah 
dosanya dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan! 
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang 
menghormati dan merasa berhutang budi padanya karena 
dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan hitam 
musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang 
dibuatnya, semua kebaikan dan pahala yang dilakukannya 
seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan air yang tidak 
berbekas di atas pasir panas. 
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya 
lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan 
candi itu. Karenanya dia memutuskan untuk melanjutkan 
perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat melangkah 
tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di 
hadapannya telah berdiri sepasang kakek nenek

berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti 
pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning 
karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning. 
“Siapa kalian?” bentak Dewi Tombak Api yang melihat 
gelagat tidak baik. 
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka 
tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus 
sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang. 
“Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas 
terangkan siapa kalian dan punya maksud apa menghunus 
senjata di depanku!” 
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu 
berkata, “Aku pantang bicara dengan perempuan bejat 
seperti dia! Kau saja yang bicara!” 
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu 
membuka mulut, “Kami Sepasang Macan Kuning dari 
Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang 
murid perempuan kami lalu menculik seorang pemuda 
yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui dalam 
keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa 
dia masih sempat menerangkan bahwa kau telah 
menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat. 
Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu 
membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui 
dalam keadaan hidup...” 
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek. 
“Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih. 
Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini 
bersiaplah untuk mampus!” kata si nenek pula. 
“Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku 
memang menyesal membunuh muridmu itu...” 
Si nenek pelototkan matanya. “Penyesalan selalu 
datang belakangan itu tak ada gunanya!” Nenek ini 
berteriak keras lalu bersama-sama dengan si kakek dia 
menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning 
matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi 
membabat ke arah perut. 


Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana 
dua serangan itu bukan saja sangat cepat dan ganas tapi 
disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi 
Tombak Api merasa ngilu. 
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke 
belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua 
tangannya. Dua gelombang angin menerpa deras ke arah 
kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan 
seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling 
tidak terdorong jauh. Tapi kenyataannya Sepasang Macan 
Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju, membuat 
Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke 
belakang, menjauhi kedua lawan. 
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi 
Tombak Api berkelebat kirimkan hantaman tangan kanan 
ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek. 
Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan 
masing-masing diputar demikian rupa hingga memapaki 
lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia meneruskan 
serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam 
lawan, tapi lengan dan kakinya tak akan lolos dari 
sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning dari Merapi. 
Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi 
terpaksa cari selamat dengan melompat dan tarik jotosan 
serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu 
maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di 
bagian perut robek besar! 
“Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau 
tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang 
dibuat meregang nyawa!” 
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik 
punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat 
di udara. 
“Tombak api!” seru si kakek dan si nenek berbarengan. 
Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini 
mereka cuma mendengar cerita saja. Sekarang mereka 
menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak 

pendek yang menyala laksana baja menyala. 
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang 
Macan Kuning dari Merapi tidak merasa jerih. Mereka 
sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam 
sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa 
banyak bicara kakek dan nenek itu kembali merangsak 
maju. 
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran 
segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss! 
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya 
sedang tangan kiri ikut melepas pukulan tangan kosong. Si 
nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya tegak dia 
lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga 
dalam tinggi. 
Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang 
menyambar di tempat itu membuat si nenek cepat 
bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api. 
Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang 
serta pukulan saktinya tak bisa berbuat apa-apa dengan 
cepat melompat ke samping. Namun terlambat. Lidah api 
sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan 
pakaiannya serta-merta dilamun api. Orang tua ini menjerit, 
jatuhkan diri dan bergulingan di lantai candi berusaha 
memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui 
ajal dengan tubuh hangus terpanggang! 
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung 
keras. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat 
laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya. 
Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya. 
Traang! 
Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang 
terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek 
memperhatikan ternyata kelewang itu telah penyok-penyok 
dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri kelihatan 
hangus menghitam. 
“Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati 
percuma. Suatu waktu aku harus membalaskan sakit hati 

dendam kesumat ini!” Begitu si nenek membatin. Maka 
ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu 
lebih lama lagi perempuan tua itu berkelebat ke kiri. 
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah 
api menyambar. Si nenek selamat karena lidah api 
terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi 
korban. Tenggelam dalam kobaran api! 
Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih 
cepat. Tubuhnya terasa panas. Cuping hidungnya kembang 
kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya 
mulai menggigil. 
“Perasaan itu muncul lagi... Ah... aku tak tahan... Aku 
tak tahan...!” Dewi tombak Api sisipkan kembali senjatanya 
di balik punggung pakaian. Kedua lututnya terlipat dan 
perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang 
melanda tubuhnya semakin menggelora, semakin 
membakar. Kedua matanya memandang berkeliling. 
Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di 
dalam dada dan di seluruh pembuluh darahnya. Dalam 
keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di 
lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan 
mencakar-cakar lantai batu. Dari mulutnya keluar suara 
erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek pakaiannya. 
Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang 
memang sudah robek besar disambar kelewang. Sesaat 
kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan 
seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya 
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan dan 
sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca 
batu itu. Dia menggerung halus. Lalu melompat ke 
hadapan arca, memeluk menciuminya, menggesergeserkan badannya ke badan arca! 
“Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau 
lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!” 
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicaricarinya. Masih merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi 
Tombak Api palingkan kepala. Dan dilihatnya kakek 

buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan 
sebagai guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki 
yang harus siap melayaninya. Kalau tidak dia bisa mati 
berdiri ditambus bara nafsu! 
“Kebo Kenanga...” desis Sumitri menyebut nama 
gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia 
melangkah setindak demi setindak mendekati Resi 
Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu 
pejamkan kedua matanya. Tak sanggup dia melihat 
keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah 
kesalahan sang Resi, begitu matanya dipejamkan, Dewi 
Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan menciumi 
tubuhnya. 
“Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!” teriak Resi Tambak 
Kebo Kenanga. 
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu 
dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga 
keduanya jatuh terhampar di lantai candi. Waktu jatuh 
sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri. 
“Murid sesat dan mesum! Pergi!” teriak sang Resi. Lalu 
lutut dan tangan kanannya bergerak. 
Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya 
mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan 
dinding candi. Tapi dia segera berdiri lagi, ulurkan kedua 
tangan sambil melangkah ke arah gurunya. 
“Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku. 
Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong... Jangan 
biarkan aku terbakar oleh derita ini...” 
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur. 
Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba 
membabat ke depan, tepat menghantam pinggul muridnya. 
Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat 
tubuhnya terbanting ke kiri. Tapi daging atau tulang 
tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau 
sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh 
manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling 
tidak akan remuk! Kalau sudah begini Resi Tambak Kebo 

Kenanga tidak melihat cara lain. “Aku harus bisa 
menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku 
harus membunuhnya. Ah, kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku 
terpaksa melakukannya...” 
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan 
kanannya menyambar sedang tongkatnya menusuk ke 
arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti 
kesetanan itu gerakkan tangan kanannya. 
Traak! 
Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan. 
Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke 
lantai candi. Dan pada saat itu pula sang murid jatuhkan 
diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan sang Resi 
melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan 
keras. 
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping, 
jatuh menubruk arca! 
“Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah 
mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!” teriak 
Dewi Tombak Api. Lalu dia cabut senjata pembawa bahala 
itu dan pukulkan ke arah gurunya. 
Wusss! 
Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga 
yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri. 
Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur 
tubuhnya! Kakek ini hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan 
mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang dan menebar 
bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi! 
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api 
untuk kedua kalinya membuat rangsangan di tubuh Dewi 
Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini menjerit, 
menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan 
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan. 
Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada 
suara disertai berkelebatnya sesosok bayangan. 
“Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu. 
Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap 

menungguku!” 
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh, 
menjerit kegirangan lalu rangkul tubuh orang tua yang 
barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas lantai. 
“Anak manis... Sekali ini aku tidak akan membiarkan 
kau meninggalkanku lagi. Ke mana kau pergi aku akan 
selalu mendampingimu!” 
“Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan 
pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss...!


BAB 10

DUA MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan 
laknat terkutuk. Lelaki
 yang bergegas membuka 
pakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang 
sakti yang lebih tepat disebut sebagai juru guna-guna. 
Dialah yang telah memberikan Tombak Api kepada Sumitri 
setelah terlebih dahulu diisi dengan guna-guna yang 
membuat gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu bejat 
setiap dia mempergunakan Tombak Api dengan 
pengerahan tenaga dalam. 
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan 
sulah. Usianya hampir mencapai enam puluh tahunan. 
Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut 
palsu berwarna hitam campur kelabu. 
Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana 
hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di 
belakangnya dan, buk! Satu tendangan keras menghantam 
pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan mencelat mental. 
Di saat yang sama terdengar pekik perempuan. 
“Guru!” 
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi 
Tambak Kebo Kenanga. Menyusul terdengar suara isak 
tangis. Tangis Simanti. 
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan 
kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang 
yang remuk, Dewi Tombak Api sudah melompat tegak dan 
memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang 
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng 
yang tegak berkacak pinggang. Dialah tadi yang 
menendang Ki Kamandoko.


“Kau...,” seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya 
keras tapi tak ada perasaan marah. “Kau... kau datang 
tepat pada waktu aku membutuhkan seorang lelaki. 
Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu. 
Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan? Wiro bawa 
aku, dukung dan peluk diriku...” Lalu Dewi Tombak Api 
melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng 
seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar. 
“Dewiku kekasihku... Jangan kau lupakan diriku!” 
terdengar suara Ki Kamandoko. “Aku satu-satunya 
kekasihmu untuk bersenang-senang!” 
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki 
berkepala sulah itu lalu mendengus. “Kambing botak tak 
tahu diri! Kalau ada yang lebih muda masakan aku memilih 
dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu 
kesenanganku!” 
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki 
Kamandoko menjadi marah. “Kau yang tak tahu diri 
Sumitri!” bentaknya. “Kau akan menyesal berani 
memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!” 
“Siapa sudi melihat tampangmu!” teriak Sumitri. Tapi 
tak sengaja kedua matanya sempat beradu pandang 
dengan juru guna-guna itu. 
“Jangan lihat matanya!” berteriak Wiro. 
Namun terlambat! 
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki 
Kamandoko. Pantulan ini jatuh di atas kedua mata Sumitri. 
Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua 
berambut palsu dan bertubuh kerempeng, melainkan 
seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti 
pangeran. 
“Kau... kau! Belum pernah aku melihat pemuda 
segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu...” 
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko, 
Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya. 
“Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan? 
Mencari mati berani menghalangiku?!” bentak Dewi 

Tombak Api. 
Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok 
tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa 
si gadis malah tertawa panjang. Di belakangnya Wiro 
mendengar Ki Kamandoko berkata, “Tak ada satu totokan 
pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!” 
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia 
tahu kalau Ki Kamandoko menyerangnya. Dengan cepat 
Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil 
menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. 
Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar 
menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru 
guna-guna ini menjadi kaget dan cepat menyingkir. Namun 
pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat 
sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik 
seperguruan Dewi Tombak Api. 
Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang 
mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna. 
Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat 
rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil 
menendangnya. Ketika Simanti menghantam dari samping 
sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro 
membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tibatiba berteriak, “Masa kan kau hendak membunuh guru 
sendiri!” 
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget 
ketika dilihatnya di hadapannya kini bukan Ki Kamandoko 
yang diserangnya melainkan gurunya sendiri, Resi Tambak 
Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah 
mati? Dibunuh oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api? 
“Ilmu tenung keparat!” teriak Pendekar 212 yang 
segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu 
tendangan ke arah Resi Tambak Kebo Kenanga palsu itu. 
Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar 
ke arah wajahnya. Mau tak mau Wiro batalkan 
serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam 
ke atas dengan tangan kanannya

Bukk! 
Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi 
Tombak Api. Sang Dewi terpekik seraya melompat mundur. 
Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke 
dinding candi. 
“Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!” 
ujar Wiro dalam hati. “Kalau aku tidak segera menghantam 
dengan pukulan Sinar Matahari urusan bisa berabe!” 
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke 
tangan kanan. Dalam waktu sekejapan tangan itu berubah 
menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa 
panas terasa menghampar di tempat itu! 
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro 
Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah 
merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai 
terluka di sebelah dalam, tanpa menunggu lebih lama 
segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api 
yang memancarkan warna merah membara! 
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa 
sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habishabisan Ki Kamandoko yang saat itu masih merupakan 
dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu 
silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia 
bejat ini telah terdesak hebat. Tapi dasar manusia licik, di 
saat nyawanya terancam begitu rupa dia segera merapal 
jampi-jampi lalu meniup ke depan. 
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak. 
Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di 
sebuah taman pada suatu lereng bukit yang indah 
pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap 
dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan 
melambai ke arahnya. Simanti tidak pernah melihat 
pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan 
lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah 
mendekati. Inilah bahaya besar yang tidak disadari oleh 
Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng tengah 
menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya. 

Simanti maju satu langkah, dua langkah... semakin 
dekat dengan pemuda di atas kuda itu. Ketika hanya 
tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda ulurkan 
kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu 
Simanti naik ke atas kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu 
bergerak mencekik ke arah leher. Justru di saat itu pulalah 
si gadis tersadar. 
“Taman yang indah, lereng bukit yang permai... Kuda 
putih dan pemuda yang gagah. Eh... Bermimpi atau 
bagaimanakah aku ini...?” Simanti gigit bibirnya sendiri 
sampai berdarah dan serta merta sadar pada saat sepuluh 
jari tangan mencengkeram batang lehernya dan pemuda di 
atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk 
asalnya, menjadi Ki Kamandoko! 
“Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu 
busukmu!” teriak Simanti. Dua tangannya segera 
menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik 
maka tertariklah tubuh Ki Kamandoko. Begitu orang tua itu 
terangkat dari atas punggung kuda, Simanti 
membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut 
reruntuhan candi! 
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya 
yang beradu dengan arca batu remuk dan sakitnya bukan 
kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari sebuah 
kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan 
menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya 
berkomat-kamit. 
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu 
merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya 
terasa seperti membesar dan tubuhnya seperti mengapung 
naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki Kamandoko 
berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu 
mengangkat tangannya dan berseru! 
“Katakan namamu!” 
“Namaku Simanti...” Sang dara yang sudah berada 
dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab. 
“Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!” 

Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya 
mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik 
lehernya sendiri! Gila! 
“Cekik lebih keras! Lebih kencang!” teriak Ki 
Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang 
diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin 
kencang, makin keras. Lidahnya mulai terjulur dan kedua 
matanya membeliak. 
“Terus... Cekik terus!” teriak Ki Kamandoko. 
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau 
pecah. Sesaat lagi cekikannya sendiri akan menamatkan 
riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di 
udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam 
dengan lidah api yang menjilat menggebu. Dua kekuatan 
sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas saling 
labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh 
berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran 
api. Dua lainnya hangus bersama semak belukar yang ada 
di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar berwarna 
hitam! 
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar. 
Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di 
beberapa bagian. Senjatanya, Tombak Api itu, tampak 
masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam tubuhnya 
telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah 
membakar tubuhnya dan harus segera dilampiaskan. 
Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat 
dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia 
mengerahkan tenaga dalam menghantam dengan senjata 
pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu. Dia 
merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh 
Pendekar 212 yang saat itu terkapar di depan tangga 
candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus 
terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar 
dari Tombak Api. Lengan kanan dan bahu serta sebagian 
sisinya tampak merah terkelupas. 
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup 

menangkis hantaman lidah api senjata Sumitri. Wiro juga 
keluarkan suara mengerang. 
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera 
begitu rupa. Tubuhnya terasa panas seperti dipanggang. 
Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya, 
dia gerakkan tangan kanan untuk mencabut Kapak Maut 
Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa berat, sulit 
untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya. 
“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis 
iblis itu benar-benar luar biasa...!” 
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk 
mencabut senjata mustikanya. Gila! 
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan 
seluruh tenaga, menghimpun tenaga dalam. Perlahan 
sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun 
sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212, 
Dewi Tombak Api sampai di tempatnya menggeletak dan 
langsung menindihnya! 


BAB 11

KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak 
Api. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Simanti 
serta Ki Kamandoko. Ketika pukulan 
Sinar Matahari
dan lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti 
yang tengah mencekik dirinya sendiri di luar sadar akibat 
tenung Ki Kamandoko, terlempar tiga tombak dan terguling 
sampai di halaman reruntuhan candi. Kepalanya 
menghantam akar sebatang pohon dan saat itu tenung 
yang menguasai dirinya buyar. Dengan terhuyung-huyung 
gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang 
pertama sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah 
itu. 
Saat itu Ki Kamandoko sendiri berada dalam keadaan 
hancur-hancuran. Pinggulnya remuk dihantam tendangan 
Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras 
membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh 
tubuhnya jatuh melintang di atas tembok pagar candi. 
Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa 
berbuat apa-apa karena tulang punggungnya patah. 
Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti 
melangkah mendekati dengan kedua tangan terkepal. Ki 
Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit 
yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi 
kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu 
tidak kesampaian. 
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. “Manusia 
terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat! 
Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau 
tidak kupecahkan batok kepalamu!” 

Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap 
mengepruk batok kepala Ki Kamandoko yang botak. 
“Aku tidak takut mati...,” jawab Ki Kamadoko. “Tapi 
nafsu zinah yang ada dalam tubuh gadis itu tak ada 
pemunahnya, tak ada penangkalnya!” 
“Jangan dusta!” kertak Simanti. Lalu tangan kanannya 
menghantam dada Ki Kamandoko. Orang tua ini 
mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya 
patah. 
“Kau mau memberikan obat itu atau tidak!” kembali 
Simanti mengancam sambil angkat lagi tangan kanannya. 
“Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul 
kalau Tombak api dijauhkan dari dirinya...” 
“Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh 
dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!” 
“Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap 
sendiri setelah tiga hari...” 
“Tiga hari katamu?! Gila!” 
Plaaak! Plaak! 
Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki 
Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok 
dan bibirnya pecah akibat tamparan tadi. 
“Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus 
kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui 
ajal di tangan murid sendiri!” Sambil menjerit panjang dan 
keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan ke kepala, 
muka dan dada serta perut Ki Kamandoko. 
Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika 
jotosan pertama Simanti menghancurkan mata kirinya. 
Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat 
pecah jantungnya. Pukulan-pukulan berikutnya tak pernah 
dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya pecah, 
nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak 
bernyawa itu dengan segala dendam kebencian. Dia baru 
berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku dan lututnya 
goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko 
terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu 

terduduk bersimpuh dan mulai menangis. 
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan 
merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak 
mendekati sosok tubuh Pendekar 212 yang saat itu penuh 
lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang menyambar dari 
Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya 
karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk 
digerakkan. 
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan 
dirinya telah ditindih oleh tubuh Dewi Tombak Api. 
“Apa yang ingin kau lakukan...?” desis Wiro. Dadanya 
menggemuruh berusaha menahan rangsangan yang 
bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa 
dihindarinya. 
Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang 
memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk 
dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan 
membunuhnya dengan senjata dahsyat di tangannya itu! 

BAB 12 

TAPI hal itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api 
tidak pergunakan senjatanya untuk menusuk dan 
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya 
yang memburu dan hangat menerpa wajah Pendekar 212. 
Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar mendadak 
menjadi sayu, menatap lurus-lurus ke dalam mata Wiro. 
“Apa yang kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas 
membunuhku...?” tanya Wiro. 
“Aku akan mati... Kau akan mati... Kita akan samasama mati, Wiro...” bisik Dewi Tombak Api. “Selagi masih 
bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam 
kenikmatan...?” Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah 
Pendekar 212. Hidungnya menciumi kening, mata dan pipi 
pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan Wiro 
dapat merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah 
bercampur darah tanda lukanya di sebelah dalam semakin 
parah. 
“Kau tak mau memelukku Wiro... Kau tak mau 
merangkul dan menciumku...? Ah... Aku tahu, tangan dan 
kakimu tak bisa kau gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro. 
Akan kupulihkan kekuatanmu asalkan kau mau berjanji...” 
“Berjanji apa?” 
Dewi Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia 
menciumi seluruh wajah Wiro. Perlahan-lahan Tombak Api 
ditempelkannya ke tangan kanan Wiro, lalu perlahan-lahan 
pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak tangan, 
terus ke lengan sampai ke bahu. 
Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan 
tangan kanan itu. Dewi Tombak Api terus saja tersenyum

Kini tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api. 
Hal yang sama terjadi seperti tangan kanan. Tangan kiri itu 
kini bisa digerakkan. 
“Kakimu sekarang... Kakimu akan kubebaskan. Setelah 
itu berjanjilah kita akan bersenang-senang...” bisik Dewi 
Tombak Api. 
Sewaktu kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan 
kembali, niat semula hendak melemparkan tubuh Dewi 
Tombak Api mendadak sontak lenyap. Kebencian apapun 
yang ada dalam diri Pendekar 212 terhadap gadis itu sirna 
dan berganti dengan perasaan lain. Darahnya mengalir 
lebih cepat. Tubuhnya diserang oleh rangsangan aneh yang 
membuat Wiro merangkul dan balas mencium gadis yang 
ada di atasnya itu. Ketika Wiro hendak membalikkan tubuh 
Dewi Tombak Api tiba-tiba ada bayangan kuning 
berkelebat. Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi 
Tombak Api terbetot lepas. Terdengar seruan kaget sang 
dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras. 
Lalu mengumandang suara tawa mengekeh. 
Wiro yang ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan 
darah membasahi pakaian putihnya! 
“Puas...! Aku puas! Kematian sahabatku terbalas 
sudah! Mampus kau gadis cabul!” 
Wiro cepat berdiri dan berbalik. 
Empat langkah di hadapannya tegak seorang nenek 
berpakaian serba kuning dan berwajah juga kuning. Dia 
bukan lain adalah salah seorang dari Sepasang Macan 
Kuning dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning 
menemui ajal di tangan Dewi Tombak Api beberapa waktu 
lalu. 
Hanya satu langkah di hadapan si nenek tergeletak 
tubuh Dewi Tombak Api dalam keadaan tertelungkup. 
Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata 
penimbul bala menancap di punggung kirinya. Si neneklah 
yang telah merampas senjata itu dari tangan Dewi Tombak 
Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai 
menembus jantung! Untuk beberapa lamanya nenek 

berwajah kuning ini masih tegak di tempat itu sambil 
mengekeh puas, tapi sepasang matanya kelihatan berkacakaca tanda dia ingat akan kematian sahabatnya. 
“Aku puas... Aku puas...!” ujar si nenek berulang kali. 
Lalu dia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun 
beranjak dari tempatnya berdiri. Sesaat dipandanginya 
mayat Dewi Tombak Api. “Kasihan, kekejaman dunia 
merenggut nyawanya seperti ini...” kata Wiro dalam hati. 
Lalu dia ingat pada Simanti yang masih duduk bersimpuh 
dan menangis. 
“Simanti...” bisik Wiro seraya membelai rambut gadis 
itu, “Sebentar lagi malam akan turun. Sebaiknya kita 
segera tinggalkan tempat ini...” 
Simanti usut air matanya, mengusap wajahnya 
beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan perlahanlahan anggukkan kepala. Wiro membantu gadis ini berdiri. 
Sepasang mata Simanti menatap ke arah jenazah kakak 
seperguruannya. “Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia 
tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus aku urus. 
Juga jenazah guru. Dan Tombak Api yang menancap di 
tubuhnya itu... Kukira untuk beberapa lamanya masih 
diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus 
mengamankan senjata itu Wiro... Jangan sampai jatuh ke 
tangan orang lain. Kalau sampai ada yang menemukan dan 
mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan 
terulang kembali!” 
Wiro mengangguk dan berkata, “Kita kuburkan saja dia 
bersama senjata itu. Di dekat sini pasti ada kampung atau 
desa. Kita minta bantuan penduduk setempat untuk 
menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi 
untuk Sumitri...” 
Simanti tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya 
dia melangkah mengikuti. Di sebelah barat sang surya 
telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru 
disaput cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur 
menjadi gelap menghitam. Daerah sekitar reruntuhan 
candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai 

terdengar suara burung hantu di kejauhan. 
Kedua orang itu melangkah melewati reruntuhan 
tembok candi di mana terkapar mayat Ki Kamandoko. 
Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang 
sudah jadi mayat itu bergerak bangkit! Satu hal yang tak 
dapat dipercaya. Ternyata sewaktu sosok tubuh Ki 
Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini 
telah lebih dahulu melakukan tenung. Sosok tubuh yang 
ada di atas tembok hanya sosok jejadian belaka sedang 
dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari 
situ! Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Simanti, 
apalagi oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. 
Dengan susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah 
mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api yang menancap 
di tubuh gadis itu. Begitu senjata tersebut berada dalam 
genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah 
Pendekar 212 dan Simanti yang tengah berjalan 
membelakangi. 
Namun telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki 
Kamandoko berlari ke arah mayat Sumitri, Wiro telah 
menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli 
guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat 
Tombak Api mencuatkan lidah api mengerikan ke arahnya. 
Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi masih bisa 
menguasai diri dan cabut Kapak Maut Naga Geni 212. 
Wusss! 
Lidah api menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di 
udara. Suara seperti ribuan tawon mengamuk menggelegar 
dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar putih 
yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api 
yang keluar dari Tombak Api saling tabrak. Dentuman 
dahsyat menggoncangkan tanah seperti membelah langit. 
Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam 
sinar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro dan Simanti 
terbanting roboh ke tanah. Ketika lidah api dan sinar putih 
lenyap, sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Simanti 
tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko hangus 

menghitam, termasuk Tombak Api yang masih tergenggam 
di tangan kanannya. 
“Wiro... Aku takut...,” bisik Simanti di antara isakan. 
“Semua sudah berakhir kini.” balas berbisik Wiro. Dia 
berdiri diikuti oleh Simanti. 
Tiba-tiba gadis ini menjerit. 
“Wiro! Lihat!” 
Wiro memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di 
situ dilihatnya sosok tubuh Resi Tambak Kebo Kenanga 
dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah berubah 
menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar 
Kapak Maut Naga Geni 212 dan lidah api yang saling 
bertabrakan di udara. 


                          TAMAT 

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive