Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 31 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KAMANDAKA SI MURID MURTAD

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SATU


GEROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi kusirnya seorang lelaki tua berjanggutdan berambut putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang

tidak terburu-buru.  Di  sampingnya  duduk  seorang  dara. Rambutnya yang  hitam  pendek  dikuncir  ke  atas  hingga wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak tunggalsi orang tua berjanggut putih. Dara ini memang ber sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalumenyanyi kecil  sambil   menggoyang-goyangkan  tangan   kanan nya yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak inij elas keduanya adalah orang-orang persilatan.

"Mintari  anakku,"  berkata  lelaki  tua  di  atas  gerobak pada anak gadisnya. "Kalau sampai di tempat pertemuan para tokoh silat di Selatan  nanti, jangan sekali-kali  kau berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan bicara kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari tanah Minang yang akan  membawamu  ke  Pulau  Andalas.  Semua  ilmu  ke- pandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk Alam  yang  akan  membawamu  ke  tanah  Minang  dan menggemblengmu di sana.  Ingat juga,  Datuk  itu adalah orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana jangansekali-kali kau meninggalkan sembahyang."

Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar kata-kata   ayahnya.  Tak   lama   kemudian   kembali   dia menyanyi-nyanyi   sambil   membolang-balingkan   tongkat bambunya.

"Anakku, apakahkautidak akan mengatakan sesuatu?"


bertanya sang ayah.

Mintari  hentikan  nyanyian nya,  "Saya  ada  satu  per- tanyaan ayah," ucapnya.

"Katakanlah anakku."

"Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali tokoh-tokohsilat berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya pergi jauh-jauh  ke  negeri  Minang  mengikuti  Datuk Alam Rajo kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesakti- an?"

Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis- nya  itu. Setelah  mendehem  beberapa  kali  diapun  men- jawab. "Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengata- kan:  Jauh  berjalan  banyak  yang  dilihat.  Menuntut  ilmu kalau  perlu sampai  di  Negeri  Cina.  Memang  ayah tahu tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah Minang juga dikenal gudang segalailmu. Di sana kau dapat pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam Rajo jangan kau anggap enteng dia..."

"Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang tua satu itu ayah. Jangan ayah salah sangka."

"Lalu   mengapa   kau   kelihatannya  tidak  suka   pergi bersamanya?"

"Karena  sebenarnya  saya  ingin  dekat  dengan  ayah," jawab Mintari.

Sangayah tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu sudah sembilan belastahun kalau ayah tidak salah ingat. Ayah melepasmudengan segalakeikhlasan."

"Saya tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya tangan  ayahnya seraya  berkata.  "Kalau saya tidak  ada, siapayang mengurus ayah?"

Ucapan anak gadisnya itu me mbuat hati si orang tua tersentuh.  Memang  sejak  ibu  Mintari  meninggal  dunia enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau kau pergidan sanggup mengurus diri sendiri, masakanaku tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama...?"


Baru  saja  ayah  Mintari  berkata  begitu  tiba-tiba  ter- dengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang.

"Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harusdapat mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat apakah kau benar-benar bisa mengurus diri sendiri!"

Ayah dananak itu sama-sama terkejut dan memandang berkeliling.

"Ayah,  ada  suara  tapi tak  kelihatan  orangnya!"  bisik Mintari.

Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian tinggi berada  di tempat  itu.  Manusia yang  muncul seperti  itu biasa-nya tidakmembawaniatbaik.

"Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan." balas berbisik Ki Pamilin.

Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat- nya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di tengah jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga dadanya yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin hentikangerobak sapinya.

Yang tegak  menghadang di tengah jalan  itu ternyata seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hatisi orang  tua  agak  tenteram  sedikit.  Lain  halnya  dengan Mintari.   Gadis   ini   tidak   suka   melihat   perjalanannya dihadangoleh seorang tak dikenal yang bersikap sombong.

"Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Ki Pamilin.

"Aku  sudah  lama  mendengar  nama  besarmu  yang menyandang gelar Pendekar Tangan Baja. Hari ini aku ingin menjajakisampaidimana kehebatan sepasang tanganmu. Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa meng- urus dirisendiri!" Habis berkatabegitu pemuda ini meman- dang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar dan membersitkan  sinar  aneh.  Hati  Ki  Pamilin  mendadak sontak jadi  berdebar.  Pengalaman  hidup  membuat  dia mengenali  arti  cahaya  yang  keluar  dari  kedua  mata


pemuda itu.

"Anak  muda,  hidup  bukan  mencari  lantai  terjungkat. Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa."

"Orang tua,  kata-katamu  enak  di  dengar. Apakah  itu berarti  kau  tidak  punya  nyali  untuk  melayaniku  barang sejurus dua jurus?"

Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat tingkah   dan   mendengar   ucapan-ucapan   pemuda   itu membuka mulut bersuarakeras.

"Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana punya waktumelayani pemuda sombongsepertimu!"

Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggal- kannyadestar birunya. Lalu destar ini, dikipas-kipaskannya. Saat itusinarmatahari memancar terik dan udara memang panas.

"Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari. Bolehkah  aku  tahu  namamu?  Tadipun  aku  sebetulnya sudahkagum mendengar suara nyanyianmu."

Mintari  keluarkan  suara  mendengus  dari  hidungnya. "Ketepilah. Kami mau lewat!"

"Adik cantik, percakapan kitabisaditeruskan kemudian. Aku  ingin  mendengar jawaban  ayahmu. Apakah  dia  se- orang pengecut?"

"Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanyatidak mau mengotori tangan melayanikadal hutan macammu!" jawab Mintari.

Mendengar  kata-kata  itu  kembali  pemuda  di  tengah jalan  tertawa  bergelak.  Tetapi  dalam  tertawa  sepasang matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyaplaluterdengar suara brett!

Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua ini marah sekali. Langsung dia melompat turun dari atas gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si pemuda.  Yang  diserang  sunggingkan  senyum  mengejek dan angkat tangan ngan kirinya untuk menangkis.

Buuukk!

Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukan


Pendekar Tangan Baja terjajar dua langkah ke belakang. Lengan  kanannya  mendenyut  sakit  dan  tampak  merah. Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh silat yang disegani bukan sembarang orang bisa membuat- nya terjajarseperti itu.

"Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu?!" sentak Ki Pamilin.

Si  pemuda  kenakan  destarnya  kembali.  Sambil  ber- kacak pinggang dia berkata. "Namaku Kamandaka. Orang mengenalku dengan  panggilan  Pendekar Tangan  Halilin- tar!"

Mendengar nama dangelaritukembali paras Ki Pamilin berubah. Dia sempat mundur satu langkah. Yang terpikir saat itu adalah keselamatan anak gadisnya.

Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman- daka  bergelar  Pendekar Tangan  Halilintar  lagi-lagi sung- gingkan senyum sinis.

"Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar Tangan  Halilintar!  Bukan  ini  satu  pertemuan  yang  luar biasa?!"


***






DIATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang robek   akibat   tarikan   kurang   ajar   Kamandaka. Dengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-

lompat dari gerobak itu. Dia bermaksudhendak menyerang si  pemuda.  Tetapi  hatinya jadi  bimbang  ketika  melihat bagaimanaayahnyayang memilikikepandaian begitu tinggi tampak terjajardalambentrokan pukulan Tadi.

"Orang  muda,  kalau  kau  benar  Kamandaka  manusia terkutuk yang dicari-cari di tujuh penjuru angin itu, maka ketahuilah hari ini hari terakhir bagimumelihat dunia!"

"Ha  ...ha! Ternyata  kau  bukan seekor  macan  kertas. Kalau   kau   memang   punya   nyali   mari   kita  teruskan berbincang-bincang   dengan  tangan   dan   kaki.   Namun sebelumnya aku ingin memastikandulu agar anak gadismu ini  tidak  pergi  ke  mana-mana!"  Habis  berkata  begitu Kamandaka melompat ke hadapan Mintaridan menyergap dengan satu totokan.

Dari  samping  Ki  Pamilin  datang  menyambar  dengan pukulan  ke arah  kepala  Kamandaka  hingga  pemuda  ini tidak sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis. Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga dalam tinggi, mengeluarkan suara bersiur menggidikkan. Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya mengelak tampakaneh. Tubuhnyaberputarmembelakangi lawan.  Lalu  tiba-tiba  kaki  kanannya  mencelat  ke  atas seperti  tendangan  seekor  kuda.  Kalau  Ki  Pamilin  tidak bertindak  waspada  tendangan  dahsyat  itu  pasti  akan


menghantam rahang kanannya!

Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu besar yang jadi tambatan sapi penarik. Terdengar suara berderak.  Kayu  itu  pecah  berantakan  mengejutkan sapi penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas langkah  lalu  berhenti  dekat  kelokan jalan  sambil  tiada hentimengibas-kibaskanekornya.

Dengan  rahang  menggembung  Ki  Pamilin  lancarkan serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya diulurkan   ke   depan.   Kamandaka   melihat   bagaimana sepasang tangan itu kini berubah menjadikeputih-putihan.

"Ah,  kau  mengeluarkan  ilmu  kesaktian Tangan  Baja!" seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya. Sudah  sejak  lama  dia  mencari-cari  orang  tua  bergelar Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul orang yang dicarinya,  malah orang ini  muncul membawa serta anak gadisnya yang cantikjelita.

Kamandaka    menunggu    dengan    kedua    kaki    di- renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada. Ketika kedua lengan ini salingdigosokkan maka kelihatan jelas  warnanya  berubah  menjadi  hitam.  Diam-diam  Ki Pamilin menjadi terkesiapjnga melihat hal ini. Sejak lama dia  sudah  mendengar  akan  kehebatan  dan  keganasan Pendekar Tangan Halilintar. Dan selama ini belumada satu lawan   atau   seorang   tokoh   silatpun   yang    mampu menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua memutuskan untuk menggempur Kamandakalebih dulu.

Didahului  dengan  satu  bentakan  keras  Ki  Pamilin dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja. Tetapi apa yang terjadisungguh dahsyat!

Dari kedua tangan Ki Pamilin sepertimenyemburkeluar dua jalur sinar putih. Inilah sinar baja yang mengandung hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi ke- kuatandan kerasnya tidak bedasepertibatangan baja!

Wus!

Wus!


Dua  sinar  menyambar  ke  arah  kepala  dan  dada Kamandaka.

"Bagus!" Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia jelas  hendak  mengejek  dan  memandang  rendah  lawan. Begitu  dua  sinar  baja  menderu  ke  depan  Kamandaka melompat kesamping. Dari samping dia dorongkan telapak tangan kanannya.

Dua  sinar  baja  laksana  dua  batangan  terdorong  ke samping.   Menghantam  sebatang   pohon  jati.   Pohonini laksana  ditembus tombak  raksasa,  berderak  patah  lalu tumbang dengan suara menggemuruh.

Ki Pamilin merasakandadanya sepertiterbakar karena geram tetapi bersamaan dengan itu tengkuknya menjadi dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh yang  benar-benar tangguh. Sekali  dia  mengeluarkan se- rangan  tersebut  tak  pernah  ada  lawan  yang  mampu menghindardarikematian. Kini diatelah melakukan hal itu danternyata lawandengan mudahdapat menghindarinya!

"Luar   biasa,   dari   mana   anak   semuda   ini   punya kepandaian  begini  hebat!"  kata  Ki  Pamilin  dalam  hati. Diam-diam   dia   merasa   malu.   Selama   ini   dia   telah menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari ini dia tersandung oleh  seorang  yang   usianya   hanya  sepertiga   usianya! Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya mengerahkan setengahbagian tenaga datam yang dimiliki- nya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi ber- kilat.

"Bagus!"  Kamandaka  memuji.  "Kalau  sudah  seluruh tenaga  dalammu  kau  kerahkan,  tunggu  apa  lagi!  Ayo hantamlah!"

"Pemuda ini sombongsekali. Kudengar kejahatan yang dilakukannya  setinggi  langit  sedalam  lautan!  Kalau  aku tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri dari dunia  persilatan  untuk  selama-lamanya!"  Lalu  dengan


rahang   terkatup   rapat   Ki   Pamilin   dorongkan   kedua tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar baja yang  melesat  keluar dari  kedua tanangan orang tua  itu tampak lebih besar dan lebih menyilaukan. Hawa panas ikut menyambart

Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada kedua tangan, diam-diam Kamandaka telah pula mengatur hawasakti yang berpusatdi perutnya, lalumenyalurkannya pada  kedua tangannya. Sambil  menyalurkan  hawa sakti Kamandaka menyilangkan kedualengannya didepandada lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan pemuda ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan yang bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan. Terdengar    suara    meledak    seperti    suara    halilintar membelah langit. Tanah bergoncang. Pepohonan berderak- derak  seperti  hendak  tumbang.  Satu  gelombang  sinar hitam menggebubukedepan.

Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana teng- gelamditelangelombang hitam yang dahsyat itu. Orang tua ini tersentak  kaget. Tubuhnya terdorong  keras.  Dia  ber- usaha bertahan sambil dorongkan  lagi kedua tangannya dan merapalajikesaktian lain untuk memperkuat diri.

Kamandaka tertawa mengekeh.

"Keluarkan  seluruh  ilmumu  Pendekar  Tangan  Baja!" katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan kepala disilangkan kembali. Saat itu jugaterdengar suara ledakan  dahsyat.  Langit  laksana  hendak  runtuh.  Tanah sepertiterbongkar. Ki Pamilin lenyapdalam buntalansinar hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit.

Tubuh  orang tua  itu terlempar sampai satu tombak. Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya perlahan-lahan  berubah  menjadi  hitam,  pertanda  bahwa pukulan sakti yang dilepaskan  Kamandaka selain dialas dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengan- dung racun sangat jahat.

"Ayah!"

Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayah-


nya. Gadis ini memburu. Kamandaka cepat ulurkan tangan menyambar pinggangsi gadis.

"Manusia jahanam!"  teriak  Mintari.  Dia  berbalik  dan tongkat bambu di tangan kanannya dihunjamkan ke perut Kamandaka.  Baju  biru  Kamandaka  tampak  berlobang besar. Tetapi  hebatnya  perutnya tidak cidera sedikitpun. Malah  Mintari  merasa  ada  satu  dorongan  keras  ketika ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang membuat tangannya bergetar.

"Gadis hebat!" seru Kamandaka. "Tunjukan kehebatan- mu kalau nanti kauberadadalampelukanku!"

Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia membalik dan kini tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku ayal lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan tongkat bambu ataupun senjatatajam. Tetapi pada kedua matanya sama sekali tidak ada kekebalan. Selain itu dia tahu  bahwa  gadis  itu  memiliki  kepandaian  yang  cukup tinggi berkat gemblengan ayahnya.

Kamandaka  cepat  menggeser  kedua  kakinya  sambil miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanannya  melesat  ke  atas  menangkap  ujung  tongkat. Begitu   ujung   tongkat   berada   dalam   genggamannya, Kamandaka   dengan   cepat   menariknya.   Karena  tidak sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik ke depan. Sebelum diabisaberbuat sesuatu apa tahu-tahu dia sudah beradadalam pelukan Kamandaka. Malah satu ciuman sipemudasempat menyambar pipinya!

"Jahanam  kurang  ajarl"  Makian  itu  disertai  gerakan mencakar ke muka Kamandaka. Tapi Mintari kalah cepat. Kamandaka  lebih cepat  menotok jalan darahnya  hingga tubuh sigadiskakutakbisa bergerak lagi. Hanya suaranya sajaterdengar memaki tak putus-putusnya.

Sambil  tertawa-tawa  Kamandaka  memanggul  tubuh Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian bawah belakang gadis itu sehingga semakin keras kutuk serapah keluardari mulut Mintari.


"Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi kau akantergila-gila padaku. Berpisah sesaatpun kau tak akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa Mintari ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di lantai gerobak sebelah belakang.

Dari  dalam  mulut  Ki  Pamilin  tampak  banyak  darah mengalir.  Nafasnya  sesak  dan  dari  tenggorokannya  ter- dengar  suara  seperti  ayam  dipotong.  Samar-samar  dia melihat  Kamandaka  memanggul  tubuh  Mintari  ke  arah gerobak.

"Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia..." orang tua ini  hanya  bisa  memohon  dalam  hati.  Tangannya  coba diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda. Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya ber- tambah gelap.  Pada saat jantungnya  berhenti  berdetak, nyawanyapun lepas meninggalkan jazad.

Di atas gerobak Kamandaka berlututdisamping tubuh Mintari. Mulutnya menyeringai, nafasnya menderu diburu nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara pakai- an robek beberapa kali.

"Manusia  jahanaml  Iblis!  Lepaskan  aku!  Lepaskan!" teriak Mintari.

"Nanti  juga   akan   kulepaskani   Sekarang   biar   kita bersenang-senang dulu!"

"Lebih  baik  kau  bunuh  diriku!" teriak  Mintari  lalu  dia menjerit berulang kali.

Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu bukan membuathiba apalagi takutdalam diri Kamandaka. Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan celana  birunya.  Kedua  tangannya  meraba  kian  kemari. Ketika diasiap untuk melakukan kebejatan itutiba-tibadi belakangnyaterdengar suara derap kaki kuda. Kamandaka menoleh ke belakang.

Dua  orang  penunggang  kuda  berseragam  perajurit Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan men- jerit dari atas gerobak itu,kedua perajurit ini hentikan kuda


masing-masingdi samping gerobak.

Tentu saja keduanyaterkejut melihat pemandangan di dalam gerobak terbuka itu.

"Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini?!" salah seorang perajurit membentak.

"Siang bolong! Di tengah jalan1" Perajurit yang satu lagi ikut menghardik.

Melihat  munculnya  dua  orang  perajurit  Kerajaan  ini Mintari merasa dirinya pasti akan mendapat pertolongan. Maka diapun  berkata. "Tolong. Tolong selamatkan diriku dari manusiadurjana  ini!"

Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus yang  menggeletak  di  atas  gerobak  itu.  Mau  tak  mau keduanyajadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang satu lagi memandang dengan mata tak berkesip. Yang ter- akhir ini berpaling pada Kamandaka.

"Kau tahu  kalau  kau telah  membuat satu  kesalahan besaryang bisa membuat kepalamudijirattaligantungan?"

Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua perajurit itu mulai dikobari nafsu. Benar saja karena yang satu kemudian berkata.

"Sobat, jika kau mau membagi-bagirejeki besar ini pada kami berdua, kami tidak akan menangkapmu atau mem- buat perkara!"

Kamandaka    menyeringai.   "Kalau    kalian    memang berminat  aku   bersedia   memenuhi   permintaan   kalian. Malah  kalau  mau  kalian  boleh  bersenang-senang  lebih dulu. Naiklah ke atas gerobak ini. Aku mengalahtidak jadi apa."

Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi tanpa tunggu lebih lama segera turun dari kuda dan siap naikke atas kereta.

"Hus! Tunggu dulu!"  kata  Kamandaka. "Sebelum  naik lebih  baik  kalian  tanggalkan  dulu  semua  pakaian  yang melekat  di tubuh  kalian  Gerobak  ini sempit. Akan sulit membuka pakaiandisini!"


"Kau benar!" kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa malu-malu dia segera menanggalkan pakaiannya. Kawan- nya tidak  mau  ketinggalan, segera  pula  melakukan  hal yang sama.

"Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naikke atas gerobak. Aku biar menunggu di dekat pohon sana sambil berjaga jaga," kata Kamandaka pula.

Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itunaikke atas gerobak.  Namun  belum sempat  kaki  mereka  menginjak lantai  kereta,  kedua  tangan  Kamandaka  bergerak  me- mukul.  Terdengar  suara  bergedebuk  dua  kali.  Kedua perajurit itu keluarkan jeritan hampir berbarengan. Tubuh mereka   terbanting   ke   tanah.   Keduanya   mengerang seketika lalutak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka remuk.

Kamandaka  meludah  ke  tanah.  Dia  berpaling  pada Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis ini memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun yang bisamenghalangi perbuatanterkutuk Kamandaka


***



DUA




DI   LAMPING   bukit   Pendekar   212  Wiro  Sableng hentikan larinya. Sejenak diategak berdiam dirilalu memandang ke bawah bukit. Lapat-lapat dia men-

dengar suara  ringkikan  kuda jauh  dibawah sana.  Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem- bedakan mana ringkikan kuda biasa dan mana yang tidak biasa. Segera dia  menuruni  bukit  ke arah terdengarnya suara ringkikan kuda itu. Diasengajamengambil jalan me- mintas walau harus menempuh bagian bukit yang dirapati pepohonan serta semakbelukar. Ketika akhirnya Pendekar ini sampaidi kaki bukit, dia menemuisebuahjalandan me- lihatada bekasbekas jejak roda di tanah.

Wiro  ikuti  jejak-jejak  roda  itu.  Belum  lama  berjalan langkahnya mendadak terhenti. Di kejauhan, dekat jalan yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping kiri  gerobak  kelihatan  dua sosok  mayat  dengan  kepala pecah  dan  tubuh  telanjang  bulat.  Dua  helai  pakaian seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak jauh dari situ  ada  dua  ekor  kuda. Salah seekor  diantaranya meringkik tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak dekat sebatang pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening dangaruk-garukkepalanya. Sosok tubuh ketiga ini takbisa dikenali. Sekujur badan dan pakaiannya berwarna hitam seolah-olah baru sajakeluardari lumpur jelaga.

"Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal akibat racun jahat..." membatin murid Sinto Gendeng. Saat



itulah dia mendengar suara erangan halus. Dia berpaling ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu saja. Suara erangan itu justru datang dari arah gerobak. Wiro  cepat  mendekati  gerobak,  melompat  ke  atasnya. Kedua  kaki  Pendekar  212  laksana  dipantek  ke  lantai gerobak. Matanya hampir terpejam tak kuasamemandang.

"Tolong... tolong..."  Gadis  yang  meoggeletak  di  lantai gerobak  keluarkan  suara  kelu.  Kedua  matanya  hanya membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama  di  bagian leherdandada penuh dengan luka-luka bekas gigitan.

Sambil  membalikkan  tubuh  Wiro  membuka  bajunya. Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang itu. Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalandi bawah  tempat  duduk  kereta  sebelah  depan.  Ketika  di- periksanya  dia  menemukan  sehelai  kain  warna  kuning yang cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinyatubuh gadis itu sedang bajunya dipakainya kernbali.  Lalu Wiro mem- bawagerobak ituke tempat yang teduh.

"Saudari, dapat  kau  menceritakan apa yang terjadi?" Jawaban  yang  keluar  dari  mulut  Mintari  adalah jeritan keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam hati Pendekar 212 sudahdapat menduganasibburuk apa yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan apa  sangkut  paut  kedua  perajurit  Kerajaan  yang  mati telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam itu.

"Ayah... Tolong... Ayah..."

Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan tubuh gadis yang menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan ter- totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu.

"Kau...kau siapa...?"  Pertanyaan  itu  keluar dari  mulut Mintari. Untuk pertama kali sigadistiba-tiba merasa takut.



"Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku berusaha menolongmu..."

Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Peman- dangannya masih meremang. Dia tak dapat melihat jelas wajah orang yang  berlutut di sampingnya.  Kemudian di- rasakannya  ada  sentuhan  pada  bagian  tubuhnya  yang membuat dia bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki- nya kembali.

Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari ber- usahamelompat berdiri. Tapiterhuyung-huyung dia hampir jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan gadis itukepinggiran gerobak. Mintari memandang dengan mata membeliakpadanya.

"Tenanglah, kau takusah takut. Aku bukan orang jahat," kata Wiro meyakinkan sigadis.

"Ayah..." Mintarimemandang berkeliling. Wiro mengikuti pandangannya.

"Ayahmu adadisini?" tanya Wiro.

"Ayah...Manusia  itu  pasti  sudah  membunuh  ayah..." Kemudian gadis ini melihat tubuhhitam yang menggeletak dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya tampak seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis itu. Di sudut depan gerobak dia melihatsebuah bumbung bambu.  Ketika  dibukanya  ternyata  berisi  air.  Air  dalam bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis minum dia kelihatan agak tenangan.

"Sekarang  kau  bisa  mengatakan  apa  yang  terjadi?" tanya Wiro.

Mintari tak  menjawab.  Kain  kuning dibungkuskannya erat-erat ke tubuhnya lalu dia berusaha turun dari atas gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati se- sosok  tubuh  hitam  dekat  pohon.  Wiro  melangkah  di



sampingnya.  Di depan tubuh  hitam  itu  Mintari  hentikan langkahnya.   Matanya   memperhatikan   tidak   berkesip. Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari manis tangan kanan. Meskipun sudah hangus namun dia masihbisa mengenalicincin itu.

"Ayah!" jerit Mintari. Kedua kakinya goyahdantubuhnya langsung jatuh. Wiro cepat memegang gadis ini sebelum terbanting ke tanah.

***

Hari  itu  hari  kelima  di  bulan  lima, suatu  pertemuan rahasia diadakan disebuah rumah tua di kaki Bukit Sedayu di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Raden Bintang, bekasTumenggungyang telah lama mengundurkan diri dari segala macam urusan  Kerajaan. Dalam dunia persilatandia dikenaldengan julukan Rantai Bayangan.  Lelaki  berusia  enam  puluh  tahun  ini  konon memilikisebuah senjata aneh. Jika dia membaca mantera maka  di  tangan  kanan  atau  tangan  kirinya  kelihatan muncul  dan  tergenggam  sebuah  rantai  besi  berwarna hitam. Rantai ini kelihatan seperti bayangan. Tapi jika di- pakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya bisa patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman rantaisungguhan.

Di tempat kediamannya pagiitutelah berkumpul hampir dua puluh orang tokoh dunia persilatan di Jawa Tengah, Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu datang jauh-jauh dari  Pulau Andalas.  Dia adalah seorang kakek berdestar dan  berpakaian serba  hitam.  Kedua  kaki dan pergelangan tangannya dilingkarigelangakarbahar. Dialah Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah punya  rencana  untuk  membawa  Mintari  ke  tempat  ke- diamannya  guna  digembleng  dengan  berbagai  ilmu  ke-



pandaian, silat serta kesaktiandan jugailmu agama.

Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum muncul. Sementara  menunggu acara  resmi dibuka  pada siang  hari  tepat  maka  para  tamu  mengobrol  berbagai macam hal sambil menikmati minuman dan juadah yang dihidangkan. Sesekali terdengar suara gelak tertawa.

Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal. Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan secara amat rahasia.

Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan rumah keduanya mengambil tempat duduk diantara para hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari kursinya. Setelah mendehembeberapa kali dia berkata.

"Saudara-saudara  sekaum   persilatan.  Saya   melihat masih  ada  dua  kursi  yang  kosong.  Karena  waktu  kita sempit sedang yang akandibicarakandalam perternuan ini bukan  cuma  satu  mata  acara,  lalu  mengingat  bahwa Saudara-saudara  tentu  harus  kembali  ke  tempat  asal masing-masing.   Bagaimana   kalau  saya   meminta  agar acara   pertemuan  dimulai  saja  secara   resmi.   Mudah- mudahan  dua  tamu  yang  belum  datang  akan  segera muncul di tempat ini."

"Saya  rasa  kami semua setuju,"  menjawab salah se- orang dari yang hadir. Yang lain-lainnya sama mengiyakan.

"Terima  kasih.  Kalau  begitu  acara  bisa  segera  kita mulai," kata Raden Bintang pula dengan senyum gembira dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama lain.

Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang ter- letak di atas meja. Ketika dia hendak mengetukkan palu ini sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar suara bergemeratak. Raden Bintang berpaling kehalamandiikuti oleh para hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki halaman  dengan  cepat.  Kusirnya  seorang  pemuda  be-



rambut gondrong berpakaiandan berikat kepala putih.

"Kita  kedatangan  tamu.  Tapi  bukan  yang  diundang," kata Raden Bintang. "Di antara yang hadirapakahada yang mengenalinya?"

Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban.

Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat diamemandang agak bimbang pada orang-orang yang ada didalam rumah besar itu.

Namun akhirnya dia  melangkah juga.  Di tangga atas bangunan   dia   berhenti   dan   memberi   penghormatan dengan menundukkan kepala.

"Maafkan saya mengganggu. Apakah disini pertemuan para tokohsilat dari tiga kawasan Pulau Jawa?"

"Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan pertanyaan," kata Raden Bintang.

"Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidakbisa datang karena ada halangan."

Semua  yang  hadir  di  tempat  itu  termasuk  Raden Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut men- dengar nama yang disebutkan.

"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" semua orang menyebut  gelar  itu  dalam  hati  masing-masing.  Mereka tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 212 yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia persilatan.  Dikagumi  para  tokoh  silat  golongan  putih, ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen- jahat. Selama  ini  Pendekar  212  mereka  anggap selalu muncul  dan  menghilang  secara  misterius,  jarang  me- nampakkandiri secara langsung didepan para tokoh silat. Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang ajartetapi berhatipolos: Semua yang hadirtidakmenduga kalau  Pendekar  212  masih  begitu  muda  dan  sangat sederhana.



Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden Bintang.  Tuan  rumah  bermaksud  segera  membacanya namun  urung  ketika  mendengar  Pendekar 212  berkata. "Maafkan  saya,  ada  yang  lebih  penting  dari  surat  itu. Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di atas gerobak juga adasesosok mayat."

Semua yang hadirdi situ tentu saja menjadi kaget. Be- berapa di antaranya segera berdiri dan keluar dari rumah besar  mengikuti  Pendekar 212 yang melangkah  menuju gerobak.

Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut ketika menyaksikan apa yang ada di dalam gerobak itu. Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keada- an lemah, terbungkus dengan kain kuning.

"Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon disediakan kamar  untuknya..." kata Wiro lalu  melangkah kembalike arah rumah besar sambil mendukung Mintari.

Seorang  berpakaian  hitam  menyeruak diantara orang banyak.  Lalu terdengar suaranya seperti  harimau  meng- gereng disusul seruan keras.

"Mintari! Apa yang terjadidenganmu Nak?!"

Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut menoleh. Yang tadi berseru ternyata adalah Datuk Alam Rajo  Di  Langit.  Dia  mengenali gadis yang berada dalam dukungan Pendekar 212 itu.

"Datuk," ujar Raden Bintang. "Kau mengenaligadis ini?"

"Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan ayahnya Ki Pamilin yang bergelar Pendekar Tangan Baja aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan begini. Di mana ayahnya?!"

"Ya dimana Ki Pamilin? Dia salah seorang tokoh silat yang kita undang!" kata Raden Bintang pula.

"Tokohsilat itutelah jadi korban pembunuhan biadab!"



Orang banyak yang ada di tempat  itu termasuk tuan rumah Raden Bintang menjadi geger. Lalu suasana hening beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi keterangan.

Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua kali lompatsaja Raden Bintang sudah sampai disamping gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak.

"Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang menemui ajalseperti ini. Yaitu murid murtad Ketua Partai Semeru  Raya  di  Timur  Orangnya  bernama  Kamandaka bergelar Pendekar Tangan Halilintar!"

"Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu yang membunuh ayahnya," kata Wiro pula.

Kembali tempat itudilanda kegemparan.

Salah seorang dari mereka berkata. "Justru acara kita paling  penting dalam  pertemuan  ini adalah  untuk  mem- bicarakan manusiaterkutuk itu! Belum sempat berunding kini sudahjatuh lagi satu korban baru!"

"Dan  anak  gadis  Ki  Pamilin  ini  pasti  sudah…"  Orang yang bicaratidak tega meneruskan ucapannya.

Seseorang  memberi  Isyarat  agar  Wiro  mengikutinya. Mintari dibawa masukke dalamsebuahkamar. Dua orang perempuan  separuh  baya  yang  sebenarnya  adalah juru masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu masukke dalam kamar guna merawat Mintari.

Atas  permintaan  Raden  Bintang, Wiro  kemudian  me- nuturkan   apa   yang   diketahuinya   yakni   mulai   ketika pertama kali dia menemui para korban sampai pada pen- jelasanyang disampaikan Mintarisebelumjatuh pingsan.

Mau tak mau acara pertemuan hari ituditundasampai jenazah  Ki  Pamilin diurus dan dimakamkan di  halaman belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang ber-



kumpul kembali didalam rumah. Raden Bintang berpaling pada Pendekar 212.

"Saya  sudah  membaca  surat  Eyang  Sinto  Gendeng. Saya  dan  tentu  semua  orang  yang  ada  disini  merasa menyesaltokohsakti dari Jawa Barat itutidak bisa hadir. Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang Pendekar 212 untuk mewakilinya."

Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia masih berdiritapi kini garuk-garukkepala. "Maafkan saya," katanya. "Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan bahwa  Eyang  tidak  bisa  datang.  Beliau  tidak  memberi wewenang pada saya untuk bertindak sebagai wakil pada pertemuan para tokoh ini."

"Pendekar 212 walau  Eyang Sinto Gendeng  memang tidak menuliskan bahwa kau boleh mewakilinya, tapi kami semua yang hadir di sini sama  menyetujui dan tak ada yang keberatan," Kata tuan rumah pula.

Kembali  Pendekar  212  menggaruk  kepala.  "Mohon maaf. Saya merasa tidak punya bobot untuk tegak sama tinggi  dan  duduk  sama  rendah  dengan  semua  orang pandai yang adadisini. Izinkan saya minta diri..."

Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun cepat  berkata  ketika  dilihatnya  Wiro  hendak  membalik. "Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan tindakan yang harus diambil terhadap Kamandaka murid Partai Semeru  Raya  itu! Jika  dibiarkan semakin  banyak korban yang jatuh.  Kau  menyaksikan sendiri  bagaimana kejinya dia membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormat- an  anak  gadis  orang  tua  it u.  Menghabisi  nyawa  dua perajurit Kerajaan. Bahkan belasantokoh silat sebelumnya telah  dihabisinya.  Apakah   kau   ingin   berlepas  tangan saja...?"

Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung, kini sebaliknya Pendekar 212 Wiro Sableng yang merasa



tersinggung dan dipojokkan.

"Kalau saya tidak ikut dalam  perternuan ini bersama para tokoh yang saya hormati, bukan berarti saya hanya bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada kalanya seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat menebar maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang telahdilakukan orang-orang persilatan? Saya mintadiri..."

Wiro  membalikkan  badannya  dan  melangkah  cepat meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana paras Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata yang diucapkannyatadi. Sambil melangkah Pendekar 212 Wiro Sableng  menggerendeng.  "Pertemuan...  pertemuan! Berunding,  bicara tak  habis-habisnya. Seharusnya sudah sejak dulu-dulu mereka melakukantindakan nyata, bukan cuma bicara!"

Baru saja Wiro mengomel seperti itudi sebelahnya ter- dengar satu suara. "Kau betulanak muda! Urusan kapiran macam beginitidak bakalberes kalau cuma dibicarakan di belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan. Aku ikut bersamamu!"

Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya ternyata  adalah  orang tua  berpakaian serba  hitam  dan memakai  gelang  bahar  pada  kaki  dan  tangannya.  Dia bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat dari Andalas yang sebelumnya punya rencana membawa Mintari ke tempat kediamannya.

"Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?" bertanya Wiro sambil terus melangkah.

"Mencari  pemuda  keparat  bernama  Kamandaka  itu tentu!"

"Siapa bilangaku saat ini pergi mencarinya?"

Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikan



langkahnya. Di depannya Wiro kembali berkata. "Saat ini bukankah lebih penting bagimu merawat calon muridmu itu? Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para tokohsilatdi Tanah Jawa ini."

Ingat  pada  Mintari  Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit  jadi bimbang. Lalu perlahan dia berkata. "Memang sebaiknya aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu." Di- pegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan tubuh,kembali menuju rumah besar tempat pertemuan.

Ketika dia sampaiditempat itukembali ternyata semua orang yang adadisitu tengahdilanda kegemparan.

Terheran-heran  Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit  bertanya. "Apa yang terjadi? Banyak orang bermuka pucat kulihat. Kegemparan apa yang adadisinil"

Seseorang menjawab. "Gadis malang bernama Mintari itu lenyap diculikorang!"

"Hah?!"   Datuk   Alam   Rajo   Di   Langit   terbeliak.Dia langsung melompat masuk ke dalam rumah, terus menuju kamardi mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar itu  hanya dua orang  perempuan separuh  baya yang se- belumnya diperintahkan merawat Mintari. Kedua perempu- an ini tertegak di sudut kamardengan mukapucat!

Datuk Alam Rajo Di Langit dekatikedua perempuan itu. "Lekas ceritakan apa yang terjadi!" bentaknya keras dan tidaksabaran.

Dengan   suara   gemetar   salah   seorang   dari   dua perempuan  itu  berkata.  "Saya tengah  membasuh  muka dantubuh gadis itu. Teman saya ini barusaja meletakkan sehelai sapu tangan di  keningnya yang  panas. Tiba-tiba jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada sese- orang  masuk seperti  bayangan.  Dia  berkelebat  ke  atas tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia meng- hilang lewat jendela."

"Kalian  mengenali  siapa  orangnya?"  Raden  Bintang



ajukan pertanyaan.

"Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap dia adalah seorang nenek kurus berkulit hitam. Di kepala- nya adatusuk kundai..."

Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit  berpaling  pada  Raden Bintang. Yang  lain-lainnya juga  berlaku demikian. Saling pandang dan saling menduga.

"Bisa sajatidak mungkin," kata Raden Bintang perlahan. "Namun  manusia  dengan  ciri-ciri  seperti  itu  hanva  ada satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di Jawab  Barat. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!"

"Lekas kita selidiki ke luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit.  "Yang  lain-lainnya  coba  mengejar  pemuda  murid Sinto Gendeng tadi!"

Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi menjadidua rombongan. Satu menyelidiki kemana lenyap- nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan lagi mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng.

Namun kedua orang itutelahraib tak dapatlagi dikejar.


***


EMPAT


DALAM  sebuah   rumah   kayu  di   puncak  Gunung Semeru   lima   orang   duduk   bicara   mengelilingl sebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka jelas  mereka tengah  membicarakan satu  masalah yang penting.

Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Seno- patri, Ketua Partai Semeru Raya yang menyandang gelar Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun tapikeadaan tubuh danwajahnya sepertibaruber-usia 50 tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia digelari seperti itu karena kedua telapak tangannya ber- warna  biru,  mengandung kesaktian  langka di  mana dua tangan itusanggup meremukkan benda sekeras apapun.

Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai wilayah Utara. Di sebelahnya duduk Ageng Sembodo yang merupakan adik Ageng Seto dan menjabatsebagai Ketua Cabang  Partai  wilayah  Selatan.  Ageng  Sembodo  adalah orang paling muda di antara ke lima orang itu, berusia 35 tahundan memilikiwajah gagah.

Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur, bernama Ki Rono Bayu, berusia 76 tahun, jadi lebih tua dari sang Ketua Partai Semeru.

Orang  ke  empat  yaitu  Rana  Tumalaya,  dipercayakan sebagai Ketua Cabang Partai wilayah Barat.

Setelah   mengusap  wajahnya   beberapa   kali,   Ketua Partai  Semeru  Raya  berkata.  "Memang  sulit  dipercaya kalautidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadi



murid harapan masa depan Partai, dikenal cakap gagah, berjiwa penuh kesatriadan memiliki iman yang tinggi. Kini diketahuitelah menebar angkara murka keji di rimba per- silatan.  Dosanya  makin  hari  makin  menggunung.  Kalau ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan semua itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang diamalkan secara sesat?"

"Mungkin sekali begitu Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu. "Lima  orang  anak  murid  Partai  Cabang  Timur  sempat menemui Kamandaka disekitar Karanganyar, tak jauh dari kaki  sebelah  barat  Gunung  Karangpandan.  Karena  se- belumnya sudah saling mengenal maka para murid saya tidak   sungkan-sungkan   menasihati   agar   Kamandaka kembali  ke jalan  benar  dan  segera  menghadap  Ketua Partai untuk minta ampun. Namun apa yang merekaterima sungguh mengenaskan. Empat orang murid partaidibunuh dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did. Dia memberitahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu ilmu  kesaktian  baru yaitu berupa  pukulan Tangan  Halili- ntar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia persilatan."

"Tangan Halilintar!" desis Gamar Senopatri. "Dari mana anak itu mendapatkan ilmu kesaktian itu. Apa yang telah membuatnya berubah menjadisetan? Membunuh bahkan memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-geleng- kan kepala sambil memegangi kalung baja putih dengan perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang mata singa ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau- kilausepertimemantulkan bara api.

"Seorang pemuka agama diselatan mengetahui tempat kediaman Kamandaka. Agaknya sudah saatnya kita harus turun  tangan..."  berucap  Ketua  Cabang  Partai  wilayah Selatan yaituAgeng Sembodo.

Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkan



kedua  telapak  tangannya  yang  biru  satu  sama   lain. "Memang  sudah  saatnya.  Biar  aku  sendiri  yang  akan menemui anak  itu.  Membawanya  kemari  untuk  bertobat dan menebus segala dosa. Kalau diatidak mau akan ku- bunuhdi tempat!"

Baru  saja   Ketua   Partai  Semeru   Raya   itu   berkata demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti.

"Ki sanak  benar!  Murid  murtad  itu  memang  patut di- bunuh. Dipancung kepalanya, dicincang sekujur tubuhnya!"

Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung di atas mejabergoyang-goyang. Ke lima y orangyang adadi ruangan itu cepat berdiri. Merekaberpaling ke kanan.

Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan berpakaian serba hitam. Pergelangan tangan dan kakinya dilingkari  gelang  akar  bahar. Tampangnya sekeras  batu karang dan pandangan matanya seperti api menyambar. Dia  adalah  Datuk Alam  Rajo  Di  Langit, tokoh silat  dari Andalas yang  beberapa  hari  lalu  menghadiri  pertemuan para tokohsilatdi Selatan.

"Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi salam?"   tegur   Ketua   Partai   Semeru   Raya   sekaligus menyindir.

Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit  parasnya  tidak  berubah sedikitpun  oleh  teguran  itu.  Kedua  matanya  menyapu dengan  cepat satu  demi satu  enam  orang yang ada  di ruangan itu.

"Yang  mana  di  antara  kalian  Ketua  Partai  Semeru Raya?"

Gamar  Senopatri  mendehem  beberapa  kali  sebelum menjawab.  Dari  pakaian sang tamu dia segera  maklum kalau orang itu datangdariseberang.

"Tamu  dari  seberang  rupanya  datang  mencari  saya. Saya  Ketua  Partai  Semeru  Raya.  Nama  saya  Gamar Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?"



"Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang gentayangan  malam  melintang  menebar  maut,  menculik dan memperkosa!"

Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat Ketua Cabang tampak tegang. Selama ini belumada orang yang datang membawa persoalan menyangkut diri Kaman- daka.

"Saya  memang guru  Kamandaka,"  kata Gamar Seno- patri.  "Terangkan  dulu siapa  ki sanak dan apa  maksud kedatangan jauh-jauh kesini?"

"Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh silat  di  Selatan.  Mengapa  tidak  muncul  atau  mengirim wakil?"

"Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam pertemuan itu."

"Siapa bilang begitu? Aku datang mauku sendiri!" sahut Datuk Alam Rajo Di Langit.

"Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara baik-baik."

Datuk  Alam  mendengus.  "Siapa  sudi  duduk  dengan kalian orang-orangyang tidak bertanggung jawab?!"

Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat masihbisa menahandiritapi yang paling muda yaituAgeng Sembodo langsung membentak.

"Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam?! Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan salah kalau orang macammu bisadigebuk!"

Datuk  Alam  menyeringai.  "Orang  muda,  di  negeriku manusia bermulut enteng sepertimu sudah lamadisingkir- kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa bicara tapitidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar Pendekar Tangan  Baja dibunuh oleh  Kamandaka secara keji!  Anak  gadisnya  yang  bakal  menjadi  calon  muridku diperkosa!  Aku  datang  membawa  kabar  buruk  itu  agar



kalian segera berbuat sesuatu!  Dan tadi kau bilang aku datang  tanpa  juntrungan!  Bicara  tidak  karuan!  Orang sepertimuseharusnya dirobekmulutnya!"

Para  lima  orang  Ketua  Partai  Semeru  Raya  tampak berubah. Ageng Sembodo mengelamwajahnya.

"Kenapa kalianjadi diam semua? Apa sudah disambat hantu  bisu?!"  sentak  Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit.  Dia menunjuk  tepat-tepat  pada  Ketua  Partai  Semeru  Raya. "Kalau dalamwaktu satu bulan kau tidak bisa menangkap muridmu dan menghukumnya dengan hukuman mati, aku akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak Semeru  akan  aku  obrak-abrikl  Nyawa  kalian  tidak  ada harganya lagibagiku! Ingat baik-baik!"

Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat berkata.

"Ki Sanak  harap  mau  berlaku  hormat sedikit. Walau marah dan dendam membara jadi satu, tapi kita orang- orang tua tentu bisa berkepaladingin. Silakan duduk dulu agar kitabisa bicarabaik-baik."

Habis  berkata  begitu  Ketua  Partai  Semeru  Raya  ini angkat  tangan  kanannya  yang  berwarna  biru.  Satu  ke- kuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi kayu.  Kursi  ini  tampak  terangkat.  Lalu  perlahan-lahan seperti melayang bergerak mendekati Datuk Alam Rajo Di Langit dan turun disampingnya.

"Silakan duduk, ki sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia memberi  isyarat  pada  empat  Ketua  Cabang.  Bersama- sama merekakemudian duduk di kursi masing-masing.

Sesaat   Datuk   Alam   tampak   menunjukkan   sikap bimbang.  Namun  kemudian  akhirnya  dia  duduk juga  di kursi  itu dan diam-diam  mengetahui  kalau  Ketua  Partai Semeru  Raya  sengaja  memamerkan  kehebatan  tenaga dalamnya.  Kakek  ini  membatin.  "Hemmm....  Mulutnya bicara manistetapi adasegumpal kesombongan di dalam



hatinya."

"Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai muridku  si  Kamandaka  itu,"  kata  Ketua  Partai  Semeru Raya pula.

"Ah, waktukusempit. Lagi pula aku sudahmemperingat- kan  kalian  agar  segera  turun  tangan  mencari  dan  me- nangkap Kamandaka."

"Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru dengan murid. "Urusan dalam Partai. Jadi harap ki sanak tidakkeliwat mendesak..."

Sepasang mata Datuk Alam  Rajo  Di Langit mendelik. "Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu bisa  dianggap  sebagai  urusan  dalam?  Ingat  ki  sanak. Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu urusan  dalam  Partai  atau  hanya  sekedar  urusan  guru dengan murid!"

Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa ber- kata apa-apa.

"Ada  hal  lain yang aku  rasa  kurang sedap.  Masakan tuan rumah selaku Ketua Partai Semeru Raya yang begini besar  tega-teganya  memberikan  kursi  reyot  pada  tamu yang datangdarijauh."

Setelah  berkata  begitu  Datuk  Alam  Rajo  Di  Langit segera berdiri dantinggalkan ruangan itu.

Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai tentu saja heran mendengar ucapan Datuk Alam Rajo Di Langit  itu.  Mereka segera  memburu  ke  pintu tapi sang Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak Semeru di kawasan itu merupakan pedataran yang agak luas.

"Gerakannya luar biasa cepat," kata Gamar Senopatri mengagumi. "Sayang dia sama sekali belum mengatakan



siapadirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini berpaling kearah kursi yang tadisempat didudukitamunya.

"Apa yang tidak  beres dengan  kursi  ini?  Kursi  begini kokoh dikatakan reyot!" berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi kayu itudipegangnya pada bagian sandarandan diangkat- nya. Terjadi  hal yang aneh. Sambungan  kayu-kayu  kursi tiba-tiba  bertanggalan dan jatuh  ke  lantai  hingga Ageng Sembodo kini hanya memegang bagian sandarannyasajal

"Manusia luarbiasa!" mau tak mau pujian itukeluardari mulut sang Ketua Partai. Lalu sambungnya. "Sebaiknya kita teruskan pembicaraan."

Kelima orang itu kembali duduk mengitarimeja bundar.

"Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu letak  tempat  kediaman  Kamandaka,"  Gamar  Senopatri membuka pembicaraan.

"Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya goa ini terletak dibawah laut. Jadi sulit untuk memasuki- nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa Kranggan."

"Kalau begitubesokkau dan akuberangkat ke sana."

"Tunggu dulu Ketua," kata Ki Rono Bayu begitu men- dengar kata-kata pimpinannya. "Soal maksud Ketua untuk turun tangan sendiri tidak  kami  ragukan.  Namun  harap Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu kesempatan   pada   kami   untuk   mendatangi   kediaman Kamandaka. Jika bertemu akankami seret dia ke hadapan Ketua."

"Saya setuju  pendapat  Ki  Rono  Bayu  itu,"  kata  Rana Tumalaya.  Ke  empat  orang  Ketua  Cabang  Partai  sama menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa lagi: Maka diputuskan bahwaAgeng Sembodo dan Ki Rono Bayu akan berangkat ke Selatan besok pagi. Namun se- belum  pertemuan  dibubarkan,  Ageng  Seto  mengajukan sebuahusul.

"Setahu   saya   Kamandaka   punya   hubungan   dekat



dengan  murid  Partai yang  bernama  Kintani.  Bagaimana kalaukita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau menyerahkan  diri  dan  ikut secara  baik-baik  ke  puncak Semeru ini."

"Itu pemikiran yang baik," kata Rana Tumalaya. "Entah bagaimana pendapat yang lain-lain."

"Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh dan  sulit.  Melibatkan  Kintani  terlalu  berbahaya."  Yang bicara adalahAgeng Sembodo.

Ketua  Partai  mengusap dagunya.  Dia tidak  mau  me- mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang Partai  yang  muda  ini  sekilas  dilihatnya  mengalami  pe- rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang yang  ada  di  situ  secara  diam-diam  mengetahui  ada semacam   perlombaan  antara   Kamandaka  dan  Ageng Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kaman- daka  lebih  mendapat  tempat  di  hati  si  gadis.  Sejak Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se- gala macam kejahatandi rimba persilatan, Kintani nampak sangat  terguncang.  Sebaliknya  Ageng  Sembodo  merasa bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti tidak akan  merelakan  Kintani  berhubungan  lagi  dengan Kamandaka,  apalagi  merestui  keduanya  sebagai  suami istri.

"Bagaimana  pendapat  Ketua?"  bertanya  Rana  Tuma- laya.

"Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar. Perjalanan  ke  Selatan jauh  dan  sulit.  Namun  mengapa tidak kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan tambahan  gemblengan  pada  Kintani?"  Gamar Senopatri alias  Dewa  Tapak  Sakti  memandang  pada  para  Ketua Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara maka



diapun mengambil keputusan. "Panggil Kintani, saya akan bicarapadanya."

Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber- usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintai- nya itu akan membawa akibat yang justrumalah membuat suasana  tambah  keruh.  Tetapi  melihat  pada  air  muka Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani.


***




LIMA



BUKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang. Selain  lerengnya  yang  terjal  dan  penuh  dengan bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat. Kabarnya  di  sekitar  situ  juga  sering  terlihat  binatang- binatang buas seperti harimaudan srigala hutan.

Namun  siang  itu  terlihat  kelebatan  tubuh  seseorang yang dengan cepat mendaki bukit, melompat dari batu satu kebatulainnya, menyelinapsebat diantara pepohonan. Dia ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam. Muka  dan  matanya  cekung. Alisnya  putih.  Di  kepalanya yang ditumbuhi  rambut jarang  berwarna  putih ada  lima buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini jelas si nenekadalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 dari Gunung Gede.

Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul sosok  tubuh   Mintari  yang  terbungkus   kain   berwarna kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu berada  di tempat  kediaman  Raden  Bintang, tokoh silat yang bergelar Rantai Bayangan.

Semakin  tinggi  ke  atas  bukit  semakin  dingin  terasa udara.   Mintari   perlahan-lahan  sadar   dari   pingsannya. Begitusiumangadis ini langsung menjerit. Pertama karena ingatakan apa yang ketika menyaksikan angkernya wajah si nenek yang memanggul melarikannya.

"Gadis sialan!" Sebagaimana biasa Sinto Gendengenak saja memaki. "Jeritanmu mengejutkanku! Untung akutidak latahdan melemparkanmu kebawah bukit!'



"Nen... nenek. Kau siapa...?" tanya Mintari.

"Diam  sajalah!  Nanti  kalau  sudah  sampai  di tempat tujuan baru kau boleh bertanya panjang lebar! Tidak baik bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut bicara baru  tahu  rasa  kau.  Hik...hik...hik...!"  Si  nenek  tertawa cekikikan.

Mintari jengkel  ada  takutpun  ada.  Hendak  menutup mulutdia merasa kawatir. Maka diapun bertanya kembali. "Kau ini sebetulnya mau bawa akukemana Nek?"

"Anak  setan!"  si  nenek  gebuk  pantat  Mintari.  "Kalau aku bilangdiam, jangan beranimembuka mulut!"

Akhirnyaterpaksa gadis ituberdiam diri.

Di  salah  satu  lereng  bukit  Slarong  terdapat  sebuah telaga kecil berair jernih. Kesinilah Sinto Gendeng mem- bawa Mintari. Di salah satu tepian telagaterdapatsebuah gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng ber- henti didepan goa dan menurunkan Mintari. Dari kepitan- nya dia  mengeluarkan sebuah  bungkusan yang ternyata isinya adalahsehelaibaju dancelana putih.

"Nenek...."

"Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti kita bicara!" Sinto Gendeng memotong ucapan Mintari.

Mau tak mau gadisitu melakukan juga apa yang dikata- kan sinenek. Selesai berpakaiandiategak memperhatikan si nenek yang melangkah kakinyakedalam airtelaga. Tiba- tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling memandang Mintari.

"Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa saja yang kau mau. Tapi ingat jangan lama dan panjang lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo bukamulutmu!"

"Nek...  seingat  saya,  sebelum jatuh  pingsan  seorang pemuda  menolong  saya...."  Apa  yang  telah  dialaminya



terbayang  kembali  di  pelupuk  mata  Mintari.  Gadis  ini menangis keras danjatuhkan diri berlututditepitelaga.

"Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna- nya  lagi  hidup  ini...!"  Mintari  menjerit.  Lalu  tampak  dia melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat ke dinding batu di samping goa, siap untuk membenturkankepalanya!

"Anak tolol!" teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali diaberkelebat diasampailebih dulu didepandinding batu. Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya menangkap kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak sampai membenturdinding batu!

Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting ketepitelaga, menangis keras-keras.

"Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!" kata Sinto Gendeng. "Biasanya hanya menangis, putus asa lalu bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk merasa dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa dan  otak  untuk  berpikir?  Kalau  kau  mampus  apa yang akan  kau  dapat? Sorga tidak  neraka  pasti!  Karena ter- kutuklah orang-orangyang mati bunuh diri!"

Mintari mengusap air matanya. Dia memandang padasi nenek yang telah menyelamatkanjiwanya. "Maafkan saya Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak sanggup menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu siapa  nenek  ini  adanya.  Mengapa  membawa  saya  ke tempat ini?"

Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit.

"Pemuda yang menolongmu it u adalah muridku. Nama- nya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama Sinto Gendeng...!"

Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama- nama  aneh  itu.  Sableng  dan  Gendeng!  "Ah,  aku  ber- hadapan  dengan seorang  nenek  kurang waras  rupanya. Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi. Aku  ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang



diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangandia ini orang- nya. Murid itupasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"

"Kau mau tanya apa lagi?!" Sinto Gendeng memandang dengan mata dibesarkan pada Mintari.

Si gadislantas menjawab.

"Turut cerita yang pernah saya dengardari guru, apakah nenek orang sakti yang diam di puncak Gunung Gede dan murid  nenek  itu  bukankah  yang  dijuluki  orang  sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"

"Bagus, otakmutajam juga. Kalau kausudah tahu aku tidak perlulagi menjawab pertanyaanmu. Aku bisa mulai..."

"Tunggu dulu  Nek. Saya  ingin tahu sebab apa  Nenek membawa saya kemari," kata Mintari pula.

"Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan padamu!"  berkata  Eyang  Sinto  Gendeng  dengan  wajah merengut.

"Maafkan  kalau  saya  keliwat  mendesak.  Tapi  per- temuan dengan seorang tokoh besar dunia persilatan se- perti Nenek sungguh membuat saya senang...."

"Dasar  anak  tolol!  Aku  membawamu  kemari  bukan untuk bersenang-senang!"

Melihat  Eyang  Sinto  Gendeng  seperti  marah,  Mintari cepat berkata. "Maafkan Nek. Maksud saya...."

"Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab apa yang aku tanya. Mengerti.... "

"Saya mengerti Nek...."

"Panggilaku Eyang!"

"Baik Nek eh Eyang "

"Kau tahusiapa yang membunuh Ayahmu?"

"Tahu Eyang."

"Tahu siapa? Sebutkan orangnya."

"Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai Semeru Raya. Bergelar Tangan Halilintar."

'"Kau tahusiapa yang merusakkehormatanmu?"



"Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!"

"Jadi   kau   sudah   tahu   dengan  jelas,"   kata   Sinto Gendeng.  "Lantas apakah aku tidak  ingin  membalaskan sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang di- lakukan Kamandakaterhadapmu?"

"Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam hati saya  Eyang. Tapi manusia itu kepandaiannya tinggi, sekali. Ayah sajamati ditangannya."

"Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau jugatidak mampu?!"

"Sayasudah mencoba Eyang tapigagal." Jawab Mintari.

"Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka, kau  tak  akan  gagal.  Itu  sebabnya  aku  membawamu kemari. Ada satu  ilmu  pukulan yang  harus  kau  pelajari untuk dapat mempercudangi Kamandala."

"Astaga,  rupanya  Eyang  hendak  mengambil saya jadi murid!" seru Mintari lalu buru-buru jatuhkandiri berlutut.

Si nenek tertawa.

"Siapa  bilang aku  mengambilmu jadi  murid?  Muridku cukup satu. Si pemudasableng bernama Wiro itu!"

Paras Mintari berobah.

"Seperti  kukatakan  tadi,  kau  akan  kuberi  pelajaran menguasai   satu   ilmu   pukulan   sakti.   Pukulan   Sinar Matahari…!"

"Saya pernah mendengarkehebaran pukulan sakti yang menggegerkan dunia persilatan itu," kata Mintari pula.

Di  hadapannya  Eyang  Sinto  Gendeng  tegak  dengan kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat per- lahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itusampai sebatas lengan berubah menjadi putih seperti perak ber- kilauan. Tiba-tiba si  nenek  menghantam  ke  depan. Ter- dengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar terang benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul suara menggelegar.



Di   depan   sana   dinding   batu   yang   keras   hancur berantakan. Mintari sampaileletkan lidahmelihat kehebat- an pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru kerahkan sepertiga sajadaritenaga dalamnya!

"Pukulan Sinar  Matahari..."  kata Sinto Gendeng  pada dirinya  sendiri.  "Hebat  luar  biasa!  Tapi  tidak  mampu mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka...! Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjuk- kan rasa kecewa yang mendalam.

"Eyang..." kata Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari tidak mampu mengalahkan Pukulan Halilintar Kamandaka, lalu  mengapa  Eyang  hendak  mengajarkannya juga  pada saya?"

Si nenek menyeringai. "Aku tahu dan akutidak bodoh! Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu akan   kuberi   satu   tambahan   kekuatan   hingga   bisa menyelusup     menggepur     ambalas     pukulan     sakti Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalamwaktu tiga puluh hari kau harusdapat menemukan Kamandaka!"

Sesaat  Mintari  terkesiap  mendengar  kata-kata  Sinto Gendeng itu. lalu akhirnya te rdengar dia berkata. "Terima kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmupukulan itubaik-baik."

"Berdiri di depankul"  kata  Eyang Sinto Gendeng. "Aku mau jajal sampaidi mana tingkat tenaga dalammul"

Mintari  tegak  dua  langkah  di  hadapan  Eyang  Sinto Gendeng. "Kepalkan tangan kananmu, ulurkan tepat-tepat ke hadapanku!"

Kembali  si  gadis  melakukan  apa  yang  dikatakan  si nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan hal yang sama tapi  dengan  tangan  kiri.  Kedua  tangan  mereka  yang terkepalsaling bersentuhan. "Tekan yang kuat!" kata Sinto Gendeng.

Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!"   "Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!"

Mintari segera  kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya sampaike lengan yang diacungkan tampak bergetar keras. Eyang Slnto Gendeng menunggu sampaiseluruh kekuatan tenaga   dalamsi   gadis   terhimpun   di   kepalan   tangan kanannya.  Ketika  hal  itu  tercapi  baru  nenek  sakti  ini mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper- sepuluh  bagian.  Naik  dua  persepuluh.  Ketika  mencapai tingkat  seperempatnya,  di  hadapannya  Mintari  nampak goyang  kedua  lututnya.  Di  kening  gadis  ini  memercik keringat. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Eyang Sinto putar kepalan tangan kirinya kesamping kiri. Saat itu pula terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam langkah,jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak seputih kertas!

Dengan  cepat  Mintari  berenang  ke  tepi  telaga.  Di hadapan  Sinto  Gendeng  dia   berkata.  "Maafkan  saya mengecewakan Eyang."

"Tidak jadi apa. tapi  kau  perlu  meningkatkan tenaga dalammusampai paling tidak dua kali dari yang sekarang ini. Kalau kautidak mampu melakukannya berarti seumur hidup kau tidak bakaldapat membuat perhitungandengan Kamandaka!"

"Jika  Eyang  mau  membimbing,  saya  akan  berusaha kerasuntuk meningkatkan tenaga dalam saya..."

"Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus sungguh-sungguh!"

"Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!"

Sinto Gendeng menyeringai. "Berjanji lebih bagus dari pada bersumpah! Berapa banyak saja manusia yang ber- sumpahpalsu!"

"Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan..."



"Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai sekarang juga. Duduk bersila di depan mulut goa sana. Letakkan kedua tanganmu di atas ujung pahadekat lutut. Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di- alirkan. Tetap di perut dantahan!"


***



ENAM



TiGA  penunggang  kuda  itu  berhenti  di  tepi  pantai. Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai Semeru  raya  wilayah  Timur.  Lalu  Ageng  Sembodo, Ketua Cabang wilayah Selatan dan yang  ketiga seorang gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas putih dan  mengenakan  ikat  kepala. Wajahnya yang cantik  ke- merahan disengat sinar matahari. Gadis ini adalah anak murid Partai yang bernama Kintani.

"Dimana  letak  goa  Kranggan  itu?"  bertanya  Ki  Rono Bayutidak sabaran.

Ageng  Sembodo  tidak  segera   menjawab.   Dia   me- mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia tengah  membayangkan  pembicaraannya  dengan  Kintani malam tadi.

Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun di pinggir sebuahanak sungai. Ki Rono Bayusudah tertidur karena keletihan.

Ageng Sembodo  dan  Kintani tidak segera  bisa tidur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk mendekati sigadis. Dia memulai pembicaraandengan ber- tanya  bagaimana  perkembangan  ilmu silat serta tenaga dalam si  gadis.  Kintani  menjawab  ada  kemajuan tetapi tidakbanyak.

"Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng- harapkan  kau  menjadi salah seorang  murid  Partal yang bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia ber- tanya. "Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?"



"Dia saudaraseperguruan, saudara se Partai. Tentu saja tidakada yang lupa padanya."

Ageng Sembodo tersenyum. "Kau hanya mengingatinya sebagaisaudaraseperguruan dan saudara se-Partai?"

"Maksud Ketua Cabang apa?" tanya Kintani.

"Panggil saja namaku."

"Baik. Lalu maksudAgeng Sembodo apa?"

"Aku tahu, semua orang tahu kalau kauada hubungan khusus dengan pemuda itu. Kalian saling mencinta."

Kintani  diam  saja  walau  wajahnya  tampak  bersemu merah.

"Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apa- kah kau masih mencintainya Kintani?"

"Saya yakin ada sesuatu yang  menyebabkan dia jadi begitu. Saya tahu dia orang baik. Kalau saya bertemu dia, hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu."

"Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya waktu banyak untuk bicara soal lain. Dirinya dikejar dosa dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak murid Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke hadapan Ketua. Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan dan memberi wewenang untuk membunuhnya di tempat. Kalaupun diabisadihadapkan pada Ketua Partai, umurnya takakan lama. Dia akan dijatuhi hukuman mati1"

Si gadis diam kembali.

"Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani. Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin."

Kintani masih berdiamdiri.

Ageng  Sembodo  menggeser  duduknya.  Dipegangnya tangan  Kintani seraya  berkata.  "Kau  pasti tahu  Kintani. Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan yang baik akan menanti kita. Ketua Partai pasti merestui hubungan kita."

Ageng Sembodo  menunggu sambil  menatap  paras si



gadis di sebelahnya.

"Apa jawabmu Kintani?"

Tak ada jawaban.

"Aku percaya kaujuga menaruh perasaan yang sarna terhadapku. Hanya halangan diri Kamandaka yang mem- buatmu  tidak  bisa  menerima  kenyataan  itu.  Bukankah demikian....?"

"Sayatidak tahu Ageng..." sahut Kintani.

Ageng Sembodo  mendekatkan wajahnya  ke wajah si gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyen- tuh pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan jari-jari tangannya dari peganganAgeng Sembodo.

"Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut- kan perjalananjauh. Sebaiknya kita tidursaja..."

"Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil me- mandangiwajahmu yang cantik..." jawabAgeng Sembodo.

Ki   Rono   Bayu   memandang  pada  Ageng  Sembodo dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. "Aku bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut. Apayang adadalambenak orang ini?"

"Ageng  Sembodo,  aku  bertanya  apa  kau  tidak  men- dengar?"

Ageng Sembodosepertikaget. Dia berpaling pada orang tua   itu  seraya   berkata.   "Maafkan  saya.   Mohon   per- tanyaannya diulangi."

"Saya tadi bertanyadimana letak goa Kranggan sarang Kamandaka  itu?"  Suara  Ki  Rono  Bayu  jelas  terdengar jengkel.

"Ah... Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki Rono. Untuk pastinya kita harus menemui seseorang yang tahu betulletak pastinya. Ikuti saya..."

Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo yang memacu kudanya menyusuri pantai kearah timur. Di saw  tempat  dia  membelok  ke  kiri  memasuki  sebuah



perkampungan  nelayan.  Di  ujung  perkampungan  Ageng Sembodo hentikan kudanya di depansebuah rumah yang saat itu dikeillingioleh orang banyak. Bau busuk menebar daridalam rumah.

"Ini  rumahnya,"  kata  Ageng  Sembodo  pada  Ki  Rono Bayu.  "Tapi  heran, ada apa  orang  berkerumun  di sini?" Ageng Sembodo turun dari  kudanya dan  bertanya  pada salah seorangyang adadi tempat itu. "Betul ini rumah Suro Ampel?"

Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan Kintani. Orang- orang disekitar situ juga sama memperhatikan mereka.

"Saudara ini siapa? Apakah bermaksud menemui Suro Ampel pemuka agama di kampung ini?" tanya orang yang tadi menganggukkan kepalanya.

"Betul," sahut Ageng Sembodo. "Ada apa orang banyak berkerumundi sekitarsini?" tanyanya kemudian.

"Ada  hal-hal  yang tidak  biasa.  Sudah  dua  hari  Suro Ampel tidak keluar dari dalam rumahnya. Sejak pagi tadi ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk kampung  menaruh  curiga.  Jangan-jangan  sesuatu  telah terjadi  dengan  diri Suro Ampel.  Kami tengah  berunding untuk   menjebol   pintu   rumahnya   dan   memeriksa   ke dalam..."

Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri ucapannya. Dia melompat ke hadapan pinturumah. Sekali tendang sajapintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur berantakan.   Bersamaan  dengan   Itu   bau   busuk  yang menjijikkan keluar lebih santar daridalam rumah.

Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah. Mereka langsung hentikan langkah ketika sampaidibagian tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak sesosok  tubuh  di  lantai.  Mukanya  tidak  bisa  dikenali karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yang



sudahjadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk.

Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta pakaian  yang  melekat  di  tu buh  mayat  Ageng  Sembodo segera tahu  mayat  itu adalah  mayat Suro Ampel, orang yang dicarinya dan yang tahu  letak  pasti goa  Kranggan. Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu. Di luar diceritakannya apa yang ditemuinya didalam.

"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok pagi. Besok, kalau pasang surut terjadi, saya rasa saya bisa mengenalidimana letak goa itu."

Ki  Rono  Bayu hanya  bisa angkat  bahu dengan  kesal sedang  Kintani  menghela  nafas  panjang.  Perjalanan  itu begitu jauh dan  meletihkan.  Lalu dia tidak dapat  mem- bayangkan apa yang bakal terjadi.

"Apa pendapatmu Ageng?" tanya Ki Rono Bayu.

"Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kaman- daka."

"Apa dosa manusia itu?" tanya Kintani.

"Kamandaka tidak  ingin  dia  memberi tahu  letak  goa Kranggan yang jadisarangnya," jawabAgeng Sembodo.

Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya menyembul, mulai menerangi bumi dengan sinarnya yang merah kuning kemilau. Air laut berubah laksanahamparan permadani emas yang bergoyang- goyang.

Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang. Matanya tak berkesip memandang kearah gundukan batu yang  menyembul  dipermukaan  air  laUt  yang  kini  men- dangkal  dalam  keadaan  pasang  surut.  Sore  kemarin gundukan  batu  itu  tidak  kelihatan  karena  pasang  naik menutupinya.  Dia  berpaling  pada  Ki  Rono  Bayu  dan Kintani, laluberkata.

"Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul di permukaan laut. Pasti disitu letak goa Kranggan!"



KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem- bodo  itu. "Gundukan  batu  itu tidak  lebih dari gundukan batu biasa. Mana mungkin ada goa disitu!"

"Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita lihat  kalau  air  laut sudah sampai  ke  dasar  batu,"  kata Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan.

Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi mataharinaik, makin  dalam  air  laut  turun.  Akhirnya  sebuah  lobang kelihatandibawah gundukan batu.

Lobang  ini setinggi  orang  membungkuk  dan  lebarnya hanya cukup untuk sesosok tubuh manusia.

"Lihat! Itu pasti goanya!" kata Ageng Sembodo.

Setengah   berlari  dia   menghampirl   lobang   itu  dan mengintai  ke  dalam.   Bagian  dalam  lobang  diselimuti kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu menerangi  dari  arah  yang  berlawanan  dengan   mulut lobang.  Bagian  dalam  lobang tampak  merupakan suatu penurunan. Air laut didalamnya tertahan oleh sanding batu yang menutupi setengah dari lobang.

Ki  Rono  Bayu membungkuk dan  mengintai  ke dalam. Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dantubuhnya.

"Ada angin berhembus dari dalam lobang!" kata orang tua ini. "Pertanda di dalam sana ada ruangan yang ber- hubungan  dengan  udara  luar.  Tapi  jelas  bukan  udara laut..."

"Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan udaralaut?" tanya Ageng Sembodo pula.

"Udara  laut  saat  ini  masih  dingin  dan  mengandung garam. Sedang udara yang kucium terasa hangat dan ber- bau embun..."

"Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!" kata Ageng Sembodo.

"Kau benar. Tapidimanadan bagaimana berhubungan- nya  perlu  kita  selidiki."  Ki  Rono  Bayu  berpaling  pada




Kinanti.

"Kinanti,  kau tunggu di tempat  ini. Jangan  ke  mana- mana. Aku dan Ageng Sembodo akan memasuki goa dan menyelidiki."

Kinanti  mengangguk.  "Hati-hatilah  dan jangan terlalu lama di dalam sana. Saya merasa tidak tenang ditinggal sendirian."

Sebenarnya Ageng Sembodo jugatidak senang dengan tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar merekaberdua masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan meng- gerendeng  dalam  hati  Ageng  Sembodo  masuk juga  ke dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti oleh Ki Rono Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu sebelah kanan tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok tubuhtanpa suara.

Begitu hanya tinggaltiga langkah dari Kintani orang ini melompat dan menyergap si gadis. Dalam kejutnya dara murid  Partai  Semeru  Raya  itu  hendak  berteriak  tetapi mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara sedikitpun. Bahkan nafasnya tertahan membuat dadanya sesak turun naik.

Untungnya   Kintani   tidak   hilang   akal.   Kedua   siku tangannya dihantamkan ke belakang.

Bukkkk!

Bukkkk!

Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang menyergapnya.   Namun   Kintani   merasa  seperti   meng- hantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun. Bahkan sambil menyeringai orang ituberbisik.

"Kintani,  aku  memang  sudah  menduga  kau  bakal datang mencariku. Aku memang sudah lama merindukan- mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kita



tidakakan berpisahselama-lamanya..."

Dua  mata  Kintani  membeliak  besar.  Dia  mengenali suara  itu.  Dalam  dirinya  ada  rasa  terkejut  dan  takut. Namun diam-diamada juga rasa bahagia.

"Jika  kau  berjanji  tidak  menjerit,  akan  kulepaskan sekapandi mulut dan hidungmu..." Orang yang menyergap- nya kembaliberkata.

Si gadisangguk-anggukkan kepalanyatanda dia meng- ikuti  tidak  akan  berteriak.  Perlahan-lahan  si  penyergap lepaskan sekapannya.

Begitu dirinya terasa  lepas  Kintani secepat  kilat  me- nyambar leher dan rambut orang di belakangnya. Sosok tubuh  itu  kemudian  ditariknya  dan  dibantingkannya  ke arah batu!

Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh di batu. Namun tidak tergeletak cidera malah sambil ter- tawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu. Kintani membalikkan   tubuh   siap   hendak   menghantam.   Kini dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah orang itu. Sepasang mata merekasaling beradu.

"Ya Tuhan! Benar dia rupanya!" kata Kintani dalam hati.


***



TUJUH




BiBIR Kintani bergetar ketika menyebut, "Mas Kaman. Jadi betul kau tinggal di sini." Pemuda di atas batu kembali  tertawa.  Rambutnya  yang  gondrong  me- lambai-lambai di tiup angin  laut. Wajahnya  klimis  meski pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan destar.

"Kintani,  dari  ucapanmu  jelas  kalian  datang  kemari untuk menyelidiki..."

"Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu?"

"Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku. Tidak satupun yang  lepas dari  penglihatanku!  Keduanya masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar lagi!" jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka alias Tangan Halilintar adanya.

"Maksud Mas Kaman mereka akan menemuiajal?"

"Mereka  datang  mencari  mati  sendirii  Mereka  bakal mendapatkannya."

"Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka..." kata Kintani  memohon.  Dia  memperhatikan  sepasang  mata pemuda itu. Sepasang mata itutidak seperti dululagi. Dulu ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk jika dipandang. Saat  ini dia  menyaksikan  betapa  kedua mata itu laksana menyambarkan api yang mengerikan.

"Kalian   diutus   oleh   Ketua   Partai   bukan?"   tanya Kamandaka.

"Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah menge-



tahuinya."

"Apasaja perintah yang kalianjalankan?"

"Ketua dan juga guru  kita  meminta agar  Mas  Kaman kembalike puncak Semeru..."

Kamandaka  menyeringai.  Dia  menengadah  ke  langit lalu tundukkan kepaladan meludah.

"Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak datang sendiri?"

"Mas  Kaman jangan  bicara  begitu.  Dia  adalah  Ketua dan guru kita!" ujar Kintani.

"Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Meng- hormati  dan  mempercayainya  sebagai  guru  dan  Ketua Partai.  Tapi  setelah  kuketahui  siapa  dirinya,  aku  ber- sumpahakan membunuhnya!"

"Mas  Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirimu? Mengapa kau kini punya jalan pikirandan berucap seperti itu?"

"Tidak ada yang berubah dengan diriku..."

"Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan... dan... mem..."

"Memperkosa!"  sambung  Kamandaka  tidak  sabaran. "Katakan  saja  begitu!  Itu  sebabnya  aku  dicap  sebagai murid  murtad!  Murtad!  Kamandaka  si  murid  murtad! Sungguhsedap didengartelinga! Ha.., ha... ha ...!"

"Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami kembalike puncak Semeru?" tanya Kintani.

"Mau saja, Kintani. Tapi..."

"Tapi apa Mas Kaman?"

"Tak ada yang bakal membawa akuke sana..."

"Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui guru," kata Kintani pula.

Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. "Kalian tak  akan  pernah  kembali  ke Semeru.  Itu sebabnya  ku- katakantak akan ada yang membawakukesana!"



"Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami? Saya adik seperguruanmu di dalam Partai. Ageng Sembodo dan Ki Rono  Bayu  adalah  Ketua-Ketua  Cabang.  Apa  kau  tega mem-bunuh kami?"

"Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci- ku akan ku bunuh!" kata Kamandaka. Perlahan-lahan dia turun dari batu, melangkah diair laut yang dangkal meng- hampiri   Kintani.   Dulu-dulu  jika   didekati   Kamandaka, Kintani selalu merasakandadanya berguncang keras. Tapi guncangan  itu justru  dirasakannya sangat  membahagia- kan. Kini didekati sambil dipandangtidak bersikap malah membuat sigadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin.

"Mas Kaman ...Banyak tokohsilat dari berbagai penjuru tengah  mencari  Mas  Kaman.  Mereka semua  punya  niat untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisakembalike Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati..."

"Minta  ampun?  Aku  minta  ampun  pada  tua  bangka keparat itu? Justru dia yang harus minta ampun padaku!"

"Mas Kaman, mengapa kausampai berkata begitu?"

Kamandaka  memegang  bahu  Kintani.  "Ikut  aku  ke dalam goa. Jangan berani menolak!" Kamandaka ulurkan tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihat- an jengkel. "Seharusnya begitutadiaku melihatmu sangat layak  aku  segera  membunuhmu!  Tapi  aku  sadar.  Ada sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan sejak dulu sampai saat ini."

Paras Kintani tampak kemerahan. "Kalau Mas Kaman masih mempunyai perasaan itu, Mas Kaman harus mau meluluskan permintaan saya..."

"Permintaan apa?" tanya Kamandaka.

Dengan    suara    perlahan-lahan     Kintani    berkata. "Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan benar!"

Kamandaka tertawa. "Kau rupanya sudah jadi seorang




Pendeta  atau  seorang  Ustad  atau  seorang  Resi.  Huh!" Dipegangnya  lengan  Kintani  erat-erai  lalu  ditariknya  ke mulut lobang. "Ikut aku!"

"Tidak! Jangan..." pekik Kintani. Keduanya saling tarik menarik. Tapi Kintani kalah kuat. Selangkah demi selang- kah dia terseret kearahlobangdi gundukan batu. Di depan lobang Kamandaka hentikantarikannya. Pandangan kedua matanya sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika pemuda itu melingkarkan kedua tangannya di punggung, memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia sengaja merebahkan kepalanya didada Kamandaka.

"Kau mencintaidiriku Kintani. Aku tahu..." bisik Kaman- daka seraya membelai rambut gadis itu. "Kau akantinggal di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau dan aku akan bahagia. Ha ...ha...ha..."

"Dia gila berkata begitu..." kata Kintani dalam hati lalu menjauhkan kepalanya dari dada si pemudadan melepas- kan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman mau kembali ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya bersedia menjadi istri Mas Kaman..."

"Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga tidak kau!" teriak Kamandaka. Tangan kanannya diangkat ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan itu sampai ke lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itudipukulkan ke  batu,  tak  ampun  lagi  setengah  dari  gundukan  batu besar  di  laut  dangkal  itu  menjadi  hancur  berantakan. Akibatnya lobangyang di batu menjadi tambah besar.

"Pukulan Halilintar..." membatin Kintani dengan wajah pucat.   Selagi   dia   terdiam   memandangi   Kamandaka, pemuda  ini cepat  menyambar  pinggangnya. Si gadis  di- panggulnya di bahu kiri laludengan membungkuk-bungkuk dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin meronta, ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya ada



pula  bayangan  rasa  bahagia.  Bahagia  karena  setelah sekian  lama  baru  kini  dia  dapat  berjumpa  lagi  dengan pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga di- ketahuinya memilikisifat aneh kalautidak mau dikatakan seperti  orang  kurang  waras.  Ada  bayangan  maut  pada senyumnya. Ada  kematian  pada sinar  matanya.  Dengan perasaan cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me- rendam  semua  keburukan  dan  kejahatan  pemuda  itu. Dapatkah dia menguasai Kamandaka?

"Turunkan  saya.  Saya  bisa  berjalan  sendiri..."  kata Kintani.

"Aku   masih   kuat   memanggulmu  sampai   ke   ujung bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan sendirl dan ber- janjitidak akan berbuat macammacam itu aku jugasukai"

Lalu  Kamandaka  turunkan  gadis  itu  dari  bahunya. Begitu   menginjak  tanah   Kintani  jadi   heran.  Ternyata mereka  kini  bukan  lagi  berada dalam sebuah goa atau terowongan, melainkan dialamterbuka. Di sebuah tempat ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek serta penuh batu-batubesarberwarna coklatkemerahan.

"Di mana kita ini Mas Kaman?" tanya Kintani.

"Inilah daerahkediamanku. Sebentar lagi kauakan me- lihat rumah kita. Kau danaku akan tinggaldi sana sampai hari kiamat! Ha... ha...ha...!"

Kini rasa takutdalam diri Kintanimelebihi rasa sukanya terhadap  pemuda  itu.  Dia  coba  mengingat-ingat.  Waktu Kamandaka memanggulnya, pe muda itu melangkah biasa tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa me- masuki lobang yang bagian dalamnya berbentuk goa atau terowongan.     Mula-mula    terowongan     ini     menurun, kemudian mendakidan berputar. Putaran ini membalik ke belakang. Berarti kalau sebelumnya mereka bergerak ke

t, iu  membaurae 



belukar. Sayup-sayup  Kintani  mendengar suara  deburan ombak  pertanda  bahwa tempat  itu  masih  berada dekat kawasanlaut.

Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani. "Ikuti  aku,"  kata  pemuda  ini.  "Sebelum  kita  menuju  ke rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu.  Kau datang bersama dua binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu harus kupersiangilebih dulu!"

Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan nama binyawak itu adalah Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan mempersiangi yang dikatakan  Kamandaka tadi, semakin dingin tengkuk Kintani. Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat ke atas batu-batu  besar.  Aneh,  jika  dia  melakukannya  sendiri mungkin belum tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka pada  lengannya  seperti  menyalurkan  suatu  hawa  sakti hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah diamengikutigerakan pemuda itu.

"Nah,  itu  dia  dua  ekor  binyawak  yang  aku  katakan padamu!" Tiba-tiba Kamandaka berkata seraya menunjuk ke depan.

Kintani  memandang  ke arah yang ditunjuk.  Di dekat sebuah batu besar dilihatnya Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu tengah berdirisambil memandang berkeliling.

"Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau berani muncul disini berarti sama saja mengantar nyawa?"

Ageng Sembodo  dan  Ki  Rono  Bayu terkejut.  Mereka cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup jauh. Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian! Tapi ber- sama Kintani!


***




DELAPAN



ANYA   beberapa  saat  setelah   Kamandaka  alias Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa Kranggan, dua sosok tubuh berkelebat ditepi pantai

dari jurusanyang berlawanan.

Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, bergelang bahardankedua tangan dan kakinya. Dia datang  dari  jurusan  barat.  Di  tepi  pasir  dia  berhenti sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan lobang besar di bagian tengahnya yang terletak beberapa tombak di sebelah depan.

"Pasti  ini  tempatnyal  Hemm....  Kamandaka  manusia bejat  murtadl  Akhirnya  kutemui juga  sarangmu!  Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana terbang  dan  di  lain  saat  dia  sudah  berada  di  atas gundukan   batu.  Tanpa   ragu-ragu  dia  segera   hendak memasuki  lobang yang  menjadi  pintu  goa.  Namun  ada sesuatu yang membentur sudut matanya datang dari arah timur laksana seekor burung Rajawali.

Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakanada angin menyambar. Dengan sigap dia hendak memukul. Namun cepat tarik  pulang serangannya  ketika  mengenali  siapa adanya orangyang adadi hadapannya.

"Hampir tiga bulan laluaku meaemuimudi tempat per- temuan  para  tokoh  silat.  Kini  kau  muncul  di  sini.  Apa maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!" tanya orang tua berpakaiandan berdestar serba hitam.



Yang ditanyagaruk-garukkepala.

"Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam Rajo Di Langit," Jawab Wiro sambil menyeringai.

"Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar ter- masuk  manusia  yang  tidak  banyak  bicara  lebih  suka berbuat!  Tapi  aku  ingatkan  satu  hal  padamu  pendekar muda!"

"Heh,  apa  yang  hendak  kau  peringatkan  pada  saya Datuk?"

"Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya aku yang berhak turun tangan! Kau jangan ikut campur!"

"Mengapa  begitu?" tanya  Wiro sambil  kembali  meng- garuk-garukkepalanya.

"Dia telah  membunuh sahabatku  Ki  Pamilin.  Dia juga telahmerusakkehormatan anak Ki Pamilin calon muridku!"

"Terserah saja  padamu  Datuk.  Kalau  kau yang  ingin maju, biar aku jaga muntahannya saja!" jawab Pendekar 212 Wiro Sabeleng.

Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro mengikuti dari belakang. Pada saat bagian dalam goa yang berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan langkahnya. Otaknya bekerja. "Jika goa ini berputardan ber balik  ke  belakang,  berarti siapa saja yang  mengikutinya akan  menuju  kembali  ke tepi  pantal.  Ke  arah  daratan. Lebih baikaku kembali dan menyelidikibagian pantal yang ditutupi oleh bukit-, bukit batu..."

"Hai!  Kau  mau  ke  mana?  Mengapa  kembali?!"  Datuk Alam Rajo Di Langit berseru ketika dilihatnya Wiro mem- baliklangkah.

"Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!" jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanan- nya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju mulut goa.

Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan Ki



Rono Bayu memasuki goa Kranggan. Semakinjauh masuk ke dalamsemakinterciumbaunyahawadaratan. Goa yang tadinya gelap  redup  kini  perlahan-lahan  menjadi terang. Ada sinar disebelah depan sana. Beberapa ratus langkah lagi berjalan akhirnya mereka sampai di hadapan semak belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas cahaya matahari pagi.

Ki  Rono  Bayu  singkapkan  semak  belukar  dan  pe- pohonan kecil didepannya. Begitu semak belukar tersibak terkejutlah  orang  tua  ini.  Ternyata  di  depan  mereka terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti diadan Ageng Sembodo kini berada didaratan!

"Tipuan sialanl" maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar daridalam goa diikuti Ageng Sembodo.

Kawasan  daerah  berbatu-batu  itu  merupakan  suatu bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di datangi  orang  luar.  Udara  terasa  sejuk  padahal  masih dekat pantai.

"Sunyi-sunyisaja...." bisikAgeng Sembodo. Kesunyian ini menimbulkan rasa tegang didalam dirinya.

Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar. "Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti ini kawasan yang jadi markas atau tempat bersembunyinya Kamandaka."

"Perasaan kita sama. Mari kita mulaimenyelidik!" jawab Ageng Sembodo.

Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak ada suara membentak.

"Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau berani   muncul   di  sini   berarti  sama  saja   mengantar nyawa?!"

Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat berpaling. Keduanya langsung terkejut! Di hadapan mereka



kini tegak  Kamandaka.  Dan dia tidak seorang diri. Tapi bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya!

"Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ageng Sembodo setengah berteriak. Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan gadis  yang  dicintainya.  Maka  diapun  kembali  berteriak. "Lepaskan   peganganmu   pada   Kintani.   Kintani   lekas kemari!"

Si gadistampakbingung sebaliknya Kamandaka keluar- kan  suara  tertawa   bergelak.   "Ageng  Sembodo!"   kata Kamandaka  langsung  menyebut  nama.  Mengingat  usia yang terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo sebagai  salah  satu  Ketua  Cabang  Partai  Smeru  Raya, seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas. Hal  ini sudah  cukup  membuat Ageng Sembodo tambah mendidih amarahnya.

"Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan! Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua Partai!"

"Budi dan  peradatan  hanya dipakai oleh orang-orang yang suka pamrih dan gila hormat! Sama dengan dirimu! Baru jadi Ketua Cabang mulutdan sikapmuseperti semua orang ini budakmu! Aku sudah bersumpahuntuk menyiangi tubuh   kalianl   Kalian   akan   kukembalikan   ke   puncak Semeru tanpa kulitdandaging!"

Kamandaka   angkat   tangan   kanannya   sementara tangan   kiri   masih   memegangi   Kintani.   Matanya   me- mandang membara ke arah Ageng Sembodo.

"Tunggu dulu!"  Ki  Rono  Bayu cepat  membuka  mulut. "Kamandaka,  kami  datang  membawa  pesan  dari  Ketua Partai..."

"Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dandari



siapa. Pokoknya siapa yang berani menginjakkan kaki di tempat ini harus mati!"

"Pesan yang kami  bawa itu,"  kata  Ki  Rono  Bayu  me- neruskan tanpa  perdulikan  bentakan  Kamandaka, "ialah membawamu kembalike puncak Semeru guna menghadap Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di masa lalu pasti Ketua mau mempertimbangkan hukuman- nya secara adil!"

Kamandaka menyeringai. "Jadi kalian berduatidaklebih dari pada dua kacung pembawa pesani Manusia-manusla tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang datang menemuikukemari!"

"Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak, Kamandaka!" memperingatkan Ki Rono Bayu yang tampak- nya mulaikesal.

"Kalian   berdua   begitu   menghormati   Ketua   Partai Semeru  itu!  Kalian  tidak  tahu  siapa  dia  sebenarnya! Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!"

"Apa  maksudmu  dengan  ucapan  itu?!"  Tanya  Ageng Sembodo membentak.

"Kau tanyakan saja nanti padajin laut tempat mayatmu akan   kulemparkan!"  jawab   Kamandaka.   Dia   menarik Kinanti  ke  belakang  lalu  melompat  ke  hadapan  kedua orang  Ketua Cabang  Partai  itu.  "Saat  kalian  untuk  mati sudah dating!" katanya.

Ageng Sembodo tidak takut dan  menganggap enteng Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi KI Rono Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul kehebatan   ilmu   andalan   Kamandaka   cepat   berkala. "Sudahlah,  mengapa  kita  harus  ribut-ribut.  Kamandaka bagaimanapun  kami  berdua tidak  mau bertindak sendiri sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid Partai. Apalagi muridlangsung dari Ketua. Banyak manfaat- nya  jika  kau  mau  ikut  sama-sama  kami  ke  puncak




Semeru."

"Kalau  aku  datang  ke  puncak Semeru, satu-satunya yang akulakukanadalah membunuh manusia keparat ber- nama  Gamar  Senopatri  alias  Dewa  Tapak  Sakti  itu!" Kamandaka   mundur  satu   langkah.   Kedua  tangannya diangkat  ke  atas  dan  perlahan-lahan  disilang.  Tapi  dia belum  merapal aji  kesaktian yang dimilikinya.  Dia  ingin menjajal kehebatan ilmusilat tangan kosong kedua Ketua Cabang ini.

Didahului  satu   bentakan   nyaring,   Kamandaka   me- lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki Rono  Bayu  Kedua  serangan  ini  di  arahkan  ke  masing- masing kepala lawan.

Ageng Sembodo yang sejak tadi sudahtidak dapat me- nahan  amarahnya  balas  menghantam  dengan  tangan kanannya kearah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih bertindak  hati-hati.  Dia tidak  mau  melakukan  bentrokan melainkan menghindar ke samping dan setelah membuat kuda-kuda kukuhdia baru membalas dengan satu sodokan kearah ulu hati Kamandaka.

Tiba-tiba  Kamandaka  hentikan  seluruh  gerakannya. Tubuhnya  laksana  seekor  burung  besar  yang  mengem- bangkan sayapnya.

Bukkki

Bukkk!

Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka dengan keras. Begitujuga pukulan Ageng Sembodo meng- hajar lengan kiri Kaman- ' daka. Tapi pemuda ini sedikitpun tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memper- hatikan   bagaimana   kedua   penyerangnya   mengerenyit kesakitan.

"Pukul  lagi!  Cari  sasaran  yang  paling  empuk!"  ejek Kamandaka.



Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan gebukan bertubi-tubi kekepaladantubuhnya. Kamandaka masih menyeringai. Tiba-tibadia keluarkan suara bentakan dahsyat.

Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut ditekuk. Hantamannya yang pertama mendarat di dada Ki Rono  Bayu.  Ketua Cabang  Partai yang berusia  lanjut  ini terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulut- nya melelehdarah kental. Tulung dadanya remuk melesak. Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti tidak dirasakannya.

"Manusia iblisl Murid murtad keparat!" kutuk Ki Rono Bayu. Dia berpaling pada Ageng Sembodo dan anggukkan kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru..."

Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpunseluruh tenaga dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini sambil   menghimpun   tenaga   dalam   hati   merapal   aji kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu saling memberi isyarat dengan mata masingmasing. Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang Partai Semeru  Raya  ini  pukulkan tangan  kanan  masing- masing. Dua larik sinar biru menderu laksana lempengan besi  panjang  tipis.  Siap  menggunting  dan  memutuskan leher Kamandakal

"Pukulan Api  Biru!" seru  Kamandaka yang  mengenali pukulan sakti itu. Kedua tangannya segera diangkat. Dua lengan  bersilang di depan  mukanya dan dua  lengan  ini segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang ini  dilepaskan  dua  larik  cahaya  hitam  berkiblat  disertai suara meledak seperti suara halilintar menyambar. Hawa panas  menghampar.  Dua  larik sinar  biru  pukulan Ageng Sembodo  dan  Ki  Rono  Bayu  tenggelam  dalam  cahaya hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Lalu



adadua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu terdengar   duluan.  Tubuhnya  terlempar  jauh.  Sekujur badannya  mulai  dari  kepala  sampai  ke  kaki  tampak memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi hitam gosong!

Kinanti  tidak  berani  menyaksikan  apa  yang  terjadi dengan orang tua Kedua Cabang Partai wilayah Timur itu. Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu lagimenghantam kearahAgeng Sembodo.

"Mas Kaman! Jangan bunuh dia!" pekik Kinanti.

Teriakan  Kinanti  ini  membuat  kamandaka  menarik pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup danakhirnya lenyap sama sekali.

"Kau  inginkan  binyawak  ini  hidup,  baik!  Satu  nyawa lolostakjadi apa. Dia boleh pergi agar bisa memberi tahu pada Gamar Senopatri apa yang terjadidisini. Aku...hek...!" Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam dadanya! Ketika dia bicaratadi kesempatan ini diperguna- kan  oleh  Ageng  Sembodo  untuk  melancarkan  pukulan. Pukulannya  kulannya  tepat  menghantam  dada  Kaman- daka.  Pemuda  ini tidak  bergerak  dari tempatnya  walau memang ada rasa sakitakibatpukulan itu.

Penasaran  Ageng  Sembodo  lancarkan  pukulan  lagi secara bertubi- tubi.

"Cukup!" seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya dibabatkandari samping kiri ke kanan.

Traakk!

Traakkl

Ageng   Sembodo   menjerit   setinggi   langit.   Kedua lengannya terkulai  patah. Tubuhnya sampai terbungkuk- bungkuk  menahan  sakit.  Kamandaka  tendang  pantat orang ini. "Kalau kautidak lekas minggat darisini, jangan kira aku tidak akan membunuhmu. Sekalipun kekasihmu ini meminta aku tidak membunuhmu!"



Paras  Kintani tampak  menjadi  merah  oleh  kata-kata terakhir Kamandakaitu.

"Kamandaka!" Ageng Sembodo berucap. "Hari ini aku mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu aku akan datang lagi untuk mengambilkepalamu!"

"Kacung Ketua Partal Semeru Raya!" kata Kamandaka seraya mencekal leher pakaian Ageng Sembodo. "Katakan pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di sini. Jika malam bulan purnama di mukadiatidak muncul sudah  tiba  saatnya  aku  akan  mencarinya  untuk  minta nyawa anjingnya! Nah sekarang pergikaudarisinil"

Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu melemparkannya kedinding batu. Karena kedua lengannya patahdia sama sekalitidak mampu untuk menahan dirinya terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya ikut menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan bibirnya pecah!

"Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini."

Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat berkata. "Kalau kau bergerak satu langkah saja mengikuti- nya, akan  kubunuh!" ancam  Kamandaka.  Mau tak  mau Kintani terpaksahanyabisategak tak bergerak.

"Manusia    keparat!   Aku    bersumpah   akan    mem- bunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat pada mayat Ki Rono Bayu. Ingindia membawa pergi mayat yang  gosong  hitam  itu.  Namun  dalam  keadaan  kedua tangannya  lumpuh  cidera  begitu  rupa  di  mana  berjalan sajapun  dia  mengalami  kesulitan  dan  rasa sakit,  mana mungkin  dia  mendukung atau  memanggulnya. Tersaruk- saruk dia tinggalkan tempat itu.


***






SEMBILAN



KAMANDAKA membawa Kintanike puncak bukit batu paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihatsebuah bangunan yang bagiandepannya berbentuk sebuah goa  besar  namun atapnya ditata seperti atap  bangunan kayu. Keadaan disebelahdalamdanbagian luarnya serba bersih. Ada bau wewangian keluardariarah goa batu itu.

"Ini  rumah  kita!"  kata  Kamandaka  seraya  tangannya kembali  memegang  lengan  si  gadis.  Kintani  diam  saja. "Kau akantinggaldisini bersamaku, Kintani."

Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa keluar  dua  orang  perempuan.  Yang  satu  masih  sangat muda.  Menurut taksiran  Kintani  usianya sekitar delapan belas tahun. Satunya  lagi  lebih tua  namun jelas  belum mencapaidua puluh lima tahun. Keduanya memilikiwajah cantik. Yang  membuat darah  Kintani tersirap  ialah cara kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kena- kantidakbisadisebut pakaian karenabagian-bagiantubuh mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian dada dan bawah perut tersingkap menusuk pemandangan.

"Mas  Kamandaka!  Kami  kira  kau  akan  pergi  lama. Ternyata sudah pulang!" Perempuan yang muda berucap. Lalu  keduanya  hentikan  langkah  ketika  melihat  Kaman- daka ternyata tidak sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas terlihatdiwajah kedua perempuan itu.

"Siapa mereka?" tanya Kintani berbisik.

"Kekasih-kekasihku,"  sahut  Kamandaka.  "Tapi  mulai sekarang  tidak  lagi."  Lalu  pada  kedua  perempuan  itu



Kamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi dari sini. Jangan cobakembali!"

Dua perempuan itu tampak terkejut besar.

"Mas...?  Mengapa tiba-tiba  kau  mengambil  keputusan begitu?" tanya perempuan yang tua.

"Saya tahu!" menyahuti yang mudasambil melirik pada Kintani. "Mas Kamandaka telah mendapat seorang kekasih baru yang lebih cantik dari kami!"

"Kalau sudah tahu  mengapa tidak segera  minggat?!" ujar Kamandaka melotot.

"Kami... kami bersedia membagi tempat bersama dia!" berkata perempuan yang muda.

"Di sinitidakada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas pergi!"

"Mas  Kaman,  sebaiknya  biar  saya  yang  pergi!"  kata Kintani pula. Lalu cepat diamembalikkan diri. Tapi Kaman- daka  lebih cepat  lagi  menjambak  rambut gadis  itu dan mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemu- dian berpaling padadua orang kekasihnya.

"Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau wajah kalian akan kurusak dan kuubahjadi wajah setan!"

Mendengar  hal  ini  keduanya jadi  ketakutan.  Setelah berpandangan  sebentar  mereka  cepat-cepat  tinggalkan tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa Kamandaka kembali mendekati Kintani. "Sekarangsaatnya kita bersenang-senang. Mari masukke dalam."

"Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?"

"Jangan  pura-pura  tidak  tahu  Kintani.  Kau  tahu  aku suka padamu dan kau mencintaiku! Dua orang yang ber- cinta apapun bisadilakukan! Bukankah kita sekarang me- rupakan sepasang suamiistri?"

Paras  Kintani jadi  berubah  pusat.  "Saya.. saya tidak keberatan menjadi istri Mas Kaman. Asalkan kita meng- hadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan kedua



orang tua kita yang sudah tiadauntuk menikahkan kita."

"Kawin  pakai  nikah  segala  kuno!"  kata  Kamandaka. Ditariknya  tangan  Kintani.  Gadis  itu  setengah  diseret masuk ke bagiandalam bangunan batu. Ternyata bangun- an itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat sebuah tempat tidur dari  batu yang dilapisi tikar jerami  lembut. Kamandaka mendorong Kintanike atas tempattidur itu.

"Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada saya!" kata Kintani pula.

"Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh- jauh kemari?"

"Mas  Kaman  tadi  sudah  mendengar  ucapan  Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami diperintah Ketua..."

"Lupakan perintah itu!"

"Saya  mohon  kita segera  pergi  menemui  Ketua agar semua persoalan selesai. Kalau tidak seumur-umur Mas Kaman akan jadi orang buruan Partai."

Kamandakan tertawa  gelak-gelak  mendengar  hal  itu. "Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang- orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku! Mereka akan segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha memeluk dan menciumi gadis itu. Kintani cepat menjauh seraya berkata. "Mas Kaman,jika kau betul sayang padaku jangan perlakukan aku seperti ini...."

"Hmmm..."  kedua  mata  Kamandaka  berkilat-kilat  me- mandang setiap bagian tubuh Kintani. "Jangan buat aku kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali men- dekat.

"Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatankeji ini, saya terpaksa  melawan.  Lebih  baik  saya  mati  berkelahi  di tangan Mas Kaman dari padadinodai!"

"Begitu?  Aku  mau  lihat  sampai  di  mana  kehebatan murid Gamar Senopati yang satu ini!"

Habis   berkata   begitu   Kamandaka   lalu   tanggalkan



pakaian yang melekatditubuhnya. Kintani sampai terpekik menyaksikan   hal   itu   dan   mencoba   lari   keluar.  Tapi Kamandaka berhasil mengejardan mendekapnya. Mau tak mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki.

Dipukul   ditendangi   Kamandaka  justru   diam   saja. Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan ber- telanjang  bulat  seperti  itu  seperti  tentu  saja  sulit  bagi Kintani  untuk  menyerang  karena dia sudah tidak  kuasa menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya dia  kembali  mencoba tari.  Namun  lagi-lagi sial.  Kali  ini malah  dia  harus  menerima tamparan dua  kali  berturut- turut yang membuatnya terbanting kelantai batu. Sebelum dia  sempat   bangun   Kamandaka  telah   menyergapnya. Tangannya  kiri  kanan  mero bek  pakaian yang dikenakan Kintani. Gadis ini menjerit marah dan menyerang dengan kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya jauhdi bawah  Kamandaka.  Ketika tenaganya terkuras  habis di- tambah  dengan  beberapa  pukulan  yang  dihantamkan Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar ke  dinding.  Dia  tidak  punya  daya  apa-apa  lagi  selain menangis ketika Kamandaka mendukung dan membawa- nya ke atas tempattidur batu.

Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas ter- bakar nafsu. Sama sekalitidakada rasa welas asihdalam dirinya  padahal  gadis  itu  adalah  prang yang  pernah  di- kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kaman- daka akan melakukan perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu bayangan  berkelebat  masuk  dan  satu  bentakan  meng- guntur didalam ruangan batu itu!

"Laknat terkutuk!  Memang kau ternyata  manusia  keji biadab!  Kau  membunuh  sahabatku!  Kau  memperkosa calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu ke liang narako!"

Kamandaka   melompat  dari  atas  tubuh   Kintani.   Di



hadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar hitam. Sepasang matanya laksanakilatan api. Kamandaka tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk destarnya jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas orang seberang.

"Ucapanmu seperti  malaikat! Tapi  kulihat tampangmu sepertisetan!" kata Kamandakamengejek.

Orang tua  di  depannya tertawa  pendek.  "Orang  mau mampus memang sukabicarangacok!" katanya. "Coba den lihat dulujantungmu!" Si orang tua bergerak sedikit. Tapi tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada kiri  Kamandaka.  Jari-jari  tangan  membuat  gerakan  me- ngeruk. Si pemuda terkejut dan cepat berkelit. Serangan lawan  menghantam  dinding  batu. Terdengar suara  batu lebur.  Berpaling  ke  kiri  Kamandaka  melihat  bagalmana serangan   berupa  cengkeraman  orang  tua   berpakaian hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu kini tampak lobang sedalamseperempat jengkal!

Kamandaka   sadar   kalau   terlambat   saja   tadi   dia menghindar jantungnya  pasti  benar-benar  bisa dicongkel lawan  berdestar  hitam  bergelang  bahar  itu!  Meskipun demikian diatidaktakut. Sambil menyeringai Kamandaka maju  mendekati.  Kedua  lengannya disilangkan di depan dada tapi  dia  masih  belum  mau  merapal  aji  kesaktian Halilintar.  Didahului  oleh  suara  seperti  harimau  meng- gereng Kamandakamelompati lawannya. Kedua tangannya dipukulkanserentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam Rajo Di Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja pakaian hitamnyatapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar. Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari An- dalas   ini   rubah   kuda-kuda   kedua   kakinya.  Tubuhnya merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahang



kanan Kamandaka dengan tepat.

Selagi Kamandaka terpental kedinding lalumelosoh ke lantai  batu,  kesempatan  ini  dipergunakan  oleh  Kintani untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas tempat tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di luar sadar dia lari keluar bangunan batu dalam keadaan masih bertelanjang bulat!

Meskipun   tendangan   Datuk   Alam   Rajo   Di   Langit sanggup membuatnya mental danjatuh ke pantai namun Kamandaka   sama   sekali   tidak   cidera.   Bahkan   rasa sakitpun   hampir  tidak  terasa   karena  terlindung  oleh kesaktian yang dimilikinya.

Ketika  dia  tegak  kembali  di  hadapan  sang  Datuk, sepasang matanya tampak beringas ganas.

"Anjing tua. Bersiaplahuntuk mampus!"

"Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih dulu!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. Lalu tangan kanan dipukulkan  ke  depan.  Ada  angin  kelabu  menyambar, menebar  bau  aneh. Jika  lawan sempat  menghisap  bau aneh itutubuhnya serta merta akan jadi lemas danjatuh tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengan- nya dan merapalajikesaktian Pukulan Halilintar hingga se- pasang  lengan  itu  menjadi  hitam.  Begitu  lengan  yang bersilang  dibuka  serta  dipukulkan  ke  depan,  terdengar suara menggelegarseperti halilintar menyambar. Ruangan batu itu seperti hendak runtuh! Hawa panas menghampar dan dua larik sinar hitam menderu ganas, menyambung dan  meneggelamkan  sinar  kelabu  pukulan  Datuk  Alam Rajo Di Langit. Orang tua ini terdengar menggerung keras. Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan,jatuh melingkar di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap mengeri- kan.



Kamandaka  bergegas  keluar  dari  banguanan  batu. Kintani  tidak  kelihatan.  Pemuda  ini  menyumpah  dalam hati. Dia melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu di- tendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan bergulingan ke bawah bukit batu.

Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya. Di satu tempat yang  ke tinggian dia  melihat dua sosok tubuh dibalik  pepohonan dan  berbatu. Secepat  kilat dia bergerak ke arah sana.


***





SEPULUH


KARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212 Wiro Sableng sampai  lebih  dulu  dari  Datuk Alam Rajo  Di  Langit.  Namun  sebelum  naik  ke  puncak bukit   di   mana   tempat   kediaman   Kamandaka   alias Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng murid   Eyang   Sinto   Gendeng   itu   melihat   dua   orang perempuan berlari dari atas' bukit. Walau heran melihat ada dua orang perempuan turun dari atas bukit, sebenar- nya  Wiro  tidak;  mau  perduli.  Namun  dia  jadi  tertarik sewaktu menyaksikanbagaimana pakaian yang dikenakan kedua perempuan itu sama sekali tidak dapat dikatakan pakaian.   Karena   hampir   tidak   satu   bagian   tubuh merekapun yang tertutup utuholehpakalan itu!

Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah batu besar.

"Hai!" serunya. "Kalian ini bidadari yang turun dari langit atau  setan-setan  penunggu  bukit  batu  ini  yang  tengah mencari tempat untuk buang hajat!"

Dua orang gadisterkejut. Sambil berpegangan mereka hentikan  lari.  Melihat  yang  menegur  ternyata  seorang pemuda  berambut  gondrong  yang  tampangnya  cakap- cakap konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua ber- bisikpadakawannya.

"Boleh juga yang satu ini..."

"Aku lebih sukadiadari pada Kamandaka keparat itu!" bisik yang muda.

"Kenapa  bicara  sendiri  dan  tidak  menjawab?"  tanya




Wiro.

Sambil menahan tawa yang tua berkata. "Mulutmu enak saja  kalau  bicaral  Kami  tidak  tahu  kalau  di  sini  ada bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan penunggunya! Tapi yang jelas di atas sana ada iblis doyan perempuan. Kalau sudah bosan dandapat yang baru yang lamaditendangnya!"

"Tadi  kudengar  kalian  berbisik  menyebut  nama sese- orang. Kamandaka... Benar?!"

Dua perempuan itu mengangguk.

"Dia adadi atas sana? Kediamannya di atas sana?!"

Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk.

"Kalau begitu aku harus segera menuju kesana," kata Wiro pula.

"Tunggu dulu!"  Perempuan yang tua  berkata. "Jangan berani-beranian  naik  ke  atas  puncak  bukit.  Kami  saja hendak dilemparkannya. Apalagi  kau!  Manusia  penghuni puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa bercinta suatu ketikatapi di lain saat dia bisa membunuh seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami hampirsajajadi korbannya!"

Yang  muda  cepat  menyambung.  "Dari  pada  pergi  ke atas sana, lebih baik turun bersama kami. Aku suka saja kau mau bawake mana!"

"Aku juga!" kata perempuan yang satu lagi.

Pendekar 212 jadigaruk-garuk kepala. Dia harus meng- akui  kedua  perempuan  itu  berparas  cantik  dan  bagian- bagiantubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan.

"Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!" membatin  murid, Sinto  Gendeng.  "Begini saja,"  katanya. "Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!"

"Siapa   sudi   menunggu   datangnya   mayat!"   jawab perempuan yang tua karena diasudah merasa pasti Wiro



akandibunuholeh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang boleh menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan itu cepat tinggalkan tempat itu. Wiro pandangi mereka dari belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan geleng-geleng kepala.

Belum lama diameneruskan menaiki bukit batu itutiba- tiba dia melihat lagi seorang perempuan dengan rambut tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar matahari membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau- kilau. Dia larisambil membawapakaian.

"Aneh,  ada  lagi  seorang  perempuan  turun  dari  atas bukit.  Yang  satu   ini   malah  telanjang   polos!"   Ketika perempuan  itu  menyelinap  lenyap  di  balik sebuah  batu besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinyadi balik batu  itu  perempuan  tadi  tengah  mengenakan  pakaian. Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di beberapa tempat. "Siapa pula yang satu ini?" pikir Wiro lalu dia mendehem keras-keras.

Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya pemuda   gondrong   itu   mendatangi  sambil  tersenyum- senyum dia menjadicurigadan marah.

"Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!"

"Maaf  Saudari.  Jangan  salahkan  aku  kalau  sampai berada di tempat ini. Kalau tidak ada sesuatu yang luar biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa pakaian   yang   kau   kenakan   robek-robek?   Siapa   kau Saudari? Apa yang terjadidengan dirimu? Tadipun aku me- lihat adadua orang perempuan laridari atas bukit dengan pakaiantidak senonoh!"

Karena orang bicaradengan baik dan mengatakan apa adanya, perempuan itu yang bukan lain adalah Kintani jadi mengendur amarahnya.  "Aku  Kintani, anak  murid  Partai Semeru Raya."



"Berarti kauadalah saudara seperguruan dengan orang bernama Kamandaka itu!"

"Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana. Baru saja  dia  membunuh salah  seorang  Ketua  Cabang Partai. Saat ini diatengah berkelahi melawan seorang tua berpakaian serba hitam."

Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang di- alaminya, mulaidari saat dia disergapoleh Kamandaka di depan mulut goa Kranggan.

"Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya..." kata Wiro. Dia segera hendak tinggalkangadisitu.

"Tunggu,"  kata  Kintani.  "Kalau  kau  tidak  keberatan, pinjamiaku pakaianmu..."

Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga pakaiannya.  Lalu  diberikannya  pada  Kintani.  Si  gadis segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih besardaritubuhnya, dirinyaterlindung sampaike lutut.

"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu ini."  Lalu  tanpa  menunggu  lebih  lama  gadis  itu  segera tinggalkan tempat itu.

Kembali  murid  Sinto  Gendeng  geleng-geleng  kepala. Dalam hati dia berkata. "Besar nian rejekiku hari ini. Me- lihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang. Yang satu barusan benar-benar telanjang!"

Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah berlalusedang Wiro juga telah berkelebat menuju puncak bukit.

"Sialan!"  maki  Kamandaka.  Dia  harus  memilih,  me- ngejar Kintani atau menyusul pemuda tak dikenal yang lari ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang terakhir.  Tapi  dia  tidak  langsung  mengejar  melainkan menguntit  dari  belakang.  Walaupun tingkat  ke.pandaian Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga Pendekar 212 se-rta nalurinya tidakbisaditipu.



Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling. Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di sebelah belakang.

Wiro  kerenyitkan  kening  sewaktu  sampal  di  depan rumahaneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itudan menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak bukit. Hidungnya  kemudian  mencium  bau  seperti  daging  ter- bakar. Dia memandang berkeliling. Pandangannya kemudi- an  terpaku  pada  sesosok  tubuh  hitam  gosong,  meng- geletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat pada kematian yang sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah gadis bernama Mintari dulu.

"Korban keganasan Tangan Halilintar!" kata Wiro dalam hati. "Jangan-jangan ini mayatnya Datuk Alam, tokoh silat dari pulau Andalas itu!" Wiro merasakan tengkuknya men- jadi  dingin.  Dia  lalu  melangkah  menuju  bagian  depan bangunan batu. Baru saja dia hendak melangkah masuk, sesiurangin menerpa darisamping.

"Hemmm...Si penguntit mulai menyerang. Aku yakindia pastisi Kamandakakeparat itu1"

Tanpa   berpaling   Pendekar  212   lepaskam   pukulan Tameng  sakti  menerpa  hujan.  Pukulan jarak jauh  yang menghantam ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat lalumenyusul deru angin deras sekali.

Wiro  alirkan  sebagian  tenaga  dalamnya  ke  tangan kanan lalumemukul ke depan.

Bukkk!

Dua lengan beradu keras.

Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu yang dipijaknya  laksana amblas dan tubuhnya  mencelat sampai  dua  tombak,  terbanting  ke  sebuah  batu  besar.

yanannyatanka



pemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum pernah  Pendekar  212  bentrokan  dan  langsung  cidera seperti  itu. Sewaktu dia  memandang  ke depan seorang pemuda  berwajah  cakap  tapl  menyunggingkan  senyum maut  tegak  di  depannya.  Celakanya  manusia  ini  sama sekalitidak mengenakan pakaian!

Wiro usap-usap lengannya yang cidera. "Heran, apa di bukit  batu  ini semua orang  harus tidak  pakai  pakaian!" kata Wiro dalam hati.

"Hemmmm... Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" kata pemuda didepan Wiro.

"Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!" tanya Wiro dalam  hati.  Dia  lupa  saat  itu  dia  sama  sekali  tidak mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya terlihat dengan jelas.

"Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina! Kau memang salah seorang tokohsilat yang aku cari! Kau beruntung  masuk  dalam  daftar  kematianku,  Pendekar 212! Tapi sebelummati aku ingin melihatpukulan saktimu yang bernama pukulan sinar matahari itu!" Habis berkata begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak.

Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalahkerasnya.

"Tadi  malam  aku  bermimpi!"  katanya  sambil  cengar- cengir.  "Aku  melihat  kau  terbang  ke  langit.  Kepala  ke bawahdan pantat menungging ke atas.

Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit pertama. Namun pengawal penjaga bidadari mengusirmu karena kaudatang bertelanjang bulat seperti ini. Memalu- kan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kaudatang sehabis   berak   belum   sempat   cebok   alias   ngepet! Ha...ha...ha...ha...!"

"Jahanam,  berani  kau  mempermainkan  aku!"  terlak Kamandaka  marah.  "Tunggu  aku  di  sini. Jangan  berani pergi!"  Lalu  Kamandaka  berkelebat  masuk  ke  dalam



bangunan batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah mengenakan pakalan biru dan kain pengikat kepala yang jugaberwarna biru.

"Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!" Wiro sambut kedatangan Kamandaka dengan ejekan itu. "Tapi di balik tampangmu  yang  cakap  aku   melihat   bayangan   iblis. Bayangan mahluk berhati seribukejiseribu jahat!"

"Jahanam!  Jangan  pidato!   Keluarkan  pukulan  sinar mataharimu!" teriak Kamandaka.

Wiro  tenang  saja.  Diam-diam  dia  kerahkan  seluruh tenaga dalamnya. Dia tahu apa maksud lawan menantang- nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti Kamandaka akan  mengeluarkan  pukulan  Halilintar. Wiro maju  dua  langkah.  Dia  masih  penasaran  karena  dalam gembrakan pertama tadi sudah kenadiciderailawan. Maka diapun berkata. "Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau bukan saja seorang murid murtad, tapi juga bodoh! Selagi digembleng  di  puncak  Semeru  katanya  kau  merupakan murid paling bodoh, tapisombong besar kepala. Apa betul begitusobat?"

"Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!" teriak Kamandaka. "Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar se- orang bodoh!"

Belum  lagi  selesal  ucapan  itu  dua jotosan  beruntun menderu ke arah dada dan kepala Pendekar 212. Sekali ini  karena  sudah  mengerahkan  seluruh  tenaga  dalam maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan kedualengannyake atas.

Bukkkk!

Bukkkk!

Kalau tadi Pendekar 212 yang terpentaldan berseru ke- sakitan maka kali ini Kamandaka yang mencelat sampai duatombak danterduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya seperti tanggal.

"Jahanam..."  serapahnya.  Kakinya  ditekuk.  Tubuhnya tiba-tiba  melesat  ke  depan. Serangan  berantai yang  di- lancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangan- nya bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga men- cakar. Satu cakaran sempat melukai dada kiri Pendekar 212. Tiga guratan dalam yang mengucurkandarah terlihat didada itu.

Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi lawannya ini. Belum pernahdiadigempursehebat itu. Ilmu silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmusilat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas.

Kamandaka  menjadi  heran  dan  juga  kalap  ketika sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau menendang,   menyentuh   lawanpun   dia   sepertl   tidak mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti orang main-main,seperti orang mabok! Malah duatiga kali jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya.

"Jahanam!   Baiknya   kuhabisi   pemuda   keparat   ini sekarang juga!" Pikir Kamandaka. Lalu dia melompat ke atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata me- natap tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan kedua tangannya diangkat ke atas. Dua lengan saling ber- silangan. Mulut bergerak-gerak.

Di  bawah sana  Pendekar  212  melihat  kedua  lengan lawan berubah menjadi hitam.

"Setan  alas  Itu  hendak  lepaskan  pukulan  Halilintar!" kata Wiro dalam  hati. Segera dia angkat tangan  kirinya untuk  membentengi diri dengan  pukulan  benteng topan melanda samudera.

Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua lengan Kamandaka berubah menjadi hitam, lengan kanan



Wiro  juga   berubah   memancarkan   sinar   putih   perak menyilaukan!

Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam rasa senang dalam hatinya untuk mencoba pukulan sakti setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama men- dengarkehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan membuktikannya sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba- tiba dilepas. Serentak dengan Itu terdengar suara seperti halilintar  merobek  udara.  Dua  larik  sinar  hitam  meng- gebubuke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar biasa!

Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinyamurid Eyang  Sinto   Gendeng  gerakkan  tangan   kiri.   Pukulan benteng topan melanda samudera menderu membentengi dirinya.  Dari  tangan  kanan  dia  melepas  pukulan  sinar matahari.  Sinar   putih   menyilaukan  seperti   membelah langit. Udara sepanas dineraka.

Dentuman   keras   seperti   gunung   meletus   laksana hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar hitam yang keluardari tangan Kamandaka beradu dengan sinar  putih  pukulan sakti yang dilepaskan Wiro.  Masing- masing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan tubuh laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan sinar putih  laksana dua ekor naga mengamuk berkelahi bergulung-gulung.

Tiba-tiba  Wiro  merasakan  kedua  kakinya  goyah  dan dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa pukulan Benteng Melanda  Samudera  dan  pukulan  Sinar  Matahari  tidak mampu menahan hantaman pukulan Halilintar!

"Celaka!" teriak Wiro dalam  hati. Terbayang di depan matanya tubuh  Ki  Pamilin  dan tubuh  Datuk Alam yang menemui  ajal  menghitam  gosong!  Itulah  rupanya  nasib yang bakalditerimanya saat itu!

Dalam  keadaan  seperti  itu  tiba-tiba  terdengar  suara



perempuan berseru.

"Mas  Kaman! Saya  bersedia jadi  istrimu asal, jangan bunuh pemuda itu!"

Kamandaka   kenal   betul  suara   itu.  Suara   Kintani. Pemusatan  pikirannya jadi  terganggu.  Hal  ini  dirasakan oleh  Wiro  karena  lututnya  yang  goyah  kembali  pulih. Namun   dia   belum   mampu   menyelamatkan   diri   dari tekanan  pukulan  sakti  lawan.  Di  udara  dilihatnya  sinar putih  pukulan Sinar  Matahari semakin  redup tenggelam dalamsinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat sebelum sinar putih  pukulan  saktinya  sirna,  Pendekar  212  keluarkan seruan  keras. Tubuhnya  melayang  ke  bawah  bukit,  ber- lindung di baliksebuah batu besar. Wuss!

Pukulan  Halilintar  menderu.  Batu  besar tempat  Wiro berlindung kelihatan mengepul putih lalu berubah menjadi hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar 212 selamat dari serangan  maut  itu  namun dirinya ter- pental  jauh   terkena   hempasan   angin   pukulan.   Wiro terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar. Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya mendenyut sakitsepertidihimpit batu besar. Dari mulutnya meleleh darah.  Dia terhempas di  kaki  bukit  batu dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar dilihatnya ada seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di sampingnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan- nya.   Lalu  dia   melihat   bayangan   lain  di  sampingnya. Menyusul suara orang tertawa cekikikan.

"Anak  setan!"  Ada  suara  memanggil  memaki.  "Itulah akibat kalau malang melintang terus-terusan. Tak pernah muncul   untuk   minta  tambahan   ilmu.   Ilmu   kesaktian manusia sudahsemakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu ltu ke itu juga! Sekarang kau rasakan sendiri bagaimana rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik... hik!"

Di  dunia  ini  hanya  ada  satu  orang  yang  memanggil



dirinya  dengan  sebutan  "anak  setan".  Orang  itu  adalah gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me- mangkunya. Orang yang memangku berkata. "Tidur saja. Kau terluka didalam cukup parah!"

Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara Kintani  gadis yang  dipinjaminya  baju.  Dia tetap  bangklt bahkan berdiri. Dia memandang ke depan. Benar, memang dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wirojatuhkan diri berlutut.

"Eyang, maafkanmuridmu yang selama ini tidak pernah meminta petunjukmu!Soalnya muridtidak mau menyusah- kan Eyang..."

"Ah,  itu  kan cuma  ucapan seseorang yang  pura-pura menyesal! Sudah tutup dulu mulutmu!" Nenek tua didepan Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut Wiro. "Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat sebesar jempol kaki itu dengan susah payah ditelan juga oleh  Wiro.  Kintani  kemudian  menopang  punggungnya, menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat kini  tampak  mulai  segar  kembali.  Perlahan-lahan  dia berdiri.

"Nah  kowe  sudah  sembuh!  Ayo  ikut  aku  ke  puncak bukit! Ada tontonan  menarik yang  bakal  kita saksikan!" kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di situ  tegak  seorang  gadis jelita,  berambut  diikat  buntut kuda. "Kau sudahsiap Mintari? Tabahkan hatimul"

Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang bergelar  Tangan  Baja.  Si  gadis  menatap  ke  arah  Wiro, pemuda yang dulumenolongnya.

"Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama  Eyang?" Who bertanya dalam hati.

Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro. Maka diapun berkata. "Saat, ini dia bisa kau anggap se- bagai adik seperguruanmu, Wiro.  Kalau  urusannya  nanti



sudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara se- perguruanmu lagikarenadia memang tak pernah kuangkat sebagaimurid!"

"Sayatidakmengerti Eyang..."

"Nanti kowe juga bakal mengertil" jawab Sinto Gendeng.

Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak bukit batu. Gerakan mereka sebat dan cepat.

"Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke puncak  bukit!"  kata  Sinto  Gendeng.  Keempat  orang  itu segera  naik  ke  puncak  bukit  batu.  Kintani  dan  Mintari sengaja  mengapit  Wiro  yang  keadaannya  masih  agak lemah.


***




SEBELAS




I  PUNCAK  gunung  Semeru  pagi  itu  Ketua  Partal Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti duduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang

wilayah Barat dan Ageng Seto Cabang wilayah Utara. Lalu ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya hampir mendekati para Ketua Cabang.

"Malam  tadi  saya  bermimpi.  Ada  dua  ekor  burung merpati jatuh di pangkuan saya. Yang satu tidak bernafas lagi.  Mati. Yang satunya  megap-megap.  Kedua sayapnya patah dankepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnyamati di pangkuan saya."

Sang  Ketua diam sesaat  lalu  meneruskan  bicaranya. "Saya  bukan  orang  yang  percaya  pada  mimpi.  Namun setiap  mimpi  mempunyal  takbir  dan  maknanya  sendiri- sendirl.  Dua saudara  kita Ageng Sembodo dan  Ki  Rono Bayu sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertandaburuk bagi kita. Jangan-jangantelah terjadi sesuatu dengan mereka..."

"Kalau  Ketua  mengizinkan,  saya  akan  turun  gunung untuk menyelidik," berkataAgeng Seto.

Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya dia  berkata.  "Saat  ini saya  merasa  harus  pergi  ke  goa Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu ke- adaandua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari Kamandaka murid sesat dan murtaditu."

"Saya akan mendampingi Ketua," kata Ageng Seto pula. "Saya jugal" kata Rana Tumalaya.



Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ mengatakan hal yang sama pula.

"Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d! sini  guna  mengurus  segala  sesuatunya,"  kata  Gamar Senopatri pula. Dia berpaling padaAgeng Seto. "Kau punya kepentingan  lebih  besar  untuk  Ikut  bersama saya.  Kau harus  tahu   apa  yang  terjadi   dengan   adikmu  Ageng Sembodo."

"Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawasaya," Ageng Seto merasa gembira.

"Kalian berdua juga ikut saya," kata  Ketua  Partai se- lanjutnya seraya  menggoyangkan  kepala  pada dua anak murid Partai. Kedua orang ini menundukkan kepalasambil mengucapkan   terima.   kasih.   "Dan   kau   Dimas   Rana Tumalaya.   Kau  terpaksa  tinggal   untuk   menjaga   dan mengurus segala sesuatunya selama kami pergi."

"Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua," jawab Rana Tumalaya walau hatikecilnya sebenarnya ingin sekali pergi mendampingi Ketua Partai.

Beberap harikemudian rombongan dari gunung Semeru itu  sampai  di   pantai  Selatan  di   mana  terletak  goa Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa dan mengetahul bahwa terowongan didalamnya membalik ke arah daratan, Gamar Senopatri  membawa  membawa orang-orangnya  keluar  goa  dan  menempuh jalan  darat hingga  akhimya  sampai  di  bukit  batu.  Pada  saat  yang bersamaan Eyang Sinto Gendeng dan Mintarisampai pula di tempat itu. Tujuan kedua orang inijelasuntuk menuntut balas  atas  kematian  ayah  Mintari  serta  kekejian  yang dilakukan Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan se- belumnya  Eyang  Sinto  Gendeng  telah  menculik  Mintari selagi  berada di  rumah kediaman  Raden  Bintang. Gadis malang Ki Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit Slarong. Di sini Mintari diberinya pelajaran meningkatkan



kekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya ilmu sakti pukulan Sinar  Matahari.  Pukulan sakti yang diajarkan si nenek  pada  Mintari  memiliki  kekuatan  lebih  hebat  dad pukulan  Sinai  Matahari  yang  telah  diwariskannya  pada muridnya  Wiro  Sableng.  Hal  ini  karena  Sinto  Gendeng menyadari bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lamatidak bakal sanggup menumbangkan pukulan Halilintar yang di- miliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya maka Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu- an memiliki selama tiga puluh had pada Mintari. Selewat- nya  waktu  tersebut  kesaktian  itu  akan  lenyap  dengan sendirinya. Di samping itu Mintari hanyabisa memperguna- kanilmu kesaktian itu satu kalisaja.

Di  puncak  bukit  batu  Kamandaka tampak  melangkah mundar-mandir didepan rumah batunya.

Hatinya  geram  sekali.  Kalau  saja  tadi  Kintani  tidak muncul  dan  mengganggu  pemusatan  pikirannya,  pasti Pendekar  212  dapat  dikalahkannya  dan  ditambusnya sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu lenyapdi kaki bukit. Kintani sendiri melarikandirientah ke mana. Rasa geram semakin membakar dirinya ketika dia membayangkan  tubuh  Kintani  yang  sudah  siap  untuk ditidurinya!

"Jahanam! Keparat!" maki Kamandaka.

Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng bukit batu dilihatnya ada empat orang lelaki muncul men- daki. Di sebelah depan... Kamandaka segera mengenalinya dari pakaian yang dikenakannya.

"Jahanam itu akhirnya muncul juga!" katanya. "Segala urusan  akan  kuselesaikan  hari  ini! Akan  kubuka  kedok busuk bangsat itu!"

Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan lain di lamping Timur bukit batu. Di jurusan ini juga ada empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenek



dan  satu  lagi  seorang  pemuda  yang  dari jauh  segera dikenalinya  yaitu  Pendekar  212  Wiro  Sableng.  Sedang salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah Kintani.

"Manusia-manusia    celaka!    Semua    akan    kubikin mampus!"  kertak  Kamandaka  dalam  hati.  Lalu  dia  me- lompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua kakinya merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itusampal sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas pentang suara.

"Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di antara kalianyang ingin mampus lebih dulu?!"

Paras  empat  orang dari gunung Semeru tampak  be- rubah  merah sementara Sinto  Gendeng  dan tiga  orang anggota  rombongannya  tenang-tenang  saja  malah  ada yang menyengir-nyengir!

Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka sesaat   lalu   melirik   ke   samping.   Dia  terkejut   ketika mengenali  Sinto  Gendeng  dan  heran  melihat  mengapa

Kintani berada bersama rombongan si nenek.         .

"Kamandaka,  kami  datang  jauh  jauh  bukan  untuk mencarI  kematian,"  Gamar  Senopatri  membuka  mulut. "Kami   datang  justru   untuk   menghukummu!   Dosamu selangit tembussedalam lautan! Berlututlah minta ampun kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati atas dirimuditempat ini juga!"

Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber- kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan- lahan tampak  dia  menekuk  kedua  kaki  seperti  hendak berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja. Justru ketika  pantatnya  bergerak  turun  tiba-tiba  dia  keluarkan suara kentut yang kerassekali. Sehabis kentutdia tertawa gelak-gelak!



Dari  rombongan  yang  dipimpin  oleh  Singo  Gendeng, terdengar pula suara tertawa bekakakan. Itu adalah suara tawa Wiro Sablengyang memang tidakbisa menguasaidiri.

Sinto Gendeng mendelik dan membentak. "Husss! Ku- robek mulutmu kalautidak hentikan tawamu!"

Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik ke  kiri  kanan yaitu  ke arah  Kintani dan  Mintari.  Kintani senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke langit sambil  pejamkan  mata.  Pasti  ada  sesuatu yang sangat mempengaruhi   dirinya   saat   itu   yakni   niatnya   untuk menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan berbisik pada Sinto Gendeng. "Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu berhasil membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan pernah membalaskan sakithatidendam kesumat...."

Si nenek tersenyum. Dia menjawab. "Tidak satu orang- pun bisa mengalahkan Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani bicara nanti kutampar!"

Mintari  dan  Kintani  kancingkan  mulutnya  rapat-rapat sementara  Wiro  sambil  garuk-garuk   kepala   berusaha menahan  ketawa  hingga  mukanya  merah  sampai   ke telinga.

Di  sebelah  sana  empat  wajah  orang-orang  gunung Cemeru tampakmerahkelam membesi.

Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetartanda dia berusaha menekan amarah.

"Orang  yang  mau  mati  memang  suka  berbuat  tolol! Kami tahu kau pastitelah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo. Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!"

"Dari  tadi  kau  bicara  melulu!  Kapan  kau  mau  ber- tindak?!" Kamandaka berkata lantang.

"Saat ini juga muridmurtad!" jawab Gamar Senopatri.

"Bagus!  Tapi  sebelum  kau  membual  hendak  mem-



bunuhku,  biar aku  bicara dulu. Agar semua  orang tahu siapa dirimu sebenarnya.  Dan  mengapa aku  melakukan semua kejahatan ini! Tujuanku laintidak adalah agar satu ketika aku dapat berhadapan denganmu. Kini saat yang kutunggusejak beberapa bulan lalusudah tiba! Bukan aku yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan kejahatandan kebusukan yang pernah kau buat dua puluh lima tahun  silam.  Ketika  aku  baru  berusia tiga tahun!" Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan telunjuknya ke arah Gamar Se nopatri hingga Ketua Partai ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh tubuh- nya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu ter- tuju padaseuntal kalung baja putih dengan hiasan kepala seekor singa yang tergantung dileher sang Ketua.

Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja mem- buat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan yang lain-lain yang adaditempat itujadiikut bertanya-tanya.

"Gamar  Senopatri!  Hari  ini  kubuka  kedok  busukmu!" kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama orang tua itu. "Dua puluh lima tahunlalu, di hutan Sasakan kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu adalah seorang lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl sebelah- nya.  Istrinya  bernama  Widi  Sinten.  Seorang  anak  lelaki berusia  tiga  tahun  berada  di  bagian  belakang  pedati. Sampaidisini apa kaubisa ingat Gamar Senopatri?"

Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah Ketua  Partai Semeru  Raya tiba-tiba  menjadi  pucat  pasi seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada suara yang keluar. Dadanya turun naik.

Di  atas  batu  Kamandaka  kembali  membuka  mulut. "Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan ceritaku!  Perempuan  bernama  Widi  Sinten  itu  adalah



kekasihmu di  masa  muda.  Namun dia  meninggalkanmu karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih. Kau  mengkhianati  cintanya  dan  kawin  di  mana-mana. Ketika Widi Sinten  kawin dengan Abdi Gontor  baru  kau sadar bahwa sesungguhnya kaubenar-benar mencintainya. Kau  inginkan  dirinya  lagi  tapi  sudah  terlambat.  Rasa sayangmu berubah jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat rombongan  mereka  di  hutan Sasakan.  Kau  bunuh Abdi Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis diperlakukan  secara  keji  begitu  Widi  Sinten  bunuh  diri dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu juga!" Sampai  di situ  Kamandaka tampak seperti tidak  dapat menguasai  diri.  Tubuhnya  bergetar  hebat  dan  suaranya ditelan  isakan  tangis.  Sesaat  kemudian  baru  dia  bisa meneruskan kata-katanya.

"Kejadian itudisaksikanoleh anak mereka yang berusia tiga tahun. Si anak menangis dan takut. Berusaha turun dari  pedati  tapi  terjatuh.  Kepalanya  membentur  tanah hinggajatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi mengingat  apa  yang  telah  terjadi  dengan  kedua  orang tuanya. Entah karena apa kau kemudian mengambil anak itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat tahun  ingatannya  tentang  peristiwa  itu  menjadi  gelap. Namun enam bulan yang lalusebuah benda yang tiba-tiba dilihatnya membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di masa  lalu  itu.  Benda  itu adalah  kalung  baja  putih yang melingkardi lehermu! Kalung itu dilihatsi anakwaktu kau membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian dilihat  anak  yang  sama  enam  bulan  lalu  ketika  untuk pertama  kalinya  kau  memakainya  kembali  pada  suatu upacara kebesaran Partai!"

Suasana   di   puncak   bukit   itu   hening   seperti   di pekuburan. Suara anginpun tidakkedengaran. Ketegangan



tegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia menyambung kata-katanya.

"Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri? Anak itu adalahaku! Kamandaka! Muridmu yang katamusudah kau anggapseperti anaksendiri!"

Semuanya  mata  memandang  pada Gamar Senopatri. Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya kering. Di atas kepalanya matahariseperti hanyasejengkal. Tubuh dan pakalannya mandikeringat.

"Ceritaku  belum  habis  Gamari Setelah aku tahu  kau pembunuh ayahku dan manusia yang merusak ibuku, aku pergi  meninggalkan  Semeru.  Aku  menghubungi  tokoh- tokoh persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat aku  lakukan.  Tak  satu  orangpun  yang  mau  memberi nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka

pengecutl Aku anggap sama saja mereka itu bersekutu dengan  dirimu!  Ketika  seorang  sakti  memberiku  ilmu pukulan  Halilintar, semua tokoh- tokoh silat  keparat  itu kuhabisi  satu  demi  satu.  Gadis-gadis  kuculik  dan  ku- perkosa.   Kubayangkan   mereka  adalah  anak  gadismu sendiri!  Lalu aku  merencanakan  untuk  menyamaratakan puncak Semeru, menghancurkan Partai Semeru Raya dan mematahkan   batang   lehermu!   Orang-orang   persilatan menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid murtad!  Mungkin  aku  sesat  dan  murtad.  Tapi  semua berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku Gamar   Senopatri!   Kedokmu   sudah   kubuka.   Berarti kematianmu sudahdi depan mata! Bersiaplah!"

Tubuh  Ketua  Partai  Semeru  Raya  itu  tampak  ber- guncang.  Ageng  Seto  dan  dua  murid  Partai  cepat  me- megangnya.

"Tinggalkan saya..." kata Gamar Senopatri pada orang- orang   itu.   "Menjauhlah.   Aku   sudah   siap   menerima hukumanku!"

Ageng  Seto  maju  ke  depan.  "Kamandaka!"  serunya. "Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau lakukan nanti adalah urusan dan tanggung jawabmusendiri!" Habis berseru   begitu   Ageng   Seto   memegang   bahu   Gamar Senopatri laluberbisik. "Ketua, mari kitatinggalkan tempat ini."

Tapi Gamar Senopatrigelengkan kepala.

Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua lengannya. Lengan-lengan Itu berubah menjadi hitam.

"Ketua! Awas!" Kintani berteriak. Tapiterlambat.

Suara sepertihalilintarmemekakkantelinga. Bukit batu bergetar hebat. Dua larik sinar hitam menderu menebar hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai yang berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri. Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan suara raungan pendek. Tubuh mereka terpentaljauh. Keduanya menemui ajal  dalam  keadaan  tubuh  hitam  gosong  mengepulkan asap.   Bau   daging  terbakar   menyesakkan   nafas   dan mengidikkan semua orangyang adaditempat itu.

Untuk beberapa lamanya  Kamandaka masih tegak di atas batu datardi depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Mintari dan berkata perlahan.

"Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba, Mintari," kata sinenek.

Gadis itu mengangguk. "Semoga saya berhasil, Eyang "

"Jangan   kawatir.   Kau   pasti   berhasil!"  jawab  Sinto Gendeng. Lalu dia melangkah menemani gadis itu sampai lima  belas  langkah  di  hadapan  batu  datar  di  mana Kamandaka  berada  sementara  Wiro  dan  Kintani  tetap berada di tempat semula.

Kamandaka  menatap  kosong  ketika  Mintari  tegak  di



depannya. Dia sepertitidak melihat gadis itu sampai pada saat Mintari berkatadengan suara keras.

"Kamandaka! Kudengar ceritamu tadicukup mengharu- kan. Kau pernah kehilangan ingatan selama lebih dari dua puluh empat tahun. Tapi apa kaujuga hilang ingatan atas apa  yang   kau   lakukan  terhadap   ayahku   dan   diriku beberapabulan lalu?!"

"Heh....  Siapa  kau?  Suaramu  lantang  dan  wajahmu cantik!" Otak kotor Kamandaka mulalbekerja rupanya.

"Beberapa bulan lalukaumembunuhayahku Ki Pamilin bergelar Tangan Baja. Di tempat yang sama kaukemudian merusak kehormatanku! Ingat.. ?"

"Ya, aku memang ingat..." jawab Kamandaka.

"Lalu  sekarang  apa  maumu?  Minta  diperkosa  lagi?" Kamandaka tertawa mengekeh. Tapijelas tawa itu seperti dipaksakan.   Dia   seperti   belum   dapat   melenyapkan keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi Gamar Senopatri tadi.

"Kejahatan  harus  dibalas  dengan  keadilan!  Keadilan satu-satunya bagimu adalah mati!" teriak Mintari. Lalu dia angkat tangan kanannya. Tangan itusampaisebatas siku berubah  menjadi  putih  perak  dan  sangat  menyilaukan. Hawa   panas   terasa   mencekam   tempat   sekitar   situ. Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal itu.  "Gila!  Mengapa  lengan  itu  bisa sangat  menyilaukan seperti itu. Aku sendiritidak mampu berbuat seperti itu. Ah, si  Eyang  pasti  sudah  main  kayu!  Mengajarkan  sesuatu pada orang lain tapitidak mengajarkannya padaku!" Baru saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya tiba-tibaada suara menglang ditelinganya.

"Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan! Kau  sendiri  yang  salah.  Selama  ini  kau  hanya  senang malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk mem- perdalam serta menambah ilmu kepandaian!"



Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa jauh dari tempatnya berdiri. Itu tadi suara si nenek yang mempergunakan ilmubersuarajarak jauh. Wiro hanya bisa garuk-garuk   kepala.   Memandang   ke  depan  dilihatnya lengan Mintari semakin memancarkan sinarmenyilaukan.

"Pukulan  Sinar  Matahari!'  seru  Kamandaka  dengan nada  serta  mimik  mengejek.  "Siapa  yang  mengajarkan padamu?  Pasti  nenek jelek  itu  atau  pemuda  gondrong sebelah sana!" Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan seratus  orang yang  mampu  melancarkan  pukulan Sinar Matahari.  Tak  satupun  yang  akan  mampu  menghadapi pukulan Halilintar!"

"Takaburmu membawa celaka!" teriak Mintari. Tangan- nya perlahan-lahandiangkat lebih tinggi.

"Eh, gadis ini tidakmain-main. Sebenarnya sayang kalau dia   harus   kubunuh!   Tapi   apa   boleh   buat!"   Begitu Kamandaka    membatin.    Lalu    dia    silangkan    kedua tangannya didepan kepala. Kedua tangan itu serta merta menjadikan hitam. Sambil sunggingkan senyum merendah- kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan memukul ke depan.

Wuss!

Wuss!

Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara gelegar  halihntar.  Untuk  kesekian  kalinya  bukit  batu  itu sepertidiguncang gempa dan langitseperti mau roboh!

Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya meng- hantam ke depan. Hawa panas menggebubu. Selarik sinar putih  kebiruan  menyilaukan  menyambar ganas.  Ratusan bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam bertemu dengan selarik sinar putih kebiruan.

Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menye- ringai.   Kintani  dan  Wiro   menahan   nafas.  Tapi  Sinto Gendeng  tenang-tenang  saja.  Malah  dari  mulutnya  terdengar suara  dia  menyanyi.  "Kejar terus, tahan terus.... Hitam tak pernah menang dari putih... Kejar terus, tahan terus... Hitam tak pernah menang dari putih..."

Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar ber- usaha menggelamkan sinar putih pukulan Sinar Matahari. Namun sekali ini tampaksinar-sinarhitam Itu terdorong ke belakang hingga Kamandaka merasakan kedua Iengannya bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian sebelumnya. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya jadimerah dan sekujur tubuhnya mandikeringat.

Tiba-tiba   Mintari   putar   telapak   tangan   kanannya. Gerakan ini disusul dengangerakan mendorong ke depan .

Wussss!

Pukulan  Sinar  Matahari  menggebubu  laksana  topan prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu lenyap. Sinar putih terus melabrakke depan.

"Jahanam!"  Masih terdengar  makian  Kamandaka.  Itu adalah ucapannya yangterakhir sebelumtubuhnya terseret sinar   putih   panas  dan   menyilaukan   itu.   Pemuda   itu terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk sesaat lamanyatubuhnya yang melepuh matang merah Itu laksana  dicetak  masuk  ke  dalam  dinding  batu.  Lalu perlahan-lahan   tubuh   itu   mencuat   keluar   dan  jatuh tergelimpangdi atas batu.

Mintari jatuhkan diri dantekap mukanya dengan kedua tangannya. Sinar putih menyilaukan pada tangan kanannya sudah  lenyap.  Dia  menangis  terisak-isak.  Satu  tangan memegang  bahunya,  mengira  itu  adalah  Eyang  Sinto Gendeng yang  memegangnya, gadis  ini  berkata.  "Eyang, terimakasih. Saya berhasil Eyang. Terima kasih..."

"Eyang sudah lenyapentah kemana," jawab satu suara. Mintari  berpaling.  Yang  memegang  bahunya  dan  yang barusan   bicara  ternyata   adalah   Pendekar   212   Wiro Sableng.   Di  sampingnya   berdiri   Kintani.  "Dia  sempa berpesan  agar  aku  mengurus  kalian  berdua. Ah,  bagai- mana ini... Kalian kan bukananak-anak kecillagi."

Perlahan-lahan  Mintari  berdiri.  Dia  memandang  pada Kintani sambil mengusap air matanya.  Lalu dia berkata. "Bersamamu Wiro, kami mau jadianak-anakkecilkembali."

"Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kaupasti bakal kewalahan mengurus kami!" menyambung Kintani.

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu dia berdiri di antara kedua gadis itu dan memegang bahu mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Mintari.

Ditanya  begitu  sang  pendekar  justru  malah  tertawa gelak-gelak.  "Aku  ingat  ketika  kalian  kutemui  lari  dari puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!"

Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye- ngat lengan, pinggang dan punggung Pendekar 212 mem- buat   dia   kelojotan   dan  terlonjak-lonjak   kian   kemari. Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana saja.  Dari  belakang  keduanya  menarik  celana  Wiro  ke bawah  kuat-kuat  hingga tubuh  bawah sebelah  belakang pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut menarik celananya, Mintari dan Kintani telah melarikandiri kebawah bukit.

"Anak-anak  nakal!  Kalau  dapat  kukejar akan  kuciumi kalian berdua!" teriak Wiro.

Mintari  dan  Kintani  berhenti  lalu  lambaikan  tangan menggoda.  Ketika Wiro  mengejar  keduanya  lari  kembali sambil tertawa terpingkal-pingkal.


                                    TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive