Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Kamis, 23 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - PENDEKAR DARI GUNUNG NAGA

matjenuh channel

 








BAB 1


LEMBAH MERAK HIJAU yang terletak di propinsi

Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur

dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih

karena di sebelah timur lembah ini terdapat daerah

persawahan yang luas dan pada saat itu padi yang

ditanam telah masak menguning hingga kemanapun

mata memandang, seolah-olah hamparan permadani

emaslah yang kelihatan. Bila angin bertiup, padi-padi

masak menguning itu bergoyang melambai-lambai

mengalun lemah gemulai

    Dipagi yang cerah ini diantara desau  tiupan

angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan

seruling  yang  merdu sekali. Barang siapa yang

mendengarnya, pastilah akan tertegun dan mema-

sang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu.

Siapakah gerangan yang meniup seruling tersebut?

Tentunya seorang seniman pandai yang dapat meng-

gambarkan keindahan pemandangan alam sekitar-

nya lewat hembusan napas yang disalurkannya ke

dalam lobang seruling.

    Tetapi adalah diiuar dugaan  karena kenyataan-

nya si peniup seruling bukanlah seorang seniman,

bukan pula seorang dewasa. Melainkan seorang

anak gembala yang baru berusia tujuh tahun dan

duduk di atas punggung seekor kerbau besar tegap

berbulu bersih dan berkilat.

    Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah me-

nyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau,

kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan.

Di atas punggungnya bocah berusia tujuh tahun itu

demikian asyiknya meniup seruling hingga dia tidak

perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya.

    Akan tetapi  ketika  binatang itu sampai di atas

lembah sebelah selatan serta rnerta  si bocah meng-

hentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga

dan sepasang matanya yang bening melotot begitu

dia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Dua

sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang

hitam dan  putih  dilihatnya berkelebat hebat, terlibat

dalam suatu perkelahian yang gencar dan seru.

    Adalah aneh... memikir anak itu... di tempat yang


begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Mem-

perhatikan  dengan  mata  tak  berkesip  lama-lama

membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa

kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, di-

pejamkan  lagi, dibuka lagi. Ketika dia  membuka

sepasang  matanya  untuk  yang  kesekian kalinya,

dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan pu-

tih dan tahu-tahu satu tendangan dahsyat dilancar-

kan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi bayang-

an putih dapat mengelak. Tendangan maut  itu tak

sengaja terus melabrak kepala kerbau yang ditung-

gangi anak tadi.

    Terdengar  lenguhan keras.  Kerbau besar itu

mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di ta-

nah, mati  dengan kepala  pecah. Anak  lelaki tadi

terpelanting dan  nyangsrang dalam semak-semak.

Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya  baret

luka-luka.  Tapi  suling Kesayangannya  masih ter-

genggam di tangan kanannya. Dengan susah payah

dia keluar dari semak-semak itu sambil mengomel

marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengan

kerbau tunggangannya.

    Di depan sana  akibat kejadian yang tak  di-

sangka-sangka itu, dua orang yang tadi berkelahi

mati-matian sama melompat  mundur.  Perkelahian

terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah

dan kerbaunya.

    Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan

jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam

dan putih tadi.

    Di depan sebelah kanan tegak seorang kakek-

kakek berjubah hitam berkepala botak plontos yang

kilat-kilat  ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya

tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang.

Tampangnya persis seperti anjing air!

    Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek

berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap

bahu. Dia memelihara kumis serta janggut lebat yang

juga berwana putih. Sepasang matanya meman-

dang tajam pada bocah  yang memegang  suling

sedang kulit  keningnya berkerut  seolah-olah  dia

tengah memikirkan sesuatu.

    Meskipun tadi hanya melihat bayangannya saja.

namun bocah pengembara itu yakin kakek berjubah


hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hing-

ga mematikan kerbaunya. Bocah ini memang mem-

punyai dasar watak yang berani. Dengan mata me-

lotot dan air  muka  menunjukkan  kemarahan  dia

membentak pada kakek jubah hitam :

    “Tua bangka botak! Kau telah membunuh ker-

bauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau

harus menggantinya kalau tidak...."

    Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah

hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain. apalagi

anak-anak yang  masih ingusan pula! Tentu  saja

darahnya naik ke kepala

    "Pergi kau dari sini. kalau tidak kepalamu akan

kupecahkan seperti binatang itu!"

    "Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!'

    "Bocah sundal! Kau mampuslah!' teriak kakek

jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya dipukul-

kan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat.

Jangankan seorang anak kecil seperti pengembala

itu, batu karang atos sekalipun kalau sampai dilabrak

pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam

Suar biasa itu pasti akan hancur lebur.

    Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu meng-

hantam anak gembala, dari samping menderu angin

pukulan lain, menggempur angin pukulan yang per-

tama hingga berantakan dan punah!

    Ternyata kakek berpakaian  putihlah yang telah

menolong bocah itu!

    Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja

terlepas dari bahaya maut. dengan marah mengang-

kat sulingnya tinggi-tinggi  dan lari  ke arah kakek

berjubah hitam.

    "Tua bangka botak! Kugebuk kau dengan suling-

ku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"

    Anak yang  berani ini  tidak menyadari sama

sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut nya-

wa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah

hitam memang sudah berniat membunuh anak itu.

Tapi lagi-lagi  orang tua  berpakaian putih  menye-

lamatkannya  Sekali bergerak, kakek yang  satu ini

tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian

bocah itu dan menariknya ke tempat yang aman!

    "Budak! Keberanianmu luar biasa dan  menga-

gumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu!


Biar aku yang mewakilimu untuk menggebuknya!'

    Sesaat  anak gembala  itu terdiam. Kemudian

dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-tua bang-

ka tak tahu  diri.-Berkelahi macam anak-anak!"

    Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak. Tapi

sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak

garang dan  menyerbu. Kembali kedua orang ini ber-

tempur hebat Kembali tubuh mereka menjadi  bayang-

bayang hitam putih dan kembali pula si bocah  menjadi

sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan. Namun

dia memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat

itu sambi! tiada hentinya berteriak : Janggut putih, ayo

kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku itu! Sikat!

Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala

binatang gembalaanku!"

    Teriakan-teriakan anak  ini seolah-olah memberi

semangat pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya

membuat si botak jadi penasaran setengah  mati!

    Dari batik jubah hitamnya si botak ini keluarkan

senjatanya  berupa tongkat kayu berwarna hitam

legam dan memancarkan sinar menggidikkan. Sete-

lah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata  dia

tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong

maka kini dengan senjata itu dia berharap bakai

dapat mengalihkan kakek janggut putih.

    Diiain pihak lawannya begitu melihat musuh  pe-

gang senjata tidak pula menunggu lebih lama, segera

keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek

terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.

    Sesaat  kemudian keduanya sudah bertempur

kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian

mereka yang  putih dan hitam dibuntali oleh  sinar

dari senjata masing-masing dan menderu-deru  de-

ngan dahsyatnya.

    Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat itu

merasakan bagaimana sambaran kedua senjata ter-

sebut membuat lututnya guyah dan tubuhnya ber-

getar menggigil Terpaksa dia  menjauh sampai satu

tombak dari kalangan pertempuran sementara mata

dan kepalanya semakin  sakit menyaksikan.

    Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut putih

berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan

tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba  robah gerakan tongkatnya dengan satu kemplangan

yang tidak terduga.

    Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia melin-

tangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan

tongkat  kayu  mustika beradu dengan keras, me

ngeluarkan suara nyaring. Tongkat  kayu mental

patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan

kakek janggut  putih! Nyatalah kedua kakek-kakek

itu sama tangguh meskipun si janggut putih unggul

sedikit dari lawannya.

    Selagi kakek janggut putih  melompat meng-

ambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan dua

tangan di depan dada, kaki terkembang  dan kedua

matanya  dipejamkan. Mulutnya  komat-kamit.  Dari

ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam. Kemu-

dian terdengar kekehannya.

    "Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa

bernapas lebih  lama!"

    Kepulan-kepulan asap hitam  itu sedetik kemu-

dian berobah menjadi delapan buah  tangan  yang

amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang lak-

sana cakar burung  garuda  dan mulai menggapai-

gapai  ke arah kakek janggut putih.

    "Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan

wajah berobah. (Hoatsut ilmu  sihir hitam). Hatinya

tercekat. Segala macam  senjata sakti dan ilmu silat

hebat  bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi meng-

hadapi ilmu siluman mau tak mau hatinya berdebar

juga. Dia mengambil keputusan nekad.  Menghajar

si kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya

melancarkan  serangan.  Dengan  memutar tombak

bajanya  sekeliling tubuh,  dia menyusup  diantara

kepulan asap hitam!


***********"


BAB 2


mampu mendekati kakek jubah hitam  sampai jarak  

tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan 

telah berserabutan menyerang kakek janggut putih!

    Si kakek tersentak dan buru-buru menghindarkan 

diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu masih 

memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak 

bajanya, sekaligus melabrak empat buah tangan  yang  

menyerang. Aneh, meskipun jelas dia berhasil 

menghantam empat tangan mengerikan itu namun  

tombaknya  lewat begitu  saja seolah-olah menghantam 

udara kosong! Dan  dalam pada itu salah satu tangan 

tersebut telah berkelebat dengan cepat dan bret!

    Pakaian  dibagian dada  si kakek robek besar.

Kuku-kuku yang panjang masih sempat membuat

baret daging dadanya  dan kontan orang tua ini

merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru  dia

salurkan tenaga dalamnya kebagian dada yang  ce-

dera dan rasa sakit panas dingin berangsur-angsur

berkurang.

    Dalam pada itu di depan sana kakek jubah hitam

kembali keluarkan suara tawa mengekeh dan dela-

pan tangan siluman kembali menyerbu!

    Kakek janggut putih maklum bahwa segala  pu-

kulan sakti dan tombaknya tak akan mampu meng

hadapi ilmu sihir yang ganas itu. Dia hanya sanggup

bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang

sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa

berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau katakanlah

sampai tiga ratus jurus di muka?  Dalam umurnya

yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu

melaksanakannya?  Cepat atau  lambat  dia  bakal

celaka juga! Hal ini  membuat dia nekad dan meng-

amuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh betul-

betul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja

dia sudah didesak habis-habisan!

    Bocah penggembala yang mengharapkan agar

kakek janggut putih bisa  menghajar si botak yang

telah membunuh kerbaunya itu, jadi kecewa dan

penasaran  ketika menyaksikan  bagaimana  justru


kakek janggut putih itu terdesak hebat bahkan ter-

ancam jiwanya karena saat itu beberapa kali tangan-

tangan iblis berkuku panjang telah memukul dan

mencakar  tubuhnya hingga  dalam tempo singkat

kakek ini mandi darah akibat luka-luka yang diderita-

nya!

    Dengan marah anak laki-laki itu mulai mengum-

pulkan batu-batu sebesar kepalan dan  melempari

kakek jubah hitam dari belakang. Tapi semua batu-

batu yang  dilemparkan jangankan  mengenai, men-

dekati tubuhnya saja pun  tidak karena batu-batu  itu

mental kembali akibat hawa sakti  yang keluar dari

tubuh si jubah hitam kepala botak!

    Hebatnya kakek janggut putih itu  meskipun

sadar bahwa dirinya bakal celaka dan kematiannya

sudah ditentukan saat itu, namun dia  masih saja

bertahan dan  melawan mati-matian, sama sekali

tidak mau menyerah apalagi lari selamatkan dirinya!

    Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu dan

khawatir kalau  tangan-tangan siluman itu bakal me-

nyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak

penggembala. Tetapi anehnya dia sama  sekali tidak

pula melarikan diri dari  tempat ini.  Malah untuk

menghilangkan rasa takut itu, anak  ini ambil se-

rulingnya dan  mulai meniup.  Lagu yang  dimain-

kannya  sama sekali tak menentu.  Rasa takut dan

khawatir melihat keselamatan si kakek janggut putih

terancam membuat tiupan serulingnya melengking-

lengking tak karuan. Tetapi  justru tiupan seruling

inilah  yang  mendadak sontak merubah  keadaan di

dalam kalangan perkelahian  hidup mati  itu!

    Delapan tangan iblis yang  mengerikan  kini ke-

lihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan kacau.

semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah

menjadi asap hitam. Kakek  jubah hitam tersentak

kaget.  Dia berkeras memusatkan  pikirannya  guna

mengumpulkan kekuatan  bathin yang tercerai berai

namun tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman

itu telah berubah jadi kepulan  asap hitam dan lenyap.

    "Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua

matanya justru  disaat itu musuhnya yang telah luka

parah  laksana  banteng terluka mengamuk  melihat

perubahan yang mendadak dan adanya kesempatan

untuk  menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancar-kan gerakan mematikan yang bernama  "Joan hun-ki-

gwat" atau "menyusup awan mengambil  rembu-

lan."     

    Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana

kilat ke dada si jubah hitam dan tanpa dapat dielak-

kan lagi tepat menembus jantungnya hingga tanpa

suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat

nyawanya ketika itu juga!

    Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gem-

bala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan.

    "Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru

aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa  yang akan

dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas

jadi termenung murung.

    Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya

penuh luka-luka,  dalam keadaan megap-megap se-

gera bersila di tanah. Atur jalan  darah  dan napas

serta salurkan  hawa sakti tenaga dalam keseluruh

bagian tubuhnya. Beberapa saat  kemudian  dia ke-

luarkan dua macam obat yakni beberapa butir pel

dan sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya sam-

pai habis sedang obat bubuk dituangkannya pada

luka-luka sekujur tubuhnya. Kemudian kembali dia

bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu. Perlahan-

lahan  orang tua ini membuka kedua  matanya dan

berdiri. Meski kini dia telah  selamat dari kematian

namun kesehatannya  belum  pulih keseluruhannya.

ternyata  cakar dari jari-jari  tangan siluman yang

telah membuat dia cedera itu mengandung racun

yang berbahaya. Untung  saja  dia  membawa per-

sediaan obat,  kalau tidak meskipun dia berhasil

membunuh musuh namun racun, yang mengendap

bukan mustahil bakal membuat dia menemui ajalnya

pula dalam satu dua  hari dimuka.

    Orang tua ini kemudian ingat pada anak gembala

itu  yang kini tengah duduk termangu-mangu  di

bawah sebatang pohon. Meskipun kerbau gembala-

annya mati bukan karena kesalahannya dan si pem-

bunuh sudah pula menemui ajal namun majikannya

pasti tak mau  perduli. Masih mending  kalau dia

diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?

    Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-tiba

satu bayangan  putih berkelebat. Dia merasakan

tengkuk pakaiannya  dicekal orang  dan  kemudian


dirasakannya tubuhnya  laksana  terbang. Meman-

dang ke samping ternyata dia telah  dipanggul oleh

kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan

kecepatan yang luar biasa, membuat dia gamang

dan ngeri.

    "Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" seru

si bocah dengan suara gemetar.

    "Budak... kau diam  sajalah. Tak usah banyak

tanya!"

    "Tapi aku harus kembali pada majikanku. Mem-

beri tahu tentang kerbau yang mati itu...."

    Si kakek tertawa.

    Kau anak baik yang tahu apa artinya tanggung

jawab. Tapi lupakan saja majikanmu dan kerbaumu

itu!  Persetan! Potongan tubuh dan  ruas tulangmu

kulihat bagus sekali!  Sayang... sayang kalau disia-

siakan! Aku akan bawa  kau ke puncak  Liongsan!

Kau dengar? Puncak Liongsan!"

    "Aku... aku...."

    Si kakek mempercepat larinya dan kerena ngeri

si bocah tak berani lagi banyak bicara, malah kini

dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar akhirnya

dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya

"terbang" itu!

    Siapakah adanya kakek berambut putih ini?

Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa tuju-

annya sampai anak  gembala tersebut hendak di-

bawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini

dianggap angker dan jarang didatangi oleh manusia?

    Kakek-kakek jubah hitam yang menemui ajalnya

itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dike-

nal dengan julukan angker Raja Setan Gunung Utara

atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa itu diantara tokoh-

tokoh  silat golongan hitam  yang  sesat  Pak-san

Kwi-ong dianggap tokoh terlihay dan secara tidak

resmi dijadikan sebagai  pimpinan. Dengan sendiri-

nya dia  menjadi musuh nomor wahid dari orang

persilatan golongan putih.

    Sekitar tiga tahun  yang lalu  antara  Pak-san

Kwi-ong dengan kakek-kakek  janggut putih yang

membawa  lari anak gembala tadi, telah terjadi ben-

trokan. Dalam perkelahian satu lawan satu yang seru

dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih

berhasil mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat sakit hati. Selama

tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri  memper-

dalam ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya.

Disamping itu dia meyakini pula satu ilmu baru yakni

ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa  cukup

sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka

dicarinyalah kakek janggut putih tadi. Ternyata Pak-

sa n Kwi-ong memang berhasil menghadapi musuh

besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja

dapat membunuh  lawan.  Namun tiada disangka-

sangka, ilmu sihirnya musnah berantakan  hanya

karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau.

Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa serah-

kan jiwanya pada musuh!

    Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?


***********


BAB 3


KALAU SEBELUMNYA  telah dijelaskan bahwa Pak-

san Kwi-ong  merupakan tokoh silat golongan hitam 

yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya  pada 

masa itu, maka  dari golongan putih  boleh dikatakan 

kakek janggut  putih itulah yang  menjadi tokoh kelas  

wahidnya.  Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang, 

berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung ong atau 

Raja Tongkat Tangan Sakti.

    Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah dianggap se-

bagai jago nomor satu pada  masa itu, namun tokoh-

tokoh persilatan  bukan tidak  mengetahui bahwa

sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar

biasa  kesaktiannya, yang  sukar bahkan tak ada

tandingnya diseluruh Tiongkok. Namun  sudah sejak

lama orang ini mengundurkan diri dari urusan dunia-

wi dan di mana beradanya sekarang tak seorang pun

yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa tokoh luar

biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari

Kiat Bo Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah

berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-Bong-Kiam-

Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas. Diduga

hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang  mengetahui

di mana suhengnya itu berada.

    Sementara itu  diketahui pula bahwa Ik Bo Ho-

siang  mempunyai dua  orang  pembantu rnasing-

masing berusia 60 tahun yang kepandaiannya hanya

satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat Bo

Hosiang. Jika baru  pembantunya saja sudah me-

miliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka dapat

dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiang

sendiri.

    Sebagaimana lazimnya yang terjadi dikalangan

kangouw, tokoh silat berkepandaian tinggi itu biasa

mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula

terlepas dari diri  Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya

ini sudah melampaui batas-batas yang dianggapnya

wajar hingga banyak orang yang berpendapat bahwa

kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak

miring atau setengah gila! Cuma untuk menyatakan

pendapat atau anggapan itu secara terang-terangan



tentu saja tak satu pun  yang berani karena kalau

sampai terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama

saja dengan mengundang "penyakit".

    Setelah lari  hampir seratus iie dan siang telah

berganti dengan malam,  Kiat Bo Hosiang baru ber-

henti. Anak kecil yang didukungnya  ternyata telah

tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya di

tanah. Dia sendiri kemudian  menelan beberapa pil

obat lalu duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas

dan peredaran darah serta mengalirkan tenaga da-

lam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh dari

pada racun jahat ilmu siluman Pak-san Kwi-ong.

Beberapa saat kemudian kembali dia melanjutkan

perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti

setan yang berkelebat gentanyangan.

    Menjelang pagi  Kiat Bo  Hosiang istirahat dan

tidur sebentar dan bila matahari terbit dia menerus-

kan perjalanan kembali.'

    Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika

di hadapannya  terlihat  Gunung Naga (Liongsan)

yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat

itu menganggap gunung itu angker, tak satu orang

pun  berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat Bo

Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki

gunung yang menjulang ini.  Sampai  pertengahan

lereng jalan yang menuju puncak gunung masih mu-

dah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya

pertengahan lereng, pepohonan dan semak belukar

mulai rapat. Ular-ular pohon kelihatan membelit dan

bergelantungan di  mana-mana. Sekali seseorang

kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit

nkan mati akibat bisanya yang jahat!

    Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak  perduli akan

binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah

yang menjauh ketakutan karena dengan kesaktian-

nya yang tinggi tubuh kakek ini mengeluarkan hawa

panas  yang membuat takut ular-ular dalam hutan,

sama sekali tidak mengganggu bocah penggembala

yang sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas

pundak kirinya!

    Selewatnya  pertengahan lereng, perjalanan be-

tul betul sulit dan berbahaya.  Di mana-mana meng-

hilang batu-batu karang raksasa runcing menjulang

langit,  licin berlumut lembab.  Disela batu-batu ka-rang Ini membentang jurang-jurang terjal yang gelap

sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!

    Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari di

jalan yang rata dan seperti sepasang matanya dapat

menembus tebalnya  kabut,  kakek  sakti Kiat Bo

Hosiang terus saja lari seenaknya.  Melompat dari

atas batu  karang  yang satu  ke batu karang yang

lainnya; melayang di atas jurang-jurang maut hingga

akhirnya sampai di puncak Uongsan!

    Saat itu di  salah satu puncak Liongsan yang

dingin, dua orang tua berpakaian  putih-putih asyik

bermain tioki  (catur). Yang pertama berambut putih

berbadan  pendek. Usianya sekitar  60  tahun dan

dikenal dengan nama  Toa Sin Hosiang. Yang se-

orang lagi  kurus tinggi, bermuka hitam juga berusia

sekitar 60 tahun. Keduanya bukan  lain adalah pem-

bantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang  berkepandaian

tinggi itu.

    Sementara  orang  menyebut  mereka sebagai

pembantu  Ik Bo Hosiang karena memang sebegitu

jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah

mengangkat mereka sebagai  murid, sekalipun se

gala kepandaian silat yang diperdapat  dari Ik Bo

Hosiang sendiri. Disamping itu mereka dari  sejak

dulu memang bertugas  melayani dan  memenuhi

apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.

    Seperti telah  diterangkan sebelumnya  Ik Bo

Hosiang mempunyai  sifat-sifat aneh yang boleh

diKatakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini

dengan sendirinya menular pula pada kedua 

pembantunya,  meskipun tidak segawat Ik Bo Hosiang

sendiri.

    Demikianlah, selagi asyik main tioki dan ketika

Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah

satu bidak lawan, tiba-tiba Lo Sam Hosiang  meng-

goyangkan kepalanya dan berkata : "Heh ada orang

datang!"

    Toa Sin  Hosiang juga sudah mendengar. Se-

saat keduanya saling memandang heran. Memang

sudah sejak lama sekali tak pernah ada orang luar

yang naik ke puncak Liongsan. Jika hari itu ada

orang yang datang ini merupakan suatu yang luar

biasa.

    Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka  berke-lebat satu bayangan  putih dan tahu-tahu di  depan

mereka sudah tegak seorang kakek-kakek berpakai-

an,  janggut, kumis dan rambut serba putih. Di pun-

daknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki

berusia 7 tahun.

    Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat

kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri

dan berlutut hormat.

    "Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liongsan

hari ini akan  kedatangan tetamu yang  bukan lain

adalah susiok kami sendiri!" (Susiok - paman guru).

Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang.

    Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga

yakni  Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai.

    Apakah  saudaraku Ik Bo Hosiang ada?'

    "Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak

pernah meninggalkan puncak Liongsan ini “ men-

jawab Lo Sam Hosiang.

    Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan

hormat: "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"

    "Tentu... tentu saja."

     Eh. susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?"

kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo Sarn Hosiang

pun kepingin pula mengetahui.

    "Siapa namanya pun aku tidak tahu,  aku cuma

kenal dia adalah anak gembala!

    Selama  belasan tahun Kiat Bo  Hosiang tak

pernah datang dan sekali muncul membawa seorang

anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pem-

bantu Ik Bo Hosiang itu.

    "Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku

itu bahwa aku  ingin bertemu  dengan dia untuk

utusan penting!

    Sekilas dua pembantu \k Bo Hosiang saling lirik.

Lalu  memperhatikan bocah di  atas  bahu susiok

mereka dan  memperhatikan pula pakaian Kiat Bo

Hosiang  yang  robek-robek serta guratan-guratan

panjang pada kulit dadanya.

    "Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beri

tahu!"

    Saat  itu  dua pembantu Ik Bo Hosiang sudah

bangkit dan berdiri  kembali.

   "Maaf susiok,"  Toa  Sin memberikan jawaban.

Sebelumnya suhu  telah berpesan untuk tidak di-ganggu. Jelasnya siapapun yang datang  beliau se-

kaii-kali tak boleh diganggu karena saat ini sedang

bersemedi."

   "Sekalipun  yang datang aku, sute-nya?!"

    "Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut Toa

Sin.

    Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu ter-

tawa gelak-gelak. Karena memiliki  tenaga  dalam

yang luar biasa, dengan sendirinya  suara tawanya

dahsyat sekali!

    Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran.

Keduanya saling pandang. Dan karena mereka me-

mang kurang beres jalan pikirannya maka lantas saja

keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung

Naga itu seolah-olah bergetar dilanda  gelombang

suara tertawa tiga manusia sakti ini!

    Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang  hentikan tawanya.

Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang mata-

nya membeiiak dan dari mulutnya keluar bentakan

garang.

    "Kalian  berdua  kacung-kacung  rendah  berani

melarang aku  Sin-jiu Thung-ong untuk menemui

suheng-ku sendiri?!"

    Serta meria dua pembantu ini hentikan pula tawa

mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan kami melarang,

susiok. Tapi suhu sendiri  yang berpesan begitu.

Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma me-

nuruti perintan."

    Persetan dengan segala pesan dan perintah!

Aku tidak rnengenal segala aturan yang  dibuat oleh

suhumu yang berotak miring itu!"

    "Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali

tidak miring otaknya. Cuma  sedikit kurang sehat

pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.

    "Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah sama

saja, goblok! Dasar gurunya gila, muridnya sinting.

Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."

    "Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin

macam orang tolol.

    "Pendek! Jangan bikin aku marah.  Lekas me-

nyingkir atau kau bakal menerima gebukan dariku!"

Kiat  Bo Hosiang sudah  tak dapat lag! menahan

marahnya.

    "Ah, susiok. Kau tentu tahu  kami ini  bukan


anak-anak yang harus digebuk. Kami  sudah  tua

bangka dan  menjalankan perintah dengan segala

tanggung jawab dan akibatnya."

    Kiat Bo Hosiang menyeringai.

    "Jadi kalian kacung-kacung geblek berani ku-

rang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari

kuberi sedikit pelajaran!"

    Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan

ujung lengan bajunya yang  lebar.  Satu gelombang

angin menggebu dengari dahsyatnya. Toa Sin dan

Lo Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buru-

buru menghindar  ke  samping. Namun tak  urung

sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka

terhuyung-huyung  ke belakang.

    “Susiok,  kau pun nyatanya  sinting! Hendak me-

nurunkan tangan  jahat terhadap pembantu-pem-

bantu suhengmu. Tapi jangan kira kami takut! Demi

tugas, setan  kepala seratus pun kami bakal hadapi!

Dan kau nyatanya  cuma punya satu kepala!" Yang

bicara begitu adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang

memang lebih keblinger dari pada rekannya. Bahkan

kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.

    Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo

Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!


***********


BAB 4


MESKIPUN cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo  

Hosiang namun dua  orang tua dari Liongsan itu 

memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika 

diukur maka kepandaian mereka rata-rata  hanya satu 

tingkat saja dibawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. 

Kalau saat itu mereka maju  berbarengan dengan 

sendirinya  Kiat  Bo Hosiang akan terdesak dan kalah. 

Namun ada  beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih 

unggul dari kedua lawannya.

    Pertama sebagai  pembantu-pembantu  Ik  Bo

Hosiang kedua kakek  itu  boleh dikatakan  jarang

sekali turun gunung  hingga tidak banyak  peng-

alaman dalam pertempuran. Sekalipun memiliki ke-

pandaian tinggi namun kurang pengalaman  meru-

pakan hal yang ikut menentukan. Kedua, sepasang

kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya

yang miring menganggap bahwa mustahil sute dan

suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan

jahat  terhadap mereka. Karenanya mereka ber-

tempur seperti main-main saja dan sambil tertawa-

tawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat  Bo

Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di

atas pundak kirinya hingga  dua kakek dari Liongsan

tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena

khawatir akan mencelakai bocah itu.

    Pertempuran  dua  lawan satu itu berlangsung

sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo

Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari

mereka keluarkan satu teriakan keras dan serta merta

permainan silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat

Bo Hosiang menjadi kaget.  Sebagai sute dari Ik Bo

Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu  silat dari

kakak seperguruannya. Namun permainan silat yang

dikeluarkan oleh  dua lawannya saat itu aneh dan

tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo

Itu sudah menciptakan ilmu baru  tanpa setahuku,

demikian Kiat Bo Hosiang  membathin. Dan  lebih

terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan

silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan

yang dibuatnya!


"Tua bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian

hendak pamer dan andalkan ilmu  silat kalian yang

baru? Bagus!  Aku mau lihat sampai di mana kehe-

batan kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan pe-

nasaran. Dari balik pinggang pakaiannya dia segera

keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja

yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tong-

kat di tangan kanan dan bahu kiri masih mendukung

bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang bergelar

Hln jiu Tlmng-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti

Itu mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus

muai senjatanya  dalam tempo  singkat dia sudah

mendesak lawannya dengan hebat!

    Haik Toa  Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-sama 

kaget melihat serangan-serangan ganas yang

mematikan oleh susiok mereka itu. Permainan silat

mereka mulai kacau.

    "Susiok, kami ini kau anggap musuh-

musuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.

    "Tutup  mulutmu  manusia muka pantat dandang!" 

tukas Kiat Bo dan tongkatnya dengan ganas

menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung

Naga itu. Dan krak!

    Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar

dari  kalangan pertempuran  sambil pegangi lengan

kiri yang kuntal-kantil kerena tulangnya telah patah!

    "Susiok, kau sudah gilakah," teriak  Toa Sin

namun kakek yang satu ini pun  segera pula men-

dapat bagiannya. Kalau kawannya patah tulang le-

ngan maka dia sendiri remuk tulang kakinya sebelah

kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi

dasar gila, sekali dia masih  bisa juga tertawa haha-

hihi!

    "Tua bangka-tua bangka tak tahu untung! Masih

bagus tidak kepala kalian yang kuremukkan! Lain

kali  suhu  kalian harus memberi pelajaran  sopan

santun pada  kalian! Bagaimana menghormat se-

orang paman guru!"

    "Paman guru sableng macammu mana  patut

dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan pan-

tatnya dan kemudian kentut! Untung saja Kiat  Bo

Hosiang sudah tidak lagi ada di tempat itu. Kalau

tidak kakek ini pastilah  akan marah  setengah mati

dihina begitu rupa!



Dengan beberapa  kali lompatan kilat Kiat  Bo

Hosiang telah sampai  ke puncak Liongsan.  Anak

pengembara yang ada di bahu kirinya masih tertidur

nyenyak tanpa sadar apa yang telah terjadi 

sebelumnya!

    Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok

kayu  Dia tak  perlu susah-susah masuk ke dalam

pondok mencari suhengnya karena Ik Bo Hosiang

ditemuinya di  halaman samping tengah bersemedi

dengan cara yang luar biasa!

    Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu

hitam, kaki lurus ke atas  sedang kepala di sebelah

bawah, pada batu hitam  itu. Tubuhnya tak sedikit

pun bergerak sedang dua tangannya dirangkapkan

dldepan dada.  Janggut dan kumis putihnya  yang

panjang, menjulai menutup wajah dan  sepasang

matanya.

    Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga melihat

nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul di

antara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat

itu hanya kakak seperguruannyalah yang sanggup

melakukan hal  itu.

    Kalau tadi Kiat  Bo ingin buru-buru menemui

suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba salah

bagaimana  harus  membangunkannya. Tiba-tiba anak 

yang didukungnya menggeliat dan terbangun.

membuka matanya bocah ini terheran-heran melihat

di  mana dia berada. Dan  lebih heran lagi ketika

menyaksikan Ik Bo Hosiang yang bersemedi kaki ke

utas kepala ke  bawah.

    “Hai. patung atau manusiakah ini?!" si bocah

berseru lantas turun  dari  pundak Kiat Bo Hosiang.

    "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik

 keras-keras janggutnya. Jika dia manusia tentu dia

 akan  menjerit kesakitan.  Tapi  kalau patung  pasti

 diam  saja!"  Berkata Kiat  Bo yang  nyatanya  telah

 mendapat akal bagaimana  harus  membangunkan

 suhengnya.

    Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang

 yang disangkanya patung. Tangan kanannya diulur-

 kan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi men-

 dadak terjadi hal yang mengejutkan si bocah, ter-

 masuk pula  Kiat Bo  Hosiang. Ketika tangan itu

 hampir hendak menjenggut  jenggot, tiba-tiba jang-gut panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian

 tahu-tahu lengan anak itu terlibat erat!

    "Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya,

 namun tangan  yang satu ini pun  kemudian  kena

 dilibat. Bagaimana pun kerasnya dia berusaha be-

 rontak  untuk melepaskan kedua tangannya tetapi

 sia-sia saja!

    "Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang ber-

 seru. Jika janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik

 Bo Hosiang  sudah jaga dari samadinya,  demikian

 Kiat Bo berpikir.

    Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua lengan-

 nya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya

telah terpental ke arah Kiat  Bo Hosiang. Kakek ini

 melenggak  kaget, untung masih  sempat dia me-

 nangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan jatuh

dengan keras di  atas sebuah  batu besar. Untuk

sesaat Kiat Bo Hosiang tertegun bengong. Membuat

mental seseorang dengan  menggerakkan janggut

yang tentunya dialiri tenaga dalam betul-betul me-

rupakan satu hal yang amat luar biasa. Dan itulah

yang telah dilakukan oleh suhengnya!

    "Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu

unjuk tampang kau hanya mengganggu ketenteram-

an puncak Liongsan ini saja!" terdengar suara halus

yang bukan lain adalah suara  Ik Bo Hosiang. Me-

mandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya  itu

sudah duduk tenang-tenang di atas batu hitam di

atas mana sebelumnya dia bersemedi.-Sepasang

mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguru-

annya. Pandangan ini terasa seolah-olah menembus

dada dan jantung Kiat Bo.

    "Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih

dahulu menjura.  "Bukan maksudku untuk meng-

ganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi

aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah  yang

telah memaksaku berlaku keras...."

    "Kekerasan itu memang harus ada. Tapi  pada

waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang tertentu.

Kekerasan yang dilakukan secara sembarangan ada-

lah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang

kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di

puncak Liongsan ini mereka adalah tuan rumah yang

harus dihormati oleh setiap tamu, siapa  pun



adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah

yang membuat aturan, bukan orang luar!"

    Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah  men-

dengar kata-kata keras suhengnya itu.

    "Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke

mari."

    "Budak itu, suheng...."

    "Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya keperlu-

anmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa menoleh atau

melirik pada penggembala yang tegak di samping

sutenya.

    "Begini suheng..." lalu  Kiat Bo menerangkan

peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong

(Raja Setan Gunung Utara). "Jelas sekali, jika tidak

ada bocah penggembala yang pandai meniup su-

ling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku

akan melayang di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku

berhutang nyawa pada budak ini dan  wajib mem-

balasnya!"

    Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat Bo

Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong

yang mengeluarkan  ilmu hoatsut (sihir),  Kiat Bo

Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat

itu di tempat tersebut  tidak ada anak penggembala

yang memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan

seruling itu  mengganggu pemusatan  pikiran dan

bathin yang menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir

Pak-san Kwi-ong.

    "Aku tidak tertarik pada ceritamu." Tidak tertarik

padamu ataupun budak tukang angon kerbau  itu!

Nah  sekarang  silahkan angkat  kaki  dari puncak

Liongsan ini!"

    "Suheng...I"

    Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan  lagi sutenya

itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan me-

nyanyi:

    Puncak Liongsan tinggi sekali

    Tapi lebih tinggi akal dan budi

    Laut Selatan hijau dan dalam sekali

    Namun lebih dalam perasaan hati sanubari

    Yang tinggi gampang jatuh

    Yang dalam sukar diselam

    Akal dan budi terkadang tak berguna



Jika perasaan lebih menggelora.

    Ik Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu.

Dilain pihak, bocah penggembala yang mendengar

merasa nyanyian itu cukup  merdu dan terus saja

keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi

nyanyian si kakek.  Mengetahui  nyanyiannya  ada

yang mengiringi Ik  Bo Hosiang lantas saja meng-

ulang-ulang nyanyian sampai empat kali  berturut-

turutl

    Tiba-tiba tokoh aneh dari Liongsan ini hentikan

nyanyiannya,  mendongak ke langit dan tertawa

gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya

meniup suling merasakan lututnya goyah oleh suara

tertawa itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung

jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun jika tidak

lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pasti

akan menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan

suara tertawa suhengnya  itu!

    "Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!"

Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.

    "kakek nyanyianmu bagus sekali. Kenapa ber-

henti?!"

    "Budak kurang  ajar! Ditanyai malah menyuruh

orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan sandi-

wara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba

berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepala-

nya sudah terletak  di atas batu di  mana dia tadi

bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai budak!

Kenapa kau menghentikan  tiupan sulingmu! Ayo

lekas mainkan lagi!"

    "Apa kau kira aku ini tukang tiup suling sandi-

wara  keliling?!" si bocah ngambek  dan  balik me-

nyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir kalau-

kalau suhengnya bakai kumat otak miringnya

marah mendengar kata-kata si bocah itu, buru-buru

saja membuka mulut.

    Suheng, kau tahu aku telah berhutang  nyawa

padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus di-

bayar. Kau saksikan  sendiri keadaan  budak  ini.

Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas tulangnya

amat  baik. Rasanya sulit mencari bocah seperti dia

di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku

berniat untuk mengambilnya jadi  murid. Tapi kau


tahu sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi

murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk tidak

akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau

alasan apapun juga. Memikir sampai saat ini kau

sendiri tidak pernah mempunyai murid yarig sebe-

narnya bisa disebut murid,  dan  sekaligus  untuk

membalas hutang nyawaku padanya, maka kuharap

kau sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!'

    "Enak  betul bicaramu.  Kiat Bo!"  tukas Ik Bo

Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu asal-

usulnya, tak dikenal bapak moyangnya, tak  tahu

juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku meng-

ambilnya  jadi murid! Kau sudah gila  atau otakmu

memang sudah rengat?"

    "Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari

yang lain...."

    "Apanya yang  lain?  Dia  bertangan, berkaki,

punya mata dua, hidung satu, mulut  satu,  telinga

dua.... Itu  kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya

betul-betul sudah gila! Kasihan...!"

    "Suheng, aku memohon padamu...!"

    "Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemu-

dian hari bocah itu mengecewakan aku?!"

    "Kau boleh bunuh aku, suheng!"

    "Buset! Dua tiga bulan  di muka mungkin kau

sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus meng-

gali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"

    Lama-lama berdebat begitu rupa  Kiat Bo Ho-

siang yang memang punya watak lekas jengkel jadi

penasaran juga. Dia berkata: "Sudahlah suheng, jika

kau tak sudi aku pun tak memaksa!"

    "Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi murid-

mu!" menimpali si bocah.

    "Bocah kurang ajar! Aku tidak  bicara dengan-

mu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau  masih belum

menerangkan nama dan she-mu!"

    "Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang

aku akan angkat kaki dari sini!" Anak penggembala

itu berpaling pada  Kiat Bo  Hosiang dan berkata:

"Kakek, kau punya tanggung jawab membawaku ke

mari. Sekarang kau  punya kewajiban membawaku

turun dari tempat memuakkan ini!"

    "Budak edan! Orang hendak membalas budi

malah bersikap konyol!" bentak Kiat  Bo Hosiang.



"Aku  tak perlu segala balas budi. Kalaupun...."

    "Thian Ong anak kurang  ajar, kau mendekatlah

ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil. Tapi si

bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang

keluar dari tubuh si kakek  menyedotnya  hingga

tubuhnya terseret sampai ke hadapan orang itu. Aku

sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi  belum

pada bagian-bagian  yang tertutup. Sekarang tang-

galkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"

    Kiat  Bo Hosiang diam-diam merasa gembira

mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya

bocah  yang bernama Song Thian Ong berkata

marah: "Kakek, kau betul-betul sudah gila, menyuruh

orang  telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"

    "Anak kurang ajar!  Kualat kau!" teriak  Ik  Bo

Hosiang.  Dia mengulurkan kedua tangannya. Bret....

Bret.... Bret! Maka robeklah seluruh  pakaian Thian

Ong hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus....

Kau memang boleh!" Dan habis berkata begitu Ik Bo

Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong, melempar-

kannya ke  udara, menyambutnya dengan  kedua

kakinya, lalu dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong

dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi, dipen-

talkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong

tidak merasa  sakit barang sedikit pun. Tapi rasa

gamang membuat dia ngeri. Dan anak ini tak henti-

hentinya menjerit.

    Selagi Ik  Bo  Hosiang mempermainkan Thian

Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah

bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang  dan Toa

Sin Hosiang. Masing-masing mereka telah membalut

lengan dan kaki  yang cidera serta mengganjalnya

dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka

"bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa gelak-

gelak.

    "Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh

Ikut main bersamamu?"

    Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang  berseru: "Pen-

dek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu tubuh Thian Ong

sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakek-

kakek ini dengan gembira menyambut tubuh  yang

terlempar itu dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong

melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira

kakek yang seorang ini  menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong kembali lagi melayang

ko arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya. Tiga

kakek-kakek keblinger dari gunung  Naga  itu  telah

asyik dengan permainan "bolanya". Tidak perduli lagi

akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi terhadap Kiat

Bo Hosiang.

    Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu cuma

bisa geleng-geleng  kepala. "Gila dasar manusia

manusia gila!" katanya dalam hati. Namun diam-diam

dia gembira sekalipun suhengnya tidak mengatakan

apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi

muridnya,  namun secara tidak langsung. Dengan

cara  main  bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah

menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu.

   Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang  ber-

kelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.



**********


BAB 5


DUA BELAS TAHUN kemudian.... Pada permulaan 

abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara jatuh ke 

dalam cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh 

bangsa manapun juga atas bangsa  lain  pastilah  

mendatangkan penderitaan. Dan yang  paling  

sengsara  seperti  biasanya ialah rakyat jelata.

        Di mana-mana kaum penjajah yang  berkuasa 

melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan dan 

seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lain-

nya.

        Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada masa 

itu beribu kota di Nanking tidak bisa berbuat apa-apa 

menghadapi kaum penjajah. Selain selatan memang

memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda 

pemerintahan pun sudah kacau-balau centang-

perentang.  Mulai  dari kaisar  sampai  pada pejabat-

pejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk 

kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah. Dalam 

pada  itu  mereka  terlena pula dalam bujuk rayu 

perempuan-perempuan cantik  hingga mana pula akan  

terpikir untuk  membebaskan negeri di utara dari 

tangan penjajah Mongol.

        Pedih sakitnya penderitaan yang melanda, lambat 

laun merupakan cambuk bagi rakyat jelata untuk 

bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.

     Kekuatan  tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk

menghantam kaum penjajah di  utara dan  kedua

untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan

yang korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya.

Pada  masa itu bukan  rahasia lagi kalau gerakan

rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu

oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang

ditimbulkannya makin hari makin hebat dan mem-

buat kaum penjajah merasa terancam.

    Namun tidak jarang pula rakyat yang berjuang

itu menemui nasib malang. Yaitu bilamana mereka

dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau

diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari

selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di

tempat terbuka, prajurit-prajurit yang tak lain adalah


rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!

    Gerakan rakyat yang ingin membebaskan negeri

mereka dari penindasan bangsa Mongol serta sekali-

gus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup

dan memeras, dengan sendirinya menghadapi dua

lawan berat. Korban dan kerugian lebih banyak jatuh

dikalangan  mereka, namun demikian semangat per-

juangan mereka tak kunjung  padam. Jangankan

orang lelaki yang sudah dewasa, bahkan anak-anak

belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun  ke

dalam  kancah peperangan  tanpa rasa takut sama

sekali!

    Pada suatu  hari di bulan  kelima, malapetaka

telah pula  menimpa serombongan pasukan  rakyat

yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada

di sebuah kaki bukit. Tanpa setahu pemimpin pasu

kan, salah seorang diantara  anggotanya adalah

mata-mata. Pemerintah  selatan yang berhasil me-

nyusup. Selagi pasukan itu tengah  beristirahat di'

kaki bukit, diam-diam mata-mata tadi meninggalkan

tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia di

mana telah menunggu satu kelompok pasukan Pe-

merintah yang terdiri dari lebih seratus orang

    Dalam waktu singkat pasukan rakyat  yang te-

ngah istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka

diserbu dengan sendirinya  mereka tidak  berdaya.

Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan diri dan

berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali

lipat disamping itu serangan datangnya mendadak

sekali.

    Dalam waktu sebentar  saja dua puluh  orang

anggota pasukan rakyat  gugur. Komandan pasukan

seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In

berteriak kepada anak buahnya untuk lari menye-

lamatkan diri dan membiarkan dia sendiri  mengha-

dapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar  dia mati

asal sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamat-

kan. Akan tetapi mana  ada  diantara mereka  yang

mau mengikuti perintah  Pouw Keng In. Malah pasu-

kan rakyat itu  bertempur makin hebat hingga 10

orang lagi  diantara mereka menjadi korban.

    "Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini.

Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak koman-

dan  pasukan Pemerintah.  Dia menyeringai  puas



melihat bagaimana musuh porak-poranda  dan ber-

guguran satu demi satu dalam waktu yang cepat.

Dan pandangan matanya rakyat yang berjuang itu

tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara

sewenang-wenang,

    Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu.

dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan

mandi darah, tiba-tiba berkelebatah satu bayangan

hijau disertai gulungan sinar coklat. Terdengar pekik

susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat enam

anggota pasukan Pemerintah telah menjadi korban,

ada yang pecah kepalanya, remuk dada. bobol perut

dan sebagainya.

    Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali

terutama Komandannya.  PasuKan rakyat  pun tak

kurang kagetnya. Namun karena menduga ada orang

kangouw yang telah turun tangan membantu mereka

meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya

orang itu karena saking cepatnya gerakannya maka

kembali  mereka jadi bersemangat dan menempur

iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.

    "Iblis dari mana  yang berani mencari mati di

sini?!" berteriak Komandan prajurit Pemerintan. Na-

manya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata

sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap

dengan kumis melintang serta cambang bawuk.

    Bayangan hijau yang mengamuk tidak menya-

huti malah berkelebat makin cepat. Delapan orang

lagi pasukan Pemerintah berjungkalan mati! Kawan-

Kawannya yang lain  jadi gentar dan tak berani

  didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengah-

an mereka itu merupakan sasaran baik bagi prajurit-

prajurit rakyat hingga banyak diantara mereka ber-

hasil ditewaskan

    "Setan alas."  maki Cu La i Seng marah sekali.

Saat itu dia masih duduk di atas punggung kudanya.

Dengan  tangan kanan dirampasnya pedang anak

buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay Seng

ini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyam-

bitkan berbagai macam senjata. Sekali  tangannya

mencari sasaran pastilah tak akan melesat! Begitu

tangan kanannya memegang pedang segera senjata

ini dilemparkan dan melesat deras ke arah bayangan

hijau yang tengah memporak-porandakan pasukan



Pemerintah.

    Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan ba-

gaimana tubuh bayangan hijau itu akan tertembus

oleh pedang yang dilemparkannya. Namun alangkah

kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyak-

sikan  senjata yang dilemparkannya itu malah di-

tangkap oleh lawan dengan tangan  kirinya. Dan

dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si

bayangan hijau mempergunakannya untuk memba-

bat musuh kian kemari hingga dalam waktu singkat

makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang

tewas.

    Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan

dengan  seorang  lawan yang berkepandaian amat

tinggi dan memiliki gingkang luar biasa  hingga dia

sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa

adanya bayangan hijau itu.

    "Mundur semua", teriak Cu Lay Seng.

    Prajurit-Prajurit Pemerintah yang  memang su-

dah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh dua

kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan

rakyat Pouw Keng ln  memberi isyarat  agar  anak

buahnya tidak terus memburu musuh. Dia sendiri

yang saat  itu terluka parah, amat kagum  melihat

kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah oleh

seorang anak buahnya dia menyaksikan apa  yang

terjadi selanjutnya.

    Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun dari

kudanya dengan  satu gerakan  enteng tahu-tahu

sudah berada lima langkah di hadapan bayangan

hijau. Dan ketika bayangan hijau ini menghentikan

gerakannya yang  luar  biasa cepatnya itu,  Cu Lay

Seng dan semua orang yang ada di situ jadi melotot

dan ternganga. Mereka semua melengak kaget! Be-

tapa tidak!  Si bayangan  hijau yang kini tegak tak

bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyata-

nya adalah seorang gadis berparas elok jelita. Ram-

butnya hitam panjang dan digelung di atas kepala

dengan  sepasang cambang  halus meliuk dikedua

pipinya! Menurut perkiraan paling banyak gadis ini

baru berusia sekitar 17 tahun. Secantik dan semuda

itu sudah  memiliki kepandaian yang hebat, siapa

orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?

    "Nona,  kau telah  menurunkan tangan ganas



terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku harus

menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" ber-

kata Cu Lay Seng dengan nada keren dan keras.

    "Aku?!  Kau mau menangkap aku...?" si gadis

menjawab lalu tertawa merdu sekali.

    "Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan

dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi Cu

Lay Seng.

    "Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis

hijau membentak marah. Wajahnya merah dan justru

dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah  can-

tik. Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat

terhadap prajurit-prajurit Kaisar, lantas  kau yang

telah membunuhi rakyat jelata pantas disebut  apa-

kah?!  Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya

kaulah yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta

ampun di hadapan Thian. Karena kalau kau terlalu

banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu ke

akhirat!"

    Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan 

kehebatan gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut.  

Selain  memiliki  ilmu tinggi dia sudah  berpengalaman 

luas. Kalau baru gadis binal begini saja kenapa musti 

jerih? Demikian dia menganggap enteng.

   "Jika kau tak mau  menyerah secara  baik-baik,

jangan salahkan kalau aku  menurunkan tangan

kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang

disambut oleh sang nona dengan tertawa mengejek.

   "Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehe-

batan  segala manusia pepesan macam kau!"

   Dimaki "pepesan kosong" begitu rupa di hadap-

an sekian banyak orang dan anak buahnya sendiri

betul-betul merupakan  penghinaan luar biasa  bagi

Cu Lay Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat.

Komandan pasukan ini meloncat sebat ke arah nona

berbaju  hijau dan saat  itu juga berkiblatlah sinar

putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan Cu

Lay Seng yaitu sebuah ruyung perak.

    "Nona baju hijau!"  Pouw Keng In  Komandan

pasukan rakyat berseru.  Kau hati-hatilah dia lihay

sekali!"

    Memang Pouw Keng In mengetahui  betul kalau

Cu Lay Seng berkepandaian tinggi. Dibandingkan

dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun



tadi dia sudah menyaksikan kehebatan  si nona

namun tetap saja dia khawatir. Karena  kalau sampai

Cu Lay Seng menang bukan saja dia dan  seluruh

anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si

nona pun akan jauh lebih buruk. Pouw Keng In cukup

mengenal kebejatan para anggota pasukan Kaisar

pada masa  itu, apalagi  Komandan-komandan  me-

reka.

    Tapi nona baju  hijau justru malah  tertawa men-

dengar peringatan itu. Dia menjura pada Pouw Keng

in dan berkata: "Terima kasih atas peringatanmu.

Kau lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia

kecoak yang tidak berguna ini."

    Sambil  menjura tadi dengan tak acuh nona itu

gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke atas

Cu  Lay  Seng yang saat  itu  tengah  melancarkan

serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba

dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu

ke arah lengannya. Komandan yang berpengalaman

ini segera maklum kalau lawannya memiliki tenaga

dalam yang jauh lebih  lihay dari dia  Karenanya

secepat kilat Cu Lay Seng robah gerakannya,  batal-

kan serangan pertama dan menyusul dengan serang-

an ruyung ke arah kaki sang nona.

   Tapi lawan ternyata sudah mengetahui  lebih

dulu  gerakannya. Karena begitu ruyung perak me-

nyamber ke bawah si nona segera  melintangkan

tongkat kayunya ke arah yang sama

   Selain  tak  menyangka  kalau lawan akan me-

nolong gerakannya seperti  itu.  Cu Lay Seng pun

kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh.

Karenanya dia tidak berusaha menghindarkan ben-

trokan senjatanya dengan tongkat lawan yang hanya

terbuat dari kayu  coklat.

   Tapi apa yang terjadi kemudian  membuat  Cu

Lay Seng berseru tegang dengan muka  pucat. Pada

saat bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan

Komandan  itu  patah  dua  dan mencelat  mental!

Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu

Lay Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun.

   Dalam keadaan sang Komandan masih  kaget

begitu rupa nona  baju hijau  yang sampai saat itu di

tangan kirinya masih memegang pedang yang tadi

dilemparkan oleh Cu Lay Seng sudah memburu kedepan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu  Lay

Seng menjerit  keras. Darah  mancur  dari tangan

kanannya yang kini sudah terbabat putus!

   "Sekarang lekaslah kau menghadap  Tuhan  untuk

mempertanggung jawabkan dosa-dosamu.'' berseru

si nona  seraya tusukkan pedang di tangan kirinya

tepat ke jantung si Komandan.

    Hanya satu senti saja lagi ujung  pedang akan

menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar

bentakan marah:

    "Bwe Hun!  Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"

    Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu

pedang di tangan kiri sang dara terdorong ke sam-

ping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!


**********


BAB 6


NONA BERBAJU HIJAU  palingkan muka dan 

berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, 

berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih 

yang tegak dihadapannya.

    "Suhu...!"

    "Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang jangan

melakukan pengacauan! Jangan berani menentang

alat-alat kerajaan!" si  kakek berkata dengan nada

keras.

    "Suhu, murid sama sekali tidak mengacau, tidak

menentang siapapun.  Murid hanya  ingin mengikis

kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka

bumi ini!"

    "Dengan jalan membunuh seenakmu?!"

    "Orang-orang  jahat  dan  se-wenang-wenang

macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan rak-

yat untuk membebaskan tanah air dari kaum pen-

jajah dan penindasan bangsa sendiri wajib dibantu!"

    "Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu

banyak artinya perjuangan.  Sekarang  lekas angkat

kaki dari sini.  Lain kali  jika  aku memergoki kau

melakukan perbuatan begini, aku  akan jatuhkan

hukuman berat padamu! Kau dengar?!"

    Si nona yang bernama  Li Bwe Hun gelengkan

kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab:

"Suhu hukuman berat bagiku  bukan apa-apa. Tapi

yang aneh  adalah perbuatan Suhu  sendiri. Kau

menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol

dalam kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari

bahwa  Suhu sebenarnya telah diperalat oleh kaum

penjajah untuk menindas  bangsa sendiri! Sebagai

murid aku...."

    Belum sempat  Li Bwe Hun meneruskan kata-

katanya itu satu tamparan telah mendarat di pipinya,

membuat gadis itu terhuyung  ke  belakang  satu

langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah me-

ngetam. Bukan karena sakit tapi karena tak percaya

kalau suhunya sendiri-yang telah mendidik dan me-

rawati selama belasan  tahun -  tega-menamparnya

seperti  itu dihadapan  sekian  banyak mata! Betul



suhunya telah berubah  sejak masuk ke dalam bujuk

rayu bangsa Mongol!

    "Sekali lagi kau  berani bicara lancang seperti itu

kubunuh kau Bwe Hun!"

    "Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku

lebih rela mati dari pada  menjadi  murid Kiat Bo

Hosiang yang kenyataannya adalah seorang peng-

khianat bangsa dan negara!"

    Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang

yang ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa

adanya  nama kakek di hadapan mereka saat itu.

Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang

boleh dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu

diseluruh penjuru Tiongkok!

    Baik Komandan pasukan Kaisar maupun  Ko-

mandan pasukan rakyat masing-masing merasa ge-

lisah dan berdebar.  Karena kini di hadapan mereka

berdiri tokoh silat berkepandaian tinggi yang sejak

beberapa waktu belakangan ini  telah membantu

kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan

musuh besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!

    Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang  berkilat-

kilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata

muridnya itu. Dia  menggerung dahsyat dan ber-

teriak: "Li Bwe Huni Mulai hari ini aku bukan gurumu

lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus serahkan

seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"

    Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang lantas

kirimkan satu serangan berupa totokan ke arah jalan

darah kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat

di punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupa-

kan totokan maut akan tetapi amat berbahaya. Jika

totokan-totokan  itu  sampai menemui  sasarannya,

pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan

menjadi rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah

bahwa dia akan kehilangan seluruh  ilmu kepandai-

annya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!

    Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana suhu-

nya melancarkan totokan yang jahat  itu. Kini nyata

kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak

tedeng aling-aling untuk  menurunkan tangan jahat.

Bagusnya dia berlaku waspada hingga cepat meng-

hindar selamatkan diri.

    Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo  Hosiang



jadi penasaran. Kembali  dia menyerbu dengan se-

rangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap

serangan senantiasa diserta totokan-totokan jahat

tadi. Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek sakti

ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih

belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarah-

annya semakin meluap!

    "Perempuan sialan! Menyesal aku mengambil-

mu jadi murid! Menyesal aku mewarisi segala macam

ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang

berulang kali.

    "Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu

karena memiliki suhu jahat dan pengkhianat macam-

mu! Dan jangan lupa, aku tak pernah meminta untuk

dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan

orang tuaku!"

    "Murtad!  Laknat!  Kubunuh  kau sekalian  biar

puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang lantas mem-

pergencar  serangannya. Tubuhnya hanya tinggal

bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari

segala penjuru. Untuk menghadapi kehebatan suhu-

nya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh kepan-

daiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui

betul jurus-jurus  silat yang dimainkan, termasuk

tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya  maka de-

ngan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan

dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang Bwe

Hun masih berada di bawah suhunya. Namun dalam

memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan

dia tidak kalah! Sampai seratus  jurus dimuka  Kiat

Bo Hosiang masih belum bisa berbuat apa-apa!

    Bagaimanakah asal  mulanya sampai Kiat Bo

Hosiang bentrokan dan hendak membunuh  murid

nya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat golongan

putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?

    Seperti sudah sama dimaklumi jarang  sekali

manusia yang betul-betul dapat membebaskan diri

dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu

satu macam ragamnya itu. Salah seorang diantara-

nya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih mem-

beri pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang

memang mempunyai dasar watak suka akan hidup

mewah di dunia dan disamping itu lemah iman dalam

menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam


bujuk rayu orang-orang Mongol.

    Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak

istana layaknya di Undur  Khan. Harta benda dan

uang berlimpah ruah. Disamping itu tak lupa pula

perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal pilih

saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat

Kiat Bo Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam

orang Mongol  mulai memperalatnya.  Memang ba-

nyak gunanya tokoh lihay ini oleh  kaum penjajah.

Pertama, jika Kiat Bo  berada dalam  genggaman

mereka  berarti  tak akan  ada bahaya  dari pihak

Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rak-

yat karena memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh

sakti yang ditakuti oleh  pihak Mongol. Kedua Kiat

Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-

orang Pemerintah dan rakyat.  Dan kenyataannya

memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil mematahkan

perlawanan-perlawanan  yang   dibangkitkan  oleh

bangsanya sendiri.

    Disatu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan

yang mewah penuh kesenangan namun dilain pihak

dia menjadi momok kebencian rakyat dan  juga

Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari  orang yang

membencinya ialah muridnya  sendiri  Li Bwe Hun

yang telah digemblengnya selama lebih dari sepuluh

tahun.

    Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu

memulai  pengelanaannya di dunia kangouw telah

dihadapkan dengan kenyataan pahit yaitu gurunya

ternyata adalah seorang  pengkhianat yang menjada

kaki  tangan  penjajah  Mongol  dan  diperalat  untuk

menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya sendiri!

Sedangkan dia sendiri yang walaupun  masih  muda

tapi dapat membedakan mana yang betul dan  mana

yang salah, telah memilih  untuk berpihak perjuangan

rakyat tertindas. Karenanya dalam petualangannya,

gadis ini berulang kali membantu pasukan rakaat dan

disamping itu setiap dia mendengar ada pejabat-

pejabat Pemerintah di daerah-daerah yang berlaku keji

serta semena-mena, pastilah dia turun tangan  untuk

menghukum pejabat itu. Sekali dua diberi peringatan,

tapi bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segan-

segan untuk menebas batang lehernya.

    Dalam melakukan  hai  yang dianggapnya se-bagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe Hun men-

dapat tantangan dan menghadapi lawan-lawan  berat.

Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri

yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang

telah memberi peringatan keras pada muridnya itu

untuk tidak ikut campur dalam kekalutan yang ber-

kecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau

perduli karena dia  yakin  apa yang dilakukannya

adalah benar. Dia sadar ilmu kepandaian yang di-

milikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo

atau berlepas tangan ataupun melakukan perbuatan-

perbuatan yang salah, tapi justru guna menolong

orang-orang yang tertindas,  untuk kebaikan dan

membela keadilan serta kebenaran. Dan  nyatanya

hari ini kembali dia dipergoki oleh subangnya ketika

membela pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan

oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Koman-

dannya yang bernama Cu Lay Seng!

    Sekali ini  Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat

hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelaka-

kan muridnya sendiri, membuat Bwe Hun menjadi

cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai

begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan

dua totokan ganas  itu  ke tubuh muridnya yang

dianggapnya murtad laknat, disamping itu ucapan-

ucapan  Bwe Hun  betul-betul membuat dia gelap

mata,  maka dalam  sesatnya Kiat Bo memutuskan

untuk membunuh saja gadis itu!

    Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat

tiba-tiba suhunya  mengeluarkan senjatanya yang

hebat  yakni tongkat baja yang kedua ujungnya ber-

cagak.

    "Suhu...! Orang-orang  Mongol betul-betul telah

membuat kau jadi buta mata dan hati serta pikiran!

Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.

    Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo Hosiang

jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya berkiblat.

Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun

terpaksa keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi

telah diselipkannya di pinggang.

    Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun

yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw Keng In sudah

amat  luar biasa,  dihadapan Kiat  Bo Hosiang dia

hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus. Selewatnya




jurus, setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhu-

nya, dia segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada

berarti untuk menyelamatkan  diri dari  dua ujung

tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa

bagian pakaiannya telah  robek  disambar senjata

sang suhu dan agaknya dalam dua jurus dimuka

gadis ini akan menemui kematian secara mengenas-

kan. Menyaksikan  ini semua  orang jadi gelisah.

Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung tongkat

bersarang di dada Bwe Hun,  membuat gadis ini

terpekik dan roboh terguling di tanah. Darah kental

mengalir disela bibirnya.

    "Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak

Kiat Bo Hosiang seraya melompat  dan tusukkan

ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.

    "Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan.

"Kau yang lebih dulu layak mampus!"  Dua orang

berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng

dan Pouw Keng In!"


*******


BAB 7



BAGAIMANA pula sampai  kedua  Komandan 

pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan 

bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo

Hosiang? Ada beberapa hal yang membuat mereka

tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang kritis

itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepan-

daian mereka sendiri. Pertama bagaimana  pun juga

Li Bwe Hun merupakan nona penolong bagi Pouw

Keng In sewaktu tadi dia luka  parah menghadapi

pasukan Pemerintah di bawah pimpinan  Cu Lay

Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng

In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat

Bo Hosiang pasti  akan membasmi mereka  pula.

Karena itu sebelum si nona celaka lebih baik mereka

lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu Lay

Seng seolah-olah sadar bahwa  apa yang terjadi di

negerinya selama ini memang membawa penderita-

an bagi rakyat jelata.  Dan dia merasa berdosa telah

melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang

selama ini berjuang.

   Akan tetapi,  meski dibantu oleh dua orang Ko-

mandan pasukan yang gagah berani Itu,  keadaan

Bwe  Hun tidak lebih baik Malah setelah membantu

dua  jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai

terdesak. Melihat ini Cu Lay Seng segera berteriak,

memerintah pada anak buahnya untuk mengeroyok.

Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang

dikurung  oleh lebih dari tujuh orang  dengan Bwe

Hun, Lay Seng dan  Keng ln sebagai pelopornya.

Namun keadaan  bukannya  lebih  menguntungkan

Bwe Hun dan kawan-kawan, malah jalannya pertem-

puran jadi sembrawutan-

    Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai

minta korban. Jerit sakit dan erang kematian ter-

dengar setiap tongkatnya  berkiblat. Kemudian Cu

Lay Seng menenun  ajalnya  pula dengan  kepala

pecah. Satu jurus kemudian menyusul Pouw Keng

In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota

pasukan  yang  mengeroyok  menjadi kecut.  Keba-nyakan diantara mereka segera melarikan diri hingga

pada akhirnya Li  Bwe Hun yang hanya mengandal-

kan tangan kosong,  tinggal sendirian menghadapi

suhunya. Dan boleh dikatakan ajalnya di depan mata

kini!

    Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang menderu-

deru untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri

tiba-tiba terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi

merdu Li Bwe Hun yang tahu ajalnya sudah di depan

matanya sama sekali tidak perduli dengan suara itu,

lain halnya dengan  Kiat Bo Hosiang, Serta merta

kakek ini melompat dari kalangan pertempuran dan

berpaling ke arah datangnya suara suling itu

    Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi

juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian gom-

brang mengaitkan kaki kirinya pada cabang sebuah

pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung

dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Sambil ber

gantung dia meniup  seruling dan ayun-ayunkan

tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang

dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu

Kiat Bo  Hosiang hampir menerima kematian waktu

bertempur melawan Pak-san Kwi-ong! Meskipun kini

telah berlalu demikian lama namun Kiai Bo  Hosiang

tak bisa pangling.  Pasti inilah bocah penggembala

yang tempo hari telah menolongnya dan yang telah

dibawanya ke puncak Liongsan untuk diserahkan

pada suhengnya. Ternyata  kini dia telah  dewasa.

Tapi tingkahnya yang muncul secara aneh itu diam-

diam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang enak.

Ah, pastilah dia telah pula mewariskan  sifat gila

suhengku! Demikian  Kiat Bo Hosiang membathin

lalu dia berseru :

    "Thian Ong Kau!  Ayo lekas turun!'

    Pemuda berpakaian gornbrong yang berayun-

ayun di cabang pohon sambil meniup suling  itu

memang adalah Song Thian Ong, bocah penggem-

bala  yang 12 tahun yang lalu dibawa oleh Kiat  Bo

kepada  suhengnya di puncak Liongsan!  Selama

bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari

seorang sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada

diantara  pembantu-pembantunya  yang   berotak

miring  pula yakni  Toa Si  Hosiang dan  Lo  Sam

Hosiang, maka selain telah memiliki ilmu kepandaian



yang hebat  luar biasa, ternyata pemuda  itu juga

mewarisi sifat-sifat keblinger  suhu serta dua  pem-

bantu suhunya itu!

    "Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku

lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu membawamu

ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku susiok!'

    Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah

terus  saja  mainkan serulingnya. Seolah-olah dia

tidak mendengar suruan susioknya itu. Sementara

Itu  Li  Bwe Hun yang  begitu mendengar bahwa

pemuda aneh di atas pohon yang tentunya berke-

pandaian tinggi adalah  murid keponakan dari Kiat

Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit keduduk-

annya.  Barusan dia hampir  menemui kematian

menghadapi Kiat Bo Hosiang  seorang diri.  Kini

ditambah munculnya murid keponakan suhunya,

pastilah tak ada harapan baginya untuk selamatkan

diri. Karenanya selagi kakek itu lengah berseru seru

memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi

Li Bwe Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas

pohon tiba-tiba terdengar seruan:

    "Nona  baju  hijau kau mau ke  mana? Kenapa buru-

buru?  Aku  belurn  puas  melihat  kecantikan

wajahmu!' hampir tak kelihatan Thian Ong jentikkan

jari  telunjuk tangan  kirinya secara acuh tak acuh.

Inilah satu ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay

dan jarang terlihat dalam dunia persilatan di Tiong-

kok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah

sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya

Kaku tak sanggup untuk dibawa lari. Sekujur tubuh-

nya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang sedikit

pun. Malah  bersuara pun dia tak sanggup!

    Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan ha! itu diam-

diam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui kelihay

an  suhengnya.  Tetapi adalah hampir  tak dapat

dipercaya  kaiau  murid  suhengnya sehebat  ini;

karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu menotok

jarak  jauh itu selama  10 tahun dan tak kunjung

berhasil mencapai kesempurnaannya.

    "Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau

memberi hormat padaku?!"

    Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian

dari atas pohon :



Menghormati memang satu kewajiban,

    Dari vang muda kepada yang tua.

    Kehormatan adalah satu yang berharga.

    Terkadang lebih berharga dari nyawa,

    Tetapi menghormat harus melihat orang dan tempat,

    Karena terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,

    Apakah wajib menghormat seorang pengkhianat,

    Apakah wajib menghormat seorang sesat,

    Apakah wajib menghormat penindas dan pembunuh 

rakyat?

    Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa

dipaksakan?

    Siapakah  orangnya yang bisa  membendung

arus sungai Yangtse menuju laut?

    Siapakah  orangnya yang bisa memindahkah

puncak gunung Thaysan?

    Sekaiipun, seorang Kaisar yang gila hormat?

    Mendengar nyanyian itu berubahlah paras Kiat

 Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam nyanyian yang

 dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran

 langsung atas dirinya. Tetapi dengan  berpura-pura

 tidak tahu,  Kiat Bo Hosiang tertawa geiak-gelak lalu

 berkata; "Bagua sekali nyanyianmu  itu, Thian Ong!

 Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian

 suhumu, lahir dan bathin!"

    Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata demi-

 kian, kembali terdengar Song Thian  Ong bernyanyi:

    Lahir dan bathin dua hal yang berbeda,

    Karenanya sering tidak sama dan serupa,

    Malah kerap bertolak belakang,

    Yang satu memalsukan yang lainnya,

    lahir bagus belum tentu batinnya baik,

    Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,

    Di luar  kebijaksanaan di dalam mungkin culas,

    Di luar  culas di dalam mungkin  bijaksana.

    Menipu diri sendiri berarti  tolol,

    Menipu orang lain berarti jahat,

    Menghormat orang lain adalah wajib,

    Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!


Kalau tadi Kiat 3o Hosiang masih bisa menahan

rasa dongkolnya maka kini sesudah sindiran Thian

Ong berterang-terangan  begitu  rupa, marahlah

kakek-kakek ini. Langsung dia  membentak:

    "Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara

 lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?!"

    Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian 

yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara

panas.

    Lancang adalah perbuatan salah,

    Tetapi masih bisa diperbaiki.

    Tak ada yang terhina kalau semua bersih,

    Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,

    Hinanya si miskin hal yang lumrah.

    Tapi hinanya mereka yang tersesat harus  cepat

diperbaiki,

    Sudah tiba saatnya bertobat,

    Sudah tiba saatnya mengambil pikiran  sehat,

    Atau apakah mau menunggu hari kiamat?

    Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang lepaskan satu  pukulan

tangan kosong ke arah batang pohon di mana  Thian

bergelantungan  seenaknya Brak! Batang pohon be-

sar itu patah, lalu tumbang dengan suara gemuruh.

Suara gemuruh  ini disertai gelak tertawanya  Thian

Ong. Tubuhnya  sesaat terlihat membuat beberapa

kali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap

dan tahu-tahu sudah berada di hadapan  Kiai Bo

Hosiang. Di depan susioknya ini, Thian Ong meman-

dang dengan kening berkernyit dan salah  satu ta-

ngan diletakkan  di atas alis, seolah-olah dia tengah

memperhatikan sesuatu yang jauh dikesilauan sinar

matahari. Ditambah dencan bajunya serta celananya

yang gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul

menggelikan. Anggota-anggota pasukan kerajaan

dan pasukan rakyat yang masih ada di situ meskipun

tercekat tegang namun tak  dapat menahan  suara

tertawa masing-masing. Bwe Hun sendiri pun kalau

saja  tidak dalam  keadaan tertotok pastilah akan

tertawa pula cekikikan.



"Ah, Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!" tiba-

tiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah baru tahu

kalau orang  di depannya adalah susioknya!  Tentu

saja  Kiat Bo Hosiang jengkel setengah mati  diper-

lakukan seperti itu.

    "Anak  setan!  Kalau  kau tidak  berlutut  minta

ampun atas semua kekurang ajaranmu ini, niscaya

aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"

    Air muka Song Thian Ong mendadak berubah

pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang ketakut-

an setengah mati  mendengar ancaman susioknya

itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri berlutut.

    Anehnya begitu  kedua lututnya  menyentuh ta-

nah itu jadi melesak dan merupakan lubang besar.

Dan  tubuh Thian Ong lantas roboh jatuh. Tapi dia

bangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang

rata lalu jatuhkan berlutut lagi. Namun begitu  kedua

lututnya mencium  tanah hal seperti tadi terjadi lagi.

Tanah itu melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh.

Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada

akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan

susioknya seraya berkata:

     “Mohon  maafmu, Susiok. Semua tanah di sini

tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut terus

jatuh. Aku tak dapat menghormatimu secara sem-

purna!"

    Paras Kiat Bo Hosiang berubah mengejam. Dia

tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu

bukanlah penghormatan melainkan kesengajaan un-

tuk mengejek mempermainkannya. Dan sekaligus

hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya 

karena saat itu semua tanah di tempat itu telah

penuh dengan lobang-lobang dalam bekas hantam-

an lutut  Thian Ong! Tadipun Kiat Bo Hosiang me-

rasakan  betapa setiap kedua lutut pemuda itu me-

nyentuh  tanah, tanah jadi bergetar keras!

    "Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas

budi! Kalau bukan aku yang membawamu pada Ik

Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian sakti

mandraguna dan berilmu silat tinggi!  Dan  sekarang

ilmu itu yang hendak kau obral di depanku!"

    "Ah,  Susiok, budi yang bagaimanakah  yang kau

bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk

mengharap suatu pamrih dikemudian hari seperti


yang kau lakukan saat ini dalam kesempatanmu?"

Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat  itu masih

saja tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang ini

zaman edan, banyak orang-orang sinting macam aku

ini,  tapi tidak  berbahaya.  Yang berbahaya ialah

orang-orang pandai tapi yang mempergunakan ke-

pandaiannya untuk berbuat segala kesesatan yang

gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar dari

kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah,

aku diminta oleh suhu untuk membawamu ke jalan

yang benar!"

    "Bangsat rendah! Kau rupanya sudah lupa asal.

Anak gembala jembel hina dina hendak memberi

nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmupun kau belum

mampu menyekanya!"

    "Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini

aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya su-

dah mulai buram!"

    Saat itu Kiat Bo Hosiang  sudah tak dapat lagi

membendung  kemarahannya.  Dia berteriak dahsyat

dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain

kejap berkiblatlah sinar putih  menyilaukan ke arah

Thian Ong.


*********


BAB 8



TERNYATA Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid 

suhengnya itu dengan senjatanya yang paling dahsyat 

yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua.

    Sebelumnya  12 tahun yang  lewat Thian  Ong

telah menyaksikan kehebatan tongkat tersebut, bah-

kan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah  memperguna-

kannya melawan musuh-musuh tangguh serta  hen-

dak dipakai membunuh muridnya sendiri. Dan kini

senjata yang sama dipergunakan pula untuk meng-

hadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat pemuda itu

telah terkurung sinar tongkat namun dasar gendeng

dia masih saja tertawa-tawa.

    Penasaran  Kiat Bo Hosiang segera robah per-

mainan tongkatnya. Kini  senjata itu bergerak lebih

cepat dan suaranya menderu dahsyat. Selama 10

jurus dimuka Thian Ong masih melayani serangan-

serangan susioknya  dengan tangan  kosong  dan

melancarkan serangan balasan dengan mengandal-

kan kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya yang

gombrangi Karena tenaga dalamnya yang luar biasa

angin yang keluar  dari ujung-ujung  lengan pakai-

annya itu sanggup membuat mental  tongkat di ta-

ngan Kiat Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong.

Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai ke-

repotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah keluarkan

ilmu tongkatnya yang terhebat dan bernama  "sin

eng-thunghoat" atau ilmu tongkat garuda sakti.

    Serangan tongkat datang bertubi-tubi dan tidak

beda seperti burung garuda yang menyambar-nyam-

bar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadang-

kadang menukik seperti  hendak mematuk  kepala-

nya,  kadang-kadang pula menusuk tajam ke perut

atau  dada dan tak jarang berkelebat menggempur

tubuhnya sebelah bawah!

    Diam-diam dalam marah dan penasarannya Kiat

Bo Hosiang  mengagumi  pemuda ganteng  itu. Se-

lama ini jarang sekali dia mengeluarkan ilmu tongkat-

nya dalam jurus-jurus yang lihay itu, bahkan ketika

menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya di


puncak Liongsan 12 tahun silam dia sama. sekali

tidak mengeluarkannya. Kini menghadapi murid dari

suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan

kepandaiannya yang paling diandalkan itu! Meski-

pun Thian Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si

pemuda masih sanggup melayani sin-eng thonghoat

sampai sepuluh  jurus.  Padahal tokoh-tokoh silat

ternama yang pernah dihadapinya, paling bantar dua

jurus sudah pasti konyol  di tangannya!

    Mendapati kenyataan bahwa susioknya kini ber-

hasil mendesaknya dengan ilmu tongkatnya yang

amat lihay, Song Thian  Ong  anehnya malah per-

dengarkan suara tertawa  gelak-gelak.

    "Bret!" ujung tongkat menyambar robek  dada

pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih ke

depan dengan  pasti dada pemuda ini akan kena

dilabrak hancur!

    "Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak Kiat

Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu yang akan ku-

robek!"

    "Enak betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang

robek Tua bangka sesat!" balas berteriak Thian Ong.

Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik di

udara tiga kali berturut-turut. Bagi orang yang tidak

berpengalaman, saat lawan berjungkir balik seperti

itu amat empuk untuk dijadikan sasaran serangan

mematikan. Tapi Kiat  Bo Hosiang yang sudah ber-

ilmu amat tinggi dan berpengalaman  luas,  serta

mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu suhengnya,

mengerti  betul adalah bahaya  besar jika dia me-

lancarkan serangan saat itu.

    Setelah jungkir balik Thian Ong melayang turun

dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih

dahulu. Sedetik kemudian dia  sudah tegak  lurus

dengan kepala menempel tanah sedang kedua kaki

dikeataskan. Kakinya  yang di ke ataskan ini mem-

buat gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin

keras. Kadang-kadang turun naik seperti orang me-

ngayuh. Sesekali menendang-nendang dengan dah-

syatnya, lalu berganti pula berputar-putar. Dan lebih

keblingernya lagi, sambil membuat gerakan  aneh

dengan kedua kakinya itu, Thian  Ong  keluarkan

serulingnya lalu mulai meniup  lagu-lagu yang  tak

karuan. Terkadang  merdu lembut, terkadang  me-lengking-lengking menyakitkan telinga.

    Melihat bagaimana  tingkah Thian Ong dalam

pertempuran itu yang seolah-olah mengejek mem

permainkannya, semakin mendidihlah amarah Kiat

Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun yang

lalu ketika dia  membawa Thian Ong ke puncak

Liongsan lalu suhengnya dan dua orang pembantu-

pembantunya  membuat Thian Ong seperti bola,

ditendang kian kemari dari satu  kaki ke kaki lain

sedang main-main mereka tegak dengan kepala di

bawah kaki ke atas!

    "Pemuda keparat! Asalmu jembel tukang angon

kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat

Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi

serta merta saja dia tersurut kembali. Ternyata gerak-

an-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu

merupakan benteng  pertahanan  yang kokoh dan

sekaligus dapat menjalankan serangan berbahaya!

    Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar.

Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah

atas namun  matanya yang  tajam segera melihat

bahwa ilmu silat aneh Thian  Ong itu memiliki kele-

mahan di sebelah bawah. Jika  dia  melancarkan

serangan yang hebat antara pinggang  sampai  ke

bagian kepala lawan yang saat itu menempel di tanah

pastilah dia akan berhasil  merobohkan Thian Ong,

sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda  itu!

    Maka setelah menunggu kesempatan yang baik,

tiba-tiba Kiat Bo Hosiang  membuat gerakan yang

bernama "sin-eng-tian-ci" atau garuda sakti pentang

sayap.  Kaki kirinya melesat menghantam ke  arah

selangkangan Thian Ong sedang dalam detik yang

sama  tongkat  bajanya  menunjuk  deras  ke  arah

tenggorokan  si pemuda. Memang  dua serangan

yang dilancarkan  oleh Kiat  Bo Hosiang sekali ini

betul-betul luar biasa. Dua-duanya sulit dikelit saking

cepatnya dan disamping itu merupakan serangan

maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari

serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, ter

utama tusukan tongkat ke arah leher.

    Tetapi adalah kecele kalau Kiat  Bo  berpikir

demikian.  Didahului oleh lengkingan seruling yang

ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong

sebatas pinggang ke kaki melejit ke samping. Ini


membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai

tempat kosong.

    Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong

tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret! Robeklah

pakaian putih kakek-kakek itu di sebelah dada.

    Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia cepat membuat

gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang sete-

ngah melayang itu dari lawan. Namun masih kurang

lekas karena saat itu tubuh Thian Ong sudah melejit

lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah

mendepak  pantat si  kekek! Tak ampun  Kiat  Bo

Hosiang mencelat mental sampai satu tombak. Un-

tung saja  meskipun  otaknya agak keblinger Song

Thian Ong tidak bermaksud jahat terhadap paman

gurunya itu, kalau tidak pastilah tendangan tadi akan

membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurang-

nya cacat  seumur hidup.

    Dilain  pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong

bergerak jungkir  balik dan  berdiri  di atas kedua

 kakinya kembali.

    "Susiok! Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu

 pantatmu  itu  sudah tak ada lagi dagingnya alias

 tulang  melulu, pastilah aku tak  akan  menendang

 pantatmu itu!"

    "Anjing jadah!" maki  Kiat Bo Hosiang  meng-

 geledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!" Lalu kakek

 ini secara menerjang ke depan. Namun gerakannya

 terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara

 tawa bergelak :

    "Kiat  Bo Hosiangl Ada berapa nyawakah kau

 punya hingga hendak mengadu jiwa dengan pemuda

 itu?! Apa kau tak malu sudah dipermainkan  begitu

 rupa?!"

    Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau

 menggerang.  Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa

 pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang tadi asyik

 menonton pertempuran hebat luar  biasa yang tak

 pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari ber-

 serabutan, ketakutan seolah-olah melihat setan ke-

 pala sebelas!

    Li Bwe Hun  dan Thian Ong jadi terheran-heran

 sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar kepala

 ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak

tadi. Memandang ke jurusan itu mendadak wajahnya



yang beringas gemas kelihatan  gembira dan dia

tertawa lebar.  Kakek ini lalu menjura.

    "Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira  siapal

 Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku

 meringkus pemuda pengacau ini!"

    "Cuma meringkusnya?"

    "Eh... tidak! Membunuhi" sahut Kiat Bo Hosiang

pula. "Aku tidak  malu-malu meminta bantuanmu

untuk mengirimnya ke akhirat!"

    Terdengar suara tertawa  kembali. "Ahoi! Se-

orang tokoh ternama yang katanya  paling lihay di

seluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk meng-

hadapi seorang pemuda otak miring! Percuma saja

kami orang-orang Mongol memeliharamu, memberi-

kan uang dan harta berlimpah, gedung mewah serta

perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali tidak

berguna bagi kami!"

    Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengar

kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati

kutu!


*********


BAB 9


SAAT itu di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri 

seorang  kakek kakek berambut  pirang dan bermuka  

merah  macam  kepiting  rebus. Tubuhnya kurus tinggi 

dan dia mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh 

kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan nama 

Pengho.  Dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang 

ilmunya memang jauh lebih tinggi.

    Di samping Pengho tegak pula seorang berpa-

kaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia

memegang sebuah tongkat  di  tangan kiri  untuk

menopang tubuhnya yang bungkuk  tak seimbang

itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho,

bernama  Wanglie dan bergelar Pengemis  Sakti Ta-

ngan Kidal, dan merupakan  salah seorang tokoh-

tokoh ternama  berasal dari Tibet.

    Orang ketiga yang datang bersama dua tokoh

terdahulu itu ialah seorang pendek bermata juling

yang mukanya tembam selalu  berkeringat. Yang

hebat dari menusia ini ialah sepasang lengannya

yang panjang sekali, hampir menyentuh ke tanah.

Dia juga  seorang tokoh  lihay dari Mongol, yang

kepandaiannya masih satu tingkat di atas Kiat Bo

Hosiang. Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal

dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!

    Dengan  hadirnya  gembong-gembong  besar

pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa pasukan

Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu

begitu melihat dan mengenali mereka!

    Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak me-

matung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok,

yang juga  mengenali siapa adanya ketiga manusia

itu,  diam-diam terkejut dan  mengeluh. Dia sudah

dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda

berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika

menghadapi  Pengho, apalagi jika dikeroyok ber-

sama-sama!

    Sambil rangkapkan  tangan  di muka  dada,

Pengho  berpaling pada  Thian  Ong dan  geleng-

geleng kepala.

    Hanya seorang pemuda gendeng begini kau tak


sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat

Bo!"

    "Dia memang sedeng,  Pengho Loenghiong,"

sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah. "Tapi

kunasihatkan jangan terlalu  dianggap  remeh. Dia

adalah murid suhengku Ik Bo Hosiang dari Liong-

san!"

    "Cuma muridnya saja? Itu toh lebih memalukan,

Kiat Bo! Bagaimana lagi  kalau suhunya yang jadi

pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek  Pengho

pula. Memang pada masa  itu  bukan rahasia lagi

kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi

bangsa Han  yang dipelihara oleh  Kaisar  Mongol

secara mewah berlebih-lebihan untuk mengharap-

kan  imbal kepandaiannya  dalam mencengkeram

Tiongkok.  Seolah-olah  pada  kalangan orang-orang

Mongol sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay.

Dalam pada Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap

orang-orang Han  (Tiongkok)  kelihatan  menyolok

berlebih-lebihan.

    Ejekan Pengho tadi membuat  dada Kiat  Bo

Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa

berbuat lain dari pada berdiam diri.

    Pengho berpaling pada  Sepasang Tangan Pe-

renggut Jiwa. Diantara mereka bertiga memang yang

satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan

dengan Kiat Bo Hosiang masih lebih tinggi satu

tingkat.

    "Sobatku Perenggut Jiwa, apakah kau bersedia

mengotorkan  tanganmu  membunuh  monyet baju

gombrang yang katanya adalah murid dari Ik  Bo

Hosiang?!"

    Si  muka tembam Sepasang Tangan Parenggut

Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan ujung

lidah. Dia  melirik dengan matanya yang juling  ke

arah Li Bwe Hun, kemudian berpaling pada Kiat  Bo

Hosiang.

    "Kiat  Bo-Lo Jianpwe, apakah  aku ingin aku

membunuh murid  suhengmu ini?" bertanya si Pe-

renggut Jiwa.

    "Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.

    Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah

Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi: "Nona cantik  ini

kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"


Kiat Bo Hosiang mengangguk.

    "Ada satu syarat, Lotjianpwe. Jika aku ingin aku

turun tangan, upahnya kau harus hadiahkan nona

muridmu itu padaku!" Sepasang Tangan Perenggut

Jiwa  memang seorang tokoh silat Mongol yang

terkenal hidung belang. Habis berkata demikian dia

melirik pada Bwe Hun,  leletkan  lidah lalu tertawa

mengekeh.

    Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih hebat

oleh suara seorang  lainnya ternyata  adalah Song

Thian Ong!  Dan  mendengar suara  pemuda itu,

Pengho kernyitkan kening, Pengemis  Sakti Tangan

Kidal mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa

tertegun! Mereka sama terkesiap mendapatkan ba-

gaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka rasakan

membuat tanah bergetar.

    Masing-masing saling  pandang sesaat,  kemu-

dian Pengho berbisik: "Hanya pemuda edan macam

dia apa pula artinya tak perlu ditakutkan!"

    Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk

lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.

    "Bagaimana  Lotjianpwe?"

    Kiat Bo  Hosiang  memang sudah miring jalan

pikirannya, ditambah pula saat itu dia disungkup

amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos

saja jawabannya:

    "Terserah padamu kau  mau buat  apa atas diri

gadis laknat itu! Tadipun aku hendak membunuhnya!"

    Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata 

puas.

    "Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata

Pengho seraya menepuk bahu hambratnya itu.

    Si Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan ujung

lidah. Sambil mengedipkan matanya yang  juling

pada Li Bwe Hun dia  berkata : "Nonaku, kau tung-

gulah sebentar. Saksikanlah bagaimana aku meng-

hajar pemuda gila itu. Kemudian kita berdua ting-

galkan  tempat ini, pergi bersenang-senang di atas

ranjang."

    Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau

hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah daya-

nya? Harapannya  satu-satunya kini terletak pada

Song Thian Ong. Dapatkah  pemuda berotak miring

ini mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat


lantas apakah dia mampu pula melawan Pengemis

Sakti Tangan Kidal serta Pengho? Bagaimana kalau

orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapa-

pun lihaynya pemuda murid Ik Bo Hosiang itu namun

adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi mu-

suh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti

celakalah dirinya sendiri!

    "Ah,  mengapa  Tuhan  tidak  mencabut  saja

nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam hati dan

air mata mulai menggenangi pelupuk-pelupuk mata-

nya.

    Dalam pada itu dengan mengumbar suara ter-

tawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah men-

dekati Thian Ong. Sebaliknya  Thian Ong tampak

acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang

datang  mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo

Hosiang dan dengan  jari telunjuk tangan kirinya

diacungkannya tepat ke hidung orang tua ini.

    "Tua bangka sedengl Kau betul lebih sinting dari

manusia edan manapun di dunia ini. Hatimu bejat

dan keji. Bukannya memberi hajaran malah menye-

rahkan  bulat-bulat tubuh  dan kehormatan  murid

sendiri pada si pendek juling ini!"

    Paras  Kiat Bo Hosiang jadi  merah saga. Dia

membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun bukan murid-

ku lagi! Kau hadapi saja  musuh si Pendekar Pe-

renggut Jiwa untuk menerima  mampusmu!"

    "Kaulah yang lebih dulu layak mampus!" teriak

Thian Ong, lalu  menggebrak tanah  dengan kaki

kirinya hingga tanah itu  tenggelam  sampai satu

jengkal. Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan

hantaman satu pukulan tangan kosong yang hebat

namun saat itu  belakangnya terdengar deru  yang

deras. Ternyata  Sepasang  Tangan Perenggut Jiwa

telah ulurkan kedua tangannya dan dalam gerakan

kilat siap untuk menangkap batang leher Thian Ong

yang telah lengah membelakangi. Sekali leher itu

kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang  yang

agak berotak miring itu pastilah tak akan tertolong!

    Memang sesuai  dengan  gelarnya yaitu Se-

pasang  Tangan  Perenggut Jiwa  maka tokoh silat

Mongol  bermata juling  itu memang  memiliki se-

pasang  tangan  yang  luar  biasa  hebatnya. Selain

cepat dalam gerakan  juga memiliki kekuatan atos



dan ampuh.

    Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie (Pe-

ngemis  Sakti  Tangan Kidal) serta  Pengho sudah

dapat memastikan  bahwa dengan  sekali gerakan

kilat saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si

Perenggut Jiwa betul-betul akan  dapat merenggut

lepas nyawa Thian Ong.

    Pada saat itu, ketika merasakan sambaran angin

di belakangnya,  Song Thian Ong  maklum kalau

dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia

menggerendeng dan rundukkan tubuh sedikit sambil

memutar dan serentak dengan itu tangan kirinya

yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat

Bo  Hosiang kini dipakainya sebagai kemplangan

menebas ke arah datangnya serangan!

    Buk!

    Terdengar suara bergedebukan yang  keras ke-

tika lengan kiri Thian Ong beradu  dengan lengan

kanan si Perenggut Jiwa.

    Tokoh lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya

terbanting ke kiri sampai empat langkah tapi lengan-

nya sama sekali  tidak cedera bahkan terasa  sakit

pun tidak!  Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang

tangan yang dimilikinya. Padahal  jangankan manu-

sia, batang pohon pun kalau sampai kena digebuk

lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga-dalam

luar biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!

    Kini Pengho dan Pengemis Sakti Tangan Kidal,

lebih-lebih si  Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka

matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak

cidera namun tubuhnya yang terlempar sampai se-

jauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa

Thian  Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak

bisa dibuat main.  Padahal sesungguhnya murid Ik

Bo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya membuat

gerakan acuh tak  acuh dan tidak pula disertai ke-

kuatan tenaga dalam yang berarti)

    Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa

merasa malu sekali karena lawan gila yang diang-

gapnya remeh dan gila itu ternyata tak dapat diberes-

kannya dalam satu gebrakan saja.

    Didahului dengan  bentakan galak dia  sengaja

keluarkan  jurus silatnya yang terlihay untuk me-

nebus  rasa malunya  yakni jurus yang  bernama


siang-lui-guisan'  atau  sepasang  petir membelah

gunung!

    Kehebatan jurus ini memang luar biasa. Sepasang

tangan si Perenggut Jiwa kini hanya merupakan ba-

yangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras

setiap serangan dilancarkan. Tampaknya Thian Ong

kerepotan dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan

serangan balasan dengan kebutan  ujung lengan pa-

kaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran

semakin seru. Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaring

dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas, turun lagi

dengan kaki ke atas kepala ke bawah.

    Pemuda ini agaknya merobah permainan silat-

nya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah diper-

gunakannya dalam menghadapi Kiat Bo. Namun

setiap tendangan yang dilancarkannya selalu dapat

dikelit atau ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa.

    Thian  Ong jadi penasaran.  Dia  jungkir balik

kembali dan kini mainkan jurus silat baru. Memang,

si Siperenggut Jiwa jadi terdesak hebat namun

sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat mental

selama dia masih sanggup mempergunakan sepa-

sang  tangannya yang benar-benar ampuh  untuk

menangkis maka  dia sama  sekali tak mengalami

cidera. Lama-lama Thian Ong jadi  beringas.

    Murid Ik Bo Hosiang ini mencak-mencak macam

orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya dige-

rakkan,  menghamburlah pukulan-pukulan ganas

yang dialiri tenaga dalam tinggi. Berkali-kali si Pe-

renggut Jiwa jatuh bangun dihantam pukulan tangan

kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu memper-

gunakan kedua lengannya untuk menangkap maka

setiap jatuh dia cepat bangun kembali dan balas

menyerang!

    20 jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan

mandi  keringat, pakaian kusut masai dan  muka

celemongan karena  berulang  kali jatuh atau  ter-

guling-guling di tanah. Sebaliknya Thian Ong masih

biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya

keluar dari mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagai-

mana  dapat merobohkan lawan yang memiliki se-

pasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba

terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang

disusul dengan suara orang menyanyi.



20 jurus berlalu percuma

Hanya karena serangan membabi buta

Dua tangan memang laksana benteng baja

Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?

    

    Semua orang yang ada di situ terkejut, termasuk

Thian Ong. Pemuda ini melompat mundur dan men-

dongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang

menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon

tampak duduk seorang pemuda asing tak  dikenal,

rambutnya gondrong  dan mulutnya penuh berisi

buah apel yang digerogotinya.

    Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong tiba-

tiba tertawa bergelak.

    "Gondrong! Tampangmu tolol dan lagakmu juga

edan seperti aku! Jika kau merasa berkawan dengan

aku, silahkan turun beri petunjuk!"

    Tapi orang di atas pohon tidak mau turun, malah

kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi:

Segala sesuatunya tidak sempurna

Otakmu tidak seluruhnya gila

Pergunakan bagian yang tidak gila

Untuk menduga dan mereka

Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja

Diantara yang keras ada yang lemah

Pada kelemahan terdapat kelembutan

Dan kelembutan pangkal celaka.

    Orang di atas pohon kunyah terus buah  apel

dalam mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ong

ikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang

lagi pada si gondrong di atas pohon, lalu tertawa.

    "Aku  mengerti... aku  mengerti sekarang cihuy

terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobat

ku! Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang sekali dan

sampai-sampai dia membuat gebrakan jungkir balik

di udara  beberapa kali. Begitu kakinya menginjak

tanah kembali, langsung dia menuding si pendek

Perenggut Jiwa dan berkata keras.

    "Mata juling,  ayo kita bertempur lagi." Lalu dia


berpaling pada  Pengho, Pengemis Sakti  Tangan

Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-manusia pen-

jajah,  sekarang  kalian lihat bagaimana aku akan

merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!'

    Thian Ong tertawa lagi gelak-geiak. Selagi dia

tertawa begini si  Perenggut Jiwa menyerbunya de-

ngan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama

lima jurus. Di jurus keenam, Thian Ong melakukan

pembalasan. Dia lancarkan  serangan ganas dengan

tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian

rupa hingga tak  bisa dikelit dan mau tak mau si

Perenggut Jiwa harus pergunakan lengannya untuk

menangkis. "Buk!"

    Lagi-lagi  sepasang  lengan mereka   beradu.

Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan

selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Pereng-

gut Jiwa tidaklah mempunyai ilmu kebal seperti yang

dimiliki kedua lengannya. Manusia  ini menjerit se-

tinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter,

menggeletak tak  berkutik  lagi,  mati dengan perut

bobol!

    "Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih saha-

batku?" teriak Thian Ong berulang kali sambil jing-

krak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon di

mana pemuda gondrong yang makan buah apel itu

nongkrong.

    "Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata

si gondrong.

    "Thian Ong manggut-manggut,  lantas saja di

keruk saku pakaian si gondrong dan sambar dua

buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian

asyik  mengunyah buah-buah apel  itu  seolah-oleh

tidak perduli di mana mereka berada,  seolah-oleh

tidak ada terjadi apa-apa di situ!"

    "Manusia-manusia sinting!  Gila!" maki Pengho

dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.

    "Kalau tidak karena diberi tahu oleh si gondrong

itu kambrat kita si Perenggut Jiwa tak bakal mati di

tangannya 'Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal

siapa bangsat gila yang berambut gondrong itu?"

    "Tak pernah kuketahui siapa dia adanya. Mung-

kin  sute atau  suheng dari keparat  bernama Thian

Ong itu?"

    Kiat  Bo Hosiang  gelengkan  kepala. Ik  Bo


Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari pada

Thian Ong bocah  penggembala hina dina itu. Pemu-

da yang gondrong ini jelas bukan orang Han!"

    Sementara itu di atas  pohon saking girangnya

Thian Ong begitu tenggak habis dua buah apel lantas

keluarkan serulingnya  dan tiup benda  itu  keras

membawakan lagu gembira.

    "Ah  Sobat! Kau ternyata pandai sekali  main

suling. Boleh aku  ikut menimpali?!"  bertanya si

gondrong.

    "Tentu, tentu saja!" sahut Thian  Ong gembira

sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan! Silahkan!"

    Si gondrong merogoh pinggang pakaiannya se-

saat kemudian terlihatlah sinar menyilaukan. Ter-

nyata pemuda ini keluarkan sebuah  senjata ber-

bentuk kapak bermata dua yang pada mata-matanya

yang menyilaukan itu tertera angka 212. Kapak aneh

ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran

kepala  naga pada sebelah bawahnya, sedangkan

pada batang gagang  terdapat lobang-lobang. Dan

ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir naga-

nagaan lantas meniup, maka membersitlah  suara

lengkingan seperti tiupan seruling,  dahsyat luar

biasa.

    Kiat Bo Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti

Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing ber-

getar sakit.  Buru-buru  mereka tutup indera pen-

dengaran. Tapi dada  masing-masing masih saja

terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum pernah

mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan

suling yang demikian luar biasa hingga. Menggetar-

kan tanah yang mereka pijak dan mempengaruhi

mereka. Pengho, sebagai orang yang  paling  tinggi

ilmunya tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawan-

nya masih merupakan jago silat kelas rendah pasti-

lah telinga masing-masing telah rusak berdarah

mendengar tiupan suling yang luar  biasa karena

disertai aliran tenaga dalam dahsyat itu!

    "Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong.

Lalu tiup  sulingnya lebih keras.

    Pengho tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak

dapat lagi menahan  kejengkelannya.  Amarahnya

meluap karena dia merasa seolah dipermainkan . Di

samping itu Thian Ong harus  mati untuk menebus nyawa si Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!

    "Thian Ong  pemuda  keparat!  Turunlah  untuk

menerima  kematian!"  teriak Pengho menggelegar

diantara hiruk-pikuknya tiupan-tiupan suling.

    Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil

perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus

meniup suling  masing-masing dalam  lagu  tanpa

nada tak karuan!

    Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari Mongol

ini angkat tangan kanannya dan menghantam  ke

atas pohon!



**********


BAB 10



SATU gelombang sinar hitam menggebu ke arah 

cabang pohon di mana Thian Ong dan pemuda 

gondrong yang bukan  lain  adalah Wiro Sableng si 

Pendekar 212 tengah duduk ongkang-ongkang kaki 

enak-enakan sambil tiup suling.

    Terdengar suara keras hancurnya cabang pohon

serta rontoknya dedaunan yang  kemudian disusul

oleh tumbangnya pohon besar itu.

    Tapi suara tiupan dua suling sama  sekali tidak

berhenti dan baik Wiro maupun Thian Ong tidaklah

menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena

sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja

mereka tahu bahaya  dan  siang-siang  sudah  ber-

kelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah enak

saja mereka duduk menjelepok dan terus memain-

kan suling!

    Kiat Bo Hosiang melengak, Pengemis Sakti Ta-

ngan  Kidal  naik turun tenggorokannya  sedang

Pengho Lio Bwe  Hun yang saat itu masih  berada

dalam keadaan tertotok meskipun hatinya  cemas

setengah mati namun melihat tingkah dua pemuda

yang agaknya sama-sama  keblinger itu dalam hati

jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitu

lihay keduanya masih saja gila-gilaan, padahal maut

sudah di depan mata!

    "Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk

menerima kematian!" teriak Pengho.

    "Ah,  di sini  banyak pengganggu. Bagaimana

kalau kita main suling di tempat lain saja?" ujar Thian

Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan

sulingnya ke balik pinggang pakaiannya yang gom

brong. Wiro pun hentikan permainannya, masukkan

Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.

    "Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri  mengikuti

Thian Ong.

    "Bangsa!,  kau mau pergi  ke mana?'" teriak

Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan

kidal dan memerintah : "Bunuh dia!"

    Pengemis  Sakti Tangan Kidal mendongak ke


langit lalu tertawa melengking?  Terima kasih

Pengho - twako, memang aku sudah lama tak mem-

bunuh orang. Hari ini tanganku yang sudah gatai

akan dapat bagian!"

    Sambil melintangkan tongkat  kayu yang dipe-

gangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal

maju mendekati Thian Ong.

    "Thian Ong,  kaum ditakdirkan mampus di ta-

nganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"

    "Eh, Sobat,"  ujar Thian Ong sambil  menepuk

bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu seperti

malaikat  maut saja. Apakah  begini tampangnya

malaikat maut!"

    Wiro  garuk-garuk kepala.

    "Entahlah, aku pun belum pernah melihat. Tapi

aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan

dari tua bangka keriputan ini' sahut Wiro pula sambil

cengar-cengir.

    Kedua anak geblek itu lantas tertawa terpingkal-

pingkal.

    Wut!

    Entah  kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat di

tangan kiri Pengemis  Sakti Tangan Kidal sudah

membabat ganas ke batok kepala Thian Ong.  Mes-

kipun tadi kelihatannya  acuh tak acuh namun begitu

diserang murid Kiat Bo Hosiang ini ternyata waspada

sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan

lebih dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua

kakinya telah melancarkan serangan balasan.  Satu

mendepak ke arah perut sedang lainnya menendang

ke tenggorokan lawan. Namun tingkat kepandaian

si kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si Perenggut

Jiwa.  Ilmu tongkatnya lebih  lihay dari  Kiat Bo

Hosiang.  Dua serangan  itu  dikelitkannya dengan

mudah, bahkan kini  tongkat di tangan kirinya me-

nyapu-nyapu dahsyat sekali.

    Song Thian Ong dalam  tingkahnya yang gila-

gilaan itu beberapa kali hampir kena dihantam sen-

jata lawan. Dan masih saja dia bertingkah aneh yang

bukan-bukan sambil tak lupa mengejek dan mencaci

maki lawannya sehingga Wanglie  alias  Pengemis

Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.

    Dengan matanya yang tajam dan pengalaman

luas, Pengho si tokoh utama di  Mongol segera



melihat bahwa sesungguhnya  Thian Ong memiliki

dasar ilmu silat yang iebih hebat dari Pengemis Sakti

Tangan Kidal. Buktinya sampai 20 jurus di muka

pemuda ini masih melayani tokoh lihay yang berasal

dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena

tingkahnya  yang aneh dan gila-gilaan itulah  yang

membuat dia seolan-olah tak mau menurunkan ta-

ngan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.

    "Kiat Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti!'

berseru Pengho setelah  20 jurus lagi berlalu tanpa

kambratnya itu  bisa melakukan  sesuatu terhadap

Thian Ong.

    Kiat Bo Hosiang cabut tongkat  bajanya  dan

menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.

    "Curangi" teriak Wiro marah.

    "Orang  asingi Tutup mulutmu!' sentak Pengho.

"Kau tak ada hak mencampuri urusan orang lain!

Lekas angkat kaki  dari  sini kaiau tidak ingin ku-

gebuk!"

    "Eit enak betui memerintah orang. Kau kira aku

ini kacungmukah?!  Makan  ini!" teriak Wiro sambil

keluarkan sisa satu buah apel dari dalam sakunya.

buah ini dilemparkannya dengan  sebat. Pengho

bergerak cepat  tapi dia kecele karena Wiro sama

sekali tidak  menyerangnya, melainkan melemparkan

buah apel itu ke arah Li Bwe Hun yang masih tegak

tak berdaya karena  ditotok.

    "Buk!"

    Buah apel itu mencerai tepat di tengkuk Li Bwe

Hun. Totokan yang sejak tadi  menguasai si gadis

serta merta  buyar karena memang disitulah sebelum-

nya Thian Ong  teiah menotok Bwe Hun yakni se-

waktu gadis ini  hendak  melarikan diri dari Kiat Bo

Hosiang yang hendak membunuhnya.

    "Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda

itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.

    Li Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Ke-

mudian  seolah-olah  patuh, dia  memungut  sebilah

golok milik bekas seorang  prajurit  Kerajaan  dan

tanpa banyak bicara terus ke kalangan pertempuran!

    Sebenarnya Wiro merasa yakin kalau Thian Ong

tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua

orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susiok-

nya sendiri. Namun  Pendekar 212 ini yang sudah



gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam men-

dapat akal  Maka dilepaskannya totokan  Bwe Hun

lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian Ong.

Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong

semakin sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya

dua lawannyalah kini  yang berada dalam kedudukan

sulit!

    Dan hal ini diketahui oleh Pengho si tokoh lihay

dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkha-

watirkan keselamatan Kiat Bo Hosiang. bahkan dia

ingin sekali kakek-kakek bangsa Han yang sejak

lama dibencinya itu mampus saat itu juga.  Namun

dia sama sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet

yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai  celaka.

Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera

menyerbu  pula ke  dalam  kancah  pertempuran.

Justru inilah yang dikehendaki Wiro!

    "Tua bangka bermuka kepiting  rebus!" teriak

Wiro memaki Pengho yang memang  memiliki tam-

pang merah seperti kepiting  rebus. "Aku lawanmu,

jangan main keroyok!

    Mendengar  makian itu dan melihat Wiro ber-

kelebat ke arahnya serta  merta Pengho lepaskan

pukulan saktinya  yang tadi telah  dikeluarkannya

waktu menyerang Wiro dan Thian Ong di atas pohon.

    Sinar hitam  menderu ganas ke arah Pendekar

212. Wiro kaget  juga karena tak menyangka begitu

mulai  berkelahi  lawan sudah lancarkan serangan

pukulan sakti itu. Memang Pengho tak mau kepalang

tanggung menghadapi lawan yang sudah diduganya

tidak berkepandaian rendah itu. Apalagi karena pe-

tunjuk  Wirolah sampai Thian Ong berhasil mem-

bunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya den-

dam serta kebencian  bertumpuk jadi kemarahan

yang bukan alang  kepalang.

    Wiro keluarkan siulan melengking lalu lepaskan

pukulan sinar matahari ke depan. Sedangkan sinar

putih panas dan  menyilaukan bergemuruh memapas

sinar hitam serangan Pengho.

    Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti

itu bentrokan di  udara dengan mengeluarkan suara

yang hebat! Tubuh Pengho terhuyung sampai lima

langkah ke belakang sedang tangan kanannya sam-

pai sebatas pangkal bahu terasa  sakit berdenyut-denyut. Diiain pihak sepasang kaki Pendekar 212

Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal dan

tubuhnya bergetar.

    Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh

kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia meng-

alami bentrokan pukulan sakti yang hebat. Jelas

sudah bahwa pemuda rambut gondrong itu memiliki

kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada di

sebelah bawah sobatnva si orang Han yaitu Song

Thian Ong.

    "Celaka! Naga-naganya aku bakal mendapat ke-

sulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak.

Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagai-

mana kambratnya Pengemis Sakti lengan Kidal yang

membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan

terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang

mempergunakan  serulingnya  sebagai senjata  dan

mainkan jurus-jurus silat aneh  berhasil  memukul

mental  tongkat kayu Pengemis Sakti!

    "Tahan, seru Pengho tiba-tiba seraya melompat

menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa

cukup  sudah  kita main-main  dengan orang-orang

ini.  Kita masih ada urusan lain yang lebih penting

harus diselesaikan. Iain hari saja kita layani mereka

kembali. Mari!"

    Pengemis Sakti Tangar» Kidal yang maklum apa

arti  kata-kata Pengho itu dsn menyadari pula keada-

an mereka yang sulit bahkan bakal celaka jika bicara

lagi  segera  meninggalkan tempat itu menyusu!

Pengho yang telah berkelahi pergi lebih dulu tanpa

memperdulikan Kiat Bo Hosiang.

    Kiat Bo Hosiang yang ditinggal sendirian, sesaat

jadi tertegun. Hendak menyusul  kabur keadaannya

terjepit  antara Thian Ong dan Bwe Hun. Dan saat itu

sambil  menyeringai Thian Ong datang mendekati.

    Kasihan kau tak mempunyai kesempatan kabur,

susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena

suhu telah berpesan bahwa jika seseorang sesat tak

mau insaf dan tobat adalah layak untuk dibunuh'"

    Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong lantas

kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada

Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini agak gugup. Meskipun

dia sempat berkelit tapi  tak urung bahunya masih

kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. Dengan menggembor marah Kiat Bo Hosiang  mengi-

rimkan serangan balasan. Tongkat bajanya bersuit

suit mengeluarkan sinar putih.

    Tapi bagaimana pun juga tingkat kepandaian

Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid

keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebe-

lumnya Thian Ong banyak mengejek dan main-main,

maka kini jurus silat yang dikeluarkannya betul-betu!

aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian

berlangsung empat  jurus tiba-tiba pendekar aneh

berbaju gombiong dari Gunung Naga ini berteriak:

"Awas tongkat!"

    Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu

tongkat baja di  tangan Kiat Bo Hosiang  sudah

terlepas kena dirampas.

    "Lihat suling/' terdengar lagi seruan Thian Ong.

Dan detik Itu pula suling di tangannya telah menyam-

bar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit lagi.

Kiat Bo Hcsfanu hanya bisa mendelik kaget melihat

datangnya maut.

    Sedetik lagi suling  itu akan menusuk amblas

leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan

Bwe Hun :

    "Tahan! Jangan bunuh dia!"

    Thian Ong tersentak heran. Masih untung dia

sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga benda

ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo

Hosiang.

    "Eh, apa-apaan  kau Nona Li?!" bertanya Thian

Ong. Sedang Wiro juga heran  sambil garuk-garuk

kepala.

    Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang.

Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.

    "Nona, tadi kau  hendak dibunuhnya dan malah

mencoba pula untuk menamatkan riwayatnya. Seka-

rang kenapa kau mencegah aku membuat dia ko-

nyol?!" bertanya kembali Thian Ong. "Ingat, manusia

sesat  pengkhianat semacam  ini amat berbahaya.

Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"

    "Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah

suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.

    Kiat Bo Hosiang terkesiap.  Dadanya  berdebar

dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya kehendak

Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya



atau hendak turun tangan sendiri membunuhnya?

    "Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke depan

gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki. Kurasa

kau masih bisa  keluar dari segala macam comberan

busuk yang kau renangi selama ini. Jika kau sadar

dan berjanji untuk  kembali ke  jalan yang  benar,

kurasa murid suhengmu ini pasti akan mengampuni-

mu. Bagaimana...."

    Semakin pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba

saja sepasang matanya berkaca-kaca. "Tak mung-

kin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam ke-

sesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bu-

nuhlah aku sekarang. Aku.tak akan melawan. Thian

Ongl Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek

lalu jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, me-

nangis tersedu-sedu.

    "Suhu, tak ada dosa yang tak berampun. Kalau-

pun kau merasa telah berbuat dosa dan kesalahan

besar kurasa masih  ada jalan untuk  menebusnya.

Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum pen-

jajah Mongol yang selama ini mendatangkan mala-

petaka."

    "Itu betul!" seru Thian Ong  yang tiba-tiba saja

kasihan melihat susioknya itu.

    "Tapi syaratnya satu," menyelinap Wiro.  "Asal

jangan dia  menipu kita. Kalau  tidak  bisa  berabe

seumur-umur!"

    "Kalau... kalau kalian memang bersedia mem-

berikan pengampunan dan ingin berjuang bersama,

aku rasa memang inilah  kesempatan bagiku untuk

menebus dosa...."

    "Berdirilah  suhu, mari kita atur rencana," kata

Bwe Hun  pula seraya  memegang  bahu Kiat Bo

Hosiang dan memungut senjata  kakek ini.

    Menurut Kiat  Bo Hosiang yang paling tahu seluk

beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah sulit untuk

menumpas habis pasukan-pasukan Mongol  yang

kuat dan  banyak  disekitar perbatasan. Sebenarnya

bala tentara Mongol bukanlah apa-apa jika  saja

mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang

yang mengatur semua kekuatan itu, yang sekaligus

menjadi pengatur dari segala kegiatan penjajahan.

Pusat kekuatan dan pengaturan ini terletak di  kota



Ansi, tak berapa jauh dari perbatasan. Di sini terdapat

sebuah gedung besar yang merupakan markas dari

pada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari "arsitek" dan

"pelaksana" pejajahan. Mereka adalah orang-orang

yang berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho

sebagai kepala dan wakil Raja Mongol, lalu seorang

jenderal bernama Karfi Khan, kemudian Penghu,

sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti

Tangan Kidal dan kira-kira selusin perwira-perwira

tinggi yang lihay.

    "Terus terang saja, sebelumnya aku pun menjadi

salah seorang diantara mereka di sana.  Namun

syukur kalian telah membuka kedua  mataku.  Jika

kita sanggup mengobrak-abrik markas  mereka itu

dan membunuh semua tokoh yang ada di situ kukira

hancurlah induk  kekuatan kaum penjajah Mongol.

Balatentara Mongol yang banyak tak ada artinya. Tak

lebih dari serombongan anak ayam yang kehilangan

induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa prajurit-

prajurit Mongol telah muak dengan peperangan apa-

lagi  kekejaman-kekejaman yang  lewat  batas  ke-

manusiaan yang  selama ini diperlihatkan oleh  pim-

pinan mereka. Cuma satu hal yang  diperhatikan,

markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"

    Sesaat semua orang terdiam setelah mendengar

keterangan Kiat Bo Hosjang itu.

    "Bagaimana...?" Bwe Hun bertanya.

    "Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.

    "Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.

    'Bagus!  Sebaiknya  kita berangkat sekarang

juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh semua

orang. Maka keempat menusia berkepandaian tinggi

itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau

tadi di tempat itu suasananya hiruk-pikuk maka kini

jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di sana

sini bertebaran puluhan mayat.


************



BAB 11


SETELAH  melakukan perjalanan yang cukup sulit 

hampir  selama dua  minggu akhirnya mereka sampai 

juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan 

Tiongkok pertama yang direbut oleh bangsa Mongol 

sewaktu pecah perang. Karena terletak di daerah yang 

kini dikuasai bangsa Mongol maka  suasananya tenang 

dan aman,  tak banyak prajurit-prajurit  yang kelihatan 

berkeliaran. Namun adalah berbahaya bagi Thian Ong, 

Wiro dan Bwe Hun untuk memperlihatkan diri dan 

memasuki kota pada siang hari sekalipun mereka 

bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk 

setempat  dianggap sebagai salah satu tokoh pimpinan 

bangsa Mongol. Maka  mereka mengatur  rencana dan 

baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.

    Bila senja berganti dengan malam, gedung besar

yang menjadi markas para tokoh Mongol kelihatan

terang dan tenang. Di pintu depan lima orang penga-

wal asyik bercakap-cakap sedang lainnya melakukan

perondaan sekeliling tembok halaman. Tadi sudah

dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun

untuk gedung penting seperti markas itu tentu saja

harus mendapat pengawal yang cukup terjamin.

    Di dalam gedung, pada sebuah ruangan besar

empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi

meja.  Mereka adalah Pengho di kepala meja, Jen-

deral Karfi Khan di kepala meja yang lain, lalu Penghu

 sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Ta-

ngan Kidal ditambah 10 orang perwira tinggi bangsa

 Mongol.

    Satu jam yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti

 baru  saja kembali dan  langsung  mengumpulkan

 orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan.

 Yang jelas tentu saja Pengho menuturkan apa yang

telah  terjadi  dua minggu lalu  antara dia dan murid

 Ik Bo Hosiang.

    "Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih bahaya

 adalah konconya, seorang pemuda asing berambut

 gondrong," berkata Pengho.

    "Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya

 Jenderal Karfl Khan.



"Entahlah,  kami tinggalkan saja dia sendirian.

 Mungkin sudah mampus di tangan muridnya sendiri

 atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis

 Sakti.

    "Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak begitu

 senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.

    Setelah membicarakan susunan dan keadaan

 pasukan  Mongol di  beberapa tempat di selatan,

 Pengho kemudian berkata: "Dengan adanya penga-

 cau-pengacau seperti Thian Ong dan pemuda asing

 serta  gadis murid  Kiat Bo Hosiang  itu  pasti  akan

 banyak mempengaruhi keadaan  kita. Dalam per-

jalanan kemari  aku dan Pengemis Sakti telah mem-

 bicarakan rencana untuk mendatangkan beberapa

tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau sam-

pai Ik  Bo Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita

 akan semakin sulit. Kita basmi dulu tiga kurcaci itu,

 soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan ratusan

 pasukan dan dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti

 kita masakan Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dan

 puncak Longsan?! AKU hanya menunggu persetuju-

 an dari para hohan di sini saja.'  (Hohan = orang

 gagah).

     Kurasa semua kita di sini dengan  menyetujui

 rencana  Pengho  lo  enghiong  dan  Wanglie  lo

 enghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.

    "Terima kasih kalau begitu aku  dan Pengemis

 Sakti akan berangkat bes....

    Pengho  tak meneruskan kata-katanya karena

 saat  itu matanya  melihat alat rahasia yang terletak

 di dinding bergerak-gerak.

    Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru

 Pengho.

    Orang-orang yang ada dalam ruangan pertemu-

 an itu  serta merta melompat dari  kursi masing-

 masing  dan hunus  senjata  Pada  saat itu pintu

 ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Kiat  Bo

 Hosiang.

    "Eh, bukankah kau  sudah mampus  di tangan

murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.

    "Belum,  masih belum Pengho  lo  enghiong,"

sahut Kiat  Bo Hosiang.

    "Jadi kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang

muda lihay itu?!"  Pengemis Sakti kini yang ajukan



pertanyaan.

   Sebelum Kiat  Bo Hosiang sempat  menjawab

Pengho  kembali buka  mulut: "Apakah kau  masih

 punya muka untuk kembali kemari?!"

    "Ah soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu

 atau muka siapapun di  ruangan ini tidak lebih baik

 dari mukaku!"

    "Wah kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!"

 tukas Jenderal Karfi Khan. Sementara Pengho me-

 lirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat

 itu  masih kelihatan bergerak sedikit.

    "Ketahuilah aku datang bukan sebagai Kiat Bo

 Hosiang  yang dulu. Selama ini kalian orang-orang

 Mongol telah memperdayaiku, membujuk dan me-

 rayu hingga aku lupa daratan dan menindas, me-

 musnahkan bangsa sendiri!"

    "Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa

 maumu sebenarnya," membentak Pengho.

    "Kalian kaum  penjajah terkutuk hari ini  harus

 bertanggung jawab atas  kejahatan dan kekejian apa

 yang telah kalian  lakukan terhadap tanah air dan

 bangsaku!" Habis  berkata begitu Kiat bo Hosiang

 lantas cabut tongkat bajanya lalu berseru: "Kawan-

 kawan silahkan turuni"

    Serentak dengan itu terdengar suara ribut di atas

atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol dan tiga sosok

tubuh melayang turun  dalam gerakan yang  sebat

 luar biasa!

    "Kurang ajar!' teriak  Pengho. Dia sudah maklum

siapa-siapa adanya tiga  manusia yang masuk me-

nerobos itu karenanya segera  saja dia hantamkan

kedua tangannya  ke atas. Dua larik sinar  hitam

menderu memapaki Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro

Sableng yang tengah melayang di udara.

    Terdengar suara tertawa Thian Ong disusul de-

ngan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke kiri dan

laksana seekor naga dia  menukik ke arah  Pengho

sambil lancarkan satu jotosan. Tokoh dari Mongol

ini cepat membuang diri ke samping  hingga serang-

an lawan mengenai tempat kosong.

    Di atas sana pukulan sinar hitam Pengho telah

menghancur leburkan atap ruangan sementara Pen-

dekar 212 Wiro Sableng yang membalas  dengan

pukulan sinar matahari telah membuat lantai ruangan 



hangus retak-retak, ubinnya pecah bermentalan!

    "Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau dan

Jenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo Hosiang

itu. Wanglie locianpwe kau pimpin lima perwira tinggi

menghadapi bangsat berambut gondrong. Aku sen-

diri akan  mencincang  bangsat pengkhianat ular

kepala dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas

kepung gadis binal baju  hijau itu!"

    Pengho sengaja mencari lawan dan menghadapi

Kiat Bo Hosiang karena  dia merasa jerih terhadap

Thian Ong apalagi Wiro Sableng.

    Di  dalam ruangan  besar  yang sudah porak

poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat

seru!

    Dengan sebilah pedang berwarna ungu, Pengho

mengamuk yang  dilayani oleh Kiat  Bo Hosiang

dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus

saja Kiat Bo Hosiang segera terdesak hebat!

    Li Bwe Hun yang menghadapi lima pengeroyok

tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-penge-

royoknya terdiri dari perwira-perwira berkepandaian

tinggi namun dengan mainkan jurus-jurus ilmu tong-

kat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tem-

po enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok

bergeletakan mandi darah.

    Pada saat gadis ini hendak menolong suhunya

yang tengah didesak hebat oleh Pengho, tiba-tiba

dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpin

oleh  seorang perwira tinggi. Terpaksa  Bwe  Hun

menghadapi  mereka lebih dahulu.  Setelah meng-

amuk hampir sepuluh jurus dan membuat lawan

roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup ambil

langkah seribu, maka Bwe Hun menerjang ke depan

membantu suhunya.

   Dalam keadaan terdesak tadi, Kiat Bo Hosiang

telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu

ilmu tongkat garuda sakti atau "sin-eng thunghoat".

Namun Pengho yang jauh lebih tinggi tingkat kepan-

daiannya hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh

ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah meng-

gebu-gebu kembali melabrak ke arah  lawan dan di

satu kesempatan berhasil membabat bahu kiri Kiat

Bo Hosiang hingga putus  buntung  dan darah menyerbu!

   "Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan  kalap gadis ini

menyerbu  ke arah Pengho  sementara  Kiat  Bo

Hosiang menotok bahunya  di beberapa tempat hing-

ga darah berhenti  memancur kemudian  dengan

gagah berani kembali dia menghadapi Pengho, bahu

membahu dengan muridnya.

    "Bagus! Kalian datang berdua! Hingga aku tak

susah-susah membunuh guru dan murid sekaligus!"

seru Pengho dengan seringai  maut lalu kiblatkan

pedang  ungunya menghadapi dua lawan yang dia

yakin dapat dirobohkan dalam waktu singkat.

    Thian Ong  yang dikeroyok oleh jago-jago lihay

yakni Penghu (adik dari Pengho) dan Jenderal Kaili

Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot.  Hal ini

terutama karena dia sesekali masih saja kejangkitan

penyakit keblingernya  hingga  menghadapi  lawan

lebih banyak mempermainkan dan mengejek. Tetapi

ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di dada-

nya dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting

aneh ini baru sadar. Serta merta dia cabut sulingnya

dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liong-

san yang dipelajarinya selama  12  tahun dari Ik  Bo

Hosiang!

    Menghadapi ilmu silat yang tak pernah dilihatnya

sebelumnya, dengan sendirinya Penghu serta Jen-

deral Karfi Khan kebingungan.  Betapapun lihaynya

mereka  namun jurus demi jurus  keduanya mulai

terdesak. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran itu

tiba-tiba  Thian  Ong  keluarkan pekik nyaring. Se-

rentak dengan  itu tubuhnya berkelebat lenyap dan

tahu-tahu terdengarlah pekik Penghu.

    Tubuhnya  mencelat lima langkah.  Keningnya

kelihatan berlubang dan mengucurkan darah. Sekali

lagi adik dari Pengho ini berteriak mengerikan lalu

roboh. Thian Ong  telah menghantam  keningnya

dengan  suling  hingga  berlobang  dan membuat

nyawanya lepas.

    Melihat adiknya mati Pengho menggembor ma-

rah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang hebat

dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat

Bo  Hosiang. Kakek ini terjungkal  dihantam ten-

dangannya   dan  selagi  sempoyongan  pedang

Pengho cepat menebas lehernya hingga Kiat Bo mati



dengan kepala menggelinding!

    Li Bwe Hun terpekik  ngeri melihat kematian

suhunya itu. Dengan kalap tanpa mempertimbang-

kan lagi  kemampuan sendiri dia menyerbu Pengho

seorang  diri. Tapi sekali Pengho gerakkan pedang-

nya maka patah mentallah pedang di tangan si nona.

Dilain saat  senjata Pengho membacok ganas ke

kepala si nona  tanpa dapat  dikelit lagi ataupun

ditangkis oleh Bwe Hun.

    Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat sesosok

tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho

yang tengah turun dengan deras. Pengho melengak

kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa yang dilemparkan

karena saking cepatnya lemparan dan di samping

itu dia tak dapat pula menahan turunnya pedangnya.

    "Cras!"

    Pedang Pengho membacok tepat di pertengah-

an tubuh yang terlempar. Terdengar jeritan,  tubuh

itu terhampar ke lantai tak  berkutik lagi dengan

pinggang terbabat putus.  Ketika  diperhatikan ter-

nyata dia bukan lain adalah Wanglie alias Pengemis

Sakti Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan

tertegun sedang  Pengho dengan muka pucat ber-

paling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat

itu asyik "menggebuki" perwira-perwira Mongol yang

tengah mengeroyoknya!

    Apakah sebenarnya yang telah terjadi?

    Seperti diketahui sebelumnya Pengemis Sakti

Tangan Kidal bersama dengan lima perwira tinggi

Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima

perwira ini adalah lebih lihay dari lima perwira lain

yang mengeroyok Bwe Hun hingga dipimpin  oleh

Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro ka-

lang kabut. Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat

yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang  Akhirat

Long-sam-kun  maka dalam satu gebrakan saja dia

berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia

menendang mental  perwira  yang ketiga matanya

yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho tengah

melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala

Bwe Hun tanpa si gadis bisa berkata apa-apa.

    Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan Kidal

kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya ke

arah ulu hati Wiro. Dengan mainkan jurus bernama "lo-han-ciang-yau" atau malaikat menundukkan silu-

man, Wiro sambar lengan kiri  Pengemis Sakti dan

tarik demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar

di  atas kepalanya lalu dilempar ke arah Pengho.

Seperti yang diperhitungkan  oleh Wiro dan malang

bagi Pengemis Sakti,  tubuh kakek-kakek itu ter-

lempar tepat antara kepala  dan bacokan pedang

hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho

menghantamnya tepat di pinggang I

    Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah kau

sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek

pendekar sableng ini lalu tertawa gelak-gelak. Se-

mentara Thian Ong mendengar suara tertawa  kam-

bratnya  itu ikut-ikutan pula tertawa dan  membuat

gerakan yang bernama "koay-liong-hoan-in"  atau

naga aneh berjumpalitan. Tubuhnya seperti terjung-

kal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendang

ke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu

suling di tangan kanan memburu  dengan cepat.

Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi Khan

sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian

Ong hingga ususnya berbusaian keluar!

    Dengan matinya  Jenderal Karfi Khan  maka kini

Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini

membuat nyalinya lumer. Tanpa tunggu lebih  lama

dia segera melompat ke pintu.

    Wiro memburu disusul oleh Thian Ong.

    "Biang racun anjing penjajah kau mau kabur ke

mana!" teriak Thian Ong.

    Saat itu, sebelum keluar ruangan  menghambur

lari, Pengho masih sempat  pergunakan tangannya

untuk memutar sebuah tapel (ukiran  kayu) kepala

manusia di  dinding  dekat  pintu. Serta merta ter-

dengarlah suara mendesir di Seantero ruangan.

    "Awas senjata rahasia!" teriak  Wiro  memper-

ingatkan.

    "Lekas tiarap!" seru Thian Ong.

    Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan

diri di lantai ruangan.  Detik itu pula dari empat

tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah se-

ratus  pisau  terbang berwarna hijau gelap. Bagai-

manapun lihaynya seseorang, jika berdiri di tengah

ruangan pastilah tak bakal  dapat menyelamatkan

jiwanya!



Begitu serangan  pisau terbang berhenti, Wiro

cepat melompat ke atas atap yang bobol. Dia sampai

di sana dalam waktu yang tepat karena masih sempat

melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap

gedung sebelah kiri. Wiro  segera memburu  dan

dalam waktu singkat berhasil menyusul  pentolan

kelas  wahid gembong penjahat itu.

    Pengho sadar dia tak akan bisa menang meng-

hadapi Pendekar 212, tapi lari  pun tak  mungkin.

Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan di

atas genteng yakni Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si

nona  belum apa-apa lantas saja sudah menyerang-

nya dengan sebuah golok besar yang diketahuinya

adalah milik  Jenderal Karfi Khan.

    Tak ada  hal lain  yang bisa dilakukan Pengho

daripada melawan mati-matian.  Sebenarnya dalam

tingkat ilmu  kepandaian jelas sekali Bwe Hun jauh

tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol itu. Namun

saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau

takut dan gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia

senantiasa mengintai kelengahan lawan untuk me-

larikan diri.  Dalam pada itu Thian Ong  dan Wiro

meskipun tidak langsung turut  pula ambil bagian

dalam pertempuran.

    Setiap Pengho mendesak Bwe Hun atau lancar-

kan serangan berbahaya maka tahu-tahu pantatnya

ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang

Wiro menjambak rambutnya atau  menarik turun

celananya. Sambil berbuat begitu kedua  pemuda

sableng itu tertawa-tawa tiada henti.

    Akhirnya  dalam  keadaan penasaran,  Pengho

pergunakan pedangnya untuk tusuk  dadanya sen-

diri! Tokoh utama dari Mongol  ini roboh, terguling

dari atas genteng, jatuh ke tanah dengan  pedang

masih menancap di dadanya!

    Penyerbuan  Thian Ong,  Wiro Sableng,  Li Bwe

Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar pentolan-

pentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul

menggemparkan baik empat kalangan Pemerintah

Mongol maupun Pemerintah Tiongkok.

    Kalau  orang Mongol merasa sangat terpukul

maka pihak Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribu-

an tentara Tiongkok  dua  minggu kemudian me-

nyerbu ke perbatasan. Dan betullah seperti kata-kata mendiang Kiat Bo Hosiang. Jika markas  sumber

kekuatan penjajah itu dihancurkan maka balatentara

Mongol meskipun berjumlah  besar namun tak lebih

dari anak-anak  ayam yang  kehilangan  induknya.

Seluruh kekuatan Mongol disapu bersih dan bumi

Tiongkok bebas lepas dari  kaum  penjajah yang

selama ini telah mendatangkan 1001 macam  keseng-

saraan di kalangan rakyat.  Namun agaknya tugas

Song Thian Ong dan Li Bwee Hun  masih belum

selesai karena di selatan masih banyak pemimpin-

pemimpin yang tak tahu diri yang perlu disingkirkan.

Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula

melakukan petualangannya.


                                                TAMAT


Penulis : Bastian Tito


Creatid : matjenuh channel


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive