1
PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit
biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki
gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang
menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur,
menghijautertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di
sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnyakelihatan memutih seperti perak
tertimpa cahayamatahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh
gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh
satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang ataupenduduk sekitar tempat itu
yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunungpun kabarnya belum
pernah didaki orang atau penduduk setempat. Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung
Merbabu ituterdapat sebuah pertapaandimana tinggal seorang saktipimpinan sebuah perguruan silat
yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itutidak pernah dibuktikan
orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung
terdengardikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itudipecahkan
oleh suara siulan yang akanterasaaneh bagisiapasaja yang mendengarnya. Aneh karena suara siulan
itukeras sekali sepertibukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama
sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa
gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam
gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda dibawah
pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun pisau besar. Di
tangankanannya dia memegang sepotongranting kayu yang dipergunakannyauntuk menguak semak
belukarataurerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagidanbaju di bagian
dada sipemudatersingkapterlihatlahtigaderetanangka yang dirajah padadadanya. Angka 212. Tak
pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng, murid sinenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang menonjoldi pinggang
pakaiannya itu sudah dapat dipastikanadalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit
dicari tandingan nya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya
dipencongkan ke kiri sedang cuping hidungnya sedikit memekar. Ketika dia mencoba menarik nafas
dalam tak ampun perutnya seperti terbalik dan dari tenggorokannya terdengar suara seperti mau
muntah. Wiro meludah ke tanah berulang kali. Telapak tangan kirinya ditekapkan ke hidung. Dia
memandang berkeliling. Dari mulutnya laluterdengar suara mengumpat. “Bau busuk celaka apa yang
menyambar hidungku di tempat ini?!” Dia memandang lagi berkeliling tapi tetap saja tidak melihat
bendalain selain pohon-pohon dan semak belukar.
“Gila! Belum pernah aku mencium bau sebusuk ini!” kata Wiro dalam hati. Sesaat dia
mendongak. Perasaan yang didorong oleh penciuman memberitahu kepadanyabahwa bau busuk itu
datang dari jurusan kanan.
“Hanya bau busuk sialan!Apakahaku harus menyelidiki?!” sipemuda berpikir sambilgaruk-
garukkepala. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan penyelidikan. Dengan tangankanan yang
memegang potongan ranting dan tangan kiri dia menyibak semak belukar lebat, dia melangkah
menuju arah kanan dari mana datangnya sumber bau busuk yang dahsyat itu. Kali ini tak ada lagi
suara siulan keluar dari mulutnya, malah sambil melangkah dia menutup jalan penciuman agar bau
busuk itu tidak membuatnya keblinger. Ternyata semakinjauh dia melangkah ke jurusan kanan itu,
semakin santar bau busuk menyebar. Kalau saja niatnya tidak keras mau rasanya saat itujuga dia
membalikkantubuh.
Mata sang pendekar yang tajammelihatada beberapa bagian semakbelukardi kiri kanandan
di sebelah depannya yang ranggas tanda sebelumnya ada seorang atau mungkinjuga binatang yang
melewati tempat itu. Agar lebih mudah bergerak, Wiro mengikuti saja bekas bagian-bagian
rerantingan atau semak belukar yang telah menguak. Bekas yang telah dirambas orang ini akhirnya
membawanya sampaipada suatu tempat yang penuh ditumbuhikeladi hutan. Di antara pohon-pohon
keladi hutan berdaun lebar itu Pendekar 212 Wiro Sableng melihatsebuah buntalan besarkain kuning
yang penuh dengan noda-noda merah.
Sepasang mata Wiro memandang tak berkedip pada buntalan kain kuning itu seolah-olah
hendak berusaha menembus dan mengetahui apa yang adadalam buntalankain penuh nodamerahitu.
Nafasnya mulai sesak karena sudah terlalu lama menutup jalan penciuman. Matanya terus menatap
buntalan kain yang menyangsrang diantarabatang-batang keladi hutan. Kain kuning bernoda bercak
merah. Dan warna merahitu.
“Bercak merah itu...” desis Wiro. “Itu hampir pasti adalah bercak darah! Dan buntalan itu … .
Itulah sumber bau busuk yang kucium!”
Entah mengapa saat itutiba-tibasaja sang pendekarmerasakan kuduknya menjadidingin dan
bulu tengkuknya mendadak ikut merinding. Sepasang kakinya terasa berat ketika dilangkahkan
mendekati buntalan kuning yang menyangsrang diantara batang-batang keladi hutan yang besar-besar
itu.
Wiro maju terus. Sambil bergerak kedua matanya tak bisa lepas dari buntalan kain kuning.
Kira-kira hanya tinggal enam langkah lagi dari pohon-pohon keladi, tiba-tiba buntalan kain kuning
merosotjatuh kebawah. Satu sosokkaki putih tapi penuh lumurandarah mencuat dari balik buntalan.
Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kedua kakinya seperti dipantek ke tanah
sedang sepasang matanya membeliak.
“Kaki manusia...,” desis Wiro tercekik dan tubuh bergetar. Jari-jari tangan kanannyapulang
balik mengusap mulut dan tengkuk berulang kali. “Jangan-jangan daerah ini sarangnya para
dedemit...”
Tengkuk sang pendekartambah dingin. “Tapi apa iyya dedemit itubetul-betulada...?” Wiro
malah balik bertanya padadirinya sendiri.
Setelah mengusap matanya beberapa kali Wiro akhirnya mampu menguasai rasa takut yang
mempengaruhi dirinya lalukembali melangkah mendekati buntalankain kuningbernoda darah. Tapi
baru saja dia bergerak satu langkah, tiba-tiba semak belukar di samping kanan bergernerisik dan
terkuak. Wiro berpaling. Tiga orang berpakaian seragam biru gelap dua pemuda, seorang pemudi
muncul, langsung mengurung sang pendekar.
* * *
2
DI PUNCAK gunung Merbabu setelah selesai mengimami tiga orang muridnya
bersembayang subuh di ruang terbuka di bagian depan rumah kayu, orang tua yang berpakaian
selempang kain putih itu memimpin pembacaan doadanditutup dengan membacatasbih.
Kalau biasanya selesai sembahyang subuh si orang tua selalu menyuruh ketiga muridnya
untuk melakukan latihan silat serta tenaga dalam maka sekali ini dia memberi isyarat agar murid-
muridnyatetap duduk di tempat merekabersila.
“Murid-muridku, kalian bertiga dengarlah baik-baik. Aku akan menceritakan sesuatu pada
kalian … .”
“Mengenai orang-orang gagah di jaman Nabi dan para sahabatnya, Kiyai...?” tanya salah
seorang murid yang bernamaDjarot.
Orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kiyai menggeleng. “Kali ini tidak, Djarot. Yang
akan kuceritakan padamudandua saudara seperguruanmu adalah mengenaimimpikutadi malam … .”
“Ah Kiyai bermimpi rupanya!” yang bicara adalah satu-satunya murid perempuan yakni
Sulindari. “Apakah Kiyai bertemu dengan seorang Dewi atau seorang Peri...?”
Sang Kiyai tersenyum, namun kemudian tampak wajahnya bersungguh-sungguh sehingga
ketiga muridnya tak berani lagi mencobabergurau.
“Malam tadi dalam tidur aku bermimpi. Seorang gadis yang tidak kukenal datang
menunggang kuda. Gadis ini mengenakan pakaian aneh berwarna kuning. Dia membawa sebuah
bendera putih di tangan kanannya. Tapi bendera putih itu penuh lumuran darah. Gadis itu seperti
hendak mengatakan sesuatupadaku.... Tapi justru saat itu akuterbangun ….”
Tiga murid terdiam tundukkan kepala. Lalu yang sejak tadi diam yakni murid termuda
bernama Rokonuwu berkata: “Kiyai, kalau mimpi malam tadi Itu yang membuat Kiyai terganggu,
bukankah dulu Kiyai pernah mengatakan bahwa mimpi itu hanyalah bunga tidur yang tak layak
dipercaya?”
“Benar sekali katamu itu Roko,” sahut sang Kiyai sambil tersenyum. Sesaat kemudian
senyumnya itu pupus. ‘Tapimimpiku sekali ini datang sampai dua kali. Ketika akutidur lagi, mimpi
itu muncul kembali. Aku melihat kembali gadis berpakaian kuning aneh dan menunggang kuda itu.
Seperti tadi, di tangannya dia membawa sebuah bendera putih kecil yang berlumuran darah. Kali ini
dia sempat membuka mulut, berkata padaku : Kiyai... tolong saya... Setelah berkata begitu diapun
lenyap. Dan ceritaku tidakhanya sampai disana. Ketika akubangun untuk kedua kalinya lalu keluar
dari kamardan melangkah kebagian depan rumah dalam kegelapan menjelang subuhaku melihatada
sesuatu yang bergerak diarah sana...” Sang Kiyai menunjuk ke arah ujung kanan halaman rumah.
Di antara semak belukar itu aku melihat bayangan seekor kuda. Lalu di atasnya ada
penunggangnya. Dan si penunggang ternyata gadis berpakaian kuning memegang bendera putih
berdarah itu. Dia memandang dengan paras sangat harap pertolongan. Tepat seperti yang aku lihat
dalammimpi. Ketika akuturun dari langkahini untuk menghampirinya, kudadan penunggangnya itu
lenyap laksana kabut … .”
Mendengar penuturan guru mereka, tiga muriditu mau takmau sama berpaling kearah semak
belukar yang tadi ditunjuk si orang tua. Djarot dan Rokonuwu merasa tercekat sementara Sulindari
merasakansepertiadahawa dingin yang merayapi kuduknya.
“Apakah Kiyai mengenali siapa adanya gadis penunggang kuda itu. Atau mungkin pernah
melihatnya sebelumnya...?” bertanya Djarot.
“Aku, memang aku rasa-rasa pernah melihatnya. Tapi entah kapandandimana...” sahut sang
Kiyai.
“Apa yangharus kami perbuat kalaubegituKiyai?” bertanya Sulindari.
“Ada satu keanehan lain yang terjadi di gunung kediaman kita ini, murid-muridku,” jawab
orang tua itu. “Sejak beberapa saat lalu telingaku serasa menangkap suara siulan aneh di lereng
gunung sebelah selatan. Kalau kukatakan itu siulan manusia mengapa demikian santarnya hingga
terdengar olehku lapat-lapat. Jika kukatakan itu siulan setan pelayangan, akutak pernah percaya ada
setandi gunung Merbabu ini. Apalagi setan yang pandai bersiul!”
Tiga orang murid itu mengulum senyum mendengar ucapan guru mereka. Ketiganya memang
tidak pernah mendengar suara siulan itu, namun mereka percaya, kesaktian yang dimiliki sang guru
demikian luarbiasanyahingga mampu menangkap suara yang begitujauhnya.
Rokonuwu simurid termuda diam-diam merasa ada yang tersirat di balik penjelasan terakhir
sang guru Maka diapun berkata: “Jika Kiyai memberiizin, kami bertiga siapuntuk menuruni puncak
Merbabu, menyelidiki ke sekitar lereng sebelah selatan.”
“Memang itu yang aku ingini murid-muridku. Pergilah menyelidik. Jangan-jangan siulan
yang kudengarituada sangkut pautnya dengan mimpiku...”
Mendengarkata sang guru ketiga murid yang sama mengenakan pakaian biru gelapitu segera
berdiri.
“Kami siappergi Kiyai...” kata Djarot.
Sang Kiyai mengangguk. Tiga murid itupun lalu berkelebat. Pergunakan ilmu lari masing-
masing, melesat menuju ke lereng gunung sebelah selatan. Dua pemuda dan satu gadis inilah yang
kemudian menemui Pendekar 212 Wiro Sableng dilereng selatan gunung Merbabu yang padasaat itu
tengah melangkah mendekati bungkusan kain kuning berbecak darah dimana mencuat satu kaki
manusia.
3
UNTUK BEBERAPA saat Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga orang muda di hadapannya
itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik Sulindari ketika gadis ini kaget melihat kaki
berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain kuning. Dia kemudian mendekati kakak
seperguruannya Djarot lalu berbisik: “Kak Djarot, ingat mimpi guru mengenai dara berbaju kuning
aneh yang memegang bendera putih berlumurandarah...?”
“Aku ingat Sulin. Justru saat ini juga aku ingin menyelidiki siapa adanyapemuda berambut
gondrongdi hadapan kita ini. Dan apa hubungannya dengan bungkusankain warna kuning itu!” Habis
balas berbisik begituDjarotmaju satu langkah mendekati Wiro, lalu menegur secara sopan.
“Ki sanak, siapakaudanada keperluan apa berada di tempat ini?”
Wiro tak segera menjawab melainkan memandang ke arah Sulindari dan sesaat dia tampak
terpesona melihat kecantikan sang dara. Melihat saudara seperguruan mereka dipandangi secara
seenaknya seperti itu,baik Djarot maupun Rokonuwu merasa jengkel. Yang punya diri malah sudah
menegur dengankeras: “Orang bertanyatakkau jawab!Apakah telingamutuli?!”
“Eh!” Wiro baru sadar. Sambil garuk-garuk kepala dan tertawa lebar dia berkata: “Harap
dimaafkan, tentu saja akutidaktuli. Tapiharap kau suka mengulang pertanyaanmu tadi, sobat...”
Meski jaditambahjengkelkinitapi Djarot mengulangi pertanyaannya tadi. “Terangkan siapa
dirimudan apa yang kau kerjakanditempat ini?”
“Aku pengelana kesasar. Dan apa yang kukerjakan disini hampir tidak beda dengan kalian
bertiga. Sama-sama heran melihat bungkusan kain kuning berlumur darah itu. Lalu sama-sama
tercekat melihatada kaki yang menyembul dari bungkusan itu.”
“Ki sanak, kau sama sekali tidak menjawab pertanyaan kakakku!” menukas Rokonuwu.
Terangkan namamu dan mengapa terpesat ke tempat ini?”
“Hemm...” Wiro bergumam dan lagi-lagi menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.
“Melihat caramu bertanya agaknya kau dan saudara-saudara seperguruanmu initentunya bermukim di
gunung Merbabu ini. Siapa guru kalian?”
“Ditanyamalah balik menanya!” Sulindari jadi penasaran...
“Ah, mohon maafmu sahabat. Namaku buruk saja. Wiro Sableng. Aku berada disini hanya
kebetulan saja. Sepertikataku tadi, pengelana kesasar...”
Karena selama menjadi murid-murid Kiyai sakti di puncak Merbabu ketiga muda-mudi itu
tidak pernah turun gunung maka mereka tidak pernah mendengar siapa sesungguhnya si gondrong
yang mengaku bernama Wiro Sableng itu.
“Lalu, mengapa kau membuang bungkusan kuning itudisana?” tanya Djarot pula.
“Bungkusan kain kuning itu? Aku sama sekalitidakmembuangnya. Justru akusampaikemari
karena bau busuk yang ditebarnya!Bungkusan itu sudahadadisana ketika aku sampaiditempat ini” .
Tiba-tiba Wiro sadardan bertanya. “Ah, kalian bertigaapakah tidak menciumbau busuk yang keluar
dari bungkusan kuning itu?!”
“Kami memang menciumnya. Tapi kami punya obat untuk penangkalnya,” Jawab Sulindari
pula.
“Ah, gurumu tentu seorang berkepandaian tinggi. Boleh aku tahu siapa nama beliau? Lalu
kalian sendiri masing-masing bernama siapa?”
“Kami anak-anak murid KiyaiDjokoBening. Aku Djarot, ini Sulindaridan itu Rokonuwu...”
menerangkanDjarot.
“Astaga, kiranya kalian murid-murid orang tua sakti terkenal itu. Nama besarnya pernah
kudengar darimulut orang-orang rimba persilatan walau guru kalianjarang turun gunung. Bukankah
Kiyai itu yang memilikipukulan saktibernama Selangit Tembus Sebumi Putus?!”
Tiga anak murid KiyaiDjokoBening sama-sama kaget dansaling pandang ketikamendengar
Wiro menyebut nama pukulan sakti yang memang dimiliki guru mereka dan yang saat itu tengah
merekarampungkan mempelajarinya.
“Hai, siapa kita mari dilupakan dulu. Aku ingin menyelidiki isi buntalan kain kuning itu!
Kalian mauikutatau lebih sukajadi penonton?” ujar Wiro.
“Kami ditugasi oleh guru,jadi kami harusturun tangan sendiri!” menjawab Rokonuwu.
“Kalau begitu silahkan kau berjalan lebih dulu sobat,” kata Wiro seraya memegang bahu
Rokonuwu. Tapi sobat Rokonuwu tentu diam-diam merasa jerih. Dia balas mendorong punggung
Wiro seraya berkata: “Kau saja yang memeriksabungkusan itu, sobat. Aku akan membantu!”
Melihat adik seperguruannya tampak ragu-ragu kalautidak mau dikatakan ngeri,Djarottanpa
banyak menunggu segera melangkah mendahului,diikuti Wiro lalu Sulindari disamping kiri bersama
Rokonuwu.
Berada didepan bungkusankain kuning yang basah oleh dara dan menyembulkan kaki putih
mulus, sesaat keempat orang muda itutertegun memandangi.
“Aku hampir pasti inikaki perempuan...” bisik Sulindari padaRokonuwu.
“Djarot, tunggu apa lagi. Ayo cepat kau buka buntalankain itu...” berkata Wiro.
Entah mengapa mendadak saja Djarot merasa tubuhnya bergetar dan keluarlah keringat
dingin. Dia memberi jalan pada Wiro lalu berkata perlahan: “Sobat, kau saja yang membuka
bungkusan itu...”
Wiro garuk-garuk kepala namun akhirnya melangkah juga dan ulurkan kedua tangan,
membuka bungkusan kain kuning berdarah. Ketika bungkusan itu terbuka, apa yang menjadi isinya
sungguh mengerikan untuk dipandang. Wiro,Djarotdanduaadik seperguruannya sama-sama tersurut
mundur dengan mata terbelalak dan lutut gemetar.
Sulindari tak tahan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perutnya seperti terbalik-
balik dan dari mulutnyaterdengar suara mau muntah berulang kali. Gadis ini kemudian tersandarke
sebuahpohon denganwajah pucat pasiseolah-olah habis melihat setan.
“Gusti Allah...” hanya ucapan itu yang keluardari mulutDjarot.
Di atas kain kuning itu bertumpukan potongan-potongan tubuh manusia bergelimang darah
mengerikan. Potongan kaki kanan sebataslutut kebawah saling tumpang tindih dengan potongan kaki
kiri yang dipotonghanya tinggalbagian lutut sampaike pangkalpaha. Lalu adabagian perut sebatas
pinggang. Lalu potongan sepasang tangan serta bagian dada. Terakhir sekali potongan kepala
berambut panjang. Potongan kepala inilah yang paling mengerikan karena jelas tampak bekas
dicincang hinggahancur-dan sulit dikenali. Keduatelinganyapun putus. Pada pergelangan tangan kiri
tampakmelingkar sebuah gelang perak berbentuk ukiran ular yang sebagian tertutup oleh dara yang
telah Keseluruhan potongan-potongantubuh ituberjumlah sebelaspotong.
Potongan-potongan tubuh itu adalah tubuh seorang perempuan berkulit putih. Tidak sepotong
kainpun menutupi aurat yang teraniaya itu. Karenatelah membusuk dapat dipastikan mayat terpotong-
potong itutelah senga jadi campakkan ditempat itu lebih dari satu hari lalu.
Wiro merasakan tenggorokannya kering dan lidahnyakelu. “Perempuan malang! Siapa yang
memperlakukannya sekejam ini...” desis murid Sinto Gendeng dengan suara bergetar. Dia berpaling
pada ketiga murid Kiyai Djoko Bening. Sulindari masih tersandar ke pohon. Djarot dan Rokonuwu
masih tertegun membeliak seperti orang kena totok. Wiro cepat-cepat membungkus potongan-
potongan mayat itu dengankain kuning kembali. Saat itulah diamelihatsebuah benda berbentuk bulat
berwarna keputihan tersepit di bawah salah satu potongan paha. Ketika dipungut benda itu ternyata
adalah sebuahgiwang terbuat dari perak. Tanpaterlihat oleh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening,
Wiro memasukkananting-anting itukedalam sakupakaiannya.
“Ini peristiwa pembunuhan yang harus di usut!” kata murid Sinto Gendeng. “Tapi kita
berkewajiban menguburkan mayat ini cepat-cepat. Bagaimana ini...?” Wiro garuk-garukkepala.
“Tunggu!” terdengar suara Djarot. “Kejadian ini harus dilaporkan dulu pada guru karena
beliau yang menugaskankami melakukan penyelidikan.”
“Lalu apa yang hendakkaulakukan?” tanya Wiro.
“Potongan mayat harus di bawah ke puncak Merbabu dan diperlihatkan pada Kiyai. Setelah
melihatterserah apa yang akandiperintahkannya.”
Wiro geleng-geleng kepala. “Mayat ini bukan kadangku bukan sanakku. Apa yang hendak
kau lakukan silahkan saja. Lagi pula daerah ini adalah wilayah kediaman kalian. Tapi bagaimana
caramu membawanyadalam keadaan seperti itu. Busuk, menjijikkandan mengerikan!”
Djarot tak menjawab. Dia melangkah mendekati sebuah pohon berbatang kecil sekitar
pergelangan tangan. Sekali pemuda Ini menggerakkan tangannya bagian bawah batang pohon itu
patah. Begitupohon tumbang, sekali lagi Djarot menghantambatang pohon di sebelah atas. Kini dia
mendapatkan sebuahpotongan kayu. Ujung kayu itudisusupkannyapada buntalankain kuningberisi
potongan mayat, lalu dia memberi isyarat pada Rokomuwu. Dua murid Kiyai Djoko Bening itu
kemudian memanggul mayatdalam bungkusankain kuning. Sebelum meninggalkan tempat ituDjarot
berkata pada Wiro.
“Kami tidak mengundangmu. Tapi jika kau mauikut ke tempat kami silahkan saja … . ”
Wiro mengangguk. Dia menunggu sampai Sulindari melangkah dan berjalan di sebelah
depannya, lalubaru mengikuti dari belakang.
4
KIYAI DJOKO BENING yang sejak malam tadi memang sudah punya firasat tidak enak
karena itu dia sengaja duduk menunggu di langkah depan tempat kediamannya di puncak gunung
Merbabu. Ketika melihat murid-muridnya muncul orang tua ini sipitkan kedua matanya, tidak
menyangka mereka akan kembali secepat itu. Apalagi dilihatnya Djarot dan Rokonuwu menggotong
sebuah bungkusan besar kain kuning bercak merah yang menghampar bau busuk bukan kepalang.
Lalu dia melihat pula seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong berpakaian serba putih
yang tidak dikenalnya.
“Apa yang kaliantemukan dan siapa pemuda ini?” bertanya sang Kiyai. Pendekar 212 Wiro
Sableng karena orang tidak langsung bertanya makatidak mejawabdan hanya menjura saja memberi
penghormatan pada orang tua itu.
Djarotdan Rokonuwu menurunkan buntalan yang merekagotong tepat di tanggarumah.
“Sesuatu yang mengerikan Kiyai...” ujarDjarot seraya mulai membuka buntalankain kuning.
“Mengerikandan biadabsekali!” menyambung Sulindari.
Dan ketika bungkusan kain kuning telah dibuka lebar-lebar, Kiyai Djoko Bening tampak
terperangah. Kedua matanya dipejamkan dan kepalanya ditengadahkan ke langit. “Tuhan, apa arti
semua ini. Kami mohon petunjukmu ya Allah.” Terdengar suara sang Kiyai setengah berbisik. Lalu
perlahan-lahan kepalanya diturunkan, kedua mata dibuka dan memandang pada murid-muridnya.
Djarot si murid tertua segera memberi penjelasan bagaimana mereka mula-mula menemui mayat
terpotong sebelas itu. Lalu pemuda ini menggamit tangan gurunya, mengajak orang tua itu keujung
rumahhinggaterpisah cukup jauh dari lain-lainnya. Disini Djarot berbisik pada gurunya.
“Ketika kami bertigasampaiditempat buntalanditemukan, pemudaberpakaian putih itutelah
berada di sana. Saya curiga Kiyai. Jangan-jangandialah yang telah membuang buntalan itu!”
Kiyai Djoko Bening melirik ke arah Wiro Sableng lalu menggelengkan kepala. “Aku tidak
sependapat denganmu Djarot. Jika memang dia yang membuang bungkusan berisi mayat terpotong-
potong itu pakaiannya pasti akan terkena noda-noda darah. Bukti-bukti itu tak kulihat. Pakaian
putihnya bersih. Lagi pula tidak mudah seorang diri membawa bungkusan mayat seberat itu ke atas
gunung. Paling tidakharus dua orang menggotongnya ataubisa juga seorang diri, tetapi dengankuda.
Kau kenalsiapa adanya pemuda itudan mengapa diamengikuti ke tempat kita ini?”
“Dia mengaku bernama Wiro Sablengdan … .”
Kiyai Djoko Bening memegang bahu muridnya. “Apa katamu Djarot? Katakan sekali lagi
nama pemuda itu!”
“Wiro Sableng, Kiyai … .”
“Astaga...” Kiyai Djoko Bening memberi isyarat pada Djarot agar mengikutinya. Lalu dia
melangkah menghampiri Wiro seraya berkata: “Apakah benar saat ini akuberhadapan dengan murid
sahabatku Sinto Gendeng,pendekar besar bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
Wiro yang tidak menduga sang Kiyai mengenalinya hanya bisa menjura sekali lagi dan
tertawa lebar. “Saya hanya murid seorang nenek buruk dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa.
Kiyaikeliwat memuji. Saya jadirikuh menerima penghormatandan pujianmu, KiyaiDjokoBening...”
Sang Kiyai geleng-gelengkan kepalanya lalu ulurkan tangan kanandantepuk-tepuk bahu kiri
Wiro Sableng. Uluran tangan, apalagitepukan yang dilakukan bukanlah sembarangan karenadisertai
aliran tenaga dalam sehingga tepukan itu mempunyai daya berat puluhan kati. Jangankan bahu
manusia,sebuah batu besarpun jika ditekan seperti itu akan amblas.
Ketika sang Kiyai mengulurkan tangannya Wiro merasakan adanya hawa dingin menyambar
kearahnya. Maklumlah pendekarini kalauuluran tangan itu disertai aliran tenagadalam yang tinggi.
Dan ketika sang Kiyai mulai menepuk Wiro merasakan satu kekuatan dahsyat menekan tubuhnya.
Kini murid Eyang Sinto Gendeng ini sadarkalau orang sengaja hendak menjajal dirinya. Maka diam-
diam diamengerahkan tenagadalamnya ke bahu kiri.
Sewaktu KiyaiDjokoBeninghampir menyentuh bahu Wiro diajaditerkejut karena dari bahu
yang hendak ditekannya itu adahawa aneh keluardan membuat tangankanannyatergetar sampaike
siku Karena sudah tanggung, Kiyai Djoko Bening teruskan tepukannya. Dia sempat menepuk bahu
pemuda di hadapannya itu empat kali, namun tangannya mendadak terasa seperti ditimbun oleh
gundukan es sehingga terasa dingin luar biasa, hampir kaku. Cepat-cepat Kiyai Djoko Bening
salurkantenaga dalamberhawa panashinggahawadingin perlahan-lahansirna.
Di luar orang tua itu tampak tersenyum. Dalam hati dia menyadari. Untuk dapat memiliki
tingkat tenaga dalam yang sanggup menahan tepukannya seperti yang dilakukan Wiro tadi, murid-
muridnya paling tidak harus belajar keras sekitar lima sampai tujuh tahun lagi. Itupun belum tentu
sempurna. Maka mau tak mau orang tua ini menjadikagum pada pendekar satu ini.
“Pendekar 212... Dulu ketika kau masih berusia sepuluh tahun, aku pernah menyambangi
gurumu di puncak Gunung Gede. Kami duduk di bawah sebatang pohon jambu dan terlibat dalam
perang mulut. Kami bertengkar besar mempertahankan keyakinan masing-masing, tak ada yang mau
mengalah. Kami bertengkar mulai dari tengah hari sampai menjelang sore. Dan kau ingat apa yang
kau lakukan saat itu...?”
Wiro berpikir mengingat-ingat. “Kejadiannya sudah lama sekali Kiyai. Saya tidak ingat...”
katanya menjawab.
KiyaiDjokoBening tersenyum. “Saat itu diam-diam kaunaikkeatas pohon jambu, memetik
dua buah jambu muda. Satu persatu dua buah jambu itu kau lemparkan ke arah kami yang sedang
bertengkar dantepat masukke dalam mulut gurumu dan mulutku yang sedang berkoar-koar. Kontan
kami berdua menjadi bungkam membisumalah hampirtercekik!”
Habis menceritakan hal itu Kiyai Djoko Bening tertawa gelak-gelak Tiga.muridnya ikut
tertawa pula sementara Wiro hanyagaruk-garukkepala laluberkata: “Ah, sungguh kurangajarsekali
perbuatan saya saat ituKiyai...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk. “Waktu kecil kau memang nakal sekali Wiro. Tetapi apa
yang kau lakukanterhadap kami saat itumendatangkan kesadaran bahkan hikmah...”
“Ah mengapa bisa begitu Kiyai?” tanya Wiro takmengerti.
“Pertama hal itu membuat kami sadar bahwa sebagaitua bangka sudahbukan tempatnya lagi
kami mengikuti hawa amarah dan berlaku tolol bertengkar seperti anak kecil. Kedua hal Itu
membuktikan bahwa siapa saja yang tidak dapat mengontrol kemarahannya akan menjadi lengah
hingga musuh bisa mencelakakan diri kita dengan mudah. Buktinya seorang anak seusia sepuluh
tahun sepertimu sanggup menyumpal mulut dua tokoh silat dengan jambu mentah!” Kembali Kiyai
DjokoBening tertawa gelak-gelak.
Setelah tawa gurunya reda, Djarot bertanya: “Kiyai, bagaimana dengan potongan-potongan
mayat ini...?
Seperti sadar, Kiyai itu anggukan kepala. “Ini satu perkara besar yang tengah kita hadapi.
Dari gelang perak di lengan mayat aku bisamemastikan mayat ini bukan darikalangan rakyat biasa.
Gelang perak berukir kepalaular seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang adahubungannya
dengankalangan Keraton,atau istana. Paling tidak dengan Kadipaten. Dan melihat keadaan potongan
mayat kurasamanusiamalang ini adalah seorang gadis. Dari bentuk payudaradan perutnya aku yakin
diaberadadalam keadaan hamil paling tidak empat sampai limabulan...”
“Lalu apa yang harus kita lakukan Kiyai...?” tanya Rukunowo.
“Sebaiknya mayat ini cepat-cepat kita kuburkan saja Kiyai. Kasihan, arwahnya pastitersiksa
jika tubuhkasarnya berada dalam keadaanseperti ini,” kata Sulindari pula.
“Memang betul, menurut adat dan ketentuan agama jenazah seseorang harus cepat-cepat
dikubur. Tapi kita menghadapi hal yang luar biasa murid-muridku. Satu perkara pembunuhan yang
besar. Mungkin melibatkan orang-orang besar pula. Jenazah ini harus kita awetkan untuk beberapa
lama sampai diketahui siapa dia adanya, lalu menyerahkannya pada keluarganya. Sulindari, kau
pergilah ambil bubuk cendana putih...”
Mendengar itu Sulindari masuk ke dalam rumah sedang Kiyai Djoko Bening menanggalkan
gelang perak berukir ular dari potongan lengan kiri dan menyerahkannya pada Rokonuwu seraya
berkata: “Cuci gelang inisampaibersihlalu serahkan padakukembali.”
Sulindari keluarmembawa sebuah kotakkecil dari kayuberisisejenis bubuk yang terbuat dari
kayu cendana putih. Kiyai Djoko Bening kemudian menebarkan bubuk putih itu di atas potongan-
potongan mayat. Bau harum menebar. Bubuk putih itu bukan saja mematikan bau busuk tapi
sekaligus juga mampu mengawetkan potongan-potongan jenazah sampai lima-enam minggu dimuka.
Selesai menebar bubuk dan menyerahkan kotak kayu kembali pada Sulindari, Kiyai Djoko
Bening berkata: “Murid-muridku, mayat dipotong sebelas itu ditemukan di gunung Merbabu, tempat
kediaman kita. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita untuk mengusut kejadian ini. Pertama kita
harus mengetahui siapa adanya gadis yang menjadi korban. Kedua siapa pelaku pembunuhannya.
Dengandemikian kemungkinan orang menjatuhkantuduhanterhadap kitadapat kita hindari...”
“Bagaimana caranya kami bisa melakukan semua ituKiyai?” tanya Djarot.
“Pertama tentu saja kalian bertiga harusturun gunung. Ini satukesempatan baikbagi kalian
karena setelah bertahun-tahun berada disini baru kali ini kalian mendapat kesempatan untuk
meninggalkan Merbabu. Berarti tugas dan pengalaman. Kalian bisa mulai dengan menyirap kabar
siapa keluarga yang kehilangan anak gadis mereka. Jika kalian temui bawa mereka kemari untuk
menyaksikan mayat agar bisadikenali.”
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya: “Bagaimana dengan kau
Pendekar 212. Apakah akan melakukan penyelidikan pula...?”
Wiro mengangguk. Lalu berkata: “Saya punya dugaan bahwa korban seorang dari dunia
persilatan, paling tidak pernah belajarilmu silat.”
“Hemm, matamutajam sekali Wiro. Dari mana kaubisa mengetahui hal itu?” bertanya Kiyai
DjokoBening.
“Pertama lengan kanannya. Lebih besar dan lebih kukuh dari lengan kiri. Berarti dia sering
berlatih diri dalam ilmu golok atau pedang. Kedua telapak tangan kanan. Lebih kasar dari telapak
tangan kiri. Pertanda dialebih sering mempergunakannyauntuk latihan memukul. Dan yang terakhir,
keduatelapak kakinya tampak tebalkarena lebihseringtidak memakaikasut...”
Kiyai Djoko Bening mengangguk-angguk. Dia berpaling pada ketiga muridnya. “Kalian
boleh berangkat besok saja. Dan kau Wiro, aku undang kau untuk menginap disini agar kita bisa
bercerita banyak dan bertukar pengalaman.” Sebenarnya selain berbasa basi orang tua itu ingin
menahan Wiro agar dapat melakukan latihandengan murid-muridnya. Namun dia agakkecewa ketika
mendapatkan jawaban.
“Terima kasih Kiyai. Saya harus minta diri saat ini juga. Di lain waktu jika umur sama
panjang saya akan menyambangimulagidisini.” Lalu Wiro menjura dalam-dalampada orang tua itu.
Dia juga menjura pada ketiga murid sang Kiyai.
Sesaat setelah Wiro berlalu, Rokonuwu bertanya: “Kiyai, apa benar pemuda tadi seorang
pendekar tokoh persilatan. Harap dimaafkan kalaudi mata saya dia kelihatan seperti seorang pemuda
konyol. Gerakgeriknya aneh. Sering menyeringaidan menggarukkepala seperti orang linglung...”
Kiyai Djoko Bening tersenyum kecil. Sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada dia
berkata: “Pertanyaanmu itu membuataku mengungkapkan lagi saturahasia hidup pada kalian, murid-
muridku. Apa yang kita lihatbaik dan bagusdi mata, belum tentu sebenarnya begitu. Sebaliknya apa
yang kita saksikan buruk mungkin sebenarnya bagus. Begitu juga dengan wajah, sifat dan sikap
seseorang. Dan satu hal lagi murid-muridku, dunia ini memang penuh dengan keanehan. Tinggal
terserah pada kita, apakah kita bisa mempergunakan kemampuan otak dan pengalaman untuk
mencerna keanehan itu. Kalian semua telah memiliki kepandaian tinggi. Silat luar dan silat dalam.
Tetapi soal pengalaman kalian harus banyak menempa diri. Itulah sebabnya tadi kukatakan bahwa
peristiwa ditemukannya mayat terpotong sebelas itu membuat aku mengambil keputusan agar kalian
turun gunung.”
Setelah berkata begitu KiyaiDjokoBening keluarkangelang perak ular yang taditelah dicuci
oleh Rokonuwu lalu diserahkannya pada Djarot. “Bawa gelang perak ini. Benda ini dapat
dipergunakan untuk bukti bagi keluarga korban, jika kelak kau dan saudara-saudaramu berhasil
menemukan mereka.”
Djarot mengambilgelang perak itulalu memasukkannyakedalam sakupakaian birunya.
5
ORANG bercadar hitam dan menunggangi kuda besar itu berhenti tepat di bawah pohon
nangkahutan. Sesuai perjanjian dia akan bertemu dengankedua orang ituditempattersebut. Tapi dua
orang itu sama sekali tidak kelihatan pangkal hidungnya. Sementara langit sore tampak lebih cepat
gelapnyakarenamendung. Sebentar lagitentuturun hujan lebat.
“Sialan! Mana mereka itu?!” orang di atas kuda memaki. Lalu karena tidak sabaran diapun
berteriak: “Randu! Tikil! Dimana kalian?!”
Baru saja gema teriakan itu lenyap dalam rimba belantara semak belukar di ujung kanan
tersibak dandua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian gombrang muncul. “Kami datang!”
salah seorang darikeduanya cepat menjawab.
“Ingat!” orang di atas kuda membentak. “Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut
nama dan gelarku! Pohon dan batu di rimba belantara ini bukan mustahil punya telinga untuk
mendengar dan punya mulut untuk mengadu!”
“Kami mengerti...” jawab orang yang bernama Randu. Dalam hati dia berkata: “Itu sebabnya
dia mengenakan cadar. Tidak seperti pertemuan sebelumnya. Agaknya perbuatan busuk ini sudah
mulaitercium orang luar...”
Orang di atas kuda melemparkan sebuah kantong berisi uang yang segera ditanggapi oleh
Randu.
“Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah inikalian berduaharustinggalkandaerah
sekitar sinidan jangan beranikembali! Sekarang katakan, ada apa kalian memintauntuk bertemu?!”
Yang menjawab adalah si kurus bernama Tikil. “Sejak satu minggu lalu ada dua orang
pemuda dan seorang gadis muncul di beberapa tempat. Merekamenanyakan apakah adagadishilang
atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah gelang perak berukir kepala
ular...”
“Astaga! Gelang itu!” kata si penunggang kuda hampir berteriak. “Jadi gelang itu tidak
sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benarcelaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!”
“Mohon maafmu. Kami tidak memikir sejauhitu. Lagi pula saat itu ada orang datanghendak
menemui dukun beranakitu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi...”
“Celaka! Kalau begitu kalian berdua harus segera menemui Warok Kuto Item. Minta dia
untuk mencariketiga pemuda itudan membereskannya!”
“Kami rasa Warok Kuto Item sekalipun kami bantu tidak akan mampu menghadapi tiga
pemuda itu. Mereka ternyata adalah anak-anak murid KiyaiDjokoBening dari gunung Merbabu!” .
“Celaka! Ini lebih celaka lagi! Tapi... aku tak pernah mendengar Kiyai itu punya murid!
Persetan! tiga orang itu harus disingkirkan! Aku tidakmengerti mengapa mereka yang justru kasak-
kusuk melakukan penyelidikan?”
‘Tidak dapat tidak mayat yang kami buang di lereng gunung Merbabu pasti telah mereka
temukan!” Jawab Tikil.
“Kalau begitu kalian harus menemukan Datuk Kepala Besi. Beri tahu tokoh silat golongan
hitam itu untuk membunuh ketiga anak murid Kiyai Djoko Bening. Malam ini juga kalian bertiga
harus berangkat ke tempat kediaman sang Datuk di pantai Selatan!” Dari balikpakaiannya orang di
ataskuda mengambil sebuahkantong uang lagi dan melemparkannya pada Randu. “Berikan uang itu
pada Datuk Kepala Besi. Dan ingat, setelah kalian bertemu dengan sang Datuk, kalian harus
melenyapkan diri! Aku tidak ingin bertemu lagi dengan kalian. Apapun alasannya! Kalian
mengerti?!”
“Kami mengerti. Namun mohon uang bekal kami ditambah. Soalnya kalau kami pergi dari
sini, kami belum tentu akan dapat pekerjaan dengan cepat. Lalu bagaimana kami memberi makan
anak isteri kami...”
“Sialan, kalian hendak memerasku?!” hardik si penunggang kuda bercadar. “Ternyata kalian
tidakbisa kupercaya!”
“Kami berdua mana berani memerasmu.” yang menjawab adalah Randu. “Soal kepercayaan
dankesetian kami tidak perludiragukan. Yang kami khawatirkan justrusi dukun beranakitu!”
Orang di atas kuda jadi terkesiap mendengar kata-kata Randu. “Ucapannya mungkin ada
benarnya,” katanya dalam hati. Lalu dia mengeluarkan sebuah kantong lagi dan melemparkannya
padaRandu. “Ambil dan pergi!Jangankembali-kembalilagi!”
“Terima kasihi” ucap Randu sambil menyambut kantong yang dilemparkan laludia memberi
isyarat pada Tikil. Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas
hutan langit semakinmendung. Gelegargunturterdengardikejauhandisambut oleh kerlapan kilat. Si
penunggang kuda segera putarbinatang tunggangannya dan dengan cepat tinggalkan rimba belantara
itu.
‘
“ISTRIKU...” kataTumenggung Brojo Menggolo pada istrinya yang duduk terbatuk-batuk di
kursibesardi ruang tengah gedung kediaman mereka yang terletak di bagian selatan Kotaraja. “Sudah
hampir seminggu puterimu Sintomurni belum juga kembali dari tempat kediaman guru silatnya.
Apakahaku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?”
Surti Retnoningsih sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang dahaknya ke
sebuah tempolong. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai
obat telah diminumnya. Berbagai orang pandai mulai dari dukun sampai ahli pengobatan dari istana
coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu gemuk montok itu berangsur-
angsur menjadi kurus. Dalamwaktu duatahuntubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Wajahnyapucat.
Sintomurni adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Tumenggung Brojo Menggolo
kawin dengan Surti Retnoningsih dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang
sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tigatahun dan mempunyai
seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di usia sang Tumenggung yang hampir enam
puluh maka anak tlrinya yaitu Sintomurnitelah menjadi seorang gadis yang mewarisikecantikandan
kebagusan tubuh ibunya di masa muda. Dan tentang gadis itulahkini yang tengahdibicarakan kedua
suamiistri itu.
“Jika anak itu memang tengah digembleng untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi,
sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang. Tapi terus terang sejak satu
mingguan ini akuterus teringat padanya, bahkan sampaimemimpikananak itu. Aku khawatir, jangan-
jangan umurku ini hanya tinggal beberapa saat saja. Ada baikya kau memanggilnya segera pulang,
suamiku...”
“Kalau begitu segera akan kukirim orang menjemputnya,” kataTumenggung Brojo Menggolo
pula. “Kuharap kau jangan menyebut-nyebut soal mati itu Retno. Sakitmu memang sulit
disembuhkan. Tapi percayalah satu ketika kau akan sehat kembali.” Sang Tumenggung lalu berdiri.
Dia melangkah ke samping gedung besar, sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya
menujuke belakanguntuk memanggil pengawal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang lelaki bertubuh langsing berkulit coklat pekat
datang dengan diantaroleh seorang pengawal. Dialah Sangkolo Pratolo guru silat Sintomurni, seorang
yang ikut menjadi tokoh silat istana karena kepandaiannya yang tinggi dan dekatnya hubungannya
dengan Tumenggung Brojo Menggolo. Sang guru langsung diantarke ruangan dimana Tumenggung
berada bersamaistrinya.
Setelah menjura memberi hormat pada kedua suami istri itu dan dipersilakan mengambil
tempat duduk, Sangkolo Pratolo segera membuka mulut.
‘Tumenggung, terus terang saya heran ada utusan yang hendak menjemput puteri
Tumenggung Sintomurni. Padahal puteri Tumenggung itutelah mohon diridaritempat saya tiga hari
yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia belum sampai
kemari...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada
bayangan rasa khawatirpadawajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu. “Sayatakut sesuatu
terjadidengannya...” kataRetnoningsihdan air mata langsung saja meluncurke pipinya yang cekung.
“Jangan-janganada orang jahat yang melakukansesuatu terhadapnya. Menculiknya... . Menyekapnya
di satu tempat...”
“Sulit hal itu bisa terjadi Den Ayu Retno,” sahut Sangkolo Pratolo. “Dengan tingkat
kepandaian yang dimilikinya sekarang tidak sembarang orang mampu berbuat yang bukan-bukan
terhadapnya...”
“Selama Sintomurni berada di tempat kediamanmu, apakah sampean melihat ada kelainan-
kelainan padadiri anak kami itu...?” bertanya Tumenggung Brojo Menggolo.
“Maksud Tumenggung...?” balik bertanya Sangkolo Pratolo.
“Maksudku mungkin sebagai gurunya, Sintomurni lebih terbukaterhadapmudaripada kami.
Mungkin ada sesuatu yang menjadiunek-unekannyaatau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu
dia berselisih atau sedang marahan dengan pemuda kekasihnya yang bernama Damar Bintoro itu...”
sahut Tumenggung pula.
“Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Tumenggung. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu
ganjalan pada saya.”
“Kalau begitu kemana perginya anak Itu?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo seraya
memandang pada istrinya yang tengah mengusut air mata. “Kita harus mencari tahu dimana dia
berada, suamiku...” berkata Retnonlngsih.
“Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan parabawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan
turun tangan. Dan SangkoloPratolo, aku mintakaujuga melakukan pencarian...”
“Itu memang tugas saya, Tumenggung,” sahut guru silat itu.
7
DJAROT memperhatikan sejenak danau kecil dihadapannya lalu memandang berkeliling.
Akhirnya murid tertua Kiyai Djoko Bening dari gunung Merbabu ini berkata: “Walaupun
mengeluarkan biaya tapi bermalam di penginapan lebih baik dari berkemah di tempat ini. Terutama
bagimu Sulindari.”
“Aku tidaktakut berkemahdialamterbukadi tepidanau ini. Apa yang kau kawatirkankakak
Djarot?” bertanya Sulindari sambil mempermainkan gelang perak berukir kepala ular yang
dikenakannya di lengan kirinya. Seperti diketahui gelang itu adalah gelang yang ditemukan pada
lengan kiri mayat terpotong sebelas.
Karena tak mau dianggap pengecut akhirnya Djarot menyetujui usul kedua adik
seperguruannya untuk bermalam dan berkemahdi tempat itu.
“Kalian mengusulkan maka kalian yang harus mencari kayu untuk perapian,” kata Djarot
pula. Dalam waktu singkat Sulandari dan Rokonuwu telah mendapatkan kayu api yang diperlukan.
Begitu malam turun api unggun segera dinyalakan. Lalu ketiganya melakukan sembahyang dengan
Djarotsebagai imam.
Pada saat menjelang akhirsembahyang Djarot mendengar suara mencurigakandi balik semak
belukar takjauh dari perkemahan. Suara itujuga terdengar oleh kedua orang adik seperguruannya
yang membuat ketiganya jadi kurang khusuk melakukan sembahyang. Begitu memberi salam Djarot
segeraberpaling padakeduaadiknya dan berbisik: “Kalian mendengar suara mencurigakan itu...?”
Baik Rokonuwu maupun Sulandari sama-sama mengangguk.
“Aku punya firasat gerak-gerik kita tengah diintai seseorang,” kata Djarot. Dia memandang
berkeliling. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tapi itu hanya beberapa ketika karena tiba-tiba sekali
kemudianterdengar suara orang menegur lantang merobekkesunyian malam.
“Dua pemuda satu pemudi di perkemahan, apakah kalian murid-murid Kiyai Djoko Bening
dari gunung Merbabu?”
Dengan gerakan tenang tiga orang di tepi danau berdiri. Mereka sama palingkan kepala ke
arah kegelapan di jurusan mana tadidatangnya suara menegur.
“Siapakah yang bertanya?!” menyahuti Djarot. “Keluarlah dari kegelapan agar kami bisa
mengenalimu!”
Terdengar suara mendengus. Lalu semak belukar di samping kanan tersibak dan seorang
lelakimuncul melangkah mendekatiapi unggun. Tiga murid KiyaiDjokoBening berpaling. Sungguh
aneh bagi mereka. Jelas-jelas orang yang tadi menegur lantang suaranya datang dari sebelah kiri.
Bagaimanakinitahu-tahu muncul darisebelah kanan?
“Orang ini memiliki ilmu seperti yang dikatakan guru. Ilmu memindahkansuara. Dia berada
di sebelah kanan tapi suaranya muncul di sebelah kiri...” begitu Djarot membatin. Dan bersama
adiknya diamemandangisosok tubuh yang kinitegak dekatapi unggun itu.
Orang inimemilikikepala botak plontostampakberkilat-kilatterkena cahaya api unggun. Dia
mengenakan sehelai celana hitam sebatas lutut. Di sebelah atas dia bertelanjang dada. Sehelai kain
hitam menyerupai selendang dililitkandilehernya. Berada dalam kegelapandan sebagiantubuh serta
wajah orang ini tampakangker.
“Aku sudah keluardari tempat gelap. Sekarang apakah kalian mengenaliku?!” tanya si botak
serayabertolak pinggang.
“Kami tidak mengenalisiapadirimuki sanak!” sahut Djarot dengan polos.
Si botak tertawa. “Kalian tidakkenal aku,tapiakukenal siapakalian! Bukankah itu hebat?!”
Kembali si botak ini tertawa. Dia membungkuk mengambil sebatang kayu sebesar lengan yang jadi
penyala api unggun. Kayu besar itutiba-tibadihantamkannyakuat-kuat kekepalanya yang botak.
Kraak!!!
Bukan kepalanya yang pecah atau remuk tapi kayu api itu yang patah berkeping-keping.
Kepalanya yang botak jangankan luka, lecet sedikitpuntidak.
Tiga murid Kiyai Djoko Bening yang baru saja turun gunung tentu saja tercengang kagum
melihathai itu. MalahRokonuwu sempat berseru: “Hebat luarbiasa!”
Si botak tertawa mengekeh. “Baru itu saja kalian sudah terlongong-longong! Padahal itu
belumseberapa!” katanya. “Lihat ini!” Si botakberseru laludiaberlari dengan kepaladitekuk kearah
sebatang pohon besar di tepidanau. Kepaladanbatang pohon beradu keras.
Sepertitaditerdengar suara kraak keras sekali. Batang pohon hancur dan pohon itukemudian
tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh.
Djarot, Sulindari dan Rokonuwu sama ternganga dan saling pandang, namun Djarot diam-
diam bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya tujuan si botak tak dikenal itu memperagakan
kehebatankepalanya yang sanggup menghancurkanbatang kayumalah menumbangkan pohon.
“Ki sanak yang memilikiilmu hebat, kami benar-benar mengagumikehebatanmu. Kalau kami
boleh bertanya siapakahki sanakini?” bertanya Djarot.
Si botak tertawa panjang sambil mengusap-usap kepalanya yang botak. “Dunia persilatan
mengenal aku dengan gelar Datuk Kepala Besi. Puluhan tahun aku menjadi raja diraja daerah
selatan!”
Baik Djarot maupun dua saudara seperguruannya memang belumpernah mendengargelaritu.
Gurunya pun tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini. Tapi untuk menyenangkan hati si
botak Djarot berkata lagi: “Ah, ternyata gelarmupun hebat sekali ki sanak. Kami senang dapat
mengenal orang berkepandaian tinggi sepertimu...”
“Bagus... bagus! Anak muda kau bicara sopan dan sikapmubaik terhadapku. Itu mengurangi
hukuman yang bakal akujatuhkanterhadap kalian bertiga!”
“Hukuman...?” ujar Djarot dan Rokonuwu hampir bersamaan. “Hukuman apa maksudmu ki
sanak?”
“Kalian bertiga telah melakukan satu dosa besar. Membunuh seorang gadis, memotong-
motong mayatnyalalumembuangnyadilereng Merbabu!”
“Astaga!” seru Djarot. “Justru guru kami Kiyai Djoko Bening memerintahkan kami turun
gunung untuk menyelidiki peristiwapembunuhan yang keji itu.”
“Kau pandai bersilat lidah dan berani berdusta terhadapku! Aku menuduh bukan hanya asal
gembreng! Aku punya bukti! ayo katakan dari mana gadis satu ini mendapatkan gelang perak
berkepalaularitu!”
Sulindari terkejut dan seperti sadar pegangi gelang di lengan kirinya. Lalu dia cepat cepat
membuka mulut: “Gelang ini memang milik korbanpembunuhan itu. Guruku sengajamengambilnya
dandiberikan pada kami untuk bahan mencaribuktisiapa adanya gadis itudan siapa pembunuhnya!”
“Siapa bisa percaya pada ucapan dan keterangan kalian!” sahut Datuk Kepala Besi. “Seperti
aku bilang tadi hukuman untuk kalian bertiga akan kuperingansedikit. Kalianduapemudatetap akan
kubunuh sedang gadis ini kuberi ampun tapi dengan syarat harus ikut akuke tempat kediamanku di
pantai selatan!”
Mendengar ucapan Datuk Kepala Besi itu tiga murid Kiyai Djoko Bening serta mertategak
berpencar.
“Kami tidak melakukan pembunuhan! Tuduhanmu tidak berdasar!” teriak Rokonuwu.
“Manusiabotakinihanya mencari-cari dalih. Tujuan sebenarnya adalahhendakberbust jahat
terhadapku!” berkata Sulindari
Datuk Kepala Besi tertawa. Sejak semula sesuai dengan pesan si pemberi uang, dia sudah
bertekaduntuk membunuh tiga murid KiyaiDjoko Bening itu. Namun dia sama sekalitidakmenduga
kalau murid yang perempuan ternyata adalah seorang yang cantik jelita. Begitu melihat hatinya
langsung terpikatdannafsu bejatnya menggelegak.
“Gadis cantik, mana ada niat dihatiku hendak berbuat jahat terhadap dirimu. Justru aku
membawamu ke pantai selatan untuk kujadikan permaisuriku. Ha...ha... ha!”
“Manusia tidak tahu diri!” bentak Sulandari. “Kehebatan ilmumu memang membuat aku
kagum. Tapitampangmu yang burukhanya cukup pantas jadiganjalan rodapedati!”
“Hemmm... Gadis cantik, kalau bukan kau yang menghinaku seperti itupasti sudah kurobek
mulutnya!” Sepasang mata Datuk Kepala Besi berkilat-kilat. Dia berpaling pada Djarot dan
Rokonuwu. “Apakahkalian sudahsiap menerimakematian?!”
“Kami tidak bersalah! Jika kau berniat jahatkamiterpaksamembeladiri” sahut Djarot.
“Kakak Djarot!” tiba-tiba Sulindari berseru. “Jangan-jangan si botak ini yang telah
membunuh dan mencincang gadis yang mayatnya ditemukandilereng Merbabu itu!”
“Bisa jadi! Kalau tidak mengapa dia bisa tahu siapa pemilik gelang di lengan kirimu itu!”
menyahutDjarot.
Mendengar kata-kata Sulindari dan Djarot itu Datuk Kepala Besi menggereng. Mukanya
mengelam dan rahangnya menggembung. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke arah Djarot,
langsung melancarkan satu serangan berupa jotosanderas kearah dada sipemuda.
Djarot mainkanilmu silat yang dipelajarinya dari Kiyai Djoko Bening. Tubuhnyaberkelebat
dalam satu gerakan mengelak yang gesit. Lalu dia berusaha membalas. Karena merasa tidak ada
silang sengketa dengan si botak itu, sebagai seorang pemuda yang berhati polos Djarot tak mau
membalas dengan sepenuh hati. Dia hanya berusaha menggaet kaki lawan agar lawan jatuh
tergelimpang. Tapi serangan ituterlalu empuk bagi tokohsilat golongan hitam dari pantai selatan itu.
Dengan satu gerakan berputar yang aneh, Datuk Kepala Besi melompat dan tahu-tahu sudah berada di
atas Djarot. Tangankananya mengemplang kearah kepalapemuda itu. Sekali hantaman itu mengenai
sasarannya kepalasi pemuda pasti akan pecah, paling tidakrengkah.
Djarot memiliki ketenangan yang mengagumkan. Sambil merunduk dia miringkan kepala.
Begitupukulan lawan lewatdi samping pelipisnya dengan satu gerakancepat diaberhasil menangkap
lengan Datuk Kepala Besi dengan kedua tangannya, lalu membetotnya keras-keras hingga tubuh si
botakituterlontar kebawahsiap menghunjam tanah.
Datuk Kepala Besi kaget dan marahketikadapatkan dirinya sempat ditarik lawan seperti itu.
Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dia hanya mengikuti arah tarikan lengan Djarot, tapi
begitu jaraknya berada lebih dekat sikut kanannya tiba-tiba menusuk ke arah tulang-tulang iga si
pemuda.
Kraak!
Terdengar suara patahnya dua tulang iga kanan disertai pekik kesakitan keluar dari mulut
Djarot. Tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang beberapa langkah. Sambil pegangitubuhnya yang
cideramurid Kiyai Djoko Bening ini berusaha mengimbangi diri agar tidakjatuh. Saat itulah Datuk
Kepala Besi datang dari depan, berlari kencang dengan kepala merunduk. Laksana banteng
menanduk.
Djarot yang sudah melihat sendiri kehebatan serta keganasan kepala manusia itu dalam
keadaan menahan sakit segera salurkan tenagadalamnya penuh ke tangankanan. Begitukepala sang
datuk tinggal satu langkah dari hadapannya maka tinjunya dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala
lawan.
Buuuk!!!
Kepala botak itu terdongak ke atas. Tubuh Datuk Kepala Botak terjajar dua langkah. Tapi
sang datuk sendiri tampak tertawa lebar seolah-olah jotosan yang keras itu hanyalah satu usapan
belaka. Kepalanya sama sekalitidak cidera. SebaliknyaDjarotterlemparempat langkah,jatuh ditepi
danau. Kepalantangankanannyalecet dan tangan itu menjadi kaku sakit sampaisebatas bahu.
Selagi Djarot mencoba bangkit dalam keadaan kesakitan seperti itu, Datuk Kepala Besi
mendatangi dengan melompat. Kaki kanannyadihunjamkan ke bagianbawah perut si pemuda. Djarot
berusaha menggulingkantubuh menghindari injakan yang dapat membuatnya cacat seumur hidup itu
bahkan menemuiajal. Namun dua tulangiga yang patahdan tangan kanan yang cideraberat membuat
gerakannya menjadi lamban hingga tak sanggup selamatkantubuhnya dari injakan kaki lawan.
Di saat yang kritis itu tiba-tiba berkelebat dua bayangan disusul dengan menderunya dua
rangkum sinarkelabu yang dahsyat.
Datuk Kepala Besi berserukaget ketikamerasakantubuhnya seperti ditabrak dua batu besar,
lalu ada dua gelungan asap kelabu menjirat tubuhnya. Yang satu menarik ke atas dan satu lagi
membetot kebawah siapmembuat badannyatersobek-sobek danterkutung putus.
“Pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus!” seru Datuk Kepala Besi. Dia memang pernah
mendengar ilmu pukulan yang dimiliki Kiyai Djoko Bening itu namun tidak menduga sedemikian
dahsyatnya. Cepat-cepat tokoh silat golongan hitam dari selatan ini kerahkan tenaga dalamnya lalu
menghantam dengankedua tangan,satukeatas satu kebawah. Setelah itudia buru-buru jatuhkandiri
dan bergulingan di tanah beberapa kali, lalu bangkit dengan cepat dan menghantam ke depan.
Memang inilah salah satu cara untuk menghindardan menyelamatkandiridaripukulan sakti tadi.
Rokonuwu dan Sulindari terbelalak ketika melihat bagaimana pukulan sakti yang selama
bertahun-tahun mereka pelajari di puncak gunung Merbabu ternyata tidak sanggup merobohkan
lawan. Hanya ada satu dari dua kemungkinan. Lawan memang sangat tangguhatau tenaga dalamdan
ilmupukulan yang mereka kuasai belum mencapai tingkat yang dapat diandalkan. Namun keduanya
masih bisa merasa lega karenapukulan-pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup menyelamatkan
kakak seperguruan mereka dari injakan maut Datuk Kepala Besi.
Di hadapan mereka Datuk Kepala Besi tampak komat-kamit, lalu menyeringai sambil usap-
usap kepalanya yang botak.
“Bagus, kalian berdua mau ikut-ikutan mampus! Gadis cantik! Aku nasihatkan padamu agar
menjauh dari kalangan pertempuran! Jika sabarku hilang aku tidak segan-segan membunuhmu
sekaligus!” Sang datuk mengancam.
Sulindari tidak merasa jerih. Malah dia menyahuti: “Kepala botakmu itu sudah saatnya
ditanggalkan dari leher!” sang dara lalu berbisik pada adik seperguruannya. “Roko, kita harus
menyerang dan bertahandenganpukulan sakti tadi! Itu pukulan paling tinggi yang kitamiliki! Jangan
berikesempatan dia menyerudukkan kepalanya! Begitu diamaju kau menghantam kearah kepalanya,
aku ke arah badan lalu cepat-cepat menghindar. Sebelum dia bergerak kita harus kembali
menghantam!”
“Aku menurut katamu saja, Sulin... Awas! Bangsat itu hendak menyerang kembali!”
Rokonuwu berseru ketika dilihatnya Datuk Kepala Besi menyerbu ke arahnya dengan kepala
botaknya menyeruduk lebih dahulu.
Untuk menghadapi serangan ganas itu kembali dua murid Kiyai Djoko Bening itu lepaskan
pukulan “Selangit Tembus Sebumi Putus”. Tetapi sekali ini keduanya tertipu. Karena begitu mereka
menghantam ke depan, lawan yang diserangtiba-tiba lenyap. Lalu dari samping ada suara menderu.
Sulindari berpaling dan berteriak ketika melihat Datuk Kepala Besi tahu-tahu sudah berada dekat
sekali di belakang Rokonuwu dan siap menubrukkan kepala besinya ke punggung adik
seperguruannya itu.
“Roko! Awas punggungmu!” teriak Sulindari.
Sadar bahaya mengancamnya dari belakang Rokonuwu cepat melompat ke depan sambil
lepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi. Tapi celaka tangan yang siap memukul itu sempat
tercekal tangankanan Datuk Kepala Besi sementarakepala botaknya tetapterus menderu menyeruduk
ke punggung Rokonuwu.
Tak ada jalan lain bagi Sulindari. Untuk menyelamatkan adik seperguruannya itu gadis ini
langsung melompati tubuh Datuk Kepala Besi. Kedua tangannya mendorong bagian bahu dan
pinggang sang datuk. Sulindari memang berhasil menyelamatkan Rokonuwu namun kini dia yang
masukke dalamperangkap lawan. Begitu tubuhnyaterdorong keras ke samping, Datuk Kepala Besi
cepat menangkap salah satu tangan gadis itu. Keduanyajatuh saling tumpang tindah dan terguling
beberapa kali. Ketika gulingan itu berhenti dan Sulindari berusaha bangun dengan cepat sambil
memukul dada Datuk Kepala Besi, baru gadis ini menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah kaku,
tangannya tak bisa bergerak. Ternyata sewaktu terguling-guling tadi Datuk Kepala Besi sempat
menotok tubuhnya.
“Ha...ha...ha! Di atas tanah saja kau sudah menunjukkan kehebatanmu berguling-guling! Di
atas ranjang kau pastilebih hebat dan binal!” Datuk Kepala Besi tertawa bekakakan.
“Manusia bejat! Lepaskantotokanku! Jika kau laki-lakimari bertempursampaiseribujurus!”
teriak Sulindari.
Datuk Kepala Besi kembali tertawa mengekeh. “Kau sanggup melayaniku sampai seribu
jurus?! Ha...ha...ha! Gadis hebat! Tunggulah, kita nanti akan bertempur di atas ranjang! Ha... ha...
ha!”
“Manusia keji! Mulutmu pantas dirobek!” satu suara membentak. Itulah suara Rokonuwu
yang saat itu langsung menyerbu dengan satu cakaran kilat ke arah mulut Datuk Kepala Besi. Sang
datuk anggap remeh serangan ini. Dia julurkankepalanya. Cakaran Rokonuwu menyambartepat pada
bagian atas kepala. Tapi dia seperti mencakar benda licin dan ketika tubuhnya terpuntir akibat
dorongan bobot badannya sendiri, pemuda ini tidak sanggup mengelakkan jotosan yang dilepaskan
lawan kearahlambungnya.
Rokonuwu mengeluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak,
jatuh terkapar di tepi danau. Sebagian tubuhnya, sebatas punggung sampai kepala malah masuk ke
dalam air membuatnya megap-megap dan sulit bernafas. Dengan susah payah pemuda ini berusaha
menyeret tubuhnya sendiri keluar dari air. Dia berhasil melakukan itu tetapi untuk berdiri ataupun
duduk tak sanggup dilakukannya. Perutnya yang kena dijotos lawan seperti pecah mendenyut sakit
bukankepalang.
Di bagian lain Djarot tampak terbujur mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang cidera
berat membuatnya tak sanggup berdiri.
Datuk Kepala Besi berdiri bertolak pinggang. “Kini membunuh kalian berdua semudah
membalikkan telapak tanganku!” katanya seraya memandang pada Rokonuwu lalu pada Djarot.
“Tapi...sebelum kalian menghadap malaikat maut, aku ingin menyuguhkan satu hiburan luar biasa
bagi kalian berdua!”
“Apa yanghendakkaulakukan manusia jahat?!” teriak Sulindari.
“Ah, gadisku cantik... Kau cepat sekali bertanya. Itu tanda hatimu sudah jadi satu dengan
hatiku! Ha...ha...ha...! Kau tenang-tenang sajalah. Sebentar lagi kauakan kubawake sorga!”
“Datuk Kepala Besi! Terkutuk kau jika berani menyentuh adik seperguruanku!” berteriak
Djarot dari tempatnya terbujur.
Datuk Kepala Besi melangkah ke tempat Djarot terkapar, lalu membungkuk dan bertanya;
“Anak muda, pernahkah kau melihat tubuh gadis itutanpa pakaian....?”
“Bangsat! Kau benar-benarterkutuk! Kau dajal!” teriak Djarot.
Datuk Kepala Besi tepuk-tepuk muka Djarot lalu tinggalkan pemuda itu. Dia pergi
mendapatkan Rokonuwu dandisini mengajukan pertanyaan yang sama.
“Iblis! Kau Iblis bukan manusia!” desis Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menyeringai lebar. Kini dia melangkah mendekati Sulindari. Lalu duduk
di sampingsi gadis dan mulai mengusap-usap wajah Sulindari.
“Jahanam terkutuk!” teriak Sulindari. Dia berusaha menggigit tangan lelaki itu tapi tak
berhasil. Djarot dan Rokonuwu sama-sama berusaha untuk dapat berdiri guna menolong saudara
seperguruan merekaitu. Tapikeduanyatidak mampu bergerak,apalagiberdiri.
“Gadisku cantik... janganterlalu memaki. Saat inikau anggap aku jahanam. Sebentar lagi kau
tak akan mau kutinggalkan lagi! Kau akan lengket kemana akupergi! Ha... ha...haaa!” Datuk Kepala
Besi tertawa panjang. Ketika tawanya berhenti dia berkata: “Gadisku cantik, aku akan membuka
celanaku! Setelah ituaku akan membuka pakaianmu! Nah kau suka bukan...?” Habis berkata begitusi
kepala botakinibenar-benar membukacelana hitamnya.
Sulindari berteriak keras ketika melihat Datuk Kepala Besi tanpa pakaian sama sekali kini
membungkuk meneduhi tubuhnya dengan nafas memburu. Gadis ini kembali berteriak ketika sang
datuk merenggutrobekbaju birunya dengankasar. Tiba-tibanafas sang datuk yang memburu seperti
tertahan. Beberapa langkah di hadapannya, dekat semak belukar dia melihat satu benda hitam
bergerak-gerak. Ketika diperhatikannya ternyata benda hitam itu adalah sehelai celana hitam. Dia
berpaling ke kiri, ke tempat dimana dia melemparkan celana hitamnya tadi. Celana itu ternyata tak
adalagidisitu.
“Itu pasti celanaku...” desis sang datuk. “Kenapa bisa menyangkut di semakbelukar sana...?
Aneh!”
Celana hitam yang tergantung di antara semak belukar itu terus bergoyang-goyang dalam
kegelapan malam.
“Kurang ajar! Apa ada setan yang berani mempermainkanku?!” Datuk Kepala Besi
memandang lagiberkeliling. Djarotdan Rokonuwu dilihatnya masih terbujurditempatsemula.
“Gadisku... gadisku. Kau bersabarlah sebentar!” berkata Datuk Kepala Besi sambil mengusap
dada Sulindari. “Ada mahluk yang berani mempermainkanku!”
Datuk Kepala Besi berdirilalu melangkah mendekati semakbelukar. Hanya tinggal beberapa
langkah saja lagidaricelananya yang tergantung bergoyang-goyang itu, tiba-tiba celana ituberkelebat
lenyap. Selagi dia memandang berkeliling keheranan mencari-cari kemana lenyapnya celana hitam
itu, tiba-tibasesuatu menyambarnya. Ternyata celananyasendiri.
“Keparat!” Datuk Kepala Besi coba menangkap celana itu. Tapi seperti seekorular tiba-tiba
celana itu melesat ke bawah. Salah satu ujung kaki celana mematuk ke bawah perutnya. Dan
terdengarlah jeritan Datuk Kepala Besi. Dia tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangibagianbawah
tubuhnya.
Di saat yang sama terdengar suara orang tertawa: “Gundul jelek!Apakah burung kakak tuamu
dipatukkodok?! “Ha... ha... ha!
“Bangsat minta mati! Siapa yang berani mempermainkanku!” bentak Datuk Kepala Besi
marahsekail.
“Aku si pemilik kodok!” terdengar jawaban yang disusul oleh suara tawa bergelak. Suara
tawa itu datang daribawah pohon di tepi danau. Ketika sang datuk berpaling ke arah situ dilihatnya
tegak bertolak pinggang seorang pemudaberpakaian putih, memegangicelana hitamnya yang rupanya
telahdiikat dengan sehelai akargantung.
Sakingmarahnya Datuk Kepala Besi melangkah cepat kearah pemuda itu.
“Waw... waw! Datuk jelek! Kau tambah jelek kalau berjalan tanpapakaian! Ini! Pakai dulu
celanamu yang bau busuk ini!”
Pemuda di bawah pohon lalu lemparkancelana hitam yang dipegangnya.
8
LEMPARAN celana itu ternyata bukan lemparan biasa. Datuk Kepala Besi terkejut sekali
ketika tiba-tiba sepasang kaki celana, laksana dua buah tangan menelikung lehernya seperti hendak
mencekik. Sambil memaki si botakini angkat kedua tangannyake atas lalu breet!!! Celana iturobek
panjang di bagian tengahnya. Sang datuk campakkan celana hitamnya ke tanah. Lalu sambil
mengereng dia mendatangi pemuda yang tegak di depan pohon. Sebenarnya kalau dia mau berpikir,
jelas orang telah mempermainkannya. Dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang
memilikikepandaian lebih tinggi dari dirinya. Tapi saat itu Datuk Kepala Besi benar-benardiselimuti
kemarahan hinggaotaknya mana mampu berpikir jernih.
Begitu sampai di hadapan si pemuda, tanpa banyak tanya lagi Datuk Kepala Besi langsung
menghantam dengan tangan kanan. Jotosannya menderu ke arah muka si pemuda. Tapi dengan
membuat gerakansedikit saja, orang yang dipukulberhasilmengelakkan serangan sang datuk hingga
dia menjaditambahmarah. Dia kembali menyerbudengan serangan beruntun yaitu duapukulandan
satu tendangan. Tiga serangan ini bukan saja sangat cepat datangnya tetapi jugamengeluarkan deru
angin yang derastanda berisitenaga dalam yang tinggi.
Pemuda berpakaian putih membuat gerakan-gerakan gesit dan berhasil mengelakkan semua
serangan lawan, tetapi ketika dia hendak menggebrak dengan serangan balasan, Datuk Kepala Besi
keluarkan kepandaiannya berpindah tempat dan tahu-tahu dia sudah berada di samping kiri,
melayangkan kepalan ke pelipis si pemuda. Yang diserang menangkis dengan melintangkan lengan
kiri di samping kepala. Dua tangan saling beradu. Datuk Kepala Besi hampir terpekik kesakitan.
Tangan yang menangkis itu tidak beda seperti sepotong besi besar. Dalam menahan sakit, begitu
tangannya beradu dengan lengan lawan, Datuk Kepala Besi luncurkan tangannya kebawah. Pinggiran
tangankanan sang datuk membabat laksanatebasan pentungan besi.
Buuukkk!!
Hantaman tangan itu mendaratdi bahu kiripemudaberpakaian putih. Tak ampun lagipemuda
ini langsung melosoh dantersungkur.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening yang menyaksikan itu diam-diam mengeluh dalam
hati. Di saat ketiganya tak berdaya seperti itu, munculnya pemuda itu sungguh sangat mereka
harapkan agar dapat menjatuhkan si jahat berkepala botakitu. Sampai saat itukarena berada di tempat
yang gelap danjauh dari nyala apiperkemahanbaik Djarot maupun Rokonuwu serta Sulindari tidak
dapat melihatwajah sipemuda jaditidakbisa mengetahuisiapa adanya orang itu.
Tubuh yang tersungkur itu merupakan sasaran empuk bagi Datuk Kepala Besi. Dengan penuh
nafsu dia kirimkan satu tendangan kaki kanan yang mematikan kearah kepalapemudabaju putih.
“Mampus!” teriak Datuk Kepala Besi penuh nafsu.
Wuuuuttt!
Tendangan maut itu lewat setengah jengkal dari pipi kanan si pemuda dan tiba-tiba sang
datuk merasakan tubuhnya terangkat. Baru disadarinya kalau saat itu pergelangan kakinya telah
berada dalam cekalan yang sangat kuat. Belum sanggup dia melepaskan kakinya dari cengkeraman
lawantiba-tibatubuhnya sudahmelayang keudara. Dalam gelapnya malam tubuh itukemudian jatuh
mencebur ke dalam air danau yang dingin.
Di dalam air, sesaat sang datuk megap-megap. Untung dia bisa berenang lalu berusaha
mencapai tepi danau. Tubuh luarnya terasa dingin tetapi tubuh dalamnya laksana terbakar. Orang
yang mengaku raja dirajarimba persilatan pantai selatan ini barusekali itudiperlakukan orang seperti
itu. Marahnya bukan alang kepalang. Begitunaikkedarat, langsung dia menekuk leher lalu menyerbu
ke arah pemudaberpakaian putih.
Djarot yang tak mau penolongnya itu mendapat celaka oleh serangan kepala yang sudah
diketahuinya kedahsyatannya itu segeraberteriak memberi ingat.
“Awas serangan kepala berbahaya! Ki sanak! Yang kau hadapi adalah Datuk Kepala Besi...!”
“Terima kasih atas peringatanmu Djarot! Aku mau coba sampai dimana kerasnya kepala
botak monyet telanjang ini!” terdengarpemudaberpakaian putih menyahuti.
Tiga orang murid Kiyai Djoko Bening, terutama sekali Djarot tentunya, jadi terkejut ketika
mendengar pemuda dalam gelap itu mengenal dan menyebut namanya. Dan tiba-tiba saja ketiganya
ingat betul kalau mereka mengenali atau paling tidak pernah mendengar suara orang itu. Sulindari
yang ingatlebih duludan langsung saja gadis ini berteriak: “Wiro! Kaukah itu!”
“Ah! Kau masih megenali suaraku yang jelek! Memang aku Wiro Sableng!” menjawab si
gondrong berpakaian putih.
“Hati-hati Wiro! Kepala manusiaituberbahayaluarbiasa!” berseru Rokonuwu.
“Justru akuhendak mencoba!” Sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Datuk Kepala Besi
telah berada didepannya dengan kepala botaknyasiap dihantamkan ke pertengahandada Wiro.
Murid Sinto Gendeng ini angkat tangan kanan yang sejak tadi sudah menyiapkan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudra. Pukulan ini jika dilancarkan dalam bentuk dorongan telapak
tangan merupakan benteng pertahanan yang ampuh karena sanggup mengeluarkan angin deras
menyongsong serangan lawan. Tetapi bila dipukulkan dalam bentuk tinju maka jangankan kepala
manusia, tembok batu yang tebalpun pasti jebol. Dan dengan pukulan sakti inilah Wiro hendak
menggebuk kepala lawan.
Datuk Kepala Besi yakin sekalikepalanya akan menjebol hancur dadasi pemuda. Sebaliknya
murid Sinto Gendeng yakin pula kalaupukulan saktinya akan menghantampecah kepala botak lawan.
Dalam sama-sama yakin begitu tinju kanan Pendekar 212 mendarat keras di pertengahan kepala
Datuk Kepala Besi.
Buuukkk!
Datuk Kepala Besi menjerit keras. Kepalanyaterdongak dantubuhnya mencelat duatombak,
jatuh duduk di tanah. Wiro sendiri terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangan kanannya seperti
menghantam dinding besi yang atos dan panas. Ketika ditelitinya ternyata tangan kanannya sampai
sebatas pergelangan tampak menjadi bengkak dankemerahan.
“Gila betul!” seru Wiro sambilgaruk-garukkan tangan kirinya kekepala penuhtidak percaya
tapi diam-diam juga merasa kagum. Bagaimana pukulan saktinya yang selama ini sanggup
menjatuhkan berbagai tokohsilat kawakan, kini sama sekalitidak mempan hanya menghadapisebuah
kepala manusia. Kepala botakburuk pula.
Di hadapannya Datuk Kepala Besi terdengar tertawa mengekeh dan bangkit berdiri sambil
mengusap-usap kepala botaknya. Tetapi Wiro diapun merasa heran. Seumur hidupnya tak satu
pukulan lawan pun sanggup membuatnya terpental seperti itu. Selain itudia hampir tak percaya ketika
melihat tangan Wiro hanya membengkak merah. “Tangan Itu seharusnya hancur!” desis Datuk Kepala
Besi.
“Orang muda! Jelaskan siapadirimu!” tiba-tiba sang datuk membentak.
“Siapa aku tidak penting! Yang lebih penting ialah jawab pertanyaanku! Apa alasanmu
menuduh tiga sahabatku inisebagai orang-orang yang telah mencincang mayat dilereng Merbabu!”
“Hem... Jadi mereka kawan-kawanmu hah! Bagus! Berarti kaupun akan kebagian menerima
kematian!” Berkata sang datuk sambilbertolak pinggang.
“Kau tidak menjawab pertanyaankutadi. Aku ganti dengan pertanyaan lain!” ujar Wiro pula.
“Siapa yang menyuruhmu membunuh murid-murid KiyaiDjokoBening ini?!”
Rahang Datuk Kepala Besi menggembung.
“Gondrong tolol! Kau tidak layak menanyaiku!”
“Bagus! Kau tak mau menjawab pertanyaanku yang kedua. Sekarang pertanyaan yang ketiga!
Apa sangkut pautmudengankorban yang dipotong sebelasitu?!
“Pemuda gendeng! Kau tanyakan saja pada setan liang kubur!” teriak Datuk Kepala Besi lalu
dia menggembor keras dan menubruk ke arah Wiro. Kembali kepalanya yang botak siap melabrak
tubuhlawannya. Kali inidi bagian perut. Sesaat Wiro berpikirapakahakan menghantam sajasi botak
ini dengan pukulan SinarMatahari. Namun selintas pikiran muncul di benaknya. Sambil menyeringai
pendekar ini melompat tinggi ke atas. Tangan kanannya menyambar seutas akar gantung sebuah
pohon yang panjangnya lebih dari duatombak. Selagi masihmelayang diudara dia membuhul salah
satu ujung akargantung itudan begituturun diatelah memegang seutas “tali penjerat”.
Selagi Wiro melayang turun, kembali Datuk Kepala Besi menyerang dengan kepalanya.
Namun lagi-lagi serangannya luput. Akan tetapi dia menyeringai lebar ketika didepan sana dilihatnya
lawannya terpeleset dan jatuh tertelentang di tepi danau. Tanpa pikir panjang lagi sang datuk
melompat untuk mengirimkan injakan maut ke tenggorokan Wiro. Tapi apa yang kemudian terjadi
benar-benartidak disangkanya.
Ternyata Pendekar 212 tadi hanya berpura-pura jatuh terpeleset. Hal ini dilakukannya lain
tidak agar diabisa beradalebih rendah dari lawandan memiliki keleluasaan untuk “membidikkantali
penjeratnya” .
Datuk Kepala Besi masih tidak sadar apa yang bakal dialaminya. Ketika tiba-tibadia sempat
melihat ada yang menyebar ke arah selangkangannya, keadaan sudah terlambat. Di lain kejap dia
merasakan sesuatu menjerat kepala anggotarahasianya.
Tentu saja Datuk Kepala Besi berteriakkesakitan setinggi langit ketika Wiro sambil tertawa
gelak-gelak menyentakkanakar gantungyang dipegangnya.
“Jahanam! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Datuk Kepala Besi.
“Berani kauberteriak lagi, berani kau bergerak, kubedol putus burung kakaktuamu” hardik
Wiro lalu kembali dia menyentakkan akar gantung itu. Kembali sang datuk menjerit setinggi langit.
Siapa yang tidak takut anggota rahasia yang paling berharga itudibetot putus, itu yang terjadidengan
dirinyahingga mau tak mau diaterpaksaberhenti memaki dan tak berani bergerak.
Djarot, Rokonuwu dan Sulindari yang saat itu masih berada dalam keadaan tak berdaya dan
ikut menyaksikan apa yang dilakukan Pendekar 212 mau tak mau jadi tersenyum-senyum.
“Benar-benar sableng murid nenekgendeng ini!” kata Djarotdalam hati.
“Datuk Kepala Botak...!” ujar Wiro.
“Bangsat! Gelarku Datuk Kepala Besi... Aduh...!” Datuk itu menjerit karena kembali Wiro
menyentakkanakar gantung yang dipegangnya.
“Jaga mulutmu datuk buruk! Kau boleh pilih! Kehilangan burungmu atau memberi
keterangan!”
Datuk Kepala Besi masih menggerendeng tapi masih mau bertanya: “Keterangan apa yang
kau inginkan?!”
“Apa hubunganmu dengan mayatdipotong-potong itu?!”
“Aku tidak punya hubungan apa-apa!” sahut Datuk Kepala Besi.
“Lalu mengapa kau menginginkan nyawa tiga murid Kiyai Djoko Bening?!” Wiro mengejar
dengan pertanyaan berikutnya.
“Aku dibayar orang!”
“Siapa orang yang membayarmu?!” yang bertanya dengan membentakitu adalahDjarot.
“Aku tak kenal siapa mereka. Satu minggu lalu dua orang yang mengaku berasal dari desa
Klingkit mendatangiku! Menyerahkansejumlah uang dengantugas membunuh dua orang pemudadan
seorang dara berpakaian serba biru yang diketahui adalah murid-murid Kiyai Djoko Bening dari
gunung Merbabu! Mereka mengatakan bahwaketiga orang Itu telah melakukan pembunuhan atas diri
seorang gadislalu mencincang mayatnya dan mencampakkannyadilereng gunung Merbabu...”
“Apakautidak menanyakan siapa nama-nama mereka?!”
“Tidak karena aku tidak perduli...” sahut Datuk Kepala Besi. Kedua matanya setiap saat
mencari kesempatan untuk dapat melepaskan diri. Namun masih niat, belum sempat bergerak Wiro
yang sudahtahugelagat cepat membentak dan mengedutakar gantung.
“Lama-lama bisa putus milikku ini!” membatin sang datuk sambil menahansakit.
“Dua orang desa Klsngkit itu, apakah mereka menerangkan siapa adanya mayat di gunung
Merbabu itu?!” yang mengajukan pertanyaanadalah Rokonuwu.
Datuk Kepala Besi menggeleng.
“Aku sudah menjawab semua pertanyaanmu! Aku sudah memberi keterangan! Sekarang
lepaskan jeratantali celaka ini! Lepaskan!” berteriak Datuk Kepala Besi.
“Manusia kepala botak! Pembunuhan yang hendakkau lakukanterhadapkedua murid Kiyai
Djoko Bening adalah perbuatan keji terkutuk. Tetapi rencanamu hendak merusak kehormatan gadis
itulebih kejidan lebih terkutuk! Aku tidakbisa memberi ampunmu untuk yang satu itu. Dari padadi
kemudian hari kau masih gentayangan dengan nafsu bejatmu, lebih baik sekarang-sekarang ini
dilakukan pencegahan!”
“Apa maksudmu...?” tanya Datuk Kepala Besi hampir berteriak.
“Sesuai permintaanmu,tali penjerat ini akan kulepaskan!” Habis berkata begitu Pendekar 212
Wiro Sableng tarikakargantung itukuat-kuat.
Darah menyembur dari selangkangan Datuk Kepala Besi. Jeritannya menembus langit di
kegelapan malam. Djarot dan Rokonuwu bergidik ngeri. Sulindari palingkan kepalanya dengan bulu
tengkuk meremang. Sang datuk jatuh duduk di tanah.
“Datuk buruk! Sekarang kau bebas pergi!” terdengar suara Wiro.
“Manusia jahanam! Aku tidak akan melupakan kejadian ini! Kau tunggulah pembalasanku!
Aku bersumpah membunuhmudanturunanmu!”
“Tua bangkapikun!” menyahut Wiro. “Kawinpunakubelum, bagaimana aku punya turunan!
Lekas pergi! Atau akan kucopot milikmu yang masih bersisa!”
“Jahanam!Keparat...!” teriak Datuk Kepala Besilalu bangkit dan lari terbungkuk-bungkuk.
9
KARENA keadaan cidera mereka yang cukup parah, terpaksa Sulindari menunda perjalanan
dan dengan ditemani oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Djarot serta Rokonuwu dibawa ke tempat
kediaman KiyaiDjoko Bening di puncak Merbabu.
Setelah memeriksa keadaan dua muridnya itu dan memberikan pengobatan Kiyai Djoko
Bening memberi tahu bahwa satu minggu setelah mereka meninggalkan gunung Merbabu ada
beberapa orang penduduk dari Kadipaten-Kadipatenterdekat mendatangitempat kediamannya untuk
menyaksikan mayat potong sebelas itu. Mereka adalah dua keluarga yang mengatakan kehilangan
anak gadismasing-masing sejak beberapa minggu sebelumnya. Namun semua yang datang ituwalau
wajah mayat tak lagibisa dikenali, dari ciri-ciri yang lain dua keluarga itu sama memastikanbahwa
korban bukan anak gadis mereka.
“Rupanyakabarditemukannya mayat terpotong-potong di lereng Merbabu ini sudah tersebar
ke pelbagai penjuru...,” ujar Wiro.
“Apa yangharus saya lakukan sekarang Kiyai?” bertanya Sulindari.
“Betul, sayapun perlupetunjukmu,” menyambung Wiro Sableng.
“Memang, kini hanya kalian berdualah yang menjadi tumpuan untuk meneruskan
penyelidikan, mencari tahu siapa adanya korban dan paling penting mencari siapa pelaku
pembunuhan yang keji ini!” menjawab Kiyai Djoko Bening. “Namun hari ini kalian berdua tetap
disini dulu. Ada orang penting yang bakal datang dari Kotarajauntuk melihat korban. Tiga hari lalu
seorang utusan orang penting itudatang untuk melakukan peninjauan. Paling lambat besok menjelang
tengah hari orang tersebut sudah sampai disini. Karena itu kalian berdua tetap disini dulu sampai
mereka datang. Disamping itu kau kuperlukan untuk membantu merawat Djarot dan Rokonuwu,
Sulindari...”
“Kalau begitukataKiyai, saya menurut...” jawab Sulindari.
*"** * * *
“Menurut kedua orang tuanya, Damar Bintoro meninggalkan Sleman sepuluh hari lalu.
Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan akujuga curiga!” kata Tumenggung
Brojo Menggolo sambil melangkah mundar mandir dalam kamar tidurnya yang besar sementara
istrinya Surti Retnoningsih duduk merenda dekat jendela.
“Kalau kau curiga kangmas, dengan siapa kau curiga?” bertanyaRetnoningsih.
“Dengan siapalagikalau bukandengan Damar Bintoro! Sudah sejak duluakutidak suka pada
anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Damar Bintoro adalah calon suami yang paling
cocok untuk Sintomurni! Padahal dia adalahpemuda bergajulan. Hanya kebetulan saja ayahnya jadi
penasihat PatihKerajaan...”
“Tentunyakau punya alasan mencurigai pemuda itu...”
“Aku yakin anakgadiskitatelah dibujuknyauntuk kawin lari. Karena dia tahu akutidak suka
kalaudia menjadimenantuku...!”
Retnoningsih batuk-batuk beberapa kali lalu berkata: “Sulit bagiku mempercayai bahwa
Damar Bintoro mau melakukan apayang kau katakan itu...”
“Lalu kemanadia menghilang? Dan kemana lenyapnya anakgadiskita?!” tukasTumenggung
Brojo Menggolo.
Retnoningsih meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Dia termenung sejenak laluberkata:
“Kangmas, kalau ada orang yang harus dicurigai, menurut hematku orang itu adalah Sangkolo
Pratolo, guru silat Sintomurni...”
Sang Tumenggung tampak terkejut mendengar kata-kata istrinya itu. “Eh, mengapa kau
punyapikiranseperti itu, istriku...?
“Apa kangmas lupa siapa Sangkolo Pratolo dulunya? Seorang kepala penjahat yang
merampok dan membunuh, menculik dan merusakkehormatan anak gadis atau istri orang. Kemudian
setelah dijebloskan dalampenjara Kerajaan selama sembilan tahun, diabertobat memulai hidup baru
yang bersih dengan menjadi seorang guru silat. Apakahdiatidak pantas dicurigai...?!”
“Aku sudahmemanggilnya. Kita sudahbicara padanya. Jika dia memang menculik anak kita,
pasti ada sikapnya yang janggal. Kulihat waktu itu dia biasa-biasa saja... Malah dia salah seorang
yang kita harapkan untuk dapat membantu mencari Sintomurni... “
“Sudahlah, kita lupakan saja guru silat itu. Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat
seorang perempuandilereng gunung Merbabu beberapa waktulalu...” Bertanya Surti Retnoningsih.
“Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Sintomurni dengan mayat
itu...”
“Tapi bukankah saya sudah meminta kangmas mengirimkan seorang prajurit kesana untuk
menyelidik dan mencari tahu?Apakahprajurititusudahkembali......?”
“Sudah. Kiyai Djoko Bening, orang pandai yang tinggal di puncak gunung itu ternyatatelah
mengawetkan jenazah Itu...”
“Kalau begituperajurit itu pasti mengenali jenazah tersebut!” ujarRetnoningsih.
Tumenggung Brojo Menggolo menggeleng. “Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi.
Hancur seperti bekas dicincang. Lalu...”
Sang Tumenggung tidakmeneruskan kata-katanya.
“Lalu apa kangmas...?”
Brojo Menggolo menggelengkan kepala. “Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu
mengerikan...”
“Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku kangmas!”
“Menurut perajurit yang kukirim, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-potong
menjadi sebelas bagian...”
“Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?” desis istri sang Tumenggung. Dia terdiam
beberapa ketika. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya. “Kangmas Menggolo, kita
harus berangkat ke puncak Merbabu. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan-
jangan...” Suara Retnoningsih tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya
menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampakada air mata yang meleleh dikedua pipinya.
“Kau beradadalam keadaantidak sehatseperti ini. Mau ke puncak Merbabu? Jangan mencari
penyakit baru Retno!” ujar Tumenggung Brojo Menggolo.
“Aku pandai berkuda. Jangankan satu gunung. Sepuluh gunungpun akan kudaki demi mencari
kejelasan mengenaidirianak kita...”
“Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di gunung Merbabu itu,
biarakudan Sangkolo Pratolo saja yang pergikesana... “
“Tidak kangmas. Aku harusikut... Aku harus ikut … ..”
Tumenggung Brojo Menggoio menghela nafas dalam akhirnya berkata: “Jika itu maumu
baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda, beberapa orang pengawal. Mungkin Sangkolo
Pratolo akan kuajak serta...” Lalu Tumenggung Itu keluardarikamar.
*** * ** * *
10
KIYAI DJOKO BENING, Wiro dan Sulindari sama-sama berdiri ketika rombongan dari
Kotaraja sampaididepan tempat kediaman sang Kiyai. Rombongan ituterdiri dari sang Tumenggung
sendiri, lalu istrinya Surti Retnoningsih yang mengenakanbaju ringkas dan celana panjang, lengkap
dengan setengahlusin pengawal serta guru silatSangkolo Pratolo.
Setelah saling memberi salam dan saling menghormat KiyaiDjokoBening langsung berkata:
“Beberapa hari lalu utusan Tumenggung telah datang kemari untuk menyelidiki mayat yang
ditemukan murid-muridku di lereng selatan gunung Merbabu ini. Menurut utusan itu Tumenggung
telah kehilangan puteri Tumenggung yang bernama Sintomurni. Apakah betul begitu...?”
Tumenggung Brojo Menggolo menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya
mendahului bicara.
“Kami ingin melihat mayat itu...”
“Sayatidak berani menolak. Tapi apakahjeng ayu mempunyaikeberanian melihatnya? Lain
dari itu apakah Tumenggung memperbolehkan...?”
“Apakah jenazah itu ada didalam rumah?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo pula.
“Saya akan membawanya keluar,” kata KiyaiDjokoBening. ‘Tapi sebelumnya Tumenggung
dan rombongan biar kami suguhkan minuman air gunung yang sejuk dulu. Dari Kotaraja sejauh itu
tentumeletihkandandahaga… .”
“Terima kasih Kiyai. Tapi kami datang hanya untuk melihat mayat itu. Dan harus segera
kembalike Kotaraja...” Kata Surti Retnoningsih yang sudahtidak sabaran.
“Jika begitukeinginan jeng ayu, saya akan mengambil jenazah dan membawanyake langkan
sini. Harap Tumenggung danistrisudi menunggu.”
Habis berkata begitu KiyaiDjokoBening masukke dalam. Diam-diam Wiro memperhatikan
wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan rumah. Wajah Tumenggung Brojo
Menggolo tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat lehernya
menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin, menunggu
dengan segala ketabahan. Sulindari merupakan satu-satunya orang yang paling tenang. Kedua
tangannya didekapkan di depan dada. Sangkolo Pratolo sementara itu berdiri di ujung kiri langkan
sambil melinting sebatang rokok daun. Tampaknya dia juga tenang tapi mata murid Pendekar 212
yang tajammelihat bagaimana jari-jari yang melintingrokokitu gemetaran.
Ketika KiyaiDjoko Bening melangkah keluar membawa sebuah petikayu yang cukup besar,
suasana di tempat itu nyaris seheningdi pekuburan.
Dengan hati-hati KiyaiDjokoBening meletakkan peti kayudi pertengahan langkan. Laludia
berpaling pada Tumenggung dan berkata: “Tumenggung dan istri, silahkan naik ke langkan untuk
menyaksikan sendiri...”
Tumenggung Brojo Menggolo berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak
berkesip ke arah peti di langkan rumah, lalu dengan segala ketegaran tapi dada berdebar keras
perempuan ini melangkah menaiki tangga kayu, terus naik ke langkan. Suaminya mengikuti.
Sangkolo Pratolo mencampakkan rokok yang baru tiga kali dihisapnya laluikutnaikkeataslangkan.
Para perajurit pengawal hanya berani mendekat ke pinggiran langkan, tak ada yang berani naik.
Sulindari dan Wirotetap berdiridi halaman rumah.
Kiyai Djoko Bening, Tumenggung dan istrinya serta guru silat Sangkolo Pratolo berdiri
mengelilingi peti kayu yang terletak di pertengahan langkan dalam keadaan terduduk. Setelah
memandangiwajah-wajah di depannya satu demi satu, KiyaiDjoko Bening kemudian membungkuk.
Perlahan-lahan penutup petikayu itudibukanya.
Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari
beberapa mulut. Tumenggung Brojo Menggolo tersurut mundur hampir dua langkah. Sangkolo
Pratolo yang di masa mudanya adalah penjahat yang dengan tanpa berkesip sanggup membunuh
orang, menyaksikan isi peti itu tetap saja dia mengernyitkan kening dan dingin kuduknya. Akan
halnya Surti Retnoningsih, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia
mengeluarkan pekik kecil lalu melosohjatuh duduk di langkannyaris pingsan. Suaminya buru-buru
menolong, menyandarkannya kedinding.
“Kau tak apa-apa Bune...?” tanya Tumenggung Brojo Menggolo. Sang istri berusaha
menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.
Masih sambil memegangiistrinya Tumenggung Menggolokembali memandang kearah petilalu tiba-
tibasaja dia berkata setengah berteriak: “Itu bukan Sintomurni! Bukan puteriku!”
“Kau pastibetul Tumenggung...?” tanya KiyaiDjokoBening.
“Pasti sekali! Pasti sekali … .”
Tiba-tiba istri Tumenggung Brojo Menggolo yang tadikelihatan seperti mau pingsan bangkit
berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian-bagian tubuh
lainnya.
“Anakku...anakku...!” jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan. “Itu
anakku! Itu Sintomurni...!” Lalu perempuan ini menangis kerassekali.
“Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kitabune. Percayalah...!”
“Tidak...tidak... Itu memang Sintomurni! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak
kita mas! Anak kita...!”
Tumenggung menggoncang tubuh istrinya dengan keras. “Bune...! Setan apa yang masuk
dalamdirimu hingga mayat itukau katakan anak kita...?”
Retnoningsih tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Tumenggung berpaling pada
Sangkolo Pratolo.: “Siapkankuda! Kita kembalike kota saat ini juga!” memerintahkan Tumenggung
itu.
Belum sempat guru silat itu bergerak melangkah, Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menarik
lengan Sulindari melompat ke atas langkan. Dari dalam saku bajunya Wiro mengeluarkan sebuah
benda, lalu dia mendekati istri Tumenggung. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya: “Gusti
Ayu, apakah kau mengenalianting-anting ini...?” SurtiRetnoningsih turunkan kedua tangannya yang
menutupi muka. Matanya membelalakmelihat anting-anting perak di tangan Wiro. Suaranya bergetar
ketika berkata: “Itu... itu anting-anting Sinto … .”
“Apakah Gusti Ayu juga mengenali gelang Ini...?” bertanya Sulindari yang tegak di sebelah
Wiro seraya memperlihatkangelang perak berukirankepalaular yangmelingkardi lengan kirinya.
Retnoningsih terpekik: “Gelang itu! Gelang perak kepalaular! Itu juga milik puteriku! Aku
yang menyuruh buatnya pada pandai perak di Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana kalian
mendapatkan perhiasan itu?!”
“Anting ini saya temukan dalam kain kuningpembungkus mayat ketika ditemukandi lereng
gunung,” menerangkan Wiro.
“Dan gelang perak ini sengaja kami ambildari lengan jenazah setelah sampaidisini,” berkata
Sulindari.
“Kalau begitujelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puterimu Tumenggung Brojo
Menggolo!” kata KiyaiDjokoBening.
‘Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!” teriak Tumenggung Menggolo.
Tubuhnya terhuyung nanar lalutersandarke tiang langkan.
Kiyai Djoko Bening berpaling pada Sangkolo Pratolo. Lalu berkata: “Sebaiknya segera
dipersiapkanuntuk membawa jenazah dalam peti ini ke Kotaraja lalu menguburkannya!” Lalu pada
Tumenggung Menggolo orang tua ini berkata sambil memegang bahunya. “Tumenggung, kau harus
tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskanseperti ini...”
Tumenggung Menggolo anggukkan kepala. “Walau Sintomurnihanya anak tiriku,” katanya,
“Tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang
lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke
Kotaraja dandiurus pemakamannya...”
“Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan padamu, Tumenggung,” kata Kiyai Djoko
Bening perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Retnoningsih. “Puterimu itu
meninggaldalam keadaan hamilantara empat sampai limabulan...”
“A...apa... Puterikuhamil...?!” SepasangmataTumenggung Brojo Menggolomembeliak. Dia
berpaling pada istrinya. Justru saat itu Retnoningsih yang sudah sempat mendengarketerangan Kiyai
DjokoBening langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini diabenar-
benar pingsan.
“Tidak bisatidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!” teriak Tumenggung Brojo Menggolotiba-
tiba seraya mengepalkantinjukanannya. “Pasti Damar Bintoro yang melakukannya! Dia menghamili
Sinto! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Tapi Damar Bintoro!
Kowe tak akan bisa larijauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang
tubuhmu sampailumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Damar Bintoro!”
11
MALAM sangat gelap, pekat menghitam membungkustempat dimanadua penunggang kuda
itu mengadakan pertemuan hinggawajahkeduanya sulit dikenali.
“Ada hal mendesakhingga kau memintapertemuan ini?” Penunggang kudadi sebelah kanan
bertanya.
“Betul. Jamilah perempuan tua dukun beranakitutidak adaditempat kediamannya. Menurut
pemilikrumahdia menghilang begitu saja setalah ada seorang menjemputnya. Berarti saat lenyapnya
hampir bersamaan dengan menghilangnya Damar Bintoro...”
Lelaki di sebelah kanan mengusap mukanya berulang kali. Ada keringat dingin membasahi
wajahnya. “Aku juga khawatir pada dua orang lainnya. Randu dan Tikil. Bagaimana kalau kuminta
kau mencarikeduanyalalu membereskannya....”
“Saya mulai berpikir-pikir...”
“Kau mulai berpikir-pikir katamu? Berarti kau mulai ragu! Aku tidak mau melihat hal itu.
Jika kau masih menginginkan jabatan ituperintahkuharuskau lakukan. Kalau tidak nasibmupun akan
masuk dalam daftarhitamku! Jangan lupa kau ikutterlibat banyak dalam urusan ini!”
“Saya mengerti. Kalau begituizinkan saya pergisekarang...”
“Jika kau ingin bicara, kau bisa datang kerumah. Tidak perlusembunyi-sembunyi seperti ini.
Justru jika ada yang melihatbisa tambahtidakberes urusan ini. Kau mengerti...?”
“Saya mengerti...”
“Kau boleh pergisekarang!”
Penunggang kudadisebelah kiri bergerak meninggalkan tempat itu.
Yang di sebelah kanan masih tetap di tempatnya. Terduduk di atas punggung kuda. Satu
pikiran buruk mampir di benaknya. “Aku khawatir manusia satu ini apakah benar-benar bisa
dipercayaterus...” berpikir sampaidisitu maka diapun berseru. “Tunggu dulu!”
Orang yang barusan pergi hentikan kudanya dan berpaling menunggu orang yang datang
menyamparinya. “Ada apa lagi...?”
“Tidak apa-apa. Aku pikirdalam menjalankan pekerjaanmupastikaumembutuhkansejumlah
uang. Terima ini...” Lalu dengan tangan kirinya orang ini mengeluarkan sebuahkantong berisi uang.
ketika tangan kiri itu diulurkan untuk memberikan, bersamaan dengan itu tangan kanan yang tadi
menyelinapke balik pinggang tiba-tiba bergerak laksanakilat dalam kegelapan malam. Sebilah keris
luk tiga menghunjam dalam di dada kiri lelaki yang siap menerima kantong uang tadi. Tubuhnya
langsung terhuyung, lalujatuh ke tanah dengan darah menyembur dari luka di dada yang tembus
sampaike jantungnya.
“Manusia jahanam. Manusia busuk terku...” Makian ituhanyasampaidisitu karena nyawanya
keburu putus.
Di balik semakbelukar yang sangatrapat, terdengar suara perempuan memaki halus: “Kenapa
kau larangaku mencegah keparat itumembunuh saksi penting yang kita perlukan itu...?”
Orang yang dibisiki meletakkan jari tangannya di atas bibir. “Jangan bicaraterlalukeras. Kau
takusahkhawatir...”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Wiro!” berbisik lagi suara perempuan tadi. Kali ini
menunjukkan rasa gemas.
“Tidak mengerti tidak jadi apa Sulindari. Kita masih punya beberapa saksi yang bisa
mengungkapkan kejahatan ini. Yang satu itu biar mampus duluan. Mungkin itu hukaman yang
setimpalbaginya!”
“Terserah padamulah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari tahu dimana
beradanya Damar Bintoro dan perempuan tua dukun beranakitu...”
“Tunggu, jangan terburu-buru Sulin,” bisik Wiro seraya memegang pinggang murid Kiyai
DjokoBening Itu. “Masihadasatukejadian baru lagiditempat ini.”
“Aku mendengarada orang berkudamendatangi. Masihjauh memang. Tapi sebentar lagikita
akan melihatnya … .”
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika penunggang kuda
yang melakukan pembunuhan tadi hendak meninggalkan tempat itu, dari jurusan lain muncul dua
ekor kuda dari kegelapan. Yang di sebelah depan ditunggangi oleh seorang lelaki berkepala botak,
mengenakancelana hitam tanpa baju. Sehelaikain hitam menyerupaiselendangmelingkardilehernya.
Di atas punggung kudakedua tampakterbujur melintang duasosok tubuh yang tidak bergerak-gerak,
entah matientah pingsan.
“Siapa kau yang berani menghadangku?!” teriak lelaki yang baru saja melakukan
pembunuhan. Tapi diam-diam dia memang merasa pernah melihat atau kenal dengan orang ini
sebelumnya. Lalu dia ingat dansetengah berseru: “Kau! Bukankah kau Datuk Kepala Besi?!”
Si botaklepas tertawa panjang. “Bagus kalaukau masih mengenaliku...”
“Apa maksudmu menghadangku di tempat ini. Jelas kau telah mengikuti sejak beberapa
waktulalu...!”
“Memang begitu. Kau lihat dan kenali dua orang di atas kuda sana...?” si botak balik
bertanya.
Orang yang ditanya membuka matanya lebar-lebar, memandang tajam-tajam dalam
kegelapan. “Itu... Bukankah keduanya Randu dan Tikil…!” Lelakiituberkata dengan suara bergetar.
Wajahnya jelas menyatakan keterkejutan amat sangat.
“Ah, kaupun masih mengenali kedua bekas pembantu yang kau suruh pergi itu. Ingat, kau
juga menyuruhnya menghubungiku, memberi uang untuk membunuh tiga orang murid Kiyai Djoko
Bening…. ingat?!Ayo jawab!”
“Dua bekas pembantu itu, apakah mereka sudahjadi mayat...?”
“Belum... belum. Keduanya belum jadi mayat. Hanya kutotok kubiarkan hidup. Untuk
berjaga-jaga kalaukau mungkir … .”
“Maksudmu...?”
“Aku mau meminta sejumlah uang. Jumlah besar! Sebagai ganti kerugian atas tugas yang
kujalankan...”
“Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tahu tiga murid KiyaiDjoko Bening itutidak sanggup
kau bunuh! Tugasmu tidak terselesaikan! Sekarang minta tambahan uang! Gila! Kerugian apa
maksudmu Datuk Kepala Besi?!”
Sebagaijawaban lelaki botakitumelompat turundarikudanya. Dia melangkah dekat-dekat ke
hadapan orang didepannya. Tiba-tiba celana hitamnya diturunkan kebawah.
“Lihat! Lihat! Inilah kerugian yang kuderita! Anggotatubuhku paling berharga putus!” teriak
Datuk Kepala Besi seraya memperlihatkananggotarahasianya yang buntung karenadibetotlepas oleh
Wiro beberapa waktu lalu.
Orang di ataskuda tampak mengernyit penuhtegang. Danjadi marah ketikaterdengar Datuk
Kepala Besi berkata: “Aku minta paling tidak seratus ringgit emas sebagaigantikerugian!”
“Gila! Kau gila!” teriak orang di atas kuda.
Datuk Kepala Besi tertawa. “Terserah padamu. Dua orang di atas kuda sana akan menjadi
saksi kejahatan yang kau lakukan. Sekali aku membawa mereka menghadap patih di Kotaraja,
habislah riwayatmu Tumenggung Brojo Menggolo!”
Orang di atas kuda yang ternyata adalah Tumenggung Brojo Menggolo mencabut keris luk
tiga yang masih basah oleh darah orang yang barusan dibunuhnya. Datuk Kepala Besi tenang saja
malah tertawa mengejek. “Kau bisa membunuh guru silat Sangkolo Pratolo itu. Aku tahu kalaukau
pun punya kepandaian cukup tinggi. Tapi jangan coba-cobaberani melawankuTumenggung!”
Apa yang dikatakan Datuk Kepala Besi itudisadarisepenuhnya oleh Tumenggung Menggolo.
Tapidari mana dia mampu menyediakan seratus ringgit emas yang diminta.
Dari balik pakaiannya Tumenggung mengeluarkan kantong uang yang tadi hendak
diserahkannya pada guru silat Sangkolo Pratolo. Kantong uang itu dilemparkannya pada Datuk
Kepala Besi. “Ini ambillah. Adasepuluh uang perak didalamnya. Aku tak punyauang lagi!”
Si botak tertawa pendeklalu mendengus dankepretkankantong yang dilemparkan kearahnya
hinggajatuh ke tanah. “Kalau kau tak mau memberikan apa yang kuminta, terpaksa akupun akan
memutus barang di bawah perutmu itu Tumenggung Menggolo!” Lalu si botak ini melangkah
mendekatiTumenggung yang duduk diataskuda itu dengankedua tanganterpentang.
“Tunggu! Saat ini aku hanya membawa lima ringgit emas! Kau boleh mengambilnya. Aku
akan berikan lagi lima ringgit emas begitu sampai di rumah. Hanya itu yang bisa kuberikan!
Sekalipunkaubunuhaku memang tidak punya ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, kau bisa menggantikannya dengan benda lain. Emas berlian perhiasan istrimu
misalnya... “
“Itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang terima dulu lima ringgit emas ini. Tapi kau harus
melakukan apa yang kukatakan!”
“Serahkandulu uang itu Tumenggung!” ujarsi botak.
Tumenggung Brojo Menggolo lemparkan kantong uang berisi lima ringgit emas. Si botak
menyambuti laluberkata: “Nah sekarang katakan apa yangharus kulakukan!”
“Bunuh dua bekaspembantuku itu!” sahut Tumenggung Menggolo pula.
“Ah itu soal mudah. Semudah aku mencungkil tahi hidung. Tapi kalau kau hanya mampu
memberikansepuluh ringgit emas, siapasudi!”
“Dengar, aku akan berikanjabatan yang pernah kujanjikan pada guru silat Sangkolo Pratolo.
Kurasa itulebih dari cukup sebagai pengganti sembilan puluh ringgit emas yang kau minta!”
“Hem, jabatan apa itu?” tanya Datuk Kepala Besi.
“Kedudukan pentingdi jajaran tokoh-tokohsilat Istana!”
Si botakberpikir-pikir sesaat sambil usap-usap kepalanya. Sambil tertawadia berkata: “Baik,
kuterima tawaranmu. Tapi ingat, sekali kau dusta tubuhmupun akan kupotong-potong sebagaimana
kau melakukannyaterhadap anak tirimu itu!”
“Jaga mulutmu Datuk Kepala Besi! Tidak perlu kau bicara seperti itu! Aku harus pergi
sekarang! Jangan lupa membereskandua bekas pembantuku itu!”
Sesaat setelah Tumenggung Brojo Menggolo tinggalkan tempat itu Datuk Kepala Besi
mendekati Randu dan Tikil yang masih menggeletak di atas punggung kuda dalam keadaantakbisa
bergerakkarenaditotok.
“Jadi orang kecil memang harus menderita banyak. Kalian terpaksa kubunuh. Tapi untuk
mengurangipenderitaan, biar kaliantetap dalam keadaantertotok!” Datuk Kepala Besi angkat tangan
kanannya, siap mengepruk kepala Tikil terlebih dahulu. Namun belumsempat pukulan mematikan itu
mendarat di batok kepala si pembantu yang malang, tahu-tahu satu tangan menangkis dan memukul
lengan Datuk Kepala Besi. Si botakiniterjajar setengah langkah. Tikil lolos dari maut. Di sebelahnya
terdengar suara mengeluh pendek. Namun di saat itu pula ada yang menyerangnya. Sambil
menghindar Datuk Kepala Besi berusahamelihatsiapa adanya si penyerang.
“Gadis jelita! Kau rupanya!” seru Datuk Kepala Besi ketika mengenali yang menghalangi
pukulannya tadi dan yang kini menyerangnya adalah Sulindari, murid Kiyai Djoko Bening yang
tempo hari hampir sempat digagahinya kalautidak muncul Pendekar WiroSableng.
“Dajal kepala botak! Dosamu tempo hari masih belum berampun, hari ini kau berserikat
dengan Tumenggung keparat itudan hendak membunuh dua orang pembantu yang tidakberdosa serta
berada dalam keadaantidak berdaya sungguh biadab perbuatanmu!”
Sambil mengelakkan serangan Sulindari Datuk Kepala Besi menjawab: “Sabar anak cantik!
Kalau kau yang memerintahkan aku untuk tidak membunuh dua pembantu itu, pasti aku patuh
menurut! Hanya sayang saat ini kekasihmu ini sudah seperti macan ompong. Kegairahan ada tapi
kemampuan tidak ada! Lihat keadaanku karena perbuatan pemuda gondrong itu!” Habis berkata
begitu Datuk Kepala Besi seperti tadi selorotkan celananya ke bawah. Justru saat itu pula Sulindari
menyerang dengan satu tendangan ke arah bawah perut itu.
Datuk Kepala Besi tertawa panjang. Kepalanya dibungkukkan menyambut serangan sang
dara. Sulindari yang sudah tahu keatosan kepala itu tak berani meneruskan tendangannya. Tangan
kanannya kini yang dihantamkan ke leher lawan melancarkan pukulan yang mengandung aji
kesaktian Selangit Tembus Sebumi Putus. Tetapi murid Kiyai Djoko Bening ini masih kalah cepat.
Kedua tangan lawantelah merangkul pinggangnya saat itu. Di waktu yang bersamaan secara kurang
ajar sang datuk susupkan mukanya kebagianbawah perut Sulindari. Keduanya lalujatuh bergulingan.
Kesempatan ini dipergunakan Datuk Kepala Besi untuk menghimpit tubuh sang dara, menciumi
wajah dan menggerayangidadanya dengan penuh nafsu.
“Keparat busuk! Kau tidak kapok-kapoknya!” Satu suara mendamprat lalu satu tendangan
menghantam rusuk Datuk Kepala Besi. Tak ampun lagidatukiniterpental sampaiduatombak. Empat
tulangrusuknyaremukhancur. Tulang-tulang yang patah itu seperti menusuk bagian-bagiantubuh di
sebelah dalam hingga sakitnya bukan kepalang. Tapi hebatnya Datuk Kepala Besi masih sempat
bangkit berdiridengan mata berkilat-kilatdalam kegelapan. Ketika diamelihat siapa adanyapemuda
gondrong yang tegak di hadapannya, nyalinyapun lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera balikkan
diri ambil langkah seribu. Namun malang. Di arah dia hendak melarikan diri itu, Sulindari sudah
menunggu dengan sepotongcabang kayu sebesar betis. Begitukayudihantamkannya kerahang sang
datuk terdengar suara berderakpatah. Datuk Kepala Besi berteriakkeras laluroboh dengan sebagian
wajah rengkah. Ternyata hanya bagian kepalanya yang botak saja yang atos tahan segala macam
pukulan sedangbagian wajahnyatidakmempunyai kekebalan apa-apa.
Pendekar 212 Wiro Sableng membantu Sulindari berdiri. “Bangsat itu menjijikkan sekali!”
kata sang dara lalu dengan kaki kirinya diinjakkan wajah Datuk Kepala Besi hingga hidung dan
sebagiantulang pipi orang inimelesakke dalam.
Wiro kemudian melepaskan totokan di tubuh Randu dan Tikil. Dua orang bekas pembantu
Tumenggung Brojo Menggolo ini meskipun berada dalam keadaan tertotok tapi masih sanggup dan
sempat menyaksikan apa yang sebelumnya terjadi. Tahu kalau mereka telah diselamatkan oleh dua
orang muda-mudi itu keduanya lantas menyembah-nyembah berulang kali seraya mengucapkan
terima kasih. Wiro menyuruh Randu dan Tikil berdiri. Dari kedua orang ini mereka kemudian
mendapatkan keterangan yang mengejutkan.
“Sebagai pembantu di tempat kediamanTumenggung Menggolokami diam-diam mengetahui
adanya hubungan gelap antara Tumenggung dengan anak tirinya Sintomurni. Ketika gadis itu hamil
Tumenggung menjadi bingung dan sangat ketakutan....”
“Tunggu dulu!” memotong Sulindari. “Adalah tidak masuk akal kalau Sintomurni mau
melayaniayah tirinya itu!”
“Secara wajar memang begitu. Tapi Tumenggung telah mencekoki anak tirinya itu dengan
semacam obat. Guna-guna!” menjelaskan Tikil. Lalu dia melanjutkan. “Denganiming-iming sejumlah
uang dankedudukandi Keraton, celakanya guru silat Sangkolo Pratolo mau menolong Tumenggung
yang sedang kesulitan itu. Guru silat itu membawa den ayu Sintomurni ke dukun beranak Jamilah.
Dukun itudipaksa agar menggugurkankandunganden ayu. Tapigagal karenakandungansudah besar
danjaninnya sudah kuat. Den ayu meninggal duniawaktukandungannya itu digugurkan... Ketika hal
itu dikabarkan pada Tumenggung, Tumenggung menjadi tambah ketakutan. Akhirnya Tumenggung
datang sendirikerumah dukun beranak itupadatengah malam. Kami diperintahkan ikut. Disitu... di
rumahdukun Jamilah, mayat den ayu Sintomurni kemudiandipotong-potong....”
“Siapa yang melakukannya?!” tanya Wiro.
“Sangkolo Pratolo, jugaTumenggung Menggolo...” sahut Randu.
“Manusia-manusia biadab!” desis Sulindari. “Lalu apa yang terjadiselanjutnya?”
“Potongan-potongan mayat den ayu Sintomurni dibuntaldalam sebuahkain kuning. Terlebih
dahulu Tumenggung mencacah wajah mayat hingga tak mungkin lagi dikenali. Kami berdua
kemudian diperintahkan menggotong mayat dalam buntalan, bersama guru silat Sangkolo Pratolo
mayat itukemudian kami bawadan buangdi lereng gunung Merbabu sebelah selatan...”
“Setahu kami Sintomurni mempunyai seorang kekasih bernama Damar Bintoro. Tapi pemuda
itu lenyaphampir bersamaan dengan ditemukannya mayat di gunung Merbabu. Juga dukun beranak
Jamilah itu lenyap dari rumah sewaannya... Apakah Damar Bintoro tidak mengetahui kalau
kekasihnyahamil...?”
“Den Damar Bintoro memang tidak mengetahui kehamilan kekasihnya. Dia seorang pemuda
polos dan sopan. Dan dia bukannya lenyapkan diri, tapi sengaja bersembunyi demi keselamatannya.
Orang-orang suruhan Tumenggung berkali-kali hendak membunuhnya secara gelap. Dia lalu
bersembunyi di satu tempat. Perempuan tua Jamilah dukun beranak itu ikut sembunyi bersamanya
karena memang den Damar yang menjemputnya malam-malam. Mereka merencanakan untuk
melapor pada Patih Kerajaan, tapitidakberanikeluardari tempat persembunyian karena orang-orang
Tumenggung adadimana-mana...”
“Kalian tahu dimana tempat persembunyian Damar Bintoro dan dukun beranak bernama
Jamilah itu?” tanya Wiro.
Randu dan Tikil sama-sama mengangguk.
“Kalau begitumalamini juga kalian antarkan kami ke sana,” ujar Sulindari.
“Raden dan rara telah menolong nyawa kami. Apapun yang kalian perintahkankami berdua
pastiakan melakukannya,” sahut Randu pula.
Sebelum meninggalkan tempat Itu Wiro mengambil uang emas yang tadi dimasukkan Datuk
Kepala Besi ke balik celanahitamnya. Dia jugamemungut kantong berisi uang perak. “Semua uang
ini harus kita kembalikan pada istri Tumenggung. Aku punya firasat Tumenggung itu sendiri tak
bakallamaumurnya.”
* * *
12
MALAM sudah turun ketika Randu dan Tikil yang membawa Pendekar 212 Wiro Sableng
dan murid Kiyai Djoko Bening Sulindari sampai di tempat persembunyian Damar Bintoro serta
Dukun beranak Jamilah. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak dalam rimba
belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau menginap pada
malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik Raden Somba Kayu Ireng ayah
Damar Bintoro
“Tampaknya kita kedahuluan orang lain...” bisik Wiro pada Sulindari dari balik semak
belukar sambil menunjuk padadua ekor kuda besar yang tertambatdibawah pohon. Di bagian lain, di
sebelah belakangrumah papan kelihatan pula duaekor kuda.
Randu tiba-tiba berbisik: “Salah seekor kuda yang tertambat disana milik Tumenggung
Menggolo...”
“Bagus! Kalau bangsat itu adadisini berarti semua urusan bisadibikin tuntas!” ujar Sulindari.
Di dalam rumah papan tiba-tibaterdengar suara pekikan perempuan.
“Itu teriakandukun beranak Jamilah...” memberitahu Tikil yang mengenali suara perempuan
itu.
Lalu menyusul suara bentakan: “Tumenggung keparat! Apa dosa perempuan itu maka kau
hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang kau rusak
kehormatannya itu? Manusia Iblis! Kau boleh bunuh akutapilepaskan perempuan tua itu!”
“Itu suara den Damar...” Tikil yang berbisik.
Laluterdengar suara bentakan Tumenggung Menggolo.
“Soal kematianmu takusah kaurisaukan anak muda! Aku memang tak pernah sukapadamu!
Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh tua bangka ini! Bagianmu kelak menyusul beberapa
saatlagi!”
Tanpapikir panjang lagisaat itujuga Wiro dan Sulindari langsung melompat keluardari balik
semak belukar. Dengan kaki kirinya Wiro menendang pintu papan hingga hancur berantakan lalu
bersama Sulindari dia masukke dalam rumah yang diterangisebuahlampu minyakitu.
Di lantai rumah tampak tergeletak seorang perempuan tua berambut putih yang membeliak
dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan. Di depannya Tumenggung Brojo Menggolo
tengah menusukkan sebilah golok ke leher perempuan tua itu. Di salah satu sudut, seorang pemuda
dalam keadaan tertotok, tegak tersandar tanpa bisa bergerak. Dialah Damar Bintoro, kekasih
Sintomurni. Ada seorang lagi hadir dalam rumah itu yakni seorang lelaki tua berjanggut putih yang
mengenakan jubah kuning. Orang inipun memegang sebilah golok di tangankanannya.
“Tumenggung iblis! Karena kau dua saudara seperguruankumenderitacelaka! Kau menyebar
maut dimana-mana! Kini perempuan tua tak berdaya itu hendak kau bunuh pula! Biar kucopot
kepalamu!” Yang berteriak adalah Sulindari. Gadis ini langsung menyerbu Tumenggung Brojo
Menggolo. Kedua tangannya berkelebat kearahleher sang Tumenggung.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan dua muda-mudi itu berkelebat masuk, dan pada
saat Sulindari berteriak, Tumenggung Menggolo langsung memutar tubuh. Golok yang tadi hendak
ditusukkannya keleher Jamilah,kinidibabatkannya kearahkeduatangan Sulindari. Sebagai seorang
yang berpangkat tinggi Tumenggung Menggolo memang memiliki ilmu simpanan yakni Ilmu silat
tangan kosong danilmu golok. Namun jelassekali dia hanya memilikitenaga luar. Kepandaiannya Itu
sama sekalitidak ditopang oleh kekuatan tenagadalam. Ketika Sulindari mengelak dan menghantam
dengan pukulan Selangit Tembus Sebumi Putus langsung Tumenggung Menggolo terpental dan
terbanting ke dinding papan. Dada pakaiannya sebelah kanan tampak terkoyak robek dan kulit
dadanya yang tersingkap kelihatan memar kebiruan. Dia tersandar di dinding dan sulit bernafas. Dia
berusaha menusukkan goloknya ke arah perut Sulindari ketika si gadis kembali menyerangnya tapi
dengan mudah murid KiyaiDjokoBening itumemukullenganTumenggung dan merampas goloknya.
Ketika golok itu hendak ditusukkan Sulindari padapemiliknya sebagai senjatamakantuan, tiba-tiba
terdengar bentakan keras: “Jangan bunuh orang itu! Kematiannya harus di tiang gantungan agar
semua orang tahu kebiadabannya!”
Semua orang berpaling ke pintu. Disitu tegak Raden Somba KayuIreng,ayah Damar Bintoro.
Di belakangnya belasan perajurit Kepatihan telah mengurung tempat itu.
Raden Somba melangkah mendekati Tumenggung Menggolo. Pada saat itulah orang tua
berjanggut putih berjubah kuning mengirimkan bacokan dari samping. Cepat dan ganas ayunan
goloknya. Suara bersiuran yang keluar dari badan golok cukup memberi tahu bahwa orang tua ini
memilikitenaga dalam tinggi. Raden Somba cepat berkelit. Mata goloknya hanyalewat seujung kuku
darikepalanya. Ketika dia hendakbalas menyerang, Pendekar 212 Wiro Sableng sudahlebih dahulu
berkelebat.
Dorongan tangankanan murid Sinto Gendeng membuat si jubah kuning terjajar ke belakang
dan sempatterkejut.
“Kakek baju kuning! Bukankah kau manusia ular kepala dua bernama Sangket Plumbung
bergelar Dewa Jubah Kuning dan pernah membunuhi beberapa murid Kiyai Gobang Amerto dari
gunung Bromo. Kau mencap sahabat-sahabatku itu sebagai antek-antek kaumpemberontak. Padahal
tujuanmu adalah untuk menutup pengkhianatanmu sendiri. Kaulah yang mengirimkan sejumlah
senjatauntuk kaum pemberontak diselatan!”
“Ha...ha! Satu lagi terbuka kedok kejahatanmu Sangket Plumbung!” berkata Raden Somba.
“Sudah sejak lama aku mencurigai gerak gerikmu! Hari ini kau tak mungkin lolos lagi!” Raden
Somba berpaling pada Wiro. “Pendekar gagah, teruskan perkelahianmudengan pengkhianat ini! Tapi
ingat sepertikawannyayang satu itudia harus ditangkap hidup-hidup!”
Raden Somba kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Tumenggung Brojo
Menggolo. Saat itu selain menderita cidera dan kesakitan akibat pukulan Sulindari, Tumenggung
Menggolo memang sudahpasrah karena sadartakbisa berkelit lagi.
“Aku pasrah menerima segala hukuman, Raden Samba!” katanya dengan suara serak.
Terbayang di pelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya itu.
Tumenggung Menggolotekapwajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis sesenggukan.
Kalau sang Tumenggung pasrah menyerahkan diri, lain halnya dengan Sangket Plumbung
alias Dewa Jubah Kuning. Membayangkan hukuman berat yang bakal diterimanya dari Kerajaan
maka dia menjadi kalap. Si jubah kuning ini kirimkan serangan berantai yang ganas berupa dua
bacokandan satutusukansekaligus. Wiro yang mendendam besar akibat kematian para sahabatnya di
gunung Bromo gara-gara perbuatan si janggut putih ini jugatakkalah kalapnya. Kalau sajadiatidak
ingat pesan Raden Somba agar dia tidak membunuh orang itu saat itu rasanya maulah dia
mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan mencincang tubuhtua bangka itusampailumat.
Serangan ganas Dewa Jubah Kuning hanya berlangsung tiga jurus penuh. Setelah itu Wiro
mulai merangsak lawannya dengan jurus-jurus Ilmu Silat Orang Gila yang didapatnya dari Tua Gila.
Memang ilmusilatini sangat cocok dimainkanditempat yang sempitsepertidalam rumah papan itu.
Gerakan kaki tidak terlalu banyak, hanya tubuh dan tangan yang meliuk-liuk macam orang
sempoyongan mabuk tuak.
Wuuttt!
Golok di tangan Dewa Jubah Kuning menderudi depan perut Pendekar 212. Begitusambaran
senjata lawan lewat, Wiro membungkukke depan seperti terhuyung hendakjatuh, tapitiba-tiba kaki
kanannya sudahmencelat melabrak ketiak kanan lawan. Terdengar suara berderak disusul jerit Dewa
Jubah Kuning. Bahu kanannya hancur. Tangan terkulai. Golok yang tadi dipegangnya sudah lebih
dulujatuh dilantai. Tubuhnya tersandarmiringkedinding papan. Wiro melepaskantotokanditubuh
Damar Bintoro sementara Sulindari membantu dukun beranak itu bangkit berdiri. Tubuh perempuan
tua inimasih gemetarandanwajahnyamasih pucat pasiketakutan.
Raden Somba memberi isyarat pada para perajurit di luar sana. Melihat isyarat ini delapan
orang segera masuk lalumenggiring Tumenggung Menggolodan Sangket Plumbung keluar.
Begitu totokannyalepas Damar Bintoro langsung merangkul Pendekar 212 Wiro Sablengdan
berulang kali mengucapkan terima kasih. Lalu pemuda ini mendatangi ayahnya dan berlutut di
hadapan orang tuanya itu.
“Bangkit berdiri Damar. Kita semua harus segera kembali ke Kotaraja!” berkata Raden
Somba. Lalu dia menoleh pada Wiro dan Sulindari. “Muda mudi gagah. Kami berhutang budi dan
nyawa pada kalian berdua. Lebih dari itu kalian juga berjasa besar pada Kerajaan karena berhasil
membongkar kedok seorang pengkhianat dan menangkapnya hidup-hidup. Atas nama Patih dan Sri
Baginda aku meminta kalian ikut ke Kotaraja menjadi tamu-tamu terhormat. Kalian akan
menyaksikanbagaimanahukum dan keadilandijalankandisana!”
Wiro memandang pada Sulindari. Karena gadis ini hanya diam saja maka Wiro pun
menjawab: “Terima kasih atas undangan dan penghargaan itu. Tapi mohon dimaafkan, masih ada
urusan lain yang perlukami selesaikan. Kami mintadiri saja sekarang....”
Raden Somba Kayu Ireng tersenyum. Dia melirik pada Sulindari dan diam-diam merasa
cocok kalau gadis jelita itu dijodohkan dengan puteranya. Tapi saat itu bukan tempatnya berpikir
sampai disitu. Karena tahu bagaimana sifat-sifat orang persilatan maka dia pun menganggukkan
kepala dan berkata: “Kalian orang-orang rimba persilatan. Kapan sih bisa bebas dari segala urusan
kalian. Selamat jalan kalaubegitu!” Lalu Raden Somba mendahului menjura memberi penghormatan
hingga Wiro dan Sulindari menjadikikuk membalasnya. Kedua muda-mudi inilalu tinggalkan tempat
itu. Di atas punggung kuda milik Datuk Kepala Besi dan Sangkolo Pratolo dua muda mudi itu
bergeraktanpa ada yangbicara.
“Kemanatujuan kita sekarang?” Sulindari akhirnya mengajukan pertanyaan.
“Aku akan mengantarkanmu ke puncak Merbabu!” jawab Wiro. Sang dara diam saja.
“Eh, kau tak sukaaku antarkan...?” bertanya Wiro.
“Kau sungguhan mau mengantar?” balik bertanya Sulindari.
“Mengapa tidak?Memangnya ada apa...?”
“Hemm... Bertahun-tahun akuberada di puncak Merbabu. Belajar dan berlatih silat tiap hari
tiada henti. Bukan pekerjaan ringan. Sekarangada kesempatan turun gunung. Mengapa tidakmelihat-
lihat dunialuarbarang duatigaminggu...?”
“Ah, itu satu rencana yang baik!Apalagi kalaukita jalan sama-sama. Maksudmu begitu?”
Sulindari mengangguk.
“Ah, rejekiku besar nian sekali ini. Siapa menyangka ada gadis secantikmu mau berkelana
bersamaku. Sekali. Bagaimana aku berani menolak! Jangankan dua tiga minggu. Dua tiga tahunpun
akubersedia! Ha... ha... ha...!”
“Tapiadasaratnya Wiro!” ujar Sulindari.
“Eh, apa itu?”
“Jika aku pulang kembali ke puncak Merbabu, aku tak mau jadi mayat terpotong potong!”
Wiro tertawagelak-gelak.
“Jika kau kembali pulang ke tempat gurumu nanti percayalah tubuhmu akan tetap utuh.
Bahkantidakselembar rambutmu pun akan kurang!”
“Kalau begitu nanti begitu sampai di tempat guru kau harus menghitung rambutku, apakah
adayang kurangatautidak!”
“Seluruh rambut ditubuhmu...? tanya Wiro pula.
“Ya... Seluruh rambut di tubuhku! Eh!” Sulindari baru sadar apa arti pertanyaan Wiro dan
bagaimana diabisaterjebak menjawabseperti itu.
“Pemuda kurang ajar!” teriak Sulindari lalu melayangkan tinjunya ke punggung Pendekar
212. Tapi Wiro sudahmembedal kudanyalebih dahulu seraya tertawagelak-gelak dan berkata: “Ha...
ha! Aku akan menghitungrambut ditubuhmu! Seluruh rambut! Asyik... Asyiiikkkkk!”
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar