Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Minggu, 26 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - KHIANAT SEORANG PENDEKAR

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com


SATU


KEDAI  MINUMAN itu penuh dengan para pengunjung  yang ingin menikmati 

bandrek, pisang rebus dan  kacang goreng. Sehabis hujan memang sedap sekali 

duduk menikmati bandrek hangat sambil mengobrol dan menghisap rokok, (ban-

drek " minuman  manis bercampur jahe, biasanya diminum hangat-hangat). 

Tetamu yang ada dalam kedai  itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan

membekal  golok. Pertanda bahwa mereka  adalah orang-orang kasar.

    Seorang pemuda muncul di pintu kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia 

memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang gondrong basah acak-acakan.

    "Saya mencari Memed Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu 

bertanya.

    Orang-orang yang ada di dalam kedai itu berpaling ke  pintu. Sesaat mereka 

memandang si pemuda lalu meneruskan obrolan mereka, menghisap rokok atau

meneguk bandrek. Tak ada yang menjawab.Semua seperti tak acuh. Seolah-olah 

pemuda itu tak ada disana.

    Orang yang bertanya garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan,  

tetapi cukup je!as terdengar oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata,

"Aku yakin tidak semua orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada 

yang menjawab?"

    Seorang berdestar hitam berpipi cekung membuka mulut dari belakang  meja 

di mana dia sibuk melayani tetamu. Dia adalah pemilik kedai.

    "Orang yang kau cari tak ada di sini

"

    "Saya mendapat  keterangan orang itu selalu nongkrong di kedai  ini setiap 

malam," berkata si pemuda. Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan  

masuk ke dalam kedai yang sudah sesak  oleh tamu itu,

"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul. Mungkin sebentar lagi," 

kata orang kedai lalu menyarankan: "Tunggu saja di  sini sambil minum-minum 

...."

    Pemuda  itu memandang  berkeliling dan menjawab: "Biar saya menunggu di 

luar saja ...."

    "Terserah  padamu. Tak  ada yang melarang dimanapun kau mau menunggu."

    Pemuda tadi balikkan  tubuh dan pergi tegak di bawah cucuran atap kedai. 

Udara malam sehabis hujan sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak 

merasakan.  Dia tetap tegak di tempatnya mematung dan menunggu sampai 

akhirnya dari dalam kedai keluar dua orang tamu. Yang satu tinggi kekar 

berkumis melintang. Satunya lagi agak  pendek berkereta  gundul, juga bermisai 

lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.

    "Anak muda rambut gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa  mencari 

Memed Gendut?" salah seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan 

pertanyaan.

   "Keperluan kecil: Biasa-biasa saja" jawab sipemuda.

   "Hemm... Apa yang kecil dan apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak. 

Matanya liar memandangi si pemuda dari atas sampai ke bawah.

   "Saya hanya  ingin bicara dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."

   "Jangan  begitu. Kami berdua  adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika 

kau ada keperluan kami bisa membantu." Kata si tinggi kekar.

   Pemuda itu berpikir sejenak. Akhirnya menjawab.

"Terima  kasih. Biar saya menunggu Memed Gendut saja

   "Sikapmu  tidak  mempercayai  kami  berdua huh?!" 5»ata si pendek botak 



dan.dia melangkah mundar-mandir  di depan pemuda itu.  Tangan kanannya

bersitekan pada hulu golok.

   Si pemuda garuk-garuk kepalanya.  "Apa gunanya saya tidak  percaya pada 

kalian. Tapi apa untungnya kalau mempercayai kalian!"

    Si  tinggi besar ulurkan tangannya dan  tepuk-tepuk bahu pemuda  itu. 

"Jangan bicara seperti itu anak muda. Orang hendak  menolongmu  kenapa 

bicara tidak enak begitu ...?"

    "Eh. aku tadi bilaa terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin 

menunggu Memed Gendut. Tapi kalian  seperti  memaksa!',' Pemuda berambut 

gondrong yang bertampang seperti tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar 

karena jengkel.

   Si tinggi besar menyeringai dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala 

botak, lalu berkata pada pemuda di hadapannya.

   "Memed Gendut terkenal sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang 

asing mencarinya, pasti urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"

   Si pemuda tak menjawab.

   Si botak kini ikut memegang bahu pemuda itu seraya berkata: "Jika kau 

memang ingin membeli kuda, serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini. 

Dalam waktu  singkat kami akan kembali membawakan seekor kuda paling 

bagus untukmu.... Nah serahkanlah"

   "Serahkan apa?!"

   "Uang pembeli kuda!"

   "Apa kalian juga pedagang kuda?"

   Si tinggi menjawab: "Tadi sudah kami katakan. Kami  ingin menolongmu. 

Ternyata betul kau ingin membeli kuda! Memed Gendut memang pedagang kuda 

terkenal. Tapi harga kudanya mahal.Kuda milik kami tak kalah bagus, malah 

jauh lebih murah. Tun jukkan berapa uang yang kau punya?"

    "Sudahlah.  Biarkan aku sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi  ke 

dalam  meneruskan minum.."

   "Hemm " si  tinggi  besar usap-usap dagunya.  "Kalau begitu kau harus bayar 

uang wara-wiri pada kami!"

   "Eh, bayar apa? Apa itu uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.

   "Sebagai ganti rugi  karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!" 

jawab si pendek botak seraya puntir kumis tebalnya.

   Pemuda gondrong melongo la!u tertawa gelak-gelak.

   "Sialan! Kenapa tertawa!" bentak si tinggi

   "Kalian ini berdua mengemis atau hendak memeras?!" tukas pemuda itu.

   'Terserah kau mau  menyebut  apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang 

yang kau miliki!" bentak si botak.

   "Nah, nah! Tadi hanya minta uang wara-wiri! Kini  inginkan  semua  uangku! 

Benar-benar wong edan!"

   Sret!

   Sretl

   Dua bilah golok telanjang tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda 

itu. Orang lain mungkin sudah  pingsan atau terkancing  ketakutan  dikalungi

dua  buah golok seperti itu. Tapi anehnya si pemuda malah menyeringai dan  

keluarkan siulan.

   "Kalau begini namanya bukan pengemis atau pemerasan, tapi perampokan!" 

katanya

   "Tepat  sekali! Ini memang perampokan!  Lekas serahkan semua uangmu I" Si 

botak ulurkan tangan kirinya  untuk  menggeledah pinggang dan saku pakaian 



si pemuda. Tapi tiba-tiba pemuda itu hantamkan sikunya ke lambung si botak 

hingga orang ini terjungkal. Di  saat yang bersamaan kawannya si tinggi

merasakan  satu tendangan menghantam tempurung lututnya hingga hancur 

dan terjengkang jatuh sambil berteriak kesakitan.

   Plak!

   Plak!

   Satu tamparan amat keras melayang ke muka kedua orang itu.  Bibir mereka 

pecah. Keduanya tergelimpang pingsan di bawah cucuran atap.

   Suara pukulan dan tendangan serta pekik dan tamparan membuat semua 

tamu dalam kedai terkejut lalu berlarian ke luar untuk melihat apa yang terjadi.

Di luar mereka dapatkan dua kawan mereka tergelimpang pingsan di tanah yang 

becek  sementara pemuda asing yang tadi mencari Memed Gendut tegak tenang-

tenang bersidakap lengan,, seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di tempat itu.

Seorang menyeruak dari kerumunan para pengunjung kedai  dan bertanya:  

"Ada apa di sini?! Anak muda. Kau yang mencelakai kedua orang ini?"

    "Bukan aku. Mereka minta celaka sendiri!" jawab si pemuda. Lama-lama dia 

merasa muak melihat sikap orang-orang itu. "Aku mencari Memed Gendut! 

Mereka hendak merampok! Wong edan!"

    "Jangan menuduh sembarangan! Mereka adalah orang baik-baik!" Yang bicara 

adalah pemilik kedai.

    "Begitu? Apa kau dapat menerangkan mengapa orang baik-baik mencabut 

golok dan memaksa aku menyerahkan uang?!"

    "Kau mengarang cerita!" Seseorang berkata setengah berteriak.

    Lalu  beberapa orang  membuat gerakan sama. Mencabut golok di  pinggang 

masing-masing. Termasuk si pemilik kedai.

    "Hemm.... kalau begitu kalian semua ternyata kawanan rampok!" ujar si 

pemuda. "Rupanya sudah cukup lama kalian berkomplot di  daerah ini tanpa

pernah mendapat hajaran! Hari ini biar tuan besarmu memberikan, sedikit 

pelajaran! Majulah ramai-ramai!"

    "Pemuda Sombong!"

    "Minta mampus!"

    Enam orang merangsak maju dengan senjata di tangan. Si pemuda sama 

sekali tidak takut. Sikapnya berdiri acuh tak acuh- Ketika dua dari enam 

pengeroyok menyerbu maju, pemuda  berambut gondrong keluarkan  siulan  

nyaring.  Tubuhnya berkelebat ke atas. Tangan dan kakinya menghantam  kian 

ke mari. Maka terdengarlah jerit pekik  di tempat itu. Tiga orang langsung 

terhampar di tanah,  merintih  kesakitan sambil pelangi dada, kepala atau perut. 

Dua lainnya  tersandar di dinding kedai. Yang satu yang paling parah 

menyangsang di antara semak belukar di seberang jalan!

   Melihat  kejadian ini, yang lain-lain melangkah mundur menjauhi si pemuda. 

Rasa kagum tertutup oleh rasa takut. Ketika pemilik kedai buang senjatanya ke 

tanah dan masuk ke dalam kedai, yang lainnya pun mengikuti.  Tapi ada pula 

yang segera meninggalkan tempat itu dan lenyap dalam kegelapan malam.

   Si  pemuda tiba-tiba merasakan punggungnya di tepuk  orang. Cepat dia  

berpaling dan dapatkan seorang lelaki kecil sangat kurus tegak di hadapannya.

Orang  ini  memberi isyarat seraya berkata: "Lekas ikuti aku!"

   "Kau siapa?" tanya si pemuda curiga.

   Orang itu tak menjawab, malah langsung berlari pergi. Meskipun  merasa tidak 

enak tapi akhirnya pemuda itu mengejar juga orang tadi.

   Jauh di pinggiran desa, dekat pesawahan orang itu perlambat larinya lalu 

berhenti dan menunggu si pemuda.



''Katakan apa maksudmu menyuruh aku mengikuti?!" tanya si pemuda.

   "Bukankah kau mencari Memed Gendut? Akulah orangnya!"

   "Kurang ajar! Jangan berani bergurau "

   "Aku tidak  bergurau!  Memang  akulah Memed Gendut. Pedagang kuda yang 

kau cari!"

    "Menurutku yang namanya Memed Gendut itu pasti manusianya gemuk 

besar. Tidak kurus kering cacingan sepertimu ini!"

    Orang itu tertawa. "Kau hanya mengenal namaku. Belum pernah bertemu. 

Bukan kau seorang yang menduga salah. Orang-orang memberi nama itu 

padaku justru sebagai kebalikan dari  keadaan  tubuhku yang seperti jerangkong 

ini!"

    'Begitu? Tapi aku masih belum percaya padamu. Bukankah tadi kulihat kau 

ada di dalam kedai ketika aku pertama kaii datang dan bertanya?"

    "Betul..”

    "Lalu kenapa kau tidak menjawab?"

    “Aku tidak berani."

    "Mengapa tidak berani?"

    "Kedai dan daerah sini dikuasai oleh gerombolan rampok dan pemeras 

pimpinan Kumbang Plered. Orangnya, itu  yang tinggi besar dan berkumis yang

mula-mula mendatangimu bersama si botak. Pemilik kedai adalah salah seorang 

anak buahnya. Oan aku sejak lama  jadi bulan-bulanan pemerasan mereka. Jika

ada yang hendak membeli kuda, mereka langsung turun tangan  menetapkan 

harga. Padaku kemudian hanya diberikan sejumlah uang yang sangat kecil. Aku

sudah lama ingin meninggalkan daerah ini, tapi mereka mengancam anak dan 

istriku!" Memed Gendut yang ternyata hanya seorang lelaki separuh  baya ber-

tubuh kurus kering diam sesaat.  Lalu  .dia bertanya:

"Kau mencariku apakah hendak membeli kuda ....?"

   Pemuda  rambut gondrong mengangguk. "Tapi aku kawatir uangku tak cukup. 

Apakah bisa kalau menyewa saja?"

   Memed Gendut tertawa. "Sewa menyewa tak pernah kulakukan.  Itu urusan 

bikin repot saja. Melihat kau telah melakukan sesuatu yang hebat malam ini, 

aku bertanya, berapa uang yang kau miliki?"

   Pemuda itu mengeluarkan  sebuah kantong kecil dan menyerahkannya pada si 

pedagang kuda. Memed Gendut  memeriksa  lalu memasukkan kantong itu ke

dalam saku pakaiannya.

   "Uangmu tak cukup untuk membeli sepotong kudapun. Tapi tak apa. Kau

orang asing. Dari sini kemana tujuanmu?" tanya Memed Gendut.

   "Lumajang."

   "Lumajang? Berarti kau akan melewati lautan pasir Tengger. Dengan berkuda 

terus menerus paling tidak kau membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dan 

tak mungkin kau hanya memiliki seekor kuda. Paling tidak harus ada seekor  

kuda cadangan. Kalau hanya membawa seekor kuda, dan terjadi apa-apa dengan 

binatang itu, kau akan menemui ajal dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil 

jalan lain. Tapi itu berarti lebih dari sepuluh hari  baru sampai  di Lumajang."

   "Itulah yang tak aku ingini. Aku harus cepat-cepat sampai di sana." Si pemuda 

tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya berulang kali. "Uangku katamu 

tidak cukup .... Bagaimana ini?"

   "Sudahlah, aku  akan menolongmu. Boleh aku tahu namamu?"

   "Panggil aku Wiro," jawab pemuda gondrong.

   "Aku akan berikan dua ekor kuda padamu. Jika kemudian hari kau mau 

membayar kekurangannya terserah saja. Tapi aku tak begitu mengharapkan ..."



"Terima kasih. Kau orang baik. Tapi dari tadi kita hanya bicara saja di pinggir 

sawah di malam buta dan gelap begini. Aku belum melihat kuda-kudamu ..,."

   "Rumahku di timur sawah ini. Kita berangkat sekarang saja."

   Kedua  orang  itu menyeberangi sawah menuju ke arah  timur. Selewatnya 

pesawahan, dalam kegelapan malam di  kejauhan  tampak sederetan rumah. 

Salah satu di antaranya memiliki halaman luas yang diberi berpagar kayu tinggi. 

Lebih dari selusin kuda kelihatan di  balik pagar  itu. Inilah rumah  Memed 

Gendut. Ketika sampai di ujung pagar,  pedagang kuda ini hentikan langkah. Dia 

memandang ke arah rumah. Dalam kegelapan tampak sosok-sosok tubuh 

mendekam di sekitar bangunan.

   "Hatiku tak enak. Ada bebecapa orang di sekitar rumah. Aku curiga. Jangan-

jangan .. .." kata Memed Gendut.

   "Aku juga sudah melihat dari tadi," kata Wiro.

"Tenang saja. Jika orang-orang itu bermaksud jahat akan kugebuk seperti tadi 

aku menggebuk Kumbang Plered dan anak buahnya."

   "Yang aku kawatirkan anak istriku di dalam rumah” ujar Memed Gendut.

   Kedua orang itu memasuki pintu halaman.

   "Berhenti di sana!" satu  bentakan menggema keras di dalam kegelapan malam 

yang dingin.

   "Astaga! Itu  suara Kumbang Plered!" bisik Memed  Gendut. "Bagaimana dia 

tahu-tahu sudah berada di sini?!"



DUA



  DELAPAN  ORANG  bergerak dari  arah bangunan rumah. Semua menghunus 

senjata di tangan. Golok dan kelewang. Di sebelah depan memimpin seorang  

bertubuh  tinggi besar. Ternyata  dia memang  Kumbang Plered, kepala 

gerombolan rampok dan pemeras.

    "Memed  Gendut!" teriak suara Kumbang Plered. Salah  satu kakinya  yang 

luka parah tampak di ikat dan diganjal  dengan beberapa potong kayu. "Tidak

disangka kau telah berkomplot  dengan seorang pemuda asing dan berani 

melawan kami!"

    "Aku tidak berkomplot dengan siapa-siapa Kumbang!" kata Memed Gendut.

    "Masih berani kau berdusta! Apa yang terjadi di kedai tadi cukup 

membuktikan tuduhanku! Dan sekarang terbukti lagi kau muncul di sini 

bersama kawanmu itu!  Bagus! Bagus sekali perbuatanmu Memed. Dan kau 

harus bayar dengan mahal semua itu!"

    "Selama  ini aku selalu  mengikuti kehendakmu Kumbang. Sekarang kulihat 

kau tidak beritikad baik terhadapku .  ..?"

    "Bukan hanya padamu Memed! Tapi juga terhadap kawanmu! Dengar baik-

baik. Di dalam rumah dua orang anak buahku siap menggorok leher istri dan 

tiga anakmu!"

   "Ya Tuhan!" pekik Memed Gendut. "Jangan kau celakai anak istriku!"

   "Jika kau ingin mereka selamat ikuti kata dan perintahku!" kata Kumbang 

Plered.

   "Apa yang kau inginkan Kumbang....?'  suara Memed  Gendut bergetar 

sementara  Wiro tegak tak bergerak memperhatikan keadaan di sekitarnya. 

"Pertama kawanmu  itu harus menyerahkan seluruh uang yang dimilikinya

   "Ini ambillah!" ujar Memed Gendut seraya melemparkan kantong uang yang 

tadi diterimanya dari Wiro.

   Kumbang Plered cepat menangkap kantong uang itu. "Kedua, semua kuda 

yang ada di tempat ini mulai detik ini menjadi milikku . .."

   "Mati aku! Kumbang!  Kau tahu mata pencaharianku adalah berjual beli kuda. 

Keuntungannya tidak seberapa.  Kalau kau merampas semua kudaku 

bagaimana  aku menghidupi anak istriku ... .!" teriak Memed Gendut dengan 

suara setengah meratap.

   "Kalau begitu kau tak ingin anak istrimu selamat! Apakah perlu kuperintahkan 

agar mereka segera  digorok saat ini?!"

   "Jangan ...! Jangan lakukan itu  Kumbang! Kau boleh ambil semua kuda itu. 

Lalu pergi dari sini!" Kumbang Plered menyeringai.

   "Bagus! Rupanya kau  betul-betul mencintai anak istrimu. Hal 

ketiga!Kawanmu itu akan kami tangkap hidup-hidup. Jika dia berani melawan, 

anak istrimu tetap akan jadi korban!"

    Memed Gendut berpaling pada Wiro. Si pemuda tampak berubah parasnya. 

Dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.

    "Ada apa kau ingin menangkapku?!" tanya Wiro.

    "Pertama karena apa yang telah kau lakukan terhadap kami di kedai bandrek 

tadi! Kedua kami mengetahui  kau mengandung  maksud buruk pergi ke

Lumajang. Jadi kau pantas ditangkap dan diserahkan pada Adipati Kebo 

Penggiring!"

    "Keparat setan alas!" Wiro memaki dalam hati. "Apakah bergundal sial ini

benar-benar mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada Kumbang Plered Wiro 


tak ingin menunjukkan keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek:  "Rupanya 

pelajaran yang kuberikan di kedai minuman itu masih belum cukup. Kau ingin  

kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"

    Kumbang Plered meludah ke tanah. Saat itu bibirnya masih mengeluarkan 

darah akibat tamparan keras Wiro.

    "Pemuda gembel buruk! Jangan berlagak jagoan di hadapanku.Kau kenal dua 

temanku ini.. ..?" Kumbang Plered  menunjuk pada  dua lelaki berpakaian merah 

di sampingnya.

    Wiro ingat betul.  Dua orang ini tidak ada dalam kedai bandrek ketika  dia 

datang ke sana. Rupanya Kumbang Plered sengaja datang ke situ membawa 

mereka untuk dimintakan bantuan. Berarti keduanya memiliki kepandaian yang 

diandalkan.

    "Siapa dua ekor kunyuk itu mana perduliku!" menyahuti Wiro.

    Kumbang  Plered tertawa mengekeh. Sedang dua orang berpakaian merah 

tampak berubah garang tampang mereka karena dicaci sebagai kunyuk oleh 

Wiro.

    "Kawan-kawan, kalian dengar sendiri. Mulutnya terlalu lancang. Menurut 

hematku kalau tak dapat ditangkap hidup-hidup mayatnya pun cukup berharga.

Bagaimana pendapat kalian?!"

    Salah satu dari dua orang berpakaian  merah itu menjawab: "Kami lebih suka 

mematahkan batang lehernya!" Lalu dia memberi isyarat pada kawan di 

sebelahnya. Lima orang anak buah Kumbang Plered segera menyebar, 

mengurung. Memed Gendut menjauhkan diri ke sudut halaman. Dua lelaki 

berpakaian merah tampaknya hanya mengandalkan sepasang tangan kosong, 

bergerak  mendekati  Wiro. Siapakah kedua orang berpakaian serba merah ini?

    Yang berjanggut macam kambing bernama  Kuto Simpul. Kawannya yang  

bermata  jereng  bernama Reso Bondo. Sekitar setahun lalu kedua orang ini ikut

menjadi pimpinan dari satu kelompok  rampok hutan Roban yang ganas. 

Keduanya kemudian memisahkan diri lalu meneruskan  kehidupan sesat  

dengan berkeliaran sebagai manusia-manusia bayaran. Kalau dulu mereka 

malang melintang dalam rimba belantara maka kini keduanya berkeliaran di 

Kadipaten-Kadipaten bahkan tak jarang muncul  di Kotaraja. Mereka akan 

melakukan apa saja — mulai dari membunuh dengan meracun sampai menjagal 

batang leher korban — asalkan  mendapat bayaran.  Karenanya tidak  heran

kalau  kedua orang ini banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh golongan sesat 

tapi juga pejabat-pejabat kerajaan.

    Kumbang Plered termasuk salah seorang yang rapat hubungannya dengan 

kedua  orang ini. Karena kebetulan  mereka berada di daerah itu, setelah dihajar

oleh Wiro,  Kumbang  Plered memerintahkan anak buahnya menemui Kuto dan  

Reso. Bersama-sama mereka mendatangi rumah Memed  Gendut. Dugaan 

mereka bahwa pedagang kuda  dan pemuda itu akan muncul bersama di sana 

ternyata tidak meleset.

    Melihat dua orang itu maju tanpa keluarkan senjata, Wiro segera maklum 

kalau mereka tidak boleh dianggap remeh. Namun dasar sikapnya yang suka

menggoda dan mencemooh  orang,  pemuda ini enak saja kembali mengejek.

    "Ayo dua ekor kunyuk majulah.  Kalian membela bangsa  perampok dan 

pemeras  berarti kalian sama saja isi perutnya!"

    Kuto Simpul dan Reso Bondo marah bukan main. Seumur hidup baru kali itu 

keduanya menerima penghinaan  demikian rupa.  Didahului dengan bentakan-

bentakan  garang, keduanya berkelebat  menyerang. Suara  serangan  mereka 

mengeluarkan angin deras tanda keduanya  memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang tinggi.

    Untuk menjajaki sampai di mana kekuatan lawan, Wiro sengaja menyongsong 

dengan kedua lengan terpentang, berusaha mengadu tangan. Tapi dua orang

lawan berlaku cerdik. Mereka menghindari terjadinya bentrokan pukulan, 

sebaliknya serentak menyebar ke kiri dan kanan lalu menghantam dengan 

pukulan tangan kosong.

   Wutt!

   Wutt!

   Dua angin pukulan menerpa dengan deras. Wiro melompat  ke belakang.  

Kedua tangannya diangkat ke atas. Masing-masing telapak melambai menyapu-

nyapu. Terdengar suara menderu. Kuto dan Raso tersentak kaget ketika 

dapatkan angin pukulan mereka bukan saja menjadi buyar, tetapi membalik ke

arah mereka sendiri!

   Kedua orang  itu cepat jatuhkan diri. Begitu menjejak tanah mereka gulingkan 

diri sambil kaki kirimkan tendangan. Kuto  menendang ke arah kaki kanan Wiro 

sedang Reso Bondo menghantam ke arah dada. Mau tak mau Wiro terpaksa cari 

selamat dengan jalan melompat ke atas. Dari atas pemuda ini kembali kebutkan 

kedua tangannya. Tapi lawan sudah berguling lagi menjauh. Sambil bangkit 

Kuto Simpul berbisik pada kawannya.

   "Reso, pemuda ini bukan cacing tanah sembarangan. Hati-hatilah

   "Kau betul," sahut Reso Bondo. "Sebaiknya kita keluarkan empat  jurus 

perampok mabok  sekarang juga!"

   Kuto Simpul mengangguk tanda setuju.

   Dari mulut kedua orang itu tiba-tiba keluar suara tawa berkakakan terus 

menerus. Sambil tertawa keduanya  bergerak  berputar-putar  mengelilingi  Wiro.

Tangan dan kaki mereka ikut bergerak tiada putus-putusnya, memukul dan 

menendang, membuat Wiro terjepit di  tengah-tengah  dan siap  jadi bulan-

bulanan serangan.

    "Jurus rampok mabok!" seru Kumbang Plered dalam  hati  dan  terkejut.  

"Baru  beberapa  gebrakan mereka  sudah mengeluarkan jurus hebat itu. 

Apakah pemuda keparat itu benar-benar luar biasa?"

    "Hai! Kalian benar-benar seperti kunyuk mabok

durian?'!" Wiro berteriak. "Menjauhilah! Badan kalian menebar bau busuki"

    Buk!

    Baru saja pemuda itu mengejek demikian, satu pukulan menghantam 

dadanya sebelah kiri.

    "Kena!" seru Kuto Simpul giring walaupun mulutnya tampak meringis karena 

tangannya yang tadi berhasil  menghantam dada lawan terasa sakit. Selain

menahan sakit Kuto juga menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi 

jangankan  membuat lawan terjungkal, cidera pun tidak. Maka diapun memberi 

isyarat pada Reso Bondo untuk melipat gandakan arus serangan dan menambah 

cepat gerakan memainkan jurus-jurus  perampok  mabok yang kini tinggal  tiga

jurus.

   Memed Gendut yang melihat si pemuda terdesak malah  kena pukul menjadi  

semakin  ketakutan. Dia lari kearah rumah untuk menemui anak istrinya. Tapi

dua orang anak buah Kumbang Plered cepat menghadangnya dan menekankan 

ujung golok ke perut pedagang kuda itu.

   "Lepaskan  anak istriku! Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Memed Gendut  

Tubuhnya terkulai lemas dan jatuh duduk di tanah.

   Sementara-itu  Kuto Simpul dan Reso Bondo sudah mulai menyerbu Wiro 

sambil terus berteriak-teriak. Empat jurus  perampok mabok sebenarnya 



merupakan ilmu silat yang bukan sembarangan. Terbukti dengan mengandalkan 

ilmu silat itu Kuto dan Reso telah membuat diri mereka ditakuti di mana-mana.

Namun malam itu keduanya berhadapan dengan seorang lawan yang tingkat 

kepandaiannya jauh berada di atas mereka. Meskipun telah melipat gandakan 

kecepatan serangan, tapi sampai jurus ke empat selesai, keduanya tidak 

berkesempatan untuk mendapatkan pukulan ataupun tandangan ke tubuh 

Wiro.

   "Hai! Kenapa  kalian berhenti barteriak-teriak?!" Wiro bertanya mengejek.  

"Rupanya  sudah sembuh dari kerasukan setan?!"

    "Keparat! V gertak Reso Bondo. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangan 

kanannya diluruskan dan menusuk deras ke tenggorokan Wiro.  Kawannya tak

tinggal diam, kirimkan tendangan ke bawah perut si pemuda.

    "Hemm... Kali ini  rasakan  bagianmu!" kata Kumbang Plered yang merasa 

yakin serangan mendadak dan cepat  dari kedua orang berpakaian merah itu

pasti  akan  menghantam tubuh si pemuda.  Namun alangkah terkejutnya ketika 

melihat apa yang kemudian terjadi.

   Wiro miringkan tubuhnya ke belakang. Tusukan lima jari tangan Reso Bondo 

hanya menembus udara kosong. Di  saat yang sama pemuda  itu  lepaskan 

tendangan  kaki kanan,  membabat kaki  Kuto  Simpul yang menderu  ke arah 

selangkangannya. Sebelum tubuhnya jatuh punggung di tanah, Wiro masih 

sempat mencekal pergelangan tangan Reso Bondo lalu menyentakkan selebat 

tenaga!

   Gerakan yang dibuat Wiro bukan saja sangat sulit tapi sungguh luar  biasa. 

Tubuh Reso Bendo  laksana dilabrak topan, menderu jungkir balik  di udara dan

terhempas keras di tanah tanpa dia bisa membuat gerakan  mengimbangi diri 

atau mampu berusaha jatuh di atas kedua kaki Mata jereng manusia ini 

membeliak dan dari mulutnya .terdengar suara gerung kesakitan.  Kening dan 

hidungnya lecet berdarah  disungkur tanah!

   Dibandingkan dengan kawannya yakni Kuto Simpel si janggut kambing, Reso 

Bondo masih mending. Kalau dia cuma lecet kening dan hidung maka Kuto

Simpul terdengar menjerit ketika tulang kering kaki kanannya remuk dihantam 

tendangan Wiro. Tubuhnya terjengkang dan dia tak kuasa berdiri lagi.

   "Keparat!" maki Reso Bondo seraya berdiri terhuyung-huyung. Dia berpaling 

pada Kumbang Plered dan berteriak:  "Kumbang! Perintahkan  orang-orangmu di 

dalam rumah membunuh perempuan dan anak-anak itu!"

   "Jangan!" terdengar jeritan Memed Gendut. "Jangan ganggu anak istriku!"

   Reso Bondo  melompat dan menjambak rambut pedagang kuda itu. Dia 

memandang ke jurusan Wiro dan berteriak: "Kau dengar ratap orang ini? Jika 

kau tidak mau menyerah perempuan dan anak-anak di dalam rumah akan 

kusuruh bunuh!"

   "Sialan!  Bangsat  ini benar-benar nekad!" maki Wiro dalam hati. "Kalau kau 

berani melukai perempuan  dan anak-anaknya itu aku bersumpah  untuk

membunuhmu lebih dulu!" gertak Wiro.

   "Bagusi Akan kita lihat! Siapa yang bakal mampus  duluan!" ujar Reso Bondo 

mendengus. "Seret perampuan dan dua anak itu keluar rumah!"

   Kumbang Plered  melangkah terpincang-pincang. Walaupun dia berjalan dalam 

keadaan satu kaki cidera dan dengan bantuan tongkat kayu, tapi gerakannya

masih cukup cepat.  Dia masuk ke dalam rumah. Sesaat  kemudian muncul lagi 

diikuti  dua orang anak buahnya. Yang paling depan menyeret seorang 

perempuan yang tengah hamil besar. Di sebelah belakang menyusul lelaki kedua 



sambil mencekal leher pakaian dua orang anak lelaki kecil berusia dua dan tiga 

tahun.  Kedua anak ini menangis menjerit-jerit

   Kumbang Plered cabut golok besarnya dan letakkan ujung senjata itu di atas 

perut istri pedagang kuda sementara Reso  Bondo angkat  kedua tangannya ke 

atas, siap mengemplang kepala dua orang anak Memed lenduti

   "Baiklah!  Aku menyerah!" kata Wiro sementara Memed Gendut meratap 

menyembah-nyembah di hadapan Reso Bondo agar kedua anak dan istrinya 

jangan dilukaj,  apalagi sampai dibunuh. "Kalian mau tangkap aku silahkant" 

ujar Wiro.

   Kuto Simpul yang masih terkapar di tanah  segera berteriak pada anak-anak 

buah Kumbang Plered.

   "Lekas kalian tangkap dan ikat pemuda gondrong itu!"

   Tiga orang anak buah Kumbang Plered cepat maju mendekati  Wiro. Salah 

seorang di antaranya membawa segulung tali. Wiro ulurkan tangan. Lelaki yang

membawa tali segera bertindak untuk mengikat. Dua kawannya mencekal leher 

dan pinggang Wiro.

   "Bagus ... bagus!  Ini yang aku mau!" kata Wiro dalam hati. Begitu  tiga orang 

itu benar-benar sudah sangat  dekat  dengan dia, tangannya yang diulurkan dan 

baru saja dilingkari tali, meluncur ke depan dan ke samping, merampas golok 

yang tersisip di pinggang dua dari tiga anak buah Kumbang Plered. Gerakan 

pemuda ini demikian  cepatnya. Tiga anak buah rampok dan pemeras itu 

menjerit keras ketika dua batang golok di tengah kiri kanan Wiro berkelebat.

   Orang yang hendak mengikatkan tali terhuyung-huyung ke belakang sambil 

pegangi dadanya yang berlumuran darah disambar golok. Kawannya di sebelah

kiri jatuh tersungkur sambil meraung dan pegangi lengan kirinya  yang  putus. 

Sementara lelaki ke tiga menjerit keras sambil pegangi mukanya yang robek

mulai dari dagu sampai pipi kanan.

   Selagi Kuto Simpul, Reso Bondo dan Kumbang Plered  serta yang lain-lainnya 

terkesiap kaget melihat apa yang terjadi, dua golok di tangan Wiro telah melesat 

di  udara. 'Satu menancap di pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki bermata 

jereng ini keluarkan jerit keras, tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur 

jatuh menelungkup, membuat golok yang menancap di dadanya menembus lebih 

dalam hingga tersembul di punggungnya. Nyawanya tak tertolong lagi.

    Kumbang  Plered yang  menyaksikan  kematian Reso Bondo dengan mata 

melotot sama sekali tidak menyadari kalau golok kedua yang dilemparkan Wiro

menderu ke arahnya. Dia baru tersentak kaget sewaktu senjata itu menderu dan 

menancap di lambungnya. Tongkat kayu lepas dari tangannya. Kepala rampok

dan pemeras ini menjerit dua kali lalu roboh. Sesaat tubuhnya tampak 

berkelojotan setelah itu tak bergerak lagi)

   Dua orang anak buah Kumbang Plered yang tadi menyeret dan mencekal anak 

istri Memed Gendut putus nyali.  Serta merta mereka lepaskan perempuan dan 

dua anaknya itu lalu ambil langkah seribu. Beberapa orang kawan-kawannya 

yang juga ikut leleh keberanian mereka segara menghambur melarikan diri.

Memed  Gendut  segera merangkul istri  dan kedua anaknya.

   Wiro melangkah  mendekati mayat Kumbang Plered.  Dari balik pakaian orang 

ini dia keluarkan kantong berisi uang miliknya yang dirampas dan melemparkan 

benda itu ke dekat Memed Gendut. Lalu Wiro melangkah menghampiri Kuto 

Simpul yang saat itu merangkang  di tanah tengah  berusaha melarikan diri

dalam keadaan kaki patah.

    "Janggut kambing!  Kau mau lari ke mana!" Wiro membentak  dan lelaki  

berpakaiarr merah ini rasakan telapak kaki si pemuda menempel di keningnya. 



Tubuhnya menggigil saking ketakutan.

    "Ampuni selembar jiwaku!" pintanya meratap.

    Wiro menyeringai.  "Lekas kau terangkan mengapa kau bersama konco-

koncomu  yang sudah  mampus  itu ingin menangkap aku. Tadi kalian 

menyebut-nyebut nama Adipati  Lumajang. Ada sangkut paut apa kalian dengan 

Kebo Penggiring?!"

    "Aku .... kami " Kuto Simpul tampak seperti hendak berkelit.

    Wiro inja  kakinya yang patah hingga lelaki berjanggut kambing ini melolong 

setinggi langit.

    "Rupanya satu kaki belum cukupi Apa ingin kupatahkan lagi kakimu satu 

lagi....?!" sentak Wiro.

    "Jangan ... Ampun! Aku akan bicara..."

    "Bagus! Apa yang kau ketahui. Awas kalian berani dusta!"

    "Tiga hari  lalu seorang utusan Kebo Penggiring datang menemui Kumbang 

Plered. Keduanya kemudian menemui kami, maksudku aku dan Reso Bondo.

Utusan itu memberi  sejumlah uang dan perhiasan dengan perintah  agar  kami  

menangkapmu hidup atau mati...."

    Wiro usap-usap dagunya lalu garuk-garuk rambutnya yang gondrong basah.

    "Kenapa Adipati  Lumajang menginginkan diriku?" tanya Wiro.

    "Demi Tuhan! Kalau itu kau tanyakan akupun tidak tahu!" jawab Reso Bondo 

lalu mengerang lagi kesakitan.

    "Baik kalau begitu. Sekarang mana uang dan per-

hiasan  yang kau terima dari utusan Adipati Lumajang itu...?"

    "Aku tidak membawanya..."

    Wiro  menyeringai. "Jangan berani berdusta. Beriken uang dan perhiasan itu 

padaku! Atau kupatahkan kakimu satu lagi!"

   "Ampun! Jangan      Ini ambillah!" Dari dalam saku baju  merahnya Kuto 

Simpul keluarkan sehelai selampai putih yang dipakai membungkus uang dari

perhiasan.  Benda itu diserahkannya pada si pemuda.

Wiro menimang-nimangnya sesaat lalu berkata:  "Kau boleh p«rgi janggut 

kambing. Tapi ingat! Jika kau berani mengganggu pedagang kuda itu dan 

keluarganya, dadamu akan kutembus dengan  golok seperti yang  terjadi dengan 

kawanmu!  Kau dengar janggut kambing?'"

   "Aku ...  aku dengar ..." jawab Kuto Simpul. Lalu dengan susah payah dia  

merangkang, mencoba tegak tertatih-tatih,  melangkah  terpincang-pincang

meninggalkan tempat itu.

    'Anak muda!  Tidak  kusangka,  kau  bukan pemuda biasa rupanya. Aku dan 

istriku serta anak-anak mengucapkan tarima kasih "

   "Huss!"  Lskas berdiri!" sentak Wiro ketika diliatnya Memed Gendut membawa 

anak istrinya dan berlutut di hadapannya. "Aku bukan dewa atau Tuhan  yang 

pantas kau sembah-sembah   Dengar, aku akan  pergi sekarang. Aku  butuh 

kudamu. Pilihkan aku baik-baik . . ."

    “Kau  boleh  ambil  semua kuda kuda  itu!" kata Memed Gendut seraya

berdiri.

    Wiro tersenyum dan  gelengkan kepala.  Seperti katamu tadi aku hanya perlu 

dua ekor kuda ..."

  Memed Gendut segera memilih dua akor kuda yang besar dan tegap sementara 

istrinya disuruh mengambil kantong kulit berisi air. Dua ekor kuda dan kantong 

air itu kemudian diserahkan pada Wiro.

   Sesaat setelah naik ke atas kuda Wiro memandang pada pedagang kuda  itu 

lalu berkata: "Sebaiknya kau menukar namamu. Nama Memed Gendut tidak


cocok dengan keadaan dirimu. Dan mungkin nama itu yang selalu membawa sial 

bagimu ..."

   "Lalu apa nama yang pantas bagiku?" tanya si pedagang kuda.

   "Memed Kerempeng!"  jawab Wiro. Ditepuknya pinggul kuda yang 

ditungganginya.  Binatang  ini menghambur ke depan. Kuda yang terikat di 

sebelah  belakang lari mengikut.

   Memed Gendut dan anak isttinya tegak memperhatikan kepergian pemuda itu 

yang akhirnya lenyap di kegelapan malam,

   "Dia mungkin betul Mulai saat ini kuganti namaku jadi Memed Kerempeng!'', 

kata si pedagang kuda pula.

   "Benar pak membenarkan istrinya. "Nama itu kurasa lebih cocok untukmu. ..  

Bukan saja untuk membuang sial,  tapi sekaligus guna mengingatkan kita pada 

budi besar pemuda itu ... ."


TIGA



TERIKNYA sinar matahari laksana membakar pedataran pasir yang seperti 

tak berujung itu. Kuda  yang ditunggangi  Pendekar  212 Wiro Sableng tak dapat 

berlari sekencang yang dikehendaki. Bukan saja panasnya udara membuat 

binatang itu menjadi lebih cepat letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah 

mencengkeram kaki-kaki binatang itu. Keringat dan ludah membuih di sudut 

mulutnya. Di sebelah belakang kuda cadangan berlari mengikuti kuda induk 

dalam keadaan hampir tak berbeda.

   Wiro mengambil kantong kulit yang berisi air dan tinggal setengahnya. 

Meskipun rasa haus membakar dada dan tenggorokannya tapi pemuda ini tak 

mau meneguk air itu banyak-banyak. Sulit baginya untuk menduga sampai 

barapa lama dia akan mengarungi pedataran pasir di tenggara Pegunungan 

Tengger itu. Kalau persediaan air habis sedang tujuan masih jauh, bisa-bisa dia 

mati kehausan di perjalanan. Wiro menyeka mulutnya dengan belakang telapak 

tangan. Tangan yang masi  basah iyu diusapkannya ke mulut kuda

   Sejauh  mata  memantang hanya pedataran pasir yang terlihat. Murid Sinto 

Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-lurus ke tenggara. Kulitnya terasa 

perih oleh sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat.Kalau saja 

bukan untuk memenuhi pemintaan tolong seorang sahabatnya, tidak nanti dia 

mau mengadakan perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain itu Wiro juga 

sadar, keselamatan dan kehormatan diri seorang gadis jerita harus dibelanya.  

Terbayang kembali pertemuannya dengan orang tua itu sekitar dua minggu lalu 

di bukit Tumbalsari.

    Hari itu Wiro melintasi bukit tersebut dan seperti kebiasaannya sambil 

bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Mendadak terdengar suara 

membentak Demikian kerasnya hingga bukit itu membahana di liang telinga si 

pemuda berdenyut.

    "Keparat setan alas! Siapa yang bersiul-siul membuat berisik belantara 

mengganggu ketentraman orang!"

    Wiro terkesiap kaget, hentikan langkah dan memandang ke atas pohon besar 

sebelah kanan dari arah mana tadi datangnya suara bentakan itu. Namun tak

seorang pun tampak di atas sana. Wiro tegak berdiam diri sesaat. Kemudian  

kembali dia mengukirkan siulan. Pendek saja tapi keras  karena disertai 

pengerahan tenaga dalam. Suara siulan  itu bergema  beberapa lamanya di atas 

bukit namun sirna tertindih oleh bentakan: "Edan! Sombong amat tidak 

perdulikan peringatan orang! Anak muda tak tahu diri kau mengandalkan apa?!"

    Wiro jadi jengkel dan balas membentak.

   "Bukit dan rimba oeiantara ini bukan milikmu. Disini diam berbagai binatang,  

mendekam segala setan gentayangan. Mengapa kau mengambil  sikap sebagai

pemilik  tunggal? Jika tak ingin terganggu mengapa berada di sini? Bicara besar 

tapi tak berani unjukkan tampak!"

   Terdengar suara gelak mengekeh yang membuat liang telinga murid Sinto 

Gendeng terngiang-ngiang; Suara tawa itu demikian dekatnya dan keras, namun

tetap saja Wiro tak dapat mengetahui di mana manusia yang tertawa itu berada!

   "Jika kau mau melihat tampangku, mari naik ke atas sini!"

   Wiro mendongak ke atas. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendesir halus. 

Wiro cepat  mengambil sikap waspada karena menyangka ada senjata rahasia

yang menyerangnya. Tapi tak kelihatan  apa-apa. Tahu-tahu sebentuk benang 

putih yang sangat halus, berkilau kilau oleh sentuhan sinar matahari yang 


menembus di sela-sela daun pepohonan, meluncur cepat ke arahnya. Sebelum 

dia bisa berbuat apa-apa benang putih itu telah menjirat lehernya. Tidak terlalu 

kencang namun cukup membuat nafasnya menyengal.

    "Setan alas!" maki  Wiro Sableng. Secepat kilat dia pergunakan tangan 

kanannya  menjepit benang itu. Tapi astaga! ternyata dia tidak mampu memutus

benang  yang begitu alot itu.  Wiro coba mengingat-ingat pada masa beberapa 

tahun yang silam. Dia seperti pernah  melihat benang halus itu sebelumnya.

Waktu  itu si pemilik benang melibat pinggangnya. Namun dengan mudah 

diputusnya. Apa mungkin benang dan pemiliknya saat ini bukan orang yang 

dulu?

    Selagi pemuda itu berpikir-pikir tiba-tiba dia merasakan satu sentakan keras. 

Lehernya yang tergulung benang halus tertarik kuat dan tubuhnya terangkat

laksana terbang ke atas  sebatang pohon tinggi yang berada dua tombak di 

hadapannya. Wiro merasakan batang lehernya seperti digorok oleh benang halus 

itu. Secepat kilat dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian 

berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai suara menderu seperti suara 

ribuan tawon mendengung.

    Crass!

    Benang halus putih yang menjirat lehernya putus. Terlepas dari ikatan 

benang aneh itu sebenarnya Wiro kini bisa jatuhkan diri kembali ke tanah. Tapi 

sebaliknya pemuda  ini malah terus melesatkan diri ke atas pohon, jungkir balik 

dua kali berturut-turut, dalam kejap dia sudah menyelinap dan tegak di  salah 

satu cabang pohon. Hal ini dilakukannya karena dia sudah merasa yakin, orang-

orang yang tadi menjiratnya sembunyi di  pohon itu, di balik kerapatan daun-

daun.

    "Ha ... ha .. .ha! Rupanya si nenek peot  Sinto Gendeng itu  benar-benar  telah  

mewariskan  Kapak Maut Naga  Geni 212 pada muridnya!"

    Kata-kata yang  disertai tawa itu  membuat Wiro Sableng terkesiap kaget. 

Ternyata  orang  mengenali kapak yang  masih tergenggam di tangan  kanannya.

Lebih dari itu malah juga mengetahui siapa gurunya! Tanpa  pikir  panjang Wiro  

babatkan senjata mustika itu ke depan.

   Kraak ... kraak!

   Byuuuur !

   Dua cabang besar terbabat putus. Ranting-ranting pohon berikut daun-

daunnya remuk den berguguran ke bawah. Setengah dahan pohon itu kini 

tampak gundul! Dan di salah satu cabang kecil  kini  tampak  duduk  seorang 

kakek  berjanggut putih, berpakaian selempang kain putih, tertawa mengekeh, 

memandang  pada Wiro  sambil kedip-kedipkan mata kirinya.

    Pendekar 21? Wiro  Sableng  cepat putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk 

menghantam. Yang hendak  diserang tetap duduk tenang-tenang. Mendadak

Wiro tahan gerakannya.

    "Aih! Benar si tua bangka dulu itu!" seru Wiro dalam hati.  Perlahan-lahan dia 

turunkan  tangan  kanannya lalu simpan senjatanya di balik pinggang.

    "Dewa Tuak!" seru Wiro kemudian

    Orang tua itu kembali tertawa  panjang. Janggutnya  yang putih  berkibar-

kibar di tiup angin. Sambil mengelus janggutnya dia berkata: "Enam tahun aku 

mematangkan benang suteraku. Ternyata tak mampu menahan tebasan 

kapakmu! Percuma saja menghabiskan waktu. Tapi aku senang kau masih 

mengenali tua renta ini. Apa kabarmu anak muda....?" Orang tua itu yang 

berjuluk Dewa Tuak — merupakan tokoh silat terkemuka di delapan penjuru 

angin. Usianya jauh lebih tua dari Eyang Sinto Gendang, Di pangkuannya



ada sebuah tabung bambu  besar. Sebuah tabung yang sama tergantung di 

belakang punggungnya. Si  orang tua angkat bumbung bambu  yang 

dipangkuannya, mendekatkan ujungnya  ke  mulut.  Lalu: gluk. .gluk ... gluk .. .  

Dia meneguk tuak harum yang ada dalam bumbung bambu itu sampai 

berlelahan ke pipi dan dagunya.

   "Aku  baik-baik saja Dewa Tuak.  Bagaimana dengan dirimu bertanya Wiro.

    Dewa Tuak turunkan bumbung bambunya. Sambil  geleng-geleng  kepala dan 

unjukkan  wajah  sedih orang tua ini berkata: "Aku sedang sial! Seseorang telah  

mengkhianati diriku. Eh, kau masih ingat pada murid perempuanku bernama 

Anggini? Yang tempo hari ingin ku jodohkan padamu. Tapi kau terlalu sombong 

dan menampiknya..."

    "Maafkan aku Dewa Tuak. Aku sama sekali tidak sombong. Hanya saja untuk 

urusan jodoh saat itu aku belum bisa memikirkan . .."

    "Lalu sekarang apakah  kau sudah memikirkan?" tanya Dewa Tuak.

    "Masih belum " sahut Wiro,

    "Tapi kau tidak melupakan muridku  itu, bukan?

   "Tentu saja tidak ..."

   "Bagus! Hanya saja  dia ditimpa malapetaka saat ini. Dan itulah sebabnya aku 

sengaja mencegatmu disini “

   "Apa yang telah terjadi dan mengapa kau mencegatku  di sini, orang tua?" 

bertanya Wiro Sableng. Dia kini duduk di atas cabang di bawah cabang kecil

yang diduduki Dewa Tuak.

   "Beberapa tahun sebelum aku mengambil Anggini jadi  murid, aku  pernah  

mempunyai seorang murid lain. Seorang pemuda bernama Penging. Ternyata 

kemudian  kuketahui bahwa pemuda itu bukan seorang manusia baik. Hatinya 

sangat culas. Selain itu dia banyak berhubungan dan bergaul dengan orang-

orang jahat.  Setelah kuberi nasihat beberapa kali dia selalu mengabaikan, 

akhirnya aku mengambil keputusan, tidak lagi menganggap nya sebagai  murid. 

Dia kusuruh meninggalkan pertapaan dan kembali ke kampungnya. Kuketahui 

kemudian Penging tidak  kembali ke kampung, tapi bertualang bersama 

manusia-manusia jahat. Membuat keonaran di mana-mana,  membunuh dan  

merampok.  Aku menyesal telah mengambilnya jadi murid, apalagi mengingat 

hampir seluruh ilmu silatku sudah kuturunkan padanya.

    Tiga bulan lalu  tiba-tiba dia muncul di pertapaanku, berlutut dan menangis. 

padaku  diakuinya semua kesesatan, kejahatan  dan segala dosa perbuatannya.

Dia mengatakan telah insaf dan tobat. Ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin 

mengabdikan diri lagi menjadi muridku, bahkan katanya ingin jadi pertapa..."

    "Lalu, apa kau  menerima permintaannya itu. Dewa Tuak?" tanya Wiro.

    Si kakek menggeleng. "Sekali aku tidak percaya pada seseorang, apapun 

janjinya tak akan lagi mau kudengar. Dia kusuruh pergi. Saat itu hari sudah 

malam. Karena kasihan aku hanya memperbolehkannya menginap dan besok 

pagi-pagi harus sudah meninggalkan pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun 

Penging telah lenyap. Bersama lenyapnya orang itu, lenyap pula sebuah buku 

milikku yang sangat berharga. Jelas manusia  keparat  itu telah mencurinya.  

Rupanya  itulah sebenarnya kedok kedatangannya

    "Kalau aku boleh bertanya, buku apakah yang dicuri bekas muridmu itu?"

    "Sebuah  buku  tipis  terdiri dari tiga halaman. Buku ini berusia lebih dari 

seratus tahun. Lebih tua dari umurku dan  merupakan warisan  guruku.  

Halaman pertama berisi pelajaran ilmu silat  kuna yang merupakan inti sari dari 

ilmu silat yang kumiliki dan yang kuajarkan pada murid-muridku. Siapa yang 

menguasai ilmu itu dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika digunakan untuk 



kesesatan, sulit menumpasnya.

Halaman kedua berisi dasar-dasar penghimpunan dan pengerahan tenaga 

dalam. Ini juga  merupakan ilmu yang  berbahaya jika dipakai  untuk kejahatan. 

Lalu halaman  terakhir  berisi  sejumlah  ilmu pengobatan ampuh berdasarkan  

penusukan urat-urat syaraf dan darah. Sebenarnya buku itu akan kuwariskan 

pada muridku  Anggini.  Tapi kini segala sesuatunya sudah kapiran. Bangsat itu 

keburu mencurinya!"

   "Muridmu yang bernama Anggini itu sendiri sekarang berada di mana....?" 

tanya Wiro.

   "Itulah yang  menjadi  pikiranku  pula," sahut Dewa Tuak seraya usap-usap 

janggut putihnya. "Tiga hari setelah Penging  mencuri kitab itu, Anggini muncul. 

Langsung  saja padanya kuberikan  tugas untuk mengejar Penging. 

Dibandingkan dengan lelaki itu tingkat kepandaian Anggini memang lebih tinggi. 

Namun yang membuatku  kawatir ialah sampai sebegitu jauh tak ada kabar dari 

Anggini. Malah kemudian dari seorang sahabat kuketahui bahwa sebenarnya 

Penging telah menjadi orang besar sejak dua tahun lalu. Entah bagaimana 

ceritanya dia kini menjadi Adipati Lumajang  dan namanya diganti  menjadi Kebo 

Penggiring. Dalam pengejarannya Anggini sampai  ke Lumajang. Namun di sana 

dia justru kena ditangkap oleh orang-orang Kebo Penggiring.  Kabarnya jika 

dalam batas waktu yang ditentukan gadis itu tidak mau  menuruti kehendak  

Kebo  Penggiring untuk mengawininya, Anggini akan dirusak kehormatannya 

lalu digantung dengan  tuduhan hendak memberontak  pada Kerajaan ...."

    "Gila betul!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.

   "Lebih dari gila!" menukas Dewa Tuak.

   "Sudah begitu  kejadiannya mengapa kau tidak langsung turun tangan?" 

bertanya Wiro.

   "Itulah  memang tadinya yang aku  rencanakan. Namun, ada beberapa 

pertimbangan. Di usia yang sudah dekat liang kubur ini, aku tak ingin  lagi 

mencari keributan: Aku ingin hidup tenteram  tanpa melakukan kekerasan 

apalagi sampai mengalirkan darah. Semua  itu akan menjadi sebab musabab 

dendam kesumat. Kudengar Kebo Penggiring dekat dengan Keraton.  Berarti aku  

akan  berhadapan  dengan tokoh-tokoh tertentu yang sebenarnya kuketahui 

adalah sahabatku ..."

   "Kalau  begitu  kau minta saja pertolongan mereka."

   "Tidak  semudah itu. Manusia-manusia yang hidup di kota besar  mengukur 

sesuatu tindakan dengan nilai untung rugi.  Tak perduli apakah yang minta 

bantuan seorang sahabat atau bukan. Urusan macam begini belum apa-apa 

akan membuatku jengkel dan marah. Mauku semua manusia macam begitu 

layak dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi ini berarti akan muncul 

musibah besar

"

   "Lalu apa rencanamu Dewa Tuak?"

   "Aku mendapat petunjuk dari  seorang tua yang biasa dikenal  dengan 

panggilan Si Segala Tahu. Kau kenal padanya....?"

   "Kenal sekali!" jawab Wiro. "Aku beberapa kali mendapat petunjuknya."

   "Nah, dialah yang memberi  tahu  kalau saat ini kau berada di daerah ini. Dia 

pula yang menasihatiku agar aku menerimamu,  menuturkan apa kesulitanku

lalu meminta agar kau menolongku

   "Ah ....!" Wiro garuk-garuk kepala.

Dewa Tuak menatap paras pemuda itu sesaat lalu berkata; "Jika kau tak mau 

memandangku dan keberatan menolongku, kau harus sudi memandang Si Se-

gala Tahu



Wiro terdiam.

   "Aku menunggu jawabmu, anak muda."

   "Apa yang harus kulakukan?" tanya Wiro akhirnya.

   "Pergi ke Lumajang.  Selamatkan Anggini. Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya 

itu

"

   "Hanya itu

" mengulang  Wiro dalam hati. Tetapi  dia  yakin bahwa persoalan 

yang bakal dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa Tuak tadi telah  

menerangkan bahwa sebagai Adipati,  Kebo Penggiring memiliki kawan-kawan 

yang dekat dengan Keraton, yang berarti adalah orang-orang berkepandaian 

tinggi dan sekaligus memiliki kekuasaan?!

   "Aku tahu kau mampu melakukannya Wiro. Jika aku tahu kau tak mampu, 

aku tak akan meminta bantuanmu . . . Dan kalau kau memang ingin menolong,

makin  cepat kau berangkat ke Lumajang, makin baik . . . ."

   "Kalau seorang tua dan sahabat sepertimu berkata begitu, apa lagi yang harus 

kulakukan selain membantu 

"

   "Terima  kasih anak muda ..." kata Dewa Tuak dan kali ini-sambil tersenyum. 

"Ini kau ambillah bumbung yang satu ini!" Kakek itu lalu mengambil bumbung 

tuak yang tergantung di punggungnya lalu melemparkan benda itu kepada Wiro.

   "Terima  kasih, aku  tak ingin jadi mabuk!" kata Wiro. Namun tabung bambu 

berisi tuak itu sudah melayang  ke arahnya. Ketika dia terpaksa menangkapnya, 

memandang ke atas Dewa Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang pohon. 

Pendekar  212 kembali garuk-garuk kepala. Akhirnya didekatkannya juga ujung

bambu ke bibirnya lalu meneguk tuak kayangan yang rasanya memang manis 

sedap menghangatkan.

*******************

                   

    Wiro meneguk lagi air dalam kantong kulit yang dibawanya.  Memandang ke  

depan dia  masih belum melihat apa-apa. Seolah-olah pedataran pasir di 

tenggara Pegunungan Tengger itu tidak berujung.

    "Perjalanan gila!" maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Kalau  tidak 

memandang kakek tua peminum tuak itu, dan jika tidak menimbang 

keselamatan muridnya tak bakal aku melakukan ini!" Wiro meneguk sekali lagi  

air dalam kantong. Ketika untuk ke sekian kalinya dia memandang ke depan, 

samar-samar di kejauhan dilihatnya sebuah titik kecil, seperti terletak tepat di 

atas katulistiwa.  Semakin dekat dia ke arah titik itu, semakin besar tampaknya 

dan dalam jarak kurang dari lima puluh tombak Wiro mengetahui benda yang 

tadi terlihat berupa titik ternyata adalah sesosok  tubuh  manusia yang 

menggeletak menelantang di atas pasir.

   Orang ini masih muda, berpakaian dan berikat kepala putih-putih. Tubuhnya 

tinggi  dan kekar. Namun saat itu tubuh yang kekar  itu tampak  tak  berdaya.

Kedua matanya terpicing. Wajah dan tubuhnya hampir  berselimut pasir sedang 

bibirnya kelihatan kering.

    "Ini bukan  setan pedataran  pasir!" kata Wiro membatin. "Tapi mengapa 

manusia ini berada di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah mati?" Wiro 

turun dari kudanya. Dia memegang lengan pemuda yang terbujur di pasir itu. 

Terasa panas. Juga terasa denyutan  nadi, tanda masih hidup. "Sobat tak 

dikenal, bangunlah! Apa kau mau berkubur di tempat  ini?!" Wiro menegur 



dengan suara keras.  Tubuh di atas pasir tidak bergerak,Wiro ambil kantong 

airnya lalu sedikit demi sedikit tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat 

kemudian bibir  itu tampak bergerak. Wiro tuangkan lebih banyak  air. Dengan 

tangan kirinya dia menyeka pasir yang menutupi wajah si pemuda. Ternyata 

pemuda itu berwajah tampan. Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka 

perlahan-lahan.

   "Apakah kau malaikat maut yang datang menjemputku ....?" Keluar suara 

parau dan sangat perlahan dari mulut pemuda itu.

   Kalau di tempat lain Wiro mungkin akan tertawa bergelak mendengar kata-

kata itu. Dia tuangkan lebih banyak air lalu mendudukkan si pemuda di tanah 

dan menahan punggungnya dengan lutut agar tidak rebah.

   "Aku  bukan malaikat  maut. Justeru aku  ingin bertanya mengapa  kau  enak-

enakan tidur di  gurun pasir ini....!"

   Mata si  pemuda membuka lebar.  Mulutnya menyeringai.  "Sialan!" ujarnya. 

"Siapa yang enak-enakan tidur. Terlambat kau muncul di sini  aku sudah jadi

mayat kering "

   "Aku membawa kuda cadangan. Apakah kau bisa berdiri  lalu  ku bantu  naik 

ke  punggung  binatang itu ...."

   "Aku  harus melakukan apa yang kau  katakan. Tapi beri lagi aku minum ... ."

   Setelah minum, dengan ditolong oleh Wiro pemuda itu berdiri. Sesaat 

pemandangannya berkunang-kunang, tubuhnya seperti hendak terbanting. Wiro 

cepat memegang bahunya.

    "Manusia-manusia keparat.   . .!"

    "Eh, siapa yang kau maki sobat?" tanya Wiro.

    "Orang-orang itu. Mereka membokongku. Merampas dua senjata mustika 

milikku. Melarikan dan meninggalkan aku di pedatanm pasir ini !

   "Siapa mereka .. ;?"

   "Aku tidak  kenal. Mungkin  bangsa  perampok. Mereka memiliki kepandaian 

yang tinggi.  Sobat, kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Kau hendak

menuju ke manakah ...?"

   "Lumajang," sahut Wiro.

   "Kalau begitu kita pergi sama-sama. Manusia-manusia keparat itu pasti juga 

menuju ke sana."

   "Namaku Wiro Sableng. Kau siapa?" tanya Pendekar 212.

   "Namamu aneh. Apakah kau benar-benar sableng hingga  orang  tuamu  

memberikan nama  begitu ...?

”Namaku Mahesa Kelud."

   Wiro tersenyum.  "Senjata apa yang mereka rampas darimu?" tanyanya 

kemudian.

   "Sebilah Pedang  Sakti dan  sebilah  Keris Ular Emas ''

   "Hemmrn.. Nasibmu memang malang. Mudah- mudahan saja kau menemukan 

para pencuri itu ..."

   "Bukan hanya menemukannya. Tapi juga membunuh mereka semua!" jawab 

Mahesa Kelud dengan tangan terkepal, lalu naik ke atas kuda cadangan yang

dibawa Wiro. (Siapa adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam seria! 

Mahesa Kelud Pedang Sakti Keris Ular Emas)



EMPAT



KEDAI Itu berbentuk pendopo terbuka dan cukup besar. Karena merupakan 

satu-satunya rumah  makan di daerah tenggara maka sepanjang siang tampak  

selalu  ramai. Apalagi terletak di Gucialit, sebuah kota  kecil pusat persimpangan 

beberapa jalan di selatan Tengger.

    Matahari pagi baru saja naik ketika kedua orang muda itu sampai di kedai 

dan langsung masuk. Tubuh serta-pakaian mereka yang kotor penuh debu 

membuat pemilik kedai segera menyongsong, bukan untuk melayani tapi untuk 

ajukan pertanyaan.

    "Dua pemuda asing, apakah kalian punya uang untuk makan dan minum di 

kedaiku  ini. . . .'"

    Wiro terkesiap tapi juga mendongkol marah. Dia memang sama sekali tidak 

punya uang lagi karna sudah diberikan pada Memed Gendut untuk pembeli 

kuda. Sebaliknya Mahesa  Kelud yang setengah mati keletihan dan kelaparan 

belalakkan mata dan membentak:

"Jangankan makanan atau minuman, kepalamu akan kubeli! Jangan  banyak 

tanyai Hidangkan makanan dan teh hangat!"

    "Uangmu dulu, orang muda!" kata pemilik kedai sambil ulurkan tangan.

    Wiro tak dapat menahan  kesalnya. Dia berbisik pada Mahesa Kelud; "Kau 

punya uang . . . Lekas berikan padaku

    Mahesa Kelud yang hendak menampar pemilik kedai itu batalkan niatnya. 

Dengan  rasa tidak mengerti dia berikan dua keping uang pada Wiro. Begitu 

menerima uang itu Wiro secepat kilat sumpalkan ke dalam mulut pemilik kedai.           

    "Ini uangnya. Kau makanlah!"

    Tercekik dan megap-megap pemilik kedai  itu masuk ke dalam sementara Wiro 

dan Mahesa Kelud duduk di  bangku  panjang. Seorang pelayan datang

membawa makanan dengan sikap ketakutan. Dua pemuda ini  segera 

menyantap  dengan cepat. Selagi menggerogot sepotong ikan goreng, Mahesa 

Kelud layangkan pandangannya berkeliling. Tiba-tiba saja pemuda ini 

bantingkan ikan goreng itu  ke meja.

    "Sobat, ada apa? Kau ketulangan . . . Ikannya tidak enak?" tanya Wiro.

    Mahesa menggoyangkan kepalanya ke arah sudut kedai di mana tampak 

duduk tiga orang lelaki berpakaian bagus yang baru saja selesai makan dan kini 

tengah menghangatkan diri dengan secangkir kopi.  Di bagian lain  masih 

terdapat kira-kira setengah  lusin tamu. Tiga orang tamu berpakaian bagus itu 

duduk membelakang dan agak jauh hingga tidak melihat kedatangan  Mahesa 

dan Wiro, juga tidak  mengetahui pertengkaran dengan pemilik kedai tadi

    "Siapa mereka . . .?" tanya Wiio.

   "Tiga dari lima bangsat perampok yang menghadangku di pedataran pasir ..." 

jawab Manesa Kelud seraya berdiri.

   "Cara mereka berpakaian  seperti hartawan,  bukan seperti rampok ...."

   "Hartawan atau  rampok yang pasti  mereka akan rasakan tanganku saat ini 

juga!"

   Habis berkata begitu Mahesa Kelud  ambil sebuah kursi di samping kanannya. 

Kursi ini kemudian dilemparkannya ke arah tiga orang yang duduk 

membelakang.

   Kursi masih  melayang  setengah jalan  tapi tiga orang berpakaian bagus yang 

duduk membelakang serentak  sudah  mencelat dari tempat masing-masing,

pertanda bahwa mereka memiliki naluri kewaspadaan yang  tinggi.  Kursi  yang  


dilemparkan  menghantam tiang kedai  dan hancur berantakan. Tiga orang itu 

cepat membalik. Jelas rasa terkejut membayang di wajah mereka ketika melihat 

Mahesa Kelud melangkah mendekati. Terkejut karena menyangka pemuda itu

pasti sudah menemui kematian  di panggang sinar matahari di  pedataran pasir.

   Para pengunjung kedai yang lain saat itu telah berdiri dan menyingkir  

menjauh, menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sementara Wiro 

Sableng setelah memperhatikan  sesaat,  seperti tak  acuh apa yang terjadi 

melanjutkan makannya dengan lahap.

   Lelaki berpakaian bagus di sebelah  tengah  usap usap dagunya. Dia melirik 

pada kedua temannya lalu kembali memandang ke arah Mahesa yang kini tegak

empat langkah di hadapannya dan kawan-kawan.

Mahesa menuding tepat-tepat ke arah ketiga orang itu dengan telunjuk kiri. 

"Sebelum pembebasan kulakukan lekas kalian kembalikan pedang serta keris 

milikku yang kalian rampas. Juga kuda putihku!. Tiga orang di hadapan 

Mahesa sama-sama menyeringai.

    "Pemuda kesasar, pagi-pagi  begini  kau  sudah bicara ngacok tak  karuan. 

Kenal  pun tidak. Tampang burukmu baru kami lihat saat ini. Dan kau bicara 

tentang segala macam pedang serta  keris! Gila!'' Yang bicara adalah lelaki di 

sebelah tengah.

    "Hemm . ..  Kau  dan teman-teman pandai bersandiwara!  Bagus! Teruskan-

sandiwara  kalian sampai keliang kubur!"

    Mahesa berkelebat ke depan. Tangan dan kakinya menebar serangan. Pemuda 

ini  memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang bukan 

sembarangan:  Gurunya Embah Jagatnata  alias Simo  Gembong pernah 

menggegerkan dunia persilatan  di tanah Jawa.

Di  samping, itu dia mendapat tambahan kepandaian dari seorang tokoh yang 

dikenal dengan nama Karang Sewu. Ditambah pula ilmu silat langka yang 

didapatnya dari  seorang tokoh  luar  biasa bernama Suara Tanpa  Rupa.  Tidak 

mengherankan kalau serangan yang dilancarkan Mahesa  mendatangkan suara 

angin deras.

   Tiga lawan yang  mendapat serangan berpencar. Gerakan mereka  bukan saja 

cepat sekali tetapi juga enteng. Ternyata tiga manusia inipun  memiliki 

kepandaian tak rendah. Kalau tidak tak  mungkin mereka  dan dua kawan 

lainnya sanggup membokong Mahesa  di pedataran pasir.  Ketiga orang ini 

sebenarnya bukanlah bangsa perampok.  Mereka merupakan tokoh-tokoh silat 

dari Kotaraja yang sengaja melakukan perjalanan atas permintaan seseorang di 

Lumajang.

   Melihat serangan pertamanya menemui kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan 

rahangnya. Sambil menendang meja makan dia balikkan tubuh dan kini 

berkelebat menghantam ke  arah lawan di ujung kiri.

   Sambil  mengunyah  nasi dalam  mulutnya Wiro Sableng geleng-gelengkan 

kepala melihat perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan 

menyerang Mahesa tadi. Namun tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian 

tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.

   Mahesa menghantam dengan jotosan mengandung aji "Karang Sewu" atau 

pukulan  batu karang yang sanggup menghancurkan  benda keras 

bagaimanapun. Lawan yang diserang  tampaknya sudah mencium keganasan 

pukulan itu.  Sambil melompat ke  belakang dia bersuit  keras. Suitan ini seolah-

olah isyarat bagi kedua kawannya karena  saat itu juga dua orang lainnya 

datang menyerbu dari kiri kanan. Masih mengandalkan pukulan batu  karang di 

kedua tangannya.Mahesa  Kelud  menjotos ke kiri dan ke kanan, sambut 



serangan dua lawan. Seperti kawannya tadi, dua orang ini  melompat  ke 

belakang seraya  keluarkan  suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu orang 

yang berada di sebelah depan menghantam ke depan dengan satu pukulan 

tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh!

    Mahesa sengaja sambut  pukulan lawan dengan maju  menyongsong sambi! 

melintangkan tangan kiri, membabat lengan orang.       

    "Jangan!" teriak salah seorang ketika melihat kawannya yang memukul itu 

sengaja mengadu kekuatan dengan saling bentrokkan lengan. Tapi terlambat.

    Kraaaakk!

    Tulang lengan orang di depan Mahesa Kelud bukan saja patah tetapi juga 

hancur hingga bagian sebelah buawah terkuntai-kuntai  mengerikan. Jeritan 

setinggi  langit keluar dari mulutnya.  Tubuhnya jatuh duduk di lantai kedai. 

Dengan tangan kirinya dia cepat-cepat menotok urat besar di pangkal bahu 

hingga kebal rasa. Untuk  beberapa  saat lamanya dia  hanya bisa menjelepok 

begitu rupa.

    "Pukulan karang sewu!" seru lelaki di samping kanan Mahesa, yang membuat 

murid Emban Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka  kalau orang 

mengenali ilmu pukulannya. Wajah dua orang lawan tampak  berubah. Setelah  

saling lemparkan  pandangan yang mengandung isyarat keduanya gerakkan  

tangan ke balik pakaian. Sesaat  kemudian mereka telah mengeluarkan senjata. 

Yang di sebelah kanannya memegang sebilah clurit besar  hampir berbentuk arit 

Kawannya mencekal sebatang tongkat terbuat dari kuningan yang memancarkan 

sinar redup tapi angker.

   Sebelumnya orang-orang itu bersama dua kawannya yang lain yang saat itu 

tak kelihatan di tempat itu telah berhasil membokong Mahesa di pedataran

pasir  Tengger. Hal  itu sudah  cukup membuktikan bahwa mereka memiliki 

kepandaian  tinggi.. Kini dengan senjata di tangan tentunya dua lawan tersebut

lebih  banyak berbahaya.  Tetapi Mahesa  Kelud percaya diri dan tidak gentar 

menghadapi. Bila dua lawan itu maju menyerbu dia siap menyambut dengan 

jurus kematian.

   Namun di saat itu justru terdengar suara membentak.

   "Orang-orang tak tahu diri! Pengecut tengik! Su- dah  main  keroyok sekarang 

pakai senjata pula! Tangan  kosong harus dihadapi dengan tangan kosong!

Itu namanya pendekar sejati!"

   Dua orang  lawan Mahesa Kelud tidak sempat menyelidik siapa yang 

membentak itu. Dua buah piring tiba-tiba melesat  ke arah mereka. Sebelum 

keduanya sempat  berkelit,  lengan masing-masing sudah dihantam  piring-

piring itu.  Piring   pecah, makanan  yang masih ada di atasnya berhambur 

mengotori pakaian dan muka kedua orang itu. Keduanya mengeluh tinggi dan  

karena tak tahan menanggung sakit terpaksa lepaskan senjata masing-masing 

sementara mereka dapatkan lengan mereka berlumuran darah akibat han-

taman piring.

   Mahesa Kelud melirik ke arah meja di mana Wiro Sableng duduk.  "Sableng!" 

katanya sambil menyeringai. "Jurus piring  terbangmu boleh juga!  Tapi kita

kehilangan dus piring nasi dan lauknya!"

"Tak usah  kawati r! Kunyuk-kunyuk  itu yang akan membayar!" sahut Wiro. 

"Makan tanpa minum tentu tak sedap! Nah silahkan meneguk air .. ." Habis

berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng lemparkan dua cangkir berisi air ke 

arah dua pengeroyok. Meskipun mereka sempat mengelak selamatkan kepala 

tapi air dalam cangkir besar itu telah lebih dulu mengguyur kepala keduanya.

   Marah  besar karena merasa  dipermainkan, orang di sebelah kanan menerjang 



dengan satu tendarfgan ke arah  perut Mahesa sementara kawannya berkelebat

cepat memungut clurit besar dan tongkat kuningan. Namun dia hanya sempat 

mengambil tongkat kuningan  karena  sebelum  dia  berhasil  memegang  hulu

clurit, Wiro Sableng sudah melompat ke hadapannya kirimkan tandangan ke 

arah pentatnvai

   Wutt

   Tongkat kuningan memapas deras kaki yang datang menendang. Namun 

hanya menghantam tempat kosong karena di saat yang bersamaan  Wiro melesat

ke atas sambil hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu kanan lawan.

   Kraak!

   Tulang  bahu itu patah. Tongkat kuningan lepas dan pemiliknya jatuh di lantai 

kedai, berguling-guling sambil berteriak kesakitan, lalu tergelimpang dekat 

sebuah jambangan tanah liat.

   Melihat kejadian ini kawannya yang menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap. 

Sebelumnya dia memang telah mempreteli Mahesa secara mudah. Tapi itu 

dilakukan bersama dua orang kawannya  yang memiliki kepandaian sangat 

tinggi.  Kini tanpa dua  kawan itu dan setelah menyaksikan dua kawannya yang 

ada di situ cidera berat, nyalinya menjadi lumer. Tanpa pikir panjang dia 

menghambur ke luar kedai.

   "Ho .. .ho! Cacing tanah pengecut! Kau mau lari ke mana!" teriak Mahesa Kelud 

mengejar. Tapi dua buah  senjata rahasia berbentuk lempengan besi hitam

menyambutnya.  Mahesa  menghantam  dengan  pu- kulan tangan  kosong. Dua 

senjata rahasia mental dan menancap di atas loteng kedai. Ketika hendak 

mengejar kembali, orang yang lari telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara 

kuda dipacu.

   Mahesa Kelud kepalkan tangan kanan.  Dia melangkah mendekati orang yang 

patah tulang bahunya. Sementara  Wiro menyeret  kawannya yang patah tangan  

lalu  melemparkannya ke dekat  si patah  bahu. Orang lain yang ada di kedai itu, 

termasuk pemilik dan para pelayan tak ada satupun yang berani bergerak.

   Mahesa Kelud injak tulang bahu yang patah hingga orang itu menjerit 

kesakitan.

   "Sakit

?!" tanya Mahesa Kelud mengejek.

   "Sakit... Sakit sekaliiiii" jawab orang itu.

   "Bagus! Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan! Jika kau tidak mau 

menjawab dengan benar, tulang bahumu satu lagi akan aku hancurkan!"

   "Jangan! Jangan lakukan itu. Katakan apa yang ingin kau ketahui. .. ." ratap 

orang itu ketakutan.

   "Pertama di mana sepasang senjata mustika milikku serta  kuda  putihku 

kalian sembunyi kan?!" tanya Mahesa.

   "Kami.... kami  tidak  menyembunyikan.  Dua orang kawan kami membawa 

kuda putih itu. Juga keris dan pedang merah

   "Di mana mereka sekarang?"

   "Turut penjelasan  keduanya mereka pergi ke Lumajang," menerangkan si 

hancur bahu.

   "Lumajang! Di mana aku harus mencari mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.

    "Keduanya pasti ke Kadipaten.  Menemui Adipati Kebo Penggiring ...."

    "Apakah kalian berlima orang-orang Adipati itu?" Wiro yang ajukan 

pertanyaan.

   "Bukan . . . kami  bukan  orang-orangnya.  Kami hanya sahabat yang diminta?  

toiong

     'Dimintai tolong  apa? Apa Adipati yang menyuruh kalian menghadang dan merampokkku di pedataran pasir Tengger "

   "Hal itu aku tidak jelas”

   "Jangan  berdusta!"  ancam  Mahesa Kelud  lalu kaki  kanannya  menginjak 

bahu yang patah  hingga orang itu menjerit setengah mati.

   "Aku tidak berdusta  ..." teriaknya.

   Lelaki yang patah tandan berusaha meyakinkan.

"Tamanku itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang 

dan memberi pekerjaan. Kami harus menghadang dan membunuh seorang 

pemuda berambut gondrong, berpakaian  putih-putih yang akan melintas 

pedataran Tengger menuju Lumajang. Kami  berlima  menemui kau. Ternyata 

bukan  kau orang yang dimaksudkan.  Tapi  karena  melihat kau membawa 

kuda  bagus serta membakar senjata sakti maka  kami membokongmu lalu 

meninggalkan di pedataran pasir

   Mahesa melirik ke Whh Wiro Sableng yang berdiri sambi! garuk-garuk kepala.

   "Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju .. ." kata murid Sinto Gendeng itu.

   "Benar.. .'.Mungkin sekali. Ciri-ciri  kalian hampir sama..." jawab si patah 

lengan.

   "Kenapa kalian diperintahkan  membunuhku?"tanya Wiro.

   "Itu kami tak tahu. Utusan itu tidak menjelaskan apa-apa."

    "Juga tidak  menjelaskan siapa yangg menyuruhnya..”

    Yang ditanya tak menjawab.

    Wiro angkat kaki kanannya lalu dihantamkan kebawah.

    Kraak!

    "Jangan ... .1  Jangan hancurkan  kakiku ....!"jerit orang itu.

    "Terserah padamu. Hancur kaki atau bicara ..."

    "Aku ... aku akan bicara ...." katanya.

    "Buka mulutmu!"

     Terus  terang, aku tak tahu siapa  di belakang utusan  itu.  Namun aku  

menduga, dia diutus oleh Adipati Kebo Penggiring. Hanya itu yang aku ketahui. 

Hanya itu

"

    Wiro berpaling pada Mahesa Kelud. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.

    "Aku harus mengejar pencuri kuda dan senjata itu ...." sahut Mahesa Kelud.

    "Kalau begitu kita berangkat sekarang juga!" ujar Wiro Sableng.  Lalu dia 

membungkuk dan menggeledah kedua orang itu.

    "Apa yang kau cari?" tanya Mahesa Kelud..

    'Sepasang  senjata milikmu! Ternyata mereka memang tidak 

menyembunyikannya. Orang-orang seperti mereka tidak boleh dipercaya 

begitu.saja. Segala ucapannya harus diselidik


LIMA



WIRO SABLENG dan Mahesa Kelud memacu kuda masing-masing melewati 

daerah berbukit-bukit batu. Ini merupakan ujung dari pedataran pasir Tengger 

setelah mereka melewati Gucialit.  Sehabis bebukitan batu itu  kota tujuan 

mereka yakni  Lumajang hanya tinggal  setengah hari  perjalanan. Menjelang 

malam mereka  berharap sudah sampai  di  sana dan melakukan apa yang harus 

mereka kerjakan. Mahesa Kelud harus mendapatkan kambali kuda putih serta 

sepasang senjata mustikanya. Sedang Pendekar 212  Wiro Sableng sesuai 

dengan  janjinya harus  melaksanakan  tugas  yang dibebankan  Dewa Tuak 

kepadanya yaitu mendapatkan  kembali kitab milik kakek itu yang dicuri sang 

murid. Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan  Anggini  —  Murid

Dewa Tuak yang dulu pernah hendak dijodohkan dengannya — dari tangan Kebo 

Penggiring.

    Di puncak sebuah bukit batu dua pendekar itu berhenti sejenak untuk 

beristirahat. Kebetulan di situ terdapat sebuah mata air. Mereka minum 

sepuasnya. Begitu juga kuda  tunggangan masing-masing. Setelah mendapat 

kesegaran  baru mereka melanjutkan perjalanan. Jalan menurun yang ditempuh 

diapit  di kiri kanan oleh iamping batu setinggi  hampir dua puluh tombak.

Derap kaki-kaki kuda menggema di samping bukit batu itu.

   "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak ...." Murid Sinto Gandeng berseru pada 

Mahesa Kelud. Dia memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh

ke depan.

   Mahesa Kelud ikut meneliti keadaan di sekitarnya lalu berkata: "Tak ada  yang 

harus dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!" Dari Wiro murid 

Embah Jagatnata alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa 

Wiro harus pergi  ke Lumajang.

   "Turut  beberapa penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu  ini sering 

dipakai para perampok untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.

   "Aku  telah mengalami kejadian pahit di pedataran pasir  Tenggara. Tapi sekali 

ini,jika ada perampok  yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!" 

menyahuti Mahesa Kelud.

   Baru saja Mahesa Kelud  berkata begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan 

mencurigakan di puncak bukit samping kiri.  Hal yang sama juga tampak pada 

puncak bukit batu sebelah kanan.

   "Lihat!" saru Wiro.

   Mendongak ke atas Mahesa Kelud melihat ada tiga buah batu  besar di puncak 

bukit sebelah kanan lalu tiga lagi di  sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak

ke tubir atas bukit lalu menggelinding ke bawah  dengari suara gemuruh 

mengerikan.

   "Lekas berlindung!" teriak Mahesa Kelud.

   Dua pendekar itu  menggebrak kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu 

menghambur lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari punggung kuda, 

selamatkan diri dengan  berlindung di  bawah lakukan bukit batu pada sisi kiri 

kanan.

   Enam buah batu besar menghempas dahsyat. Dua ekor kuda  terperangkap di 

celah  bukit.  Terdengar ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batu-

batu yang jatuh. Lalu sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan  ke udara 

menutupi pemandangan.  Begitu debu dan  pasir luruh  ke tanah dan  keadaan  

terang kembali Wiro dan Mahesa Kelud menyaksikan pemandangan yang 


mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang mati di bawah  himpitan enam 

batu besar

   "Bangsat rendah!" sumpah Mahesa Kelud marah sekali. Kedua tangannya di 

silangkan di muka dada Mulutnya bergetar melapatkan aji kesaktian  sedang

tubuhnya  menggelegar menghimpun tenaga dalam. Didahului  bentakan keras  

Mahesa Kelud  kemudian hantamkan tangan kanannya ke atas.  Kilatan api 

merah dan panas menderu. Tubir bukit batu setinggi 20 tombak di atas kiri sana 

tampak berpijar lalu hancur berantakan. Pecahan batu dan bongkahan tanah  

beterbangan. Namun  siapapun adanya  orang orang di atas sana agaknya tak 

satupun yang cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu meninggalkan tempat itu  

sebelum  pukulan "ilmu  api" yang dilepaskan  murid Emban Jagatnata 

menghancurkan sebagian tubir batu.

    Kagum melihat kehebatan  kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau 

kalah.  Tangan kanannya sampai sebatas siku mendadak berubah menjadi putih

perak. Ketika pendekar ini menghantam ke tubir bukit batu  sebelah kanan, 

berkiblatlah sinar putih menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat.

    Puncak bukit batu  di atas sana menggelegar runtuh.

    "Pukulan sinar matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika 

menyaksikan pukulan  itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini 

menyaksikan sendiri. Kini Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang 

selalu dipanggilnya dengan sebutan Sableng ini!

    Seperti pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa Kelud tadi,  hantaman pukulan 

sinar matahari yang dilepaskan Wiro pun tidak  mengenai siapa-siapa di atas

sana.

    "Keparat-keparat itu pasti sudah melarikan diri!"ujar Mahesa Kelud jengkel. 

Dia  ingin sekali mengejar,tapi tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.

    "Mereka pasti  orang-orang Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud 

seraya tepuk-tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia memandang 

berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu berkata:  "Tak ada jalan lain. Kita 

harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki!"

   "Aku akan berikan pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa 

Kelud pula sambil kepalkan tinju.

***************

   EMPAT orang penunggang kuda tampak bersiap-siap di halaman samping 

gedung Kadipaten Lumajang. Salah seorang di antara mereka yang mengenakan 

pakaian kebesaran  Adipati bukan lain adalah Adipati Kebo Penggiring. Di 

sebelahnya berturut-turut adalah dua lelaki  berpakaian bagus, berusia agak 

lanjut tapi memiliki tubuh sangat kekar. Salah seorang menunggang kuda putih. 

Yang seorang lagi kakek berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada 

mukanya sebelah kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.

   "Kalian pasti Tunggul Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari 

Kotaraja?" Adipati Kebo Penggiring bertanya.

   Tiga orang di sampingnya sama mengangguk. Si cacat muka yang bernama 

Ronggo Kemitir membuka mulut: "Tak usah kawatir. Mereka pasti datang untuk

menjemput senjata-senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita menghadapi 

pendekar suruhan Dewa Tuak itu

"



Kebo  Penggiring merasa kurang enak karena dianggap seperti takut.  Dia  

cepat berkata:  "Soal pemuda gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja

aku dengar kini dia bergabung dengan seorang pendekar muda  lainnya.  Ini 

gara-gara dua sahabatku ini kesalahan  turun tangan di pedataran Tengger. 

Betul begitu

?"

   Dua telaki bertubuh kekar berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah 

seorang dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik

Mahesa  Kelud menjawab: "Dengan siapa pun pendekar gendeng itu bergabung 

tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan,

apalagi ketambahan Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Jika  pemuda  itu punya  

kepandaian  tinggi,  mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-

senjata miliknya "      

   "Tapi  menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua 

pendekar itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu 

sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap tidak mampu 

menjalankan tugas!"

   "Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati.  Tidak 

heran kalau mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu mun-

cul di sini, kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya.  Adipati tinggal  

minta bagian tubuhnya yang mana. Kepala, atau hati atau jantung ..."

   Adipati Kebo Penggiring berdiam diri saja  mendengar kata-kata orang bernama 

Tambak Ijo itu. Di saat yang sama  dari halaman belakang muncul  seorang 

diiringi  oleh dua pengawal yang menghunus tombak. Orang yang digiring dua 

pengawal itu ternyata adalah seorang gadis berparas cantik, berpakaian ungu. 

Kedua tangannya terikat di sebelah depan, setiap langkah yang  dibuatnya  

tampak menyebabkan  tubuhnya sebelah  atas  erhuyung-huyung.

    "Ronggo Kemitir,"  kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat. 

"Sebelum berangkat, coba periksa dulu  totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita 

mendapat kesulitan  dalam perjalanan, walau cuma dekat saja

"

    Kakek  berpakaian  biru  melompat turun dari atas kudanya.  Sesaat dia 

meraba-raba punggung  gadis berpakaian ungu lalu berpaling pada Kebo 

Pengigiring sambil anggukkan kepala. "Totokanku masih berjalan baik. Kedua 

tangan tetap lumpuh, jalan suara masih normal, sepanjang kaki masih bisa 

berjalan tapi terbatas

    "Bagus! Kalau begitu naikkan dia ke atas kudaku.  Dudukkan di sebelah 

depan!" ujar Adipati Lumajang.

    "Siapa sudi duduk bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu 

memaki.

    "Gadis  binal! Jaga mulutmu!"  mendamprat Tambak Ijo sementara  Kebo 

Penggiring cuma menyeringai.

    Dengan satu  gerakan enteng  dan  sangat cepat, Ronggo  Kemitir menangkap 

pinggang gadis berbaju ungui lalu  mengangkat dan mendudukkannya  di atas  

kuda di  sebelah depan sang Adipati. Hal ini membuat sang dara tambah marah 

dan memaki tiada henti. Namun  dia tak bisa berbuat lain karena tubuhnya 

dikuasai satu totokan amat lihay.

   "Penging murid  murtad!"  si gadis membentak menyebut nama asli Kebo 

Penggiring. "Guru  akan datang dan  membeset  tubuhmu sampai  lumat!"

   Kebo Penggiring tertawa tawar. "Jika tua bangka buruk itu ingin 

menyelamatkanmu tentu dia sudah datang dulu-dulu!  Buktinya sampai hari ini 

dia tidak unjukkan  muka!  Gurumu  hanya  pandai mabuk-mabuk meneguk 

tuak!"



"Murid pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si gadis.

   Kebo Penggiring memberi  isyarat. Diikuti oleh

Ronggo  Kemitir,  Tambak Ijo dan lelaki kekar satu lagi yang bernama Lah  

Bludak, mereka segera meninggalkan halaman Kadipaten.

   Saat itu malam telah turun. Udara yang sejak sore mendung membuat malam 

tambah memekat gelap. Rombongan itu  bergerak ke arah timur, menuju pusat 

Kadipaten yakni sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh  dari gedung 

Kadipaten maka  sebentar saja mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun,

dalam kegelapan malam tampak berdiri sebuah  panggung setinggi satu tombak.  

Di atas  panggung  kayu itu dibangun dua buah tonggak besar berikut 

palangnya di sebelah atas, lengkap dengan tali besar. Keseluruhannya 

membentuk  sebuah tiang gantungan yang mengerikan. Di bawah panggung 

tampak duduk berjongkok sesosok tubuh. Di hadapannya ada sebuah 

pendupaan menyala yang asapnya  menebar bau menyan!

   "Anggini, kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis 

yang duduk diatas kuda di sebelah depannya.

   "Mataku tidak buta!" sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini,  

murid Dewa Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.

   "Bagus,  matamu tidak  buta.  Kuharap hatimu juga  tidak terus-menerus  

membatu. Apa kau tidak takut melihat tiang gantungan  itu?" tanya sang Adipati 

lagi.

    "Takut . . .  ?!" sang dara menyeringai. "Mengapa harus takut!  Digantung saat 

ini  pun aku tidak takut!  Tak  perlu menunggu  sampai besok pagi!"

    "Kau memang gadis pemberani.  Itu yang membuat aku  kagum padamu,"  

kata  Kebo Penggiring terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu

menerima permintaanku ... ?"

   Anggini kembali menyeringai sinis. "Setelah kau uri  kitab guru,  setelah kau 

perlakukan aku seperti ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau  

masih punya muka meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu meludah ke 

tanah.

   "Aku sudah bilang, buku ku akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita 

melangsungkan perkawinan”

   Kembali Anggini meludah. "Penging, kau sudah terlanjur  menyakiti  hati guru! 

Kau  bahkan sudah mengotori tanganmu dengan  memperlakukan aku seperti 

ini

"

   "Tujuanku justru adalah untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak 

gadis yang ingin kuperistrikan. Semua bangga  menjadi istri seorang Adipati. 

Tapi kau menolak "

   "Segala  setan pelayangan  mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi  aku 

tidak!  Justru aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada kesempatan 

pertama!"

   Ronggo  Kemitir si kakek bermuka cacat geleng geleng kepala. "Gadis ini sulit 

untuk diberi pengertian Adipati

" katanya.

    Kebo Penggiring masih berusaha  mencari harapan. "Masakan kau lebih suka 

digantung daripada jadi istriku? Padahal bukankah aku adalah kakak 

seperguruanmu sendiri... ?"

    "Pada  hari  pertama  kau  mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak 

menganggap kau muridnya lagi. Apa masih pantas aku menganggapmu sebagai

kakak seperguruan? Tidak malu!"

   "Kalau   begitu kau benar-benar  menginginkan mati Anggini.  Ingin digantung 

dengan cap sebagai pemberontak "



"Kau boleh membunuh aku dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan 

pernah bisa dikalahkan  oleh angkara murka.  Kau mengkhianati guru sendiri. 

Mencelakai saudara seperguruan lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau 

ternyata memang manusia busuk luar biasa Penging!"

   Paras Kebo Penggiring tampak merah mendengar kata-kata  itu.  Diikuti  oleh 

yang lain-lainnya dia membawa kudanya menuju panggung penggantungan. 

Setelah berada dekat ke tempat itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang 

duduk di  bawah panggung dan  menghadapi pendupaan yang menebarkan bau 

menyan itu ternyata adalah seorang nenek  bermuka angker berpakaian  serba  

hitam. Dia terdengar seperti melaporkan mantera-mantera. Melihat  kedatangan 

rombongan  Adipati,  nenek  ini hentikan membaca mantera, ulurkan kedua  

tangan ke muka memberi hormat.

   "Nenek Juminah " tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu 

apakah se- mua  persiapan berjalan lancar....?"

   "Tentu saja Adipati . . . tentu saja!" jawab si enek. Suaranya kecil dan dia 

bicara seperti orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih mati 

ketimbang dijadikan istri....?"

   Sang  Adipati termangu sesaat  baru  menjawab:

"Agaknya jalan pikirannya tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan 

sesuatu  sebelum kami meninggalkan tempat ini..... ?"

    Nenek  itu  tegak dari jongkoknya.  Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok. 

Matanya yang cekung  memandang  lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini 

jadi tergetar juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si nenek.

    "Dulu aku punya seorang anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi 

dibandingkan denganmu nak. Tapi dia begitu bangga ketika satu  hari perajurit

Kadipaten mengambilnya jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini cantik 

jelita lebih suka mati digantung daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo

Penggiring. Adipati bukan satu pangkat yang rendah dan calon suamimu 

berwajah tampan  gagah, apalagi masih kakak seperguruanmu. Apakah  kau 

tidak hendak  merubah  jalan  pikiranmu  yang keliru  itu nak ....  7"

    "Nenek sialan I" maki  Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia  

berkata: "Jika menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan

tampang  manusia ini tampang gagah,  mengapa tidak kau saja yan§ minta 

dijadikan istri?!"

    Si nenek terkesiap latu gelengkan  kepala sementara Kebo Penggiring 

tersentak  dan bergetar menahan amarah.

    "Gadis bodoh . . gadis bodoh" kata si nenek berulang kali "Aku tak bisa 

menolongmu. Sayang . .  . sayang sekali         Nenek itu kembali berjongkok dan 

menyebarkan kemenyan di atas pendupaan.

   "Nenek Juminah, kau telah menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini 

memang bodoh. Memilih mati tercemar daripada menerima permintaanku 

"

   Adipati Kebo Penggiring membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu 

diikuti tiga orang lainnya.

   "Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok 

pagi  Anggini?" tanya Kebo Penggiring.

  Murid Dewa Tuak tidak menjawab.

   Kebo Penggiring membuka  mulutnya kembali.

”Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika 

kau tetap pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu 

kemudian akan  kuserahkan pada tiga orang dibelakangku, mungkin  juga pada  

dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok  pagi kau akan diseret ke tiang 



gantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada gurumu Dewa 

Tuak!"

    Anggini tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya 

dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah.

    Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru: 

"Awasi Ada orang datang!"

    Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat

kemudian dua penunggang kuda  nampak muncul dari tikungan jalan yang 

gelap. Keduanya segera  mendatangi rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua 

orang bersiap menjaga segala kemungkinan. Ternyata yang datang adalah

dua orang  yang memang sedang ditunggu-tunggu.

    "Selamat datang di Kadipaten. Kangmas Tunggu! Soka dan kangmas Gajah 

Bledeg, kalian berdua memang  kami tunggu-tunggu . . . . " menyambut

Kabo Penggiring.

    Yang datang  ternyata adalah dua  tokoh dari Kotaraja. Mereka  muncul di 

situ  sesuai dengan permintaan sang Adipati  untuk dimintai bantuan dan

sekaligus menyerahkan dua buah senjata mustika hasil  rampasan.  Selanjutnya 

senjata-senjata itu akan diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.

    Dua oranti yang barusan datang tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh 

tinggi ramping dan mengenakan blangkon coklat dengan hiasan bintang besi 

kuning di sebelah depannya sesaat menatap paras gadis, yang duduk di atas 

kuda di sebelah depan sang Adipati.

    Dia  lalu bertanya:  "Inikah  gadis pemberontak yang  besok bakal menjalani 

hukuman  gantung'" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia 

menggelenkkarn kepala  berulang  kali.  "Sayang  sekali tubuh begini bagus dan 

wajah begini jelita harus dikubur menjadi umpan cacing tanah ..... Aku yang tua

ini tak keberatan ditemani barang sejam dua jam...... "

   Semua orang tertawa bargelak mendengar ucapan Gajah Bledeg  itu. Diantara 

tawa itu terdengar suara Kebo  Penggiring. "Kangmas  Gajah  Bledeg, kau tak 

perlu kawatir.  Malam ini kau akan mendapat bagian khusus”

   "Begitu . . . ?" ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan 

tenggorokan turun naik.  Dia berpaling  pada kawannya Tunggul Soka. "Ah, 

ternyata jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia "

   Tunggul  Soka tersenyum dan palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu 

hartanya:  "Adipati apakah kami dapat segera menerima dua senjata pusaka 

pedang sakti dan keris ular  emas itu. .... '"

   "Tentu  saja  Kangmas Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata  itu 

kusimpan baik-baik diKadipaten. Segera akan kusarankan pada kalian besok 

selesai upacara penggantungan gembong pemberontak betina ini!"

   "Hemm begitu ...,.?" gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat 

membawa dua senjata itu kembali ke Kota raja.

   "Disamping. itu kami memerlukan bantuan kangmas berdua untuk 

menghadapi para  pengacau yang nanti akan segera muncul di Lumajang,"  

berkata Ronggo Kemitir.

   "Para pengacau

?" ujar Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening.

   "Besarkah jumlah mereka. Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan 

siapa pemimpin mereka?" bertanya Tunggul Soka. 

   "Ah, mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua pemuda ingusan)" sahut Kebo 

Penggiring.

   Mendengar  hal  itu  Tunggul  Soka dan  Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak. 


"Kalau cuma dua pemudi ingusan biarlah aku menyediakan dua helai sapu-

tangan untuk menyeka ingus  mereka!" kata Gajah

Biedag pula  dan kembali pecah suara tawa bergelak ditempat itu".

    Namun diam diam ada kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan 

mustahil bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut turun tangan.



ENAM



SI  NENEK  Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di  bawah panggung 

penggantungan tersentak kaget dan  buka mata cekungnya lebar-lebar. Saat itu 

malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok 

tubuh berpakaian putih-putih.

   "Kalian siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak. Wiro Sableng  

dan Mahesa Kelud sesaat  saling pandang lalu Wiro  menjawab: "Kami dua setan 

dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenai 

siapa kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak

digantung gadis jelita gembong pemherontak?!"

    Kembali  si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut 

gondrong yang mengaku setan dari neraka itu!

    Tak kalah gertak si nenek menjawab: "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat 

penggantungan Ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam

pedupaan. Bau kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang 

hendak digantung di sini, besok pagi-pagi! Apa  kalian juga bangsa pemberontak

yang minta digantung?!"

   "Katakan di  mana gadis pemberontak itu sekarang?!" tanya Wiro.

   "Hehl Di Kadipaten tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik.  

Jangan-jangan kalian sengaja  mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"  

   Mahesa Kelud melirik pada Wiro dan berkata:

"Si keriput ini  galak sekali. Biar kuberi  pelajaran .... "

   "Jangan. Aku punya rencana lain " kata Wiro. Lalu cepat dia menyambar 

pendupaan yang berisi bara menyala. Di salah  satu sudut kolong panggung 

dilihatnya kaleng kecil berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk  

menyalakan pendupaan. Minyak itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada 

tiang-tiang sebelah atas dan bawah. Ketika bara ditebar di  atas lantai yang 

basah oleh: minyak, api pun segera berkobar.

   "Kalian  minta mati!"  teriak  nenek Juminah. Tubuhnya yang  bongkok 

melesat ke depan. Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan berkuku 

panjang menyambar ke  dada dan wajah Wiro  Sableng. Tapi gerakannya 

mendadak tertahan  karena  pinggangnya ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini 

siap pura-pura melemparkannya ke  dalam kobaran  api hingga nenak Juminah  

menjerit ketakutan. Mahesa Kelud lagi lemparkan perempuan tua itu ke tanah

seraya berkata:  "Pergi temui Adipati  Kebo Penggiring! Katakah kami dua setan 

dari neraka siap untuk mengambil nyawanya!"

    "Gila!  Kalian  berdua mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.

    Wiro tarik kain panjang yang dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke 

pinggul!

    "Hai! Kau hendak menelanjangiku! Gilai Benar-benar gila" teriak si nenek 

seraya cepat menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu  tanpa tunggu

lebih lama lari lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun  sudah tua 

dan bertubuh bungkuk larinya kencang juga.

    Ketika Adipati  Kebo  Penggiring dan  yang lain lainnya menerima  laporan si 

nenek di Kadipaten, malam sudah menjelang pertengahannya.

    "Mereka sudah muncul  " desis Adipati Lumajang itu dan memandang 

berkeliling. "Kita harus bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun 

sebelum  keduanya  sampai  di sini

    "Jangan kawatir! Kami akan membereskannya! berkata Ronggo Kemitir seraya 



memberi isyarat

 pada Tambak Ijo  dan Lah Bludak. Sebaliknya dua orang terakhir ini menoleh ke 

arah Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu Gajah 

Bledeg segera membuka mulut.

    "Kami berdua tetap tinggal di sini. Menjaga keselamatan  Adipati,  mengawasi  

tawanan.  Sekaligus  mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan 

pada Sri Baginda di Kotaraja!"

   Mendengar  kata-kata  itu Ronggo Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa 

berbuat lain. Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana

kuda mereka ditambatkan.

   "Aku bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan 

Keraton tadi mendatangkan kecurigaan . .  .. " berkata Ronggo Kemitir, si kakek 

bermuka cacat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.

   Kedua orang yang  diajak  bicara mengiyakan dengan suara  perlahan  karena 

takut terdengar  oleh Tunggul Soka dan  Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga 

orang  itu lenyap dari kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar yang 

didudukinya, sesaat melangkah mundar-mandir di hadapan Adipati Lumajang, 

kemudian terdengar suaranya berkata.

    "Rongga  Kemitir  dan dua kawannya  itu  pasti mampu menghadapi dan 

menghajar dua  pemuda yang datang menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul 

Soka berada lebih lama di sini "

    Tentu saja Kebo Penggiring terkejut mendengar ucapan itu.

    "Maksud kangmas?" tanyanya.

    "Maksud kami," yang menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau 

serahkan dua senjata mustika itu dan kamr segera kembali ke Kotaraja . .  . . "

    "Ah, bukan begitu perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak 

kesal. "Kangmas berdua datang ke sini memang untuk  menjemput dua senjata 

sakti itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. 

Maksudku sampai pemuda pemilik dua senjata mustika itu menemui ajal di

depan mata hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini yang datang bukan dia 

seorang, malah membawa kawan  yang  tingkat kepandaiannya  ternyata  tidak

rendah!"

   "Kekawatiranmu terlalu dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah  

Bledeg pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten ini"

   "Jadi kangmas tidak menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan  

gadis itu  sebelum tubuhnya yang bagus digantung besok pagi .... ?" tanya

Kebo Penggiring. Dia sengaja berkata begitu untuk membujuk.

   "Tentu, tentu saja aku sangat  mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat 

gadis secantik dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini

lebih penting  dari tubuh molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu.. "

    Kebo  Penggiring mengomel habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa 

berbuat lain. Seraya berdiri dari kursinya  dia berkata: "Jika begitu keinginan

kangmas berdua baiklah. Silahkan menunggu sebentar."

    Adipati itu melangkah masuk ke ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam 

secepat kilat dia menghilang ke sebuah ruangan rahasia di mana Pedang Sakti 

dan Keris  Ular Mas milik Mahesa  Kelud yang diterimanya dari Tambak Ijo 

disembunyikannya. Kedua senjata ini disisipkannya ke pinggang lalu bergegas 

meninggalkan ruangan rahasia itu. Dari sini Kebo Penggiring memasuki sebuah 

lorong kecil menurun dan sampai di sebuah kamar terbuat dari batu. Di sinilah

Anggini disekap. Sang dara masih berada  dalam keadaan tertotok duduk tak 

bergerak di sudut kamar. Dia sudah pasrah menerima nasib. Dinodai dan 


digantung. Namun gadis ini jadi  heran ketika tiba-tiba saja  Kebo  Penggiring  

memanggul  tubuhnya dan membawanya keluar dari kamar tahanan lewat 

sebuah jalan rahasia yang membawanya ke  bagian belakang  halaman  gedung  

Kadipaten   yang  gelap.

    "Kau mau bawa aku ke mana?!" tanya Anggini.

    "Jangan banyak tanya!" desis Kebo  Penggiring lalu cepat dia totok urat besar 

di leher si gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara. Di bagian 

belakang gedung Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu 

tampaknya memang sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo  Penggiring cukup  

cerdik dan panjang akal memikirkan segala kemungkinan  yang terjadi. Cepat 

dia melompat ke atas  punggung  salah seekor  kuda lalu  membedal binatang  

itu  dalam kegelapan malam sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.

   Meskipun Kebo Penggiring berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah 

Bledeg, tapi tanpa disadarinya dua sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya

dalam  kegelapan. Di pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara 

Lumajang, dua pengejar ini berhasil menyusulnya lewat jalan pintas. Salah 

seorang dari  mereka menarik  kaki belakang kuda yang ditungganginya Hingga 

tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh Anggini.

   Sekali lagi  Kebo  Penggiring  menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh 

secepat kilat dia mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke depan dia melihat 

dua pemuda itu siap untuk menyerangnya. Kebo Penggiring cabut  Keris Ular 

Emas dari sarungnya. Sinar kuning membersit terang di tempat gelap itu.

Ujung  keris ditempelkannya ke leher Anggini lalu dia membentak  lemparkan 

ancaman.

   "Tetap di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini 

akan menamatkan riwayat gadis ini!"

   Wiro dan Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain 

tegak tak bergerak.

   Perlahan-lahan dia kemudian memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan 

tubuh gadis itu ke atas kuda kembali. Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang

si gadis. Melihat ini  Wiro segera  bergerak  untuk menghantam tapi Mahesa 

Kelud cepat mencegah dengan berteriak: "Jangan! Keris itu beracun!"

   Wiro terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata itu beracun,  meskipun  hanya 

tergores berarti nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.

   "Kau! Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari  atas kuda. 

Mahesa Kelud yang dibentak mau tak mau —demi keselamatan gadis yang 

berada dibawah ancaman Kebo Penggiring—terpaksa melangkah  maju. Begitu 

mendekat Adipati itu hantamkan tendangan kaki kanan ke dada sipemuda. 

Tubuh Mahesa Kelud melintir lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak 

berkutik lagi.

   "Kini giliranmu gondrong! Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia 

berpaling ke kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat 

itu. "Aku tahu kau sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat!  Jika  kau  berani 

membokong  silahkan!  Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat 

dari kematian!" habis berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak kuda 

tunggangannya. Sebentar saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.

   Anggini yang berada di sebelah depan berusaha memutar matanya, 

memandang berkeliling. Tapi malam sangat  gelap dan kuda itu sudah 

menghambur jauh.

   Benarkah pemuda  itu  yang dilihatnya  tadi?"Pendekar 212 Wiro Sableng?

   "Mungkinkah guru meminta bantuannya .  . . ?"berbisik hati sang dara. Lalu 


dia terkenang pada saat pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan

Wiro. Hanya saja dia tak bisa mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat 

itu masih berada dalam ancaman bahaya besar.

   Wiro Sableng melompat keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon 

besar. Hatinya jengkel sekali karena tak punya kesempatan untuk menghantam 

Kebo Penggiring yang ternyata berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat  

sekilas melihatwajah  Anggini. Tak cukup jelas untuk melihat kecantikannya 

sebelum gadis itu menghilang dilarikan sang Adipati.

   Cepat  Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang terhampar di tanah.  Ketika dia 

hendak menyentuh punggung   pemuda   itu,   tubuh  Mahesa  Kelud

mendadak  membalik dengan tangan kanan  siap menghantamkan pukulan 

"karang sewu"!

   "Sialan! Kukira kau pingsan benaran!" ujar Wiro.

   "Untung  aku  membentengi badan  dengan aji karang  sewu. Kalau  tidak  

tendangan tadi sudah menghancurkan jantungku!" kata Mahesa  Kelud seraya  

berdiri. "Aku  yakin keparat itu terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara 

keluhan pendek dari mulutnya. Mana dia .. ?!"

    "Kaburi"

   "Harus kita kejar sebelum lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu 

segera berkelebat ke arah  lenyapnya Kebo  Penggiring. Setelah tari jauh

sepeminuman teh Wiro berbisik pada Mahesa Kelud.

   "Ada serombongan kunyuk yang mengejar kita di sebelah belakang "

   "Betul," sahut  Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak  mengejar. 

Mereka menguntit. Semuanya berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah 

kanan, dua lagi di sisi sebelah kiri

   "Bagaimana pendapatmu?  Apakah  kita  perlu menghantam mereka?!" tanya 

Mahesa. "

   "Sebaiknya jangan. Jika timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur  

makin jauh.Kau tak akan sempat menyelamatkan  si gadis dan aku tak akan

dapat mengambil dua senjata mustika itu!"

   "Kau betul!"  ujar Wiro. "Mari  percepat lari kita!"



TUJUH



ADIPATI  KEBO  PENGGIRING  tahu batul seluk-beluk jalan yang 

ditempuhnya. Karena itulah  meskipun malam gelap dia dapat memacu kudanya 

dan meninggalkan siapapun mereka yang berusaha mengejar. Selewatnya 

sebuah pedataran lalang Kebo  Penggiring memasuki daerah bebukitan kecil dan 

sampai di sebuah lembah. Dalam dinginnya malam dan kegelapan dia dapat 

melihat rumah  bambu yang  menjadi  tujuannya, terletak ditepi sebuah telaga  

kecil. Hanya saja saat itu sang Adipati melihat ada satu keanehan.

   Di atas atap bangunan bambu tampak  sebuah lampu  minyak  diberi  

berpagar kertas tipis warna merah hingga angin tak dapat memadamkan nyala

api lampu. Sebuah lampion!

   "Apa maksud Eyang memasang lampion di atas atap " membatin Kebo 

Penggiring. Kudanya menderap  kencang  menuju rumah kecil  itu dan dalam 

beberapa saat saja sudah sampai di  sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.

   "Eyang, saya datang ....." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.

   Dari dalam bangunan yang gelap terdengar suara batuk-batuk lalu orang 

menjawab: "Bagus .... Masuklah. Malam buta begini  kau muncul tentu ada

sesuatu yang penting!"

   Kabo Penggiring turun dari kudanya iaiu menggendong  Anggini  dan masuk ke 

dalam  bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun dia dapat melihat sosok 

tubuh sang guru yang duduk di sudut kanan, berjubah  hitam,  lengkap dengan 

topi kain hitam berbentuk kepala poncong.

   "Eyang Poncong Item " sang guru ternyata bernama aneh, "apakah kau ada 

baik-baik saja?”

   "Tentu . . . tentu”

   "Suara Eyang terdengar lain dan sering-sering batuk .... "

   "Ya .   . Tua bangka sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga 

hari aku batuk. Itu sebabnya suaraku lain "

   Kebo Penggiring coba menembus kegelapan malam dalam bangunan bambu 

yang gelap pekat itu. Dia jelas  merasakan satu kelainan. Tapi tidak dapat

memastikan opa  yang terasa lain itu. Otaknya bekerja  keras tapidia tak dapat 

memecahkan teka-teki yang ada dalam dirinya sendiri itu.

   "Sosok tubuh siap yang kau gotong masuk itu, muridku?"' Eyang Poncong Item 

bertanya dari sudut gelap.

   "Adik seperguruanku Eyang

   "Hemm  . . . bukankah dia yang kabarnya menjadi gembong pemberontak 

terhadap Kerajaan? Kau menangkapnya atau bagaimana? Apakah dia sakit?"

    Kebo Penggiring tak segera menjawab. Seingatnya dia tak pernah 

menceritakan pada gurunya mengenai Anggini.  Rasa  tak  enak kini  menyamaki

hati Kebo Penggiring.

    Sang  guru agaknya  mencium keheranan muridnya maka dia cepat batuk-

batuk dan berkata:  "Kau tak usah  heran, muridku. Walau kau tak pernah 

bercerita tapi aku punya seribu telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi 

diluaran. Kau datang di malam  buta seperti terburu-buru.  Apakah  ada  setan

yang mengejarmu?"

    "Memang ada yang  mengejar saya  Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh  dan 

tak mungkin dapat mengejar sampai di sini. Hanya saja

"

    "Hanya saja  apa  Kebo  Penggiring .  ...”

"Hemmm "  Tiba-tiba  sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak  suka 


bergelap-gelap dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu minyak di atas atap!  

Astaga. "Lampion di atas atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak keras,

    "Ada apa dengan lampion itu?"

    "Lampu itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!" 

Eyang Poncong Item tertawa.

    "Kau memiliki rasa takut tak beralasan . .. "

    "Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Kebo Peng-giring.  Lalu  dia  bergerak  

mencari-cari  sesuatu.

   "Apa yang kau cari?"

   "Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa 

menghidupkannya "

   "Lupakan lampu itu  Kebo Penggiring. Mendekatlah  padaku. Ada sesuatu yang 

akan kukatakan padamu

   "Katakan saja Eyang," jawab  Adipati Lumajang itu tanpa beringsut dari 

duduknya.

   "Soal kitab yang  kau dapat dari gurumu Desa Tuak  itu ... . Yang tempo hari  

kau berikan padaku "

   "Ada apa dengan kitab itu Eyang?"

   "Kitab itu lenyap dicuri orang!"

   "Astaga!" Kebo Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup 

mencurinya dari tangan Eyang!"  ujar sang Adipati hampir tak percaya.

    "Itulah sebabnya  kau kusuruh mendekat. Ada sesuatu  yang  hendak  

kuperlihatkan  padamu!"

    "Mau tak mau Kebo Penggiring bergerak juga mendekati sang  guru.  Ketika 

jarak mereka tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item

gerakkan tangan kanannya.

    Wutt

    Satu jotosan menghantam dada Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang 

sambil menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap 

dia sudah berdiri sambil memandang tak berkedip.

   "Keparat! Kau bukan Eyang Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.

Orang di depannya, yang juga telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh.

   "Murid pengkhianat! Kau licik tapi ternyata tak cukup  cerdik!" Sang"  Eyang"  

usap  mukanya dan lemparkan topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu 

tanggalkan jubah hitam yang  melekat di tubuhnya.

   "Dewa Tuak!" saru Kebo Penggiring k«tika akhirnya dia mengenali dalam gelap 

siapa adanya orang tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama  Eyang 

Poncong Item itu, tetapi guru pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa 

Tuak. Lalu di mana Eyang Poncong Item? Apa yang sebenarnya telah terjadi 

dalam rumah bambu ini?

   Selagi  Kebon  Penggiring terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa 

lalu menjangkau sebuah benda bulat panjang dari balik bahunya.

   Gluk ... gluk . .. gluk i

   Byuuur......!

   Orang tua itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Di dalam  gelap menebar  

harumnya bau tuak. Kebo Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai 

bambu lalu melompat ke kiri menerobos dinding.

   "Murid murtad!  Kau mau lari ke mana ... ?" bentak Dewa Tuak.  Dia melompat 

ke pintu. Sampai di luar kembali mengajar dengan semburan tuak.

   Kebo Penggiring tahu betul  Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah 

menghindar selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan kosong yang 


mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan

pukulan itu membuat Dewa Tuak terkejut. Buru-buru si kakek melompat  ke 

atas dan dari atas semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan kekuatan tenaga 

dalam penuh.  Melihat  datangnya  semburan tuak disertai deru  laksana badai  

mengamuk. Kebo Penggiring segera  maklum  kalau  bekas  gurunya itu tidak 

main-main dan  menginginkan  kematiannyal Adipati ini gerakkan  tangan 

kanannya ke pinggang. Di lain kejap sinar merah berkiblat.

  Terdengar suara berdering. Semburan tuak  laksana menghantam dinding 

bambu lalu luruh  ke  tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar 

merah menyambar ke arah  dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur. Tak 

urung janggutnya kena dipapas sebagian.  Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara 

Kebo Penggiring tertawa tergelak sambil melintangkan Pedang Sakti yang 

memancarkan sinar merah di depan dada.

    Sepasang mata Dowa Tuak tak berkesip memandangi senjata itu

    "Dari  mana kau  dapatkan pedang mustika itu?"Si kakek bertanya.

    "Kau  tanyakan  saja  nanti pada iblis di liang kubur! ' jawab Kebo Penggiring 

seenaknya. Lalu dia menyerbu. Serangan-serangannya ganas sekali Meskipun

dia tidak  menguasai jurus-jurus  ilmu  pedang Dewa yang menjadi dasar utama 

pasangan senjata mustika itu, namun karena senjata tersebut memang 

merupakan senjata sakti luar biasa, dimainkan dalam jurus apa pun tetap 

merupakan senjata ampuh dan berbahaya.  Dalam waktu singkat Dewa Tuak 

telah terkurung rapat. Hanya kegesitannya saja yang membuatnya sanggup 

bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus. Memasuki  jurus ke empat belas,  

satu bacokan deras yang sangat sulit dielakkannya, memaksa Dewa Tuak

pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya untuk menjadi perisai 

diri. Tak ampun tabung itu terkutung  dua namun si kakek sendiri berhasil 

selamakan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak  tertegun sambil urut-urut 

dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di bagian 

dada itu.

   "Tua bangka buruk!  Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana 

guruku Eyang Poncong Item!" Kebo Penggiring membentak.

   Dewa Tuak tertawa mengekefr.

   "Dia sedang berenang betsenang-senang di  telaga!" jawabnya.

   "Maksudmu?!" bentak Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia 

tak dapat melihat apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dinihari

namun keadaan masih pekat gelap.

   "Aku  meminta baik-baik kitab curian  yang kau berikan padanya. Tapi dia 

lebih  suka  memilih .berenang di telaga. Hanya sayang dia berenang tidak mem-

bawa nafas lagi.... Ha .. .ha.. .hal"

    "Jadi?!"

    "Gurumu sudah lama jadi bangkai.

    Dada Kebo  Penggiring seperti mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke 

depan. Sinar merah berkiblat.  Dia  melompat  untuk  menyerbu  kakek itu

kembali. Namun gerakannya tertahan ketika dia melihat ada beberapa sosok 

tubuh berdiri dalam kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali orang-orang 

itu. Mereka adalah Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul Soka.

    "Ah,  urusan ini bisa jadi  kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia  

mencari-cari tapi.tak melihat Gajah Bledeg.  Ketika  dia berpaling ke arah 

bangunan bambu dilihatnya orang itu  tegak di sana dan

memanggul tubuh Anggini di bahu kirinya!

    "Kangmas Gajah Bledeg! Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu?!"  


teriak Kebo Penggiring bertanya.

    "Kebo Penggiring,"  sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya  kau  selesaikan saja 

urusanmu dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"

    "Kalau kau berani  melakukan hal  yang tidak-tidak  terhadapnya akan 

kubunuh kau!" mengancam Kebo Penggiring.

    Gajah Bledeg tertawa bergelak.

    "Sebelumnya kau hendak  mencelakai gadis ini! Hendak menodai  dan 

menggantungnya! "Sekarang mengapa kau ingin membelanya?!" tanya Gajah 

Bledeg jelas dengan maksud mengejek.

    Kebo Penggiring geram  bukan main. Sesaat dia memutar otak.  Lalu berkata 

dengan suara bergetar:

"Kangmas Gajah Bledeg, jika kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku 

menyerangmu!"

    Kembali  benggolan kerajaan itu tertawa dan menjawab menantang: "Siapa 

takut padamu Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat laporan ke Istana

Bahwa kau berani mengangkat senjata terhadap orang

Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang gembong pemberontak!"

    Mendengar  kata-kata  Gajah  Bledag  itu.  Kebo Penggiring tak dapat lagi 

menahan amarahnya. Dia segera menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak 

menghadangnya sambil tertawa ha-ha hi-hi meskipun  sambil mengurut 

dadanya yang sakit.

    "Murid khianat! Pelajaran yang  kuterima darimu belum selesai. Mari kita 

main-main lagi beberapa jurus sampai ada yang mampus di antara kita!"

    Kebo Penggiring merasa heran melihat  tindakan bekas gurunya  ini. 

Seharusnya  Dewa Tuak  berusaha menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi 

malah justru menghadangnya.

    "Tua  bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup"

    Kebo Penggiring  melompat menerjang. Dewa

Tuak tegak  tenang-tenang saja. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru..

   "Pendekar  2121 Sudah saatnya kau  keluar dari persembunyianmu. Kau 

datang ke mari bukan untuk menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan 

urusan dengan manusia jelek bernama Gajah Bledeg itu "



DELAPAN



WIRO  SABLENG yang  memang  sejak  tadi mendekam  di balik semak 

belukar bersama Mahesa  Kelud  menunggu kesempatan  baik, mendengar 

teriakan Dewa Tuak itu segera melesat keluar, ke arah Gajah Bledeg.

    Melihat hal ini Tunggul Soka tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada 

Ronggo Kemitir agar membantu Gajah Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah 

Bludak dia membisikkan agar  segera mengikutinya menyerbu  Kebo  Penggiring.  

Pedang merah di tangan Adipati itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti

terselip di pinggangnya harus segera dirampas.

    "Hemm ... Jadi ini kacung suruhan Dewa  Tuak yang diutus untuk 

membebaskan  gadis molek ini? Apa betul namamu Sableng, cung?"

    Kata-kata itu diucapkan Gajah  Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini 

melangkah mendekatinya. Diejek  demikian  rupa Wiro Sableng  keluarkan

siulan tinggi.

    "Tuan besar bernama Gajah Bledeg, turut penglihatanku  kau  tak pantas 

memakai nama Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari gajah!"

    Marahlah Gajah Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul  Anggini di 

bahu kirinya dia hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto 

Gandeng rundukkan kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis. 

Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana  itu. Lengannya seperti 

mengemplang tiang besi. Menyadari kalau si pemuda memiliki  kepandaian 

tinggi, Gajah Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini

di langkan  rumah bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu  Wiro Sableng. Kedua 

telapak tangannya terkembang. Serangan-serangannya kali ini bukan berupa

jotosan, tetapi  seperti  orang menampar. Dan setiap tamparan  yang 

dilepaskannya  mengeluarkan suara dahsyat seperti  geledek atau petir 

menyambar. Membuat semua orang tergetar hatinya dan sakit telinganya. Tidak 

percuma dia mendapat nama Bledeg yang berarti geledek itu!

    Wiro Sableng sendiri  kaget bukan main. Seumur hidup baru sekali ini  dia 

menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan

suara menggetarkan, kedua telapak tangan Gajah Bledeg dirasakannya 

mengeluarkan hawa panas.

    Braak!

   Salah satu tamparan Gajah Bledeg nyasar menghantam  sebatang pohon 

dadap.  Bekas tamparan itu langsung berwarna hitam.  Sesaat kemudian 

terdengar suara berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu tumbang perlahan-

lahan.

    Kuduk Pendekar 212 jadi mengkirik dingin.  Kalau mau selamat tak ada jalan 

lain. Dia juga harus keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya

si muka cacat Ronggo Kemitir sudah  berada di samping Gajah Bledeg, siap 

mengeroyoknya. Ketika kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini

sambut dengan pukulan bentang topan melanda samudera.

    Kalau Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget dan dapatkan tubuhnya 

terpental jauh lalu jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan 

seruan tertahan. Dia kerahkan tenaga dalam,  berusaha melawan tindihan 

pukulan sakti lawan  yang laksana  dinding karang menghimpitnya.  Tubuhnya 

mengapung namun hanya sesaat. Ketika Wiro dorongkan telapak tangan 

kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini terhempas ke belakang, berguling di 

tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri namun dadanya terasa sakit dan kedua 



lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri kucurkan keringat di keningnya tanda 

tenaga dalam  perlawanan Gajah Bledeg sungguh luar biasa.

    Di lain bagian Mahesa Kelud telah pula melompat keluar dari balik semak 

belukar di mana sebelumnya dia bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar 

ini merasa kawatir melihat begitu banyak orang yang menyerang Kebo 

Penggiring. Dewa Tuak menyerang  Adipati itu jelas untuk menghukum

muridnya yang khianat. Sebaliknya kesempatan ini dapat dipergunakan oleh  

Tunggul Soka untuk merampas senjata-senjata mustika miliknya  yang 

dirampok dan kini berada di tangan Kebo Penggiring. Dalam pada itu Mahesa 

melihat pula dua  lelaki  tinggi  besar berpakaian bagus yakni Tambak' Ijo dan 

Lah Bludak, yang merupakan dua dari lima orang yang telah merampoknya di 

pedataran  Tengger. Menimbang sampai ke situ maka Mahesa Kelud segera 

berteriak.

   "Dewa Tuakl  Kau terluka di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid 

perempuanmu  itu? Biarkan aku menggasak segerombolan badut ini!"

   Dewa Tuak hendak  memaki marah mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu. 

Namun  disadarinya bahwa saat itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam 

yakni akibat pukulan Eyang Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam 

perkelahian yang terjadi pada sore hari  yang sama Dewa Tuak berhasil 

menamatkan riwayat lawannya  dan  membuang  mayat Poncong Item ke dalam 

telaga. Ketika mayat  itu digeledah dia telah  menemukan kitab miliknya yang 

dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar Poncong Item yang telah menghasut 

Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut kemudian menyerahkannya 

padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti mandraguna yang tak 

mudah dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa Tuak berhasil 

mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di dadanya.

   Kini  menyadari  kebenaran maksud  baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak 

cepat menghampiri tubuh Anggini yang  terbaring  di langkan  rumah  bambu.

Sang murid ternyata tak kurang suatu apa selain di totok pada beberapa bagian 

urat pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak dapat menggerakkan kedua 

tangan dan tak bisa mempergunakan kedua kakinya. Dengan cekatan Dewa 

Tuak melepaskan  totokan itu satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan 

yang melumpuhkan Anggini memeluk si kakek seraya mengucapkan terima 

kasih. Lalu tanpa dapat dicegah gadis ini menyerbu ke tengah kalangan 

pertempuran. Di tangannya  terdapat sehelai  selendang berwarna ungu yang 

pada ujungnya tertera guratan hitam angka 212. Selendang  ini  merupakan 

senjata yang diandalkan sang dara. Bagaimana angka 212 tergurat di ujung se-

lendang itu ada kisahnya tersendiri. (Baca serial Wiro Sableng Maut Bernyanyi 

Di Pajajaran).

   Ketambahan lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring 

semakin terjepit. Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu 

Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin. Sepasang tangan dan dua  kakinya siap 

dengan aji karang sewu yang dapat menghancurkan apa saja  bila  kena 

dihantamnya. Selendang ungu di tangan Anggini menderu kian ke mari  laksana 

seekor ulat, membelit dan mematuk tiada henti. Tunggul Soka serta  Tambak Ijo 

dan Lah Bludak meskipun mengandalkan tangan kosong, ketiganya 

melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama hantaman tangan  dan 

kaki Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi.

   Namun pedang merah sakti di tangan Kebo Penggiring merupakan senjata 

ampuh luar biasa yang dapat membendung semua serangan yang datang.  

Karenanya meskipun telah terkurung rapat tetap saja para pengeroyok  tidak 


mampu menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas  pedang.  Satu kali  Tunggul  

Soka berlaku nekad. Setelah  menggebrak dengan pukulan dan tendangan 

berantai dia menyusup  dari bawah, bergerak cepat. Satu tangan menghantam 

pergalangan Kebo Penggiring, tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi 

hampir saja pentolan istana ini celaka. Tidak terduga pedang merah  itu 

menyambar ganas kebawah.

   Bret!

   Bahu  pakaian Tunggul Soka robek besar dimakan ujung pedang. Secuil  

dagingnya terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat melompat mundur. 

Wajahnya tampak  pucat. Sebagai tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki 

kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang tinggi.  Dibandingkan dengan 

dirinya maka kepandaian  Kebo Penggiring masih berada di bawah. Bagaimana 

Adipati yang dikeroyok begitu  banyak lawan  masih  mampu bertahan dia  

membuat  kejutan.

Tak ada alasan lain kecuali pedang merah di tangan kanannya  benar-benar 

senjata luar biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk 

memiliki senjata tersebut.

    Tunggul Soka usap luka di bahunya.  Darah berhenti  mengucur. Ketika dia 

menyerbu kembali dari samping kiri  dilihatnya  sesosok tubuh melesat dari

kegelapan, langsung melabrak kalangan pertempuran. Tunggul Soka tidak kenali 

siapa adanya orang ini. Sebaliknya  begitu Kebo Penggiring  melihat wajah 

penyerang baru itu, hatinya mau tak mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain 

pemuda yang telah ditendangnya dan disangkanya telah menemui ajal, paling 

tidak terluka parah. Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, 

padahal  rasa  sakit akibat menendang, masih terasa di kaki kanannya.

    Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya 

bersama tiga kawannya telah menggagahi Mahesa Kelud di pedataran pasir 

Tengger, kini mereka berkelahi dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat atau 

lambat pemuda itu pasti akan membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima 

sebenarnya yang menjadi pangkal sebab semua kejadian ini.

    Selintas pikiran licik muncul  di benak Tambak Ijo.  Maka orang  tinggi kekar 

ini pun  berteriak:

"Kangmas  Tunggul Soka, Adipati  Kebo Penggiring, Lah Bludak I Mari  

lupakan dulu persoalan di  antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua 

muda mudi sesat ini!

    "Kau betul  dimas Tambak!  Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing 

pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.

    "Keparat!"  maki Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud 

Tunggul Soka dengan anjing-anjing  pemberontak  bukan lain adalah dirinya

sendiri dan Anggini  murid Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun  mendekati si 

gadis  dan berbisik: "Saudari kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi 

saling punggung donganku!"

    Anggini yang juga  mengerti kalau keadaan kini berubah, cepat  melakukan  

apa  yang dikatakan Mahesa lalu putar selendang ungunya lebih sehat.

    Bagi Mhesa Kelud yang paling penting adalah memperhatikan tindak-tanduk

gerakan Kebo Penggiring. Adipati  ini merupakan musuh paling berbahaya di 

antara empat pengeroyok karena pedang sakti berada di tangannya. Sebaliknya 

dua titik lemah di pibak lawan adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka 

kembali dia berbisik pada Anggini.

    "Hati-hati dengan pedang merah. Arahkan seranganmu  lebih banyak pada 


dua lawan berpakaian bagus!"

    "Aku mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya  kini  dibagi dua. 

Pertama disalurkan keselendang ungu  yang jadi  senjatanya. Sebagian lagi ke

lengan kiri. Pukulan dan tendangan berkecamuk silih berganti. Sinar ungu 

selendang Anggini menderu berkelebat di udara. Di antara semua itu pedang 

merah mengiblatkan sinar dan suara mendengung menggidikkan.

    Mahesa Kelud kertakkan rahang. Setelah bertahan habis-habisan dengan 

jurus-jurus  ilmu  pedang dewa pendekar ini akhirnya merasakan bahwa 

kedudukannya jurus demi jurus semakin tertekan. Maka diapun mulai siapkan 

pukulan sakti mandraguna yakni pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini 

serta merta menyadari dalam kecamuk perkelahian yang menggila seperti itu tak 

mungkin baginya mengeluarkan ilmu kesaktian  itu. Untuk  melakukan pukulan

inti api  dia harus memejamkan mata membaca mantera. Jika itu dilakukan 

sama saja dengan membiarkan lawan membantai tubuhnyal  Untuk  sementara 

dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu  sambil menunggu kesempatan  

untuk  mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir terbang berwarna merahi

    Kita  ikuti kembali  perkelahian di bagian lain yakni antara Pendekar 212 Wiro 

Sableng yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo Kemitir.

    Setelah mengatur jalan nafas dan darah masing-masing,  Gajah Bledeg serta 

Ronggo Kemitir kembali menyerbu murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu. 

Kalau Gajah Bledeg kini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka 

Ronggo Kemitir tampak membekal sebilah, pedang berbentuk aneh. Senjata ini 

berbentuk lurus, memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang 

seharusnya lancip ternyata bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan 

Renggo Kemitir Wiro Sableng tidak merasa takut.  Pusat perhatiannya adalah 

sepasang tangan Gajah Bledeg yang terus menerus mengeluarkan suara 

menggelegar, menebar hawa  panas. Pendekar 212  bentengi diri dengan

beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat Ronggo Kemitir menjadi jeri' dari 

dipaksa  menjaga jarak. Sebaliknya Gajah Bledeg berlaku lebih cerdik. Setiap

selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya berkelebat cepat  berpindah 

tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang. Dan ketika lawan membalik 

untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke  jurusan lain.

   Setelah saling hantam selama lebih  dari sepuluh jurus Wiro mengambil 

keputusan Ronggo Kemitir harus dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212 

lepaskan pukulan sinar matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut 

melihat sambaran sinar putih perak menyilaukan datang membabatnya disertai 

deru dan hawa  panas luar biasa. Ketika dia jungkir balik selamatkan  diri, di 

lain kejap Wiro  sudah melesat ke kiri, kirimkan pukulan telak ke sisi kanan 

Ronggo Kemitir yang saat itu juga ikut terkesiap  melihat kedahsyatan pukulan 

sinar matahari.

   Kraakl

   Empat tulang iga Ronggo Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya 

sebelah dalam seperti ditusuk empat bilah pisau. Nafasnya mendadak 

menyengat. Tubuhnya terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk, tersandar ke 

semak belukar dan tak mampu berdiri lagi.

    Wiro Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg.

    "Gajah jelek. Sekarang tinggal kau dan aku. Jika kau ingin  kembali  hidup-

hidup ke Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus 

bersiaplah untuk menghadap setan akhirat!"

    Meskipun hatinya tergetar melihat apa yang di- alami Ronggo  Kemitir namun 

ucapan Pendekar 212 Wiro  Sableng  itu membakar amarahnya. Didahului


bentakan  keras dia  tepukkan kedua telapak  tangannya satu sama lain. 

Terdengar suara  seperti  geledek menggelegar.  Tanah bergetar. Pendengaran 

sakit seperti ditusuk. Angin panas menderu  menyambar tubuh Wiro Sableng.

    Murid nenek sakti dari gunung Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin 

pukulan lawan menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan  pukulan sinar 

matahari. Sekali ini dengan pengerahan lebih tiga perempat tenaga dalam. 

Terjadilah hal yang membuat semua orang yang ada di tempat itu menjadi 

terkesima kaget, gempar lalu bergidik ngeri.

   Pukulan geledek yang diiepalkan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan 

pukulan sinar matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang cabang 

pohon, ranting-ranting dan dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus 

hitam.  Di sebelah bawah tanah terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu

bekas kediaman Poncong Item roboh. Air telaga bergerlombang. Tak ada  satu 

orang pun yang sanggup menahan diri dari kejatuhan, termasuk Wiro sendiri.

Semua orang-orang itu terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun 

gempa keras.  Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, 

pentolan  Istana itu tampak terkapar beberapa tombak di kejatuhan. Pakaiannya 

tak kelihatan lagi. Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang hangus menghitami

   Selagi  semua orang terduduk terkesiap dan berusaha menenangkan kejut  

serta kengerian yang menguasai diri masing-masing. Tunggul Soka pergunakan

kesempatan. Dengan satu gerakan kilat dia berkelebat kearah Kebo Penggiring. 

Sekali sentak saja dia berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan 

Adipati Lumajang itu.

   "Bangsat pencuri!" teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.

   "Jangan tolol!" balas  berteriak Tunggul  Soka.

"Apa kau tidak melihat kedudukan kita sekarang terjepit? Kau masih memiliki 

sebilah senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi

musuh musuh!" Sebenarnya Tunggul  Soka memang ingin  memiliki senjata itu 

namun pada kesempatan yang  tepat dengan  licik dia dapat menutupi  maksud

buruknya  itu. Dan  Kebo  Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul 

Soka tadi. Dia tampak mengeluarkan Keris Ular Emas dari balik pinggangnya. 

Sinar kekuningan memancar  di  udara malam menjelang dinihari yang masih 

gelap itu.

    Mahesa Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah 

sulit bagi pihaknya untuk menghadapi empat lawan yang nekad  itu, terutama

mereka yang memegang senjata mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan 

Kebo Penggiring.

    "Anggini, kau mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan 

muridnya. Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.

    "Tidak bisa guru!" terdengar  sahutan sang dara.

"Bagaimanapun aku harus menghajar manusia khianat itu. Mengingat 

rencana kejinya terhadapku, aku pantas memecahkan kepalanya!"

    Kebo  Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah 

....!"

    "Manusia keji!" pekik Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu 

berkelebat disertai deru angin deras menyambar kepala sang Adipati. Yang 

diserang tusukkan keris emas di tangan kanannya ke atas.

    Bret!

    Ujung selendang ungu robek. Anggini kembeli terpekik.  Saat itu Dewa Tuak 

dan  Mahesa Kelud tak tinggal diam.  Keduanya menyerbu.  Di  lain  pihak

Tunggul Soka dan Tambak Ijo serta Lah Bludak sudah pula bergerak, 



menyongsong datangnya serangan.

    Di saat perkelahian kembali hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara 

menggaung seperti ada ribuan tawon menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan 

itu sinar putih perak tampak berputar di udara lalu membeset ke arah Kebo 

Penggiring.

    Percaya akan keampuhan  Keris Ular Emas di tangannya sang Adipati 

tusukkan senjatanya ke depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar putih perak 

tadi membabat ke bawah menghindari bentrokan lalu menelikung ke pinggang.  

Kebo Penggiring  terkejut. Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasa-

kan lambungnya dingin. Rasa dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa 

panas. Dia memandang ke bawah  lalu menjerit melihat  darah  menyembur di-

susul usus yang membusai dari perutnya yang robek besar. Memandang ke 

depan dia melihat pemuda berambut gondrong itu tegak menyeringai dengan 

senjata aneh di tangani

    "Kapak  Maut  Naga  Geni 212!" seru  Tunggul Soka. Kini setelah dia tahu 

pasti siapa adanya pemuda itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai 

pedang sakti,  mengapa harus menyulitkan diri meneruskan perkelahian? Tanpa 

pikir panjang lagi tokoh silat Istana ini segera balikkan diri ambil langkah seribu.

Namun  sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan Wiro arahkan Kapak  Naga Geni 

212 ke arahnya lalu tekan alat rahasia di  hulu senjata  yang berbentuk kepala

naga. Terdengar suara  berdesir  halus ketika selusin jarum putih melesat  dari 

mulut kepala naga, menyerang ke  arah  Tunggul Soka. Mendengar datangnya

senjata rahasia ini Tunggul Soka cepat putar pedang merah di belakang 

punggung. Terdengar suara berdentringan disertai memerciknya bunga-bunga 

api. Selusin jarum patah dan luruh  ke  tanah. Wiro memaki panjang pendek. 

Dia siap melompat untuk mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah 

berkelebat lebih dulu seraya melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna  

merah. Ratusan pasir  itu menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan 

hampir tak mengeluarkan suara.

    Tunggul Soka tersentak kaget ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau 

ada senjata rahasia lain menghantam  tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat

jatuhkan diri seraya putar pedang merah di belakang punggung. Namun 

terlambat. Puluhan  pasir-pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke dalam 

daging, larut dalam aliran darah. Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu 

mencoba lari. Dia hanya sanggup lari sejauh tiga tombak lalu tersungkur sambil 

mengerang. Sekujur tubuhnya terasa  perih seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa 

nyeri  itu disertai pula oleh hawa panas bukan alang kepalang.  Darah mengucur 

dari hidung, mata dan  telinganya. Dari mulutnya terdengar suara  seperti 

mengorok. Dadanya naik  ke atas lalu terhempas ke bawah bersamaan dengan  

lepasnya nafasnya.

    Mahesa Kelud  cepat menyambar  Pedang Dewa yang masih berada dalam 

panggangan Tunggul Soka. Kembali ke tempat pertempuran semula Mahesa 

dapatkan Kebo Penggiring sudah menggeletak di tanah. Usus membusai dan 

kepala pecah. Selagi sang Adipati meregang nyawa. Anggini yang tidak dapat 

menahan dendam kesumatnya hantamkan selendang ungunya ke kepala  

Adipati itu.  Akibatnya sang Adipati yang nyawanya  memang sudah tak tertolong 

lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut jebol!

   Ketika Mahesa Kelud mengambil Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo 

Penggiring dan menggeledah pakaiannya untuk menemukan sarung Pedang 

Dewa serta sarung Keris Ular Emas,  Tambak  Ijo dan Lah Bludak yang sudah 

lama mencari kesempatan segara menyelusup di balik pepohonan dalam 



kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget ketika terdengar bentakan: "Kalian 

berdua mau lari ke mana?!" Dan tahu-tahu Mahesa Kelud sudah menghadang di 

depan mereka.

   Tambak Ijo  jatuhkan diri ke tanah.  Lah Bludak mengikuti  apa yang 

dilakukan  kawannya. Keduanya meratap minta diampuni.

   "Setan tak bermalul" bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan 

terhadapku cukup layak membuat aku membunuh kalian detik ini juga"

   "Jangan Raden... ampuni selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang 

suruhan belaka ...." ratap Tambak Ijo.

    "Begitu...?   Baiklah.   Nyawamu  berdua  aku ampuni. Tapi jangan harap 

kalian bisa hidup senang di kemudian hari!" Habis berkata begitu Mahesa 

tendang selangkangan kedua orang itu hingga anggota rahasia  masing-masing 

hancur. Keduanya terpelanting pingsan.

    Saat  itu hari  mulai terang-terang tanah. Dewa Tuak  tegak  dengan tubuh  

gontai.  Dia memandang berkeliling.

    "Beginilah  hidup  dan  kehidupan..." katanya perlahan. "Kejahatan, 

kekejaman, dendam dan darah selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat 

kebajikan dan kebaikan: Mahesa  Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua 

senjata mustikamu kembali?"

    "Sudah kek. Aku  sangat berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu 

serta kawanku si Sableng itu niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu 

selama-lamanya ...."

    Wiro garuk-garuk kepala.  Dewa  Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa 

kering karena sudah beberapa lama tak meneguk tuak.

    "Kalian dua pemuda tentu ingin  melanjutkan perjalanan. Namun aku  ada 

satu pertanyaan untukmu Pendekar 212  "

    "Apakah itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja  dia jadi  

gelisah.

    "Utusan jodoh tempo hari. Apakah  kau sudah memikirkan ...?!"

   Para Wiro Sableng berubah. Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa 

Tuak, Anggini tampak tundukkan wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa 

Kelud tertawa geli dan kedip-kedipkan  matanya pada Wiro.

   "Jika kau memang tak berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan 

jodoh yang lain ...." terdengar suara Dewa Tuak.

   Wiro  Sableng angkat kepalanya,  berpaling pada Mahesa Kelud. Murid  E 

mbah Jagatnata ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini Wiro yang tertawa 

mengekeh.

   "Kek, kau benari  Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita 

itu!" kata Wiro.

   "Hai! Urusan apa  ini?!" seru Mahesa Kelud. Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro 

Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi 

Dewa Tuak cepat memegang lengannya.

   "Soal jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa  mengaturnya. Tapi 

apa salahnya kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku

   "Maaf kek, aku  masih  ada keperluan  lain..." kata Mahesa Kelud coba 

menampik tapi matanya melirik memperhatikan Anggini sejenak.

    Dewa Tuak tertawa panjang.  Tangan kanannya menarik  lengan Mahesa  

Kelud. Tangan kiri memegang lengan Anggini.

    "Kek, tunggu.... Aku  harus  mencari  kuda putihku ...." ujar Mahesa puia.

   "Binatang  itu, mengapa harus dikhawatirkan!" kata  Dewa Tuak. Lalu kakek 

ini keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda 



putih. Ternyata binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang 

pernah dirampas Tambal  Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu 

melangkah  pergi, binatang ini mengikuti dari belakang. Sementara  itu hari 

semakin  terang tanda pagi  segera menjelang.



                                   TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive