Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Sabtu, 25 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - CINCIN WARISAN SETAN

https://matjenuh-channel.blogspot.com





Hjan turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi 

angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran. 

Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. 

Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit 

seolah-olah hendak runtuh! 

 

“Hujan keparat!” maki pemuda berpakaian putih yang lari di bawah hujan 

lebat itu. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu 

lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula  di mana akan ditemukan tempat 

berlindung di dalam rimba belantara lebat itu. Daun-daun pepohonan besar tidak 

kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. 

Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Kembali dia 

menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar. 

“Benar-benar gila!” makinya kembali. 

 

Mendadak orang ini hentikan larinya. Lapat-lapat, di kejauhan sepasang 

telinganya yang tajam luar biasa mendengar suara aneh. Suara hiruk pikuk seperti 

teriakan manusia. Dia pejamkan kedua matanya dan mendongak ke langit. 

 

“Setan atau ibliskah yang menjerit di malam gila ini?” tanyanya pada diri 

sendiri.

 

“Kalau memang itu jeritan manusia mengapa mereka menjerit. Dan manusia 

macam mana pula yang hujan lebat begini, berada dalam rimba belantara pada malam 

buta…..?” Orang ini tidak menyadari, dia sendiri secara aneh berada di tempat itu! 

 

Dia membalikkan tubuh, lalu lari ke jurusan datangnya suara jeritan yang 

sangat ramai itu. Beberapa pohon kecil yang melintang di hadapannya dihantamnya 

dengan tangan kiri atau tangan kanan. 

 

“Krak…..! Krak…..!” 

 

Batang-batang pohon itu patah bertumbangan! 

 

Makin cepat dia berlari makin keras suara jeritan itu tanda dia semakin dekat 

ke sumber suara. Mendadak suara jeritan lenyap. Orang yang tadi berlari hentikan 

gerakannya, memandang berkeliling, lalu menatap tajam ke samping kanan. Samar-

samar dalam gelapnya malam dan lebatnya curahan air hujan, sekitar sepuluh tombak 

dari tempatnya berdiri dia melihat sesosok tubuh tegak berkacak pinggang di bawah 

hujan lebat. Hati-hati sekali, hampir tidak mengeluarkan suara pemuda tadi 

menyelinap di balik pepohonan dan semak belukar, berusaha mendekati sosok tubuh 

yang ada di depannya. Ketika hanya tinggal empat tombak saja lagi dari orang yang 

tegak berkacak pinggang itu, tiba-tiba orang itu keluarkan suara tertawa bergelak. 

Lelaki berpakaian putih yang coba mengintai tersentak kaget dan cepat-cepat 

berlindung ke balik sebatang pohon. Dari sini dia meneruskan pengintaiannya. 

 

Orang yang tertawa bergelak sambil bertolak pinggang itu mengenakan 

pakaian serba hitam yang basah kuyup. Rambutnya terjurah panjang, semula disangka 

soerang perempuan. Tapi setelah jelas kelihatan raut wajahnya ternyata dia seorang 

lelaki bermuka cekung, berjanggut dan berkumis lebat. Pada masing-masing 

lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar. 

 

Kilat menyambar dan! Orang yang mengintai dari balik pohon merasakan 

jantungnya seperti copot! Betapakan tidak. Ketika rimba belantara itu menjadi terang 


benderang sekilas, pada saat itulah dia menyaksikan puluhan tubuh manusia 

berkaparan di tanah, di atas semak belukar, di antara pohon-pohon. Semua 

tergelimpang tak bergerak. Kepala atau wajah masing-masing telah hancur 

mengerikan. Rambut dan potongan-potongan kepala serta otak berhamburan di mana-

mana. Air hujan yang tergenang tampak merah kehitaman. 

 

“Pembunuhan masal! Siapa yang melakukannya?!” membatin pemuda yang 

mengintai. Tubuhnya terasa dingin sekali, sepasang lututnya terasa goyah. Selama 

hidupnya dia telah melihat kematian, pembunuhan bahkan dia juga telah berulang kali 

melakukan pembunuhan. Tapi kematian orang seperti itu dengan kepala atau muka 

hancur, benar-benar satu hal luar biasa. Dari pakaian yang dikenakan manusia-

manusia malang itu, dari tombak, pedang dan perisai yang bergelimpangan di sela-

sela tubuh manusia, jelas yang menemui kematian itu adalah serombongan pasukan. 

Entah pasukan dari kadipaten atau keraton mana. 

 

Di tengah tumpukan mayat itu, orang yang tertawa semakin keras tawanya. 

Sambil tertawa kepalanya yang berambut panjang digoyang-goyangkan hingga air 

hujan yang membasahi rambutnya berdesing melesat, menghantam pohon-pohon dan 

dedaunan. Orang yang bersembunyi di balik pohon melengak kaget ketika 

menyaksikan begaimana tetesan-tetesan air hujan yang dilesatkan rambut itu 

menghantam rontok kulit pohon di hadapannya dan meninggalkan lobang dalam pada 

batang pohon! 

 

“Dua puluh sembilan hari menguntit dan mengurung!” Tiba-tiba orang 

berpakaian hitam berambut panjang itu hentikan tawa dan keluarkan ucapan. “Semua 

berakhir pada kematian! Manusia-manusia tolol! Pangeran kalian hanya menyuruh 

kalian mengantar nyawa di dalam rimba belantara ini! Ha….ha…..ha….” 

 

Orang di tengah gelimpangan mayat itu kemudian tampak tundukkan kepala. 

Seperti tengah memperhatikan sesuatu yang ada di tangan kanannya. Lalu kembali dia 

tertawa gelak-gelak. Mendadak suara tawanya lenyap, tubuhnya diputar ke kiri. 

Tangan kanannya diangkat ke depan, sama rata dengan bahu. Dari jari telunjuknya 

yang diacungkan lurus ke muka tiba-tiba melesat tiga cahaya putih. Dua cahaya 

sebesar batang lidi, satunya lagi sebesar batang padi. Ketiga cahaya putih itu 

mengeluarkan suara seperti lengkingan seruling yang ditiup pada nada tinggi dengan 

kekuatan tiupan dahsyat. 

 

“Siut….siut….siut! Brak!” 

 

Batang pohon di depan hidung pemuda yang mengintai hancur lebur. Pohon 

besar itu roboh dengan suara bergemuruh! 

 

“Keparat setan alas!” maki lelaki berpakaian putih yang sembunyi di balik 

pohon besar itu. “Bangsat berjangut itu tahu kalau aku mengintai di sini! Gila, ilmu 

pukulan sakti apa yang dilepaskannya itu!” Secepat kilat orang itu jatuhkan diri ke 

tanah, menyusup ke dalam semak belukar lalu melompat satu tombak ke samping 

kanan dan berguling. Sepasang telinganya kembali mendengar suara melengking. 

Tanda orang berpakaian hitam itu melepaskan lagi pukulan yang memancarkan tiga 

garis cahaya putih itu. Setumpuk semak belukar rambas, sebatang pohon lagi hancur 

dan tumbang. Tapi pemuda yang tadi berhasil menyelamatkan diri saat itu sudah 

berada jauh di tempat yang cukup aman, yakni melesat ke atas dan bersembunyi di 

atas cabang pohon, di antara kerimbunan daun-daun. Ternyata manusia yang 

menyerangnya tidak mengetahui kalau kini dia ada di atas pohon. Sebaliknya dari atas 

pohon dia dapat melihat jelas gerak gerik orang di bawah sana. Sesaat lelaki di atas 

pohon ini berpikir-pikir, apakah dia akan membalas serangan maut tadi dengan 

pukulan sakti yang dimilikinya. Tetapi setelah menimbang akhirnya dia memutuskan 

untuk menunda. 


Di bawah pohon orang tadi kembali tertawa gelak-gelak. Lalu berteriak “Ada 

yang lolos rupanya! Tidak apa…. Biar dia lari dan memberitahu pada pangerannya! 

Ha…..ha…..ha…..!” Suara tawa itu sirap. Orang di atas pohon memutuskan inilah 

saatnya dia harus melepaskan pukulan untuk melumpuhkan orang di bawah sana. 

Tetapi. Astaga! Ketika memandang lagi ke bawah sambil siapkan pukulan, orang 

berambut panjang berpakaian hitam itu sudah lenyap entah ke mana! 

 

“Sialan! Aku terlambat!” maki pemuda di atas pohon. 

 

Setelah meneliti keadaan di bawah pohon sekali lagi sementara hujan lebat 

masih terus turu maka diapun melompat turun. Ketika masih melayang di udara itulah 

mendadak telinganya mendengar suara seperti tiupan seruling. Tiga larik cahaya putih 

yang sangat terang menyilaukan berkiblat, menyambar ke arahnya. 

 

“Celaka! Bangsat itu belum pergi rupanya. Dan kini dia kembali 

menyerangku!” Orang yang melompat turun terkejut dan memaki. Secepat kilat dia 

jungkir balik di udara lalu membuang diri ke samping kanan. Namun sambaran tiga 

cahaya datangnya cepat luar biasa. Berkiblat deras dan menghantam perutnya dengan 

telak. Orang ini keluarkan seruan keras, mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah, di antara 

gelimpangan mayat-mayat dan genangan air hujan campur darah!  

 

“Ha…ha….ha….!” Terdengar tawa bergelak dari belakang batang pohon 

besar. “Pengintai tolol! Kalau saja kau tadi terus lari tentu tak akan mampus percuma! 

Sayang! Kini tak ada yang akan memberi laporan pada sang pangeran! 

Ha…ha….ha….!”

 

Suara tawa lwnyap. Keadaan di tempat itu kini hanya dihantui oleh deru air 

hujan, desau angin dan gemerisik daun-daun pepohonan. 

 

Tak selang berapa lama, sosok tubuh yang tadi dihantam tiga larik sinar dan 

terhempas ke tanah, perlahan-lahan tapak bergerak bahkan kini coba berdiri sambil 

pegangi perutnya. Ternyata manusia satu ini tidak mati. Dia tidak sampai menjadi 

korban tiga larik sinar maut yang dilepaskan oleh orang berpakaian serba hitam tadi. 

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jangankan tubuh manusia. Btang pohon yang besar 

dan keras hancur tumbang berantakan oleh hantaman sinar itu. 

 

Pemuda itu pegangi pakaiannya di bagian perut yang tampak bolong besasr. 

Baigan tepi yang bolong itu seperti hangus terbakar berwarna kehitaman. Pada bagian 

pakaian yang berlubang itu tampak tersembul sebuah benda putih yang berkilauan 

setiap sinar kilat menyambar terang. Mukanya yang tadi pucat seperti kain kafan 

berangsur-angsur berdarah kembali dan dari mulutnya pemdua ini tak henti-hentinya 

memaki. Dia pegangi benda putih berkilat yang tersembul di depan perutnya, garuk-

garuk kepalanya dengan tangan yang lain lalu cepat menyelinap ke balik semak 

belukar. Ada rasa kawatir kalau-kalau orang yang tadi menyerangnya masih berada di 

tempat itu atau muncul kembali. 

 

“Kapak ini telah menyelamatkan nyawaku…..” kata lelaki berakaian putih 

yang kini pakaiannya penuh lumpur bercampur darah. Tengkuknya masih terasa 

dingin. Bukan oleh karena dinginnya udara atau dinginnya air hujan, tapi karena baru 

saja menyadari, kalau senjata mustikanya itu tidak tersisip melindungi perutnya, 

pastilah perutnya akan bobol amblas dihantam sinar ganas tadi. Dia segera pula 

menyadari bahwa senjatanya itu memiliki keampuhan yang tinggi dan tak sanggup 

dihantam pukulan sinar aneh dan mematikan itu. 

 

Ketika dipastikannya keadaaan di tempat itu benar-benar telah aman maka 

diapun segera keluar dari balik rerimbunan semak belukar. Dia coba meneliti sekian 

puluh mayat yang terkapar mengerikan. 

 

“Pasukan yang malang….. Pangeran dari mana yang mengutus kalian mencari 

mati di tempat ini….?” Orang itu geleng-geleng kepala. “Tak habis pikir bagaimana 


orang berjanggut tadi sanggup membunuh puluhan manusia ini. dengan sinar mautnya 

itu…..? Sinar maut hebat luar biasa, tapi ganas mengerikan….. Heh, apa yang harus 

aku lakukan? Tolol!” Orang itu memaki dirinya sendiri. Lalu menjaab pertanyaan 

sendiri. “Yang paling baik aku harus pergi dari sini. Rimba belantara ini lebih seram 

dari neraka! Tempat celaka  apa ini! Gila!” 

 

Maka diapun bergerak pergi. 

 

Namun baru dua kali menindak melangkahi mayat-mayat di tanah, mendadak 

terdengar bentakan garang. 

 

“Berhenti!” 


BAB 2



Bangsat! Siapa pula yang membentak! Setan rimba belantara?! Eh, mungkin orang 

berjanggut tadi…..?!” Dengan sikap waspada dan mengerahkan tenaga dalam ke 

tangan kanan siap untuk mengahantam, dia memandang ke arah kegelapan dari mana 

suara bentakan tadi datang. Dia melihat sesosok tubuh dalam kegelapan. Lalu sosok 

tubuh kedua. Ketiga ….keempat. Ketika dia memandang berkeliling, ternyata dia 

telah dikurung oleh enam orang berbadan besar. Masing-masing memegang kelewang 

panjang.

 

“Siapa kalian?!” Lelaki berpakaian serba putih balik membentak. 

 

“Randu Ireng! Dua kali bulan pernama kami menguntitmu! Sekarang tak 

mungkin lepas!” terdengar jawaban dari kegelapan. 

 

“Randu Ireng….?” Desis orang yang dikurung. “Siapa yang kalian 

maksudkan…..” 

 

Terdengar suara batuk-batuk di sebelah kanan, menyusul suara berkata “Kami 

tahu kelicikanmu. Kau bisa menyamar seribu kali dalam semalam. Tapi kami 

berenam tak mungkin kau tipu!” 

 

“Gila! Malam-malam buta, hujan lebat begini rupa dan disaksikan puluhan 

mayat celaka kalian ini bicara apa sebenarnya?!” 

 

“Dengar Randu Ireng….” 

 

“Setan alas! Namaku bukan Randu Ireng….!” Hardik orang yang dikurung. 

 

Keluar jawaban. “Terserah kau mau memakai nama apa. Tapi yang jelas kau 

sudah kami kurung. Tak mungkin lolos walaupun kau bisa merubah diri menjadi 

seekor tuma! Kawan-kawan, apakah kalian lihat benda itu di jari telunjuk 

kanannya…..?” 

 

Lima suara menyahut. 

 

“Kami tidak melihatnya!” 

 

“Dia a pasti menyembunyikannya di balik pakaiannya!” 

 

“Keparat! Benda apa yang dimaksudkan enam jahanam gila ini?” ujar pemuda 

yang dikurung lalu meneliti jari telunjuk tangannya sendiri. Jari telunjuk tangan kanan 

itu memang tidak ada apa-apanya. Mengapa orang-orang itu sengaja memperhatikan 

jari telunjuk tangan kanannya? Siapa mereka sebenarnya dan siapa pula orang 

bernama Randu Ireng itu? Selagi dia bertanya-tanya seperti itu, kembali orang yang 

tegak di hadapannya dalam kegelapan membuka suara sementara hujan masih terus 

turun walau sekarang mulai mereda. 

 

“Radu Ireng! Serahkan cincin itu pada kami!” 

 

“Betul! Serahkan lekas. Dan kami akan mengampuni selembar nyawamu!” 

Orang di samping kiri ikut bersuara. 

 

Pemuda yang tegak di antara tebaran mayat kembali memaki dalam hati. 

Kemudian dia tertawa gelak-gelak. Namun hatinya tetap saja jengkel. 

 

“Kalian orang-orang gila kesasar! Buka telinga kalian baik-baik dan dengar 

ucapanku. Aku bukan Randu Ireng! Aku tidak tahu menahu, tidak mengerti cincin apa 

yang kalian minta. Aku sama sekali tidak memiliki cinicn, atau kalung atau gelang. 

Ha…ha….ha….!”

 

“Dusta!” 

 

“Bohong besar!” 

 

“Rupanya dia tidak sayang nyawa!” 

 

“Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita bantai saja!” 


Enam sosok tubuh bergerak maju, mendekar dan memperapat pengurungan. 

Enam batang kelewang panjang tergenggam erat dalan enam tangan kukuh, melintang 

di depan dada. 

 

Sejarak lima langkah, keenam orang itu berhenti. Orang yang dikurung 

memandangi wajah mereka satu persatu. Tak seroangpun yang dikenalnya. 

 

“Kami masih memberi kesempatan terakhir!” kata orang di samping kanan. 

“Lekas serahkan cincin itu!” 

 

“Cincin apa?!” tanya lelaki yang pakaiannya basah kuyup, penuh belepotan 

lumpur dan darah. 

 

“Jangan pura-pura tidak tahu!” 

 

“Cincin apa lagi kalau bukan Cincin Kepala Ular Kobra Baja!” jawab orang 

yang tepat berdiri di depan lelaki tadi. 

 

Kini berubahlah paras pemuda ini. dia pernah mendengar tentang benda itu, 

tapi tak pernah melihatnya. Cincin baja yang merupakan senjata mustika ganas. Tiba-

tiba dia ingat pada orang berpakaian serba hitam yang tadi menyerangnya. 

 

“Kalau begitu…..” desisnya. 

 

“Kalau begitu apa?!” ucapannya langsung dipotong. 

 

“Kalau begitu orang berjanggut dan berkumis lebat tadi yang kalian 

maksudkan…..” 

 

“Jangan coba mengalihkan pembicaraan. Siapa yang kau maksud dengan 

manusia berjanggut dan berkumis itu?!” 

 

“Manusia yang membunuh puluhan perajurit ini! Kalau dia tidak memiliki 

senjata ampuh luar biasa mana mungkin dia sanggup membunuh lawan sebegini 

banyak….”

 

“Dusta! Bukankah kau sendiri yang telah membunuh balatentara dari Demak 

ini? Dan tentunya dengan mempergunakan cincin keramat itu!” 

 

“Aku tidak memiliki benda itu. bahkan aku sendiri tadi diserang bangsat itu. 

lihat pakaianku yang hangus dan berlubang besar di bagian perut ini…..” 

 

Enam orang di depannya menyeringai mengejek. Tak percaya tentunya. Yang 

di samping kiri berkata. “Kalau diserang dengan cincin sakti itu, saat ini kau bukan 

manusia lagi. Tapi sudah jadi bangkai dengan perut bobol!” 

 

“Mungkin! Tapi…… Ah, percuma saja aku menerangkan. Kalian tentu tak 

akan percaya…..” kata pemuda yang tegak di antara tebaran mayat. Dia merasa tak 

perlu menjelaskan bahwa senjata sakti yang dimilikinya telah menyelamatkannya dari 

hantaman tiga cahaya putih yang melesat keluar dari jari telunjuk orang berpakaian 

serba hitam itu. 

 

“Ayo, mana cincin itu. Lekas serahkan!” 

 

“Aku tak mau lagi bicara dengan kalian orang-orang gila! Aku bukan Randu 

Ireng. Aku tidak memiliki benda yang kalian cari! Sekarang beri jalan, kau mau lewat. 

Aku mau pergi dari tempat celaka ini!” 

 

“Ragamu boleh pergi tapi nyawamu tinggalkan di sini!” 

 

Enam kelewang. Bergerak naik ke atas. 

 

“Kau akan mampus percuma! Cincin itu akan kami ambil dari tubuhmu yang 

tercincang!” 

 

Orang yang terkurung dan hendak dibantai menyeringai lalu keluarkan suara 

bersiul. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Enam lelaki bertubuh besar dan 

bermuka garang serentak mundur dua langkah ketika menyaksikan senjata berbentuk 

kapak yang memiliki dua buah mata terlihat tergenggam di tangan kanan orang yang 

mereka sangka Randu Ireng itu. yang membuat mereka jadi terkesiap ialah melihat 


sinar menggetarkan yang keluar dari badan dan mata kapak, padahal keadaan di situ 

gelap sama sekali tak ada kilatan sinar yang memantul ke permukaan kapak. 

 

“Siapa kau sebenarnya?!” Salah seorang dari enam pengurung bertanya. 

 

“Kau pasti tuli! Tadi-tadi aku sudah bilang aku ini bukan Randu Ireng!” 

 

“Kalau begitu coba katakan siapa kau adanya!”  

 

“Kau tidak perlu tahu!” 

 

“Jika tak berani memperkenalkan diri berarti kau memang Randu Ireng!” 

 

“Kentut busuk!” 

 

“Senjata apa yang ada di tanganmu itu?!” 

 

“Kapak Naga Geni 212!” 

 

Enam pengurung tersentak kaget. Mereka saling pandang. 

 

“Kalau begitu kau adalah pendekar muda Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng 

nenek sakti dari Gunung Gede!” 

 

Orang yang memegang kapak tidak menjawab meskipun apa yang diucapkan 

orang di depannya memang benar adanya. 

 

“Kalau begitu kami telah salah sangka. Harap dimaafkan keteledoran ini. 

hanya saja, apakah kau dapat menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini…..?” 

 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, orang yang tadi hendak dikeroyok 

sebenarnya ingin lekas-lekas meninggalkan tempat itu. Namun diam-diam diapun 

ingin mengetahui siapa adanya manusia bernama Randu Ireng dan apa sebenarnya 

cincin baja berkepala ular itu. 

 

“Aku bersedia menerangkan apa yang kulihat di sini walaupun tak banyak, 

tapi harap kalian mau mengatakan siapa kalian adanya….” 

 

“Kami berenam kakak beradik. Aku yang tertua. Namaku Sebrang Lor. Kami 

dikenal dengan julukan Enam Kelewang Maut….” 

 

Wiro Sableng kernyitkan kening. Kapak Naga Geni 212 disisipkannya 

kembali ke pinggang lalu berkata “Setahuku kalian adalah para pendekar dari 

golongan putih. Tapi gerak gerik kalian malam ini tidka beda dengan bangsa 

gerombolan rampok atau rombongan maling. Tidak disangka kalian selama ini 

disenangi ternyata bertindak tanduk memalukan….” 

 

“Kami mengakui telah kesalahan tangan,” kata Sebrang Lor. “Semua terjadi 

karena kejengkelan kami sudah sampai di puncaknya. Kami telah menguntit manusia 

bernama Randu Ireng itu hampir selama enam puluh hari. Malam ini ternyata kami 

menemui kegagalan lagi….. Nah, apakah kau mau menerangkan apa yang kau 

ketahui….?”

 

Wiro menjelaskan tidak banyak. Mulai dari dia mendengarkan suara jeritan-

jeritan, sampai dia mendapat serangan, lalu lenyapnya si penyerang yakni lelaki 

berpakaian serba hitam, berjanggut dan berkumis. 

 

“Mungkin manusia yang menyerangku  itulah Randu Ireng, orang yang kalian 

cari……” 

 

“Barangkali….. Manusia bernama Randu Ireng ini sebenarnya dia tidak 

memiliki kepandaian silat tinggi, apalagi ilmu kesaktian. Namun ada satu 

kehebatannya. Yaitu dapat menyamar secara lihay dan cepat. Lalu karena cincin 

keramat itu berada di tangannya, maka tak ada satu orangpun yang mampu 

mengahadapinya. Jangankan satu orang, seluruh pasukan kerajaan sanggup 

dihancurkannya dengan benda keramat itu…… “ 

 

“Kau berulang kali menyebut cincin. Benda bagaimanakah sebenarnya cincin 

itu…..?” 

 

Sebrang Lor lalu memberi penuturan. 


Dua belas tahun silam, seorang nelayan muda yang diam di sebuah desa di 

pantai selatan bermimpi. Dalam mimpinya itu dia bertemu dengan sesosok mahluk 

tinggi besar berjubah putih yang berjalan tanpa menjejak bumi. Wajah mahluk ini 

seram sekali. Memiliki sepasang kuping panjang mencuat ke atas, berambut gondrong 

dan bermata cekung dengan sepasang bola mata putih sedang bagian mayang 

seharusnya putih tampak sangat merah seperti api. Bagian hidungnya hanya 

merupakan sebuah lobang menjijikkan. Bibirnya mencuat oleh barisan gigi yang besar 

serta bertaring panjang. Semua gigi ini tampak basah oleh cairan berwarna merah 

darah. Lidahnya juga panjang dan selalu terjulur. Mahluk ini menuding dengan jari 

tangannya yang ternyata hanya merupakan tulang belulang tapi berkuku panjang. 

 

“Nelayan muda…..” kata mahluk dalam mimpi itu. suaranya membahana, 

bumi seolah-olah bergetar. “Besok malam kau harus turun ke laut!” 

 

“Mana mungkin.” Sahut nelayan itu ketakutan. “Sudah sejak seminggu ini 

hujan turun terus setiap malam. Tak mungkin menangkap ikan dalam hujan dan angin 

kencang……”

 

“Aku memerintahkan kau turun ke laut bukan untuk menangkap ikan!” 

 

“La…..lalu…..?” 

 

Mahluk itu menyeringai. Saat demi saat tubuhnya tampak bertambah besar 

dan tinggi. Ketika si nelayan mendongak mahluk itu sudah stinggi pohon kelapa! 

 

“Turun ke laut. Kayuh perahumu ke pulau Pangiri dan berhenti di sebelah 

timur, kira-kira seratus kayuhan dari pulau. Kau sama sekali tidak boleh membawa 

jala. Hanya membawa sebuah pancingan dan umpan tunggal seekor ikan teri basah. 

Lemparkan kalimu ke dalam laut dan tunggu sampai ada yang menyentuh. Jika sudah 

terasa ada sentuhan, sentak kail itu dan kau akan mendapatkan seekor ikan aneh 

berwarna hitam. Ikan itu kau belah perutnya. Di dalam perut ikan akan kau temui 

sebuah cincin terbuat dari baja putih, berbentuk kepala ular kobra. Jika cincin itu kau 

kenakan di jari telunjukmu lalu jarimu kau acungkan ke depan sambil menggigit 

bibirmu sebelah bawah maka tiga cahaya putih menyilaukan akan melesat keluar dari 

sepasang mata dan mulut cincin kepala ular. Tapi cahaya halus itu merupakan 

kekuatan dahsyat yang sanggup menghancurkan gunung dan rimba belantara. Kau 

boleh menyimpan dan memiliki cincin itu sampai aku datang lagi memberi petunjuk 

lebih lanjut. Cincin itu sekali-kali tak boleh kau jual. Karena selain merupakan 

warisan, tujuh kerajaan dikumpulkan bersama tak sanggup membayar nilainya! Kau 

dengar itu nelayan muda……?” 

 

“Kudengar tapi…..” 

 

“Tidak ada tetapi-tetapian. Besok malam turun ke laut. Ada satu hal harus kau 

ingat. Setelah cincin kau dapatkan dari perut ikan, bakar ikan itu sampai hancur dan 

cemplungkan abu serta tulang belulangnya ke dalam laut. Jika kau sampai melupakan 

hal itu maka penjaga dan pemilik lau selatan akan menelanmu lumat-lumat. Kau tahu 

siapa penjaga dan penguasa laut selatan itu…..?” 

“Tahu….. Nyi Roro Kidul…..” 

 

“Hemmm…..” Mahluk setan dalam mimpi menyeringai. Lalu sosoknya lenyap. 

 

Begitu mimpinya berakhir, nelayan muda itu terbangun dari tidurnya lalu 

terduduk di tepi balai-balai. Sesaat dia duduk termangu. Apakah akan 

dibangunkannya istrinya dan menceritakan mimpinya pada perempuan yang tengah 

hamil muda itu? Akhirnya setelah menganggap mimpi itu hanya mimpi biasa saja 

yang bisa terjadi pada diri setiap orang, nelayan itu kembali tidur. Keesokan harinya 

dia memang teringat kembali pada mimpi itu, namun karena  tak mau memperdulikan 

maka menjelang siang segera saja dilupakannya. Dan pada malan harinya dia sama 


sekali tidak turun ke laut melainkan merangkuli tubuh mulus istrinya dan tertidur 

sambil berpelukan. 

 

Lewat tengah malam dama kenyenyakan tidur mendadak mahluk berjubah 

putih berwajah setan itu muncul kembali. Kedua matanya berapi-api, taringnya 

mencuat, lidahnya terjulur dan meneteskan cairan merah darah. Lima jari tangannya 

menggapai ke depan seperti hendak merobek muka nelayan muda itu, membuat si 

nelayan menjerit dalam tidurnya hingga istrinya terbangun dan mengguncang 

tubuhnya.

 

“Ada apa……?” tanya sang istri. “Kau bermimpi……?’ 

 

“Entahlah….. Mungkin. Tapi aku tak ingat mimpi apa….. Ah sudahlah. Tidur 

saja kembali. Besok aku harus bangun pagi-pagi. Sudah janji dengan paklikmu untuk 

membantunya mengolah ladang…..” 

 

Kedua suami istri itu tidur kembali. 

 

Hampir menjelang pagi nelayan muda tadi mimpi lagi. Mahluk setan itu 

muncul lagi. Kali ini wajahnya tampak tambah mengerikan. Dengan penuh amarah 

mahluk ini bertanya “Malam ini sesuai perintahku kau harus turun ke laut. Mengapa 

tidak kau laksanakan…..?” 

 

“Aku….aku lup…..lupa…..” jawab si nelayan. 

 

“Dengar, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kesempatan terakhir. 

Malam besok kau turun ke laut. Jika tidak kau laksanakan maka anakmu kelak akan 

lahir cacat. Wajahnya akan seburuk wajahku….” Habis berkata begitu mahluk 

berwajah setan itupun lenyap. Kembali si nelayan terbangun dan tak dapat tidur 

sampai keesokan paginya. Sepanjang hari sampai sore dia lebih banyak duduk 

melamun sambil menghisap rokok, duduk di bawah cucuran atap pondoknya dan 

memandang ke tengah laut sementara hujan turun gerimis. Ada rasa takut dan ngeri 

kini dalam hati nelayan ini. takut kalau dia tidak mengikuti perintah mahluk seram itu, 

kelak anaknya lahir benar-benar akan cacat. Akhirnya malam itu, meskipun istrinya 

bertanya tak kunjung henti mengapa dia menyiapkan perahu dan turun ke laut, 

nelayan itu meninggalkan tepi pantai. Para tetangganya juga tampak keheranan 

menyaksikan. Tanpa peduli dia mengayuhkan perahunya ke tengah laut. Pulau Pangiri 

cukup jauh. Ombak agak besar dan hujan rintik-rintik yang turun saat itu setiap saat 

bisa berubah menjadi hujan besar lalu kalau sudah begitu badaipun datang 

menyongsong! 

 

Makin jauh ke tengah laut ombak terasa makin besar dan laut menjadi ganas. 

Perahu kecil itu laksana sebuah sabut yang dipermainkan dan dihantam gelombang 

tiada henti. Air laut memenuhi lantai perahu dan harus cepat ditimba keluar kalau tak 

mau tenggelam. Rasa takut menyamaki diri nelayan muda itu. Dia mulai berpikir-

pikir apakah tidak sebaiknya kembali saja sebelum dia tenggelam di lanun ombak dan 

mati jadi santapan ikan-ikan buas. Namun rasa takut melihat kenyataan kalau anaknya 

benar-benar lahir cacat kemudian hari, membuat nelayan ini lebih baik meneruskan 

merancah laut menuju pulau Pangiri. 

 

Hampir menjelang tengah malam, dalam keadaan basah kuyup dan tubuh letih 

kehabisan tenaga akhirnya dia sampai juga ke pulau tujuan. Sesuai pesan mahluk 

setan itu dia hentikan perahu sekitar seratus kayuhan dari pulau Pangiri. Anehnya saat 

itu laut di tempat dia berhenti tampak tenang sekali, tak ada ombak apalagi 

gelombang. Sedang hujanpun tiba-tiba saja berhenti. Dengan tanagn gemetar nelayan 

itu mengambil kailnya lalu memasang umpan pada mata kali yakni seekor teri basah. 

Lalu kail dilemparkannya ke dalam laut. Tali pancingan diulur sampai habis. Dan dia 

menunggu dengan hati berdebar. 


BAB 3


Nelayan muda itu tidak tahu entah sudah berapa lama dia duduk di atas perahunya 

memegangi pancing. Tapi sampai tubuhnya jadi tambah letih dan tanagnnya pegal 

serta matanya terkantuk-kantuk masih belum terasa ikan atau apapun yang menyentuh 

mata kailnya. Dia mulai berpikir mungkin mimpi yang dialaminya itu benar-benar 

hanya mimpi biasa atau mimpi gila! Dia memutuskan untuk menunggu beberapa lama 

lagi dan berusaha mempersabar diri. Jika sampai sekian lama tak ada juga terjadi apa-

apa maka dia akan kembali pulang. 

 

 Tak lama kemudian selagi kesabarannya hampir habis dan dia siap untuk 

pulang saja, mendadak nelayan ini merasakan sesuatu menyambar mata kailnya, keras 

sekali. Secepat kilat kayu pancingannya disentakkan lalu dibetot ke atas dengan hati 

berdebar.

 

Seekor ikan berbentuk aneh berwarna hitam yang tak pernah dilihatnya 

sebelumnya menggelepar di mata kailnya. Cepat ikan ini dijatuhkannya ke dalam 

perahu, ditangkapnya dengan tangan kiri agar jangan sampai mencemplung lagi ke 

dalam laut. Diperhatikan dekat-dekat, binatang ini memiliki kepala yang seram. 

Kedua matanya menonjol lebar, ada sebentuk taring yang menonjol keluar. Lalu pada 

bagian atas depan di antara kedua mata terdapat lobang aneh. Di kedua sisi kiri kanan 

di bawah mata terdapat sirip tebal yang mencuat ke atas. Kepala ikan hitam ini 

mengingatkan nelayan itu pada kepala dan wajah mahluk seram dalam mimpinya. 

Jangan-jangan binatang ini penjelmaan mahluk itu. 

 

Ingat apa yang kemudian harus dilakukannya maka dari balik pinggang 

celananya dikeluarkannya sebilah pisau. Dengan tangan gemetar ditorehnya perut 

ikan itu. aneh, ternyata badan ikan itu atos sekali. Dengan susah payah bahkan sampai 

keringatan baru dia akhirnya dapat memotong bagian perutnya. Dengan ujung pisau 

dikoreknya isi perut binatang itu. Di antara isi perut yang berbusaian terlihat sebuah 

benda putih. Ternyata sebentuk cincin dengan ukiran kepala ular sendok. Tangannya 

gemetar ketika menyentuh cincin itu. Sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Si nelayan 

merasakan tubuhnya menjadi sangat enteng. Pemandangannya menjadi tajam dan 

pendengarannyapun demikian pula. Cepat-cepat cincin itu dimasukkannya ke dalam 

saku celana dan saku itu diikatnya dengan seutas tali. 

 

Sesuai perintah dalam mimpi, ikan hitam itu dibakarnya sampai hancur. Sisa 

pembakarannya dibuangnya ke dalam laut. Saat itu tiba-tiba kilat menyambar, guntur 

menggelegar dan hujan lebat turun. Laut mengganas, ombak menggila. Ketakutan 

nelayan itu segera kayuh perahunya meninggalkan tempat tersebut. Menjelang pagi 

dia sampai ke pantai. Di pantai dilihatnya istrinya sudah menunggu dengan cemas. 

Beberapa tetangga dan teman-temannya ikut menjemput ke pantai. Mereka semula 

heran ketika melihat perahu miliki nelayan muda muda itu penuh dengan ikan-ikan 

besar. Padahal si nelayan sama sekali tidak membawa jala. Tentu saja semuanya 

bertanya bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Menangkap ikan demikian 

banyaknya! Selain itu bukankah udara sangat buruk dan hujan lebat turun terus 

menerus sepanjang malam? Yang lain memperbincangkan keberaniannya pergi 

melaut seorang diri. Nelayan itu sama sekali tak bisa menjawab apa-apa. Dia juga 

merasa heran bagaimana tahu-tahu dalam perahunya ada sekian banyak ikan? Tanpa 

berniat untuk memunggah isi perahunya, nelayan itu memegang lengan istrinya 

langsung mengajaknya pulang ke rumah. 



Selama tiga hari tiga malam nelayan itu jatuh sakit. Diserang demam panas 

yang membuatnya mengigau dan meracau sepanjang saat. Hari keempat baru sakitnya 

lenyap dan sepanjang hari dia duduk di depan rumah, memandang jauh ke tengah laut. 

Cincin baja putih berkepala ular yang ada dalam saku pakaiannya senantiasa 

digenggamnya erat-erat. Dia menjenguk ke dalam rumah. Istrinya sibuk di belakang. 

Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memandang berkeliling. Takut ada seseorang atau 

istrinya tiba-tiba muncul. Setelah pasti dia hanya sendirian maka cincin ular kobra itu 

dimasukkannya ke jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diacungkannya lurus-lurus 

ke depan. Lalu dicobanya menggigit bibirnya sebelah bawah. Mendadak terdengar 

suara bersuit, seperti suara seruling, kencang dan menusuk liang telinga. Suara aneh 

itu disusul dengan melesatnya tiga cahaya putih, dua kecil, satu agak besar. Cahaya 

ini menyambar ujung atap rumahnya. Langsung atap rumah itu hancur berantakan. 

Membuat bukan saja si nelayan menjadi terkejut dan pucat wajahnya tapi sang istri 

yang sedang bekerja di belakang bergegas lari ke depan rumah untuk melihar apa 

yang terjadi. 

 

Sore harinya dengan alasan hendak memeriksa perahu, nelaayn itu 

meninggalkan rumah. Diam-diam dia pergi ke bukit yang terletak tak jauh di selatan 

perkampungan. Di hadapan sebuah pohon besar dia berhenti dan mengeluarkan cincin 

kepala ular kobra itu. Cincin dimasukkannya ke jari telunjuk. Jari ini diluruskannya, 

diarahkan ke batang pohon besar. Bersamaaan dengan itu digigitnya bibinya. 

Terdengar suara bersuit. Tiga cahaya putih berkiblat. Cahaya ini mengahantam batang 

pohon. Batang yang dua kali pemeluk manusia itu hancur berantakan dan pohon 

tumbang dengan suara gemuruh. Nelayan itu melompat ketakutan saking rasa tidak 

percayanya. Dengan perasaan campur aduk, setangah berlari nelayan itu menuruni 

bukit. Di tengah jalan dilihatnya sebuah batu gunung besar hitam. Dia ingin mencoba 

dan membuktikan keampuhan cincin sakti itu kembali. Cincin dikeluarkannya 

dipakainya lagi pada jari telunjuk. Ketika diacungkan ke arah batu sambil menggigit 

bibir, melengking suara seruling lalu sinar yang melesat keluar menghancur leburkan 

batu besar itu  

 

Sejak dia memiliki cincin sakti tersebut si nelayan menunjukkan perubahan 

sikap. Hampir setiap hari dia selalu mengurung diri dalam rumah atau duduk 

termenung di bawah atap memandang ke tengah laut. Perubahan dirinya ini bukan 

saja mengherankan istrinya, tetapi juga para tetangga dan kawan-kawan. Namun 

sampai sebegitu jauh tak seorangpun mengetahui apa sebenarnya telah terjadi dengan 

dirinya, termasuk istrinya. 

 

Pada masa itu umumnya kampung-kampung nelayan dan desa-desa di sekitar 

pantai banyak yang berada dalam keadaan tidak aman. Para perompak atau bajak laut, 

jika tidak mendapatkan hasil jarahan di laut banyak yang turun ke darat melakukan 

perampokan, merampas harta benda penduduk termasuk bahan makanan serta 

melakukan penculikan. Kampung di mana nelayan muda tadi tinggal tak bebas dari 

bencana itu. Sejak setahun belakangan ini sudah dua kali bajak laut mendarat 

melakukan perampokan, perampasan penculikan dan pembunuhan. 

 

Sore itu, menjelang malam hujan baru saja mulai berhenti setelah turun 

seharian. Laut tampak tenang tak seorangpun nelayanpun berani turun menangkap 

ikan. Menurut pengalaman meskipun laut tampak tenang namun sewaktu-waktu udara 

atau cuaca bisa berubah mendadak. Selewatnya tengah malam kampung yang 

diselimuti kesunyian dan dibungkus udara dingin berembun yang mengandung garam 

itu tiba-tiba diramaikan oleh suara kentongan. Mula-mula suara kentongan ini 

terdengar dari pantai sebelah timur. Lalu merambat ke barat dan bersahut-sahutan 


dengan kentongan di dalam kampung sampai ke kaki bukit. Di mana-mana terdengar 

teriakan-teriakan “Perompak…..perompak!” 

 

“Bajak laut datang! Bajak laut datang!” 

 

“Semua orang lekas lari! Tinggalkan rumah kalian!” 

 

“Selamatkan diri!” 

 

Serta merta kampung nelayan itu menjadi hiruk pikuk. Orang-orang 

perempuan berpekikan. Anak-anak 

bertangisan. 

Orang-orang 

lelaki 

segera 

mengumpulkan anak istri mereka dan melarikannya ke tempat yang aman jauh di 

balik bukit. Beberapa pemuda bersenjatakan golok, kelewang dan tombak berkumpul 

membentuk barisan pertahanan, siap berjibaku. Tapi kepala kampung segera menemui 

mereka. 

 

“Tak ada gunanya melawan perompak itu. Jumlah mereka jauh lebih banyak 

dari kita! Di samping itu mereka banyak memilki senjata-senjata hebat. Mungkin juga 

meriam besar! Kalian semua ikut kami menyelamatkan diri!” 

 

Salah seorang pemuda menjawab. “Kami tahu mereka lebih banyak. Tapi 

kami tidak takut! Kami rela mati demi kampung halaman.kalau bajak itu tidak diberi 

perlawanan, mereka akan selalu datang mengganggu!” 

 

“Soal perlawanan kita bicarakan nanti! Sekarang lekas angkat kaki dari sini! 

Tak ada artinya jadi pahlawan sia-sia….!” 

 

Baru saja kepala kampung itu berkata begitu, dari tengah laut tampak kilatan 

api. Sesaat kemudian didahului oleh letusan menggelegar sebuah benda bulat 

bercahaya melayang menuju perkampungan. 

 

“Mereka 

menembakkan 

meriam!” 

teriak 

kepala 

kampung. 

“Lekas 

menyingkir!” 

 

“Bajak laut keparat! Dari mana mereka mendapatkan senjata pemusnah itu!” 

maki seorang pemuda. Tapi saat itu nyalinya sudah lumer dan buru-buru dia 

melarikan diri mengikuti kawan-kawannya yang telah menyingkir lebih dahulu 

bersama kepala kampung. 

 

Di tengah laut tampak sebuah kapal kayu besar menurunkan lebih dari selusin 

perahu kecil yang masing-masing berisi empat sampai lima orang. Bajak laut itu 

serentak mulai mengayuh menuju pantai perkampungan nelayan yang kini telah sunyi 

senyap ditinggalkan seluruh penduduknya. 


BAB 4


Soma, nelayan muda itu memegang lengan istrinya erat-erat. Perempuan 

yang hamil muda ini tak bisa berlari cepat karena takut jabang bayi dalam 

kandungannya mengalami cidera. Sekali dia terjatuh bayi itu bisa cacat. Hal itu juga 

yang dikhawatirkan Soma. Karenanya mereka tertinggal jauh dari penduduk kampung 

yang telah lari lebih dulu. Pada saat mencapai kaki bukit mendadak Soma ingat akan 

cincin sakti baja putih berkapal ular sendok yang ada dalam saku celananya. Jika 

cincin itu sanggup menghancurkan batang kayu dan batu besar, berarti terlalu mudah 

baginya untuk menghantam lumat tubuh manusia. Selintas pikiran muncul dalam 

benak Soma. 

 

Maka diapun berkata pada istrinya. “Istriku, aku akan antarkan kau sampai ke 

balik bukit itu bergabung dengan orang-orang sekampung…..” 

 

“Lalu, kau sendiri hendak ke mana…..?” tanya sang istri heran. 

 

“Aku akan kembali ke kampung…..” 

 

“Kembali ke kampung? Perompak-perompak itu akan membunuhmu!” 

 

“Aku harus kembali. Ada sesuatu yang akan kulakuan. Aku berjanji akan 

menemuimu lagi dalam waktu cepat. Kau tak usah kawatir…..” 

 

“Tentu saja aku sangat kawatir. Apa yang hendak kau lakukan, Kakak Soma?” 

 

“Tidak…..tidak apa-apa. Aku hanya sebentar.” 

 

Sang istri tetap tak mau ditinggal. Sebaliknya Soma bersikeras untuk kembali. 

Begitu sampai di bali bukit, nelayan muda ini tinggalkan istrinya. Telinganya seperti 

tidak perduli akan jeritan sang istri yang tiada henti memanggil. 

 

Ketika Soma sampai di kampungnya kembali dilihatnya puluhan bajak tengah 

menjarah isi rumah penduduk. Mereka membawa apa saja yang dianggap berharga 

termasuk ternak. Bajak-bajak laut ini tampaknya marah sekali tidak menemukan 

seorang pendudukpun di perkampungan itu. Padahal sebelumnya mereka sudah 

berniat untuk menculik anak gadis dan istri orang. Kemarahan kini ditumpahkan pada 

rumah-rumah penduduk yang segera mereka bakar dan hancurkan. 

 

Soma bersembunyi di balik sebtang pohon yang bagian bawahnya penuh 

dengan semak belukar. Cincin baja putih dikeluarkan dari saku dan cepat dikenakan 

ke telunjuk tangan kanan. Perompak yang terdekat berada sekitar delapan tombak di 

seberangnya, tengah melangkah sambil menggiring seekor kambing. 

 

Soma kertakkan rahang. Dia tahu betul kambing itu adalah kambing 

mertuanya. Nelayan muda ini gigit bibir sebelah bawah. Suara seperti seruling 

melengking tinggi. Tiga cahaya putih melesat dari cincin baja berkepala ular kobra itu. 

anggota bajak yang tengah menggiring kambing tidak sempat mengetahui apa yang 

terjadi dalam dirinya. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dia mati tanpa mengeluarkan 

jeritan dengan kepala hancur. Kambing yang barusan dicurinya mengembik tiada 

henti dan lari dalam kegelapan malam. 

 

Nelayan muda itu tegak dengan lutut goyah tubuh gemetar serta tengkuk 

dingin. Keringat mericik di keningnya. Wajahnya seputih kertas. Seumur hidup dia 

tak pernah membunuh manusia. Malam itu dia melakukannya. Dan dia menyaksikan 

kematian perompak itu begitu mengerikan. Semula hendak ditinggalkannya tempat itu 

dan lari ke bukit saking takutnya. Namun ketika di bagian lain dia menyaksikan para 

anggota bajak menghancurkan dan membakar rumah-rumah penduduk, darahnya 

terbakar kembali. Soma menyelinap dalam kegelapan. Dua bajak ditemuinya dekat 

surau kampung, siap membakar bangunan itu. Soma angkat tangan kanannya, 


diacungkan lurus-lurus ke arah punggung bajak yang siap melemparkan obor ke atap 

surau yang terbuat dari rumbia. Soma gigit bibirnya. Dan suara seruling melengking. 

Tiga cahaya putih berkiblat. Bajak itu keluarkan pekikan maut. Tubuhnya terpental 

menghantam dinding surau lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. 

 

Bajak yang satu lagi tentu saja kaget bukan kepalang. 

 

“Hai! Kau kenapa?!” tanyanya berseru lalu membungkuk meneliti keadaan 

kawannya ini. Mukanya kontan mengerenyit ngeri ketika melihat punggung 

kawannya yang berlobang hancur dan darah menyembur! Dia berdiri kembali sambil 

memandang berkeliling. Pada saat itulah ada tiga larik cahaya putih menyilaukan 

menderu ke arahnya. Cepat dia melompat ke samping, tapi terlambat. Cahaya itu 

menghantam lebih cepat, tepat pada keningnya. Separuh kepalanya sebelah atas 

hancur. Tubuhnya tergelimpang tanpa nyawa! 

 

Tiga orang kawannya yang kemudian muncul di tempat itu sangat terkejut 

serta merta melakukan pemeriksaan. Salah seorang menyuruh kawannya memberi 

tahu pemimpin mereka. 

 

“Dia dibokong dari belakang. Punggungnya hancur! Tapi lukanya aneh. Ini 

bukan seperti bekas tusukan pisau atau pedang. Mungkin ditusuk dengan tombak 

besar…..gila! Siapa yang melakukan.” 

 

Bajak yang satu berdiri dengan muka tegang. Tiba-tiba dia mendengar suara 

aneh. Seperti tiupan suling yang sangat nyaring. Dia berpaling ke kiri, arah datangnya 

suara itu. Justru saat itu pula tiga larik sinar putih menghantam perutnya. Anggota 

bajak ini menjerit dan terlipat ke depan. Perutnya ambrol. Darah dan usus memberurai 

keluar. Kawannya yang satu lagi berteriak tegang dan melompat. Dia melihat jelas 

ada cahaya putih yang menyambar, menghantam perut kawannya. Namun dia tidak 

tahu pasti cahaya apa. Dia memandang ke arah kegelapan. Rasa takut menggerayangi 

dirinya. Serta merta dia putar tubuh tinggalkan tempat itu. Namun dia baru lari tiga 

langkah ketika suara seruling kembali menggema dan sinar putih menghantam 

pinggangnya sampai putus! 

 

Soma kepalkan tangan kirinya. Lima bajak laut yang ganas-ganas telah 

dibunuhnya. Seperti kesetanan dia menyelinap ke jurusan lain untuk mencari anggota-

anggota bajak lainnya. Siap untuk membunuh mereka dengan kekuatan sakti cincin 

baja ular kobra yang ada di jari telunjuk tangan kanannya. 

 

Ketika Boga Damar, pemimpin bajak laut sampai di tempat tersebut bersama 

dua orang anak buahnya, membeliak matanya. 

 

“Mereka….. Gila! Mereka mati…. Mereka dibunuh!” teriaknya marah. 

 

Baru saja dia berteriak, di kejauhan terdengar jeritan beberapa kali  berturut-

turut. 

 

“Hai! Ada cahaya putih berkelebat di sebelah sana!” seru salah seorang bajak. 

 

“Mungkin sambaran petir…..!” kawannya menduga. 

 

“Jangan ngacok!” sentak Boga Damar, marah dalam keterkejutannya. “Malam 

ini memang mendung, tapi tak ada hujan yang akan turun. Lagi pula mana ada peitr 

tanpa geledek?!” 

 

Si anak buah terdiam tak berani menyahuti. Namun dalam hatinya tetap saja 

dia heran dan bertanya-tanya. 

 

“Dengar….. Ada jeritan lagi! Susul menyusul!” kata bajak satunya lagi. 

 

“Setan alas! Apa yang sebenarnya terjadi!” Boga Damar mendadak menjadi 

tegang. Dia memberi isyarat agar dua anak buahnya mengikuti. Ketiganya 

meninggalkan empat bajak yang telah menemui kematian itu tanpa melakukan 

pemeriksaan. Mereka lari ke jurusan timur kampung, dari arah mana jeritan-jeritan itu 

tadi terdengar dan cahaya-cahaya aneh tampak berkiblat. 


Sampai di sebuah lapangan kecil di mana para anggota bajak mengumpulkan 

barang-barang jarahannya sebelum diangkat ke atas kapal, Boga Damar menyaksikan 

pemandangan yang sangat mengejutkan dan hampir tak dapat dipercayainya. Bulu 

kuduknya merinding. 

 

Sembilan anak buahnya menggeletak malang melintang di tanah. Mereka 

menemui ajal dengan salah satu bagian tubuh atau kepala hancur. Lalu dua orang lagi 

terlihat mati dengan cara sama dekat reruntuhan sebuah rumah. Empat lainnya di 

bawah pohon dan dua lagi di antara tumpukan barang-barang rampasan. 

 

Rahang menggelembung, pelipis bergerak-gerak dan kedua tangan terkepal 

serta merta mendelik Boga Damar membentak. “Siapa yang melakukan ini semua? 

Apa yang sebenarnya terjadi?!” 

 

Tentu saja tak seorangpun anak buahnya dapat memberikan jawaban. 

 

“Ada yang tak beres di tempat ini…..!” sentaknya lagi. 

 

“Mungkin……mungkin ada setan atau jin……!” 

 

“Aku tak percaya segala macam setan ataupun jin!” memotong kepala bajak 

ketika anak buahnya coba membuka mulut. 

 

“Tapi Boga, kau tahu sendiri. Tak seorang pendudukpun kelihatan di tempat 

ini. atau mungkin seorang sakti…..” 

 

“Kalau memang ada akan kupatahkan batang lehernya!” tukas Boga Damar 

garang.

 

Mendadak terdengar suara melengking. 

 

“Hai! Tiupan seruling itu!” seru salah seorang bajak. “Tadi kudengar berulang 

kali sebelum disusul jeritan. Ada cahaya menyambar ke mari……!” bajak itu cepat 

melompat ke samping. Tiga larik sinar putih melesat dan di belakang sana seorang 

perompak tubuhnya terpental jauh lalu tergelimpang mati dengan dada berlubang 

hancur!

 

Boga Damar dan yang lain-lainnya lari memburu namun gerakan mereka 

tertahan dan semuanya terpaksa selamatkan diri cerai berai ketika sinar puih aneh 

kembali berkiblat dan dua orang di antara mereka terdengar menjerit lalu roboh 

tergelimpang. Satu menemui ajal dengan leher hampir putus, satunya lagi merintih 

sesaat sambil pegangi perutnya yang memburai lalu kaku tak bergerak lagi! 

 

“Bangsat! Siapa yang melancarkan serangan gelap ini!” rutuk Boga Damar 

sambil bertiarap. Namun mulutnya serta merta terkancing dan lidahnya menjadi kaku 

ketika anak buahnya yang ikut bertiarap di sebelah kanannya kembali menemui 

kematian dengan cara mengerikan, batok kepala hancur disambar tiga larik sinar putih 

mengerikan itu! 

 

Boga Damar adalah seorang kepala bajak berhati ganas dan tidak kenal takut. 

Membunuh manusia sama mudahnya baginya dengan membalikkan telapak tangan. 

Berbagai lawan telah dihadapinya tanpa rasa takut. Tapi saat itu rasa takutnya tak 

dapat lagi dikendalikan. Dia tidak tahu dengan lawan atau kekuatan apa sebenarnya 

dia tengah berhadapan. Dan musuh tanpa kelihatan seperti itu, mana mungkin dia 

menghadapinya. 

 

“Kalian semua lari ke perahu!” kata Boga Damar masih tetap tiarap. “Kembali 

ke kapal! Bawa barang rampasan yang bisa dibawa! Lekas!” 

 

Enam anggota bajak yang tadi sama-sama bertiarap di tanah cepat berdiri. 

Namun dua di antaranya segera roboh kembali ketika sinar putih aneh tiba-tiba 

muncul lagi dan menyambar tubuh mereka. Yang empat terus kabur sementara Boga 

Damar yang melihat kejadian itu dan semula hendak merangkak bangun cepat 

jatuhkan diri lalu berguling beberapa kali sampai akhirnya dia dapat berlindung di 

balik reruntuhan rumah. Dari sini dia memandang tajam menembus kegelapan di arah 


sederetan pohon waru di ujung timur lapangan. Suara lengkingan aneh seperti 

seruling serta sambaran cahaya putih yang menyebar maut itu datangnya dari balik 

deretan pohon-pohon waru itu. Kepala bajak ini hunus golok besarnya lalu berkelebat 

cepat ke balik rumah-rumah penduduk, melompat ke arah semak belukar hingga 

akhirnya dia sampai ke dekat pepohonan waru. Sejak saat dia mulai melakukan 

penyelinapan itu sampai akhirnya mencapai deretan pohon-pohon waru lima anak 

buahnya telah menemui ajal pula dihantam tiga larik sinar maut. 

 

“Ini pasti biang keparatnya!” serapah Boga Damar ketika dia melihat sesosok 

tubuh tegak di balik pohon waru paling ujung kanan sambil mengangkat tangan dan 

acungkan jari telunjuk. Dari jari telunjuk inilah kepala bajak itu mendengar ada suara 

seruling aneh melengking menusuk telinga yang disusul oleh semburan tiga larik sinar 

terang. Lalu di kajauhan sana terdengar suara anak buahnya menjerit meregang nyawa. 

 

Dengan golok besar di tangan, Boga Damar melompati orang yang tengah 

melakukan pembataian itu. Goloknya berdesing, langsung menyambar batang leher! 

 

Seperti diketahui Soma adalah seorang nelayan yang sama sekali tidak 

memiliki ilmu kepandaian silat apalagi kesaktian dan tenaga dalam. Namun dengan 

adanya cincin keramat baja putih erbentuk kepala ular kobra atau ular sendok itu 

maka dia berubah menjadi seorang luar biasa. Matanya dan pendengarannya menjadi 

sangat tajam. Karenanya, sebelum Boga Damar membabatkan goloknya, Soma telah 

mendengar kedatangan kepala bajak itu. Cepat dia membalikkan tubuh lalu jatuhkan 

diri ke tanah ketika golok menyambar, mengenai tempat kosong dan menghantam 

pohon waru hingga batang pohon ini hampir terbabat putus. 

 

“Bangsat! Manusia atau jin! Kau tak akan bisa lolos dari golokku!” teriak 

Boga Damar. Dia menyergap ke arah Soma. Golok besarnya meluncur lebih dulu. 

Senjata ini seperti buntut ikan yang menggelepar, bergetar kian ke mari seolah-olah 

berubah menjadi banyak. Jelas kepala bajak laut ini sengaja mengeluarkan 

kepandaiannya memainkan golok karena ingin mencincang Soma saat itu juga. 

 

Melihat golok datang menderu sedemikian rupa, kecut juga hati nelayan muda 

itu. tetapi cincin keramat yang ada dalam jari telunjuknya membuat Soma percaya diri 

sendiri dan tidak memandang sebelah mata pada lawan. Ujung golok hanya tinggal 

tiga jengkal dari kepala Soma ketika nelayan ini acungkan jari telunjuknya ke arah 

Boga Damar, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat. 

 

Boga Damar seperti mendengar angin puting beliung melabrak kedua 

telinganya. Selagi serangan goloknya mengendur karena terkejut dan terpengaruh 

oleh bunyi yang nyaring tadi, saat itu pula tiga sinar halus menyilaukan datan 

menyambar dari depan. Boga Damar tahu betul, sinar aneh inilah yang telah 

membunuh lebih dari dua lusin anak buahnya. Maka kepala bajak ini lemparkan 

goloknya ke arah dada Soma. Di saat yang sama serentak dia menghantam dengan 

tangan kiri. 

 

Ternyata golok Boga Damar tidak cukup ampuh. Senjata ini terpental 

berantakan disambar tiga larik sinar putih. Lalu sebelum pukulan tangan kirinya 

sempat mengenai Soma, tiga sinar yang keluar dari dua mata dan mulur cincin ular 

kobra menghantam mukanya dengan telak. Kepala bajak ini hanya sempat keluarkan 

pekik pendek. Tubuhnya mental ke balakang. Ketika tergelimpang di tanah, tubuh itu 

tampak tanpa kepala lagi! 

 

Puluhan anggota bajak yang masih hidup menjadi gempar ketika mengetahui 

pimpinan mereka telah menemui ajal. Enam orang di antara mereka dengan marah 

dan kalap, emmegang berbagai macam senjata segera mengurung dan menyerbu 

Soma. Namun mereka semuah hanya menjadi sasaran empuk sambaran tiga larik 

sinar putih, mati bergelimpangan dengan badan dan kepala hancur! 


Melihat hal ini anggota bajak yang masih hidup menjadi lumer nyali masing-

masing dan mereka bersirebut cepat lari ke pantai memasuki perahu-perahu kecil. 

Soma yang sudah sejak lama mendendam oleh keganasan para bajak itu mengejar 

sampai ke tepi pasir. Dari sini, dengan sinar putih yang keluar dari cincin baja 

keramat itu dihancurkannya satu persatu perahu-perahu itu hingga tak ada satupun 

yang tinggal utuh. Para bajak terjun berhamburan ke dalam laut. Namun mereka tidak 

menemukan selamat karena sinar putih yang datang menghantam mereka semua 

terjengkang mati dalam air! 


BAB 5


Ketika Soma kembali ke balik bukit di ujung kampung, istrinya masih menangis 

ditemani oleh kepala kampung bersama istrinya. Begitu Soma datang sang istri 

langsung memeluknya. 

 

“Soma……! Dari mana kau?!” Kepala kampung nelayan bertanya.  

 

“Sa…..saya barusan dari kampung kita…..” 

 

“Kau mencari mampus Soma! Masih untung kau bisa kembali selamat. Apa 

yang kau lakukan di tempat itu…..?!” 

 

“Melihat perampok itu mati terbunuh.” 

 

“Mati dibunuh? Jangan melantur Soma! Siapa yang membunuh mereka…..?” 

 

“Saya tidak tahu…..” sahut Soma sementara penduduk kampung nelayan itu 

semakin banyak mengelilingi Soma dan kepala kampung, mereka ikut mendengarkan 

pembicaraan. “Perahu-perahu mereka hancur. Saya lihat juga banyak bajak itu yang 

menemui ajal di laut. Kapal kayu milik mereka melarikan diri dengan sisa-sisa bajak 

yang tidak  seberapa jumlahnya…..” 

 

Kepala kampung memandang berkeliling pada penduduk yang mengungsi itu. 

semua jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Soma memegang tangan istrinya. Lalu 

berkata “Jika kalian tidak percaya, lihat saja ke kampung. Mayat-mayat perompak itu 

harus disingkirkan sebelum menjadi busuk. Aku dan istriku akan kembali ke 

kampung….” 

 

Sesaat setelah Soma dan istrinya pergi, kepala kampung kembali memandang 

berkeliling. “Bagaimana menurut kalian….?” Tanyanya. 

 

“Kami rasa Soma tidak berdusta…..” seorang nelayan menjawab. “Kalau 

bajak masih gentayangan di kampung kita masakan ia mau kembali bersama 

istrinya….”

 

“Kalau begitu….” Kepala Kampung itu berpikir-pikir sejenak. “Kita kembali. 

Aku dan lima orang di atara kalian pergi lebih dahulu. Yang lain-lain mengikuti agak 

jauh di belakang. Hingga kalau terjadi apa-apa yang di belakang bisa cepat 

menyelamatkan diri….” 

 

Ketika kepala kampung dan lima orang penduduk yang kemudian disusul oleh 

seluruh pengungsi itu sampai dan kembali ke kampung mereka, selain sedih melihat 

rumah mereka banyak yang dirusak serta dibakari sedang harta benda juga banyak 

rusak dan hanyut di laut, penduduk juga heran bercampur gembira menyaksikan 

puluhan anggota bajak menemui kematiannya. Gembira karena kini manusia-manusia 

jahat penimbul malapetaka itu mendapat balasan dan ganjaran. Heran karena sulit 

menerka siapa yang telah melakukan itu semua. Membunuh sekian banyak anggota 

bajak laut bahkan pemimpinnya sendiri. Lalu menghancurkan belasan perahu. Di 

antara penduduk ada yang menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu 

semua. Tetapi tentu saja lebih banyak yang tidak bisa mempercayainya. Soma, 

seoerang nelayan muda yang masih harus banyak belajar tentang bagaimana 

menangkap ikan dengan segala kesederhanaannya itu, mana mungkin dia mampu 

melakukann itu. Seorang diri pula? Ilmu silat dan kesaktian apa yang pernah 

dimilikinya? 

 

Sewaktu ditanyai dan didesak terus menerus Soma akhirnya menjawab. 

“Ketika saya kembali ke kampung, pemimpin bajak dan anak buahnya itu sudah 

bergelimpangan mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuh mereka. Mungkin Tuhan 



telah mengirimkan uluran tanganNya untuk menolong kita yang selama ini selalu 

ditimpa bencana….” 

 

Adapun Soma sendiri sejak kejadian itu hampir selalu mengurung diri dalam 

rumah. Cincin keramat baja putih senantiasa disimpannya dalam saku celanaya dan 

diikatnya erat-erat. Setiap saat peristiwa mala itu seolah-olah terbayang terus di ruang 

kepalanya, membuatnya sulit tidur dan sukar makan. Membunuh sekian puluh 

manusia menimbulkan kegoncangan hebat dalam jiwa nelayan muda ini. Dia lebih 

banyak bermenung dan jarang bicara dengan istrinya sendiri, apalagi dengan para 

tetangga. 

 

Perobahan sikap tabiat Soma ini tentu saja membuat heran sang istri dan juga 

tetangga-tetangga. Hingga mau tak mau kembali penduduk kampung berkesimpulan 

bahwa pasti ada hubungan tertentu antara Soma dengan peristiwa yang 

menggemparkan malam itu. 

 

Peristiwa tersebut akhirnya tersiar pula ke desa-desa dan kampung-kampung 

terdekat. Banyak di antara penduduk yang sengaja datang untuk melihat sendiri sisa-

sisa kejadian itu. dan karena desas-desus yang dipergunjingkan selalu membawa-

bawa nama Soma maka tentu  saja banyak orang datang mengunjunginya. Lama-lama 

hal ini membuat nelayan itu merasa sangat terganggu. Selain itu dia khawatir 

rahasianya akan terbongkar. Maka setiap hari dia lebih banyak mengucilkan diri ke 

dalam rimba belantara di balik bukit. Menjelang malam dia baru kembali ke rumah. 

 

Apa yang telah terjadi di kampung nelayan itu sampai pula ke telinga seorang 

abdi dalam keraton yang dia di Bantul. Bersama beberapa orang sahabatnya abdi 

dalem ini mendatangi kampung nelayan guna mencari keterangan lebih jelas. Atas 

saran penduduk mereka juga berusaha menemui Soma, tapi nelayan ini telah lebih 

dulu melenyapkan diri ke tempat persembunyiannya dalam hutan. 

 

Selama berada dalam tempat persembunyiannya di hutan, setiap saat Soma 

merenung. Dengan memiliki cincin keramat dan sakti itu kini dia telah menjadi 

seorang berkepandaian tinggi, berkemampuan luar biasa. Kepandaian dan 

kemampuan seperti itu mungkin tak satu orang lainpun memilikinya. Bukan saja para 

adipati atau tumenggung, atau patih kerajaan, bahkan Sultan sendiripun mungkin 

tidak mempunyai kehebatan seperti itu. Kemudian memikir kalau dia jadi nelayan 

terus menerus, apa yang bakal didapatnya dalam masa hidup mendatang? Apa 

salahnya kalau dia kini berusaha mencari kedudukan di kotaraja, menjadi pasukan 

pengawal raja atau kepala pengawal istana. Atau mungkin juga kepala balatentara 

kerajaan? Jadi tumenggung atau adipati atau mapatih kerajaan? Membayangkan 

kedudukan yang tinggi itu serta kemampuan luar biasa yang dimilikinya, bulatlah 

tekad Soma untuk pergi ke kotaraja. Di sana dia kenal seorang tumenggung yang 

ketika ayahnya masih hidup mempunyai hubungan baik dengan sang tumenggung.

 

Malam harinya begitu sampai di rumah Soma segeramengatakan pada istrinya 

bahwa besok dia akan berangkat ke ktoaraja. Apa tujuannya sama sekali tidak 

diceritakannya pada perempuan itu. Tentu saja sang istri terheran-heran mendengar 

maksud suaminya. Namun menyadari bahwa Soma tak bisa dicegah maka sang istri 

hanya bisa meminta agar Soma lekas kembali. Yang penting kalau dia melahirkan 

beberapa bulan di muka Soma harus ada di sampingnya. Soma berjanji akan kembali 

sebelum istrinya melahirkan. 

 

Tumenggung Cokro Buwono tentu saja gembira mendapat kunjungan anak 

bekas sahabatnya di masa muda. Namun dia jadi terkejut ketika mendengar 

permintaan Soma agar dia membantu mendapatkan pekerjaan sebagai kepala 

pengawal istana di kotaraja. 


“Soma,” kata sang tumenggung. “Hidup dan bekerja sebagai nelayan hampir 

tidak ada bedanya dengan seorang anggota pasukan keraton. Malah bagiku yang 

sudah tua ini jika harus memilih, aku akan lebih suka jadi soerang nelayan. Hidup 

lebih tenang, dekat dengan alam ciptaan Tuhan dan tidak memiliki tanggung jawab 

yang besar…..” 

 

Ketika Soma mendesak agar Cokro Buwono membantunya mendapatkan 

kedudukan yang diinginkannya itu, sebenarnya tumenggung ini ingin mengatakan 

bahwa untuk jadi kepala pengawal, jangankan kepala pengawal, kepala regu 

pengawal sajapun sangat berat ujiannya. Dan dia tahu sebagai seorang nelayan di 

sebuah kampung pantai selatan Soma tidak memiliki kepandaian apa-apa yang dapat 

dijadikan dasar keprajuritan. Dan jadi kepala pengawal bukan main-main karena 

harus mempertanggung jawabkan keselamatan raja beserta keluarganya. 

 

“Jika kau memang sudah tidak suka jadi nelayan, dan ingin merubah jalan 

hidup, aku bisa memberikan pekerjaan padamu di sini Soma. Asalkan jangan jadi 

perajurit…..”

 

“Terima kasih tumenggung. Saya tak ingin cari pekerjaan lain, selain jabatan 

seorang perwira di istana. Kalau tumenggung tak bisa menolong tak jadi apa. Hanya 

bisakah tumenggung membuat sepucuk surat untuk memperkenalkan saya pada 

mapatih kerajaan…..?” 

 

Tentu saja Cokro Buwono tidak mau meluluskan permintaan Soma itu. dia 

tahu siapa adanya Soma dan tak mau mendapat malu mengirimkan soerang pemuda 

yang mungkin bisa dianggap “kurang waras” menemui patih kerajaan. 

 

“Kau pulang sajalah Soma. Aku akan memikirkan permintaanmu itu dan 

memberi tahu kalau memang ada kemungkinan satu jabatan bagimu dalam 

lingkungan istana….” Kata Cokro Buwono akhirnya. 

 

“Saya tahu…..” kata Soma dengan nada kecewa sambil tundukkan kepala. 

“Saya memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk jadi bekal seorang perajurit. 

Tetapi jika saja tumenggung dapat memberikan satu ujian, niscaya saya akan dapat 

melakukannya….” 

 

“Ujian untuk jadi seorang perajurit, apalagi yang bertugas dalam lingkungan 

istana tidak ringan. Salah-salah bisa membawa celaka diri sendiri bahkan kematian!” 

 

“Apapun akibatnya akan saya tanggung,” jawab Soma dengan masih terus 

menundukkan kepala. 

 

Tumenggung Cokro Buwono tak tahu apa lagi yang harus diucapkannya. 

 

“Apakah kau sanggup berkelahi empat puluh jurus melawan perwira penguji? 

Apakah kau sanggup menunggang kuda dan membalap binatang ini ke puncak bukit 

sambil melemparkan tombak ke sasaran yang sudah ditentukan dan harus kembali ke 

kaki bukit pada hitungan ke seratus? Apakah kau berani diuji mengahadapi seekor 

raja hutan…..?” 

 

“Menurut hemat saya yang bodoh ini, cara menguji seorang kesatria seperti itu 

sudah kuno……” 

 

Terbelalak Tumenggung Cokro Buwono mendengar ucapan Soma itu. “Lantas 

ujian mana yang menurutmu lebih pantas?!” Tumenggung ini mulai kehilangan 

kesabaran. Apalagi saat itu dia harus menghadiri satu pertemuan penting. 

 

“Mohon maafkan saya  tumenggung,” ujar Soma yang melihat kekesalan 

orang. “Kalau saya tidak salah dengar saat ini para pemberontak yang datang dari 

utara semakin menunjukkan gerakan-gerakan yang berbahaya. Terlebih setelah 

mereka merasa mendapat dukungan dari beberapa adipati di timur. Bagaimana kalau 

menghancurkan sarang-sarang pemberontak itu dipergunakan sebagai batu ujian bagi 

saya……?” 


“Maksudmu kau akan memimpin sejumlah pasukan untuk menumpas 

mereka….?” 

 

Soma menggeleng. “Saya hanya perlu petunjuk di mana letak sarang mereka, 

siapa-siapa pemimpin mereka. Lalu saya akan menumpasnya seorang diri!” 

 

Tumenggung Cokor Buwono tertawa gelak-gelak sampai kedua matanya 

berair. Ingin sekali dia menampar mulut pemuda yang lancang itu. Kalau tidak ingat 

dia adalah putera almarhum sahabatnya di masa muda pasti itu sudah tadi-tadi 

dilakukannya. Apa yang diucapkan Soma tentu saja sangat menghina dan 

merendahkan kewibawaan apra perwira istana, para adipati dan tumenggung dan 

mapatih kerajaan! 

 

“Soma…..Soma. Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati, 

puluhan perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan petunjuk 

raja sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa yang harus 

dilakukan dan bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku kau berkata 

sanggup menghancurkan mereka seorang diri. Dewa apa yang masuk ke dalam 

tubuhmu hingga kau bicara demikian kerennya?” 

 

Soma tersenyum kecil. 

 

“Tumenggung Cokro,”  katanya. “Tentu sudah mendengar peristiwa 

menggemparkan kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang bernama 

Boga Damar di kampung kami…..” 

 

Tumenggung berjanggut putih itu mengangguk. 

 

“Seorang abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu. 

Hanya aku tidak tahu kalau ku berasa dari kampung yang sama…. Sampai saat ini 

tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu 

orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan gerombolan perompak itu!” 

 

“Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, 

apakah tumenggung mau merahasiakannya dan berjanji tidak akan menceritakannya 

pada siapapun….?” Bertanya Soma. 

 

“Aha…. Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang 

menggemparkan itu. Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu….” kata 

Tumenggung Cokro Buwono pula. 

 

“Bagus kalau begitu…..” 

 

“Bagus bagaimana?” 

 

“Tumenggung mau berjanji memegang rahasia?” 

 

Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala. 

 

“Baik, aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada 

siapapun!”

 

“Yang melakukannya adalah saya.” 

 

Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada 

Soma. 

 

“Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani 

mempermainkan petinggi kerajaan……?’ 

 

“Saya tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud 

mempermainkan siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya hormati.” 

Jawab Soma pula. “Apa yang saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang 

membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin mereka…..” 

 

“Seorang diri?!” 

 

“Seorang diri tumenggung…..” 

 

“Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan 

bicara yang tidak-tidak….” 


“Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada 

dalam keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat 

menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta. 

Bahwa saya benar-benar waras danmampu untuk melakukannya demi tantangan 

jabatan yang saya pertaruhkan…..”  

 

Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit 

baginya untuk mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini 

kelihatannya bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil 

pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur 

ruangan besar itu, kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono 

kembali menemui Soma. 

 

“Baiklah Soma, aku akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak 

menghancurkan kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari 

utara wates ada segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan 

keganasan rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri 

yang telah membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah gerombolan rampok itu jika 

memang kau mampu. Setelah berhasil melakukan ujian itu baru kita bicarakan 

lagi…..”

 

“Terima kasih tumenggung…..” kata Soma seraya menjura hampir berlutut. 

“Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa 

kepala Warok Grindil!” 


BAB 6


Tidak sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di gedung 

kediaman Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh 

debu. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu 

tumenggung muncul di ambang pintu sebelah dalam. 

 

“Ujian telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya,” ucap Soma. 

 

Saat itu Cokro Buwono diiringi  oleh beberapa pembantunya, termasuk 

seorang sahabat dari kadipaten Sleman. 

 

“Apa ini bungkusan itu Soma?” tanya sang tumenggung sambil bersaling 

pandang dengan orang-orang di sekitarnya. 

 

Dengan cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka 

kelihatanlah sepotong kepala manusia yang sebagian sudha hancur dan tertutup darah 

yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan bau busuk! 

 

“Kepala siapa itu?!” tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan 

tercekik dan sambil menutup hidungnya. 

 

“Itu kepala Warok Grindil!” 

 

Yang menjasab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung. 

 

“Oo ladalah….!” Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi 

gedung menjadi gempar. “Singkirkan kepala tu. Buang jauh-jauh…..” perintahnya 

kemudian. Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai. 

 

“Soma, benar kau yang membunuh kepala rampok itu?” tanya tumenggung 

kemudian. 

 

“Saya bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira 

selusin anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang 

berhasil lolos…..” 

 

Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya 

tapi matanya menyaksikan sendiri. 

 

“Kalau begitu….” Kata tumenggung kemudian, “Sementara kau boleh tinggal 

di sini. Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan 

orang-orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri dengan 

menghancurkan kaum pemberontak itu tentu bakal dikabulkan.” 

 

“Terima kasih tumenggung. Terima kasih…..” jawab Soma berulang kali, haru 

dan gembira. 

 

“Kalau aku boleh bertanya,” Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut, 

“Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan dapat 

membunuh pimpinannya?” 

 

Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab, “Maafkan saya, hal itu tak mungkin 

saya ceritakan.” 

 

Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun 

Tumenggung Cokro Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa 

Soma ke balakang dan memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini. 

 

Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu 

apa yang disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah mendapat 

petunjuk dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan sepengetahuan mapatih 

maka pada tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma diizinkan untuk melakukan 

penumpasan terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal berarti dia akan menerima 

kematian di tangan pemberontak. Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan istana 


akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan 

bukan kepala pengawal apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata nelayan 

itu hanya omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting istana 

maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada itu tanpa setahu 

Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang di 

bawah pimpinan seorang pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak 

gerik serta apa yang akan dilakukan nelayan bernama Soma itu. 

 

Ketika kepada Soma disampaikan bahwa istana menyetujui rencananya untuk 

menjalani ujain dengan cara menumpas kaum pemberontak, nelayan ini gembira 

sekali. Sang tumenggung yang masih mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya 

itu berkata “Soma, kau boleh mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan 

perajurit. Percayalah bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi 

kaum pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka 

terdiri dari orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian tinggi…..” 

 

“Terima kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, 

kalau diizinkan biarkan saya pergi sendiri…..” 

 

“Terserah padamu……” jawab Cokro Buwono. Pagi harinya ketika dia 

menyuruh pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi, ternyata 

nelayan itu sudah tak ada lagi di kamarnya. 

 

Berdasarkan peta yang diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung 

Cokro Buwono, Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para 

pemberontak. Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak 

mempergunakan perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai 

menunggang kuda) maka perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama. 

Hampir tiga puluh jari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para 

pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan 

orang-orangnya telah menguntit perjalanannya. 

 

Dengan hati-hati Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga 

hari dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum 

pemberontak itu dan pada kembah-kemah mana mereka berdiam. Setelah seluk beluk 

di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui 

bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan perundingan penting antara pucuk 

pimpinan para pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan mereka mengatur 

waktu untuk menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa kota kadipaten 

sebelum melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja. 

 

Ketika perundingan dilakukan dalam kemah, Soma bersembunyi dalam 

sebuah gerobak barang yang terletak tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin 

pengawal tampak berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam 

para pengawal itu terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar 

dari cincin ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari 

kain tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada di dalam. Membayangkan 

kedudukan tinggi yang bakal didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan 

cincin baja ular kobra dan cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik 

dengan hati-hati. Ketika dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking. 

Tiga larik sinar putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun salah 

seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya semula. Akibatnya 

sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus! 

 

Jeritan pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan 

datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah segera 

pula keluar berhamburan. 



“Ada apa……?” salah seorang bertanya. 

 

Para pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya 

menunjuk dengan ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga 

larik halus sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya 

keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, perutnya berloang besar. 

Darah mengucur, usus membusai! 

 

Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali 

tampaksinar putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak kembali 

menjadi korban! Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak dengan senjata 

terhunus berdatangan, tapi mereka tak tahu hendak berbuat apa. Musuh yang telah 

membunuh para pemimpin mereka sama sekali tidak diketahui siapa dan di mana 

adanya. 

 

Namun sesaat kemudian seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah 

perundingan secara tak sengaja sempat melihat asal datangnya sambaran sinar putih 

yang membawa maut itu. Dia segera berteriak 

 

“Lihat! Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!” 

 

“Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!” 

 

Puluhan perajurit segera menghambur. 

 

Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi gugup 

dan keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan para 

pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke arahnya. 

Sebuah tombak, walaupun tidak telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan 

luka cukup parah. “Celaka! Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!” kata Soma 

dalam hati dan mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap. 

Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan 

hantaman sinar putih. 

 

Memikir sampai di situ Soma lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi, 

menunggu di balik kerapatan semak belukar. Begitu para pengejar muncul di 

kegelapan, dia segera acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus. Sinar 

putih berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti. Sosok-

sosok tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh bergelimpangan 

setumpuk demi setumpuk. Para pengejar sebelah belakang hentikan pengejaran 

mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai berai. Sampai Soma lari jauh 

meninggalkan tempat itu tak seorangpun yang berani bergerak. 

 

Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya 

membuat tubunya makin lama makin letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana 

meninggalkan markas kaum pemberontak ketika kedua kakinya tak sanggup lagi 

digerakkan. Tubuhnya roboh ke tanah, setengah sadar setengah pingsan. 

 

Pada saat itulah lima penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan 

terdengar berkata “Naikkan dia ke atas kuda cadangan!” 

 

 

Dua orang melompat turun dari kuda masing-masing, mengangkat tubuh 

Soma itu memacu kuda masing-masing tinggalkan tempat tersebut. 

 

“Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti 

dulu di sini. Aku harus memeriksa keadaan orang itu!” 

 

Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini  terus 

mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan 

penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia 

dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma 

mengacungkan telunujuk  tangan kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan 

tinggi yang disusul dengan melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar biasa. 


Apapun adanya ilmu yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada jari 

telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa 

tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin putih 

yang melingkar di jari telunjuk orang itu. 

 

Arga Kusumo tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada 

cincin aneh berbentuk kepala ular itu. Namun dia adalah seorang pangeran yang 

cerdik. Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat 

dia meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan 

sangat lemah, karena terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan untuk 

menggerakkan tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir tak 

sanggup.

 

“Ja….jangan am…..jangan ambil cin…..cincin itu…..” suara Soma perlahan 

dan tersendat. 

 

“Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu 

Soma. Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan 

jabatan tinggi padamu…..” 

 

Paras Soma sesaat tampak seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin 

itu, kembali dia berkata “Kembalikan cin…..cin itu. Masukkan ke…. ke jariku…..” 

 

“Soma, kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan 

bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan 

melesatkan sinar putih…. Katakan apa manteranya…..” 

 

Soma tak menjawab. 

 

Arga Kusumo tahu orang itu sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti 

yakin kalau memang cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma. 

Kalau tidak mengapa dia begitu mementingkan benda tersebut. 

 

“Jangan kawatir Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. tapi yang 

penting kau harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya….” 

 

“Tak ada mantera apa-apa….” Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa. 

 

Mati? Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih 

terdengar degupan jantung meskipun perlahan. 

 

“Soma, dengar…. Kau tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami 

kembalikan pada  istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau 

jelaskan bagaimana menggunakannya….” 

 

Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya 

semakin tertutup dan pemandangannya semakin gelap. 

 

“Soma, lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup 

pada istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada 

gunanya rahasia itu kau bawa ke liang kubur…..” 

 

Soma tetap diam. 

 

Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu. guncangan ini membuat Soma 

mengeluh kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti dicopot datu demi 

satu. 

 

“Ayo Soma. Lekas katakan…..” 

 

Akhirnya Soma membuka mulut juga. “Kau…..kau hanya memasukkan cincin 

itu ke jari telunjukmu. Lalu…..lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah 

bawah. Sesudah itu……ada suara melengking. Lalu…..lalu…..” Soma tak sanggup 

lagi meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi 

wajah sang istri tiba-tiba lenyap danmendadak digantikan oleh wajah setan, mahluk 

berjubah putih yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak marah sekali. Dia mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma 

terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah! 

 

Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian 

nelayan itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata “Mari kita 

tinggalkan tempat ini.” 

 

“Bagaimana dengan jenazah orang ini…..?’ tanya salah seorang pengikut. 

 

“Bagaimana apa maksudmu?” balik bertanya sang pangeran. 

 

“Bukankah jenazahanya harus kita urus? Bukankah dia layak mendapat 

penghargaan karena telah menumpas kaum pemberontak?’ 

 

Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai. “Jika kau merasa begitu, kau 

uruslah sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!” 

 

Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya. 

Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya 

dia merasa sedih melihat nasib Soma. 

 

Seringai yang masih mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo 

mendadak lenyap ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam. 

Lima kuda tunggangan meringkik keras, langsung berhenti berlari dan melonjak-

lonjak liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang tinggi melayang 

turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit sehelai 

selendang merah dan di balik punggungnya orang ini membekal sebilah golok besar 

tanpa sarung! 

 

Hebat dan ganasnya, sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung 

hantamkan kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut sang 

pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua 

penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa! 

 

“Orang tak dikenal! Siapa kau yang berani menyerang kami!” teriak Pangeran 

Arga Kusumo marah sekali. 

 

Orang berpakaian kuning menjawab  bentakan itu dengan gelak tawa berderai, 

membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada keempat 

pengikutnya “Bunuh pengacau itu!” 


BAB 7



Empat orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan 

mengurung orang berbaju kuning. 

 

“Pangeran Arga! Tunggu dulu…..!” Si baju kuning berseru sambil angkat 

tangannya.

 

“Hemmmm….. jadi kau tahu berhadapan dengan siapa? Mengapa tidak lekas 

minta ampun?!” memotong sang pangeran. 

 

“Justru karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh. 

Sebagian dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang tejadi di markas 

pemberontak telah kusaksikan. Aku juga  mengetahui apa yang kau lakukan dengan 

Soma……” 

 

“Apa urusanmu dengan semua ini?!” 

 

“Tentu saja ada…..! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu. 

Kedua sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri 

milik orang lain…..!” 

 

“Mencuri milik orang lain?! Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek 

mulutmu!” Pangeran Arga Kusumo tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang 

ini sebelumnya dan berusaha menduga-duga siapa adanya. 

 

Si baju kuning tertawa. 

 

“Aku tak punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya 

untuk mengambil cincin milik Soma yang tadi kau ambil!” 

 

“Hemmm….. Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di 

malam buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!” 

 

Orang berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. “Siapa yang tidak kenal 

Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini 

adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah 

Blorok!”

 

Empat orang pengikut sang pangeran menjadi pucat mendengar orang itu 

memperkenalkan diri. Sedang sang pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar 

hatinya ketika mengetahui siapa adanya manusia berpakaian kuning yang 

menghadang. Tapi dia tak mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai 

pangeran muda yang memang memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata “Orang 

lain mungkin takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan 

kami orang-orang keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari 

hadapanku!”

 

“Pangeran, jika kau tak mau mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti 

kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin 

keramat itu dari tanganmu secara kurang ajar!” 

 

“Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!” 

Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak 

buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja 

merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian silat 

dan ilmu perang. Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat jurusan. 

Empat senjata berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok, 

termasuk satu yang membabat ke arah kepalanya. 

 

Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke 

punggung. Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing aneh. 


“Trang-trang-trang.” 

 

Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari 

mereka melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan tangannya  menyebur 

darah, hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil 

pegangi dada. Senjatanya telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke 

tanah. Ada darah keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini 

mati karena sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit 

jantungnya.

 

“Kurang ajar!” bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali. Tubuhnya 

melayang ke bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah memegang 

pedang pendek milik anak buahnya yang barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini 

saja jelas pangeran muda itu memiliki kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning 

Lembah Blorok tidak gentar. 

 

“Pangeran, haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan 

cincin itu secara baik-baik?” Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil 

melintangkan golok tipis di depan dada. 

 

Sebagai jawaban sang pangeran langsung saja menyerbu musuh dengan 

tusukan berantai, deras dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat 

dia merobah kedudukan kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis. 

 

“Trang!” 

 

Pedang pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya 

dia sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan 

sakit amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap 

menyeringai. 

 

“Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?”

 

“Tidak!” sahut Arga Kusumo tandas. Dia lemparkan patahan pedang ke tanah 

lalu menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang 

yang memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong 

dia cepat sisipkan goloknya ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran 

Arga. Setelah tujuh jurus berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang 

pangeran masih jauh di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-

bulanan pukulan akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia berusaha 

bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya yang robek 

itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia menyimpan 

cincin baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya astaga! Ternyata cincin 

itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi Kelelawar Kuning Lembah Blorok 

saat itu telah lenyap! 

 

Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah 

Sabrang Lor, orang tertua dari Enam kelewang Maut. 

 

“Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tetntu ada 

kelanjutan ceritanya. Kalau tidak bagaimana kemudian kau muncul mengatakan 

bahwa manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda itu…..” 

 

Lor Sebrang mengangguk. “Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap 

pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik 

merenggut jiwa manusia lebih dari dua puluh orang…..” 


“Kalau kau mengetahui cincin itu mengundang mau bagi pemiliknya dan 

orang lain, mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin memilikinya?” bertanya Wiro. 

 

“Aku sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,” 

menyahuti Sebrang Lor. “Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk 

memilikinya…..” 

 

“Lantas?” 

 

“Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-

orang pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh 

beberapa ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari 

cincin itu dan mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun 

sebegitu jauh tidak satupun di antara kami berhasil….” 

 

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk 

kebajikan pasti banyak manfaatnya…..” 

 

“Kau benar.” Ujar Sebrang Lor pula. “Tetapi lebih banyak malapetakanya 

daripada manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya cenderung 

mempergunakan untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan pribadi walaupun 

jalan yang ditempuh menimbulkan bencana bagi orang lain. Kau bisa bayangkan 

kalau cincin sakti itu jatuh ke tangan manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng…..” 

 

“Tadi aku mendengar manusia berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut 

seorang pangeran. Agaknya pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan 

perajurit untuk mengejar dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu 

apakah pangeran itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam 

penuturanmu tadi…..?’ 

 

“Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja yang aku tidak mengerti 

bagaimana dia bisa mempergunakan pasukan Demak untuk melakukan hal itu. 

Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak dengan Kotagede. Atau sang 

pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak ingin orang dalam mengetahui 

rahasia cincin sakti itu.” 

 

“Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah 

selanjutnya benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu Ireng….?” 

Bertanya Wiro. 

 

“Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi, 

mohon maaf saja. Sebentar lagi pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin jauh. 

Kami tak punya waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami 

sampaikan…..” 

 

“Amanat apa?” 

 

“Dalam pertemuan di danau Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan 

orang segolongan wajib memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu 

mendapatkan cincin itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam 

malapetaka yang mengerikan…..” 

 

Wiro merenung sejenak sambil menggaruk rambut. “Yang aku kawatirkan,” 

katanya kemudian “Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki 

cincin keramat itu jadi berubah pikiran!” 

 

“Kau benar Pendekar 212,” menyahuti Sebrang Lor. “Karena itulah, begitu 

bertemu cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami 

harus pergi sekarang. Kau mau membantu?” 

 

Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk. 


BAB 8


Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah 

makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh 

seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam. 

Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro 

tak dapat melihat wajah orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga kepala 

dan keseluruhan wajahnya tertutup. Beberapa kali Wiro sengaja menggeser duduknya 

untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat sebahagian 

janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun demikian dia sudah 

cukup puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang ditemuinya dua malam 

lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi riwayat puluhan perajurit 

Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng. Manusia yang kini 

memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu. 

 

Tapi di mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di 

masing-masing tangannya? Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu 

Ireng tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia 

memiliki satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat 

cepat. Bukan mustahil si baju hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang 

menyerangnya di bawah hujan lebat, dalam rimba belantara di malam buta dua hari 

lalu. Wiro memutuskan untuk melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu. 

kalaupun tenyata parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya 

malam itu, maka dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu 

bertindak aneh. Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau 

tidak ingin menyembunyikan maka apa maksudnya? 

 

Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya 

ketika dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis disantapnya 

lalu melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan orang ini, semakin 

curiga pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi 

langkahnya yang cepat dan sikapnya yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang 

sembarangan. 

 

Di luar hujan turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung 

jalan. Sebelum menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar 

kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada 

orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari kini. 

Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping lebar 

itu tak kelihatan lagi. Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya jalan, 

lurus tanpa tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah kanan 

sungai kecil berair kuning. 

 

Pendekar kita garuk-garuk kepala, 

 

Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!” maki Wiro dalam hati. Dia 

memandang berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap 

saja orang yang tadi dikuntitnya tidak tampak. “Kalaupun dia menyeberang kali, pasti 

masih sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia menyelam ke 

dalam kali atau…..?” 

 

Wiro memutar tubuhnya. 

 

Pada saat itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara 

perempuan. 



“Orang berambut gondrong, kau mencariku……?!’ 

 

Wiro  putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua. 

Ketika dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian 

hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya 

menunduk hingga wajahnya tetap sulir dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng 

membetot lepas caping lebar itu. 

 

“Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang….?!” 

 

Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya 

tertangkap basah mengiuti orang. 

 

“Aku tidak mencarimu!” sahut Wiro. 

 

“Hemmm….” si baju hitam bergumam. “Baiklah kalau kau tidak mencariku 

katamu. Tapi jelas kau mengikutiku bukan…..?” 

 

Wiro menyeringai. 

 

“Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan  ucapanku walau malu 

mengakui!” 

 

Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212. 

 

“Terus terang, aku mencurigaimu…..” kata Wiro akhirnya. 

 

“Sama! Akupun mencurigaimu!” sahut si baju hitam bercaping lebar. 

 

“Kenapa kau mencurigaiku?” tanya Wiro penasaran. 

 

Mulut di bali caping lebar itu tertawa. 

 

“Kau menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, 

apa itu tidak cukup alasan untuk mencurigaimu?!” 

 

“Aku bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?” tukas murid Sinto 

Gendeng.

 

“Mungkin kau lebih jahat dari maling atau rampok!” ganti menukas si baju 

hitam. 

 

Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek. 

Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan. 

Makin lama makin keras. 

 

“Selain lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras. 

Kalau tidak mengapa kau tertawa tanpa alasan?!” 

 

Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak 

menembus caping bambu itu. 

 

“Sobat, kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk 

menghajarmu!” 

 

“Hebat betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini?!” 

 

“Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!” maki Wiro. “Dua 

malam lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku 

maling rampok. Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut busuk! 

Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!” 

 

“Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku 

menyerangmu, hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran dua malam lalu 

hingga orang inginkan jiwamu?! Kini hebatnya menawarkan segala macam syarat! 

Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan 

perjalanan!” 

 

“Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai 

dunia persilatan! Bukankah itu tujuanmu….?” 

 

Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak 

dapat melihat wajah lelaki berjanggut ini. 


“Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga 

tidak pernah mimpi hendak menguasai persilatan!” 

 

Wiro menyeringai. “Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah 

membunuh puluhan perajurit Demak dua malam lalu? Kau hendak berdusta. Padahal 

aku sendiri berada di tempat kejadian itu….!” 

 

“Ternyata otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang 

perajurit-perajurit Demak itu!” 

 

“Apa yang kuketahui…..?” Wiro tertawa panjang. 

 

“Kau membunuh habis mereka semua!” 

 

“Aku tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!” 

 

“Nada pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat 

menyembunyikan bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian malam 

itu…..”

 

“Ada sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-

perajurit Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Pangeran Arga 

Kusumo?!” 

 

“Heh….. Kau menyebut nama pangeran itu!” ujar Wiro. Dia ingat pada kisah 

yang dituturkan Sebrang Lor. “Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo?!” 

 

“Justru aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau 

kawanmu?!” balik menyentak si caping lebar. 

 

Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut 

juga dengan kasar dan jengkel “Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran. 

Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu 

orang tua!” Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang 

berjanggut berpakaian hitam itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah. 

Jelas gerakannya mengandung kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang 

bisa melakukannya. 

 

“Berani menghadang berani menerima hajaran!” mengancam Wiro. 

 

“Bagus! Jika saat ii kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin 

kugebuk dulu baru kau mau bicara!” 

 

“Kampret hitam berjanggut buruk!” ujar Wiro “Kau ini siapa sebenarnya? 

Bukankah kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut? 

Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?” 

 

“Ah, semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau 

rupanya ada sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh 

itu!” 

 

Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu manggut-manggut. “Tidak ada kisikan 

tak ada alasan tiba-tiba saja kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu. 

maksudmu tentunya untuk menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya 

Randu Ireng yang kini memiliki cincin hasil rampasan itu!” 

 

“Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!” 

 

“Kalau begitu kau siapa?!” 

 

“Siapa aku apa perdulimu!” 

 

“Kampret brengsek!” semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan 

tempat itu. Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang gerakannya. 

 

Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya. 

 

Dengan jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang. 

Maksudnya hendak menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan. 

Karena itu dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras, 

ditambah sedikit tekanan tenaga dalam. Namun hampir tangan kirinya menyentuh 


lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat, mengelak ke samping kiri. Dari 

arah ini dia lepaskan serangna balasan berupa tusukan dua jari ke arah leher Wiro. 

Entah mau menotok entah mau menusuk tembus batang leher pendekar muda itu! 

Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas 

itu Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si baju hitam 

berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke arah batok 

kepala Wiro. 

 

Setelah berkelahi sampai sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera 

menyadari bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam lawannya jauh berada di 

bawahnya. Tetapi satu hal membuat orang itu sulit dihantam. Dia memiliki  kecepatan 

gerakan yang luar biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak 

sebat lalu balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya 

bukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju 

hitam ini berhasil menggebuk sang pendekar. 

 

Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium 

kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu merupakan 

seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka Wiropun mulai 

lancarkan serangan-serangan tipuan. 

 

Ketika lawan kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, 

tapi melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam. 

 

“Buk!” 

 

Jotosan melanda dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil 

menahan sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat 

wajahnya sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya, tapi 

yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya melentik 

keluar tanda dia dijalari rasa sakit. Di saat itulah pendekar dari gunung Gede ini 

menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang lawan, tetapi 

tidak terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik lepas caping lebar di 

kepala si baju hitam! 

 

Orang itu keluarkan seruan tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari 

kepalanya. Kedua tangannya membuat gerakan seperti hendak menutupi wajahnya. 

Dan seruan tadi itu?! Sesaat membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi topi. 

 

“Sialan! Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!” ujar Wiro dalam hati. 

 

Wajahnya meamang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan 

paras orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu. rambutnya 

kelihatan telah memutih dan digelung ke belakang sepert rambut perajurit. Kulit 

mukanya klimis dan sepasang matanya mengandung daya tarik tersendiri. Tidak 

pantas untuk mata seorang lelaki yang berhati keji. 

 

“Kembalikan caping bambuku!” seru si baju hitam. 

 

Wiro Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah 

caping itu kini dipakainya. 

 

“Jika kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan 

capingmu. Kalau tidak silahkan ambil sendiri!” 

 

“Bedebah!” si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi 

anehnya, setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan diri. 

 

“Hai!” seru Wiro mengejar. “Tunggu dulu!” 

 

Si baju hitam tambah mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana 

mungkin dia akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil 

mempersempit jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di 

kepalanya dan lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya. Entah disengaja entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang 

kepala orang, tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga 

bukan saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul 

rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke tanah 

sedang kepala itu kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai sebatas 

pinggang.


BAB 9


Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu. 

 

“Kampret apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang 

hitam!” ujar Wiro dalam hati. 

 

Di depan sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan 

diri tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak 

belukar tinggi. 

 

Kawatir orang hendak menipu lalu membokongnya, Wiro dekati semak 

belukan dengan hati-hati. Siap untuk memukulkan tangannya yang kiri atau kanan 

menjaga segala-segala kemungkinan. Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba 

mendengar suara orang menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan! 

 

Begitu sampai di balik semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah 

lelaki berjanggut dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu. 

 

“Kampret jantan ini kenapa menangis seperti betina?!” ujar Wiro sambil 

garuk-garuk kepala memandang keheranan. 

 

“Hai! Kenapa kau menangis!” tanya Wiro. 

 

Ditegur begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin 

jelas kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan! 

 

“Eh, orang ini lelaki atau perempuan……?” bertanya-tanya murid Sinto 

Gendeng dalam hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak 

menipunya, Wiro melangkah lebih mendekat. “Kalau dia memang perempuan 

mengapa berjanggut dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi terlepas…… 

Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng! Si ahli menyamar yang 

menguasai cincin baja kepala ular kobra!” maka memikir sampai ke situ Wiro tak 

mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah. 

 

Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro 

ajukan pertanyaan “Kau ini, sebenarnya siapa? Laki-laki atau perempuan….?” 

 

“Pergilah! Buat apa mengurusi diriku lagi!” kata si baju hitam. Suaranya kini 

jelas sekali suara perempuan. Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia 

tidak dapat lagi menyaru suaranya sebagai suara lelaki. 

 

“Hai! Jadi kau perempuan!” ujar Wiro. 

 

Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro 

merasa hiba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata. 

 

“Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang 

yang hendak membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih 

jauh. Ini capingmu….” Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang telah dipungutnya. 

 

Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu 

pada ujung sebuah ranting. 

 

“Sebaiknya aku tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalu kau 

suka menerangkan siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke 

mana……?” 

 

“Mungkin…..aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau 

menerangkan siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu 

menguntit…..” berkata perempuan itu di antara sesenggukkannya. 

 

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga. 

 

“Namaku Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu 

hendak membunuhku dalam rimba belantara…..” 


“Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu…..?” 

 

“Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!” maki 

Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab “Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu. 

Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu. 

Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu 

Ireng. Manusia terakhir yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja berkepala 

ular itu…..” 

 

“Cincin itu….” kata si baju hitam, “Tak habis-habisnya menimbulkan 

malapetaka…..” 

 

“Kau tahu banyak tentang cincin keramat itu…..?” tanya Wiro. 

 

Yang ditanya tak menjawab. 

 

“Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?” Wiro mendesak. 

Lalu cepat menyambung “Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau 

apa….?!” 

 

Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya 

tiba-tiba bergerak menanggalkan janggut dan  kumis lebatnya dan astaga! Kini 

berubahlah wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia kurang dari tiga 

puluhan, bermata bening dan teramat ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu 

sambil senyum-senyum dia bertanya “Apa perlumu melakukan penyamaran seperti 

ini…..?” 

 

“Jika kau seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab 

pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya. 

Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa……” 

 

“Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai 

alasan tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak 

ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan 

ke mana…..” 

 

“Aku datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku 

dalam perjalanan ke Kotaraja…..” 

 

“Lalu namamu…….?” 

 

“Ningrum…..” 

 

Wiro manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong. 

“Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?” 

 

“Mencari seorang pangeran bernama Arga Kusumo……” 

 

“Pangeran Arga Kusumo…..? Dia masih sanak kerabatmu?’ 

 

“Justru aku ingin  membunuhnya!” 

 

Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget. 

 

“Membunuh seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke 

kediamannya, para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!” 

 

Perempuan ayu itu menyeringai. “Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa 

dilakukan…..”

 

“Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?” 

 

“Dia membunuh suamiku!” 

 

“Ah, urusan dendam kesumat rupanya,” kata Wiro pula. “Tapi mengapa 

sampai pangeran itu membunuh suamimu?” 

 

“Dia merampas milik suamiku.” 

 

“Apa?” 

 

Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab. 

 

“Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan 

sesuatu padaku….” Wiro berpura-pura kecewa. 



Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut. 

 

“Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku…..” 

 

Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng. 

 

“Kalau begitu suamimu adalah Soma!” katanya. 

 

Kini perempuan itu yang ganti terkejut. 

 

“Bagaimana kau bisa tahu……?” 

 

Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam 

Kelewang Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih 

berkepala ular kobra itu. 

 

“Menurut Sebrang Lor kau tidak tahu banyak tentang cincin sakti yang 

dimiliki suamimu itu. Soma tewas dalam hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana 

kemudian kau mengetahui kematiannya….?” Bertanya Wiro. 

 

“Sejak musnahnya gerombolan bajak yang menyerang kampung, semua 

orang-orang termasuk aku menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu 

semua. Jika dia yang berbuat berarti dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar 

biasa. Dalam pada itu, tak lama setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono 

dan seorang pembantunya datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran 

Arga Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang 

telah menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, 

hendak mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku 

sengaja dibiarkan mati dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan 

mayatnyapun tidak diurusnya……” 

 

Sebagai seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak 

memiliki kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup 

mengherankan kalau kini dia menjadi seorang perempuan muda berkepandaian tinggi. 

Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan itu menuturkan lebih lanjut. 

 

“Setelah berita itu kuterima, ditemani oleh beberapa orang pembantu 

Tumenggung Cokro Buwono aku coba mencari jenazah Soma. Bagaimanapun 

jenazahnya walau hanya tinggal tulang belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami 

tak berhasil menemukan jenazah ataupun tulang belulangnya….” 

 

“Tunggu dulu,” ujar Wiro ketika dia ingat sesuatu. “Menurut penuturan 

Sebrang Lor, ketika Soma pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang 

hamil tua….” 

 

Ningrum mengangguk. “Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku 

melahirkan. Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah 

dilahirkan…..”

 

Kedua mata Nignrum kembali tampak basah. Setelah menyeka wajahnya 

beberapa kali dia meneruskan “Dalam perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-

orang Tumenggung Cokro Buwono bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka 

hendak memperkosaku beramai-ramai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, 

muncul seorang kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup. 

Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar 

ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya. 

Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku 

pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah 

meninggal. Kematiannya tidak wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan. 

Ada dugaan bahwa dia dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin 

rahasia kematian dan kepahlawanan Soma terbuka…..” 

 

“Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian 

suamimu….” 


Walau tak menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya. 

 

“Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat 

ini tentu dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit 

untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!” 

 

“Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku,” sahut Ningrum. 

 

Wiro garuk-garuk kepala. 

 

“Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?” tanya Wiro. 

 

“Kalaupun aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke 

dalam laut…..” 

 

Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. “Tidak mudah mendapatkan 

cincin itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang 

kini menguasainya….” 

 

“Tapi orang-orang sepertimu tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat 

ratusan korban lagi akan menemui ajalnya!” kata Ningrum. 

 

Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro. 

Setelah berpikir sebentar kemudian dia berkata “Bagiku tugas kita paling utama saat 

ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu…..” 

 

“Kita katamu?” ujar Ningrum. 

 

Wiro menyeringai. “Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali? 

Kurasa itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja mencari 

penyakit….”

 

“Kalau kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama 

apakah tidak akan menyusahkanmu?’ 

 

“Berjalan dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya. 

Kau sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu…..” 

 

Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap 

memakai caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut. 


BAB 10


Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng 

maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling 

tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal dengan 

panggilan Si Segala Tahu. 

 

Empat hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum 

juga sampai ke tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram. Entah karena 

keletihan mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka. 

Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian dia 

berpikir. 

 

Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik. 

 

“Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!” kata Ningrum. 

 

Wiro tersenyum. “Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan. 

Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana….?” Wiro menunjuk ke arah barat. 

 

“Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih…..?” 

 

“Itulah bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari.” 

 

“Sebenarnya siapa yang kita cari ini?” tanya Ningrum. 

 

“Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara 

kerontangan kaleng, beri tahu aku…..” 

 

Keduanya terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit 

kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki 

lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup 

oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak ada 

tumbuhan di situ masih belum terdengar suara apapun, termasuk suara kerontang 

kaleng.

 

“Aku tak mendengar suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang 

yang kita cari tak ada di sini!” Ningrum mulai merasa khawatir. 

 

Wiropun mulai merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki 

sampai ke puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam 

keadaan kosong. 

 

“Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih 

baik tinggalkan tempat ini…..” 

 

“Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini,” sahut Wiro. 

 

“Siapa yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam 

tubuhnya, disedot udara panas….?” 

 

“Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan 

tahun usianya tinggal di bukit ini….” 

 

Habis berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu 

berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan menyeramkan. 

 

“Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit 

ini!” 

 

Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang. 

Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti. 

 

“Kita pergi saja,” mengajak Ningrum. 

 

“Tunggu. Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul…..” 

Wiro hentikan kata-katanya. “Aku mendengar sesuatu…..” 


“Aku tak mendengar apa-apa……” kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat 

kepandaian dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi. 

 

“Dia muncul!” Wiro tertawa gembira. “Ikuti aku…..!” katanya lalu lari ke 

jurusan selatan bukit. Setelah lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar 

suara aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang 

dimasukkan dalam kaleng, lalu digoncang-goncang terus menerus. 

 

“Lihat! Itu dia!” seru Wiro seraya menunjuk ke depan. 

 

Memandang ke muda Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus, 

berpakaian penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah mereka. 

Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang dibuatnya sama dengan 

lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan bantuan tongkat kayu di tangan 

kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang kaleng rombeng di tangan kanannya. 

 

“Kakek Segala Tahu!” panggil Wiro Sableng. “Aku datang lagi! Apakah kau 

baik-baik saja selama ini….?” 

 

Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan 

kalengnya dan menyeringai. 

 

“Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak 

baik bukan? Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah 

menjadi mayat!” 

 

“Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itula aku datang mencarimu ke mari!” 

 

“Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal 

dunia persilatan apa soal jodohmu…..?” si kakek tertawa gelak-gelak. 

 

“Kek, kau tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar 

maut itu….” 

 

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum 

kempot dia berkata “Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang 

kau bawa ke mari ini….?’ 

 

Wiro garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas 

tampak kemerahan wajahnya. 

 

“Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan,” jawab 

Wiro. 

 

“Perempuan 

biasanya 

memakai 

pupur 

dan 

bergincu. 

Kalau 

perlu 

menghitamkan sedikit alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan  

saat ini sahabatmu ini memakai kumis dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini  

bukan mahluk aneh namanya? Atau mungkin dia pemain wayang wong!” si kakek 

tertawa lagi mengekeh. 

 

Wajah Ningrum semakin merah. Tapi dalamhati perempuan ini jelas sangat 

terkejut. Kakek itu jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau 

dirinya adalah seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala?! 

 

Kemudian didengarnya Wiro berkata “Ningrum, kau jangan tersinggung. 

Kakek ini memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih tajam 

penglihatannya dari kita.” 

 

Ningrum tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa 

kagum, meski juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi. 

 

“Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?” 

 

Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya. 

 

“Terakhir sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di tangan 

seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski 

memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin 

itu dia bisa menjadi orang nomer satu dalam dunia persilatan!” 


“Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar 

nasihatmu bagaimana caranya mencari dan menemui Randu Ireng…..” 

 

Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya 

yang memegang kaleng. 

 

“Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa 

sebelum kau dapat berhadapan dengan dia…..” 

 

Wiro garuk-garuk kepala.  Sementara Ningrum yang mendengar jawaban 

kakek buta itu merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban yang 

mereka dapat hanya seperti itu. 

 

“Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu….” 

Kata Wiro pula. 

 

“Ya….ya….ya….! Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan 

sangat cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran juga 

mengikutinya!”  Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali berturut-turut lalu 

meneruskan “Mencari langsung manusia bernama Randu Ireng itu sulit sekali. Sampai 

kiamat kurasa kalian tak akan berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu bisa 

mencari seorang perempuan cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian bisa 

menangkap Randu Ireng hidup-hidup.” 

 

“Siapa Ratu Mesum ini kek?” membuka mulut Ningrum untuk pertama 

kalinya.

 

“Ah, bagus kau bertanya begitu….” Sahut si kakek. “Nah, membuat urusan 

dengan si Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan 

cantik jelita, berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis 

pakaiannya itu hingga lekuk liku tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu 

sekujur tubuhnya menebar bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki. 

Akupun yang sudah tua bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan….” 

kata Si Segala Tahu lalu tertawa panjang. 

 

“Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?” bertanya Wiro setelah si 

kakek hentikan tawanya. 

 

“Ratu Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering 

berada di sebuah danau…..” Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu 

memberitahukannya pada Wiro. Lalu menyambung “Satu hal yang membuat sulit 

berurusan dengan perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar biasa. Setiap 

lelaki yang disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika 

sudah puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!” 

 

(Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang 

Kubur karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya) 

 

Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala mendengar keterangan itu sementara 

Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat reaksi si pemuda. 

 

“Ingin sekali aku menemui sang ratu itu…..” kata Wiro perlahan. 

 

“Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan 

saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin 

keramat itu, benda itu akan dirampasnya!” 

 

“Sialan! Berabe juga urusan ini!” ujar Wiro. 

 

“Apakah tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?” 

tanya Ningrum. 

 

Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu 

kerontangan kaleng berhenti diapun berkata “Ratu Mesum adalah yang paling 

mungkin memberikan bantuan. Apalagi kalau lelaki muda seperti sahabatmu itu yang 

memintanya. Lain dari itu kukira Randu Ireng hanya bisa dipikat dengan paras cantik 


dan tubuh bagus. Selagi dia lengah rampas cincin itu….. Hanya saja, kalian harus 

dapat membaca situasi….” 

 

“Membaca situasi bagaimana?” tanya Wiro.  

 

“Jika cincin itu berada dalam jari telunjuk, sekali-kali jangan dekati Randu 

Ireng. Jadi kalian harus melakukan sesuatu  sebelum dia sempat memakai cincin 

tersebut di jari telunjuk…. Nah, kurasa aku sudah memberikan semua keterangan 

yang kalian minta…..” 

 

“Kek,” Wiro cepat berkata ketika dilihatnya Si Segala Tahu hendak 

melangkah pergi. 

 

“Apalagi anak muda?” 

 

“Apakah tak ada cara lain menghadapi pikatan Ratu Mesum? Maksudku 

meminta bantuannya tanpa mau melayaninya di atas ranjang….. lalu lolos dari 

ancaman mautnya?!” 

 

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. 

 

“Selama dunia terkembang…..”katanya dibarengi dengan menggoyangi 

kaleng rombengnya, “Belum pernah kudengar ada kucing menolak daging. Begitu 

juga kaum lelaki. Belum pernah kuketahui tak ada lelaki yang tidak tertarik pada 

wajah cantik dan tubuh mulus merangsang. Nah….. buntut-buntutnya hanya terserah 

padamu anak muda. Putar otakmu bagaimana menundukkan rangsangan yang ada 

dalam dirimu sendiri. Sekali kau jatuh di atas perutnya, berarti maut sudah menunggu 

di puncak hidungmu. Ha….ha…..ha…..!” 

 

Wiro garuk-garuk kepala. Ningrum merasa jengkel mendengar ucapan si 

kakek, membuang muka memandang ke lain jurusan. 

 

“Manusia bernama Randu Ireng ini, kek….” Kata Wiro. “Mohon peunjukmu 

bagaimana mengetahui dirinya sebenarnya mengingat kepandaiannnya menyamar.” 

 

“Soal samar menyamar kawan seperjalananmu ini mungkin bisa membantu. 

Hanya satu hal yang kuketahui. Manusia bisa menyamar sejuta rupa, seribu kali 

dalam semalam. Tapi satu hal dia tidak bisa merubah. Yakni sepasang matanya, nah, 

si Randu Ireng itu menurut kabar yang aku dengar dia memiliki tanda titik hitam 

sebesar jagung pada bagian putih matanya sebelah kanan! Dia bisa merubah tampang 

dan pakaiannya. Tapi dia tidak bisa menghilangkan tanda pada matanya itu. Jika kau 

bertemu Ratu Mesum, harus kau terangkan hal itu….” 

 

“Kek, sekali lagi kau berhutang budi padamu. Entah kapan dapat membayar. 

Kami berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas segala petunjukmu…..” 

 

Kakek Segala Tahu cuma tertawa. Mendeongak ke langit lalu goyang-

goyangkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Sebelum mereka berpisah 

Ningrum tanggalkan caping lebarnya dan berkata “Kek, kau ambillah caping 

bambuku ini. Kulihat topi pandanmu sudah banyak lubangnya…..” Lalu tanpa 

menunggu jawaban apakah orang setuju atau tidak, Ningrum sudah ambil topi pandan 

butut dari kepala si kakek, memakaikannya ke kepalanya sendiri sedang caping 

bambunya dipakaikan ke kepala orang tua itu. 

 

Kakek Segala Tahu tertawa panjang. 

 

“Terima kasih….terima kasih perempuan cantik. Kelak kau akan mendapatkan 

jodoh baru. Seorang suami yang baik pengganti suamimu yang hilang itu!” 

 

“Kek!” Ningrum berseru seraya melirik pada Wiro Sableng. 

 

Si kakek buru-buru berkata “Jangan salah sangka Ningrum. Calon pengganti 

suamimu bukan pemuda tolol bernama Wiro Sableng ini…..! Ha….ha….ha!” Kaleng 

di tangannya kembali berkerontangan. 



penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com





BAB 11


Bulaksari merupakan kota pasar tempat penduduk sekitarnya mengirimkan hasil 

pertanian maupun ternak untuk dijual pada setiap hari Kamis. Karenanya kota ni lebih 

dikenal dengan sebutan Pasar Kamis. Sebagaimana biasa setiap Kamis pagi, di tanah 

lapang yang menjadi pusat pasar telah penuh dengan tumpukan sayur mayur, padi, 

ternak dan lain sebagainya yang siap menunggu pembeli. Para tengkulak berkeliaran 

menawar sana menawar sini. Bila harga cocok barang daganganpun diangkat, 

bertukar dengan uang. Para pemilik barang biasanya adalah para petani pulang 

dengan kantung penuh. Sebelum pulang biasanya mereka membeli dulu beberapa 

keperluan dapur. 

 

Hari Kamis itu, pasar hampir usai ketika sebuah gerobak besar ditarik dua 

ekor kuda yang tampak keletihan dan berhenti di tepi tanah lapang. Siapa pula yang 

membawa barang dagangan ketika pasar sudah bubar seperti ini. Demikian banyak 

orang yang ada di sekitar situ bertanya-tanya. 

 

Kusir gerobak, seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower turun dari 

gerobaknya. Sesaat dia memandang berkeliling. Lalu seperti tak acuh ditinggalkannya 

gerobaknya.

 

Seorang pedagang bertanya “Hai! Barang dagangan apa yang kau bawa ke 

mari? Apa tidak tahu kalau pasar sudah bubar?!” 

 

Kusir yang ditanya hanya angkat bahu. Sambil melangkah dia berkata 

“Sebentar lagi majikanku yang punya barang segera datang. Barang dagangan yang 

dibawanya bukan barang sembarangan. Walau pasar sudah bubar pasti kalian semua 

akan tertarik…..!” 

 

Kusir itu kemudian lenyap di tikungan jalan. 

 

Orang banyak yang masih ada di pasar itu dengan rasa ingin tahu tegak di 

sekeliling kereta. Setelah lama ditunggu-tunggu tak seorangpun muncul. Baik yang 

katanya majikan pemilik batang dalam gerobak, maupun sang kusir. Orang-orang 

yang ada di tempat itu kini jadi ingin tahu barang dagangan apa yang ada dalam 

gerobak tersebut. Mereka menyingkap dua lapis karung tebal yang menutupi bagian 

belakang gerobak. Ketika karung itu tersibak, orang yang tadi menyingkapkan 

terpekik dan mencelat mental dengan muka pucat. Yang lain-lainnyapun berseru 

kaget, memandang ke dalam gerobak dengan mata melotot. Yang berkerumun di 

sebelah belakang coba mendesak ke depan. Tapi begitu ada yang berteriak “Mayat 

manusia!” mereka urung mendekat. Dan pasar itupun menjadi gempar! Kini tak ada 

yang berani mendekati gerobak. Semua memandang dari kejauhan denan perasaan 

takut dan ngeri. 

 

Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum sampai ke Pasar Kamis justru ketika 

kegemparan itu berlangsung. 

 

“Hai! Jangan mendekat!” Seseorang berteriak ketika Wiro melangkah menuju 

gerobak.

 

“Ada mayat di dalamnya!” seru seorang lainnya. 

 

Wiro tidak perduli. Dia melangkah terus bersama Ningrum. Karung tebal yang 

baru sebagian tersingkap ditariknya dan dicampakkannya ke tanah. Kini dalam 

gerobak, terpentang pemandangan yang mengerikan. Bukan cuma satu mayat yang 

ada di situ. Tapi enam! 

 

Kalau tadi Wiro Sableng tidak menunjukkan rasa takut, namun setelah 

mengenali enam sosok mayat dalam gerobak, pemuda ini mau tak mau bersurut 


mundur dua langkah dan berpaling pada Ningrum. Suaranya perlahan sekali ketika 

berkata “Mereka….. Enam Kelewang Maut….” 

 

Kini Ningrum ikut terkejut. “Siapa yang membunuh mereka. Aku curiga…..” 

 

“Pasti Randu Ireng. Kulihat mayat-mayat itu berada dalam keadaan rusak. 

Ada yang hancur kepalanya. Belubang dada atau perutnya atau hampir putus lehernya. 

Kematian dengan luka mengerikan seperti itu hanya bisa disebabkan oleh cincin baja 

putih ular kobra!” 

 

“Kalau begitu orang yang kita cari tak berada jauh dari sini…..” 

 

Wiro membenarkan. Lalu cepat mencari keterangan dari orang-orang yang ada 

di situ. Mereka mengejar ke arah lenyapnya kusir gerobak. Namun tak mungkin untuk 

menemukan orang itu lagi. 

 

“Apa yang kita lakukan sekarang…..?’ tanya Ningrum. 

 

“Kita harus segera meneruskan perjalanan ke danau Karang Kates,” sahut 

Wiro. Dia memandang sekali lagi ke arah mayat-mayat malan dalam gerobak itu lalu 

cepat-cepat mengikuti Ningrum yang sudah melangkah pergi lebih dulu. 

 

Danau Karang Kates merupakan danau luas tetapi sunyi. Anehnya tak ada satu 

rumah pendudukpun terlihat di sapanjang tepi danau. Tak ada seorangpun dapat 

ditemui untuk mendapatkan keterangan. 

 

“Aneh,” kata Ningrum. “Mengapa tak ada rumah di sepanjang tepi danau. 

Padahal menurutku danau ini pasti banyak ikannya. Yang dapat dijadikan mata 

pencaharian…..”

 

“Tentu ada apa-apanya. Jika Ratu Mesum memang tinggal di sini, siapa yang 

berani ikut-ikutan diam di tempat ini…..” 

 

“Tapi di mana bangunan kediaman perempuan itu. Kita sudah mengelilingi 

tepi danau satu hari suntuk. Tak ada satu bangunanpun yang kelihatan!” kata Ningrum 

pula.

 

“Kalau saja aku tahu suasananya seperti ini, pasti aku akan lebih banyak 

bertanya pada Kakek Segala Tahu itu……” keduanya lalu duduk di atas batang kayu 

tumbang. Memandang ke tengah danau. Tiba-tiba Ningrum menunjuk. 

 

“Lihat! Ada orang berperahu di tengah danau!” 

 

Wiro cepat berdiri. Memandang ke tengah danau memang dilihatnya ada 

sebuah perahu meluncur cepat menuju tepi sebelah timur. Dari kejauhan terlihat 

hanya ada satu orang di atas perahu itu. Orang ini mendayung perahu dengan 

mempergunakan kedua tangannya kiri kanan. 

 

“Orang itu mengenakan pakaian merah….” kataWiro. “Kita kejar ke arah 

Timur! Pasti itu Ratu Mesum!” maka kedua orang itupun berkelebat menuju ke timur. 

 

Ternyata perahu lebih cepat dan lebih dahulu mencapai tepi danau sebelah 

timur dari pada kedua orang itu. Dan pada jurusan dari mana sebelumnya mereka 

melihat perahu merapat, justru mereka tidak menemukan apa-apa. 

 

“Aneh, kemana perginya orang tadi?!’ uajr Wiro Sableng sambil memandang 

berkeliling.

 

“Perahunyapun ikut lenyap!” menyahuti Ningrum. 

 

“Mungkinkah tadi kita hanya melihat bayangan hantu…..?” 

 

Keduanya memeriksa dengan teliti tepian danau di jurusan mana tadi mereka 

melihat perahu terakhir kali. Tepian itu, tidak seperti tepian lainnya penuh ditumbuhi 

rumput air, semak beluka dan pohon-pohon lurus tinggi seperti lalang. 


“Aku akan turun ke air,” kata Wiro. “Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat 

dari darat.” Tanpa tunggu lebih lama Wiro turun ke air. Air danau di bagian tepi itu 

ternyata hanya sampai  sepinggang. Wiro menyibakkan rumput dan alang-alang air, 

memperhatikan setiap bagian tepi danau dengan teliti. Dekat sebuah pohon waru yang 

tumbuh menjorok miring ke danau tiba-tiba Wiro dapatkan sebuah lobang setinggi 

kepala dan cukup lebar untuk  dimasuki dua orang sekaligus. Wiro lambaikan 

tangannya ke arah Ningrum, memberi isyarat agar perempuan itu turun ke air. Begitu 

Ningrum di sebelahnya Wiro menunjuk ke arah lobang. 

 

“Apa pendapatmu….?” Tanya Pendekar 212. 

 

“Orang dan perahu tadi kurasa pasti masuk ke dalam lobang ini. Kalau tidak 

masakan bisa lenyap begitu saja…..” 

 

“Kalau begitu mari kita menyelidik ke dalam.” 

 

Keduanya lalu masuk ke dalam lobang di tepi danau itu. di sebelah dalam 

ternyata lobang ini merupakan sebuah terowongan panjang. Makin ke dalam air yang 

mengalir dari danau semakin dangkal dan bersibak ke arah dua terowongan lain yang  

terletak di kiri kanan terowongan utama. Di persimpangan tiga terowongan ini mereka 

menemukan sebuah perahu yang masih basah. Wiro melangkah terus memasuki 

terowongan utama diikuti oleh Ningrum. Memasuki terowongan sejauh dua puluh 

tombak, tanah terowongan tampak kering dan makin ke dalam makin menurun hingga 

akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah pintu gerbang aneh terbuat dari akar 

pohon bakau. Pada bagian atas pintu gerbang ini terdapat dua rangkaian tulisan 

berbunyi : 

Pintu Sorga 

 

 

Pintu Neraka 

 

Dari sebuah belakang pintu gerbang tampak lapisan asap tipis. Dari arah ini 

pula tercium bau harum. 

 

“Aku kawatir asap itu mengandung racun berbahaya,” bisik Wiro. “Bisakah 

kau berjalan dengan menutup penciuman?” 

 

Ningrum mengangguk. Sebelum melangkah melewati pintu gerbang aneh itu 

Wiro kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu memberi isyarat agar Ningrum 

segera mengikutinya. Selewat pintu gerbang, tanah terowongan itu ternyata dilapisi 

batu pualam berwarna putih berkilat. Di kiri kanan dinding, pada jarak-jarak tertentu 

terdapat obor aneh yang terbuat dari kayu hitam kecil tanpa minyak. Tak lama 

kemudian asap putih tipis yang menabur bau harum tadi lenyap. Wiro dan Ningrum 

buka jalan pernafasan dan penciuman masing-masing. Keduanya sempat tersenggal-

senggal karena menutup pernafasan begitu lama. 

 

“Ada ruangan besar di depan sana….” Bisik Wiro. “Hati-hatilah….” Katanya 

kemudian memperingatkan. “Tulisan di pintu kayu tadi mengundang kesenangan 

berbau maut!” 

 

Ruangan yang kemudian mereka masuki keseluruhannya dilapisi batu pualam, 

mulai dari lantai sampai dinding dan langit-langit. Memandang berkeliling kedua 

orang itu mendapati ruangan tersebut tak ada jendela tak ada pintu. Buntu? 

 

“Aku merasa gerak-gerik kita diawasi….” Bisik Wiro. 

 

“Ya, aku juga merasa begitu. Pasti!” sahut Ningrum. Lalu tanyanya “Kemana 

lenyapnya orang berpakain merah yang kita lihat di atas perahu tadi?” 

 

Tiba-tiba dari baigan ruangan arah mana mereka masuk tadi terdengar suara 

bersiur amat halus dan dari atas mendadak turun sangat cepat sebuah lapisan dinding 

yang langsung menutup mulat ruangan! 

 

“Kita terjebak!” bisik Ningrum tegang. 


“Tenang saja. Pasang mata dan telinga baik-baik,” balas berbisik Wiro. “Aku 

akan memanggil tuan rumah…..” katanya kemudian. Setelah memandang berkeliling 

Wiro lantas beseru “Ratu Mesum apakah kami berada di tempat kediamanmu….?” 

 

Tak ada jawaban. Suara seruan Wiro menggema menggidikkan dalam ruangan 

batu pualam itu. 

 

“Ratu Mesum! Apakah kau ada di sini….? Keluarlah. Kami datang membawa 

maksud baik! Hanya untuk minta bantuan!” 

 

Mendadak terdengar suara tawa cekikikan. 

 

Mesti tegang namun kedua orang itu maklum kalau mereka saat itu memang 

memasuki tempat kediaman Ratu Mesum karena suara tawa itu adalah suara tawa 

perempuan. 

 

Terdengar lagi suara bersiur seperti tadi. Menyusul secara tiba-tiba dinding di 

hadapan mereka membuka dan kelihatan sebuah lobang berukuran satu kali satu 

tombak. Bagian dalam lobang ini memiliki lantai yang meninggi di sebelah belakang. 

Dari lantai yang miring ke atas ini mendadak meluncur sebuah benda. Ketika benda 

itu jatuh dan tergelimpang di hadapan mereka, kaget Wiro dan Ningrum bukan 

kepalang. Perempuan ini malah sampai membuang muka. Benda yang tergelimpang 

di lantai itu ternyata adalah sesosok tubuh lelaki dalam keadaan tanpa pakaian sama 

sekali. Melihat kepada wajahnya jelas dia masih sangat muda dan berparas cakap. 

Pada lehernya terdapat luka besar yang masih mengucurkan darah segar! 


BAB 12


Wiro Sableng memaki panjang pendek dalam hati sementara Ningrum seperti 

menyesali mengapa dia sampai berada di tempat celaka seperti itu. 

 

Mendadak terdengar lagi suara bersiur. Lantai batu pualam dimana mayat 

pemuda itu mengeletak bergeser ke kiri dan ke kanan, meninggalkan lobang di 

sebelah tengah. Sosok tubuh telanjang itu jatuh ke dalam lobang dan kedua sisi lantai 

menutup kembali. Anehnya noda-noda darah yang tadi jelas  terlihat menggenangi 

lantai kini lenyap bersih entah ke mana! Di saat yang sama kembali terdengar suara 

tertawa panjang. Begitu tawa lenyap, dalam ruangan itu tercium bau harum. Lalu 

langit-langit yang terbuka secara aneh, melayang turun sesosok tubuh berpakaian 

merah. Dengan gerakan sangat ringan, tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, seolah-

olah menginjka kapas, sosok tubuh ini memijakkan kedua kakinya di atas lantai batu 

pualam. 

 

Wiro Sableng terkesiap tak berkedip menyaksikan orang yang tegak di 

hadapannya sedang Ningrum merasakan wajahnya menjadi merah. Meskipun dia 

ingin memalingkan muka namun tetap saja diapun ikut-ikutan memandang lekat ke 

arah orang yang ada di hadapannya itu. 

 

Orang ini ternyata adalah seorang perempuan berparas sangat cantik, berkulit 

putih. Rambutnya disanggul ke belakang dan pada bagian kepala di atas keningnya 

ada sebentuk mahkota kecil. Dia tersenyum smbail memain-mainkan ujung lidah di 

sela bibir. Lidah yang basah itu tampak merah segar sedang deretan gigi-giginya 

tampak putih rata. Si jelita ini mengenakan sehelai pakaian panjang menjela lantai 

berwarna merah, terbuat dari kain tipis – mungkin sutera. Demikian tipisnya pakaian 

ini hingga tubuhnya di sebelah dalam yang tidak berpenutup apa-apa  terlihat dengan 

jelas. 

 

Wiro garuk-garuk kepala. Namun begitu ingat dia segera menjura. 

 

“Tentunya kami berhadapan dengan Ratu Mesum yang terkenal itu…..” 

 

Yang ditegur tidak menjawab, malah terus memainkan ujung lidahnya. 

 

 

“Kami datang dari jauh untuk memohon bantuan Ratu…..” kata Wiro lagi. 

 

Kini sepasang mata perempuan cantik itu memperhatikan pemuda di 

hadapannya mulai dari ujung rambut sampai ujung  jari. Dia sama sekali tidak 

memperdulikan Ningrum yang sapai saat itu masih mengenakan pakaian serba hitam, 

bertopi pandan butut, menutupi wajah perempuannya dengan kumis dan janggut tebal. 

 

Mendapatkan tegur sapanya tidak dibalas orang diam-diam Wiro kembali 

memaku dalam hati. 

 

“Ah, kami tahu Ratu barusan sampai. Tentunya masih letih dan tak ingin 

diganggu. Kalau memang begitu biar kami pergi saja. Nanti baru kembali lagi……” 

 

Perempuan berpakaian merah tipis itu usap rambutnya, rapikan pakaiannya. 

Tiba-tiba dia membuat gerakan yang menyebabkan pahanya sampai pinggul sebelah 

kiri tersingkap lebar, memutih mulus berkilau. 

 

“Sialan, apa sebenarnya yang diinginkan perempuan ini!” kata Wiro dalam 

hati. Meski sikap si jelita tidak menyenangkan namun matanya tak habisnya melirik 

paha dan pinggul yang putih itu. 

 

Tiba-tiba si jelita tertawa panjang sambil mendongak ke langit-langit ruangan. 

 

“Kalian baca tulisan di pintu masuk tadi….?!” Perempuan itu bertanya. 

 

“Kami membacanya,” sahut Wiro. 


“Bagus! Berarti kalian menyadari sepenuhnya nasib kalian akan seperti itu 

pula!” habis berkata begitu perempuan berpakaian merah ini tertawa panjang. 

 

Karena sudah pasti sekali perempuna di hadapannya itu adalah Ratu Mesum 

maka Wiro segera menyebut namanya “Ratu Mesum, kami datang membawa 

persahabatan…..”

 

“Seumur hidup aku tak punya sahabat. Dan tak ingin punya sahabat! Kalian 

dengar itu?!” 

 

“Susah juga bicara dengan manusia ini!” pikir Wiro. Lalu dia menyahuti “Jika 

Ratu tak mau menganggap kami sahabat tak jadi apa. Hanya apakah Ratu sudi 

membantu, itulah yang kami harapkan….” 

 

“Seumur hidup aku tak pernah kedatangan tamu. Kecuali orang-orang yang 

kubawa sendiri untuk mendapatkan sorga dan menerima neraka di tempat ini! 

bagaimana kau bisa tahu tempat ini….?” 

 

“Kami mendapat petunjuk dari Kakek Segala Tahu….” Menerangkan Wiro. 

 

“Hemmm….. tua bangka rongsokan itu. Belum mampus dia rupanya! Kenapa 

kalian mencariku….. Eh, kawanmu yang satu itu apakah dia bisu. Atau tuli? Dari tadi 

dia hanya menlengos-melengos saja memandang ke jurusan lain!” 

 

“Kawanku ini sudah cukup lanjut usianya. Jadi harap dimaklumi kalau dia 

merasa kikuk menghadapi Ratu….” 

 

“Rambut gondrong! Kau pandai bicara! Katakan apa yang kalian mau?!” 

tanya sang ratu. 

 

“Kami perlu bantuanmu untuk menangkap hidup atau mati seorang manusia 

bernama Randu Ireng. Kami mewakili para sahabat dari dunia persilatan. Menurut Si 

Segala Tahu hanya kau yang sanggup menghadapi Randu Ireng…..” 

 

“Mengapa kalian menginginkan orang itu?” tanya Ratu Mesum. 

 

Semula Wiro tak mau berterus terang. Dia melirik pada Ningrum. Ketika 

mendapat isyarat maka diapun menjawab “Randu Ireng kini menguasai sebuah cincin 

keramat. Jika benda itu tidak segera dirampas dan dilenyapkan dari atas dunia ini, 

rimba persilatan akan dilanda bahaya besar! Maut akan bertebaran di delapan penjuru 

angin…..”

 

“Kalau semua orang para mampus, apa perduliku?” tukas Ratu Mesum. 

 

“Kau betul. Apa perdulimu….!” Wiro mulai jengkel. 

 

“Gondrong! Apakah kau sadar kalau kau dan kawanmu itu tak bakal keluar 

hidup-hidup dari tempat ini…..?!” 

 

Ningrum semakin tegang. Tenaga dalam dilipat gandakannya ke tangan kanan. 

Didengarnya Wiro berkata “Kalau takdir mengatakan kami memang harus mati di 

tempat ini ya, mau dikata apa? Tapi apakah kau tak mau memberikan sedikit 

keringanan. Kami mendengar selain wajahmu yang cantik luar biasa, tak ada duanya 

di dunia ini, selain tubuhmu yang bagus dan mulus tak ada perempuan lain yang bisa 

menandinginya, tidak juga permaisuri atau selir raja, tidak juga Nyai Rara Kidul dari 

pantai selatan, kami tahu kau juga seorang pemurah. Nyawa kami berdua tentu tak 

ada harganya di hadapanmu. Aku rela mati setiap saat asal kau berjanji mendapatkan 

cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!” 

 

“Cincin itu…. apakah yang terbuat dari baja dan bergambar kepala ular 

sendok?” bertanya Ratu Mesum. 

 

“Betul sekali Ratu….” Sahut Wiro. Dia maklum kalau ucapannya yang serba 

memuji tadi kini berhasil melunakkan hati sang ratu. Maka diapun menambahkan 

“Semua para tokoh silat di luar sana menganggap hanya Ratu lah yang mampu 

melakukan hal itu….” 


Ratu Mesum tertawa “Semua tokoh silat itu tokoh tolol! Apakah mereka 

mengira aku suka terhadap semua lelaki….? Kudengar manusia bernama Randu Ireng 

itu punya seribu muka….” 

 

“Betul Ratu. Hanya saja menurut Kakek Segala Tahu dia punya tanda hitam 

pada matanya sebelah kanan….” 

 

Ratu Mesum mengangguk beberapa kali sambil tangan kirinya mengusapi 

pahanya sendiri. 

 

“Kita harus membuat perjanjian!” sang ratu kemudian berkata. 

 

“Perjanjian apa Ratu?” 

 

“Pertama kau dan aku, kita berdua melakukan perundingan di ruangan dalam. 

Kedua, jika cincin itu berhasil didapat, maka cincin itu akan menjadi milikku….” 

 

“Mana bisa begitu!” Ningrum membuka mulut untuk pertama kali. “Benda itu 

adalah milik mendiang…..” 

 

Wiro sodokkan sikutnya ke rusuk Ningrum hingga perempuan yang 

menyamar sebagai lelaki ini terhenti ucapannya. 

 

“Hai, ternyata kawanmu itu tidak tuli dan bisu!” kata Ratu Mesum. 

“Bagamana, kau setuju dengan perjanjian itu?!” 

 

“Perjanjian kedua kami setuju,” sahut Wiro. “Mengenai perjanjian pertama 

bagaimana kalau kita laksanakan setalah cincin didapat. Percayalah aku tidak akan 

mengingkari janji. Aku tidak akan mengecewakanmu.” 

 

Ratu Mesum menyeringai. “Siapa percaya mulut lelaki!” katanya. 

 

“Kalau begitu terpaksa kami mencari orang lain yang dapat membantu. Kami 

minta diri sekarang. Tempat ini panas sekali……” kata Wiro lalu kedua tangannya 

membua dada pakaiannya lebar-lebar dan mengipas-ngipas seperti orang sedang 

kepanasan. Sepasang mata Ratu Mesum melirik ke balik  pakaian Wiro. Hatinya 

tercekat. Belum pernah dia melihat lelaki memiliki dada bidang penuh otot seperti 

pemuda berambut gondrong itu. 

 

“Ratu, sudikah kau membukakan pintu keluar bagi kami…..?” 

 

“Kalau kau sudi tidur denganku, segala keinginanmu aku penuhi!” Tanpa 

malu-malu Ratu Mesum berkata seperti itu. 

 

“Bagaimana kalau temanku ini saja yang melayanimu?” ujar Wiro pura-pura 

jual mahal. 

 

“Si buruk itu? Janggut dan kumisnya memuakkan. Tubuhnya kecil dan 

parasnya pucat seperti kurang darah. Gerak geriknya seperti ayam sakit!” 

 

“Kalau kau memang tidak suka padanya biarkan dia pergi….. Nanti kita bisa 

berunding lebih leluasa!” 

 

Mendengar kata-kata Wiro, Ratu Mesum gerakkan tangan kanannya. Dinding 

tipis yang tadi turun menutupi bagian depan ruangan itu naik ke atas. Wiro memegang 

bahu Ningrum dan berkata “Kau tunggu kami di luar. Tak usah kawatir. Ratu cantik 

ini akan menolong kita. Cincin itu pasti akan kita dapatkan kembali…..” 

 

Sejak tadi Ningrum sebenarnya ingin meninggalkan tempat ini. Tapi kini 

disuruh pergi sendirian dia ingin menolak. 

 

“Pergilah,” bisik Wiro. “Kurasa sesuai petunjuk Si Segala Tahu aku sanggup 

mengatur si cantik ganas ini…..” 

 

“Dia akan menipumu, lalu membunuhmu!” kata Ningrum. 

 

“Tidak. Aku bukan macam lelaki tolol yang bisa disuguhinya sorga lalu 

dihantamnya dengan neraka. Lihat saja nanti. Nah, pergilah!” 

 

Akhirnya terpaksa juga Ningrum meninggalkan ruangan itu. Keluar dari 

terowongan dan menunggu di tepi danau. 


BAB 13



Begitu Ningrum keluar, dinding yang tadi naik ke atas turun menutup kembali. 

Kini tinggal Wiro Sableng dan Ratu Mesum berduaan. Mengira pemuda itu sudah 

terpikat, sang ratu langsung saja hendak merangkulkan kedua tangannya ke leher 

Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng cepat berkelit. Sambil menjaga jarak dia berkata 

“Aku tahu apa artinya sorga dan neraka seperti tertulis di pintu masuk. Semua orang 

mau sorga tapi tidak suka neraka. Termasuk aku. Aku tidak menganggap buruk kau 

mempunyai sifat suka mencari kesenangan duniawi. Setiap manusia sudah punya 

takdir hidup sendiri-sendiri sejak dia dilahirkan. Nah, bagaimana kalau kita membuat 

perjanjian….”

 

“Perjanjian apa?” tanya Ratu Mesum. Tubuhnya terasa panas keringatan. 

Dadanya turun naik dan cuping hidungnya kembang kempis. Sepasang matanya 

memandang pada Wiro hampir tak berkedip. Jelas perempuan cantik ini tidak dapat 

menahan hasratnya yang berkobar-kobar. 

 

“Terus terang aku bukan manusia turunan alim,” kata Wiro Sableng. “Aku 

bersedia memenuhi apa kemauanmu, tapi aku tidak mau berakhir dengan 

kematian…..!” 

 

“Aku telah bersumpah! Setiap lelaki yang jatuh dalam pelukanku harus mati!” 

kata Ratu Mesum dan sepasang matanya tetap tak berkedip, memandang tajam ke 

arah Wiro. 

 

“Sumpah teramat berat!” ujar Wiro. “Sumpah seperti itu bisa membunuh 

dirimu sendiri Ratu! Kenapa kau sampai mengangkat sumpah seperti itu?” 

 

“Kau tak berhak bertanya!” 

 

Wiro garuk-garuk kepala. 

 

“Lekas katakan apa perjanjian yag kamu maksudkan tadi!” 

 

“Aku mengikuti apa maumu, tapi kau juga harus berjanji untuk membantu 

merampas cincin keramat itu dari tangan Randu Ireng!” 

 

“Jika aku tak sudi?!” 

 

“Lebih baik aku angkat kaki dari sini sekarang juga!” 

 

“Tidak pernah satu lelakipun keluar hidup-hidup dar ruangan ini!” 

 

“Kalau begitu mari kita berkelahi sampai salah satu dari kita menemui ajal!” 

 

Ratu Mesum tertawa panjang mendengar tantangan itu. 

 

“Kulihat kau memang memiliki tenaga dan otot. Kulihat kau memang ada 

membekal senjata di balik pakaianmu. Tapi kepandaian apa yang kau miliki hingga 

berani menantang aku?!” 

 

“Aku memang berani tapi kau?!” balas Wiro. 

 

“Jangan kira aku pengecut!” teriak Ratu Mesum marah. Begitu teriakannya 

lenyap tubuhnya berkelebat menjadi bayang-bayang merah. Wiro merasakan ada 

angin deras menghantam ke arah tenggorokan dan ke bawah selangkangan. Ternyata 

sang ratu lancarkan serangan berupa jotosan maut ke leher dan tendangan mematikan 

ke bawah perut. Perempuan itu yain benar salah satu dari serangan kilatnya itu pasti 

akan menemui sasaran. Namun betapa kagetnya ketika dua-dua serangannya hanya 

mengenai tempat kosong. Sebaliknya jika dia tidak lekas menyingkir, pinggangnya 

hampir kena ditelikung si pemuda! 

 

Ratu Mesum tegak di sudut ruangan. Matanya berkilat-kilat memandang Wiro. 

Pendekar 212 menyeringai. “Bagaimana, kau kecapaian atau tak punya nyali lagi 

meneruskan perkelahian ini?!” 



“Mampuslah!” teriak Ratu Mesum. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. 

Selarik sinar merah menderu. Meski baru berkelahi dua jurus tetapi saking marahnya 

perempuan ini langsung keluarkan pukulan sakti pada jurus ketiga. 

 

Murid Sinto Gendeng yang memang sudah berjaga-jaga sambut pukulan 

dengan pukulan “dinding angin berhembus tindih menindih”. Ratu Mesum tersentak 

kaget ketika mendengar ada suara angin menderu, menerpa ke arahnya. Dan dia jadi 

lebih kaget lagi ketika melihat sinar merah pukulannya buyar berantakan dan tiba-tiba 

saja tubuhnya seperti dilabrak angin punting beliung, terbanting ke belakang, terseret 

ke samping. Ketika dia berhasil mengimbangi diri dan melompat ke samping, dinding 

batu pualam di belakangnya terdengar mengeluarkan suara berderak! Ratu Mesum 

berpaling. Dinding tebal itu ternyata retak besar, sebagian batu pualamnya hancur dan 

tanggal berjatuhan. 

 

“Pemuda keparat! Kau merusak tempat kediamanku!” teriak Ratu Mesum 

marah. Tubuhnya melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak menyingkapkan pakaian 

merahnya tinggi-tinggi. Saat itu pula bertabur bau sangat harum yang menusuk 

hidung Pendekar 212 Wiro Sableng. Sesaat pendekar ini seperti gelagapan ketika bau 

harum aneh itu merasuk jalan pernafasannya. Namun tak selang beberapa lama dia 

dapat mengatur jalan nafasnya kembali dan cepat memasang kuda-kuda baru. 

 

Turun ke lantai Ratu Mesum terkejut bukan main. Ketika melompat tadi dia 

telah keluarkan hawa harum yang merupakan senjata andalannya. Hawa harum itu 

mengandung racun jahat yang dapat membuat lawan menjadi lemas dan jatuh pingsan. 

Selama ini tak satu orangpun sanggup mempertahankan diri dari kehebatan imunya 

itu. Namun sekali ini dia melihat kenyataan yang hampir tak dapat dipercaya. 

Jangankan pingsan, lemaspun pemuda itu tidak sama sekali. Perlahan-lahan 

kemarahan sang ratu jadi mengendur malah berubah menjadi kagum. Dalam hati 

kecilnya dia berkata, kalau saja pemuda lihay ini dapat menjadi kawan hidupnya, 

mungkin dia mau mempertimbangkan untuk meninggalkan jalan sesat yang selama 

ini ditempuhnya, hidup menjadi perempuan baik-baik. 

 

“Orang muda, siapa kau sebenarnya?!” bertanya Ratu Mesum. 

 

Wiro Sableng tersenyum. 

 

“Penting sekalikah namaku bagimu…..?” tanya Wiro. 

 

“Aku bersedia membantu mendapatkan cincin mustika itu.” kata Ratu Mesum 

seperti tidak acuh akan pertanyaan Wiro tadi. 

 

Wiro yang maklum apa maksud kata-kata perempuan tu tersenyum lebar dan 

berkata “Kalau tadi-tadi kau jelaskan hal itu tak perlu kita sampai berkelahi 

segala…..”

 

“Hebat berkelahi belum tentu hebat di tempat lain. Aku perlu mengujimu. Jika 

kau nanti mengecawakan sumpahku akan berlaku!” Habis berkata begitu Ratu Mesum 

tekan dinding di belakangnya dengan siku kanan. Dinding batu itu terbuka. Di 

belakang dinding kini terpampang sebuah ruangan tidur yang sangat indah. Ratu 

Mesum melangkah berlenggak lenggok lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang 

besar. Tangan kanannya melambai memanggil Wiro. 

 

“Ratu keparat!” kata Wiro dalam hati, “Kau akan lihat. Aku bukannya ayam 

aduan yang hebat dalam persabungan, tapi keok di tangan ayam betina!” Sekali 

lompat saja pendekar ini sudah berada di atas tempat tidur. 

 

Ratu Mesum menggeliat. Entah kapan tangannya bergeark tahu-tahu buhul-

buhul ikatan pakaian merahnya di sebelah depan terbuka. Wiro kini melihat sosok 

tubuh yang sangat elok menakjubkan, yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Sesaat 

dia seperti mendengar ucapan Kakek Segala Tahu : “Mana ada kucing menolak 

daging…..”


Ketika hari mulai gelap, Ningrum yang menunggu di mulut lobang dekat 

perahu kayu menjadi gelisah. 

 

“Pemuda keparat! Aku disuruhnya menjadi patung di sini! Dia sendiri 

bersenang-senang di dalam sana!” maki perempuan itu. dia tak tahu hendak berbuat 

apa selain melangkah mundar mandir. Sekali karena sangat kesalnnya dia tendang 

perahu milik Ratu Mesum. Untung tidak rusak. 

 

Malam tiba. Udara dalam terowongan itu ternyata dingin sekali. Keletihan, 

Ningrum membaringkan tubuhnya dalam perahu. Sampai tengah malam Pendeakar 

212 Wiro Sableng tak kunjung muncul. Ningrum menunggu terus terkantuk-kantuk. 

Akhirnya perempuan ini jatuh tidur. Dia terbangun ketika dirasakannya ada orang 

yang menepuk-nepuk bahunya. Dibukanya kedua matanya dan duduk. Di hadapannya 

tegak pemuda itu yang kini telah mengganti pakaian putihnya dengan pakaian merah. 

Tegak sambil tersenyum-senyum. 

 

“Kukira kau sudah mati di dalam sana!” kata Ningrum saking marahnya, lalu 

turun dari perahu. 

 

Ratu Mesum tampak tenang-tenang saja. 

 

“Pakaian merah itu, tentu kau dapat dari dia….” Ningrum membuka mulut 

kembali. 

 

“Apa kauingin pakaian seperti itu?” Ratu Mesum bertanya. 

 

Ningrum tak menyahut. 

 

Ratu Mesum menggelungkan tangannya ke tangan Wiro. “Kita berangkat 

sekarang…..?” tanyanya. 

 

Wiro mengangguk “Makin cepat makin baik….” 

 

“Tapi ingat janjimu. Setelah urusan kita selesai, kau dan aku kembali 

kemari….” 

 

Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Ningrum. “Itu bisa diatur Ratu,” 

sahut Murid Sinto Gendeng. “Ke mana tujuan kita yang pertama? Air terjun Banyu 

Abang atau Bukit Merak Biru…..?” 

 

“Bukit Merak Biru lebih dekat. Sebaiknya kita menyelidik ke sana dulu. Kalau 

orang yang kita cari tidak ada di situ, kita baru ke air terjun itu. K 

ita harus bergerak cepat. Bisakah kawanmu yang seperti ayam sakit ini berlari 

cepat?!”

 

Dikatakan ayam sakit membuat Ningrum jengkel sekali. Ingin dia menampar 

mulut perempuan itu. Tapi sadar kalau dia membutuhkan bantuannya  maka dengan 

menahan hati perempuan yang menyamar jadi laki-laki ini berusaha mempersabar diri. 

Sambil melangkah ke mulut goa Wiro menerangkan pada Ningrum bahwa menurut 

pengetahuan Ratu Mesum orang yang mereka cari yakni Randu Ireng sering berada di 

Bukit Merak Biru atau air terjun Banyu Abang. Mereka akan menyelidik di kedua 

tempat itu. 

 

Mereka tidak mempergunakan perahu, melainkan langsung naikke darat dan 

mengandalkan kepandaian berlari cepat. Ratu Mesum tampak agak heran juga ketika 

melihat Ningrum mampu berlari walau tertinggal beberapa langkah di belakang. 

Kembali sang ratu membuka mulut mengejek “Tidak sangka kawanmu yang jelek itu 

memiliki ilmu lari…..” 

 

Ningrum berbuat seolah-olah tidak mendengar. Yang saat ini dikawatirkannya 

ialah kalau cincin baja putih berhasil dirampas dari tangan Randu Ireng, apa tidak 

mustahil Ratu Mesum akan melarikannya? 

 

Sementara itu pagi yang cerah menjadi panas ketika sang surya mulai 

menebarkan sinar teriknya. Menjelang sore mereka sampai di tujuan pertama yakni 

Bukit Merak Biru. Di puncak bukit, di bagian yang berbatu-batu terdapat sebuah 



rumah yang keseluruhan dinding, lantai, dan atap terbuat dari rotan. Setelah diperiksa 

rumah itu ternyata kosong. 

 

“Dia tak ada di sini…. “ kata Ratu Mesum. 

 

“Kalau begitu kita terus ke air terjun Banyu Abang.” Berkata Ningrum. 

 

“Betul.” Menyetujui Wiro. 

 

Ratu Mesum tertawa lebar sambil geleng-gelengkan kepala. 

 

“Mengapa kau menggeleng. Kau tidak suka kita segera meneruskan 

perjalanan….?” Tanya Wiro pula. 

 

“Tidak kalian lihatkah matahari sudah hampir lenyap, tenggelam di sebelah 

barat sana? Sebentar  lagi malam tiba. Malam sepi dan dingin. Aku tidak suka 

mengadakan perjalanan pada malam hari. Malam adalah saat untuk istirahat dan 

berhangat-hangat…..”

 

Jijik sekali Ningrum mendengar ucapan Ratu Mesum itu. kejengkelannya 

semakin bertumpuk. Wiro Sableng sendiri maklum apa maksud tujuan kata-kata Ratu 

Mesum tadi. Perempuan itu memandang sesaat padanya lalu masuk ke dalam rumah 

rotan tanpa menutupkan pintu. 

 

“Mari kita masuk…..” mengajak Wiro 

 

Ningrum menggeleng. “Aku tak akan masuk. Lebih baik mati kedinginan di 

luar sini!” 

 

“Kenapa tak mau masuk?” tanya Wiro heran. 

 

“Kalau kau mau masuk, masuklah. Bukankah perempuan itu tadi jelas hendak 

mengajakmu berhangat-hangat….?” 

 

Menyadari bahwa orang yang menyamar seperti laki-laki itu sebenarnya 

adalah perempuan membuat Wiro tertawa. Maka diapun berkata “Semua ini terjadi 

karena maksudku menolongmu. Jika kau memang tak ingin mendapatkan cincin 

mustika itu serta tak ada rencana hendak membalas dendam terhadap Pangean Arga 

Kusumo lebih baik aku pergi saja dari sini!” 

 

Ningrum terdiam. Lalu pergi duduk di atas sebuah batu besar. 

 

“Jika sahabatmu itu tidak mau masuk, buat apa dipaksa?!” Terdengar suara 

Ratu Mesum dari dalam rumah rotan. “Bukankah malah lebih baik kalau dia  tidak 

ikut masuk ke dalam sini….?” 

 

Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia memandang sekali lagi ke arah 

Ningrum lalu masuk ke dalam rumah. 

 

“Jangan lupa menutup pintu Wiro,” kata Ratu Mesum sambil lontarkan 

senyum memikat. Sesaat setelah Wiro menutup pintu perempuan ini langsung 

memeluknya. Nafasnya terasa panas tanda nafsunya berkobar-kobar. 


BAB 14



Air terjun Banyu Abang terletak di gunung berapi yang telah mati. Tingginya 

sekitar empat tombak, tidak terlalu lebar namun bentuknya yang melengkung 

membuat indah sekali. Apalagi bagian belakang air terjun itu merupakan batu-batu 

padas berwarna merah gelap hingga dari depan dan dari samping jika diperhatikan air 

terjun itu kelihatan kemerah-merahan. 

 

Suasana di tempat itu sunyi dan redup. Yang terdengar hanya deru air terjun 

yang mengalir dan jatuh di atas batu-batu besar di sebelah bawah, kemudian 

membentuk sungai kecil dangkal berair sangat jernih. Sesekali terdengar suara burung 

hutan berkicau, lalu terbang dan berkicau lagi di tempat lain. 

 

“Aku tidak melihat sebuah bangunanpun di sini…..” kata Ningrum sambil 

memandang berkeliling. “Apakah manusia bernama Randu Ireng itu betul bisa 

ditemui di sini….?” 

 

“Kau tahu apa tentang orang itu….” kata Ratu Mesum ketika jelas merasa 

orang tidak mempercayainya. Perempuan ini memegang lengan Wiro dan menunjuk 

ke atas sebuah pohon tinggi besar berdaun lebat. “Lihat rumah kayu di atas sana……” 

 

Di antara beberapa cabang pohon besar yang ditunjuk Ratu Mesum ternyata 

memang terdapat sebuah rumah papan, lengkap dengan tangga kecil. “Itu rumah 

Randu Ireng….” Bisik Ratu Mesum. 

 

“Sekarang bagaimana kita mengatur rencana….?” 

 

“Serahkan padaku!” jawab sang ratu. “Kalian berdua harus bersembunyi. 

Jangan terlihat Randu Ireng. Sekali dia sempat melihat kalian berantakan 

rencanaku…..!”

 

“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro Sableng ingin tahu. 

 

Ratu Mesum pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu menciumnya seraya 

berkata “Kau lihat saja. Jangan cemburu. Apa yang aku berikan padamu tak akan 

kuberikan pada manusia itu…..” 

 

“Kau harus hati-hati,” ujar Wiro. “Dan yang penting cincin itu harus kau 

dapat….!”

 

“Jangan kawatir!” jawab Ratu Mesum. Sekali lagi dia mencium jari-jari Wiro 

lalu dengan gerakan cepat ditinggalkannya tempat itu, lari menuruni tebing batu-batu 

cadas licin. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi seseorang tak dapat menuruni 

tebing itu apalagi sambil berlari seperti yang dilakukan Ratu Mesum. Sekali kaki 

terpeleset, tubuh akan jatuh ke bawah, disambut batu cadas keras. 

 

Beberapa saat lamanya tubuh Ratu Mesum tak kelihatan. Tak lama kemudian 

tampak sosok bayangan merah di belakang air terjun. Ternyata perempuan itu sudah 

ada di bawah air terjun. 

 

“Apa yang dilakukannya di situ. Mengapa dia justru menuju air terjun. Bukan 

ke rumah di atas pohon sana……?” bisik Ningrum. 

 

“Akupun tidak mengerti. Kita lihat saja. Manusia seperti dia punya seribu satu 

akal. Berkepandaian tinggi, cerdik dan berbahaya……” 

 

“Dan memiliki nafsu menjijikkan!” sambung Ningrum. 

 

Wiro tak menjawab. Makian Ningrum yang ditujukan pada Ratu Mesum sama 

saja dengan makian yang ditujukan padanya. Karena diapun telah menjadi “korban” 

nafsu sang ratu. Wiro memandang ke arah air terjun. Ningrumpun tak berkata apa-apa 

lagi. Ikut memandang ke jurusan yang sama.



 “Eh…..?” Wiro berseru kecil. Di bawah sana, Ratu Mesum dilihatnya 

melangkah di atas batu-batu cadas basah, keluar dari belakang air terjun, menuju ke 

sebelah depannya. Dan saat itu perempuan ini sama sekali tidak mengenakan apa-apa 

lagi. Tubuhnya yang bugil putih dan mulus elok itu tampak seolah-olah berkilau 

disiram sinar matahari. 

 

“Gila! Ternyata dia mau enak-enakan mandi di air terjun!” kembali terdengar 

suara Ningrum. 

 

“Diam sajalah!” tukas Wiro. “Terlalu keras bicara, salah-salah suaramu akan 

terdengar oleh Randu Ireng…..” 

 

Dari arah air terjun di mana Ratu Mesum saat itu berada dan duduk di sebuah 

batu besar sambil menjulurkan sepasang kakinya yang bagus, lalu menyiram-

nyiramkan air sungai sedikit-sedikit ke tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian 

merdu. Yang menyanyi ternyata sang ratu sendiri. 

Air terjun Banyu Abang 

 

Banyu Abang banyu yang sejuk 

 

Nikmatnya mandi bersiram air dan matahari 

 

Sayang hanya seorang diri 

 

Banyu Abang banyu yang sejuk 

 

Tempat yang indah untuk merajuk 

 

Pesinggahan yang menyenangkan bagi pengelana 

 

Berpolos diri saling menggoda 

 

Nyanyian itu dinyanyikan berulang kali oleh Ratu Mesum. Dan Wiro maklum 

kalau perempuan tersebut telah mengerahkan tenaga dalamnya. Kalau tidak suara 

nyanyiannya tak mungkin terdengar keras, menggema sampai ke atas tebing, hampir 

mengalahkan deru air terjun. 

 

Sudut mata Ningrum menangkap satu gerakan. Dia cepat berpaling, menoleh 

ke arah pohon besar lalu cepat-cepat menggamit Wiro dan berbisik “Ada orang keluar 

dari rumah di atas pohon!” 

 

Wiro cepat berpaling, memandang ke arah pohon. Memang benar. Saat itu 

pintu rumah kayu di atas pohon tampak sudah terbuka dan seorang lelaki berpakaian 

putih nampak tegak di atas cabang besar. Orang ini mengenakan pakaian serba putih 

dengan ikat pinggang kulit besar melilit di pinggangnya. Di kepalanya ada sapu 

tangan besar putih yang dilipat berbentuk segitiga, diikatkan membentuk topi. Orang 

ini tegak bekacak pinggang, memandang lurus-lurus ke arah iar terjun di mana saat itu 

Ratu Mesum masih terus duduk berselunjur, memain-mainkan air sambil terus 

bernyanyi.

 

“Itu manusianya yang bernama Randu Ireng?” tanya Ningrum. 

 

Wiro tak segera bisa menjawab. Tampang dan pakaian orang itu jauh berbeda 

dengan manusia yang ditemuinya pada malam hujan lebat di mana terjadi 

pembunuhan atas puluhan perajurit Demak. 

 

“Tak dapat kupastikan. Jarak kita dengan dia terlalu jauh. Kalau pakaian dan 

tampangnya jelas berbeda dengan orang yang kulihat malam itu. Kalau saja aku bisa 

melihat matanya…..” 

 

Tiba-tiba, seperti seekor burung besar, orang di atas pohon melompat, 

melayang turun dan menjejakkan  kedua kakinya di atas batu cadas sejauh delapan 

tombak dari tempat Wiro dan Ningrum bersembunyi. Pendekar ini cepat memberi 

isyarat dengan tangan pada Ningrum agar tidak bergerak dan jangan bicara. 


Di bawah sana Ratu Mesum masih terus menyanyi. Lelaki di atas batu cadas 

sekali lagi tampak melompat, melompat dan melompat. Tubuhnya kini seperti bola 

karet. Empat kali lompatan akhirnya dia sampai di depan Ratu Mesum. 

 

Perempuan itu tampak terkejut. Mengeluarkan pekik kecil lalu berusaha 

menutupi auratnya dengan kedua tangannya. 

 

Lelaki berpakaian putih terdengar tertawa. 

 

“Bidadari dari mana yang kesasar turun ke bumi dan mandi di air terjun Banyu 

Abang…..!”

 

“Siapa kau! Laki-laki lancang! Barani mengintip perempuan mandi!” teriak 

Ratu Mesum. Wajahnya menunjukkan mimik marah. 

 

“Aku adalah aku! Kau siapa bidadariku?!” 

 

“Pergi!” Ratu Mesum cepat berdiri. Tapi orang di depannya lebih cepat 

menekan bahunya. Kedua matanya berkilat-kilat. Seumur hidup belum pernah dia 

melihat perempuan secantik ini. dan dalam keadaan bugil begini rupa. Sepasang 

payudara yang putih kencang, pinggang ramping yang berakhir pada pinggul yang 

besar. Perut yang licin mulus, sepasang paha dan kaki yang sangat indah. Sekujur 

tubuh lelaki itu mendadak menjadi kencang. 

 

“Selain cantik kau juga pandai menyanyi!” Lelaki tadi memuji. “Aku senang 

sekali bila bisa ikut mandi bersamamu!” Lalu orang itu membuat gerakan hendak 

membuka bajunya. 

 

“Lelaki kurang ajar! Pergi atau aku akan menjerit……!” 

 

“Kalau kau menjerit lalu kenapa…..” 

 

“Tidak disangka. Aku sengaja lari dari rumah karena hendak dipaksa kawin 

dengan kakek-kakek tua keparat itu. Tahu-tahu kini bertemu dengan lelaki jahat….!” 

 

“Ah, rupanya kau dewi yang minggat dari rumah. Dengar, aku bukan orang 

jahat. Dan aku masih muda. Tampangku tentu tidak sejelek kakek tua itu bukan? 

Ha…ha…..ha….!”

 

“Pergi sana! Lelaki gila!” teriak Ratu Mesum. Dia berusaha meneliti mata 

kanan orang di depannya. Untuk melihat apakah ada bintik hitam pada bagian putih 

mata itu. Tetapi karena dia duduk di bawah sedang orang berdiri agak sulit baginya 

untuk memperhatikan. 

 

“Dewiku, mungkin benar hari ini aku iba-tiba telah menjadi gila! Tergila-gila 

padamu! Hai, tahukah kau aturan kehidupan di tempat ini…..?” 

 

“Tidak! Dan perduli amat segala macam aturan! Memangnya kau yang 

memiliki tempat ini….?!” tukas Ratu Mesum. 

 

“Tentu saja memang aku yang menjadi penguasa di tempat ini. aturanku, siapa 

yang berani mandi di air terjun Banyu Abang tanpa seizinku, jika dia lelaki akan 

kubunuh. Jika dia seorang perempuan yang aku tidak berkenan juga akan kubunuh. 

Tetapi jika dia soerang perempuan cantik sepertimu maka dia harus tunduk pada 

perintahku…..!”

 

“Tunduk pada perintahmu…..Hik….hik…..hik…..!” Ratu Mesum tertawa 

panjang sambil mainkan lidahnya yang merah dan perlihatkan barisan gigi-giginya 

yang putih rata. Membuat orang di hadapannya semakin blingsatan. “Tunduk padamu 

katamu?! Memangnya kau sultan atau raja…. Tampang adipatipun kau tak punya!” 

 

Diejek seperti itu orang tadi tidak tampak marah malah ikut-ikutan tertawa 

“Sultan atau Raja, apalagi adipati bukan apa-apa bagiku! Aku jauh lebih hebat dari 

pada mereka semua…..!” 

 

“Walah! Ternyata kau hanya seorang yang tidak waras! Kau pasti turunan 

orang hutan. Eh, apakah kau punya nama…..” 

 

“Kau boleh menyebut namaku apa saja!” 



“Monyet, begitu! Atau lutung…..?!” ujar Ratu Mesum. Kedua tangannya 

masih menutupi dada sedang kedua paha dilipat dan dinaikkan ke atas. 

 

“Boleh-boleh saja kau menyebut aku begitu!” 

 

“Kau betul-betul hebat,” kata Ratu Mesum pula. “Tapi aku tidak suka pada 

lelaki berotak miring dan bicara ngacok sepertimu. Menyingkirlah!” 

 

“Tidak! Kau telah mandi di Banyu Abang. Berarti kau berada dalam 

kekuasaanku. Kau harus ikut aku!” 

 

“Ikut kau? Ikut ke mana….?” 

 

“Ke rumahku di atas pohon sana!” 

 

“Ah, ternyata kau bangsa tikus pohon atau tupai!” 

 

“Jika kau menurut baik-baik kau akan kuperlakukan dengan baik. Jika 

membantah tubuh dan wajahmu yang cantik akan kubuat cacat!” lelaki itu 

mengancam. 

 

“Aku mau lihat apakah kau sanggup dan berani melakukannya!” kata Ratu 

Mesum. Lalu dia turunkan kedua tangannya, busungkan dada, pejamkan mata dan 

angsurkan wajahnya! Melihat ini tentu saja lelaki itu menjadi salah tingkah, bergeletar 

sekujur tubuhnya, hampir tak dapat menahan rangsangan. Kemudian dilihatnya mulut 

dengan bibir yang basah itu mengeluarkan suara “Jika kau memberitahu namamu, 

mungkin aku mau ikut denganmu.” 

 

“Sebut saja namaku Danupaya…..” kata lelaki itu. 

 

“Danupaya….?” Desis Ratu Mesum. “Berlututlah biar dekat. Aku ingin 

melihat wajahmu agar tahu apakah kau betul bernama Daupaya….” 

 

Seperti terkena sihir lelaki itu perlahan-lahan berlutut di depan Ratu Mesum. 

Sepasang mata sang ratu terbuka sedikit. Senyum bermain di mulutnya. “Kau 

berdusta. Namamu bukan Danupaya…..” 

 

“Heh….. Lalu kau mau nama apa? Kau boleh panggil Singgil Manik atau 

sebut aku Tunggul Ambang atau…..” 

 

“Dengar, aku mulai suka padamu. Ternyata wajahmu cukup tampan juga. 

Tetapi aku tidak suka pada lelaki yang berbohong. Hanya lelaki pengecut yang 

sengaja menyembunyikan namanya!” 

 

“Baiklah, kukatakan namaku sebenarnya. Aku Randu Ireng…..” 

 

Kedua mata Ratu Mesum membuka lebih lebar. Perhatiannya tertuju pada 

mata kanan orang yang berlutut di depannya. Dalam jarak sedekat itu kini dia dapat 

melihat jelas lelaki itu memiliki bintik hitam pada matanya sebelah kanan. Tanda 

pasti yang ditunjukkan  oleh Kakek Segala Tahu danyang telah disampaikan  Wiro 

padanya! Tanda bahwa orang itu memang Randu Ireng! 

 

“Kau masih saja mau berdusta. Kau bukan Randu Ireng. Katakan namamu 

sebenarnya….!” Kata Ratu Mesum pula. 

 

“Demi segala setan penghuni air terjun ini, aku bersumpah tidak berdusta. Aku 

memang Randu Ireng!” 

 

Ratu Mesum geleng-gelengkan kepala. Basahi bibirnya dengan ujung lidah, 

turunkan kedua kakinya yang membuat lelaki di depannya tambah membeliak tak 

berkesip. “Tidak mungkin….. tidak mungkin kau Randu Ireng. Randu Ireng yang 

sebenarnya lebih hebat dari raja, lebih tinggi dari sultan. Aku mendengar manusia 

bernama Randu Ireng itu adalah turunan penguasa laut selatan dan luat utara…. 

Memiliki kekuatan hebat yang sanggup menghancuran gunung dan meleburkan bukit. 

Jangankan gunung dan bukit, batu di depan sana itupun kau tak sanggup 

menghancurkannya!” 

 

Lelaki yang berlutut di hadapan Ratu Mesum jadi tercekat. Dengan tangan 

kosong memang tak mungkin baginya menghancurkan batu itu. Tapi….. 


“Kau betul-betul mau melihat aku menghancurkan batu itu…..?” 

 

“Sudahlah! Jangan mimpi. Menyingkirlah. Aku harus pergi….” Ratu Mesum 

berdiri dan karena lelaki itu masih berlutut perut perempuan itu tepat di dapan 

kepalanya, hampir menempel ke hidungnya. Tak sanggup lagi menahan rangsangan 

yang membakar dirinya, lelaki itu langsung memagut pinggul Ratu Mesum, menciumi 

perutnya.

 

“Lelaki kurang ajar!” Ratu Mesum dorong tubuh orang itu kuat-kuat hingga 

terjengkang tapi tak sampai jatuh ke dalam air. 

 

“Jangan pergi! Aku akan buktikan padamu aku sanggup menghancurkan batu 

itu. Kalau tidak jangan panggil aku Randu Ireng!” lalu orang ini susupkan tangannya 

ke balik pakaian. Dia mengeluarkan sebuah kentong kulit berwarna hitam yang diikat 

erat-erat ke tali pinggang celananya. Dari dalam kantong ini dikeluarkannya sebuah 

benda putih berkilat-ilat yang langsung disusupkannya ke jati telunjuknya. “Lihat batu 

itu!” katanya seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya. Giginya 

bergerak menggigit bibir sebelah bawah. Satu suara aneh seperti seruling mencuat 

menyakitkan telinga Ratu Mesum. Detik itu juga tiga larik sinar putih halus 

menyilaukan melesat, menghantam batu besar, membuat batu itu hancur berantakan. 

 

“Sudah kau saksikan?!” 

 

Ratu Mesum kedip-kedipkan mata. “Mungkin kau hanya menyihirku. 

Membalik pemandangan mataku. Coba kau hancurkan lagi batu yang disebelah sana 

kalau bisa!” 

 

“Kenapa tidak bisa!”  

 

Seperti tadi orang itu acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Saat itu Ratu 

Mesum segera dapat melihat bahwa cincin yang dipakainya memang adalah cincin 

keramat yang tengah mereka cari. Cincin baja putih dengan hiasan kepala ular kobra. 

Cincin warisan setan yang telah menggemparkan dunia persilatan, dicari dan dikejar 

orang, mulai dari paar tokoh silat sampai orang-orang istana. 

 

“Lihat!” kata lelaki itu lagi. Dia anggukkan kepala sedikit, gigit lagi bibirnya. 

Seperti tadi terdengar kembali bunyi seruling melengking, disusul oleh kiblatan tiga 

larik sinar menyilaukan. Sesat kemudian batu besar yang satu itupun hancur pula 

berkeping-keping.

 

“Ah, sekarang aku percaya kau adalah Randu Ireng. Orang terhebat di delapan 

penjuru angin. Kau tidak berdusta bahwa kau memang lebih hebat dari sultan maupun 

raja. Cuma, aku minta bukti sekali lagi. Kau lihat pohon besar di atas tebing sana? 

Coba kau hancurkan bagian batang sebelah bawah, dekat akarnya……” 

 

Randu Ireng tertawa lebar. “Kalau batu saja hancur lebur apalagi batang kayu. 

Lihat!”

 

Lelaki itu acungkan jarinya, gigit bibir. Dan untuk ketiga kalinya kembali 

terdengar suara bersuit. Sinar putih berkiblat tiga larik. Melesat ke arah pohon besar 

di atas tebing di belakang mana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ningrum 

bersembunyi. 

 

Ketika melihat datangnya sinar maut menyambar ke arah pohon Ningrum 

terpekik. Kaget dan marah. Wiro cepat mendorong tubuh perempuan itu keras-keras 

ke samping. Dia sendiri menyusul berguling selamatkan diri. 

 

“Blus!” 

 

“Braak!” 

 

Pohon besar hancur. Batangnya patah di sebelah bawah dan akarnya 

terbongkar dari tanah. 

 

“Perempuan keparat itu hendak membunuh kita!” ujar Ningrum. 


Di bawah sana, Randu Ireng tersentak kaget. Bukan karena tumbangnya 

pohon, melainkan ketika mengetahui ada orang di atas tebing. 

 

“Hei! Ada orang di atas sana! Keparat! Siapa mereka! Kawan-kawanmu?!” 

 

“Aku datang ke mari sendirian. Sipapun mereka pasti bermaksud tidak baik!” 

jawab Ratu Mesum. “Mari kita menyelidik ke atas sana. Tapi aku berpakaian dulu!” 

Lalu dia melangkah ke arah air terjun. Tapi begitu sampai di belakang Randu Ireng, 

perempuan  ini hantamkan pinggiran tangan kanannya ke leher orang itu. 

 

“Kraak!” 

 

Terdengar suara patanya tulang leher Randu Ireng. Tubuhnya terhuyung sesaat, 

tangan kirinya menggapai-gapai mencari keseimbangan. Perlahan-lahan Randu Ireng 

coba memutar tubuh menghadapi ke arah Ratu Mesum. 

 

“Perempuan keparat! Penipu laknat! Mampuslah!” 

 

Randu Ireng acungkan jari telunjuknya ke arah Ratu Mesum. Tapi lehernya 

yang patah membuat tubuhnya hilang kekuatan. Tangan kanan itu bergetar 

bergoyang-goyang. Randu Ireng gigit bibirnya. Namun sebelum hal ini sempat 

dilakukannya tendangan kaki kanan Ratu Mesum mendarat tepat di mukanya. Mulut 

dan hidung Randu Ireng hancur. Darah kental mengucur. Kepala dan tubuhnya 

mencelat dan segera jatuh ke dalam air. Ratu Mesum cepat menyergap untuk 

meloloskan cincin baja putih dari telunjuk Randu Ireng, namun saat itu entah dari 

mana datangnya bekelebat sesosok tubuh. Ketika sosok tubuh ini lenyap, tubuh Randu 

Irengpun tak ada lagi di tempat itu. Ratu Mesum berteriak hendak mengejar. Namun 

segera disadarinya orang yang berkelebat tadi telah menotok jalan darahnya di dada 

kiri hingga dia hanya mampu bersuara tapi sama sekali tak sanggup menggerakkan 

anggota tubuhnya! 

 

Semula Ratu Mesum mengira yang melakukan itu adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Namun ketika dia memandang ke arah tebing batu di jurusan tumbangnya 

pohon besar, dilihatnya orang yang melarikan tubuh Randu Ireng ternyata berpakaian 

rombeng, memakai caping bambu lebar. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat dan 

sebuah kaleng rombeng. 

 

Di atas tebing, orang yang melarikan tubuh Randu Ireng berhenti. Dia menarik 

lepas cincin pembawa malapetaka dari jari telunjuk Randu Ireng. Lalu tubuh yang 

sudah tak bernyawa itu dilemparkannya ke bawah tebing, menggelinding ke bawah, 

masuk ke dalam sungai. Mengambang lalu hanyut ke hilir. 

 

Wiro Sableng dan Ningrum yang melihat kejadian yang serba cepat dan serba 

tak terduga itu tegak terkesiap. 

 

“Kakek Segala Tahu!” seru Wiro ketika dia kenali orang tua di depannya. 

 

Si kakek tertawa lebar. Dia pindahkan kaleng butut ke tangan kanan lalu 

kerontang-kerontangkan benda itu tiga kali. 

 

“Tunggu apa lagi, lekas ikut aku!” katanya. 

 

Ningrum, yang mengetahui cincin sakti milik suaminya telah beada di tangan 

si kakek, langsung saja melompat mengikuti. Tapi Wiro sesaat tampak bingung. Akan 

mengikuti orang tua itu atau turun ke air terjun. 

 

“Hai!” si kakek memanggil. Ketika Wiro masih tegak tak bergerak, kakek itu 

kembali, lalu menyeret lengannya. Wiro berusaha mempertahankan diri. Tapi astaga! 

Tenaga si kakek ternyata tidak berada di bawahnya. Bagaimanapun dia mengerahkan 

tenaga luar dalam tetap saja dia tertarik. Akhirnya pendekar ini terpaksa mengikuti. 

 

“Kek, apa yag kau lakukan dengan perempuan itu…..!” tanya Wiro. 

 

Yang ditanya tak menjawab. Di suatu tempat akhirnya Kakek Segala Tahu 

hentikan larinya dan memandang pada kedua orang itu sambil acungkan cincin baja 

putih. 


“Kalian tahu, kalau cincin ini tidak kurampas lebih dulu, perempuan bugil itu 

akan menguasainya. Sekali benda ini berada di tangannya kiamatlah dunia 

persilatan!”

 

“Akupun sudah menduga seperti itu kek,” sahut Ningrum. “Perempuan jahat 

itu tak bisa dipercaya. Tapi kawanmu ini sudah tergila-gila padanya hingga tak bisa 

diingatkan!”

 

Wiro hanya garuk-garuk kepala. 

 

Ningrum membuka mulut kembali. “Mengingat cincin itu adalah milik 

suamiku, berarti aku harus menerimanya kembali.” Tapi perempuan yang mnyamar 

jadi laki-laki ini jadi kaget ketika dilihatnya si kakek gelengkan kepala. 

 

“Tidak. Tidak satu manusiapun di muka bumi ini boleh memiliki cincin 

warisan setan ini. benda ini harus dikembalikan  ke asalnya. Dari laut kembali ke 

dalam laut. Aku akan membawanya ke pantai selatan dan membuangnya di sana….” 

 

“Tapi…..” potong Ningrum. 

 

“Tidak ada tapi-tapian perempuan berkumis! Sebaiknya kau melupakan cincin 

ini. Dengan demikian arwah suamimu akan tenteram di alam baka. Kau kembalilah ke 

tempat gurumu…..” 

 

“Aku harus ke Kotaraja!” jawab Ningrum. 

 

“Mencari pangeran bernama Arga Kusumo itu dan membalaskan dendam 

suamimu?” tanya si kakek. 

 

“Apalagi. Itu kewajibanku untuk melakukannya.” 

 

“Dengar. Pangeran Arga Kusumo telah meninggal satu bulan lalu. Mati 

terkena penyakit menular. Penyakit sampar! Nah, bukankah lebih baik bagimu 

kembali ke tempat gurumu dari pada memaksakan diri ke Kotaraja…..?” 

 

Ningrum terdiam. Kedua matanya tampak basah. 

 

Wiro garuk-garuk kepalanya. 

 

“Ayo, buat apa berlama-lama di sini. Mari kita pergi!” kata Si Segala Tahu. 

 

“Kalau kalian mau pergi, pergilah,” kata Wiro. 

 

“Heh, apa yang ada dalam benakmu orang muda?” tanya si kakek. 

 

“Aku harus kembali ke air terjun itu. kulihat kau telah menotok perempuan 

itu! aku tidak tega membiarkannya seperti itu. Paling tidak baru besok pagi totokanmu 

lepas…..”

 

Si kakek tertawa. “Pemuda aneh,” katanya. “Apa kau tidak sadar kalau tadi 

perempuan itu sengaja menyuruh Randu Ireng menghantam ke arah pohon adalah 

karena dia bermaksud membunuhmu dan kawanmu ini?!” 

 

“Aku tidak tahu kek. Mungkin dia tidak tahu kalau kami sembunyi di balik 

pohon…. Kini aku harus menolongnya!” 

 

“Pemuda tolol! Kau bukan cum ingin menolong. Kau benar-benar telah jadi 

kucing yang tak pernah menolak daging!” 

 

“Kalau begitu biar kau saja yang menolongnya. Siapa tahu dia tertarik 

padamu…..” 

 

Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Wiro itu. “Aku 

cuma seekor kucing tua yang sudah tak bergigi lagi. Mana sanggup melahap 

daging….. Ha…..ha…..ha…..ha!” Setelah puas tertawa kakek itu menarik tangan 

Ningrum. Keduanya berlalu dari hadapan Wiro. Pendekar 212 Wiro Sableng menarik 

nafas panjang lalu berlari, kembali menuju air terjun Banyu Abang. 



                                       TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive