Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Rabu, 29 Mei 2024

GENI 212 WIRO SABLENG - MEMBURU SI PENJAGAL MAYAT

 

https://matjenuh-channel.blogspot.com



1

            PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit

biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki

gunung sebelah timur menghampar  sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang


menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur,

menghijautertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di

sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnyakelihatan memutih seperti perak

tertimpa cahayamatahari yang sedang naik.

           


 Jauh di  sebelah  selatan menjulang gunung Merapi  laksana raksasa penjaga negeri, penuh

gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh

satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang ataupenduduk sekitar tempat itu


yang pernah naik. Jangankan  sampai ke puncaknya,  sepertiga lereng  gunungpun kabarnya belum

pernah  didaki  orang  atau  penduduk  setempat.  Konon  pernah  ada  berita  bahwa  di  atas  gunung

Merbabu ituterdapat sebuah pertapaandimana tinggal seorang saktipimpinan sebuah perguruan silat

yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itutidak pernah dibuktikan

orang karena siapa pula yang mau menyelidik.


            Angin gunung berhembus  sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung

terdengardikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itudipecahkan

oleh suara siulan yang akanterasaaneh bagisiapasaja yang mendengarnya. Aneh karena suara siulan

itukeras sekali sepertibukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama

sekali  tidak  sedap  didengar  karena  kacau  balau  naik  turun  tinggi  rendah  tidak  menentu.  Siapa

gerangan orang yang bersiul ini?

        

    Ternyata  dia  seorang  pemuda  berpakaian  putih  lusuh.  Kepalanya  yang  berambut  hitam

gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda dibawah

pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun pisau besar. Di

tangankanannya dia memegang sepotongranting kayu yang dipergunakannyauntuk menguak semak

belukarataurerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagidanbaju di bagian

dada sipemudatersingkapterlihatlahtigaderetanangka yang dirajah padadadanya. Angka 212.  Tak

pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Wiro Sableng, murid sinenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang menonjoldi pinggang

pakaiannya itu sudah dapat dipastikanadalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit

dicari tandingan nya dalam dunia persilatan.

        

    Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya

dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba menarik nafas

dalam tak  ampun perutnya  seperti  terbalik  dan  dari tenggorokannya terdengar  suara  seperti  mau

muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan ke hidung. Dia

memandang berkeliling. Dari mulutnya laluterdengar suara mengumpat. “Bau busuk celaka apa yang

menyambar hidungku di tempat ini?!” Dia memandang lagi berkeliling tapi tetap saja tidak melihat

bendalain selain pohon-pohon dan semak belukar.

         

  “Gila!  Belum  pernah  aku  mencium bau  sebusuk  ini!”  kata  Wiro  dalam  hati.  Sesaat  dia

mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberitahu kepadanyabahwa bau busuk itu

datang dari jurusan kanan.

           “Hanya bau busuk sialan!Apakahaku harus menyelidiki?!” sipemuda berpikir sambilgaruk-

garukkepala. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangankanan yang

memegang  potongan  ranting  dan  tangan  kiri  dia  menyibak  semak belukar  lebat,  dia  melangkah

menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu. Kali ini tak ada lagi

suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan penciuman agar bau

busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakinjauh dia melangkah ke jurusan kanan itu,

semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya saat itujuga dia

membalikkantubuh.

      


      Mata sang pendekar yang tajammelihatada beberapa bagian semakbelukardi kiri kanandan

di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkinjuga binatang yang

melewati  tempat  itu.  Agar  lebih  mudah  bergerak,  Wiro  mengikuti  saja  bekas  bagian-bagian

rerantingan atau semak belukar yang telah menguak. Bekas yang telah dirambas orang ini akhirnya

membawanya sampaipada suatu tempat yang penuh ditumbuhikeladi hutan. Di antara pohon-pohon

keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihatsebuah buntalan besarkain kuning

yang penuh dengan noda-noda merah.

       


     Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu  seolah-olah

hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang adadalam buntalankain penuh nodamerahitu.

Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya terus menatap

buntalan kain yang menyangsrang diantarabatang-batang keladi hutan. Kain kuning bernoda bercak

merah. Dan warna merahitu.

       


    “Bercak merah itu...” desis Wiro. “Itu hampir pasti adalah bercak darah! Dan buntalan itu … .

Itulah sumber bau busuk yang kucium!”

            Entah mengapa saat itutiba-tibasaja sang pendekarmerasakan kuduknya menjadidingin dan

bulu  tengkuknya  mendadak  ikut  merinding.  Sepasang  kakinya  terasa  berat  ketika  dilangkahkan

mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan yang besar-besar

itu.

        

    Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua matanya tak bisa lepas dari buntalan kain kuning.

Kira-kira hanya tinggal enam langkah lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba buntalan kain kuning

merosotjatuh kebawah. Satu sosokkaki putih tapi penuh lumurandarah mencuat dari balik buntalan.

        


    Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke tanah

sedang sepasang matanya membeliak.

           “Kaki manusia...,” desis Wiro tercekik dan tubuh bergetar. Jari-jari tangan kanannyapulang

balik  mengusap  mulut  dan  tengkuk  berulang  kali.  “Jangan-jangan  daerah  ini  sarangnya  para

dedemit...”

            Tengkuk sang pendekartambah dingin. “Tapi apa iyya dedemit itubetul-betulada...?” Wiro

malah balik bertanya padadirinya sendiri.

     

       Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro akhirnya mampu menguasai rasa takut yang

mempengaruhi dirinya lalukembali melangkah mendekati buntalankain kuningbernoda darah. Tapi

baru  saja dia bergerak satu langkah, tiba-tiba  semak belukar di  samping kanan bergernerisik dan

terkuak. Wiro berpaling. Tiga orang berpakaian seragam biru gelap dua pemuda, seorang pemudi

muncul, langsung mengurung sang pendekar.

 


  * * *



 2

        

    DI   PUNCAK   gunung   Merbabu   setelah   selesai   mengimami   tiga   orang   muridnya

bersembayang  subuh  di  ruang  terbuka  di  bagian  depan  rumah  kayu,  orang  tua  yang berpakaian

selempang kain putih itu memimpin pembacaan doadanditutup dengan membacatasbih.

            Kalau biasanya  selesai  sembahyang  subuh  si  orang tua  selalu menyuruh ketiga muridnya

untuk melakukan latihan silat serta tenaga dalam maka sekali ini dia memberi isyarat agar murid-

muridnyatetap duduk di tempat merekabersila.

       


    “Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah baik-baik. Aku akan menceritakan sesuatu pada

kalian … .”

           “Mengenai  orang-orang gagah di jaman Nabi dan para  sahabatnya, Kiyai...?” tanya  salah

seorang murid yang bernamaDjarot.

            Orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kiyai menggeleng. “Kali ini tidak, Djarot. Yang

akan kuceritakan padamudandua saudara seperguruanmu adalah mengenaimimpikutadi malam … .”

           “Ah  Kiyai bermimpi  rupanya!”  yang bicara  adalah  satu-satunya murid  perempuan  yakni

Sulindari. “Apakah Kiyai bertemu dengan seorang Dewi atau seorang Peri...?”

       


     Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh  sehingga

ketiga muridnya tak berani lagi mencobabergurau.

           “Malam   tadi   dalam  tidur   aku  bermimpi.   Seorang   gadis  yang  tidak  kukenal   datang

menunggang kuda.  Gadis  ini  mengenakan pakaian  aneh berwarna kuning. Dia  membawa  sebuah

bendera putih di tangan kanannya. Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah. Gadis itu seperti

hendak mengatakan sesuatupadaku.... Tapi justru saat itu akuterbangun ….”

       


     Tiga  murid  terdiam  tundukkan  kepala.  Lalu  yang  sejak  tadi  diam  yakni  murid  termuda

bernama Rokonuwu berkata: “Kiyai, kalau mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai terganggu,

bukankah  dulu  Kiyai pernah mengatakan bahwa mimpi  itu hanyalah bunga tidur yang tak layak

dipercaya?”

           “Benar  sekali  katamu  itu  Roko,”  sahut  sang  Kiyai  sambil  tersenyum.  Sesaat  kemudian

senyumnya itu pupus. ‘Tapimimpiku sekali ini datang sampai dua kali. Ketika akutidur lagi, mimpi

itu muncul kembali. Aku melihat kembali gadis berpakaian kuning aneh dan menunggang kuda itu.

Seperti tadi, di tangannya dia membawa sebuah bendera putih kecil yang berlumuran darah. Kali ini

dia sempat membuka mulut, berkata padaku  : Kiyai... tolong saya... Setelah berkata begitu diapun

lenyap. Dan ceritaku tidakhanya sampai disana. Ketika akubangun untuk kedua kalinya lalu keluar

dari kamardan melangkah kebagian depan rumah dalam kegelapan menjelang subuhaku melihatada

sesuatu yang bergerak diarah sana...” Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung kanan halaman rumah.

            Di  antara  semak  belukar  itu  aku  melihat  bayangan  seekor  kuda.  Lalu  di  atasnya  ada

penunggangnya.  Dan  si  penunggang  ternyata  gadis  berpakaian  kuning  memegang  bendera  putih

berdarah itu. Dia memandang dengan paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti yang aku lihat

dalammimpi. Ketika akuturun dari langkahini untuk menghampirinya, kudadan penunggangnya itu

lenyap laksana kabut … .”

        


    Mendengar penuturan guru mereka, tiga muriditu mau takmau sama berpaling kearah semak

belukar yang tadi ditunjuk si orang tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat sementara Sulindari

merasakansepertiadahawa dingin yang merayapi kuduknya.

           “Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis penunggang kuda itu. Atau mungkin pernah

melihatnya sebelumnya...?” bertanya Djarot.

        

   “Aku, memang aku rasa-rasa pernah melihatnya. Tapi entah kapandandimana...” sahut sang

Kiyai.

 “Apa yangharus kami perbuat kalaubegituKiyai?” bertanya Sulindari.

           “Ada satu keanehan lain yang terjadi di gunung kediaman kita ini, murid-muridku,” jawab

orang tua  itu.  “Sejak beberapa  saat  lalu telingaku  serasa menangkap  suara  siulan  aneh  di  lereng

gunung sebelah  selatan. Kalau kukatakan itu  siulan manusia mengapa demikian  santarnya hingga

terdengar olehku lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan pelayangan, akutak pernah percaya ada

setandi gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang pandai bersiul!”

       

     Tiga orang murid itu mengulum senyum mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya memang

tidak pernah mendengar suara siulan itu, namun mereka percaya, kesaktian yang dimiliki sang guru

demikian luarbiasanyahingga mampu menangkap suara yang begitujauhnya.

            Rokonuwu simurid termuda diam-diam merasa ada yang tersirat di balik penjelasan terakhir

sang guru Maka diapun berkata: “Jika Kiyai memberiizin, kami bertiga siapuntuk menuruni puncak

Merbabu, menyelidiki ke sekitar lereng sebelah selatan.”

           “Memang  itu  yang  aku  ingini  murid-muridku.  Pergilah  menyelidik.  Jangan-jangan  siulan

yang kudengarituada sangkut pautnya dengan mimpiku...”

     


       Mendengarkata sang guru ketiga murid yang sama mengenakan pakaian biru gelapitu segera

berdiri.

 “Kami siappergi Kiyai...” kata Djarot.

            Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari masing-

masing, melesat menuju ke lereng gunung sebelah selatan. Dua pemuda dan satu gadis inilah yang

kemudian menemui Pendekar 212 Wiro Sableng dilereng selatan gunung Merbabu yang padasaat itu

tengah  melangkah  mendekati  bungkusan  kain  kuning berbecak  darah  dimana  mencuat  satu  kaki

manusia.


  3

       


     UNTUK BEBERAPA saat Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga orang muda di hadapannya

itu  saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik  Sulindari ketika gadis ini kaget melihat kaki

berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain kuning. Dia kemudian mendekati kakak

seperguruannya Djarot lalu berbisik: “Kak Djarot, ingat mimpi guru mengenai dara berbaju kuning

aneh yang memegang bendera putih berlumurandarah...?”

            “Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku ingin menyelidiki siapa adanyapemuda berambut

gondrongdi hadapan kita ini. Dan apa hubungannya dengan bungkusankain warna kuning itu!” Habis

balas berbisik begituDjarotmaju satu langkah mendekati Wiro, lalu menegur secara sopan.

 “Ki sanak, siapakaudanada keperluan apa berada di tempat ini?”

   


         Wiro tak segera menjawab melainkan memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia tampak

terpesona  melihat  kecantikan  sang  dara.  Melihat  saudara  seperguruan  mereka  dipandangi  secara

seenaknya seperti itu,baik Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel. Yang punya diri malah sudah

menegur dengankeras: “Orang bertanyatakkau jawab!Apakah telingamutuli?!”

            “Eh!” Wiro baru sadar.  Sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar dia berkata: “Harap

dimaafkan, tentu saja akutidaktuli. Tapiharap kau suka mengulang pertanyaanmu tadi, sobat...”

            Meski jaditambahjengkelkinitapi Djarot mengulangi pertanyaannya tadi. “Terangkan siapa

dirimudan apa yang kau kerjakanditempat ini?”

       


     “Aku pengelana kesasar. Dan apa yang kukerjakan disini hampir tidak beda dengan kalian

bertiga.  Sama-sama  heran  melihat  bungkusan  kain  kuning  berlumur  darah  itu.  Lalu  sama-sama

tercekat melihatada kaki yang menyembul dari bungkusan itu.”

            “Ki  sanak,  kau  sama  sekali  tidak  menjawab  pertanyaan  kakakku!”  menukas  Rokonuwu.

Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke tempat ini?”

   


         “Hemm...” Wiro bergumam dan lagi-lagi menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.

“Melihat caramu bertanya agaknya kau dan saudara-saudara seperguruanmu initentunya bermukim di

gunung Merbabu ini. Siapa guru kalian?”

 “Ditanyamalah balik menanya!” Sulindari jadi penasaran...

            “Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk saja. Wiro Sableng. Aku berada disini hanya

kebetulan saja. Sepertikataku tadi, pengelana kesasar...”

    

        Karena selama menjadi murid-murid Kiyai sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi itu

tidak pernah turun gunung maka mereka tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya si gondrong

yang mengaku bernama Wiro Sableng itu.

 “Lalu, mengapa kau membuang bungkusan kuning itudisana?” tanya Djarot pula.

 “Bungkusan kain kuning itu? Aku sama sekalitidakmembuangnya. Justru akusampaikemari

karena bau busuk yang ditebarnya!Bungkusan itu sudahadadisana ketika aku sampaiditempat ini” .

Tiba-tiba Wiro sadardan bertanya. “Ah, kalian bertigaapakah tidak menciumbau busuk yang keluar

dari bungkusan kuning itu?!”

    


       “Kami memang menciumnya. Tapi kami punya obat untuk penangkalnya,” Jawab Sulindari

pula.

           “Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian tinggi. Boleh aku tahu siapa nama beliau? Lalu

kalian sendiri masing-masing bernama siapa?”

           “Kami anak-anak murid KiyaiDjokoBening. Aku Djarot, ini Sulindaridan itu Rokonuwu...”

menerangkanDjarot.

           “Astaga, kiranya kalian murid-murid  orang tua  sakti terkenal  itu. Nama besarnya pernah

kudengar darimulut orang-orang rimba persilatan walau guru kalianjarang turun gunung. Bukankah

Kiyai itu yang memilikipukulan saktibernama Selangit Tembus Sebumi Putus?!”

      


      Tiga anak murid KiyaiDjokoBening sama-sama kaget dansaling pandang ketikamendengar

Wiro menyebut nama pukulan sakti yang memang dimiliki guru mereka dan yang saat itu tengah

merekarampungkan mempelajarinya.

           “Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku ingin menyelidiki isi buntalan kain kuning itu!

Kalian mauikutatau lebih sukajadi penonton?” ujar Wiro.

    

       “Kami ditugasi oleh guru,jadi kami harusturun tangan sendiri!” menjawab Rokonuwu.

           “Kalau begitu  silahkan kau berjalan lebih dulu  sobat,” kata Wiro seraya memegang bahu

Rokonuwu. Tapi  sobat Rokonuwu tentu diam-diam merasa jerih. Dia balas mendorong punggung

Wiro seraya berkata: “Kau saja yang memeriksabungkusan itu, sobat. Aku akan membantu!”

       


     Melihat adik seperguruannya tampak ragu-ragu kalautidak mau dikatakan ngeri,Djarottanpa

banyak menunggu segera melangkah mendahului,diikuti Wiro lalu Sulindari disamping kiri bersama

Rokonuwu.

            Berada didepan bungkusankain kuning yang basah oleh dara dan menyembulkan kaki putih

mulus, sesaat keempat orang muda itutertegun memandangi.

 “Aku hampir pasti inikaki perempuan...” bisik Sulindari padaRokonuwu.

 “Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka buntalankain itu...” berkata Wiro.

     


       Entah  mengapa  mendadak  saja  Djarot  merasa  tubuhnya  bergetar  dan  keluarlah  keringat

dingin.  Dia  memberi  jalan  pada  Wiro  lalu  berkata  perlahan:  “Sobat,  kau  saja  yang  membuka

bungkusan itu...”

            Wiro  garuk-garuk  kepala  namun  akhirnya  melangkah  juga  dan  ulurkan  kedua  tangan,

membuka bungkusan kain kuning berdarah. Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang menjadi isinya

sungguh mengerikan untuk dipandang. Wiro,Djarotdanduaadik seperguruannya sama-sama tersurut

mundur dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.

     


       Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perutnya seperti terbalik-

balik dan dari mulutnyaterdengar suara mau muntah berulang kali. Gadis ini kemudian tersandarke

sebuahpohon denganwajah pucat pasiseolah-olah habis melihat setan.

 “Gusti Allah...” hanya ucapan itu yang keluardari mulutDjarot.

            Di atas kain kuning itu bertumpukan potongan-potongan tubuh manusia bergelimang darah

mengerikan. Potongan kaki kanan sebataslutut kebawah saling tumpang tindih dengan potongan kaki

kiri yang dipotonghanya tinggalbagian lutut sampaike pangkalpaha. Lalu adabagian perut sebatas

pinggang.  Lalu  potongan  sepasang  tangan  serta  bagian  dada.  Terakhir  sekali  potongan  kepala

berambut  panjang.  Potongan  kepala  inilah  yang  paling  mengerikan  karena  jelas  tampak  bekas

dicincang hinggahancur-dan sulit dikenali. Keduatelinganyapun putus. Pada pergelangan tangan kiri

tampakmelingkar sebuah gelang perak berbentuk ukiran ular yang sebagian tertutup oleh dara yang

telah Keseluruhan potongan-potongantubuh ituberjumlah sebelaspotong.

       


     Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh seorang perempuan berkulit putih. Tidak sepotong

kainpun menutupi aurat yang teraniaya itu. Karenatelah membusuk dapat dipastikan mayat terpotong-

potong itutelah senga jadi campakkan ditempat itu lebih dari satu hari lalu.

            Wiro merasakan tenggorokannya kering dan lidahnyakelu. “Perempuan malang! Siapa yang

memperlakukannya sekejam ini...” desis murid Sinto Gendeng dengan suara bergetar. Dia berpaling

pada ketiga murid Kiyai Djoko Bening. Sulindari masih tersandar ke pohon. Djarot dan Rokonuwu

masih  tertegun  membeliak  seperti  orang  kena  totok.  Wiro  cepat-cepat  membungkus  potongan-

potongan mayat itu dengankain kuning kembali. Saat itulah diamelihatsebuah benda berbentuk bulat

berwarna keputihan tersepit di bawah salah satu potongan paha. Ketika dipungut benda itu ternyata

adalah sebuahgiwang terbuat dari perak. Tanpaterlihat oleh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening,

Wiro memasukkananting-anting itukedalam sakupakaiannya.

      


     “Ini  peristiwa  pembunuhan  yang  harus  di  usut!”  kata  murid  Sinto  Gendeng.  “Tapi  kita

berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-cepat. Bagaimana ini...?” Wiro garuk-garukkepala.

           “Tunggu!” terdengar  suara Djarot.  “Kejadian ini harus dilaporkan  dulu pada guru karena

beliau yang menugaskankami melakukan penyelidikan.”

 “Lalu apa yang hendakkaulakukan?” tanya Wiro.

           “Potongan mayat harus di bawah ke puncak Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai. Setelah

melihatterserah apa yang akandiperintahkannya.”

     


       Wiro geleng-geleng kepala. “Mayat ini bukan kadangku bukan sanakku. Apa yang hendak

kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah ini adalah wilayah kediaman kalian. Tapi bagaimana

caramu membawanyadalam keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkandan mengerikan!”

            Djarot  tak  menjawab.  Dia  melangkah  mendekati  sebuah  pohon  berbatang  kecil  sekitar

pergelangan tangan.  Sekali pemuda Ini menggerakkan tangannya bagian bawah batang pohon itu

patah. Begitupohon tumbang, sekali lagi Djarot menghantambatang pohon di sebelah atas. Kini dia

mendapatkan sebuahpotongan kayu. Ujung kayu itudisusupkannyapada buntalankain kuningberisi

potongan mayat,  lalu  dia memberi  isyarat pada  Rokomuwu. Dua murid Kiyai  Djoko  Bening itu

kemudian memanggul mayatdalam bungkusankain kuning. Sebelum meninggalkan tempat ituDjarot

berkata pada Wiro.

           “Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau mauikut ke tempat kami silahkan saja … . ”

            Wiro  mengangguk.  Dia  menunggu  sampai  Sulindari  melangkah  dan  berjalan  di  sebelah

depannya, lalubaru mengikuti dari belakang.

4

            KIYAI DJOKO BENING yang sejak malam tadi memang sudah punya firasat tidak enak

karena itu dia sengaja duduk menunggu di langkah depan tempat kediamannya di puncak gunung

Merbabu.  Ketika  melihat  murid-muridnya  muncul  orang  tua  ini  sipitkan  kedua  matanya,  tidak

menyangka mereka akan kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot dan Rokonuwu menggotong

sebuah bungkusan besar kain kuning bercak merah yang menghampar bau busuk bukan kepalang.

Lalu dia melihat pula seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong berpakaian serba putih

yang tidak dikenalnya.

   


        “Apa yang kaliantemukan dan siapa pemuda ini?” bertanya sang Kiyai. Pendekar 212 Wiro

Sableng karena orang tidak langsung bertanya makatidak mejawabdan hanya menjura saja memberi

penghormatan pada orang tua itu.

 Djarotdan Rokonuwu menurunkan buntalan yang merekagotong tepat di tanggarumah.

“Sesuatu yang mengerikan Kiyai...” ujarDjarot seraya mulai membuka buntalankain kuning.

“Mengerikandan biadabsekali!” menyambung Sulindari.

    


        Dan ketika bungkusan kain kuning telah  dibuka  lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening tampak

terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan kepalanya ditengadahkan ke langit. “Tuhan, apa arti

semua ini. Kami mohon petunjukmu ya Allah.” Terdengar suara sang Kiyai setengah berbisik. Lalu

perlahan-lahan  kepalanya  diturunkan,  kedua mata  dibuka  dan  memandang  pada  murid-muridnya.

Djarot  si murid tertua  segera memberi penjelasan bagaimana mereka mula-mula menemui mayat

terpotong sebelas itu. Lalu pemuda ini menggamit tangan gurunya, mengajak orang tua itu keujung

rumahhinggaterpisah cukup jauh dari lain-lainnya. Disini Djarot berbisik pada gurunya.

     


      “Ketika kami bertigasampaiditempat buntalanditemukan, pemudaberpakaian putih itutelah

berada di sana. Saya curiga Kiyai. Jangan-jangandialah yang telah membuang buntalan itu!”

            Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro Sableng lalu menggelengkan kepala. “Aku tidak

sependapat denganmu Djarot. Jika memang dia yang membuang bungkusan berisi mayat terpotong-

potong  itu  pakaiannya  pasti  akan  terkena  noda-noda  darah.  Bukti-bukti  itu  tak  kulihat.  Pakaian

putihnya bersih. Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa bungkusan mayat seberat itu ke atas

gunung. Paling tidakharus dua orang menggotongnya ataubisa juga seorang diri, tetapi dengankuda.

Kau kenalsiapa adanya pemuda itudan mengapa diamengikuti ke tempat kita ini?”

 “Dia mengaku bernama Wiro Sablengdan … .”

    


        Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya. “Apa katamu Djarot? Katakan sekali lagi

nama pemuda itu!”

 “Wiro Sableng, Kiyai … .”

 “Astaga...” Kiyai Djoko Bening memberi isyarat pada Djarot agar mengikutinya. Lalu dia

melangkah menghampiri Wiro seraya berkata: “Apakah benar saat ini akuberhadapan dengan murid

sahabatku Sinto Gendeng,pendekar besar bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”

            Wiro  yang  tidak  menduga  sang  Kiyai  mengenalinya  hanya bisa  menjura  sekali  lagi  dan

tertawa lebar. “Saya hanya murid seorang nenek buruk dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa.

Kiyaikeliwat memuji. Saya jadirikuh menerima penghormatandan pujianmu, KiyaiDjokoBening...”

    


        Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu ulurkan tangan kanandantepuk-tepuk bahu kiri

Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagitepukan yang dilakukan bukanlah sembarangan karenadisertai

aliran  tenaga  dalam  sehingga  tepukan  itu  mempunyai  daya  berat  puluhan  kati.  Jangankan  bahu

manusia,sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu akan amblas.

            Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya Wiro merasakan adanya hawa dingin menyambar

kearahnya. Maklumlah pendekarini kalauuluran tangan itu disertai aliran tenagadalam yang tinggi.

Dan ketika sang Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu kekuatan dahsyat menekan tubuhnya.

Kini murid Eyang Sinto Gendeng ini sadarkalau orang sengaja hendak menjajal dirinya. Maka diam-

diam diamengerahkan tenagadalamnya ke bahu kiri.

      


      Sewaktu KiyaiDjokoBeninghampir menyentuh bahu Wiro diajaditerkejut karena dari bahu

yang hendak ditekannya itu adahawa aneh keluardan membuat tangankanannyatergetar sampaike

siku Karena sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan tepukannya. Dia sempat menepuk bahu

pemuda  di  hadapannya  itu  empat kali, namun tangannya mendadak terasa  seperti  ditimbun  oleh

gundukan  es  sehingga  terasa  dingin  luar  biasa,  hampir  kaku.  Cepat-cepat  Kiyai  Djoko  Bening

salurkantenaga dalamberhawa panashinggahawadingin perlahan-lahansirna.

      


      Di luar orang tua itu tampak tersenyum. Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat memiliki

tingkat tenaga dalam yang sanggup menahan tepukannya seperti yang dilakukan Wiro tadi, murid-

muridnya paling tidak harus belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun lagi. Itupun belum tentu

sempurna. Maka mau tak mau orang tua ini menjadikagum pada pendekar satu ini.

           “Pendekar 212... Dulu ketika kau masih berusia sepuluh tahun, aku pernah menyambangi

gurumu di puncak Gunung Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon jambu dan terlibat dalam

perang mulut. Kami bertengkar besar mempertahankan keyakinan masing-masing, tak ada yang mau

mengalah. Kami bertengkar mulai dari tengah hari sampai menjelang sore. Dan kau ingat apa yang

kau lakukan saat itu...?”

     


       Wiro berpikir mengingat-ingat. “Kejadiannya sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak ingat...”

katanya menjawab.

            KiyaiDjokoBening tersenyum. “Saat itu diam-diam kaunaikkeatas pohon jambu, memetik

dua buah jambu muda. Satu persatu dua buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami yang sedang

bertengkar dantepat masukke dalam mulut gurumu dan mulutku yang sedang berkoar-koar. Kontan

kami berdua menjadi bungkam membisumalah hampirtercekik!”

            Habis  menceritakan  hal  itu  Kiyai  Djoko  Bening  tertawa  gelak-gelak  Tiga.muridnya  ikut

tertawa pula sementara Wiro hanyagaruk-garukkepala laluberkata: “Ah, sungguh kurangajarsekali

perbuatan saya saat ituKiyai...”

      


      Kiyai Djoko Bening mengangguk. “Waktu kecil kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi apa

yang kau lakukanterhadap kami saat itumendatangkan kesadaran bahkan hikmah...”

 “Ah mengapa bisa begitu Kiyai?” tanya Wiro takmengerti.

           “Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa sebagaitua bangka sudahbukan tempatnya lagi

kami  mengikuti  hawa  amarah  dan  berlaku  tolol  bertengkar  seperti  anak  kecil.  Kedua  hal  Itu

membuktikan bahwa siapa  saja yang tidak  dapat mengontrol kemarahannya akan menjadi lengah

hingga musuh bisa mencelakakan diri kita dengan mudah. Buktinya  seorang anak seusia  sepuluh

tahun sepertimu sanggup menyumpal mulut dua tokoh silat dengan jambu mentah!” Kembali Kiyai

DjokoBening tertawa gelak-gelak.

   


         Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya: “Kiyai, bagaimana dengan potongan-potongan

mayat ini...?

            Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. “Ini satu perkara besar yang tengah kita hadapi.

Dari gelang perak di lengan mayat aku bisamemastikan mayat ini bukan darikalangan rakyat biasa.

Gelang perak berukir kepalaular seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang adahubungannya

dengankalangan Keraton,atau istana. Paling tidak dengan Kadipaten. Dan melihat keadaan potongan

mayat kurasamanusiamalang ini adalah seorang gadis. Dari bentuk payudaradan perutnya aku yakin

diaberadadalam keadaan hamil paling tidak empat sampai limabulan...”

 “Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?” tanya Rukunowo.

           “Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya pastitersiksa

jika tubuhkasarnya berada dalam keadaanseperti ini,” kata Sulindari pula.

           “Memang betul,  menurut  adat  dan  ketentuan  agama jenazah  seseorang harus  cepat-cepat

dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar biasa murid-muridku. Satu perkara pembunuhan yang

besar. Mungkin melibatkan orang-orang besar pula. Jenazah ini harus kita awetkan untuk beberapa

lama  sampai  diketahui  siapa  dia  adanya,  lalu  menyerahkannya pada  keluarganya.  Sulindari,  kau

pergilah ambil bubuk cendana putih...”

      


      Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam rumah sedang Kiyai Djoko Bening menanggalkan

gelang perak berukir ular dari potongan lengan kiri dan menyerahkannya pada Rokonuwu seraya

berkata: “Cuci gelang inisampaibersihlalu serahkan padakukembali.”

            Sulindari keluarmembawa sebuah kotakkecil dari kayuberisisejenis bubuk yang terbuat dari

kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening kemudian menebarkan bubuk putih itu di atas potongan-

potongan  mayat.  Bau  harum  menebar.  Bubuk  putih  itu  bukan  saja  mematikan  bau  busuk  tapi

sekaligus juga mampu mengawetkan potongan-potongan jenazah sampai lima-enam minggu dimuka.

    


        Selesai menebar bubuk dan menyerahkan kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai Djoko

Bening berkata: “Murid-muridku, mayat dipotong sebelas itu ditemukan di gunung Merbabu, tempat

kediaman kita. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut kejadian ini. Pertama kita

harus mengetahui  siapa adanya gadis yang menjadi korban. Kedua  siapa pelaku pembunuhannya.

Dengandemikian kemungkinan orang menjatuhkantuduhanterhadap kitadapat kita hindari...”

           “Bagaimana caranya kami bisa melakukan semua ituKiyai?” tanya Djarot.

           “Pertama tentu saja kalian bertiga harusturun gunung. Ini satukesempatan baikbagi kalian

karena  setelah  bertahun-tahun  berada  disini  baru  kali  ini  kalian  mendapat  kesempatan  untuk

meninggalkan Merbabu. Berarti tugas dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan menyirap kabar

siapa keluarga yang kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian temui bawa mereka kemari untuk

menyaksikan mayat agar bisadikenali.”

    


        Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro  Sableng dan bertanya: “Bagaimana dengan kau

Pendekar 212. Apakah akan melakukan penyelidikan pula...?”

            Wiro mengangguk.  Lalu berkata:  “Saya punya  dugaan bahwa korban  seorang  dari  dunia

persilatan, paling tidak pernah belajarilmu silat.”

           “Hemm, matamutajam sekali Wiro. Dari mana kaubisa mengetahui hal itu?” bertanya Kiyai

DjokoBening.

           “Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti dia sering

berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang. Kedua telapak tangan kanan. Lebih kasar dari telapak

tangan kiri. Pertanda dialebih sering mempergunakannyauntuk latihan memukul. Dan yang terakhir,

keduatelapak kakinya tampak tebalkarena lebihseringtidak memakaikasut...”

        


    Kiyai  Djoko  Bening  mengangguk-angguk.  Dia  berpaling  pada  ketiga  muridnya.  “Kalian

boleh berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku undang kau untuk menginap disini agar kita bisa

bercerita  banyak  dan  bertukar  pengalaman.”  Sebenarnya  selain  berbasa  basi  orang  tua  itu  ingin

menahan Wiro agar dapat melakukan latihandengan murid-muridnya. Namun dia agakkecewa ketika

mendapatkan jawaban.

           “Terima kasih Kiyai.  Saya harus minta  diri  saat ini juga. Di  lain waktu jika umur  sama

panjang saya akan menyambangimulagidisini.” Lalu Wiro menjura dalam-dalampada orang tua itu.

Dia juga menjura pada ketiga murid sang Kiyai.

       


     Sesaat  setelah Wiro berlalu, Rokonuwu bertanya:  “Kiyai, apa benar pemuda tadi  seorang

pendekar tokoh persilatan. Harap dimaafkan kalaudi mata saya dia kelihatan seperti seorang pemuda

konyol. Gerakgeriknya aneh. Sering menyeringaidan menggarukkepala seperti orang linglung...”

            Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada dia

berkata: “Pertanyaanmu itu membuataku mengungkapkan lagi saturahasia hidup pada kalian, murid-

muridku. Apa yang kita lihatbaik dan bagusdi mata, belum tentu sebenarnya begitu. Sebaliknya apa

yang kita  saksikan buruk mungkin  sebenarnya bagus. Begitu juga  dengan wajah,  sifat  dan  sikap

seseorang. Dan  satu hal lagi murid-muridku, dunia ini memang penuh dengan keanehan. Tinggal

terserah  pada  kita,  apakah  kita  bisa  mempergunakan  kemampuan  otak  dan  pengalaman  untuk

mencerna keanehan itu. Kalian semua telah memiliki kepandaian tinggi. Silat luar dan silat dalam.

Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak menempa diri. Itulah sebabnya tadi kukatakan bahwa

peristiwa ditemukannya mayat terpotong sebelas itu membuat aku mengambil keputusan agar kalian

turun gunung.”

      


      Setelah berkata begitu KiyaiDjokoBening keluarkangelang perak ular yang taditelah dicuci

oleh  Rokonuwu  lalu  diserahkannya  pada  Djarot.  “Bawa  gelang  perak  ini.  Benda  ini  dapat

dipergunakan  untuk  bukti  bagi  keluarga  korban, jika  kelak  kau  dan  saudara-saudaramu  berhasil

menemukan mereka.”

 Djarot mengambilgelang perak itulalu memasukkannyakedalam sakupakaian birunya.



5


            ORANG bercadar hitam dan menunggangi kuda besar itu berhenti tepat di bawah pohon

nangkahutan. Sesuai perjanjian dia akan bertemu dengankedua orang ituditempattersebut. Tapi dua

orang itu sama sekali tidak kelihatan pangkal hidungnya. Sementara langit sore tampak lebih cepat

gelapnyakarenamendung. Sebentar lagitentuturun hujan lebat.

           “Sialan! Mana mereka itu?!” orang di atas kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran diapun

berteriak: “Randu! Tikil! Dimana kalian?!”

            Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam rimba belantara semak belukar di ujung kanan

tersibak dandua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian gombrang muncul. “Kami datang!”

salah seorang darikeduanya cepat menjawab.

      


     “Ingat!” orang di atas kuda membentak. “Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut

nama  dan  gelarku!  Pohon  dan  batu  di  rimba  belantara  ini  bukan  mustahil  punya  telinga  untuk

mendengar dan punya mulut untuk mengadu!”

           “Kami mengerti...” jawab orang yang bernama Randu. Dalam hati dia berkata: “Itu sebabnya

dia mengenakan cadar. Tidak seperti pertemuan  sebelumnya. Agaknya perbuatan busuk ini  sudah

mulaitercium orang luar...”

            Orang di atas kuda melemparkan sebuah kantong berisi uang yang segera ditanggapi oleh

Randu.

           “Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah inikalian berduaharustinggalkandaerah

sekitar sinidan jangan beranikembali! Sekarang katakan, ada apa kalian memintauntuk bertemu?!”

            Yang menjawab  adalah  si  kurus  bernama  Tikil.  “Sejak  satu  minggu  lalu  ada  dua  orang

pemuda dan seorang gadis muncul di beberapa tempat. Merekamenanyakan apakah adagadishilang

atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan  sebuah gelang perak berukir kepala

ular...”

           “Astaga!  Gelang  itu!”  kata  si penunggang kuda  hampir  berteriak.  “Jadi  gelang  itu  tidak

sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benarcelaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!”

    


       “Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauhitu. Lagi pula saat itu ada orang datanghendak

menemui dukun beranakitu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi...”

           “Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus  segera menemui Warok Kuto Item. Minta dia

untuk mencariketiga pemuda itudan membereskannya!”

           “Kami rasa Warok Kuto Item  sekalipun kami bantu tidak akan mampu menghadapi  tiga

pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-anak murid KiyaiDjokoBening dari gunung Merbabu!” .

           “Celaka!  Ini lebih  celaka  lagi! Tapi... aku tak pernah mendengar Kiyai itu punya murid!

Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan! Aku tidakmengerti mengapa mereka yang justru kasak-

kusuk melakukan penyelidikan?”

           ‘Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di lereng gunung Merbabu pasti telah mereka

temukan!” Jawab Tikil.

      


     “Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat golongan

hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga kalian bertiga

harus berangkat ke tempat kediaman sang Datuk di pantai Selatan!” Dari balikpakaiannya orang di

ataskuda mengambil sebuahkantong uang lagi dan melemparkannya pada Randu. “Berikan uang itu

pada  Datuk  Kepala  Besi.  Dan  ingat,  setelah  kalian  bertemu  dengan  sang  Datuk,  kalian  harus

melenyapkan   diri!  Aku  tidak  ingin  bertemu  lagi   dengan  kalian.  Apapun  alasannya!  Kalian

mengerti?!”

           “Kami mengerti. Namun mohon uang bekal kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi dari

sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan dengan cepat. Lalu bagaimana kami memberi makan

anak isteri kami...”

       


    “Sialan, kalian hendak memerasku?!” hardik si penunggang kuda bercadar. “Ternyata kalian

tidakbisa kupercaya!”

           “Kami berdua mana berani memerasmu.” yang menjawab adalah Randu. “Soal kepercayaan

dankesetian kami tidak perludiragukan. Yang kami khawatirkan justrusi dukun beranakitu!”

            Orang di  atas kuda jadi terkesiap mendengar kata-kata Randu. “Ucapannya mungkin ada

benarnya,” katanya dalam hati. Lalu dia mengeluarkan sebuah kantong lagi  dan melemparkannya

padaRandu. “Ambil dan pergi!Jangankembali-kembalilagi!”

           “Terima kasihi” ucap Randu sambil menyambut kantong yang dilemparkan laludia memberi

isyarat pada Tikil. Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas

hutan langit semakinmendung. Gelegargunturterdengardikejauhandisambut oleh kerlapan kilat. Si

penunggang kuda segera putarbinatang tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan rimba belantara

itu.

           “ISTRIKU...” kataTumenggung Brojo Menggolo pada istrinya yang duduk terbatuk-batuk di

kursibesardi ruang tengah gedung kediaman mereka yang terletak di bagian selatan Kotaraja. “Sudah

hampir  seminggu puterimu  Sintomurni belum juga  kembali  dari  tempat  kediaman  guru  silatnya.

Apakahaku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?”

            Surti  Retnoningsih  sang  istri  terbatuk-batuk  beberapa  kali  lalu  membuang  dahaknya  ke

sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai

obat telah diminumnya. Berbagai orang pandai mulai dari dukun sampai ahli pengobatan dari istana

coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu gemuk montok itu berangsur-

angsur menjadi kurus. Dalamwaktu duatahuntubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut

tulang. Wajahnyapucat.

       


     Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua  suami istri itu. Tumenggung Brojo Menggolo

kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang

sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tigatahun dan mempunyai

seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di usia sang Tumenggung yang hampir enam

puluh maka anak tlrinya yaitu Sintomurnitelah menjadi seorang gadis yang mewarisikecantikandan

kebagusan tubuh ibunya di masa muda. Dan tentang gadis itulahkini yang tengahdibicarakan kedua

suamiistri itu.

      

     “Jika anak itu memang tengah digembleng untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi,

sebaiknya  kita  tidak  usah  mengganggu  dan  memanggilnya  pulang.  Tapi  terus  terang  sejak  satu

mingguan ini akuterus teringat padanya, bahkan sampaimemimpikananak itu. Aku khawatir, jangan-

jangan umurku ini hanya tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau memanggilnya segera pulang,

suamiku...”

           “Kalau begitu segera akan kukirim orang menjemputnya,” kataTumenggung Brojo Menggolo

pula.   “Kuharap   kau  jangan   menyebut-nyebut   soal   mati   itu   Retno.   Sakitmu   memang   sulit

disembuhkan. Tapi percayalah satu ketika kau akan sehat kembali.” Sang Tumenggung lalu berdiri.

Dia melangkah ke samping gedung besar, sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya

menujuke belakanguntuk memanggil pengawal.

    


        Keesokan harinya, pagi-pagi sekali  seorang lelaki bertubuh langsing berkulit coklat pekat

datang dengan diantaroleh seorang pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat Sintomurni, seorang

yang ikut menjadi tokoh silat istana karena kepandaiannya yang tinggi dan dekatnya hubungannya

dengan Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru langsung diantarke ruangan dimana Tumenggung

berada bersamaistrinya.

  Setelah menjura memberi hormat pada kedua  suami  istri  itu  dan dipersilakan mengambil

tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera membuka mulut.

            ‘Tumenggung,   terus   terang   saya   heran   ada   utusan   yang   hendak   menjemput   puteri

Tumenggung Sintomurni. Padahal puteri Tumenggung itutelah mohon diridaritempat saya tiga hari

yang  lalu.  Sesuai  keterangannya  dia  berkata  akan  langsung  pulang.  Apakah  dia  belum  sampai

kemari...?”

       


     Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada

bayangan rasa khawatirpadawajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu. “Sayatakut sesuatu

terjadidengannya...” kataRetnoningsihdan air mata langsung saja meluncurke pipinya yang cekung.

“Jangan-janganada orang jahat yang melakukansesuatu terhadapnya. Menculiknya... . Menyekapnya

di satu tempat...”

            “Sulit  hal  itu  bisa  terjadi  Den  Ayu  Retno,”  sahut  Sangkolo  Pratolo.  “Dengan  tingkat

kepandaian yang  dimilikinya  sekarang tidak  sembarang  orang mampu berbuat yang bukan-bukan

terhadapnya...”

     


       “Selama Sintomurni berada di tempat kediamanmu, apakah sampean melihat ada kelainan-

kelainan padadiri anak kami itu...?” bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.

 “Maksud Tumenggung...?” balik bertanya Sangkolo Pratolo.

            “Maksudku mungkin sebagai gurunya, Sintomurni lebih terbukaterhadapmudaripada kami.

Mungkin ada sesuatu yang menjadiunek-unekannyaatau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu

dia berselisih atau sedang marahan dengan pemuda kekasihnya yang bernama Damar Bintoro itu...”

sahut Tumenggung pula.

    

        “Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Tumenggung. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu

ganjalan pada saya.”

            “Kalau  begitu  kemana  perginya  anak  Itu?”  tanya  Tumenggung  Brojo  Menggolo  seraya

memandang pada  istrinya yang tengah mengusut  air  mata.  “Kita harus mencari tahu  dimana  dia

berada, suamiku...” berkata Retnonlngsih.

            “Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan parabawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan

turun tangan. Dan SangkoloPratolo, aku mintakaujuga melakukan pencarian...”

 “Itu memang tugas saya, Tumenggung,” sahut guru silat itu.



7

      


      DJAROT memperhatikan  sejenak  danau  kecil  dihadapannya  lalu  memandang berkeliling.

Akhirnya  murid   tertua   Kiyai   Djoko   Bening   dari   gunung   Merbabu   ini  berkata:   “Walaupun

mengeluarkan biaya tapi bermalam di penginapan lebih baik dari berkemah di tempat ini. Terutama

bagimu Sulindari.”

           “Aku tidaktakut berkemahdialamterbukadi tepidanau ini. Apa yang kau kawatirkankakak

Djarot?”  bertanya   Sulindari   sambil   mempermainkan   gelang  perak  berukir  kepala  ular  yang

dikenakannya di lengan kirinya.  Seperti  diketahui gelang itu  adalah gelang yang ditemukan pada

lengan kiri mayat terpotong sebelas.

       


     Karena   tak   mau   dianggap   pengecut   akhirnya   Djarot   menyetujui   usul   kedua   adik

seperguruannya untuk bermalam dan berkemahdi tempat itu.

           “Kalian mengusulkan maka kalian yang harus mencari kayu untuk perapian,” kata Djarot

pula. Dalam waktu singkat Sulandari dan Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang diperlukan.

Begitu malam turun api unggun segera dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan sembahyang dengan

Djarotsebagai imam.

   


         Pada saat menjelang akhirsembahyang Djarot mendengar suara mencurigakandi balik semak

belukar takjauh dari perkemahan. Suara itujuga terdengar oleh kedua orang adik seperguruannya

yang membuat ketiganya jadi kurang khusuk melakukan sembahyang. Begitu memberi salam Djarot

segeraberpaling padakeduaadiknya dan berbisik: “Kalian mendengar suara mencurigakan itu...?”

            Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama mengangguk.

           “Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah diintai seseorang,” kata Djarot. Dia memandang

berkeliling. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika karena tiba-tiba sekali

kemudianterdengar suara orang menegur lantang merobekkesunyian malam.

           “Dua pemuda satu pemudi di perkemahan, apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko Bening

dari gunung Merbabu?”

       


     Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi danau berdiri. Mereka sama palingkan kepala ke

arah kegelapan di jurusan mana tadidatangnya suara menegur.

           “Siapakah  yang bertanya?!” menyahuti Djarot.  “Keluarlah  dari kegelapan  agar kami bisa

mengenalimu!”

            Terdengar  suara mendengus. Lalu  semak belukar di  samping kanan tersibak  dan  seorang

lelakimuncul melangkah mendekatiapi unggun. Tiga murid KiyaiDjokoBening berpaling. Sungguh

aneh bagi mereka. Jelas-jelas orang yang tadi menegur lantang suaranya datang dari sebelah kiri.

Bagaimanakinitahu-tahu muncul darisebelah kanan?

 “Orang ini memiliki ilmu seperti yang dikatakan guru. Ilmu memindahkansuara. Dia berada

di  sebelah kanan tapi  suaranya muncul  di  sebelah kiri...” begitu  Djarot membatin. Dan bersama

adiknya diamemandangisosok tubuh yang kinitegak dekatapi unggun itu.

       


     Orang inimemilikikepala botak plontostampakberkilat-kilatterkena cahaya api unggun. Dia

mengenakan sehelai celana hitam sebatas lutut. Di sebelah atas dia bertelanjang dada. Sehelai kain

hitam menyerupai selendang dililitkandilehernya. Berada dalam kegelapandan sebagiantubuh serta

wajah orang ini tampakangker.

           “Aku sudah keluardari tempat gelap. Sekarang apakah kalian mengenaliku?!” tanya si botak

serayabertolak pinggang.

 “Kami tidak mengenalisiapadirimuki sanak!” sahut Djarot dengan polos.

    


        Si botak tertawa. “Kalian tidakkenal aku,tapiakukenal siapakalian! Bukankah itu hebat?!”

Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk mengambil sebatang kayu sebesar lengan yang jadi

penyala api unggun. Kayu besar itutiba-tibadihantamkannyakuat-kuat kekepalanya yang botak.

            Kraak!!!

            Bukan kepalanya yang pecah  atau remuk tapi kayu  api itu yang patah berkeping-keping.

Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet sedikitpuntidak.

            Tiga murid Kiyai Djoko Bening yang baru saja turun gunung tentu saja tercengang kagum

melihathai itu. MalahRokonuwu sempat berseru: “Hebat luarbiasa!”

            Si botak tertawa mengekeh.  “Baru  itu  saja kalian  sudah terlongong-longong! Padahal itu

belumseberapa!” katanya. “Lihat ini!” Si botakberseru laludiaberlari dengan kepaladitekuk kearah

sebatang pohon besar di tepidanau. Kepaladanbatang pohon beradu keras.

    


        Sepertitaditerdengar suara kraak keras sekali. Batang pohon hancur dan pohon itukemudian

tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh.

            Djarot, Sulindari dan Rokonuwu sama ternganga dan saling pandang, namun Djarot diam-

diam  bertanya-tanya  dalam  hati  apa  sebenarnya  tujuan  si  botak  tak  dikenal  itu  memperagakan

kehebatankepalanya yang sanggup menghancurkanbatang kayumalah menumbangkan pohon.

           “Ki sanak yang memilikiilmu hebat, kami benar-benar mengagumikehebatanmu. Kalau kami

boleh bertanya siapakahki sanakini?” bertanya Djarot.

       


     Si botak tertawa panjang  sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. “Dunia persilatan

mengenal  aku  dengan  gelar  Datuk  Kepala  Besi.  Puluhan  tahun  aku  menjadi  raja  diraja  daerah

selatan!”

            Baik Djarot maupun dua saudara seperguruannya memang belumpernah mendengargelaritu.

Gurunya pun tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi untuk menyenangkan hati si

botak  Djarot  berkata  lagi:  “Ah,  ternyata  gelarmupun  hebat  sekali  ki  sanak.  Kami  senang  dapat

mengenal orang berkepandaian tinggi sepertimu...”

    


       “Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan dan sikapmubaik terhadapku. Itu mengurangi

hukuman yang bakal akujatuhkanterhadap kalian bertiga!”

 “Hukuman...?” ujar Djarot dan Rokonuwu hampir bersamaan. “Hukuman apa maksudmu ki

sanak?”

           “Kalian  bertiga  telah  melakukan  satu  dosa  besar.  Membunuh  seorang  gadis,  memotong-

motong mayatnyalalumembuangnyadilereng Merbabu!”

           “Astaga!”  seru Djarot. “Justru guru kami Kiyai Djoko Bening memerintahkan kami turun

gunung untuk menyelidiki peristiwapembunuhan yang keji itu.”

       


    “Kau pandai bersilat lidah dan berani berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan hanya asal

gembreng!  Aku  punya  bukti!  ayo  katakan  dari  mana  gadis  satu  ini  mendapatkan  gelang  perak

berkepalaularitu!”

            Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi gelang di lengan kirinya. Lalu dia cepat cepat

membuka mulut: “Gelang ini memang milik korbanpembunuhan itu. Guruku sengajamengambilnya

dandiberikan pada kami untuk bahan mencaribuktisiapa adanya gadis itudan siapa pembunuhnya!”

      


     “Siapa bisa percaya pada ucapan dan keterangan kalian!” sahut Datuk Kepala Besi. “Seperti

aku bilang tadi hukuman untuk kalian bertiga akan kuperingansedikit. Kalianduapemudatetap akan

kubunuh sedang gadis ini kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut akuke tempat kediamanku di

pantai selatan!”

            Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga murid Kiyai Djoko Bening serta mertategak

berpencar.

           “Kami tidak melakukan pembunuhan! Tuduhanmu tidak berdasar!” teriak Rokonuwu.

       


    “Manusiabotakinihanya mencari-cari dalih. Tujuan sebenarnya adalahhendakberbust jahat

terhadapku!” berkata Sulindari

            Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia sudah

bertekaduntuk membunuh tiga murid KiyaiDjoko Bening itu. Namun dia sama sekalitidakmenduga

kalau murid  yang  perempuan  ternyata  adalah  seorang  yang  cantik jelita.  Begitu  melihat  hatinya

langsung terpikatdannafsu bejatnya menggelegak.

       


    “Gadis  cantik,  mana  ada  niat  dihatiku  hendak berbuat jahat  terhadap  dirimu.  Justru  aku

membawamu ke pantai selatan untuk kujadikan permaisuriku. Ha...ha... ha!”

           “Manusia tidak tahu  diri!” bentak  Sulandari.  “Kehebatan  ilmumu memang membuat  aku

kagum. Tapitampangmu yang burukhanya cukup pantas jadiganjalan rodapedati!”

           “Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau yang menghinaku seperti itupasti sudah kurobek

mulutnya!”  Sepasang  mata  Datuk  Kepala  Besi  berkilat-kilat.  Dia  berpaling  pada  Djarot  dan

Rokonuwu. “Apakahkalian sudahsiap menerimakematian?!”

       


    “Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahatkamiterpaksamembeladiri” sahut Djarot.

           “Kakak   Djarot!”  tiba-tiba   Sulindari  berseru.   “Jangan-jangan   si  botak  ini   yang  telah

membunuh dan mencincang gadis yang mayatnya ditemukandilereng Merbabu itu!”

           “Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu siapa pemilik gelang di lengan kirimu itu!”

menyahutDjarot.

   


         Mendengar kata-kata  Sulindari  dan Djarot  itu  Datuk  Kepala  Besi menggereng. Mukanya

mengelam  dan  rahangnya  menggembung.  Sesaat  kemudian  tubuhnya  melesat  ke  arah  Djarot,

langsung melancarkan satu serangan berupa jotosanderas kearah dada sipemuda.

      

      Djarot mainkanilmu silat yang dipelajarinya dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnyaberkelebat

dalam  satu gerakan mengelak yang gesit. Lalu dia berusaha membalas. Karena merasa tidak ada

silang  sengketa dengan  si botak itu,  sebagai  seorang pemuda yang berhati polos Djarot tak mau

membalas  dengan  sepenuh  hati.  Dia  hanya  berusaha  menggaet  kaki  lawan  agar  lawan  jatuh

tergelimpang. Tapi serangan ituterlalu empuk bagi tokohsilat golongan hitam dari pantai selatan itu.

Dengan satu gerakan berputar yang aneh, Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu sudah berada di

atas Djarot. Tangankananya mengemplang kearah kepalapemuda itu. Sekali hantaman itu mengenai

sasarannya kepalasi pemuda pasti akan pecah, paling tidakrengkah.

       


     Djarot memiliki ketenangan yang mengagumkan.  Sambil merunduk dia miringkan kepala.

Begitupukulan lawan lewatdi samping pelipisnya dengan satu gerakancepat diaberhasil menangkap

lengan Datuk Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu membetotnya keras-keras hingga tubuh si

botakituterlontar kebawahsiap menghunjam tanah.

            Datuk Kepala Besi kaget dan marahketikadapatkan dirinya sempat ditarik lawan seperti itu.

Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan lengan Djarot, tapi

begitu jaraknya berada lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk ke arah tulang-tulang iga si

pemuda.

 Kraak!

         


   Terdengar suara patahnya dua tulang iga kanan disertai pekik kesakitan keluar dari mulut

Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sambil pegangitubuhnya yang

cideramurid Kiyai Djoko Bening ini berusaha mengimbangi diri agar tidakjatuh. Saat itulah Datuk

Kepala  Besi  datang  dari  depan,  berlari  kencang  dengan  kepala  merunduk.  Laksana  banteng

menanduk.

            Djarot  yang  sudah  melihat  sendiri  kehebatan  serta  keganasan  kepala  manusia  itu  dalam

keadaan menahan sakit segera salurkan tenagadalamnya penuh ke tangankanan. Begitukepala sang

datuk tinggal satu langkah dari hadapannya maka tinjunya dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala

lawan.

 Buuuk!!!

       

     Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh Datuk Kepala Botak terjajar dua langkah. Tapi

sang datuk sendiri tampak tertawa lebar  seolah-olah jotosan yang keras itu hanyalah satu usapan

belaka. Kepalanya sama sekalitidak cidera. SebaliknyaDjarotterlemparempat langkah,jatuh ditepi

danau. Kepalantangankanannyalecet dan tangan itu menjadi kaku sakit sampaisebatas bahu.

            Selagi  Djarot  mencoba  bangkit  dalam  keadaan  kesakitan  seperti  itu,  Datuk  Kepala  Besi

mendatangi dengan melompat. Kaki kanannyadihunjamkan ke bagianbawah perut si pemuda. Djarot

berusaha menggulingkantubuh menghindari injakan yang dapat membuatnya cacat seumur hidup itu

bahkan menemuiajal. Namun dua tulangiga yang patahdan tangan kanan yang cideraberat membuat

gerakannya menjadi lamban hingga tak sanggup selamatkantubuhnya dari injakan kaki lawan.

   


         Di  saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua bayangan disusul dengan menderunya dua

rangkum sinarkelabu yang dahsyat.

            Datuk Kepala Besi berserukaget ketikamerasakantubuhnya seperti ditabrak dua batu besar,

lalu  ada  dua  gelungan  asap kelabu menjirat  tubuhnya.  Yang  satu menarik  ke  atas  dan  satu  lagi

membetot kebawah siapmembuat badannyatersobek-sobek danterkutung putus.

      


     “Pukulan Selangit  Tembus Sebumi Putus!”  seru Datuk Kepala Besi. Dia memang pernah

mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai Djoko Bening itu namun tidak menduga sedemikian

dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan tenaga dalamnya lalu

menghantam dengankedua tangan,satukeatas satu kebawah. Setelah itudia buru-buru jatuhkandiri

dan  bergulingan  di  tanah  beberapa  kali,  lalu  bangkit  dengan  cepat  dan  menghantam  ke  depan.

Memang inilah salah satu cara untuk menghindardan menyelamatkandiridaripukulan sakti tadi.

    


        Rokonuwu  dan  Sulindari terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan  sakti yang  selama

bertahun-tahun  mereka  pelajari  di  puncak  gunung  Merbabu  ternyata  tidak  sanggup  merobohkan

lawan. Hanya ada satu dari dua kemungkinan. Lawan memang sangat tangguhatau tenaga dalamdan

ilmupukulan yang mereka kuasai belum mencapai tingkat yang dapat diandalkan. Namun keduanya

masih bisa merasa lega karenapukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup menyelamatkan

kakak seperguruan mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.

       


     Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak komat-kamit, lalu menyeringai sambil usap-

usap kepalanya yang botak.

           “Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan padamu agar

menjauh  dari  kalangan  pertempuran!  Jika  sabarku  hilang  aku  tidak  segan-segan  membunuhmu

sekaligus!” Sang datuk mengancam.

            Sulindari  tidak  merasa jerih.  Malah  dia  menyahuti:  “Kepala  botakmu  itu  sudah  saatnya

ditanggalkan  dari  leher!”  sang  dara  lalu  berbisik  pada  adik  seperguruannya.  “Roko,  kita  harus

menyerang dan bertahandenganpukulan sakti tadi! Itu pukulan paling tinggi yang kitamiliki! Jangan

berikesempatan dia menyerudukkan kepalanya! Begitu diamaju kau menghantam kearah kepalanya,

aku  ke  arah  badan  lalu   cepat-cepat  menghindar.   Sebelum  dia  bergerak  kita  harus  kembali

menghantam!”

      

     “Aku  menurut  katamu  saja,  Sulin...  Awas!  Bangsat  itu  hendak  menyerang  kembali!”

Rokonuwu  berseru  ketika  dilihatnya  Datuk  Kepala  Besi  menyerbu  ke  arahnya  dengan  kepala

botaknya menyeruduk lebih dahulu.

            Untuk menghadapi serangan ganas itu kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu lepaskan

pukulan “Selangit Tembus Sebumi Putus”. Tetapi sekali ini keduanya tertipu. Karena begitu mereka

menghantam ke depan, lawan yang diserangtiba-tiba lenyap. Lalu dari samping ada suara menderu.

Sulindari berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk Kepala Besi tahu-tahu  sudah berada dekat

sekali   di   belakang   Rokonuwu   dan   siap   menubrukkan   kepala   besinya   ke   punggung   adik

seperguruannya itu.

 “Roko! Awas punggungmu!” teriak Sulindari.

        


    Sadar bahaya mengancamnya  dari belakang Rokonuwu  cepat melompat ke  depan  sambil

lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Tapi celaka tangan yang siap memukul itu  sempat

tercekal tangankanan Datuk Kepala Besi sementarakepala botaknya tetapterus menderu menyeruduk

ke punggung Rokonuwu.

            Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk menyelamatkan adik seperguruannya itu gadis ini

langsung  melompati  tubuh  Datuk  Kepala  Besi.  Kedua  tangannya  mendorong  bagian  bahu  dan

pinggang sang datuk. Sulindari memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu namun kini dia yang

masukke dalamperangkap lawan. Begitu tubuhnyaterdorong keras ke samping, Datuk Kepala Besi

cepat menangkap salah satu tangan gadis itu. Keduanyajatuh saling tumpang tindah dan terguling

beberapa  kali.  Ketika  gulingan  itu  berhenti  dan  Sulindari  berusaha bangun  dengan  cepat  sambil

memukul dada Datuk Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah kaku,

tangannya  tak  bisa  bergerak.  Ternyata  sewaktu  terguling-guling  tadi  Datuk  Kepala  Besi  sempat

menotok tubuhnya.

    

       “Ha...ha...ha! Di atas tanah saja kau sudah menunjukkan kehebatanmu berguling-guling! Di

atas ranjang kau pastilebih hebat dan binal!” Datuk Kepala Besi tertawa bekakakan.

           “Manusia bejat! Lepaskantotokanku! Jika kau laki-lakimari bertempursampaiseribujurus!”

teriak Sulindari.

            Datuk Kepala  Besi kembali  tertawa mengekeh.  “Kau  sanggup melayaniku  sampai  seribu

jurus?! Ha...ha...ha! Gadis hebat! Tunggulah, kita nanti akan bertempur di atas ranjang! Ha... ha...

ha!”

    


       “Manusia keji!  Mulutmu pantas dirobek!”  satu  suara membentak.  Itulah  suara Rokonuwu

yang saat itu langsung menyerbu dengan satu cakaran kilat ke arah mulut Datuk Kepala Besi. Sang

datuk anggap remeh serangan ini. Dia julurkankepalanya. Cakaran Rokonuwu menyambartepat pada

bagian  atas  kepala.  Tapi  dia  seperti  mencakar  benda  licin  dan  ketika  tubuhnya  terpuntir  akibat

dorongan bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak sanggup mengelakkan jotosan yang dilepaskan

lawan kearahlambungnya.

            Rokonuwu  mengeluarkan  suara  seperti  muntah.  Tubuhnya  mencelat  hampir  dua  tombak,

jatuh terkapar di tepi danau. Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai kepala malah masuk ke

dalam air membuatnya megap-megap dan sulit bernafas. Dengan susah payah pemuda ini berusaha

menyeret tubuhnya sendiri keluar dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi untuk berdiri ataupun

duduk tak sanggup dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos lawan seperti pecah mendenyut sakit

bukankepalang.

    


        Di bagian lain Djarot tampak terbujur mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang cidera

berat membuatnya tak sanggup berdiri.

            Datuk  Kepala  Besi  berdiri  bertolak  pinggang.  “Kini  membunuh  kalian  berdua  semudah

membalikkan  telapak  tanganku!”  katanya  seraya  memandang  pada  Rokonuwu  lalu  pada  Djarot.

“Tapi...sebelum kalian menghadap malaikat maut, aku ingin menyuguhkan satu hiburan luar biasa

bagi kalian berdua!”

 “Apa yanghendakkaulakukan manusia jahat?!” teriak Sulindari.

            “Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi satu dengan

hatiku! Ha...ha...ha...! Kau tenang-tenang sajalah. Sebentar lagi kauakan kubawake sorga!”

            “Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani menyentuh adik  seperguruanku!” berteriak

Djarot dari tempatnya terbujur.

            Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat Djarot terkapar, lalu membungkuk dan bertanya;

“Anak muda, pernahkah kau melihat tubuh gadis itutanpa pakaian....?”

 “Bangsat! Kau benar-benarterkutuk! Kau dajal!” teriak Djarot.

     


       Datuk  Kepala  Besi  tepuk-tepuk  muka  Djarot  lalu  tinggalkan  pemuda  itu.  Dia  pergi

mendapatkan Rokonuwu dandisini mengajukan pertanyaan yang sama.

 “Iblis! Kau Iblis bukan manusia!” desis Rokonuwu.

            Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia melangkah mendekati Sulindari. Lalu duduk

di sampingsi gadis dan mulai mengusap-usap wajah Sulindari.

            “Jahanam  terkutuk!”  teriak  Sulindari.  Dia  berusaha  menggigit  tangan  lelaki  itu  tapi  tak

berhasil. Djarot  dan Rokonuwu  sama-sama berusaha untuk  dapat berdiri  guna menolong  saudara

seperguruan merekaitu. Tapikeduanyatidak mampu bergerak,apalagiberdiri.

            “Gadisku cantik... janganterlalu memaki. Saat inikau anggap aku jahanam. Sebentar lagi kau

tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau akan lengket kemana akupergi! Ha... ha...haaa!” Datuk Kepala

Besi tertawa panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata: “Gadisku cantik,  aku  akan membuka

celanaku! Setelah ituaku akan membuka pakaianmu! Nah kau suka bukan...?” Habis berkata begitusi

kepala botakinibenar-benar membukacelana hitamnya.

          


   Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk Kepala Besi tanpa pakaian sama sekali kini

membungkuk meneduhi tubuhnya dengan nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak ketika sang

datuk merenggutrobekbaju birunya dengankasar. Tiba-tibanafas sang datuk yang memburu seperti

tertahan.  Beberapa  langkah  di  hadapannya,  dekat  semak  belukar  dia  melihat  satu  benda  hitam

bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai celana hitam. Dia

berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana itu ternyata tak

adalagidisitu.

            “Itu pasti celanaku...” desis sang datuk. “Kenapa bisa menyangkut di semakbelukar sana...?

Aneh!”

      


      Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang dalam

kegelapan malam.

 “Kurang  ajar!  Apa  ada   setan  yang  berani  mempermainkanku?!”  Datuk  Kepala  Besi

memandang lagiberkeliling. Djarotdan Rokonuwu dilihatnya masih terbujurditempatsemula.

           “Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!” berkata Datuk Kepala Besi sambil mengusap

dada Sulindari. “Ada mahluk yang berani mempermainkanku!”

            Datuk Kepala Besi berdirilalu melangkah mendekati semakbelukar. Hanya tinggal beberapa

langkah saja lagidaricelananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba celana ituberkelebat

lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya celana hitam

itu, tiba-tibasesuatu menyambarnya. Ternyata celananyasendiri.

     


      “Keparat!” Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekorular tiba-tiba

celana  itu  melesat  ke  bawah.  Salah  satu  ujung  kaki  celana  mematuk  ke  bawah  perutnya.  Dan

terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangibagianbawah

tubuhnya.

            Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa: “Gundul jelek!Apakah burung kakak tuamu

dipatukkodok?! “Ha... ha... ha!

           “Bangsat  minta mati!  Siapa yang berani mempermainkanku!” bentak Datuk Kepala Besi

marahsekail.

     


      “Aku si pemilik kodok!” terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak. Suara

tawa itu datang daribawah pohon di tepi danau. Ketika sang datuk berpaling ke arah situ dilihatnya

tegak bertolak pinggang seorang pemudaberpakaian putih, memegangicelana hitamnya yang rupanya

telahdiikat dengan sehelai akargantung.

  Sakingmarahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat kearah pemuda itu.

           “Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpapakaian! Ini! Pakai dulu

celanamu yang bau busuk ini!”

  Pemuda di bawah pohon lalu lemparkancelana hitam yang dipegangnya.



8



            LEMPARAN celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut sekali

ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung lehernya seperti hendak

mencekik. Sambil memaki si botakini angkat kedua tangannyake atas lalu breet!!! Celana iturobek

panjang  di  bagian  tengahnya.  Sang  datuk  campakkan  celana  hitamnya  ke  tanah.  Lalu  sambil

mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia mau berpikir,

jelas  orang  telah  mempermainkannya.  Dan  hal  itu  hanya  mungkin  dilakukan  oleh  orang  yang

memilikikepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi benar-benardiselimuti

kemarahan hinggaotaknya mana mampu berpikir jernih.

   


         Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi langsung

menghantam  dengan  tangan  kanan.  Jotosannya  menderu  ke  arah  muka  si  pemuda.  Tapi  dengan

membuat gerakansedikit saja, orang yang dipukulberhasilmengelakkan serangan sang datuk hingga

dia menjaditambahmarah. Dia kembali menyerbudengan serangan beruntun yaitu duapukulandan

satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi jugamengeluarkan deru

angin yang derastanda berisitenaga dalam yang tinggi.

    


        Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan semua

serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan, Datuk Kepala Besi

keluarkan  kepandaiannya  berpindah  tempat  dan  tahu-tahu  dia  sudah  berada  di  samping  kiri,

melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda. Yang diserang menangkis dengan melintangkan lengan

kiri di  samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir terpekik kesakitan.

Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan  sakit, begitu

tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya kebawah. Pinggiran

tangankanan sang datuk membabat laksanatebasan pentungan besi.


  Buuukkk!!


            Hantaman tangan itu mendaratdi bahu kiripemudaberpakaian putih. Tak ampun lagipemuda

ini langsung melosoh dantersungkur.

            Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh dalam

hati.  Di  saat  ketiganya  tak  berdaya  seperti  itu,  munculnya  pemuda  itu  sungguh  sangat  mereka

harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botakitu. Sampai saat itukarena berada di tempat

yang gelap danjauh dari nyala apiperkemahanbaik Djarot maupun Rokonuwu serta Sulindari tidak

dapat melihatwajah sipemuda jaditidakbisa mengetahuisiapa adanya orang itu.

    


        Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan penuh

nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan kearah kepalapemudabaju putih.

           “Mampus!” teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.

 Wuuuuttt!

            Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-tiba sang

datuk  merasakan  tubuhnya  terangkat.  Baru  disadarinya kalau  saat  itu  pergelangan  kakinya  telah

berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari cengkeraman

lawantiba-tibatubuhnya sudahmelayang keudara. Dalam gelapnya malam tubuh itukemudian jatuh

mencebur ke dalam air danau yang dingin.

     


       Di  dalam  air,  sesaat  sang  datuk  megap-megap.  Untung  dia  bisa  berenang  lalu  berusaha

mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana terbakar. Orang

yang mengaku raja dirajarimba persilatan pantai selatan ini barusekali itudiperlakukan orang seperti

itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitunaikkedarat, langsung dia menekuk leher lalu menyerbu

ke arah pemudaberpakaian putih.

            Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat  celaka oleh  serangan kepala yang  sudah

diketahuinya kedahsyatannya itu segeraberteriak memberi ingat.

           “Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala Besi...!”

     


      “Terima kasih  atas peringatanmu Djarot!  Aku mau coba  sampai  dimana kerasnya kepala

botak monyet telanjang ini!” terdengarpemudaberpakaian putih menyahuti.

            Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi terkejut ketika

mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba saja ketiganya

ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara orang itu. Sulindari

yang ingatlebih duludan langsung saja gadis ini berteriak: “Wiro! Kaukah itu!”

           “Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!” menjawab si

gondrong berpakaian putih.

 “Hati-hati Wiro! Kepala manusiaituberbahayaluarbiasa!” berseru Rokonuwu.

    


       “Justru akuhendak mencoba!” Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Datuk Kepala Besi

telah berada didepannya dengan kepala botaknyasiap dihantamkan ke pertengahandada Wiro.

            Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan pukulan

Benteng  Topan Melanda  Samudra.  Pukulan  ini jika  dilancarkan  dalam bentuk  dorongan telapak

tangan  merupakan  benteng  pertahanan  yang  ampuh  karena  sanggup  mengeluarkan  angin  deras

menyongsong  serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka jangankan kepala

manusia,  tembok batu  yang  tebalpun pasti jebol.  Dan  dengan pukulan  sakti  inilah  Wiro  hendak

menggebuk kepala lawan.

    


        Datuk Kepala Besi yakin sekalikepalanya akan menjebol hancur dadasi pemuda. Sebaliknya

murid Sinto Gendeng yakin pula kalaupukulan saktinya akan menghantampecah kepala botak lawan.

Dalam  sama-sama yakin begitu  tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras  di pertengahan kepala

Datuk Kepala Besi.

 Buuukkk!

 Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanyaterdongak dantubuhnya mencelat duatombak,

jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan kanannya seperti

menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan kanannya sampai

sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dankemerahan.

   


         “Gila betul!” seru Wiro sambilgaruk-garukkan tangan kirinya kekepala penuhtidak percaya

tapi  diam-diam  juga  merasa  kagum.  Bagaimana  pukulan   saktinya  yang  selama  ini   sanggup

menjatuhkan berbagai tokohsilat kawakan, kini sama sekalitidak mempan hanya menghadapisebuah

kepala manusia. Kepala botakburuk pula.

            Di hadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri sambil

mengusap-usap  kepala  botaknya.  Tetapi  Wiro  diapun  merasa  heran.  Seumur  hidupnya  tak  satu

pukulan lawan pun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itudia hampir tak percaya ketika

melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. “Tangan Itu seharusnya hancur!” desis Datuk Kepala

Besi.

  “Orang muda! Jelaskan siapadirimu!” tiba-tiba sang datuk membentak.

            “Siapa  aku  tidak  penting!  Yang  lebih  penting  ialah jawab  pertanyaanku!  Apa  alasanmu

menuduh tiga sahabatku inisebagai orang-orang yang telah mencincang mayat dilereng Merbabu!”

            “Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian menerima

kematian!” Berkata sang datuk sambilbertolak pinggang.

            “Kau tidak menjawab pertanyaankutadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!” ujar Wiro pula.

“Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid KiyaiDjokoBening ini?!”

  Rahang Datuk Kepala Besi menggembung.

  “Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyaiku!”

            “Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang ketiga!

Apa sangkut pautmudengankorban yang dipotong sebelasitu?!

            “Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!” teriak Datuk Kepala Besi lalu

dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak siap melabrak

tubuhlawannya. Kali inidi bagian perut. Sesaat Wiro berpikirapakahakan menghantam sajasi botak

ini dengan pukulan SinarMatahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya. Sambil menyeringai

pendekar ini melompat tinggi ke  atas. Tangan kanannya menyambar  seutas  akar gantung  sebuah

pohon yang panjangnya lebih dari duatombak. Selagi masihmelayang diudara dia membuhul salah

satu ujung akargantung itudan begituturun diatelah memegang seutas “tali penjerat”.

       


      Selagi  Wiro  melayang  turun,  kembali  Datuk  Kepala  Besi  menyerang  dengan  kepalanya.

Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika didepan sana dilihatnya

lawannya  terpeleset  dan jatuh  tertelentang  di  tepi  danau.  Tanpa  pikir  panjang  lagi  sang  datuk

melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang kemudian terjadi

benar-benartidak disangkanya.

      

      Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini dilakukannya lain

tidak agar diabisa beradalebih rendah dari lawandan memiliki keleluasaan untuk “membidikkantali

penjeratnya” .

            Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tibadia sempat

melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di lain kejap dia

merasakan sesuatu menjerat kepala anggotarahasianya.

            Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriakkesakitan setinggi langit ketika Wiro sambil tertawa

gelak-gelak menyentakkanakar gantungyang dipegangnya.

 “Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Datuk Kepala Besi.

           “Berani kauberteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakaktuamu” hardik

Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu. Kembali sang datuk menjerit setinggi langit.

Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itudibetot putus, itu yang terjadidengan

dirinyahingga mau tak mau diaterpaksaberhenti memaki dan tak berani bergerak.

            Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak berdaya dan

ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-senyum.

 “Benar-benar sableng murid nenekgendeng ini!” kata Djarotdalam hati.

“Datuk Kepala Botak...!” ujar Wiro.

     


      “Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!” Datuk itu menjerit karena kembali Wiro

menyentakkanakar gantung yang dipegangnya.

           “Jaga  mulutmu   datuk  buruk!  Kau  boleh  pilih!  Kehilangan  burungmu   atau  memberi

keterangan!”

            Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya: “Keterangan apa yang

kau inginkan?!”

 “Apa hubunganmu dengan mayatdipotong-potong itu?!”

 “Aku tidak punya hubungan apa-apa!” sahut Datuk Kepala Besi.

           “Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening?!” Wiro mengejar

dengan pertanyaan berikutnya.

 “Aku dibayar orang!”

           “Siapa orang yang membayarmu?!” yang bertanya dengan membentakitu adalahDjarot.

     


      “Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal dari desa

Klingkit mendatangiku! Menyerahkansejumlah uang dengantugas membunuh dua orang pemudadan

seorang dara berpakaian  serba biru yang  diketahui  adalah murid-murid Kiyai Djoko Bening dari

gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwaketiga orang Itu telah melakukan pembunuhan atas diri

seorang gadislalu mencincang mayatnya dan mencampakkannyadilereng gunung Merbabu...”

           “Apakautidak menanyakan siapa nama-nama mereka?!”

           “Tidak karena aku tidak perduli...”  sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya  setiap  saat

mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat bergerak Wiro

yang sudahtahugelagat cepat membentak dan mengedutakar gantung.

 “Lama-lama bisa putus milikku ini!” membatin sang datuk sambil menahansakit.

     


      “Dua orang desa Klsngkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di gunung

Merbabu itu?!” yang mengajukan pertanyaanadalah Rokonuwu.

 Datuk Kepala Besi menggeleng.

           “Aku  sudah  menjawab  semua  pertanyaanmu!  Aku  sudah  memberi  keterangan!  Sekarang

lepaskan jeratantali celaka ini! Lepaskan!” berteriak Datuk Kepala Besi.

           “Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendakkau lakukanterhadapkedua murid Kiyai

Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak kehormatan gadis

itulebih kejidan lebih terkutuk! Aku tidakbisa memberi ampunmu untuk yang satu itu. Dari padadi

kemudian  hari  kau  masih  gentayangan  dengan  nafsu  bejatmu,  lebih  baik  sekarang-sekarang  ini

dilakukan pencegahan!”

 “Apa maksudmu...?” tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.

   

        “Sesuai permintaanmu,tali penjerat ini akan kulepaskan!” Habis berkata begitu Pendekar 212

Wiro Sableng tarikakargantung itukuat-kuat.

            Darah  menyembur  dari  selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus  langit  di

kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan kepalanya dengan bulu

tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.

 “Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!” terdengar suara Wiro.

     


      “Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah pembalasanku!

Aku bersumpah membunuhmudanturunanmu!”

           “Tua bangkapikun!” menyahut Wiro. “Kawinpunakubelum, bagaimana aku punya turunan!

Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!”

 “Jahanam!Keparat...!” teriak Datuk Kepala Besilalu bangkit dan lari terbungkuk-bungkuk.

9

            KARENA keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda perjalanan

dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa ke tempat

kediaman KiyaiDjoko Bening di puncak Merbabu.

    


        Setelah  memeriksa  keadaan  dua  muridnya  itu  dan  memberikan pengobatan  Kiyai  Djoko

Bening  memberi  tahu  bahwa  satu  minggu  setelah  mereka  meninggalkan  gunung  Merbabu  ada

beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipatenterdekat mendatangitempat kediamannya untuk

menyaksikan mayat potong sebelas itu. Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan kehilangan

anak gadismasing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang datang ituwalau

wajah mayat tak lagibisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu sama memastikanbahwa

korban bukan anak gadis mereka.

           “Rupanyakabarditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah tersebar

ke pelbagai penjuru...,” ujar Wiro.

 “Apa yangharus saya lakukan sekarang Kiyai?” bertanya Sulindari.

“Betul, sayapun perlupetunjukmu,” menyambung Wiro Sableng.

    

       “Memang,   kini   hanya   kalian   berdualah   yang   menjadi   tumpuan   untuk   meneruskan

penyelidikan,   mencari   tahu   siapa   adanya   korban   dan   paling   penting   mencari   siapa  pelaku

pembunuhan yang keji ini!” menjawab Kiyai Djoko Bening. “Namun hari ini kalian berdua tetap

disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotarajauntuk melihat korban. Tiga hari lalu

seorang utusan orang penting itudatang untuk melakukan peninjauan. Paling lambat besok menjelang

tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap disini dulu sampai

mereka  datang.  Disamping  itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot  dan Rokonuwu,

Sulindari...”

 “Kalau begitukataKiyai, saya menurut...” jawab Sulindari.



  *"**  * * *

    


       “Menurut  kedua  orang  tuanya,  Damar  Bintoro  meninggalkan  Sleman  sepuluh  hari  lalu.

Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan akujuga curiga!” kata Tumenggung

Brojo  Menggolo  sambil melangkah  mundar mandir  dalam kamar tidurnya yang besar  sementara

istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.

 “Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?” bertanyaRetnoningsih.

      


     “Dengan siapalagikalau bukandengan Damar Bintoro! Sudah sejak duluakutidak suka pada

anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon suami yang paling

cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalahpemuda bergajulan. Hanya kebetulan saja ayahnya jadi

penasihat PatihKerajaan...”

  “Tentunyakau punya alasan mencurigai pemuda itu...”

            “Aku yakin anakgadiskitatelah dibujuknyauntuk kawin lari. Karena dia tahu akutidak suka

kalaudia menjadimenantuku...!”

            Retnoningsih  batuk-batuk  beberapa  kali  lalu  berkata:  “Sulit  bagiku  mempercayai  bahwa

Damar Bintoro mau melakukan apayang kau katakan itu...”

      

      “Lalu kemanadia menghilang? Dan kemana lenyapnya anakgadiskita?!” tukasTumenggung

Brojo Menggolo.

            Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak laluberkata:

“Kangmas,  kalau  ada  orang  yang  harus  dicurigai,  menurut  hematku  orang  itu  adalah  Sangkolo

Pratolo, guru silat Sintomurni...”

             Sang  Tumenggung  tampak  terkejut  mendengar  kata-kata  istrinya  itu.  “Eh,  mengapa  kau

punyapikiranseperti itu, istriku...?

     


       “Apa  kangmas  lupa   siapa   Sangkolo  Pratolo  dulunya?   Seorang  kepala  penjahat  yang

merampok dan membunuh, menculik dan merusakkehormatan anak gadis atau istri orang. Kemudian

setelah dijebloskan dalampenjara Kerajaan selama sembilan tahun, diabertobat memulai hidup baru

yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakahdiatidak pantas dicurigai...?!”

            “Aku sudahmemanggilnya. Kita sudahbicara padanya. Jika dia memang menculik anak kita,

pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah dia salah seorang

yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni... “

      


      “Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat

seorang perempuandilereng gunung Merbabu beberapa waktulalu...” Bertanya Surti Retnoningsih.

            “Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan  lenyapnya  Sintomurni  dengan mayat

itu...”

            “Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana untuk

menyelidik dan mencari tahu?Apakahprajurititusudahkembali......?”

            “Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu ternyatatelah

mengawetkan jenazah Itu...”

  “Kalau begituperajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!” ujarRetnoningsih.

      


      Tumenggung  Brojo  Menggolo  menggeleng.  “Wajah  mayat  itu  tidak  dapat  dikenali  lagi.

Hancur seperti bekas dicincang. Lalu...”

  Sang Tumenggung tidakmeneruskan kata-katanya.

“Lalu apa kangmas...?”

            Brojo  Menggolo  menggelengkan  kepala.  “Aku  tak mau  mengatakannya padamu.  Terlalu

mengerikan...”

  “Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku kangmas!”

           “Menurut  perajurit  yang  kukirim,  mayat  itu  telah  dibantai  secara  keji.  Dipotong-potong

menjadi sebelas bagian...”

      

     “Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?” desis istri sang Tumenggung. Dia terdiam

beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya. “Kangmas Menggolo, kita

harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan-

jangan...”  Suara  Retnoningsih  tercekik  putus.  Tubuhnya  terduduk  ke  tepi  ranjang.  Wajahnya

menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampakada air mata yang meleleh dikedua pipinya.

           “Kau beradadalam keadaantidak sehatseperti ini. Mau ke puncak Merbabu? Jangan mencari

penyakit baru Retno!” ujar Tumenggung Brojo Menggolo.

           “Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunungpun akan kudaki demi mencari

kejelasan mengenaidirianak kita...”

      

     “Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu itu,

biarakudan Sangkolo Pratolo saja yang pergikesana... “

 “Tidak kangmas. Aku harusikut...  Aku harus ikut … ..”

            Tumenggung  Brojo  Menggoio  menghela nafas  dalam  akhirnya berkata:  “Jika  itu  maumu

baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal. Mungkin Sangkolo

Pratolo akan kuajak serta...” Lalu Tumenggung Itu keluardarikamar.



***  *   ** * *


10

     


       KIYAI DJOKO BENING,  Wiro  dan  Sulindari  sama-sama berdiri  ketika rombongan  dari

Kotaraja sampaididepan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan ituterdiri dari sang Tumenggung

sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakanbaju ringkas dan celana panjang, lengkap

dengan setengahlusin pengawal serta guru silatSangkolo Pratolo.

             Setelah saling memberi salam dan saling menghormat KiyaiDjokoBening langsung berkata:

“Beberapa  hari  lalu  utusan  Tumenggung  telah  datang  kemari  untuk  menyelidiki  mayat  yang

ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu Tumenggung

telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul begitu...?”

   


         Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya

mendahului bicara.

 “Kami ingin melihat mayat itu...”

            “Sayatidak berani menolak. Tapi apakahjeng ayu mempunyaikeberanian melihatnya? Lain

dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?”

            “Apakah jenazah itu ada didalam rumah?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.

     


       “Saya akan membawanya keluar,” kata KiyaiDjokoBening. ‘Tapi sebelumnya Tumenggung

dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari Kotaraja sejauh itu

tentumeletihkandandahaga… .”

            “Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus segera

kembalike Kotaraja...” Kata Surti Retnoningsih yang sudahtidak sabaran.

            “Jika begitukeinginan jeng ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanyake langkan

sini. Harap Tumenggung danistrisudi menunggu.”

    


        Habis berkata begitu KiyaiDjokoBening masukke dalam. Diam-diam Wiro memperhatikan

wajah  satu  persatu  wajah  orang-orang  yang  ada  di  depan  rumah.  Wajah  Tumenggung  Brojo

Menggolo  tampak  kaku  membesi.  Di  sebelahnya  istrinya  kelihatan  pucat.  Urat-urat  lehernya

menyembul  dan  bibir  bawahnya  tampak  digigit  untuk  dapat  menahan  tekanan  batin,  menunggu

dengan  segala  ketabahan.  Sulindari  merupakan  satu-satunya  orang  yang  paling  tenang.  Kedua

tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di ujung kiri langkan

sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid Pendekar 212

yang tajammelihat bagaimana jari-jari yang melintingrokokitu gemetaran.

    


        Ketika KiyaiDjoko Bening melangkah keluar membawa sebuah petikayu yang cukup besar,

suasana di tempat itu nyaris seheningdi pekuburan.

            Dengan hati-hati KiyaiDjokoBening meletakkan peti kayudi pertengahan langkan. Laludia

berpaling pada Tumenggung dan berkata: “Tumenggung dan istri, silahkan naik ke langkan untuk

menyaksikan sendiri...”

       


     Tumenggung  Brojo  Menggolo  berpaling  pada  istrinya.  Perempuan  ini  memandang  tak

berkesip  ke  arah  peti  di  langkan  rumah,  lalu  dengan  segala  ketegaran  tapi  dada  berdebar  keras

perempuan  ini  melangkah  menaiki  tangga  kayu,  terus  naik  ke  langkan.  Suaminya  mengikuti.

Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya laluikutnaikkeataslangkan.

Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran  langkan, tak  ada yang berani naik.

Sulindari dan Wirotetap berdiridi halaman rumah.

            Kiyai  Djoko  Bening,  Tumenggung  dan  istrinya  serta  guru  silat  Sangkolo  Pratolo  berdiri

mengelilingi  peti  kayu  yang  terletak  di  pertengahan  langkan  dalam  keadaan  terduduk.  Setelah

memandangiwajah-wajah di depannya satu demi satu, KiyaiDjoko Bening kemudian membungkuk.

Perlahan-lahan penutup petikayu itudibukanya.

       

     Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari

beberapa  mulut.  Tumenggung  Brojo  Menggolo  tersurut  mundur  hampir  dua  langkah.  Sangkolo

Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang  dengan tanpa berkesip  sanggup membunuh

orang, menyaksikan isi peti  itu tetap  saja dia mengernyitkan kening dan dingin kuduknya. Akan

halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia

mengeluarkan pekik kecil lalu melosohjatuh duduk di langkannyaris pingsan. Suaminya buru-buru

menolong, menyandarkannya kedinding.

    


       “Kau  tak  apa-apa  Bune...?”  tanya  Tumenggung  Brojo  Menggolo.  Sang  istri  berusaha

menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.

Masih sambil memegangiistrinya Tumenggung Menggolokembali memandang kearah petilalu tiba-

tibasaja dia berkata setengah berteriak: “Itu bukan Sintomurni! Bukan puteriku!”

 “Kau pastibetul Tumenggung...?” tanya KiyaiDjokoBening.

“Pasti sekali! Pasti sekali … .”

            Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadikelihatan seperti mau pingsan bangkit

berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-bagian tubuh

lainnya.

           “Anakku...anakku...!” jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. “Itu

anakku! Itu Sintomurni...!” Lalu perempuan ini menangis kerassekali.

 “Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kitabune. Percayalah...!”

    


       “Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak

kita mas! Anak kita...!”

            Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. “Bune...!   Setan apa yang masuk

dalamdirimu hingga mayat itukau katakan anak kita...?”

            Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling pada

Sangkolo Pratolo.: “Siapkankuda! Kita kembalike kota saat ini juga!” memerintahkan Tumenggung

itu.

     


       Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menarik

lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro mengeluarkan sebuah

benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya: “Gusti

Ayu, apakah kau mengenalianting-anting ini...?” SurtiRetnoningsih turunkan kedua tangannya yang

menutupi muka. Matanya membelalakmelihat anting-anting perak di tangan Wiro. Suaranya bergetar

ketika berkata: “Itu... itu anting-anting Sinto … .”

     

       “Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?” bertanya Sulindari yang tegak di sebelah

Wiro seraya memperlihatkangelang perak berukirankepalaular yangmelingkardi lengan kirinya.

            Retnoningsih terpekik: “Gelang itu! Gelang perak kepalaular! Itu juga milik puteriku! Aku

yang  menyuruh  buatnya pada  pandai  perak  di  Kotagede.  Dari  mana!  Katakan  dari  mana  kalian

mendapatkan perhiasan itu?!”

    

        “Anting ini saya temukan dalam kain kuningpembungkus mayat ketika ditemukandi lereng

gunung,” menerangkan Wiro.

            “Dan gelang perak ini sengaja kami ambildari lengan jenazah setelah sampaidisini,” berkata

Sulindari.

            “Kalau begitujelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu Tumenggung Brojo

Menggolo!” kata KiyaiDjokoBening.

   

         ‘Tidak...  Tidak  mungkin!  Tidak  mungkin  itu  anakku!”  teriak  Tumenggung  Menggolo.

Tubuhnya terhuyung nanar lalutersandarke tiang langkan.

            Kiyai  Djoko  Bening  berpaling  pada  Sangkolo  Pratolo.  Lalu  berkata:  “Sebaiknya  segera

dipersiapkanuntuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu menguburkannya!” Lalu pada

Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. “Tumenggung, kau harus

tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskanseperti ini...”

            Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. “Walau Sintomurnihanya anak tiriku,” katanya,

“Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang

lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke

Kotaraja dandiurus pemakamannya...”

            “Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung,” kata Kiyai Djoko

Bening perlahan  hampir berbisik,  tapi  masih  sempat  terdengar  oleh  Retnoningsih.  “Puterimu  itu

meninggaldalam keadaan hamilantara empat sampai limabulan...”

            “A...apa... Puterikuhamil...?!” SepasangmataTumenggung Brojo Menggolomembeliak. Dia

berpaling pada istrinya. Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat mendengarketerangan Kiyai

DjokoBening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini diabenar-

benar pingsan.

            “Tidak bisatidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!” teriak Tumenggung Brojo Menggolotiba-

tiba seraya mengepalkantinjukanannya. “Pasti Damar Bintoro yang melakukannya! Dia menghamili

Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi Damar Bintoro!

Kowe tak akan bisa larijauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang

tubuhmu sampailumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!”


11


      

      MALAM sangat gelap, pekat menghitam membungkustempat dimanadua penunggang kuda

itu mengadakan pertemuan hinggawajahkeduanya sulit dikenali.

           “Ada hal mendesakhingga kau memintapertemuan ini?” Penunggang kudadi sebelah kanan

bertanya.

           “Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranakitutidak adaditempat kediamannya. Menurut

pemilikrumahdia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya. Berarti saat lenyapnya

hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro...”

            Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin membasahi

wajahnya. “Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana kalau kuminta

kau mencarikeduanyalalu membereskannya....”

 “Saya mulai berpikir-pikir...”

           “Kau mulai berpikir-pikir katamu? Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat hal itu.

Jika kau masih menginginkan jabatan ituperintahkuharuskau lakukan. Kalau tidak nasibmupun akan

masuk dalam daftarhitamku! Jangan lupa kau ikutterlibat banyak dalam urusan ini!”

 “Saya mengerti. Kalau begituizinkan saya pergisekarang...”

           “Jika kau ingin bicara, kau bisa datang kerumah. Tidak perlusembunyi-sembunyi seperti ini.

Justru jika ada yang melihatbisa tambahtidakberes urusan ini. Kau mengerti...?”

 “Saya mengerti...”

 “Kau boleh pergisekarang!”

 Penunggang kudadisebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu.

            Yang di  sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda. Satu

pikiran  buruk  mampir  di  benaknya.  “Aku  khawatir  manusia  satu  ini  apakah  benar-benar  bisa

dipercayaterus...” berpikir sampaidisitu maka diapun berseru. “Tunggu dulu!”

            Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu  orang yang datang

menyamparinya. “Ada apa lagi...?”

       

    “Tidak apa-apa. Aku pikirdalam menjalankan pekerjaanmupastikaumembutuhkansejumlah

uang. Terima ini...” Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuahkantong berisi uang.

ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan kanan yang tadi

menyelinapke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksanakilat dalam kegelapan malam. Sebilah keris

luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang tadi. Tubuhnya

langsung terhuyung, lalujatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada yang tembus

sampaike jantungnya.

 “Manusia jahanam. Manusia busuk terku...” Makian ituhanyasampaidisitu karena nyawanya

keburu putus.

            Di balik semakbelukar yang sangatrapat, terdengar suara perempuan memaki halus: “Kenapa

kau larangaku mencegah keparat itumembunuh saksi penting yang kita perlukan itu...?”

            Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. “Jangan bicaraterlalukeras. Kau

takusahkhawatir...”

   


        “Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!” berbisik lagi suara perempuan tadi. Kali ini

menunjukkan rasa gemas.

           “Tidak  mengerti  tidak  jadi  apa  Sulindari.  Kita  masih  punya  beberapa  saksi  yang  bisa

mengungkapkan  kejahatan  ini.  Yang  satu  itu  biar  mampus  duluan.  Mungkin  itu  hukaman  yang

setimpalbaginya!”

           “Terserah  padamulah.  Mari  kita  tinggalkan  tempat  ini.  Kita  harus  mencari  tahu  dimana

beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranakitu...”

    


       “Tunggu, jangan terburu-buru Sulin,” bisik Wiro seraya memegang pinggang murid Kiyai

DjokoBening Itu. “Masihadasatukejadian baru lagiditempat ini.”

           “Aku mendengarada orang berkudamendatangi. Masihjauh memang. Tapi sebentar lagikita

akan melihatnya … .”

     


       Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang kuda

yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain muncul dua

ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki berkepala botak,

mengenakancelana hitam tanpa baju. Sehelaikain hitam menyerupaiselendangmelingkardilehernya.

Di atas punggung kudakedua tampakterbujur melintang duasosok tubuh yang tidak bergerak-gerak,

entah matientah pingsan.

   

        “Siapa   kau   yang   berani   menghadangku?!”   teriak   lelaki   yang   baru   saja   melakukan

pembunuhan.  Tapi  diam-diam  dia  memang  merasa  pernah  melihat  atau  kenal  dengan  orang  ini

sebelumnya. Lalu dia ingat dansetengah berseru: “Kau! Bukankah kau Datuk Kepala Besi?!”

            Si botaklepas tertawa panjang. “Bagus kalaukau masih mengenaliku...”

           “Apa maksudmu  menghadangku  di  tempat  ini.  Jelas kau  telah mengikuti  sejak beberapa

waktulalu...!”

   

        “Memang  begitu.  Kau  lihat  dan  kenali  dua  orang  di  atas  kuda  sana...?”  si  botak  balik

bertanya.

            Orang   yang   ditanya   membuka   matanya   lebar-lebar,   memandang   tajam-tajam   dalam

kegelapan. “Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil…!” Lelakiituberkata dengan suara bergetar.

Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.

     

      “Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu. Ingat, kau

juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid Kiyai Djoko

Bening…. ingat?!Ayo jawab!”

 “Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudahjadi mayat...?”

           “Belum...  belum.  Keduanya  belum jadi  mayat.  Hanya  kutotok  kubiarkan  hidup.  Untuk

berjaga-jaga kalaukau mungkir … .”

 “Maksudmu...?”

     

      “Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas yang

kujalankan...”

           “Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid KiyaiDjoko Bening itutidak sanggup

kau  bunuh!  Tugasmu  tidak  terselesaikan!  Sekarang  minta  tambahan  uang!  Gila!  Kerugian  apa

maksudmu Datuk Kepala Besi?!”

            Sebagaijawaban lelaki botakitumelompat turundarikudanya. Dia melangkah dekat-dekat ke

hadapan orang didepannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan kebawah.

           “Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggotatubuhku paling berharga putus!” teriak

Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkananggotarahasianya yang buntung karenadibetotlepas oleh

Wiro beberapa waktu lalu.

   

         Orang di ataskuda tampak mengernyit penuhtegang. Danjadi marah ketikaterdengar Datuk

Kepala Besi berkata: “Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagaigantikerugian!”

 “Gila! Kau gila!” teriak orang di atas kuda.

            Datuk Kepala Besi tertawa. “Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan menjadi

saksi  kejahatan  yang  kau  lakukan.  Sekali  aku  membawa  mereka  menghadap  patih  di  Kotaraja,

habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!”

     


       Orang di atas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris luk

tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala Besi tenang saja

malah tertawa mengejek. “Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku tahu kalaukau

pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-cobaberani melawankuTumenggung!”

            Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itudisadarisepenuhnya oleh Tumenggung Menggolo.

Tapidari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta.

            Dari   balik   pakaiannya   Tumenggung   mengeluarkan   kantong   uang   yang   tadi   hendak

diserahkannya  pada  guru  silat  Sangkolo  Pratolo.  Kantong  uang  itu  dilemparkannya  pada  Datuk

Kepala Besi. “Ini ambillah. Adasepuluh uang perak didalamnya. Aku tak punyauang lagi!”

        

    Si botak tertawa pendeklalu mendengus dankepretkankantong yang dilemparkan kearahnya

hinggajatuh ke tanah. “Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa akupun akan

memutus  barang  di  bawah  perutmu  itu  Tumenggung  Menggolo!”  Lalu  si  botak  ini  melangkah

mendekatiTumenggung yang duduk diataskuda itu dengankedua tanganterpentang.

           “Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya. Aku

akan  berikan  lagi  lima  ringgit  emas  begitu  sampai  di  rumah.  Hanya  itu  yang  bisa  kuberikan!

Sekalipunkaubunuhaku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!”

           “Hem,  kau  bisa  menggantikannya  dengan  benda  lain.  Emas  berlian  perhiasan  istrimu

misalnya... “

           “Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi kau harus

melakukan apa yang kukatakan!”

 “Serahkandulu uang itu Tumenggung!” ujarsi botak.

            Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si botak

menyambuti laluberkata: “Nah sekarang katakan apa yangharus kulakukan!”

 “Bunuh dua bekaspembantuku itu!” sahut Tumenggung Menggolo pula.

           “Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya mampu

memberikansepuluh ringgit emas, siapasudi!”

           “Dengar, aku akan berikanjabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat Sangkolo Pratolo.

Kurasa itulebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang kau minta!”

    

       “Hem, jabatan apa itu?” tanya Datuk Kepala Besi.

 “Kedudukan pentingdi jajaran tokoh-tokohsilat Istana!”

            Si botakberpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawadia berkata: “Baik,

kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong sebagaimana

kau melakukannyaterhadap anak tirimu itu!”

   

        “Jaga mulutmu  Datuk  Kepala Besi!  Tidak perlu  kau bicara  seperti  itu! Aku harus pergi

sekarang! Jangan lupa membereskandua bekas pembantuku itu!”

            Sesaat  setelah  Tumenggung  Brojo  Menggolo  tinggalkan  tempat  itu  Datuk  Kepala  Besi

mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam keadaantakbisa

bergerakkarenaditotok.

     


      “Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi untuk

mengurangipenderitaan, biar kaliantetap dalam keadaantertotok!” Datuk Kepala Besi angkat tangan

kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belumsempat pukulan mematikan itu

mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan menangkis dan memukul

lengan Datuk Kepala Besi. Si botakiniterjajar setengah langkah. Tikil lolos dari maut. Di sebelahnya

terdengar  suara  mengeluh  pendek.  Namun  di  saat  itu  pula  ada  yang  menyerangnya.  Sambil

menghindar Datuk Kepala Besi berusahamelihatsiapa adanya si penyerang.

           “Gadis jelita! Kau rupanya!” seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang menghalangi

pukulannya tadi  dan yang kini menyerangnya  adalah  Sulindari, murid Kiyai  Djoko Bening yang

tempo hari hampir sempat digagahinya kalautidak muncul Pendekar WiroSableng.

           “Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau berserikat

dengan Tumenggung keparat itudan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidakberdosa serta

berada dalam keadaantidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!”

      


      Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab: “Sabar anak cantik!

Kalau  kau  yang  memerintahkan  aku  untuk  tidak  membunuh  dua  pembantu  itu,  pasti  aku  patuh

menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong. Kegairahan ada tapi

kemampuan  tidak  ada!  Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda  gondrong  itu!”  Habis berkata

begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah. Justru saat itu pula Sulindari

menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu.

      

      Datuk Kepala Besi tertawa panjang.  Kepalanya  dibungkukkan menyambut  serangan  sang

dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan tendangannya. Tangan

kanannya  kini  yang  dihantamkan  ke  leher  lawan  melancarkan  pukulan  yang  mengandung  aji

kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini masih kalah cepat.

Kedua tangan lawantelah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan secara kurang

ajar sang datuk susupkan mukanya kebagianbawah perut Sulindari. Keduanya lalujatuh bergulingan.

Kesempatan  ini  dipergunakan  Datuk  Kepala  Besi untuk  menghimpit  tubuh  sang  dara,  menciumi

wajah dan menggerayangidadanya dengan penuh nafsu.

     


      “Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!” Satu suara mendamprat lalu satu tendangan

menghantam rusuk Datuk Kepala Besi. Tak ampun lagidatukiniterpental sampaiduatombak. Empat

tulangrusuknyaremukhancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk bagian-bagiantubuh di

sebelah  dalam hingga  sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala  Besi masih  sempat

bangkit berdiridengan mata berkilat-kilatdalam kegelapan. Ketika diamelihat siapa adanyapemuda

gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera balikkan

diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu,  Sulindari sudah

menunggu dengan sepotongcabang kayu sebesar betis. Begitukayudihantamkannya kerahang sang

datuk terdengar suara berderakpatah. Datuk Kepala Besi berteriakkeras laluroboh dengan sebagian

wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan segala macam

pukulan sedangbagian wajahnyatidakmempunyai kekebalan apa-apa.

            Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. “Bangsat itu menjijikkan sekali!”

kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi hingga hidung dan

sebagiantulang pipi orang inimelesakke dalam.

            


Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas pembantu

Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih sanggup dan

sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah diselamatkan oleh dua

orang  muda-mudi  itu  keduanya  lantas  menyembah-nyembah  berulang  kali  seraya  mengucapkan

terima  kasih.  Wiro  menyuruh  Randu  dan  Tikil  berdiri.  Dari  kedua  orang  ini  mereka  kemudian

mendapatkan keterangan yang mengejutkan.

    


       “Sebagai pembantu di tempat kediamanTumenggung Menggolokami diam-diam mengetahui

adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika gadis itu hamil

Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan....”

           “Tunggu  dulu!”  memotong  Sulindari.  “Adalah  tidak  masuk  akal  kalau  Sintomurni  mau

melayaniayah tirinya itu!”

       


    “Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu dengan

semacam obat. Guna-guna!” menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. “Denganiming-iming sejumlah

uang dankedudukandi Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau menolong Tumenggung

yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun beranak Jamilah.

Dukun itudipaksa agar menggugurkankandunganden ayu. Tapigagal karenakandungansudah besar

danjaninnya sudah kuat. Den ayu meninggal duniawaktukandungannya itu digugurkan... Ketika hal

itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya Tumenggung

datang sendirikerumah dukun beranak itupadatengah malam. Kami diperintahkan ikut. Disitu... di

rumahdukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudiandipotong-potong....”

 “Siapa yang melakukannya?!” tanya Wiro.

 “Sangkolo Pratolo, jugaTumenggung Menggolo...” sahut Randu.

 “Manusia-manusia biadab!” desis Sulindari. “Lalu apa yang terjadiselanjutnya?”

    


       “Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntaldalam sebuahkain kuning. Terlebih

dahulu  Tumenggung  mencacah  wajah  mayat  hingga  tak  mungkin  lagi  dikenali.  Kami  berdua

kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru  silat  Sangkolo Pratolo

mayat itukemudian kami bawadan buangdi lereng gunung Merbabu sebelah selatan...”

           “Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi pemuda

itu lenyaphampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di gunung Merbabu. Juga dukun beranak

Jamilah  itu  lenyap  dari  rumah  sewaannya...  Apakah  Damar  Bintoro  tidak  mengetahui  kalau

kekasihnyahamil...?”

      


     “Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang pemuda

polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi keselamatannya.

Orang-orang  suruhan  Tumenggung  berkali-kali  hendak  membunuhnya  secara  gelap.  Dia  lalu

bersembunyi di satu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut sembunyi bersamanya

karena  memang  den  Damar  yang  menjemputnya  malam-malam.  Mereka  merencanakan  untuk

melapor pada Patih Kerajaan, tapitidakberanikeluardari tempat persembunyian karena orang-orang

Tumenggung adadimana-mana...”

           “Kalian tahu  dimana tempat persembunyian  Damar  Bintoro  dan  dukun beranak bernama

Jamilah itu?” tanya Wiro.

 Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.

 “Kalau begitumalamini juga kalian antarkan kami ke sana,” ujar Sulindari.

    

       “Raden dan rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkankami berdua

pastiakan melakukannya,” sahut Randu pula.

            Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan Datuk

Kepala Besi ke balik celanahitamnya. Dia jugamemungut kantong berisi uang perak. “Semua uang

ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung itu  sendiri tak

bakallamaumurnya.”

* * *


12

       

     MALAM sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng

dan murid  Kiyai  Djoko  Bening  Sulindari  sampai  di  tempat  persembunyian  Damar Bintoro  serta

Dukun  beranak  Jamilah.  Tempat  itu  ialah  sebuah  rumah  papan jati  yang  terletak  dalam  rimba

belantara, merupakan rumah kecil  tempat orang beristirahat pada  siang hari  atau menginap pada

malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba Kayu Ireng ayah

Damar Bintoro

    


       “Tampaknya  kita  kedahuluan  orang  lain...”  bisik  Wiro  pada  Sulindari  dari  balik  semak

belukar sambil menunjuk padadua ekor kuda besar yang tertambatdibawah pohon. Di bagian lain, di

sebelah belakangrumah papan kelihatan pula duaekor kuda.

            Randu  tiba-tiba  berbisik:  “Salah  seekor  kuda  yang  tertambat  disana  milik  Tumenggung

Menggolo...”

 “Bagus! Kalau bangsat itu adadisini berarti semua urusan bisadibikin tuntas!” ujar Sulindari.

Di dalam rumah papan tiba-tibaterdengar suara pekikan perempuan.

           “Itu teriakandukun beranak Jamilah...” memberitahu Tikil yang mengenali suara perempuan

itu.

    


        Lalu menyusul suara bentakan: “Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka kau

hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang kau rusak

kehormatannya itu? Manusia Iblis! Kau boleh bunuh akutapilepaskan perempuan tua itu!”

 “Itu suara den Damar...” Tikil yang berbisik.

 Laluterdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo.

           “Soal kematianmu takusah kaurisaukan anak muda! Aku memang tak pernah sukapadamu!

Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul beberapa

saatlagi!”

      


      Tanpapikir panjang lagisaat itujuga Wiro dan Sulindari langsung melompat keluardari balik

semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur berantakan lalu

bersama Sulindari dia masukke dalam rumah yang diterangisebuahlampu minyakitu.

       


     Di lantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang membeliak

dan  gemetaran  sekujur  tubuhnya  karena  ketakutan.  Di  depannya  Tumenggung  Brojo  Menggolo

tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut, seorang pemuda

dalam  keadaan  tertotok,  tegak  tersandar  tanpa  bisa  bergerak.  Dialah  Damar  Bintoro,  kekasih

Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua berjanggut putih yang

mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangankanannya.

 “Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruankumenderitacelaka! Kau menyebar

maut  dimana-mana!  Kini  perempuan  tua  tak  berdaya  itu  hendak  kau  bunuh  pula!  Biar  kucopot

kepalamu!”  Yang  berteriak  adalah  Sulindari.  Gadis  ini  langsung  menyerbu  Tumenggung  Brojo

Menggolo. Kedua tangannya berkelebat kearahleher sang Tumenggung.

      


      Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan pada

saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang tadi hendak

ditusukkannya keleher Jamilah,kinidibabatkannya kearahkeduatangan Sulindari. Sebagai seorang

yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni Ilmu silat

tangan kosong danilmu golok. Namun jelassekali dia hanya memilikitenaga luar. Kepandaiannya Itu

sama sekalitidak ditopang oleh kekuatan tenagadalam. Ketika Sulindari mengelak dan menghantam

dengan  pukulan  Selangit  Tembus  Sebumi  Putus  langsung  Tumenggung  Menggolo  terpental  dan

terbanting  ke  dinding  papan.  Dada  pakaiannya  sebelah  kanan  tampak  terkoyak  robek  dan  kulit

dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan. Dia tersandar di dinding dan sulit bernafas. Dia

berusaha menusukkan goloknya ke arah perut Sulindari ketika si gadis kembali menyerangnya tapi

dengan mudah murid KiyaiDjokoBening itumemukullenganTumenggung dan merampas goloknya.

Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari padapemiliknya sebagai senjatamakantuan, tiba-tiba

terdengar bentakan keras:  “Jangan bunuh  orang  itu!  Kematiannya harus  di  tiang  gantungan  agar

semua orang tahu kebiadabannya!”

         

    Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba KayuIreng,ayah Damar Bintoro.

Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu.

       

     Raden  Somba  melangkah  mendekati  Tumenggung  Menggolo.  Pada  saat  itulah  orang  tua

berjanggut  putih  berjubah  kuning  mengirimkan  bacokan  dari  samping.  Cepat  dan  ganas  ayunan

goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa orang tua ini

memilikitenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanyalewat seujung kuku

darikepalanya. Ketika dia hendakbalas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng sudahlebih dahulu

berkelebat.

            Dorongan tangankanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke belakang

dan sempatterkejut.

        

    “Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket Plumbung

bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang Amerto dari

gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaumpemberontak. Padahal

tujuanmu  adalah  untuk  menutup  pengkhianatanmu  sendiri.  Kaulah  yang  mengirimkan  sejumlah

senjatauntuk kaum pemberontak diselatan!”

      

      “Ha...ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!” berkata Raden Somba.

“Sudah  sejak lama aku mencurigai gerak  gerikmu! Hari  ini kau tak mungkin  lolos lagi!” Raden

Somba berpaling pada Wiro. “Pendekar gagah, teruskan perkelahianmudengan pengkhianat ini! Tapi

ingat sepertikawannyayang satu itudia harus ditangkap hidup-hidup!”

  Raden   Somba   kemudian   melanjutkan   langkahnya   menghampiri   Tumenggung   Brojo

Menggolo.  Saat  itu  selain menderita  cidera dan kesakitan akibat pukulan  Sulindari,  Tumenggung

Menggolo memang sudahpasrah karena sadartakbisa berkelit lagi.

      

     “Aku  pasrah  menerima  segala  hukuman,  Raden  Samba!”  katanya  dengan  suara  serak.

Terbayang   di  pelupuk  matanya   saat-saat   dia  membacok  memotongi  tubuh   anak  tirinya   itu.

Tumenggung Menggolotekapwajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis sesenggukan.

            Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket Plumbung

alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari  Kerajaan

maka dia menjadi kalap.  Si jubah kuning ini kirimkan  serangan berantai yang ganas berupa dua

bacokandan satutusukansekaligus. Wiro yang mendendam besar akibat kematian para sahabatnya di

gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini jugatakkalah kalapnya. Kalau sajadiatidak

ingat  pesan  Raden  Somba  agar  dia  tidak  membunuh  orang  itu  saat  itu  rasanya  maulah  dia

mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuhtua bangka itusampailumat.

      

      Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu Wiro

mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila.

Memang ilmusilatini sangat cocok dimainkanditempat yang sempitsepertidalam rumah papan itu.

Gerakan  kaki  tidak  terlalu  banyak,  hanya  tubuh  dan  tangan  yang  meliuk-liuk  macam  orang

sempoyongan mabuk tuak.


 Wuuttt!

        

    Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderudi depan perut Pendekar 212. Begitusambaran

senjata lawan lewat, Wiro membungkukke depan seperti terhuyung hendakjatuh, tapitiba-tiba kaki

kanannya sudahmencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak disusul jerit Dewa

Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya sudah lebih

dulujatuh dilantai. Tubuhnya tersandarmiringkedinding papan. Wiro melepaskantotokanditubuh

Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri. Tubuh perempuan

tua inimasih gemetarandanwajahnyamasih pucat pasiketakutan.

        

    Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat ini delapan

orang segera masuk lalumenggiring Tumenggung Menggolodan Sangket Plumbung keluar.

        

    Begitu totokannyalepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro Sablengdan

berulang  kali  mengucapkan  terima  kasih.  Lalu  pemuda  ini  mendatangi  ayahnya  dan  berlutut  di

hadapan orang tuanya itu.

       


    “Bangkit  berdiri  Damar.  Kita  semua  harus  segera  kembali  ke  Kotaraja!”  berkata  Raden

Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. “Muda mudi gagah. Kami berhutang budi dan

nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan karena berhasil

membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama Patih dan Sri

Baginda   aku   meminta   kalian   ikut   ke   Kotaraja   menjadi   tamu-tamu   terhormat.   Kalian   akan

menyaksikanbagaimanahukum dan keadilandijalankandisana!”

 Wiro  memandang  pada  Sulindari.  Karena  gadis  ini  hanya  diam  saja  maka  Wiro  pun

menjawab: “Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan, masih ada

urusan lain yang perlukami selesaikan. Kami mintadiri saja sekarang....”

            Raden  Somba  Kayu  Ireng  tersenyum.  Dia melirik pada  Sulindari  dan  diam-diam merasa

cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan tempatnya berpikir

sampai  disitu.  Karena tahu  bagaimana  sifat-sifat  orang persilatan  maka  dia  pun  menganggukkan

kepala dan berkata: “Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas dari segala urusan

kalian. Selamat jalan kalaubegitu!” Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi penghormatan

hingga Wiro dan Sulindari menjadikikuk membalasnya. Kedua muda-mudi inilalu tinggalkan tempat

itu.  Di  atas punggung kuda  milik  Datuk  Kepala Besi  dan  Sangkolo  Pratolo  dua  muda mudi  itu

bergeraktanpa ada yangbicara.

 “Kemanatujuan kita sekarang?” Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.

 “Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!” jawab Wiro. Sang dara diam saja.

“Eh, kau tak sukaaku antarkan...?” bertanya Wiro.

 “Kau sungguhan mau mengantar?” balik bertanya Sulindari.

“Mengapa tidak?Memangnya ada apa...?”

          

 “Hemm... Bertahun-tahun akuberada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat tiap hari

tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarangada kesempatan turun gunung. Mengapa tidakmelihat-

lihat dunialuarbarang duatigaminggu...?”

 “Ah, itu satu rencana yang baik!Apalagi kalaukita jalan sama-sama. Maksudmu begitu?”

Sulindari mengangguk.

          

 “Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantikmu mau berkelana

bersamaku. Sekali. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua tiga tahunpun

akubersedia! Ha... ha... ha...!”

 “Tapiadasaratnya Wiro!” ujar Sulindari.

“Eh, apa itu?”

           “Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, aku tak mau jadi mayat terpotong potong!”

Wiro tertawagelak-gelak.

           “Jika  kau  kembali  pulang ke tempat  gurumu nanti  percayalah  tubuhmu  akan tetap utuh.

Bahkantidakselembar rambutmu pun akan kurang!”

           “Kalau begitu nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku, apakah

adayang kurangatautidak!”

 “Seluruh rambut ditubuhmu...? tanya Wiro pula.

           “Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!” Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan Wiro dan

bagaimana diabisaterjebak menjawabseperti itu.

           “Pemuda kurang ajar!” teriak  Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung Pendekar

212. Tapi Wiro sudahmembedal kudanyalebih dahulu seraya tertawagelak-gelak dan berkata: “Ha...

ha! Aku akan menghitungrambut ditubuhmu! Seluruh rambut! Asyik... Asyiiikkkkk!”

                                  


  


                                         TAMAT

Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive