Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Senin, 20 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - RAHASIA LUKISAN TELANJANG


https://matjenuh-channel.blogspot.com




SATU
LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar 
megah. Serombongan burung-burung pipit berarak 
dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. 
Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung 
seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata–
hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia 
bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya 
menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila 
seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara 
siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan 
maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan 
lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar 
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. 
Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia meman–
dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang 
dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara 
dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa pen–
jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular 
besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena 
ditimpa sinar matahari. 
Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya 
dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. 
Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia 
melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan 
mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam 
sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia 
berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat 
tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan 
menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. 
Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, 
Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit 
sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam 
terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana 
jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun 
dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia! 
Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng 
berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk men–
cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya 
kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak 
ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup! 
Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang 
tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil 
duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah 
pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan–
jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu 
disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai 
daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan 
kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. 
Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di 
hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan 
kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar–
na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan 
cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di 
atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak me–
ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ. 
Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara. 
Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya 
dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa 
terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian 
di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat 
gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas 
tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si 
orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga 
aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di 
atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah 
teriknya sinar matahari! 
Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk 
tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng 
melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang 
tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti 
lukisannya. 
“Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan 
senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti 
perempuan. 
Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua 
telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring 
di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. 
Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela 
ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang 
tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau 
tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan 
itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta 
yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang 
dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan 
senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat 
lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir 
Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini? 
Sementara itu si orang tua kelihatan menambah 
beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memper–
hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian 
kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. 
Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin 
tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng 
hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di 
kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta 
meningkahi derap kaki-kaki kuda. 
Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih 
yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. 
Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang 
kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan. 
Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. 
Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan 
derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan 
tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak 
berpaling. Apakah dia tuli? 
Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari 
kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang 
tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si 
orang tua. 
“Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta 
bisa lewat.” 
Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan–
nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan–
jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah 
kanan lukisan. 
Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia 
melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras 
disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua 
tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun 
tidak! 
Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. 
“Pengawal, ada apakah kereta berhenti?” 
“Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” 
jawab prajurit yang turun dari kuda. 
Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang 
laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan 
belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini 
membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka 
tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. 
Digeleng-gelengkan kepalanya. 
“Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata laki-
laki ini. 
Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong 
itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki 
berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi 
pekerjaannya.“Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. 
Apakah kau sudi menjualnya?” 
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap 
orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan 
pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan 
tersenyum lagi. 
“Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi 
sayang, lukisan ini bukan untuk dijual...” 
Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu. 
“Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja 
harganya...” 
Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. 
“Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. 
Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.” 
“Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata 
Raden Mas Cokro. 
“Menyesal sekali...” 
“Akan kubeli lima puluh ringgit.” 
“Maaf Raden Mas...” 
“Seratus ringgit!” 
“Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun 
tak dapat kukabulkan Raden Mas...” 
“Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” 
Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain 
dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling 
pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu 
bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga 
yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak 
sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati 
keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si 
orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya! 
“Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya 
mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang 
ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. 
Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. 
“Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat 
kujual Raden Mas. Mohon maafmu...”Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan 
sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, “Apa dengan 
harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada 
Adipati Pamekasan?” 
“Ah...” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya 
aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” 
katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, 
“Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati 
Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, 
lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan 
buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau 
tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa 
Raden Mas...” 
Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. 
Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke 
dalam kereta. 
“Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, 
orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas 
Cokro lewat jendela kereta. 
Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia 
menjawab, “Aku seorang pengembara luntang lantung, 
Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. 
Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku 
akan antarkan sendiri ke Pamekasan...” 
Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–
ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–
kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! 
Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan 
pekerjaannya. 
Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan 
garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! 
Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. 
Betul-betul manusia ini aneh sekali! 
Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang 
berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok 
tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. 
Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini 
tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng 
memperhatikan dengan seksama. 
Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. 
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi 
satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang 
dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada 
terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak 
sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak 
itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak 
bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning 
kelihatan menjorok ke luar. 
“Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus 
luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola 
matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang 
tersandar di batu. 
Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya 
tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-
kata pada bagian bawah kanan lukisan itu. 
“Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata 
si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–
dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam 
jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! 
Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–
dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah 
mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya 
di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi 
tiada diambil perhatian oleh si orang tua! 
“Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” 
bentak si gemuk. 
Barulah orang tua itu berpaling. 
Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik 
ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit 
senyum tersungging di bibirnya. 
“Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini 
aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis 
Dari Selatan?”

DUA 

SiGEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau 
orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. 
Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan 
manusia sembarangan. 
“Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini 
membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan 
itu padamu!” 
Si orang tua tertawa panjang. 
Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan 
di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti 
bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang 
berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. 
Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk 
pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis 
Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan 
dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-
duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari 
Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir 
Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang 
muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah 
tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga 
pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping 
berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengum–
pulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, 
patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan 
yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan 
dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu saja bukan 
dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu 
kekerasan.Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka 
menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan 
padamu, atau pada siapapun.” 
“Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” 
ujar Iblis Gemuk. 
“Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. 
Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua 
memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan 
pekerjaannya. 
Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. 
“Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan 
padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...!” 
Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa menga–
cuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali 
pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki 
kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi 
belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan 
berdiri. 
Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakan–
nya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah 
satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak 
mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah 
marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah 
dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! 
“Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai 
marah, “Lekas kau pergi dari sini...!” 
“Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu 
pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!” 
Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan 
dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk 
menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran 
angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan 
saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus 
membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat 
lahgkah ke belakang! 
“Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa 
kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk.Si orang tua tertawa pendek. 
“Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat 
ini sebelum aku betul-betul marah!” 
“Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di 
badanmu kubikin berantakan!” 
Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke 
muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo 
yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di 
tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, 
menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja 
membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpele–
set, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! 
Pertempuran telah berjalan delapan jurus. 
Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua 
yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian 
sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa 
orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan 
tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergu–
nakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian 
polosnya sehingga menghadapi lawan yang terang-
terangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih 
belum mau lepaskan tangan keras! 
“Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat 
kaki dari sini?!” 
“Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung 
Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya 
menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan 
serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi 
pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah 
menderu dahsyat! 
Buukk! 
Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis 
Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam 
gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk, kemu–
dian melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-
megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke 
samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya. 
“Masih belum cukup peringatan yang kuberikan 
padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. 
Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah 
dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat 
pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! 
“Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis 
Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu!” 
Si orang tua tertawa mengekeh. 
“Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...? 
Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku 
hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun 
belum selesai!” 
Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggal–
kan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi 
apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! 
Di atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya 
berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang 
berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak 
entah dari mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng meli–
hat di bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berba–
dan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. 
Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan 
perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian 
yang tinggi luar biasa! 
Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar 
di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur 
bertanya, “Orang tua, apakah kau melihat dua orang 
kawanku lewat di sini...?” 
Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka 
orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Mata–
nya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksa–
ma sedang keningnya berkerenyit. 
“Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab 
si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau 
maksudkan?” 
“Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuat–
nya?” 
“Betul.” 
“Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka 
lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan 
menyerahkannya padaku! Kau dengar?” 
“Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak 
bisa kuberikan pada siapa-siapa!” 
“Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok. 
“Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak 
ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut! 
Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada 
tanggal satu bulan di muka!” 
“Tidak mungkin!” 
“Kau membantah?!” 
Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. 
“Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!” 
“Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!” 
“Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak 
berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus 
ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. 
Tetap saja aku tak bisa memberikan!” 
“Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si 
perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap 
untuk kirimkan satu pukulan. 
“Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus. 
“Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu 
menginginkan lukisan itu?!” 
“Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per–
kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!” 
“Lucu! Sungguh lucu!” 
“Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk 
bermuka keriput. 
“Lukisan begini rupa banyak orang yang meng–
inginkannya, apa itu bukan lucu?!” 
“Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah–
kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!” Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan 
kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk 
sembunyi sejak tadi! 
Byur! 
Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu 
besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon 
tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam 
jurang dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu 
merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan 
berpindah ke puncak batu yang lain! 
Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-
gelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Puku–
lan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya 
paras perempuan di hadapannya. “Sungguh mataku yang 
telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku 
masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja
yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-
betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang 
terkenal itu!” 
Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak 
mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. 
Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak–
Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi 
dilepaskannya! 
“Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, 
apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan 
lukisan itu?!” 
“Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah 
semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia 
yang berhati luhur?” 
Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu. 
“Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya. 
Si orang tua geleng-gelengkan kepala. 
“Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu 
nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap 
sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!” 
“Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut 
Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat 
menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di 
batu. 
Namun mendadak sontak perempuan tua itu 
merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang 
kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu 
sentilan ujung jari ke arahnya! 
“Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking 
Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia 
segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan 
menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini 
lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan 
Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat 
cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan 
lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil 
berhamburan, debu jalanan beterbangan. 
Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berke–
dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap 
pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar 
biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi 
lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat 
sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke 
tepi jurang! 
“Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini 
secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar 
jurang sana!” 
Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia 
melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan 
satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam–
ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di 
hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-
keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal 
ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. 
Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap 
saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih 
kebingungan sendiri!Bret! 
Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang 
robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di 
hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa 
dan menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas 
tinggalkan tempat ini!” 
Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. 
Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua 
keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tan–
dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, 
Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari 
dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun 
aku akan ladeni kau.” 
Si orang tua ganda tertawa. 
“Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya 
“Berlalulah...!” 
“Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah 
kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan 
kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang 
tua!” 
“Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa 
minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi 
Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari 
tempat itu! 
Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan 
sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar 
seruan nyaring, “Orang

TIGA

TERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis 
Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua 
berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, 
tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus 
luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan 
tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis 
seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini 
pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia 
bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak 
seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki 
ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis 
Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya 
itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang 
tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelum–
nya! 
Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung 
untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan 
nyaring itu segera berdiri. 
“Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis 
Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus. 
Iblis Kurus memandang mencemooh. 
“Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani 
turunkan tangan lancang terhadapmu?!” 
“Betul, memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. 
Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang 
tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. 
Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan menginginkannya. 
“Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku 
menjadi luntur!” 
Si orang tua tertawa dingin. 
“Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis 
Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain...” 
“Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar 
dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!” ujar 
Iblis Gemuk. 
Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung 
besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan 
kakakmu ini, bukan?!” 
“Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih 
bisa bicara sombong!” 
Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, 
“Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. 
Antara kita tak ada permusuhan...” 
“Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, 
apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis 
Kurus. 
“Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan 
nada sabar. “Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia 
memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku 
memberi sedikit pelajaran padanya?!” 
“Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan 
seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis 
Gemuk. 
Si orang tua tertawa mengejek. 
“Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya. 
“Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” 
Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. 
“Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu 
pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak 
akan bikin urusan menjadi panjang!” 
Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. 
“Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak 
manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya 
terhadap orang lain...”“Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak 
Iblis Kurus. “Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku 
tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau 
julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” 
Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya 
bernada rawan. 
“Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu 
namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan 
tidak bernama...” 
“Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis 
Kurus sambil maju satu langkah. 
Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu 
keluarkan serangkaian nyanyian: 
Puluhan tahun mengembara
Tiada berumah tiada bertempat tinggal
Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan 
Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah?
Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari 
Selatan. Mereka saling pandang sejenak. 
“Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini 
malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar Iblis 
Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya 
manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut 
Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh adanya 
mengusap-usap dagunya. 
“Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan 
akan berhadapan dengan Si Pelukis Aneh akan pasrahkan 
jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh tertawa panjang-
panjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pan–
tangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain 
hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?!” 
“Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!” 
teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke 
muka. 
Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya 
sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu 
silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya 
sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana 
hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh! 
Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin 
terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis 
Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan 
telanjang yang tersandar di batu! 
Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih 
sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka 
dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh 
dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu 
tendangan ke arah Iblis Gemuk. 
Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengam–
bil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin 
tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! 
Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, 
maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua ten–
dangan, dua pukulan! 
Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan 
silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu 
sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. 
Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan 
desakan serangan yang hebat sekali membuat dia 
selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak 
hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan 
dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada 
dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan 
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia 
masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi 
sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! 
Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama se–
akan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak 
bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus 
pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat 
dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap 
dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berha–
dapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia 
terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke 
samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang 
semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima 
belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa 
langkah saja lagi di belakangnya! 
“Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. 
Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi 
sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang 
sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari 
balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi 
bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan 
dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu 
sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si 
Pelukis Aneh! 
Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis 
Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran 
angin yang deras datang menerpanya dari belakang! 
Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang 
mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan 
cepat memutar badan menghadapi serangan pedang 
berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! 
Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk 
melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu 
dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya 
sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk. 
Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi 
penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak 
batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak 
jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah 
berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah 
pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia 
meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan 
untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai 
senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya 
dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar 
sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras 
luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis 
Gemuk dan Iblis Kurus! 
Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung 
ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengelu–
arkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. 
“Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku 
mau lihat!” seru Si Pelukis Aneh. Daun pisang di tangannya 
bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap 
jurus serangan yang dilancarkan. 
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi 
leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di 
tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun 
pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan 
demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata 
namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang 
itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benar-
benar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! 
Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba 
terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di 
tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. 
Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai 
beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi 
jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba 
memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi 
jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam 
yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama 
sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang 
batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke 
dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian 
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya 
melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di 
dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis 
Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! 
Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui 
kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia 
tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama 
Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu! 
Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang 
Iblis Kurus yang menggeletak di tanah. 
“Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih 
lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan 
pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! 
Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis 
Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada 
dadanya! 
Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! 
Si Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas 
dalam-dalam lalu dia duduk menjelapok di tanah dan 
memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan 
kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi 
di atas batu tinggi harap turun!” 
Kagetlah Wiro Sableng. 
Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa 
sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan 
melompat turun.

EMPAT


PENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki 
di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu 
dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–
ura dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali 
dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan 
penjuru angin.” 
Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan 
yang tengah dipandangnya. 
“Siapa namamu...?” 
“Wiro.” 
“Apa kau punya gelar?” 
Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab 
dengan gelengan kepala. 
Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau 
sembunyi di atas batu sana?” 
“Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.” 
“Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya.” 
Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah 
dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang 
lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. 
“Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si 
Pelukis Aneh. 
“Bagus luar biasa,” jawab Wiro Sableng. 
Si Pelukis Aneh tertawa pendek. 
“Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau 
menerimanya...?” 
Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–
war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak 
menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih 
dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya 
atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis 
Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu 
kepadanya! 
Wiro menjawab, “Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku 
yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu 
yang bagus luar biasa ini?!” 
Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya. 
“Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” 
berkata Si Pelukis Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu 
belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?” 
Wiro anggukkan kepala. 
“Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh 
daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya 
buruk?” 
Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat 
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan 
dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian 
menunjuk ke arah gunung itu. 
“Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?” 
“Ya... ya..., aku lihat.” 
“Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. 
Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak 
lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak 
belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.” 
Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu 
kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang 
muda?” 
Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. 
Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan 
marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. 
Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-
senyum, “Pengalaman adalah guru yang paling baik dan 
bijaksana bagi setiap manusia...” 
Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras 
si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang–lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung 
dan jurang batu. 
“Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak 
akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi 
akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit 
sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. 
Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat 
macammu, Wiro!” 
Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut 
‘bocah’. Maka bertanyalah Wiro, “Pelukis Aneh, siapakah 
yang kau maksudkan dengan bocah itu?” 
“Calon muridku!” jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian 
ditelitinya lukisan di hadapannya. 
Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan 
perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. 
Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. 
Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga. 
“Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli 
lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak 
menjualnya?” tanya Wiro. 
Si Pelukis Aneh tertawa. 
“Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.” katanya. 
Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu 
memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh 
telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya 
bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah 
sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: 
Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira 
Prakarsa.
Wiro manggut-manggut 
“Calon muridmu itu, di manakah sekarang?” 
“Tentu saja di rumahnya.” sahut Si Pelukis Aneh. 
“Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas 
tahun baru dia kuambil jadi murid.” 
“Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak 
kau serahkan padanya?” tanya Wiro tak mengerti, 
“Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda.” 
Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, 
pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan 
ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” 
Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu 
bodoh.” jawabnya. “Sekarang saja orang-orang jahat sudah 
pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan 
ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa 
berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.” 
“Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur 
duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut 
anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini 
macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak 
pada tempatnya...?!” 
Si Pelukis Aneh tertawa. 
“Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu 
seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan 
dunia, kita manusia ini tahu apa?!” 
Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang 
pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat 
aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi 
gelar Si Pelukis Aneh kepadanya! 
“Wiro.” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba 
agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau 
pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau 
sebetulnya?” 
Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya 
terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah 
menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. 
Maka pendekar ini menjawab, “Manusia macamku ini 
berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” 
Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro 
Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di 
kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa 
perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 
212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mem–
pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di 
puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang 
malam bergerak cepat ke arah selatan. 
Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. 
Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah 
dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro 
memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit 
di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah 
berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana 
sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu 
lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng. 
Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang 
ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya 
menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! 
Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi 
yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya 
mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke 
gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik 
terhadap Si Pelukis Aneh. 
Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir 
begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan 
perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan 
olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 memba–
likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan. 
Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke 
tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya 
Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu! 
Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya 
laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada 
menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang 
terkatup rapat-rapat! 
“Terkutuk!” desis Pendekar 212. 
Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang 
menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini 
mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki 
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat 
dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang 
luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si 
Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. 
Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di 
tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa 
itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah 
kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini 
mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya 
sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan 
lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah 
terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis 
Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di 
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski 
menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si 
Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri 
salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya 
masih mencengkeran lengan itu! 
Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan 
perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari 
situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si 
Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri 
perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh 
meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia 
harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua 
itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat 
yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil 
tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa 
jauh dari tepi jurang. 
Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di 
sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-
camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut 
besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. 
Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini 
siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya 
tolol sekali! “Namamu tentu Wira.” tegur Pendekar 212. 
Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu 
memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis 
lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia 
sampai berada di tempat itu. 
Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak 
memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, 
calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-
main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian 
kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah 
seorang dari mereka langsung mendukungnya dan 
membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan 
orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di 
mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh 
calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia 
memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis 
Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning 
itu menyerang calon gurunya. 
Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu 
bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–
rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya 
membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! 
Wiro maklum kini apa yang telah terjadi. 
“Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” 
Wira Prakarsa menggeleng. 
“Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan 
sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan 
itu?” 
Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab 
dengan masih sesenggukan. “Yang mendukungku matanya 
cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, ber–
mata besar merah dan tak punya kuping...” 
Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu 
dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mende–
ngar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya. 
“Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini 
sebelum dia meninggal?” 
“Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam 
lukisan itu ada...” Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara. 
“Ada apa...?” tanya Wiro ingin tahu. 
“Tidak, tak ada apa-apanya.” Menyahuti si anak, lalu 
kembali dia menangis. 
Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di 
dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi 
satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon 
muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu 
rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan 
tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan 
perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua 
manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si 
Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. 
Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang 
terkandung dalam lukisan itu! 
Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur 
Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira 
Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke 
rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani 
miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya. 
“Wira,” kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si 
anak. “Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka 
aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikan–
nya padamu...” 
Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang 
tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak 
habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak 
yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat 
pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang 
tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang 
Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap. 
“Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak,” ujar Wiro 
dalam hati. “Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih 
sableng! Masih mending anak itu!” 

***

Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebo–
han. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin 
dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk 
mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung 
rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan 
itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti 
akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu 
terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang 
hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan 
penjuru angin! 
Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut 
Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh 
silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan 
sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu 
telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar 
hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telan–
jang yang mengandung rahasia besar itu!

LIMA

PENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara 
rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam 
sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan 
santar menggeledek membentaknya. 
“Berhenti!” 
Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia 
sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di 
hadapannya. 
Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke 
dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi 
kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu. 
“Dewa Tuak!” seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi 
juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah 
tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demi–
kian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa 
Tuak ini harap baca serial Pendekar 212 yang kedua yaitu: 
Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng menjura dalam-
dalam. 
Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu 
mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk 
tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya. 
Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak 
maka Dewa Tuak berkata, “Beratus hari mencarimu, saat 
ini baru bertemu!” 
Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih 
hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa 
menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya 
maka Wiro cepat-cepat bertanya, “Apakah kau masih juga 
hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...?”Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya 
beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-
lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman 
yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 
212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula 
gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah 
beratus hari dia mencari-cari dirinya? 
“Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! 
Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa 
gelak-gelak. 
“Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, 
Dewa Tuak?” 
“Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?” 
Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari 
lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan 
dunia persilatan waktu itu. 
Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan 
berkata, “Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat 
dalam mencari lukisan itu, orang muda?” 
Wiro terkejut. 
“Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri 
saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain 
tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu 
partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau 
juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang 
itu?!” 
“Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, 
Dewa Tuak...” 
“Eh, sangkut paut bagaimana?” tanya Dewa Tuak 
heran. 
Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si 
Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu 
calon murid Si Pelukis Aneh itu. 
Dewa Tuak menarik nafas panjang. 
“Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda. 
Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu 
kembali pada pemiliknya yang sah...”Keduanya berdiam diri sebentar. 
“Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang 
muridmu?” tanya Wiro. 
“Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada 
dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung 
sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh 
Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku 
bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengun–
durkan diri dari segala urusan duniawi.” 
Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa 
Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, 
berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu. 
“Sekarang marilah ikut aku,” kata Dewa Tuak. 
“Ikut ke mana Dewa Tuak?” 
“Ikut sajalah.” 
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau 
sendiri sudah maklum.” 
“Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang 
ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari 
itu!” ujar Dewa Tuak. 
Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya 
segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam 
rimba belantara yang jarang didatangi manusia! 
Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian 
rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat 
besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi 
sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya 
daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti 
di malam hari layaknya! 
Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang 
tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa 
Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah 
sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap 
rumbia. 
“Pondok siapakah itu?” tanya Wiro. 
Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu 
dengan suara perlahan dia berbisik, “Ikut aku dan jangan keluarkan suara!” 
Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang 
lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat 
di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara 
sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada 
pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat 
namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan 
tubuh pastilah atap itu akan roboh! 
Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati mem–
buat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar 
Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu 
lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke 
dalam pondok. 
Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula 
Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang meng–
intai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam 
legam berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua 
matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-
kamit. 
Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa 
adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya 
terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu 
menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan 
pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan 
dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-
nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut 
biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing 
memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok 
kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih 
kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan 
lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya 
di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu 
pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam! 
“Pemimpin!” ujar Nenek Rambut Biru, “Inilah bangsat-
bangsat yang kau inginkan itu!” 
Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin 
kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang menggeletak di muka kakinya. 
“Buka jalan suara mereka!” perintahnya. 
Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara 
kedua orang itu. 
Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari 
dua laki-laki itu membentak, “Iblis betina, kau rupanya 
yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan 
kawan-kawanku!” 
Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking. 
“Ketua Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian 
berdua jika kau beritahu di mana sarangnya Sepasang 
Elmaut Kuning!” 
Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang 
itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi 
sekali! Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek 
Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil 
menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya. 
“Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu?!” balas 
menanya Ketua Partai Angin Timur. 
“Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya setan?!” bentak 
Nenek Rambut Hitam. 
Plaak! 
Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda 
sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di 
lantai pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang 
bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi. 
Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena 
ditolok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki habis-
habisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut Ketua 
Partai Angin Timur dan menyentakkannya hingga laki-laki 
itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya! 
“Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut 
kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam. 
Ketua Partai Angin Timur mendengus! 
“Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak 
akan berhasil, iblis betina!” 
“Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?!”

Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. “Aku 
tidak tahu!” sahutnya. “Sekalipun tahu aku tak akan bilang 
padamu!” 
Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya 
tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan 
jari jari tangan kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit 
kesakitan dan memaki habis-habisan! Kawannya keluarkan 
keringat dingin. 
“Itu masih belum apa-apa,” ujar Nenek Rambut Hitam. 
“Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih kete–
rangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas 
katakan!” 
“Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak 
tahu letak sarangnya Sepasang Elmaut Kuning,” berkata 
kambrat Ketua Partai Angin Timur. 
“Kau tak usah berbacot!” bentak sang nenek. “Kalau 
dia tak tahu kau tentu tahu ya?!” 
Pucatlah wajah laki-laki itu. 
“Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan 
disiksa sampai setengah mampus!” teriak Nenek Rambut 
Biru. 
“Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing 
satu golongan, kenapa berbuat sejahat ini?” 
Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, “Kalau kau 
dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri 
keterangan!” 
“Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa 
kasih keterangan!” 
“Aku mau lihat!” ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia 
gerakkan tangan kanannya maka tanggallah lengan kiri 
Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana 
srigala lapar, mengerikan sekali! 
Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik. 
“Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk 
itu berjalan lebih lama!” kata Wiro. Dia bergerak cepat 
hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang 
tua yang memanggul dua buah bumbung bambu meme–gang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan 
suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata 
padanya tadi. 
“Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak 
beda dengan tiga orang nenek serta seorang kawannya itu! 
Mereka sama-sama dari golongan hitam tukang bikin 
kejahatan di dunia persilatan! Biar saja mereka saling 
bunuh! Kita menonton saja!” 
“Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan 
tak berdaya!” tukas Wiro Sableng. 
“Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja!” bentak Dewa 
Tuak pula. 
Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia mengintai 
lagi lewat lobang. 
“Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih keterangan?!” Si 
Nenek Rambut Hitam membentak. 
Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara 
raungan yang mengerikan! 
Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua 
Partai Angin Timur. 
“Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam 
kambratmu itu, bukan?!” 
Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa. 
“Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam...?” 
“Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat 
kediaman Sepasang Elmaut Kuning!” 
“Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut 
Hitam...” 
Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling 
pada anak buahnya. “Rambut Biru! Cungkil mata kirinya!” 
perintah Nenek Rambut Hitam. 
“Tobat! Jangan...!” teriak Jaliwarsa. 
“Kalau begitu lekas buka mulut!” sentak Nenek Rambut 
Hitam. 
Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap 
mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana 
letak sarang Sepasang Elmaut Kuning.“Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya!” bentak 
Nenek Rambut Hitam. 
Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka. Dua 
buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Ter–
dengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu 
mencelat bersama semburan darah yang disusul oleh 
suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila karena 
kesakitan!

ENAM 

PEREMPUAN iblis!” teriak ketua Partai Angin Timur 
yang menggeletak di lantai pondok. “Kalian bunuhlah 
kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang 
leher kalian!” 
Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh. 
“Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta 
mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak ber–
guna hidup lebih lama!” 
Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai 
Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya berge–
rak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke 
atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, “Tukang-
tukang intip keparat, terima ini!” 
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak 
sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah 
mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas 
atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping. 
Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh 
yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua 
Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon, 
pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa! 
Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, 
lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! 
Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk 
itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka 
Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam 
pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di 
sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan 
pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng 
meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik 
ketololan! Sedang masing-masing mereka sama kerenyi–
tkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua 
buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan 
apa mereka tak bisa menduga. 
“Siapa kau?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Dan kau 
juga?!” katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro 
Sableng. 
Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan meng–
angkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk 
isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu 
tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun ken–
cangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak 
itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga 
dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat kesem–
purnaannya! 
Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena 
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum 
bahwa si orang tua berjanggut itu bukan seorang yang bisa 
dianggap remeh maka dia cuma memandang saja dengan 
mata mendelik! 
“Sobat-sobatku,” kata Dewa Tuak kepada tiga orang 
nenek, “Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak lebih 
bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?” 
Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhati–
kannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian, 
“Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang 
bergelar Dewa Tuak?!” 
Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai 
ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa 
kali. 
“Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!” 
“Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari 
dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan 
tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau 
yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan telanjang itu?!” 
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. 
“Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang 
teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini 
bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan 
duniawi!” 
“Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak 
tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?!” 
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya 
disebul cecunguk hijau lalu tertawa geli! 
“Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani 
tertawa di hadapanku!” 
“Tertawa saja apa susahnya?!” ujar Wiro lalu tertawa 
lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat! 
Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak 
buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki 
tenaga dalam yang sehebat itu! 
“Kau tanyakan dia?” ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro 
dengan ibu jarinya. “Dia adalah calon mantuku yang tidak 
jadi!” Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua 
matanya berair. 
Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa 
Tuak. 
“Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!” 
Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka 
suara, “Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini 
tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua 
Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka 
akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang 
Sepasang Elmaut Kuning!” 
Nenek Rambut Putih menimpali, “Bukan tak mungkin 
pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, 
pemimpin!” 
Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek 
Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah, “Rambut 
Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, 
bekuk cecunguk hijau itu!”Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi 
kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh 
meringkus Dewa Tuak. 
“Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul 
tidak tahu adat!” gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepal 
menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang 
dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa 
Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan 
tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! 
Tapi Nenek Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! 
Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan 
keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertem–
puran yang hebat. 
Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi 
Wiro Sableng. Dengan memandang enteng dia lakukan 
serangan dan sekali menyerang dia yakin akan sanggup 
meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejut–
nya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah 
bahkan berkata mengejek, “Ah, jurus seperti ini telah 
kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!” 
“Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis 
Aneh?!” tanya Nenek Rambut Putih. 
Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek 
malah berkata, “Orang tua semacammu ini sepantasnya 
banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang 
melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam 
urusan duniawi!” 
“Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan 
hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda 
Berkiblat! Terimalah!” 
Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal 
bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya 
menotok ke dada, sedang lima jari kiri mencakar ke arah 
muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya 
hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya 
ialah totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan 
mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tangan akan ditambah dua kali lipat! 
Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu! 
Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia 
segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu 
ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah 
melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan 
kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng! 
Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang 
lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan 
kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si 
nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua tombak, 
mukanya pucat bahkan terkejut. 
Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga 
dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini 
adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika 
dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan nenek-
nenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro 
Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian 
dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa 
Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan 
dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. 
Segera dia berseru, “Kalian berdua jangan bikin malu aku! 
Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa 
meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!” 
Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan 
Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan 
setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu 
menyerang dengan lebih sebat! 
Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak 
ubahnya laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk 
sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat mem–
belit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah 
bahkan kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata! 
Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun 
Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, 
namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sang–
gup ke luar dari gulungan setagen lawan!“Setagen sialan,” gerendeng Pendekar 212. Baik dia 
maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi 
mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, 
maka setelah terdesak hebat dan terkurung setagen yang 
berbahaya itu, mereka mulai lancarkan serangan-serangan 
balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! 
Dalam tempo yang singkat lima jurus telah lewat. 
Nenek Rambut Hitam penasaran sekali melihat kedua 
anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masing-
masing, padahal tiga jurus yang ditentukannya telah 
berlalu! 
“Kalian berdua mundurlah!” bentaknya marah. 
Nenek Rambut Biru segera melompat mundur. Namun 
karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, 
dia menjadi sedikit lengah dan akibatnya ujung selendang–
nya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek! Dewa 
Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut 
Putih begitu melompat begitu dirasakannya sekujur 
tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya 
ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan 
setagennya sendiri! Pucatlah paras nenek tua ini. Dia 
maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali dan kalau 
bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena celaka! 
Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang 
itu. “Bagus!” katanya. “Rupanya kalian memiliki ilmu yang 
diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua 
atau seorang-seorang?!” 
Dewa Tuak mendengus. 
“Bagusnya berdua sekaligus biar lekas kubereskan!” 
Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya bebe–
rapa kali. 
“Dengar Rambut Hitam,” kata Dewa Tuak pula. “Main-
main dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. 
Lain kali saja kau kami hadapi...!” 
“Kentut tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali 
menghadapi Nenek Rambut Hitam!” 
Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada Wiro 

Sableng dan berkata, “Mari kita pergi!” 
Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah 
melompat ke hadapannya dan kirimkan satu serangan 
yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak 
bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan 
keras dan mukanya disambar cakaran dahsyat! 
Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek. 
“Dasar tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah 
membabi buta!” 
“Jangan banyak ribut setan tua! Makan jariku ini!” 
Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut Hitam menyerbu 
ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang 
lima jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. 
Angin serangan ini bukan main derasnya. Dewa Tuak 
memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak 
buahnya sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih 
berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar 
kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan 
Nenek Rambut Hitam! 
Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru, 
“Wiro kau layanilah perempuan bongkok jelek ini!” 
Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua nenek 
lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda. 
“Manusia-manusia keparat! Kau berani main-main 
terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam. 
“Siapa yang main-main? Kau tanya aku jawab!” sahut 
Dewa Tuak. 
“Apakah kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! 
Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” 
tanya Nenek Rambut Hitam. 
“Ah, perlu apa segala macam nama, segala macam 
gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua mau memberikan 
sedikit pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut Wiro pula. 
Meski Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia 
adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda 
itu memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga 
Geni 212! Sejak berbulan-bulan belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di 
dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk 
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Banyak tokoh silat 
golongan hitam yang berilmu tinggi mati konyol di 
tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit 
Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan 
pendekar muda ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam 
menjadi gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam 
dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka 
Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan 
berkata lantang, “Kalau kau tak punya nyali untuk 
menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari sini!” 
Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan 
itu tertawa dan berkata, “Aku yang tak punya nyali atau kau 
yang takut hadapi kawanku itu?” 
Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar. 
“Orang muda! Tadinya aku hanya berniat untuk 
meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau begitu berani 
menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini 
saja!” 
Sesudah berkata begitu si nenek menerjang ke muka. 
Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan serangan 
balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! 
Tenaga dalam si pemuda jauh lebih tinggi dari yang 
dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek Rambut Hitam 
tak sanggup lagi lancarkan serangan-serangan bahkan 
musti mempertahankan diri dan dalam jurus keempat 
terdesak hebat ke pojok pondok! 
Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya 
lenyap dan jurus permainan silatnya berubah sama sekali. 
Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki dan 
tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya 
berbahaya mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang 
dinamakan Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang 
telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang 
gurunya! 
Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patut dikagumi. Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng dibikin 
bingung dan musti berhati-hati. Meski ilmu meringankan 
tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun 
gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan 
pertahanannya! Dan dua jurus di muka satu hantaman 
telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada Pendekar 
212! 
Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia 
maklum kalau saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya 
dari si nenek pastilah dia akan mendapat luka di dalam 
yang amat berbahaya! 
Di lain pihak Nenek Rambut Hitam tidak kepalang 
tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan 
dan kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang 
lagi! Dan kembali Wiro Sableng terdesak! Dewa Tuak 
kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan Pende–
kar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia 
sudah dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri 
juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil memukul 
lawannya. Diam-diam dia merasa berada di atas angin kini! 
Tiba-tiba Wiro menyurut sejauh satu tombak. 
“Ha... ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?!” 
ejek Nenek Rambut Hitam. 
“Ah, jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau 
rasakan dulu pukulanku ini!” sahut Wiro. Serentak dengan 
itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke ujung 
tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. 
Didahului oleh satu bentakan nyaring, Wiro Sableng 
pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu memukul 
begitu jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! 
Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi! 
Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu 
merasakan gelombang angin keras laksana batu besar 
melanda ke arahnya. Sambil pukulkan kedua tangannya 
sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik 
lalu membuang diri ke samping! 
Braaak!Dinding pondok di belakang si nenek pecah dan 
berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam 
melihat kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya 
dia maju menghadapi lawannya kembali. Dan pada saat itu 
untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus 
pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek 
dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai 
tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat 
semakin mengendur. Bila dia tidak kuat lagi menghadapi 
pemuda itu maka tanpa malu-malu Nenek Rambut Hitam 
lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari 
rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia menyerang Wiro 
Sableng. 
Setelah bertempur dua jurus maka Wiro segera 
mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan 
si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan 
kanannya! Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-
tiba si nenek hentikan gerakannya dan memandang 
bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi! 
“Aku di sini, Rambut Hitam!” Terdengar suara Wiro di 
belakangnya! 
Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan secepat 
kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik 
maka, plaaak...! Telapak tangan kanan Wiro Sableng 
menghantam keningnya! Perempuan tua itu melengking 
kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pon–
dok. Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening 
sedang keningnya sakit bukan main! 
Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum 
pernah mereka melihat pemimpin mereka dihajar demikian 
rupa! Selama ini tak pernah seorang pun yang sanggup 
menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! 
Dan yang membuat mereka lebih terkejut lagi ialah 
sewaktu melihat kening pemimpin mereka. 
“Pemimpin, keningmu!” seru Nenek Rambut Biru. 
Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit 
sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang. menyebabkan Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain 
karena akibat pukulan telapak tangan kanan Wiro tadi kini 
di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka 
yaitu 212! 
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk... cegluk... 
cegluk, dia lalu teguk tuaknya. 
“Rambut Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga buah 
angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau meng–
aku kalah?!” 
Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum 
apa yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang menggurat–
kan angka telah menimpa keningnya. Tiga deretan angka 
itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek 
Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar! 
“Anak haram jadah mampuslah!” lengking si nenek. 
Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan 
mulutnya berkomat-kamit. Seluruh pondok itu dengan tiba-
tiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro 
sendiri yang tak mengerti apa yang tengah terjadi sampai-
sampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa dingin itu. 
Geraham-gerahamnya bergemeletukan. 
Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak 
berseru, “Wiro cepat menghindar! Bangsat keriput ini mau 
lepaskan pukulan Salju Kematian!” 
Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat 
meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek Rambut Hitam 
melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke 
arah Wiro dan Dewa Tuak! 
Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih 
seperti salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang 
itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang menggembung 
lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air bah 
sewaktu semburan tuak dan pukulan salju kematian saling 
beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat tarik 
lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap 
menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang 
pohon kemudian Wiro melihat bagaimana pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju 
putih! 
Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga 
nenek itu tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala 
ke cabang di samping. Dia terkejut sewaktu melihat Dewa 
Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan mata. 
Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu 
pukulan tadi telah membuat si orang tua menderita luka di 
dalam yang parah juga. Lama Dewa Tuak bersila seperti 
itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat 
diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian 
wajahnya yang pucat telah normal lagi seperti biasa! 
Dewa Tuak tarik nafas panjang, geleng-gelengkan 
kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok 
yang kini tertimbun salju kematian itu! 
“Ternyata benar perempuan busuk itu telah mendapat–
kan ilmu Pukulan Salju Kematian!” kata Dewa Tuak 
seakan-akan pada dirinya sendiri. “Kelihatannya masih 
kurang sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa...!” 
Wiro sendiri diam-diam bergidik juga melihat pukulan 
yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa 
Tuak berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi 
pukulan Salju Kematian yang dilepaskan si nenek 
membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat! 
“Meski seseorang memiliki tenaga dalam yang sepuluh 
kali lebih tinggi, tapi jangan coba-coba berani adu kekuatan 
dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa Tuak geleng-
geleng kepala kembali. “Aku tak mengerti, bagaimana 
keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. 
Itu adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang 
pernah menggetarkan dunia persilatan dan menjadi raja-
raja ilmu pukulan!” 
“Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan 
bisa berbahaya,” kata Wiro pula. 
“Itulah yang aku kuatirkan,” desis Dewa Tuak. 
Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi Nenek 
Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan Salju 
Kematian itu? 
“Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang?” tanya Wiro. 
“Aku bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan 
telanjang itu...” 
Tak ada jawaban. 
Wiro berpaling. 
Astaga! 
Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari 
tapi orang tua itu tiada kelihatan. 
“Dewa Tuak! Di mana kau?!” teriak Wiro memanggil. 
Tetap tak ada jawaban. 
Wiro hendak melompat turun. Tapi tiba-tiba pada 
batang pohon di mana dia berada dilihatnya sebaris tulisan 
‘Pergilah ke Utara!’. 
Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa 
menunggu lebih lama Wiro segera melompat dari atas 
pohon.

TUJUH 

MATA yang cuma sebuah itu memandang tanpa 
berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang 
terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya 
lalu dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya kembali. 
Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai satu jam 
lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki 
habis-habisan. 
“Keparat betul! Keparat betul!” 
“Mata Picak!” satu suara menegur laki-laki yang 
memaki-maki itu. “Lama-lama kau bisa jadi gila!” 
Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan 
mendelikkan matanya yang cuma satu. 
“Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek saja!” kata si 
Mata Picak. 
“Perlu apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di 
tangan kita. Dan lambat laun pasti kita akan berhasil 
membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya!” 
“Tolol betul kau Kuping Sumplung!” sentak Mata Picak. 
“Apa kau tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokoh-
tokoh persilatan kasak-kusuk mencari-cari lukisan ini? 
Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit tempo 
hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu silat 
hebat ini akan dirampas orang lain lagi sebelum kita 
berhasil memecahkan rahasianya!” 
“Tapi marah-marah dan memaki begitu mana mungkin 
kau bakal bisa menecahkannya!” ujar Elmaut Kuning 
Kuping Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua 
tokoh silat golongan hitam yang bergelar Sepasang Elmaut 
Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu 
telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang 
pun dari mereka yang berhasil memecahkan rahasianya. 
Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka teliti mereka 
jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka 
membongkar rahasia ilmu silat yang menurut keterangan 
terkandung dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis 
Aneh hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan 
kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si Pelukis 
Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia 
kemudian tertawa dingin dan berkata, “Kau sekarang yang 
jadi orang tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya 
masakan orang tua keparat itu sampai-sampai mau 
mengadu jiwa!” 
Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak rambutnya. 
“Tapi sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa 
memecahkan rahasianya?!” 
Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. 
Ditatapnya sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri 
sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama 
tak sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut. 
“Apakah kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?!” 
bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung. 
“Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian 
belakangnya!” sahut Mata Picak. 
“Agaknya kita membutuhkan seseorang yang bisa 
membuka rahasia lukisan ini...” desis Kuping Sumplung. 
“Tapi siapa manusianya?!” tanya Mata Picak. “Satu-
satunya manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si 
Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di tangan 
kita!” 
“Siapa tahu calon muridnya juga mengetahui...” kata 
Kuping Sumplung pula. 
Elmaut Kuning Mata Picak tertegun. “Mungkin juga...” 
desisnya. 
“Kalau begitu kita datangi anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan!” ujar Kuping Sumplung seraya 
berdiri dari duduknya. 
“Tempat anak itu ratusan kilo dari sini...” 
“Soal jauh bukan halangan!” potong Kuping Sumplung. 
“Ada hal lain yang aku khawatirkan,” ujar Mata Picak. 
“Apa?” 
“Kalau kita pergi berarti kita harus membawa lukisan 
ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan orang-orang persilatan 
mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri 
dikeroyok beramai-ramai!” 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin. “Apa 
nyalimu sudah keropok?!” ejeknya dengan pencongkan 
hidung. 
Mata Picak menjadi gusar. “Mulutmu kelewat tekebur, 
Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak 
mau terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita 
jadi berabe dan tambah urusan! Di lain hal kita musti 
mengakui bahwa di atas kita masih ada tokoh-tokoh 
persilatan yang benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau 
mau kehilangan satu lenganmu lagi?!” 
Merah-lah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia 
balikkan badannya dengan cepat hendak tinggalkan tem–
pat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa langkahnya 
tertahan dan parasnya berubah. 
“Mata Picak! Lekas ke sini!” seru Kuping Sumplung. 
Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya 
itu. Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di 
mana mereka berada itu terletak di satu dasar lembah 
yang penuh dengan batu-batu besar. Di balik batu-batu 
yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang 
laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing 
tergenggam sebatang golok besar berbentuk empat segi 
seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran Mata Picak, 
orang-orang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah 
sekitar duapuluh orang! 
Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di 
tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari,melihat pula kepada pakaian seragam hitam yang mereka 
kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa 
mereka itu adanya. 
“Kroco-kroco sialan ini pasti hendak membalaskan sakit 
hati ketua mereka,” desis Mata Picak. 
“Kurasa demikian. Agaknya mereka belum tahu letak 
tempat kita ini. Apakah perlu kita segera bertindak...?” 
tanya Kuping Sumplung. 
Mata Picak manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh 
dia melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung 
mengikut di belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak 
melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu pula 
terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik 
batu itu melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, 
laksana terbang ke udara dan kemudian jatuh di atas 
sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur 
berantakan! 
Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di 
lembah batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana 
kawan mereka menggeletak mengerikan tanpa nyawa! 
Semuanya terkejut dan berubah paras masing-masing. Dan 
darah mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu 
mengumandang dua buah suara tertawa yang 
menggidikkan! Ketika mereka palingkan kepala, semuanya 
melihat dua orang berjubah kuning berewokan berdiri di 
atas sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya! 
“Sepasang Elmaut Kuning!” seru mereka hampir 
serentak. 
Elmaut Kuning Mata Picak dan Kuping Sumplung 
tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan 
tawanya dan bertanya membentak, “Siapa yang menjadi 
pemimpin rombongan tikus-tikus busuk ini?!” 
Seorang laki-laki berbadan tegap, berkumis melintang, 
dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren. 
“Kalian berdua turunlah untuk menerima kematian!” 
Sepasang Elmaut Kuning saling pandang lalu untuk 
kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.“Apakah kau mimpi atau mengigau di siang bolong?!” 
sentak Kuping Sumplung. “Ketuamu sudah mampus di 
tangan kami!” 
“Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi 
Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari 
muka bumi ini...!” 
“Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan 
menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga 
cuma tinggal nama!” 
“Tak usah bermulut besar! Lekas turun!” teriak si kumis 
melintang. Dia dan kawan-kawannya adalah anak-anak 
murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah 
menemui kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning 
gara-gara terlibat dalam perebutan lukisan perempuan 
telanjang! 
“Tikus-tikus busuk! Ketahuilah kalian akan melepas 
jiwa di sini!” teriak Mata Picak dan serentak dengan itu, 
diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat 
ke bawah. 
Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian 
seragam hitam segera mengurung dan dengan serempak 
menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah 
pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu. 
“Kalian mencari mati!” seru Mata Picak. 
“Bangkai kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti 
burung-burung pemakan mayat!” bentak Kuping Sumplung! 
Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan 
kanan ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan 
benda berwarna kuning yang berbentuk paku beterbangan 
gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul 
yang hendak menuntut balas kematian ketua mereka. 
“Paku Emas Beracun!” pekik anak-anak murid Pergu–
ruan Seberang Kidul. 
Yang berkepandaian tinggi putar golok mereka dengan 
sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. 
Tapi serangan senjata rahasia paku emas beracun dari 
kedua tokoh silat golongan hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis, sukar dikelit! Dua kelompok anak-anak 
murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan. 
Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! 
Tubuh masing-masing penuh ditancapi paku-paku emas 
beracun! 
Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap 
membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua 
belas golok besar menderu bersirebut cepat! Laksana 
hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang! 
Sepasang Elmaut Kuning ganda tertawa. Keduanya 
hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi 
pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata 
rahasia itu. Delapan orang menggeletak roboh! Delapan 
jiwa melayang! 
“Kawan-kawan larilah!” seru seorang dari empat anak 
murid Perguruan Seberang Kidul yang masih hidup. Maka 
serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan 
pertempuran dan melarikan diri. 
“Mau lari ke mana?!” bentak Mata Picak. “Kalian musti 
ikut sama-sama kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul 
selarik sinar kuning menderu ke punggung keempat orang 
yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar kuning menyambar! 
Keempatnya mencelat mental dan menjerit, lalu roboh 
menyusul kawan-kawan mereka! 
Seperti yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping 
Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang Kidul betul-
betul hanya tinggal nama saja lagi! 
“Manusia-manusia tolol!” desis Mata Picak seraya 
sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang berteba–
ran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. 
Kuping Sumplung sebaliknya bertanya, “Bagaimana? 
Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, 
makin baik!” 
“Anak mana maksudmu?” tanya Mata Picak. 
“Calon muridnya si Pelukis Aneh!” 
“Ah, rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak 
dulu!” sahut Mata Picak seraya melangkah ke goa. Dengan hati penasaran Kuping Sumplung melangkah di belakang–
nya. 
Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba 
meledaklah suaranya, “Celaka! Lukisan itu lenyap!” 
Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan 
perempuan telanjang yang sebelumnya terletak di atas 
meja kini tak ada lagi di tempat itu! 
“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi 
maling di sarangku?!” teriak Mata Picak lari ke luar goa dan 
melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia 
sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di jurusan 
timur dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan 
sosok tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi 
yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang 
adanya!


DELAPAN

MANUSIA yang melarikan lukisan perempuan 
telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan 
jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-
jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil 
beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. 
Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam 
sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. 
Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! 
Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di 
belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia 
berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai 
terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. 
Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke 
belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal bebe–
rapa puluh langkah saja lagi! 
Manusia katai ini merutuk. “Celaka! Kedua bangsat itu 
betul-betul lihai!” 
Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada 
Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas 
langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu 
larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, 
tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning 
mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah 
dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu 
Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia 
katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat 
saja yang memilikinya! 
“Heran!” kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Jarak 
kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?!” 
“Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu 
Jarak,” sahut Mata Picak yang berpengalaman lebih luas 
dan berpemandangan tajam. 
“Berhenti!” teriak Kuping Sumplung. 
Tapi mana si katai mau hentikan larinya! 
Marahlah Mata Picak. Hilang kesabarannya. “Berhenti! 
Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas 
Beracun!” 
Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga 
tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak! 
“Bedebah laknat!” maki Mata Picak. Tangan kanannya 
diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. 
Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran 
angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik 
sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya 
dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia 
membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang 
mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya! 
Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru 
menghindar. 
“Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin 
panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak Mata Picak. 
Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu 
sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping 
Sumplung dia mengejar kembali! 
Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya 
dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terben–
tang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk 
dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! 
“Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak 
Kuping Sumplung. 
Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana se–
ekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon. 
“Turun!” teriak Mata Picak. “Serahkan lukisan itu dan 
berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!” 
“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara.“Ayo turun lekas!” teriak Kuping Sumplung. 
“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” 
“Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata 
Picak angkat tangan kanannya. 
“Ha-hu!” Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu 
menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian 
tertawa dan mencibir! 
Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia itu 
siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si 
Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan 
telanjang! 
Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan serangannya. 
Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si 
Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan 
pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan 
merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu 
mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! 
Mata Picak memaki hahis-habisan. 
Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan 
memukul. 
Braak! 
Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tum–
bang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! 
“Setan alas!” Mata Picak melesat ke depan dan 
lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai 
Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil per–
gunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis 
serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning Mata Picak 
tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap 
lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! 
“Kuping Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang!” 
teriak Mata Picak marah sekali. 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan 
menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka 
Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak 
menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan 
perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan 
saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, 
tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus 
memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam 
waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! 
Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada 
hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak mendapat 
akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia 
memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini 
membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini 
dengan cepat Mata Picak menyusul dengan satu serangan 
ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa 
ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke 
belakang menyambar lengan kiri Kuping Sumplung yang 
hendak menotok punggung Si Katai Bisu! 
Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut 
Kuning Mata Picak pada kambratnya. 
“Keluarkan jurus Elmaut Menggila!” 
Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak 
lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana 
merobek gendang-gendang telinga keduanya menyerbu 
kembali dalam satu jurus aneh! 
Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari 
pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup 
dan panik gerakan-gerakan silatnya! 
Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning Mata Picak 
memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu 
dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya 
hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu 
secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan 
ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat 
yang sama dari belakang Elmaut Kuning Kuping Sumplung 
lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. 
Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke 
samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke 
bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian 
bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar kearah Kuping Sumplung membuat manusia ini batalkan 
serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain 
pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu 
kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya, 
terpaksa tarik pulang tendangannya. 
Namun Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat 
bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah 
matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk 
menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan 
lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan 
lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis 
tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut 
Kuning Mata Picak lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh 
nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya 
mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang 
cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan 
kirinya dengan cepat. 
Braak! 
Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan 
sudutnya menganga. Lengan kiri Elmaut Kuning Mata Picak 
juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan 
kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas 
Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah 
pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan 
di tangan lawan! 
Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si 
Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas 
kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah 
laksana topan prahara memapasi serangan Elmaut Kuning 
Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke 
arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di 
antaranya ada yang membalik menyerang Mata Picak 
sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke 
samping selamatkan diri! 
Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat 
sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin. 
Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan Kuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak 
mungkin ditangkis tak bisa dikelit! 
Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk 
berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping 
Sumplung sedang tangan kanan mendorong ke muka! 
Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai 
Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. 
Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun 
lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur 
badannya kelihatan menggembung biru! 
Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepala–
nya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut 
Kuning Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri 
dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai 
Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja 
tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi 
dipukulnya, pasti Elmaut Kuning Kuping Sumplung akan 
melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung muntah–
kan darah segar lalu roboh pingsan! 
Mata Picak segera menyambar lukisan yang rusak 
piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan 
meninggalkan tempat itu dengan cepat.


SEMBILAN


DiSEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–
lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke 
duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng 
dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia 
tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di 
selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi 
Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. 
Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–
kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok 
dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi 
batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga 
mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya 
terkempit sebuah tas daun pandan. 
Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah 
karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua 
berpakaian compang-camping itu sudah berada di 
hadapannya. 
Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus 
saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro. 
Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, “Orang tua, 
apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?” 
Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh 
pada si pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?” 
Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu 
berbunyi berkerontangan. 
Wiro tersenyum lagi. “Namaku Wiro. Aku dalam perjala–
nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang 
betul?” 
Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki. 
“Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah 
mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang...” Dan 
habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan 
lagi kaleng di tangan kanannya. 
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si 
orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini. 
“Coba ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tiba-
tiba memerintah. 
Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan 
orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. 
Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun 
ulurkan telapak tangan kirinya. 
Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu 
dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan 
garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng 
terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak 
tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah 
batu besar yang ratusan kati beratnya! 
Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka 
Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan 
kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada 
telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar 
hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat 
dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga 
dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua. 
Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak 
tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu 
untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil 
batuk-batuk dia berkata, “Orang muda, masa depanmu 
penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis 
di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya 
yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak 
perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun 
besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati 
semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan kalengnya 
beberapa kali lalu meneruskan, “Garis percintaanmu tidak begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat 
mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...” 
Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 
212 kelihatan merah menjengah! 
Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke 
Paritsala?” 
“Betul orang tua,” jawab Wiro. 
“Kunasihatkan agar dibatalkan saja...” 
“Memangnya ada apakah?” 
“Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan 
dan bahaya di mana-mana...” 
“Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke 
utara...,” kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang 
diberikan Dewa Tuak. 
Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-
kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak 
meninggalkan tempat itu. 
“Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. 
Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu...” 
Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan 
dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro 
Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si 
Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku 
tidak tahu...
Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua 
aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap 
di kejauhan. 
Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persila–
tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar 
tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? 
Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–
bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia 
berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–
kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. 
Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-
orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali 
dapat bertemu dengan orang tua itu.Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–
pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai 
dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke 
Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di 
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan 
gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang 
penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing 
dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik 
oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. 
Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang 
kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka 
terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian 
samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. 
Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas 
dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik 
sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terke–
siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana 
sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke 
jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan 
ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah 
menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu. 
Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki 
Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang 
dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun 
tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah 
penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke 
sana. 
Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu 
penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah 
agak lanjut. 
“Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?” 
“Betul” sahutWiro. 
“Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang...” 
“Seluruh kamar?” ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan 
kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–
man. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah 
menempatinya?”“Ya.” 
“Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?” 
“Enam belas... Mengapa?” 
“Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas 
orang,” kata Wiro. “Pasti ada kamar yang masih kosong 
untukku...” 
“Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan 
itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja 
yang hendak menginap di sini...” 
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku 
musti cari penginapan lain,” katanya setengah 
menggerutu. 
“Di sini tak ada lagi penginapan lain.” 
“Hem...” Wiro menggumam. “Terpaksa kau menolong 
menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak 
jadi apa.” 
“Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini 
sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” 
Wiro Sableng jadi penasaran. 
“Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk 
sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!” 
Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal. 
“Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara 
lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” 
Wiro keluarkan suara bersiul. 
“Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini 
“Ah! Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar 
tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya 
hingga dia tak bisa bergerak. 
“Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis Wiro ke 
telinga pelayan itu. 
Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu 
merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di 
bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai! 
“Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh 
Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya 
tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang 
pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi...” 
Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada 
sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya 
tewat jendela kereta. 
“Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, 
Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali 
dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan 
kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali 
tampar saja pasti kepalamu menggelinding!” 
Wiro tertawa gelak-gelak. 
“Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tiba-
tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian 
seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di 
ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada 
bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia 
berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. 
Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat! 
“Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau 
tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!” 
“Hak apakah kau mengusirku?!” tanya Wiro dengan 
senyum mengejek. 
Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan 
cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu 
terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi 
besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya 
yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang 
sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras 
luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir! 
“Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan 
tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–
galkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya 
rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok 
kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak 
diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–
takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan 
darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan.Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan 
kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya 
ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi 
besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa 
bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro 
sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! 
Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik 
jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–
gian Pendekar 212.



SEPULUH


KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar 
kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang 
mendekatinya dari arah belakang. Menyangka 
bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar 
tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. 
Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan 
tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan 
memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada 
di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana. 
“Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. 
Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon. 
“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan. 
“Ikut ke mana?” tanya Wiro heran. 
“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. 
Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti 
pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!” 
“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” 
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! 
“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda 
cemas. 
Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di 
belakang si pelayan. “Bapak,” bisik Wiro waktu mereka 
berlalu dengan cepat, “Kalau kau menipuku, aku akan 
gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” 
Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu 
dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan 
hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan 
berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. 
Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal 
tangan si pelayan. 
“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke 
sini?!” desis Wiro Sableng. 
“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot 
batang leherku!” jawab si pelayan. 
Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu 
belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian 
hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada 
dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan 
menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan 
bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan 
malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap 
ditelan hembusan angin malam di kejauhan! 
“Ikut aku!” kata pelayan itu. 
“Tunggu!” jawab Wiro. “Terangkan dulu apa arti semua 
ini!” 
“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma 
diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun 
tak ada yang bermaksud jahat padamu!” 
“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah 
itu?!” tanya Wiro Sableng lagi, 
“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” 
Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola 
matanya berputar liar waspada kian kemari sambil 
melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. 
Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang 
kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti 
sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka 
sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di 
bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah 
sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–
botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro 
Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya 
mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat 
agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. 
Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti 
dan berpaling pada Wiro. 
“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan 
masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu 
adalah orang yang memerintah aku!” 
Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam 
hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati 
pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata 
pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat 
dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam 
kamar, terkesiaplah Pendekar212! 
Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning 
langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar 
laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-
bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada 
rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde 
dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. 
Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu 
kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis 
hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–
nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah 
kembali ke tengah kamar. 
“Saudari apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. 
Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si 
jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka 
akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak 
dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro 
ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang 
dilihatnya di tengah jalan tadi sore! 
“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–
supkan suara?” si gadis bertanya perlahan. 
Wiro Sableng terkejut “Apaan pula ini?” tanyanya dalam 
hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. 
Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis 
berkata, “Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–
dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. 
Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku...” 
“Hem...,” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan 
apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak 
salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan 
Garuda Sakti.” 
Si gadis anggukkan kepala. 
“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya 
tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi...” 
“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–
sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua 
Perguruan Merapi.” 
“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak 
perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si 
jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku dengan anak laki-
laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku 
yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di 
samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! 
Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua 
Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan 
tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–
hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah 
antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.” 
“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–
ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, 
kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula. 
“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-
anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri 
bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat 
meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir 
pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah 
sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri 
mendapat tekanan dari mereka.” 
Wiro merenung sejenak. 
“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang 
kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, 
Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah 
parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–
kata, “Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di 
sebuah goa batu...” 
Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro 
Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian 
mengambang di kelopak mata si gadis. 
“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” 
tanya Wiro. 
“Menolong agar perkawinanku bisa batal!” 
“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan 
itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala. 
“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–
tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur 
hayat.” 
Wiro berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!” 
tanya Wiro mengambil keputusan pendek. 
“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka 
dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan 
mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar 
ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak 
buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi 
menjelang hari-hari perkawinan itu...” 
“Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya 
keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di 
puncak Merapi?” 
“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. 
Wiro berpikir-pikir lagi. 
“Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian. “Aku sudah 
dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–
nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–
kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi 
apakah aku boleh tahu namamu...?” 
Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu 
kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar 
suara lantang. 
“Permani! Buka pintu cepat.” 
Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis
pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya 
tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu 
matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. 
Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga 
dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu 
menutupkan daun jendela kembali! 
“Permani!” 
Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-
gedoran. 
Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang 
laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan 
tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari 
tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua 
Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. 
Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang 
besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki 
dengan hati berdebar. 
“Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” 
tanya Manik Tunggul. 
Permani tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak 
sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa dan untuk 
apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar 
ini?!” 
Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa 
setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat 
tidur! 
“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang 
malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang 
masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. 
Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan 
anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. 
Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya 
tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah 
berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. 
“Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap 
kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu 
ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!” 
“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, 
tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain 
daripada patuh atas segala kemauanmu...” kata Permani 
dengan tundukkan kepala. 
Manik Tunggul tepuk bahu anaknya. 
“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garu–
da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan 
kamar. 
*** 
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro 
Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan 
perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia 
kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? 
Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis 
anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini 
berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–
guruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. 
Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua 
itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–
raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit 
penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras 
jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua 
Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–
kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! 
Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu, 
“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–
puan cantik...” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk 
kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.


SEBELAS


DPUNCAK Gunung Merapi. 
Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir 
serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah 
panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–
karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian 
sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat 
sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah 
pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di 
pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang 
bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu 
tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan 
cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, 
calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ 
rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan 
beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang 
disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa 
naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan 
dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang 
pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon 
besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila 
upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu 
makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–
tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan 
di atas panggung besar kayu jati! 
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. 
Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan, 
diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang 
kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji 
kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara para tamu yang merasa kurang 
cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada 
nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan 
itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? 
Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu 
tinggi?! 
Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas 
panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun 
berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin 
pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan 
dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama 
Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–
rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin 
upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di 
bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup 
bahagia! 
Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–
cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul 
serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri 
dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi 
apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang 
digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai 
saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga 
kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–
bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! 
Telah lewat sepeminum teh. 
Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat 
sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana 
saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab 
mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak 
Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan 
karena malu melainkan merasa terhina! 
Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik 
sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul 
seorang berjubah biru. 
Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah 
pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik 
batu karang itu? 
Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, 
terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si 
jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan 
angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, 
maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. 
Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya 
jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik 
Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah 
terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada 
dan siapa pula manusia yang datang ini?! 
Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah 
liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan 
robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di 
tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut 
runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–
tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat 
di sekitar kawah gunung. 
Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak 
murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti 
segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing 
memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam 
posisi mengurung si jubah biru. 
Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini, 
meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan 
rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa 
mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang 
dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar 
penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai 
tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-
apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? 
Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 
212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil, 
“Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua 
tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–
nya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Disamping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam 
yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga 
para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka 
injak! 
Semua orang heran campur terkejut! 
Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana 
manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! 
“Jubah biru!” bentak Manik Tunggul. “Manusia atau 
setankah kau?!” 
“Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak 
merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan? 
Uh.. uh...!” 
Semua orang saling pandang. 
“Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana 
kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali Manik 
Tunggul buka suara keras. 
Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-
pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. 
Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di 
tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku... kalian semua 
dengarlah!” 
“Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas. 
“Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-
anakmu?!” 
Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan 
tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan 
Merapi itu. 
“Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa 
yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan 
dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa 
di khayangan!” Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil 
kedinginan lagi! “Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar 
kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! 
Uh...!” 
“Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari 
sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik Tunggul. 
“Aku bukan manusia... bukan manusia!” kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar 
tergetar dadanya! “Aku adalah titisan dewa di khayangan! 
Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada 
dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian 
tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang 
kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa 
di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! 
Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan 
dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang 
aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian...” 
“Keparat pendusta!” bentak Manik Tunggul. “Kau kira 
kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!” 
Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara 
mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! 
“Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?! 
Kau akan lihat... akan lihat!” kata Wiro pula dengan suara 
keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang 
terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang 
duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali 
gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! 
Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati 
dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di 
tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–
han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian 
terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke 
dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. 
“Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah 
menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku 
ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu 
yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri 
bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai 
pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! 
Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–
pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–
kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!” 
Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara. 
“Hukumlah mereka wahai dewa!” seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. 
Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. 
Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu 
yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh 
berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka 
yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar 
tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin 
semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba 
di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak 
ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang 
dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan 
kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! 
“Tahan!” teriak Manik Tunggul seraya melompat ke 
muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si 
jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak 
dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat 
kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya 
berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang 
keluar dari tangan sang Pendekar 212! 
“Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara 
padamu!” Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat 
bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si 
jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! 
Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. 
Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia 
biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa! 
“Tahan!” teriak Manik Tunggul sekali lagi. “Aku mau 
bicara!” 
Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. 
“Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” 
Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu 
mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan 
Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah 
kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa 
mengekeh-ngekeh! 
“Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni 
kalian manusia-manusia sombong!” kata Wiro. Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. 
Dan Wiro buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh 
dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti 
kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana 
daun kering dan mampus!” 
Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke 
muka. 
“Sekarang kalian dengar semua!” serunya 
menggeledek. “Dewa telah mengampuni kalian orang-
orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–
punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung 
Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan 
dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun 
lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini 
dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu 
semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan 
kepadaku!” 
Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya 
terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta men–
delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–
tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani. 
Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang 
menyamar itu. 
“Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–
kan padaku...!” Wiro melangkah mendekati Permani. 
Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah 
memapasinya. 
“Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau 
tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau 
maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku 
ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti 
melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!


DUA BELAS


WIRO Sableng terkejut melihat datangnya serangan 
dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat 
itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan 
kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya mema–
pasi serangan lawan! 
Kini Manik Tunggul-lah yang terkejut! 
Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus 
Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu 
jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah 
biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak 
cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan 
dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! 
Wiro tertawa mengekeh. 
“Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan 
dewa?I” ejeknya. “Kau akan tahu rasa!” 
Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul 
siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh 
melompat ke depan dan satu seruan terdengar, “Ketua 
Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjuk–
kan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut 
dewa itu!” 
Sreet! 
Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin 
laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya 
lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu 
tusukan satu babatan! 
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak dan elakkan 
serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. 
Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua tebasan sekaligus! 
Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran 
Terbang Ke Langit. 
Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah 
serangannya bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil 
keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam 
sekaligus! 
Trang! Trak! 
Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng 
patah dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terle–
pas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat 
dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak 
melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua 
Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental 
ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka 
Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang 
menyala! 
Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara 
semua orang! Sokananta adalah anak kandung gem–
blengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum 
mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap 
ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah 
dikuasai oleh Sokananta! Bagaimana kini dia bisa 
dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak 
membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta 
berseru memerintahkan anak-anak buahnya nenyerang si 
jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula 
memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang 
bertomba ke depan podium bukan saja mengurung Wiro 
tapi dengan serentak menyerangnya! 
Pendekar 212 tertawa dan keluarkan suara bersiul. 
Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, 
pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik 
turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok. 
Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan 
pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri 
mematung karena di totok oleh Wiro dengan bagian belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! 
Melihat ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul 
segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan 
anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya 
belum tentu berada di bawah mereka! 
“Bangsat!” bentak Bogananta marah. “Rupanya kau 
sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku 
akan urus jalan ke akhirat bagimu!” 
Wiro tertawa gelak-gelak. 
“Terhadap titisan dewa kau berani main perintah 
seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak Wiro pura-pura 
marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya 
satu kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan 
semua orang di situ, karenanya dia tak punya niat untuk 
turun tangan jahat! 
Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat luar biasa, 
Bogananta cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan 
menyambar ke arahnya dan dengan jurus Naga 
Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua Perguruan 
Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan 
lawan tahu-tahu tubuhnya sudah berada dekat sekali dan 
tinju kiri kanan sudah berada di depan hidung! 
Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus 
serangan yang tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian 
tangan kirinya sudah bergerak dan pecahan kaca rias 
bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan 
Bogananta! 
“Keparat!” maki Bogananta. Dia pergunakan tangan 
kanan memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya 
tinju kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun 
serangan ini telah berkurang kecepatannya karena 
gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca tadi! 
Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi 
makanan yang empuk bagi Pendekar 212. Namun karena 
dia tak punya niat turun tangan jahat maka Wiro cuma tarik 
lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat! Begitu 
tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok pung–gungnya. Keluh kesakitan yang hendak keluar dari 
mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya karena 
tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar212! 
Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan 
kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi dari 
dia! Berarti adalah mencari konyol kalau dia coba pula 
turun tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua 
Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. 
Begitu menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang 
paling hebat yaitu Seribu Garuda Mengamuk!
Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping 
laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul 
pasti hancur remuk! Dari mulutnya keluar suara berkuik-
kuik macam suara garuda sedang di samping memukul, 
kedua tangannya secepat kilat bisa berobah menceng–
keram setiap bagian tubuh lawan! 
Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut 
panggung dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus 
kedua sekali berkelebat terdengarlah keluhan Ketua 
Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 
muka. Sepasang kakinya laksana tiada bertulang. Tubuh–
nya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok kedua 
urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana 
lumpuh tak sanggup berdiri! 
Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. 
Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. 
Inilah saatnya untuk melarikan Permani, pikir Wiro. Segera 
dia hendak melompat ke tempat sang dara. 
Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok 
tubuh berjubah hitam. Lesatannya sangat ringan luar biasa 
dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas panggung 
kayu jati! 
Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perem–
puan separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun 
sekali melihat sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa 
manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga mempunyai 
hati jahat!Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah 
Wiro Sableng! 
“Manusia yang mengaku titisan dewa, harap datang ke 
hadapanku!” Suara perempuan ini besar parau dan 
menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan 
tenaga dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan 
tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tak 
boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat 
ke panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke 
panggung, pada kedua orang itu! 
“Aku tak suka bikin urusan dengan manusia yang 
sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas 
perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru 
itu!” 
Wiro kaget namun dia tertawa. 
“Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau suka 
terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas 
panggung ini!” 
Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan 
kemarahannya dan berkata datar, “Ketahuilah, aku datang 
untuk menagih hutang jiwa!” 
“Ohh... kukira kau berdiri di sini hendak membela 
kedua ketua perguruan itu.” 
“Aku tak ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah 
kakak seperguruan Dewi Kala Hijau yang kau bunuh 
beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi 
Kala Hijau harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul 
Neraka Lembah Tengkorak). 
Kaget Wiro Sableng bukan alang kepalang! 
Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari 
ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya 
datang menuntut balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi! 
Tapi meskipun demikian mana pemuda ini merasa jerih. 
Malah dia tertawa dan berkata, “Kau datang kurang cocok 
waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya 
menagih segala macam hutang, apalagi hutang jiwa!” 
Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekati Permani, tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di 
tangannya kiri-kanan kini tergenggam dua bilah pedang 
mustika yang berkilauan ditimpa sinar matahari! Begitu 
memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini 
kiblatkan kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua 
batang pedang itu bukan pedang biasa tak mau bertindak 
ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia 
melompat mundur mengelak dan pada saat dia berada 
dekat Bogananta secepat kilat Wiro mencabut pedang yang 
tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu! 
Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika 
salah satu pedangnya dibikin mental. Muka pemuda 
berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang 
ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan 
merobek besar pakaian di bagian dadanya! Dalam dia 
terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan pukulan 
tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Soka–
nanta telah merasakan tubuhnya kaku tegang tak bisa 
bergerak lagi! 
“Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu!” kata satu 
suara di samping Wiro. “Sekarang kau hadapi Si Jubah 
Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun 
gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini 
berubah menjadi muka tengkorak yang membuat bulu 
kuduk menggerinding! 
Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam 
pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin 
keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan 
berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah Hitam 
susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung 
di antara dua angin pukulan sekaligus! 
“Sialan!” maki Wiro. Dengan serta merta pendekar ini 
angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam 
jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda 
Samudera! Dua pukulan dahsyat yang mengandung tenaga 
dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih menindih! 
Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali 
pertempuran yang begini hebat mereka saksikan! 
Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. 
Di kening Wiro sebaliknya kelihatan butiran-butiran 
keringat. 
Braak! 
Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar 212 hancur 
roboh! 
“Celaka!” keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam 
lawan tidak berada di bawahnya, malah satu dua tingkat 
berada di atasnya! 
Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur sejauh 
dua tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut 
dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya berguling cepat! 
Dengan demikian baru dia berhasil menolak dan melebur 
serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat 
dahsyat itu! 
“Gila betul!” maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus 
manusia bermuka tengkorak ini meski belum tentu dia bisa 
dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka dengan 
cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani! 
Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas 
bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka 
adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi tamu dan bersaha–
bat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini berada 
dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian 
manusia yang mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah 
dengan Si Jubah Hitam! 
Si Jubah Hitam tertawa panjang. 
“Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur semua! 
Nyawa pemuda itu hak milikku!” 
“Perempuan muka tengkorak!” jawab seorang di antara 
yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah 
ruyung perak. “Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya 
kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak 
menculik anak gadis sahabat kami!” 
“Di hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual tampang petantang petenteng! Pergilah semua!” 
Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak 
dorongkan kedua tangannya ke muka! Gelombang angin 
yang dahsyat menyambar. Laksana daun-daun kering 
keenam tokoh silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua 
orang muntah darah. Empat lainnya melingkar pingsan di 
tanah! 
Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu 
Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka 
kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu 
dengan cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si Jubah 
Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di depannya! Dan 
sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit 
gesit dan selundupkan satu tendangan ke perut lawan! 
Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan tangan 
kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan lebih 
tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan seba–
gai gantinya kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah. 
“Apakah tak ada ilmu pukulanmu yang lebih berguna?!” 
ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia kebutkan lengan jubah 
hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang 
berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu! 
“Hebat sekali iblis betina ini!” rutuk Wiro. Tubuh 
Permani diturunkannya, kemudian diiringi oleh satu 
bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya 
merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan 
melanda Iblis Tengkorak, masing-masing pukulan Orang 
Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. 
Angin besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam 
Iblis Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi 
dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan 
geraham mereka! 
Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. 
Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar hitam 
menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat 
tombak, pakaiannya robek hampir di setiap bagian sedang 
dari hidung dan sela bibirnya kelihatan darah ke luar!Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil. Matanya 
beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang 
mendekat dengan tertawa, Pendekar 212 segera sambut 
dengan pukulan Sinar Matahari. 
“Aha! Pukulan Sinar Matahari!” seru Iblis Tengkorak. 
“Inilah yang kutunggu!” 
Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemu–
dian laksana kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara 
laksana guntur! Satu gelombang angin hitam bergerak 
berputar bergulung-gulung lalu menghantam ke muka 
laksana topan prahara! 
Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari yang 
dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal 
dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan 
untuk kemudian melesat kembali menyerang dirinya 
sendiri, sekaligus bersama serangan angin pukulan lawan! 
Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepas–
kan oleh Iblis Tengkorak! 
“Tobat.” keluh Pendekar 212! Tangan kanannya 
bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata 
berkiblat dan, ... 
Buum! 
Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! 
Puncak Gunung Merapi bergetar! 
Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar 
kawah tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ 
merasakan dunia laksana mau kiamat! 
Iblis Tengkorak terkejut besar. 
Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua lututnya 
agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan dilihatnya 
pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat 
pasi dan sepasang mata merah sedang di tangan kanan–
nya tergenggam sebuah kapak bermata dua, yang gagang–
nya terbuat dari gading dan berbentuk kepala naga-
nagaan! 
Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata 
lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang 
dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat dan ganas 
yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu 
pukulan itu tak satu lawan gagahpun yang sanggup 
menghadapinya! Tapi kini seorang lawan berusia muda 
sekali dengan Kapak Naga Geni 212 berhasil memusnah–
kan pukulannya itu! 
Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan. Satu 
seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang 
selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini berubah 
total menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus 
tembok baja! 
“Iblis Tengkorak!” desis Wiro Sableng. “Kalau hari ini 
aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, 
biarlah aku mengundurkan diri dari dunia persilatan 
selama-lamanya!” 
Sebenarnya pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi 
begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya satu 
aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan memberi 
kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang 
dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! 
Perempuan muka tengkorak tertawa dingin. 
“Keluarkan semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya 
sepuluh senjata cabut sekaligus agar tidak mati penasa–
ran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti 
tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala 
enam tangan!” 
“Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di tangan–
mu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan 
kebenaran!” 
“Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini gelar 
Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan kuhapus dari dunia 
persilatan!” 
Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah. 
Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah 
menyerbu Wiro Sableng! 
Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak Naga Geni 212 berkiblat maka suara menderu laksana suara 
ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang 
pendekar melengking suara siutan nyaring yang tak 
menentu dan menusuk gendang-gendang telinga! 
Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. 
Putaran angin kapak tak sanggup diterobos oleh 
pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya angin 
kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah 
pula oleh suara mengaung serta siulan yang tiada henti-
hentinya menusuk liang telinganya, membuat gerakan-
gerakannya kacau balau! 
Dengan penasaran dan kalap, dalam jarak sedekat itu 
Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk.
Tapi cepat-cepat dia tarik pulang tangan kanannya karena 
jurus putaran kapak yang bernama Pecut Sakti Menabas 
Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja 
membuat tangan kanannya terbabat putus! 
Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi melihat 
wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyak–
sikan lama-lama mata mereka menjadi sakit dan kepala 
masing-masing menjadi pusing! 
Telah dua kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya 
namun tetap saja dia kena didesak! Tubuhnya telah mandi 
keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik manusia muka 
tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 
212 dan dari belakang ini lancarkan satu serangan maut 
yang ganas! 
Tapi Wiro sudah lebih dahulu rasakan datangnya angin 
serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan 
jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan 
badan! 
Iblis Tengkorak tak mengira lawannya akan mengetahui 
posisinya dan bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup 
dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela 
Memanah Rembulan yang tak asing lagi. Tangan kirinya 
membabat ke pinggang lawan. Jubah hitam masih bisa 
berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat dihindari darkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah 
melesat menyambar ke arah batang lehernya! 
Craas! 
Darah memancur. 
Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke lantai panggung. Kepa–
lanya menggelinding mengerikan! 
Semua orang menjadi gempar! 
Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, 
Wiro Sableng sudah tak ada. Bahkan kemudian mereka 
menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di hadapan 
podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi gempar!

TIGA 

INIKAH Goanya?” tanya Wiro seraya melompat turun dari 
punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri 
bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua 
ekor kuda hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda 
Sakti. 
Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari 
kudanya. 
Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa. 
Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja 
keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa dising–
kirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke 
dalam.Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya. 
“Kanda Panuluh!” 
Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini lak–
sana diburu sctan lari ke depan dan meraung keras. 
Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! 
Wiro Sableng berdiri termangu. 
Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menye–
dihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya 
diikat dengan rantai besi yang dipakukan ke dinding kuat 
sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur 
tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam 
bekas cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi 
lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung. Pada 
bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang 
telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh 
pemuda itu. 
Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu 
sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak,“Jangan!” Dan secepat kilat melompat ke muka 
menangkap tubuh Permani. “Bunuh diri tak ada gunanya!” 
seru Wiro. 
Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka 
tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. 
Untung Wiro masih sempat menghalanginya. 
“Tenanglah Permani,” bisik Wiro coba menghibur. 
“Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!” teriak sang dara 
keras dan meronta-ronta laksana orang gila! 
“Jangan mengambil jalan sesat!” 
“Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi 
telah tiada!” Lengking Permani. “Lepaskan! Biar aku bunuh 
diri Wiro! Lepaskan!” 
Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat 
didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah 
baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan 
disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati. 
Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang 
mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan 
pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua 
matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu. 
“Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini?” 
tanya Wiro. 
“Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang 
melakukan!” 
“Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak!” desis 
Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. “Masih ada 
waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum 
senja datang. Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak, 
aku tak bisa melepaskan totokanmu...” 
Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi 
seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan 
membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia 
masuk, Permani masih juga menangis meskipun kedua 
matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi 
bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak 
berkata apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. 
Senja telah turun dan malampun tiba. Di luar angin 
malam yang dingin merambas masuk ke dalam goa. Wiro 
merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah 
perih oleh hembusan angin dingin itu. 
Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata, 
“Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini! 
Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!” 
Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia 
mencapai mulut goa mendadak di luar sana, dalam 
kegelapan malam didengarnya suara semak belukar 
bergesekan dan suara langkah-langkah kaki yang banyak 
sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah beberapa sosok 
manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum akan 
datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika 
terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia 
bisa kepepet! 
Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang 
pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta, 
kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lain-
lainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan 
Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! 
Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samar-
samar di kegelapan malam dilihatnya orang yang keenam 
belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya 
waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar 
biasa seperli bola api, lucunya celana panjang dan bajunya 
sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat menutupi 
tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia 
berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan 
kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa 
diam! 
Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke 
hadapan Wiro dan membentak nyaring, “Mana anakku?!” 
Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada 
kuburan baru yang tanahnya masih merah. 
“Tanyakanlah pada makam baru itu!”Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya. 
“Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?!” Manik Tunggul 
menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar 
ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro. 
“Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!” teriak 
Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu 
tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang 
lainnya segera menyerbu! Empat belas batang pedang 
berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar 
dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut 
menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih. 
Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus berkomat-
kamit! 
“Tahan!” teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu 
goa. 
Tapi yang menyerangnya terus memburu! 
“Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini 
jangan menyesal!” 
Bogananta dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. 
Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari 
pinggangnya. 
Wuut! 
Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan 
tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan 
Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya 
tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi 
kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali! 
“Manik Tunggul!” kata Wiro dengan suara keras 
sehingga semua orang mendengar. “Anakmu masih hidup. 
Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya 
lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahu–
luinya!” 
“Kalau masih hidup di mana dia sekarang?” tanya 
Sokananta lantang. 
“Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak 
bicara pada kau!” tukas Wiro. 
Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan!“Lalu ini kuburan siapa?!” tanya Manik Tunggul. 
“Jangan pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau 
lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang 
ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan 
itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui 
kematian dalam cara yang mengerikan?!” 
Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. 
Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro 
kembali, “Lekas katakan di mana calon istriku!” 
Wiro tertawa gelak-gelak. 
“Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah 
kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?!” 
Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. 
Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta, 
lalu bertanya, “Calon menantuku, apakah yang diucapkan 
bedebah ini betul?!” 
Sokananta tertawa. “Namanya saja manusia bedebah. 
Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia 
melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini 
masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan 
mengadu domba kita satu sama lain!” 
Wiro menggerendeng. “Keparat, dosamu sudah lewat 
takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki 
dari sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama 
yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu 
itu!” 
“Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari 
liang kubur yang telah kau gali sendiri!” Sokananta 
palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang 
tasbih. “Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!” 
Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai. 
Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga ber–
komat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya sudah berada 
di samping Sokananta. 
“Inikah tampang manusianya yang kau minta aku untuk 
membereskannya, Soka?” tanya Tasbih Kumala dengan 
mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta mengangguk. 
Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara 
tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu! 
Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro 
lalu membentak, “Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya 
yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” 
“Sobat,” sahut Wiro, “melihat kepada gelarmu pastilah 
kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau. 
Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau 
tak kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera 
angkat kaki!” 
“Bapak moyangmu!” bentak Tasbih Kumala, dia 
melangkah ke muka. 
“Tunggu dulu!” seru Manik Tunggul. “Sebelum kita 
mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu 
beberapa hal!” 
“Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa 
detik saja, Manik Tunggul!” kata Bogananta. 
“Sokananta, betul kau yang menangkap dan menyiksa 
Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa 
ini?!” 
Sokananta jadi beringasan! “Kenapa antara kita musti 
berprasangka yang bukan-bukan?!” 
Wiro menengahi, “Manik Tunggul, kau juga ikut ber–
tanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang 
memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam 
cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas 
satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh 
Ketua Perguruan Merapi...” 
“Tutup mulutmu!” teriak Manik Tunggul marah. 
Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka 
Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguru–
an Merapi segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri 
dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat 
Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam 
pertempuran! 
Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan, “Wiro! Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro...!” 
Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang 
ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan 
pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba 
dia melompat ke muka dan berteriak, “Sokananta 
bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus 
mampus di tanganku!” 
Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas menyambar 
Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu 
dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka 
Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya 
kesempatan untuk mengelak!


EMPAT BELAS


SEKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan 
mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba, 
Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah 
kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu! 
“Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah 
lawanmu!” 
Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyam–
pokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah 
di kepala Manik Tunggul! 
“Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!” 
Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan 
satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya 
lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka 
lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak! 
Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan 
Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, 
bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan 
serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan 
dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keada–
annya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan 
yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang 
tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, 
satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya 
menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana 
jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih 
sakti itu! 
Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul 
yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda 
pedang 

Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan 
satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta. 
Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus 
kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini 
dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak 
hebat! 
Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua 
orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar 
jeritan Manik Tunggul! 
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua 
tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung 
pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar 
di tanah, detik itu pula nyawanya lepas! 
“Jahanam!” teriak Pendekar 212. Dari mulutnya 
terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya mele–
sat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 
berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara 
bergaung. 
“Ayah, awas!” teriak Sokananta. 
Bogananta memang sudah melihat datangnya 
sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan 
pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! 
Trang! 
Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan 
Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar 
lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya 
hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke 
tanah! 
Wuut! 
Satu sambaran angin mendera ke arah punggung 
Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan 
badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya 
ternyata Tasbih Kumala! 
“Manusia-manusia keparat!” kertak Wiro. “Satu nyawa 
Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” 
Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah 
kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma!Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga 
pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! 
Lima korban terhampar di tanah! 
Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih 
Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup! 
Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek 
Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan 
kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung. 
Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak 
Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan 
badan Tasbih Kumala! 
Lumerlah nyali Sokananta! 
Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh 
dan ambil langkah seribu! 
“Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?! 
Tempatmu toh di neraka!” 
Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan 
pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai 
gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! 
Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu 
mendadak sontak menjadi kaku tegang! 
Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah 
melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin 
dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran 
mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupa–
kan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng. 
Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian 
berkata, “Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada 
gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian 
begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang 
Kuasa. Masuklah ke dalam goa...” 
Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka 
kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut 
goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak 
kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah 
Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang 
tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta seraya berteriak, “Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun 
segala-galanya!” 
“Permani!” seru Sokananta dengan keras tapi gemetar. 
“Ampunilah selembar nyawaku ini.” 
“Ini ampun untukmu!” teriak Permani garang dan keris 
bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-
keras ke dada pemuda itu. 
Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada 
Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan 
Permani! 
“Lepaskan tanganku!” teriak si gadis kalap. 
Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat 
serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak 
sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu. 
“Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris 
seperti ini terlalu enak baginya!” kata Wiro. “Bangsat ini 
musti diberi ganjaran yang setimpal...!” 
Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya 
memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian 
maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilempar–
kannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut 
Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantai-
rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani 
membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta. 
“Permani, kau mau bikin apa...?!” tanya Sokananta. 
Keringat dingin membasahi sekujur badannya. 
Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu 
masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung 
sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan 
akar gantung itu di atas kepalanya. 
“Permani...” 
Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar 
gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus 
robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan 
kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan 
yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya 
hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah.Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-
pecah bermandi keringat dan darah! 
Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di 
depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. 
Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan 
kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu 
diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan 
dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama 
kedua orang itu. 
“Kau akan kembali ke kota?” tanya Wiro Sableng yang 
berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua 
kuburan bertanah merah itu. 
Si gadis gelengkan kepalanya. 
“Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik 
terus langsung pulang ke kota kediamanmu...” 
“Tidak, aku tak akan kembali pulang.” 
Wiro kernyitkan kening. “Lalu...?” 
“Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa...” 
Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, “Ibumu 
akan susah bila kau tak kembali...” 
“Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di 
dunia ini...” 
“Jadi ibumu juga sudah meninggal?” 
Permani mengangguk. 
“Kau tak punya kerabat atau saudara?” 
“Tidak...” 
“Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-
betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa 
mudamu dan juga masa depanmu!” 
“Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak 
orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah 
merah itu...” sahut Permani dan butir-butir air mata ber–
jatuhan melewati kelopak kedua matanya. 
Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara 
secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagai–
mana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya 
paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar 


   kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk 
beberapa lamanya. 
“Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini, 
Wiro,” bisik Permani. “Aku akan tinggal di sini sampai 
akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan 
berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya...” 
Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya 
nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini. 
“Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat 
yang pernah diwariskan ayah...” 
“Itu sudah semestinya...” kata Wiro perlahan. Hatinya 
tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di 
goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu 
silatnya. 
“Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap 
kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-
tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui 
nasib buruk...” 
Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu 
tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya 
suasana diliputi kesunyian. 
“Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari 
sini. Sebentar aku kembali...” kata Wiro.


LIMA BELAS

KETIKA berjalan kembali ke goa sehabis member–
sihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya Wiro 
tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar 
suara ribut-ribut seperti suara orang berkelahi yang 
diselingi suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang 
waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan goa, 
terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! 
Dilihatnya Permani tengah bertempur melawan seorang 
laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma satu. Sebe–
narnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau 
dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu 
tengah mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar 
dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia bergerak tangan 
kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang 
terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi 
semua serangannya luput! 
Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tegak 
berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya 
satu mata alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu 
dengan gelak tawa gembira. 
“Ayo Sumplung! Robek saja pakaiannyal Biar mataku 
yang cuma satu ini bisa lihat kebagusan tubuhnya! Ah...! 
Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha... ha... 
ha!” 
Di samping si mata picak ini, tersandar ke sebatang 
pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang. 
Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian 
bawahnya ada bekas sambungan! Seperti kawannya, 
diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudah demikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani 
dan si tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu 
puluhan kali dia lebih terkejut! 
Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini 
adalah Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si 
Pelukis Aneh dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu! 
Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si 
tangan buntung terhadap Permani maka menggemuruhlah 
amarah Wiro Sableng. 
“Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang 
tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku!” Serentak 
dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si 
tangan buntung! 
Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain 
dari Sepasang Elmaut Kuning adanya. Bagaimana mereka 
bisa sampai ke tempat itu? 
Seperti telah diceritakan sebelumnya, mereka diam di 
sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-batu. Karena 
sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar 
rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan 
telanjang maka keduanya akhirnya memutuskan untuk 
pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si Pelukis 
Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti 
mengetahui rahasia tersebut dan kemudian memaksanya 
untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lama-
lama di lembah batu sudah terasa tidak aman bagi 
Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak murid Perguruan 
Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat 
persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu 
telah berhasil mereka kirim ke akhirat namun bukan tak 
mustahil banyak lagi tokoh-tokoh silat akan mendatangi 
mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri lukisan 
yang ada di tangan mereka. Maka keduanyapun berang–
katlah meninggalkan lembah batu. Dalam perjalanan 
mereka melewati tempat di mana Permani berada dan 
yang saat itu tengah berdiri di depan makam Panuluh dan 
ayahnya. Melihat gadis cantik di tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. 
Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning 
Kuping Sumplung ‘turun tangan’ lebih dulu hingga akhirnya 
terjadilah pertempuran! 
Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut 
mereka sewaktu mendengar bentak memaki Wiro Sableng. 
Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah 
menjamahi tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia 
dengan cepat menyurut mundur sewaktu merasa satu 
angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia 
tidak lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan 
dibuat mencelat mental! 
“Pemuda gondrong hina dina!” bentak Kuping 
Sumplung. “Siapa kau?!” 
“Kau dan kambratmu yang bermata satu itu pastilah 
Sepasang Elmaut Kuning!” 
“Hem... matamu cukup tajam untuk mengenali kami. 
Lekas terangkan siapa kau dan apakah mau mencari 
mampus sengaja membuat kericuhan di sini?!” 
Wiro tertawa mengejek. “Mataku bukan cuma cukup 
tajam mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga 
mengetahui bahwa kalianlah bangsat-bangsatnya yang 
telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan lukisan 
perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping 
sumplung bertangan buntung berani bikin kurang ajar 
terhadap kawanku!” 
“Ho... ho, jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau 
begitu biar kau kubikin mampus lebih dulu agar kami 
berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya 
nanti!” 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya 
dengan serangan tangan kanan yang hebat dan ber–
kekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia 
berharap akan dapat membuat pemuda itu menemui 
ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat seumur 
hidup! 
Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihat bagaimana pemuda itu bukan saja berhasil 
mengelakkannya tapi juga ganti membalas dengan satu 
serangan yang ganas! 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat ke 
samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras 
sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke 
pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua Palu Sakti 
Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan 
olah-olah! 
Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah 
tombak ke udara. Tendangan maut lawan lewat, sebaliknya 
dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan 
lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! 
Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan! 
Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan 
penjuru angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga 
dalamnya jauh lebih tinggi dari lawan. Dia sengaja 
mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan 
lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di 
lain pihak memang bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro 
Sableng! 
Sekejap kemudian lengan kedua orang yang bertempur 
itupun beradu! 
Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar sakit. 
Kulitnya keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari 
mulut Elmaut Kuning Kuping Sumplung terdengar suara 
pekik setinggi langit. 
Dia melompat dua tombak ke belakang. Lengannya 
yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata 
tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan itu 
hanya sebagian saja yang hancur, kalau tidak pasti di saat 
itu juga lengan kanan Kuping Sumplung akan putus dua! 
Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah 
sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertem–
puran! Bahkan mungkin lengannya itu tak bisa diper–
gunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan menggigit 
bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat di pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. 
Melihat kambratnya dibikin demikian rupa marahlah 
Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku 
karena luapan amarah itu! Di samping marah dia juga 
terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda 
bertampang tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! 
Dengan langkah-langkah besar Mata Picak maju ke 
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng! 
“Budak anjing hina dina!” bentaknya, “Aku tak begitu 
senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa 
adanya! Lekas terangkan namamu!” 
Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang. “Bicara–
mu keren sekali, Mata Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada 
Elmaut Kuning Kuping Sumplung yang duduk menjelepok 
di tanah sambil berusaha mengobati lengannya yang 
patah. “Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau kenal 
dengan tiga buah angka ini?!” Habis berkata begitu Wiro 
pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata 
Picak. Selarik angin menyambar panas! 
“Kurang ajar!” maki Mata Picak seraya menyingkir ke 
samping. Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di 
belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping Sum–
plung yang menjelepok di tanah terjerongkang ke 
belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan 
di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan 
tiga buah angka putih 212! 
Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak 
hampir satu tahun belakangan ini dia telah mendengar 
tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pen–
dekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh silat 
golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan 
banyak pula partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik 
Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan momok 
paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan 
kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan 
Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa 
Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya, di 
depan mata kepalanya sendiri! 
Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa 
pemuda itu bukan lawan enteng serta mengkhawatirkan 
pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil tertawa 
dan berbatuk-batuk berkata, “Ah... ah... dengan seorang 
gagah! Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, 
Pendekar 212!” Lalu dengan rangkapkan tangan di muka 
dada dia meneruskan, “Sebenarnya antara kita tak ada 
permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini 
baru bertemu muka. Gerangan apakah yang membuatmu 
sampai demikian tega merampas nyawa sahabatku?!” 
Wiro tertawa gelak-gelak. 
“Kalau tak ada hujan masakan ada geledek!” kata Wiro. 
“Kambratmu itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap 
sahabatku...” 
“Hem...,” Mata Picak menggumam dan tarik nafas 
panjang. “Sahabatku itu memang ceriwis dan tak boleh 
lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah menebus 
kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang 
antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain 
hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!” 
“Mana bisa kau pergi seenaknya!” 
Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro. “Kau 
telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang 
tersandar di pohon itu! Untuk itu kau patut menerima 
hukuman!” 
Paras Mata Picak berubah membesi. 
“Agaknya kau punya sangkut paut dan hubungan 
tertentu dengan Si Pelukis Aneh...” 
“Ada hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. 
Yang penting kau musti serahkan lukisan itu kepadaku! 
Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si 
Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal 
satu itu!” 
Elmaut Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak. 
“Aku sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta 



barang yang bukan milikmu. Menyuruh aku mencungkil 
mataku sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu 
terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga!” 
Begitu selesai bicara Mata Picak menggembor dan 
menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini 
sudah terlibat dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan 
Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya bayangan 
sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung 
mengurung tubuh Pendekar 212! 
Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera maklum 
bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi 
dari Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro 
melayani lawannya ini. Dalam tempo yang singkat sepuluh 
jurus sudah berlalu! 
Elmaut Kuning Mata Picak membentak nyaring dan 
tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut 
Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng 
bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian Pendekar 212 
mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro per–
cepat gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya 
terdengar suara, wutt... wutt... wutt... wutt! Selarik sinar 
hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin dingin yang 
menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! 
Wiro tak tahu senjata apa yang di tangan lawan, karena 
gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat luar biasa! 
Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya sema–
kin mengendur sedang setiap serangannya senantiasa 
terbendung oleh lingkaran sinar hijau! 
Breet! 
Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat 
mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dada–
nya robek besar. Belum sempat dia berbuat sesuatu apa, 
tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi. Meski 
sekilas tapi Wiro berhasil melihat senjata-senjata di tangan 
lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah kebutan 
yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! 
Wuuut!Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. 
Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan yang mengandung 
tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan 
benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-puku–
lan tangguhnya itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati. 
Suara siulan mengumandang aneh dari sela bibirnya! 
Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tiba-tiba jari-
jari tangan itu telah berubah menjadi putih dan kuku-
kukunya laksana kilauan perak mendidih! 
“Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini!” 
teriak Wiro Sableng. 
Mendengar nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata 
Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan mendahului 
menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan 
tangan kanannya! 
Wuss! 
Mata Picak terpekik! 
Kebutan di tangannya mental dan hancur bertaburan 
sedang tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! 
Buru-buru manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke tangan 
yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah! Untuk 
menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar 
di bahunya! 
Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia 
ini. Seseorang yang tersambar pukulan Sinar Matahari
biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan menggeletak mati! 
“Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus!” teriak 
Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan 
diangkat ke atas dan memancarkan sinar kekuning-
kuningan. Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut Naga 
Geni 212. 
Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan kedua 
tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana 
topan prahara. Dua gelombang sinar kuning melesat. 
Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan menyambar ke 
arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! 
Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat gerakan setengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu ke 
muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang 
melesatkan puluhan paku-paku emas beracun. Laksana 
daun kering dihembus angin puting beliung demikianlah 
bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut Kuning Mata 
Picak itu! 
Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana 
mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan 
lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan Paku 
Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi serangan 
itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! 
Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia 
akan mencari penyakit jika meneruskan pertempuran 
maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur, 
menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri 
dengan cepat! 
“Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak!” seru 
Wiro Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah 
di belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet 
Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan ketika 
turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak! 
“Keparat! Mampuslah!” hardik Mata Picak dan 
lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan tangan 
kirinya! 
Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu 
berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, 
cras! Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini meraung 
kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari buntungan 
tangannya mengalir hawa aneh yang menggidikkan bulu 
kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai 
menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak 
hantamkan lukisan perempuan telanjang ke kepala Wiro 
Sableng. 
Wiro menangkis. 
Braak! 
Kayu lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari 
lukisan robek sepanjang setengah jengkal!Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu 
tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni 
menderu turun. 
Untuk kedua kalinya terdengar suara cras! 
Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan Mata 
Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun lagi 
tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat lamanya 
dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. 
Kemudian tubuhnya tak bergerak lagi tanda rohnya 
melayang sudah! 
Wiro Sableng usap-usap lengannya yang dihantam 
pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak, tapi tidak 
mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di 
tanah dan kembali ke depan goa. 
Permani tak kelihatan di situ. Tentu di dalam goa, pikir 
Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak 
kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di 
dinding. Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya 
hancur. Ketika didekati dan diperhatikan oleh Wiro, 
ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi! Pembalasan 
yang setimpal telah didapatnya! 
Wiro keluar dari goa dan berseru memanggil Permani. 
Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari. Pada saat 
itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut 
dan membacanya: “Permani berjodoh untuk jadi muridku, 
pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.”
Membaca tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro 
Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu. 
Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu 
silat dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih penting 
bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi meneruskan 
niatnya untuk hidup sebagai pertapa! 
Wiro mendongak ke langit. Matahari telah tinggi, hampir 
mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian memper–
hatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah 
hancur bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia 
memperbaiki kayu pigura yang hancur itu dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya 
ke tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis 
Aneh itu? Dia menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua 
bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh belasan 
tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan. 
Membawanya secara terang-terangan pastilah akan 
mencari kesulitan karena lukisan diincar oleh hampir 
semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari golongan 
hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala. 
Akhirnya Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya 
keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu demi satu. 
Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik 
pakaian pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu 
pigura sudah dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung 
lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan itu 
bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di 
bawah kain lukisan perempuan telanjang itu, terdapat lagi 
sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini sebagai 
alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di 
bagian bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap. 
Terkesiaplah Wiro Sableng sewaktu melihat bagian 
pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu ternyata 
terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambar-
gambar orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata 
semua tulisan dan gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu 
silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa 
hebatnya! 
Wiro geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia 
besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan 
perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak 
mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan 
meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh cerdik 
sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang 
hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti 
lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis 
Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus 
Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaran

berjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai 
puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu 
silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, 
siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang 
tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! 
Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak 
mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan 
digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian 
diapun sudah berlalu dari situ.



                             TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive