Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Minggu, 26 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - BENCANA KUTO GEDE

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU

KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka.
Malam tambah gelap dan dinginnya udara
semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara
tampak kilat menyambar beberapa kali.
“Turunkan aku di sini!” teriak gadis di atas
panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Tenang sajalah dan jangan banyak bicara.
Berhenti di tempat ini masih cukup besar
bahayanya.
Bukan
mustahil
orang-orang
kerajaan membuntuti kita!”
“Aku tidak takut pada mereka!” sahut
Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja
diselamatkan
Wiro
Sableng
ketika
pecah
perkelahian hebat di istana di awal malam. Di
atas bahu sang pendekar, dara itu berada
dalam keadaan tertotok sementara tangan
kanannya patah dan mendenyut sakit tiada
henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan
keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan
ketuar dari mulutnya.
Melihat si pemuda terus melarikannya,
Nawang Suri berkata: “Jika kau tak mau
menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah
Maturwangi di selatan!”
“Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?”
bertanya Wiro.

Semula Nawang Suri tak mau menjawab.
Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia
menerangkan: “Aku harus menemui pasukanku
di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak.
Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin
penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah
kubunuh,
tapi
sebelum
tahta
berada
di
tanganku belum puas hatiku!”
Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro
Sableng
hentikan
larinya.
Sang
dara
didudukkannya pada akar sebatang pohon
besar.
“Lepaskan totokanku!” meminta Nawang
Suri.
Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk
menjelepok di tanah di hadapan sang dara.
Untuk beberapa saat sepasang mata mereka
saling memandang tak berkedip.
“Seumur hidup baru kali ini aku menemui
gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula.
Ucapan itu membuat sang dara jadi panas
hatinya dan menjawab dengan suara keras.
“Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku
lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua
orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta
kerajaan yang mereka rampas! Demi masa
depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau
jangan coba menghalangi!”
“Siapa bilang aku menghalangi!” sahut Wiro
sambil garuk kepala. “Kau sudah membunuh

raja! Apa itu tidak cukup?!”
“Memang tidak cukup! Tujuan utamaku
adalah tahta kerajaan!”
“Mungkin itu memang belum jadi rejekimu
“Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak...”
“Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak
sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
“Jangan
bersyair
di
depanku!”
bentak
Nawang Suri.
Wiro
menyeringai
kecut.
Dan
berkata:
“Dalam keadaan terluka begini, tangan patah,
kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja.
Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta
panglima perang yang tangguh?”
“Aku
dan
orang-orangku
memiliki
semangat...”
“Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup
untuk memenangkan peperangan.
“Pemuda tolol macammu mana tahu soal
perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi
pelajaran dan latihan untuk perang!”
“Tapi kau bukan mau perang!” kata Wiro
dengan pandangan mengejek.
“Maksudmu aku ini mau apa?”
“Mau bunuh diri!”
Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena
totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli
atau menampar Wiro Sableng saat itu.
“Bunuh diri atau apapun aku tak takut
mati...”

“Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal
saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya
berdiri dan pura-pura hendak pergi.
“Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu
totokan di tubuhku!”
“Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar
banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau
dijadikan
mangsa
mereka!”
Lalu
Wiro
melangkah.
“Hai! Jangan tinggalkan aku!” seru Nawang
Suri. Kecut juga hatinya.
“Nah, nah... Kau harus begitu. Harus
mengikuti apa yang aku bilang.
“Tapi kau bukan ayah atau majikanku!
Jangan anggap budi pertolonganmu membuat
dirimu merasa berkuasa atas diriku!” kembali
Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
“Apa untungku menguasaimu...?”
“Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa
kau melarikan diriku?”
“Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa
yang kulakukan adalah menolongmu. Heran,
bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro
hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh
Nawang
Suri
lalu
digotongnya
ke
balik
serumpunan semak belukar lebat. Keduanya
menelungkup sama rata dengan tanah.
“Jangan keluarkan suara” bisik Wiro yang
mendengar suara orang mendekat.
Baru saja pendekar itu selesai bicara,

dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan
dan berhenti sejarak beberapa langkah dari
pohon besar di mana mereka sebelumnya
berada.
“Heran!” terdengar salah seorang pendatang
berkata
pada
temannya.
Dia
mengenakan
pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan
kanannya
ada
sebilah
golok
besar.
Wiro
maupun Nawang Suri segera mengenali orang
ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain
Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton
Kuto Gede. “Aku yakin sekali mereka pasti
kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak
menemukan
keduanya?!
Pemuda
itu
tak
mungkin bisa lari cepat dengan membawa
beban sosok tubuh gadis pemberontak!”
Kawannya terdengar menarik nafas panjang
lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia
adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
“Bagiku sama sekali tidak mengherankan.
Pemuda itu bukan manusia sembarangan.
Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya
bisa saja seperti sekantong kapas baginya.
Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir
keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang
aku tak perdaya pada si tua bangka Wulung
Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!”
“Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja
melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat
mengejar kulihat dia menyelinap masuk ke

dalam istana.
“Ya, akupun melihat. Gerakannya agak
mencurigakan”.
“Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui
belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia
tak lebih dari seorang penjilat nomer satu!
Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!”
Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan
lenyap
dalam
kegelapan
malam.
Di
balik
rerumputan semak belukar Wiro membantu
Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk
sang
dara
langsung
bertanya
setengah
mendamprat. “Kenapa tidak kau hantam kedua
bangsat itu?”
Wiro
geleng-gelengkan
kepala
dan
menjawab: “Aku tak punya permusuhan dengan
mereka.”
“Gila!”
“Eh, siapa yang gila...?” tanya Wiro melotot
tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Kowe!”
sahut
Nawang
Suri
setengah
berteriak.
Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-
gelak.
“Hanya orang gila yang masih bisa ketawa
dalam
keadaan
seperti
ini...!”
menyentak
Nawang Suri dengan pandangan mata dan air
muka sangat jengkel.
“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?”
“Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Aku

harus bergabung dengan pasukanku sebelum
terlambat!”
“Benakmu
masih
saja
dipenuhi
oleh
kehendak balas dendam dan pertumpahan
darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas
dengan kematian raja yang tanganmu sendiri
membunuhnya?!” 
“Tidak!”, jawab Nawang Suri.
“Nawang
Suri,
kalau
kau
hanya
mendasarkan
jalan
hidupmu
pada
balas
dendam dan darah, kau akan celaka!”
“Biar, aku memang sudah celaka!” suara
sang
dara
tersendat
lalu
terdengar
sesunggukannya.
“Eh, tidak kusangka dara dengan hati
sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga
menangis...” ujar Wiro Sableng menggoda.
“Pemuda edan! Aku bersumpah menampar
mulutmu seratus kali!”
“Sumpah edan!” tukas Wiro. Lalu dia
beringsut
mendekati,
hingga
tubuh
dan
wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu.
“Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang
hendak kau perbuat?!”
“Pertama, aku akan menolong mengobati
lengan kananmu yang patah. Setelah itu
totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu...
terserah
padamu.
Kau
mau
ke
lembah
Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan
pergi!”

“Lalu dengan gerakan cepat—yang membuat
Nawang Suri terpekik—Wiro Sableng merobek
ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia
mematahkan
sebatang
ranting
besar,
meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan
yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan
kain. “Beres...” ujar Wiro. Lalu tangannya
bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal
leher Nawang Suri beberapa kali mengurut
gadis itu merasakan totokan yang membuat
tubuhnya kaku tegang menjadi sirna.
“Nah, kau sudah bebas sekarang,” kata
Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-
dekat ke hadapan sang dara.
“Pemuda gila! Apa maumu...?”
“Eh,
bukankah
tadi
kau
hendak
menamparku
seratus
kali?
Mengapa
tidak
segera kau lakukan?!”
Nawang
Suri
hampir
menjerit
saking
gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya
siap untuk menampar. Namun tamparan itu
tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak
kuasa untuk melakukan hal itu.
“Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa
menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil
berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi
Wiro.
“Benci itu ada dua arti...” terdengar suara
sang pendekar. “Benar-benar benci atau benar-
benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?”

“Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga
ceriwis! Siapa yang cinta padamu!” Habis
berkata begitu Nawang Suri dorong dada si
pemuda
lalu
dengan
gerakan
cepat
dia
tinggalkan
tempat
tersebut.
Tinggal
kini
Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk
garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu?
Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke
Kuto Gede saja.

DUA

Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang 
Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda
itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu
bintang
itu
seperti
dikejar
setan,
karena
memang dia harus sampai di lembah sebelum
tengah malam. Namun gadis itu terperangah
ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia
dapati
hanya
bekas-bekas
perkemahan.
Pasukan
yang
sebelumnya
dia
ketahuai
berkumpul di sana tak ada lagi disitu. “Celaka,
aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran
berada di antara mereka...?” Nawang Suri
berpikir
sesaat.
“Aku
harus
kembali
ke
Kotaraja...” katanya dalam hati mengambil
keputusan. Lalu kuda yang sudah letih itu
diputar dan dibedalnya menuju ke utara.
Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus
kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk
berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan
pasukan yang akan menyerbu istana, lalu
mencari
dan
mendapatkan
kembali
Keris
Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan.
Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri
kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali
dulu
pada
kejadian
beberapa
waktu
sebelumnya.
Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta
kerajaan
dirampas,
Nawang
Suri
yang

tinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan
julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang
Datuk berhasil membuat mental keris di tangan
Nawang
Suri.
Penyamarannya
terbuka.
Nyawanya
terancam.
Saat
itulah
muncul
Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan
menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko
Geni sempat pula terhindar dari rampasan
Datuk Tongkat.
Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti
orang kurang waras itu membuat Nawang Suri
tidak mempercayainya. Dara itu kemudian
melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia
akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu
Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto
Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-
barang perak dengan memakai nama Gama
Manyar.
Bersama
Soka
Panaran
rencana
dimatangkan.
Sementara
itu
sisa-sisa
balatentara
kerajaan
lama
dikumpul
dan
disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota
raja.
Orang yang pertama menjadi korban adalah
Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota
Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di
sebuah telaga sepi.
Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan
di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri
sengaja datang melayat. Perangkap mereka

mengena.
Sri
Baginda
terpikat
melihat
kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara.
Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk
mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya
gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama
sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran.
Maka diatur gerak cepat. Sementera Nawang
Suri dibawa ke istana malam harinya, sang
Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan
penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri
di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat
itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan
dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh
hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor
dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang
Suri,
Datuk
Tongkat
dituduh
sebagai
penghianat
yang
berserikat
dengan
kaum
pemberontak.
Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka
sementara Datuk Tongkat menemui ajal di
tangan
para
pengeroyoknya,
Nawang
Suri
melihat tak ada jalan lain dari pada harus
membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah,
ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya
menyongsong kedatangannya di tangga istana
Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan
menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu
juga!
Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi
bulan-bulanan, ditangkap hidup atau mati

sedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental
akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor
berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan
patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya
kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul
Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota Gede.
Beberapa orang perwira termasuk kepada
Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera
menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya
ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak
memisahkan diri ketika melihat patih Wulung
Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil
membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat
Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua.
Kejadian yang serba cepat ini masih sempat
terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia
hendak mengajak kambratnya Imo Gantra
untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun
saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu
gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212
Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri.
Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih
penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti
Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur
bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki ruangan
khusus di mana disimpan barang-barang dan   senjata-senjata pusaka istana. Di situ dia
mencari sarung keris yang dapat dipergunakan
untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang
dan masih berlumuran darah Sri Baginda.
Karena di situ memang banyak disimpan
berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang
patih telah mendapatkan sarung yang cocok
untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan
darah
di
badan
keris,
Wulung
Kerso
menyarungkan
senjata
sakti
itu.
Lalu
menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
“Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang
kau perbuat di sini?”
Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika
membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak
di ambang pintu ruangan dengan pandangan
mata penuh selidik.
“Raden Cokro, bukankah seharusnya kau
menolong Sri Baginda?”
“Orang yang sudah mati tak mungkin lagi
ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa
Keris Mustiko Geni…..
Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun
dia
maklum,
ketika
berhasil
menangkap
Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang
Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi
hampir
semua
orang
tahu
kalau
senjata
mustika
lambang
tahta
Kerajaan
itu
ada
padanya.
Dalam
gugupnya
patih
Wulung
Kerso

sekaligus coba menempelak.
“Raden, tak seharusnya kau berada dalam
ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah
mata-mata kita memberi tahu bahwa ada
serombongan pasukan tak dikenal bergerak
menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan
pemberontak yang datang untuk menyerbu.
Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera
mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum
pemberontak yang muncul setiap saat…”
Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti.
“Soal
pasukan
musuh,
pasukan
pemberontak,
apapun
namanya
tak
usah
dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul
pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan
Keris Mustiko Geni itu, paman patih?”
“Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah
khawatir...”
“Mengapa paman yang harus menyimpan
senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan
merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu
padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat
yang aman……”
Patih
Wulung
Kerso
tersenyum
tawar
mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan
itu.
“Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku
tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata
itu tak akan muncul sebelum Raja baru
diangkat!”

“Dengar paman patih,” kata Cokro Ningrat
pula. “Saya tahu dengan kepandaian yang
paman miliki, paman bisa menyimpan dan
menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan
lupa. Istana penuh dengan musuh dalam
selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di
mana-mana. Keselamatan paman dan senjata
itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar
Mustiko Geni diserahkan pada saya…..”
“Hal itu tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro.
Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja
baru yang diangkat dan duduk di kursi besar
sana…..”
Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang.
Namun
dengan
cerdik
mulutnya
tetap
menyunggingkan
senyum.
Dia
melangkah
mendekati sebuah patung terbuat dari batu.
Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata
: “Baiklah, kalau paman menganggap mampu
menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman
yang menyimpan…..”. Lalu Kepala Pasukan
Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun
tiba-tiba
cepat
sekali
tangan
kanannya
menangkap
kaki
patung
batu.
Benda
itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih
Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke
lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan
sementara kepala dan mukanya berlumuran
darah mengerikan.
“Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya juga

seorang musuh dalam selimut...” Dari balik
pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko
Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro
Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah
itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun
sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk
angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali
Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke
kepala Patih Wulung Kerso.
Dalam keadaan terluka parah di kepala,
patih yang juga memiliki kepandaian silat dan
kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah
begitu
saja.
Sambil
merundukkan
kepala
menghindarkan hantaman patung batu, Wulung
Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat
menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun
tidak begitu telak dan keras akibat luka yang
dideritanya namun jotosan tersebut cukup
membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke
belakan dengan perut mual dan dada terasa
sesak sakit.
Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini
dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada
lalu menyergap dengan dua tangan terpentang.
Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan
kanannya hanya mampu merobek pakaian
kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam
Kepala
Pasuka
Kerajaan
ini
merasakan
tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu
menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan

tertolong!
Darah yang membasahi kepala dan muka
Wulung Kerso menutup pemandangan kedua
matanya. Berulang kali dia mengusap wajah
dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik
bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih
tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat
gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh
Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri
hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan.
Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit
sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang
memancarkan sinar merah angker itu. Namun
darah yang terlalu banyak tertumpah membuat
Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya
goyah,
pemandangannya
semakin
kabur,
tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu
menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi
untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai,
darah
dan
cairan
otak
berceceran.
Keris
Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan
tercampak di lantai.
Raden Cokro Ningrat cepat mengambil
senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam
sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung
Kerso, lalu meninggalkan mangan itu. Pintu
kamar sengaja dikuncinya dari luar.
Ketika dia sampai di bagian depan istana,
Kepala
Pasukan
Kerajaan
ini
terkejut

Serombongan pasukan berjumlah sekitar tiga
ratus orang tampak berada di seberang sana,
siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang
bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda
dan tak dikenal sedang yang seorang lagi
dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua
yang diketahui sebagai juru ukur barang-
barang perak.
“Pemberontak keparat! Datang juga mereka
akhirnya!”
serapah
Cokro
Ningrat.
Pada
beberapa orang perwira yang ada di situ dia
segera berteriak memberi perintah. Sejumlah
pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk
menyambut serangan. Namun karena pasukan
yang ada di situ hanya merupakan pengawal
istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih
sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan
pemberontak tidak tertahankan.
“Kurang
ajar!”
kertak
Cokro
Ningrat.
Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana.
“Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur
dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua
kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!”
“Siap
Raden!”
jawab
si
perwira
lalu
tinggalkan tempat itu.
Memandang
berkeliling
Raden
Cokro
menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun
tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak
dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini
segera menuruni tangga istana menyongsong

serbuan pasukan dengan sebilah pedang di
tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan
taman istana, dua penunggang kuda yang
bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu
menghadangnya.
“Bangsat
pemberontak!
Kalian
mencari
mampus!” teriak Cokro Ningrat.
“Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah
rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau
ganti dengan darahmu sendiri!” Balas berteriak
salah
seorang
penunggang
kuda.
Sekali
goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke
arah kepala Cokro Ningrat.

TIGA

Tampaknya lelaki muda yang menyerang
Kepala
Pasukan
itu
memang
memiliki
kepandaian.
Namun
dibandingkan
dengan
kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat,
meskipun dia menggempur bersama seorang
kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan
Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan
sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kura
tunggangan
mereka
hingga
kuda-kuda
itu
merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa
melompat ke tanah.
Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung
sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di
sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan
pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus
dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua
menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat
pada pangkal lehernya.
“Bangsat
pemberontak!
Kalian
mundur
kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan
senjata dan menyerah!” teriak Cokro Ningrat.
Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal
rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di
antara mereka sudah mendekati tangga istana
sementara puluhan prajurit di kedua belah
pihak tampak berkaparan di taman dan tangga
istana. 
Saat itulah serombongan pasukan kerajaan

yang berjumlah hampir dua ratus orang muncul
dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu
tertahan. Se-mangat balatentara Kerajaan yang
tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro
terdengar kembali berteriak.
“Jika kalian tidak menyerah kalian akan
mampus percuma! Kalian sudah terkurung!”
“Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah
saatnya ditutup!”
Terdengar suara membentak.
Satu bayangan putih berkelebat. Angin
serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar
dan cepat bertindak mundur, memandang ke
depan dia melihat orang itu itu tegak dengan
sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
“Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau
adalah seorang gembong pemberontak!” bentak
Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya
orang tua di hadapannya.
Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap
dingin
sedang
sepasang
matanya
tidak
berkedip.
“Namaku bukan Gama Manyar. Akulah
yang
dikenal
dengan
nama
Empu
Soka
Panaran!” berkata orang tua itu dengan suara
lantang lalu wut... wut! Tongkat besi kuning di
tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok
tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning
yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning
yang amat cepat.

Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak
mau
memperlihatkan
perubahan
pada
air
mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka
Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah
seorang ahli pembuat barang-barang ukiran
istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan
orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi
dan kesaktian mengagumkan.
“Kau terkejut setelah mengetahui siapa
aku?
Takut...?!
Lalu
mengapa
tak
lekas
menyerah?!” mengejek Empu Soka Panaran.
“Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja
mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk
mencapai tujuan kotor!”
Soka Panaran tertawa mengekeh.
“Buka
matamu
lebar-lebar,
pasang
telingamu
baik-baik
dan
tanyai
hati
sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor!
Siapa di antara kita yang telah menumpahkan
darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan?
Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan
ratusan
pengkhianat
lainnya
yang
gila
kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas
picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu
yang
syah
hanya
untuk
mendapatkan
kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah
senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu
yang penuh lumuran darah itu...?”
Merah padam wajah Raden Cokro dan
berdesing panas telinganya mendengar kata-kata Empu Soka Panaran itu.
“Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan
mata masih saja bicara tak karuan!” Habis
membentak begitu Cokro Ningrat menyerang
dengan pedangnya. Sementara itu pasukan
Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha
prajurit dan beberapa perwira mengelilingi
kalangan pertempuran antara pemimpin mereka
melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum
orang tua itu memiliki kepandaian tinggi
karenanya
perlu
berjaga-jaga
agar
jangan
sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan
mereka mengalami cidera atau sampai tumbang
di tangan orang tua itu.
Ternyata memang Empu Soka Panaran
bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu.
Setelah
menggempur
habis-habisan
selama
enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro
Ningrat mendapat serangan balik yang gencar.
Tongkat besi kuning di tangan sang empu
menderu
laksana
titiran,
menekan
dan
mengemplang,
menggebuk
dan
menusuk,
membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan
berseru keras sewaktu akhirnya pedang di
tangannya dihantam mental oleh pukulan keras
ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat melompat
mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang
mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro
Ningrat sempat membuang diri ke samping
kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam

tongkat.
Meskipun
selamat
namun
ujung
senjata
lawan
menoreh
pelipis
dan
pipi
kanannya hingga mendatangkan gorensan luka
yang cukup dalam dan mengucurkan darah.
Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa
perwira segera bertindak maju. Menyaksikan
hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak
mengejek.
“Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang
berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan
kalian agar tidak mampus lebih cepat!”
Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada
orang-orangnya.
“Semua mundur! Menghadapi tikus tua
macam ini aku tak butuh bantuan kalian!”
Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan
Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar
merah berkiblat dalam gelapnya malam di
taman istana itu.
Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama
Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta
Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat.
Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena
tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu
setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri
Baginda?
’Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin
mati lebih cepat?” membentak Cokro Ningrat.
“Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas!
Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan

padaku...!”
“Ha... ha...! Kau takut menemui kematian di
tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat.
“Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu
dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu
Soka Panaran.
Wut!.
Sinar
kuning
berkiblat
ketika
tongkat
besinya diputar sebat.
Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan
keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran
tongkat lawan. 
Trang…!!
Kliing…!!
Empu Soka Panaran berseru kaget dan
melompat mundur. Tongkat besi kuningnya
putung sewaktu keris sakti itu membabat
hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya
bergetar dan terasa panas.
“Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa
berada di tangan musuh...” keluh Empu Soka
Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata
yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi
Keris
Mustiko
Geni.
Berarti
dia
harus
mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam
dan akal untuk menghadapi lawan.
“Tua bangka pemberontak!” Cokro Ningrat
berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni
tinggi-tinggi
ke
atas.
“Jika
kau
bersedia
menyerah maka kau akan digantung secara

terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu
akan gosong oleh keris sakti ini!”
“Aku lebih suka mati di ujung Mustiko
Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya
yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula
meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika
keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk
menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa
tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah
pinggang
dan
lagi-lagi
berbahaya
setelah
Mustiko
Geni
dipakai
untuk
menangkis.
Gerakan yang serba cepat membuat Cokro
Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini
cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera
cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan
adalah tegak di kalangan pertempuran dan
melindungi diri dari setiap serangan dengan
Keris
Mustiko
Geni.
Lalu
pada
setiap
kesempatan yang ada dia kirimkan serangan
balasan.
Setelah berkelahi lebih dari dua puluh
jurus,
nafas
Empu
Soka
Panaran
mulai
tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus
berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan
serangannya akan mengendur. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun
merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia
berusaha menghantam tubuh, kepala atau
bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini
serangannya dipusatkan pada tangan kanan


lawan. Apapun yang terjadi dia harus dapat
membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris
Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya
apa yang ada dalam benak si orang tua,
diketahui pula oleh lawan! Kini tampak Cokro
Ningrat
merobah
sasaran
serangan.
Kalau
sebelumnya
dia
berusaha
menghancurkan
senjata
lawan
maka
kini
begitu
berhasil
mengelakkan
satu
serangan
dia
langsung
tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia
tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena
sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit
atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa
ganas
yang
ada
pada
senjata
itu
akan
menewaskannya.
Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa
kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di
tubuhnya.
Keadaannya
sangat
terdesak.
Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang
datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian
ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya
tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas
di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka
mereka yang hidup hanya ada satu pilihan.
Menyerah atau melarikan diri!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor
kuda menerjang masuk ke dalam» kalangan
pertempuran sambil meringkik keras. Dua
orang
prajurit
tergelimpang
roboh
kena

terjangan
kaki
depan.
Seorang
perwira
tersungkur ke samping. Satu perwira lagi
berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi
dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam
suasana
yang
bertambah
kacau
terdengar
seruan.
“Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan
manusia-manusia
perampok
tahta
dan
pengkhianat busuk!”
Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas
punggung binatang ini tampak menyambar
sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro
Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini
dalam
kejutnya
untuk
melompat
mundur.
Begitu selamat dari tebasa pedang dengan
beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke
arah penunggang kuda. Namun dari samping
Empu Soka Panaran datang membabatkan
tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat
sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat.
Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu
kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh
ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang
perwira.
Memandang ke depan Cokro Ningrat segera
mengenali siapa adanya penunggang kuda itu.
Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu.
Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas
dan ikat kepala warna merah.
“Bagus!
Aku
tak
perlu
susah
payah

mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk
menyerahkan nyawa!” kertak Cokro Ningrat. Dia
memberi isyarat pada para pembantunya. Dua
perwira yang barusan menolongnya bersama-
sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang
Suri yang masih tetap berada di punggung
kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain
sedang
tangan
kiri
memegang
pedang
rampasan.
Meskipun
kehadiran
Nawang
Suri
menyelamatkan dirinya dari serangan lawan,
namun Empu Soka Panaran merasa sangat
kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang
Sari  yang cedera tangan kanan dan hanya
mengandalkan
tangan
kiri.
Sementara
itu
jumlah pasukan kerajaan semakin banyak.
Sulita
bagi
mereka
untuk
memenangkan
pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian
tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru
mengkhawatirkan
keselamatan
putri
junjungannya itu!.
“Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya!
Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu!
berseru Empu Soka Panaran.
“Tidak!” sahut Nawang Suri tegas dan tanpa
takut. “Bukankah kita sudah memilih mati dari
pada hidup dinista?!”
Cokro Ningrat tertawa bergolak.
“Kalau sudah masuk ke sarang harimau
mana
mungkin
keluar
dengan
selamat?!

Bersiaplah
menerima
kematian!”
Tangan
kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko
Geni berkiblat ke arah sang empu sementara
Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua
perwira dan tujuh prajurit.

EMPAT

“Bunuh dulu kudanya!” teriak salah seorang
perwira. Lebih dari selusin prajurit datang
menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka
melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu
memusatkan serangan pada kuda tunggangan
sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang
berserabutan.
Bagaimanapun
Nawang
Suri
berusaha
menyelamatkan
kudanya
namun
akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah,
penuh luka
“Bangsat rendah! Mampus kalian semua!”
teriak
Nawang
Suri.
Dia
melompat
dari
punggung
kuda
sebelum
binatang
ini
tergelimpang di halaman istana. Pedangnya
diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh
mandi darah.
Dua perwira cepat berteriak memberi aba-
aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu.
Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira
mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di
tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di
jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu
Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang
kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat
banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya
buntung di babat keris Mustiko Geni hingga
potongan kecil yang masih tersisa di tangannya
tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearah

Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan
itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun
potongan tongkat ini melesat dan menancap di
leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang
Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh
ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!.
Perwira yang kedua terkejur dan tercekat
melihat
kematian
kawannya
yang
berlaku
lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal.
Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam
di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena
kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus,
belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri
menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui
benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar
serangan maut dengan leluasa. 
Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi
korban keganasan pedang sang dara lebih
banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua
orang
kakek
tampak
berkelebat
dalam
kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah
berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan
kedua kakek ini membuat sang dara seperti
terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa
melompat mundur dan memandang dengan
beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri
segera mengenali mereka yakni bukan lain
adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua
hulubalang utama istana.
“Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siap

untuk
mampus?!”
mengejek
Nawang
Suri
sementara sepasang matanya bergerak liar
memperhatikan gerakan belasan prajurit yang
kini mengurungnya dengan rapat.
Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor
memandang dingin tak berkesip.
“Gadis tolol!” mengejek Imo Gantra. “Setelah
lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah
kembali muncul mencari kematian!”
“Akan kita lihat siapa yang mampus duluan,
kau atau aku!” sahut Nawang Suri.
“Pasti kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas
menyusul kedua orang tuamu...?!” mengejek
Imo Gantra.
Mendengar orang tuanya disebut-sebut,
Nawang
Suri
menjerit
marah.
Tubuhnya
berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya
menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana
nomor dua itu.
Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh
dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran
yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya
tinggal menunggu kematian di ujung Keris
Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir
tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga
istana kini terpukul dan didesak mundur
sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan
korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru.
Dan
nasib
Nawang
Suri
jelas
tidak
menguntungkan. Dengan tangan kanan patah,

hanya dengan mengandalkan pedang di tangan
kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh
silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua
kakek itu tidak memegang senjata namun
dalam beberapa jurus saja sudah berhasil
mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan
hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu
menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor
asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan
pedang di tangan kirinya.
Buk!
Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di
dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang
yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra
ternyata menemui kegagalan karena sambil
menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe
Jembor
pergunakan
tangan
kiri
untuk
mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini
selamat dari kematian!
Nawang
Suri
terhuyung-huyung
ke
belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri
dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini
dipergunakan untuk mendekap dadanya yang
sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa
melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan.
Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-
lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh
terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di
kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas di

tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena
tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko
sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya
tapi justru dia sendiri yang menemui kematian
di ujung keris itu.
Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang
tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam
hangus!
“Bagus! Pemberontak tua sudah mampus!
Sekarang
giliran
gadis
tolol
ini
menemui
ajalnya!” teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri
yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini
angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan
maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat
itu pemandangannya menjadi kabur namun
Nawang Suri masih sempat melihat datangnya
bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah
gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut
patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya
ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan
tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang
Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan
tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan
dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda
dengan batu besar hingga dadanya yang sakit
semakin terasa sakit seperti remuk berantakan.
Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun
hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke
langit gelap. Lalu pada orang yang menginjak

tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra
Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan
membunuh Empu Soka Panaran.
“Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa
lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara
bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu
mendadak menjadi sunyi sementara pasukan
penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang
perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
“Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak
bagimu! Kau akan kami gantung di tanah
lapang!
Biar
semua
orang
menyaksikan
hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!”
berkata Cokro Ningrat.
“Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-
nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis
perkara. Semua urusan beres sudah!”
Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor.
Raden
Cokro
Ningrat
menyeringai
mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo
Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra
yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan
Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju.
Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro
Ningrat
membungkuk
dan
tusukkan
keris
Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang
Suri.
Saat itulah terdengar satu suitan nyaring.
Disusul dengan deru angin laksana topan
prahara datang menyambar dari langit malam

yang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu
merasakan
tubuh
masing-masing
bergetar.
Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar.
Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh
Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko
Geni hampir terlepas dari tangannya. Dengan
sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah
sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar
merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit
dengan cepat tapi bahu kanannya tampak
bengkak besar. Seseorang telah melepaskan
tendangan kilat. Masih untung tendangan itu
meleset.
“Keparat! Dia lagi!” terdengar teriakan Imo
Gantra.
“Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar
sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe
Jembor.
Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat
melihat seorang pemuda berambut gondrong
sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan
kaki
merenggang.
Kedua
tangannya
dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya
tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot
tampak tersebul barisan tiga angka yang telah
menggetarkan rimba persilatan.
“Pendekar 212...” desis Cokro Ningrat. Lidah
nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram
embun pagi!
“Aku
sudah
memberi
peringatan
pada

semua
Kalian
di
sini.
Jangan
berani
mengganggu
gadis
ini!
Ternyata
kalian
mengabaikan peringatan itu...”
Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar
kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang
jelas-jelas
menantang
dan
sekaligus
merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia
maju satu langkah dan membuka mulut dengan
suara lantang.
“Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga
lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan
kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang
lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh
orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan
bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa
neraka...?!”
“Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira
kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu
apakah
kau
bisa
menunjukkan
jalan
ke
neraka?!” Habis berkata begitu Wiro Sableng
lalu
umbar
tawa
bergelak.
Karena
suara
tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang
tinggi maka semua orang yang ada di sana
merasakan telinga masing-masing mengiang
memekakkan
sedang
jantung
seperti
berguncang!
Wiro melangkah mendekati Nawang Suri.
“Sahabat, kau tak apa-apa...?” Pendekar ini
menegur.
Dalam hatinya sang dara memaki panjang

pendek. “Aku sudah hampir mampus dikatakan
tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar
sableng!” Walaupun dalam hati memaki, namun
entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad
dan siap menerima kematian, kini muncul
harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam
saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya
lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu,
seperti
sebelumnya
ketika
dia
memberi
pertolongan. Wiro memandang berkeliling.
Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
“Jangan harap kali ini kami memberi
ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi
hidup-hidup!”
“Begitu...?” tukas Wiro. “Kita akan lihat.
Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!”
Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede
ini
gerakkan
tangan
kanannya
ke
pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga
Geni 212.
Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah
melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki
Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro
Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di
tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu
ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan
satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
“Manusia tolol!” teriak Wiro. Tubuhnya
dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik
mengikuti
gerakannya,
membeset
dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong.
Nawang Suri terpekik dan semburkan darah
dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa.
Orang lain menderita luka seperti itu mungkin
sudah pingsan.
Gerakan tangan Wiro untuk mencabut
Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan
tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor
yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu
pemandangan yang luar biasa.
Dengan masih memanggul tubuh Nawang
Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid
Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari
dua serangan tangan kosong dan satu tikaman
keris
yang
disusulkan
oleh
Raden
Cokro
Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan sang dara,
Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara.
Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo
Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang
tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke
arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro
Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping
kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang
ke bawah perut lawan.
Selagi Cokro Ningrat melompat mundur
selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra
terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai
menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras
dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor
terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, maka

Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk
menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung
memanggulnya kembali di bahu kanan!
Para prajurit kerajaan yang menyaksikan
kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah
dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa
bahwa pendekar yang mereka kagumi itu
adalah musuh besar mereka!
Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung
masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah
berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian
tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak
selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di
lain kejap dia telah menggenggam sebilah
tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak
berkilat.
Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak
bersiap-siap
dengan
Keris
Mustiko
Geni.
Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira
telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra
kemudian tampak pula meloloskan senjatanya
dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi
pendek yang ujungnya diganduli lima keping
mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada
kepingan pisau yang bisa menyerang serentak
sekaligus pada satu sasaran atau menebar
menghantam lima sasaran!
Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi
menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak
mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia

menggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212
sudah berada dalam genggamannya. Sinar
perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya
malam. 
“Kalian semua memang minta mampus!
Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak
Wiro.
Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih
menyambar. Rantai besi berpisau lima mata
bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur
hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni
ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran.
Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di
tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu,
namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan
senjata
paling
berbahaya
yang
harus
diperhatikannya.
Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di
depan
dada.
Suara
seperti
ribuan
tawon
mengamuk terdengar menderu disertai kilauan
sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar
hampir
berbarengan
sementara
puluhan
prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat
kalangan
pertempuran
menyingkir
dengan
perasaan ngeri.
Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo
Gantra sama melompat mundur. Rantai besi
berpisau
lima
bergoyang-goyang.
Tombak
bermata tiga bergetar keras ketika terkena
hantaman angin kapak sakti. Hanya Keris

Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan
sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa
senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan
dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni
212.
Melihat
tiga
lawannya
jelas
bergeming
menghadapi
senjatanya,
Wiro
Sableng
melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan
untuk mundur segera meninggalkan tempat itu
karena
hati
kecilnya
tetap
tak
mau
menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan.
Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat,
puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak
merapatkan kurungan sementara itu Kepala
Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat
pada dua hulubalang istana. Bersama Imo
Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali
menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya
menyusun
taktik
yakni
walaupun
tampak
bergerak berbarengan namun serangan tidak
dilancarkan secara bersamaan.
Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe
Jembor dengan tombak berkepala tiganya.
Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang
tua
ini
cepat
melompat
mundur,
begitu
hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke
depan sambil hantamkan rantai besi bergandul
lima pisau berkilat. Sekali lagi Pendekar 212
babatkan
kapaknya
untuk
menghantam
serangan kedua ini. Seperti tadi Ki Rawe

Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat
mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke
dalam kalangan dengan menyusupkan satu
tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng.
Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai
dua sasaran. Pertama memang dada wiro,
namun jika terpaksa meleset maka ujung keris
akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang
Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari
Gunung Gede itu!

LIMA

“Wong edan!” maki Pendekar 212. Terpaksa
dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang
Suri
dan
pergunakan
tangan
kiri
untuk
melepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke
arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk
garis lurus lima jari terkembang membuka.
Serangkum angin dahsyat menggebu. Kepala
Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada
batu besar yang menggelinding menghantam ke
arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad
menruskan tusukan ke arah kepala Nawang
Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret
dia
terpaksa
menarik
pulang
tusukannya,
melompat
ke
samping
menghindari
angin
pukulan.
Selagi
Cokro
Ningrat
mengusap
dadanya yang terasa sakit dan sesak, di
belakang
sana
terdengar
pekik
jerit
menggemparkan. Enam prajurit dan seorang
perwira
yang
terkena
hantaman
pukulan
kunyuk melempar buah mencelat bermentalan.
Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di
dekat tembok depan halaman istana, empat
orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi.
Dua
lainnya
merintih
berkelojotan,
siap
menyusul
empat
kawannya,
sementara
si
perwira terduduk sambil memuntahkan darah
kental

Kejadian yang menggemparkan ini membuat
Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah.
Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan
tombak dan lima pisau berantai mereka lipat
gandakan dengan pengerahan tenaga dalam
penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang
dalam gelapnya malam sedang tombak tiga
mata
mengeluarkan
deru
angin
dingin
menggetarkan.
Ketika
Wiro
dengan
kertakkan
rahang
memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis
dua serangan yang datang, celakanya Nawang
Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si
pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-
tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe
Jembor, padahal saat itu dari samping lima
pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat
sebat tepat membelintang di arah pertengahan
lengan Nawang Suri yang memukul!
Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat
menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor
namun ke dudukannya tidak memungkinkan
menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra.
Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau
tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan
menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru
selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata.
Namun baru saja dia menggerakkan kapak
ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro
Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan

pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko
Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro
Sableng
benar-benar
menghadapi
kesulitan
yang membahayakan jiwanya!
Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa
ber-gelak.
“Pendekar sableng! Akhirnya kau harus
tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang
istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu
akan menemui kematian dihantam tusukan
tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni.
Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan
gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa
terancam tapi tetap saja menyahuti dengan
nada menantang.
“Mana mau aku mati sendirian! Salah satu
dari kalian harus ikut bersama!” Lalu Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak
di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk
dekat sekali ke wajah pendekar ini.
Di saat yang menegangkan di mana Wiro
sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba
murid Sinto Gendeng merasakan ada yang
berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu
tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya
tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya.
Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan
bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-
hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor
kuda menlenjangkan kaki belakangnya. 

Justru saat itu terdengar suara seseorang
seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
“Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan
lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!”
Begitu suara mengiang lenyap, mendadak
bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni
melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo
Gantra yang seharusnya membabat lengan
Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu
jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata
ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga
Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga
mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun
agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras
tadi, tetap saja salah satu matanya sempat
mengiris pipi kanan pemuda itu. Dengan pipi
mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi
tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke
belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh
Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul
menarik gadis itu dari bahunya.
Di samping kanan terdengar teriakan Cokro
Ningrat.
“Kejar bangsat penculik berpakaian hitam
itu!”
Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga
orang kepala regu dan dua orang perwira
bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya
Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan,
dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit

kematian. Dari sekian banyak yang melakukan
pengejaran, dua orang kembali ke halaman
istana. Yang pertama seorang kepala regu,
datang terseok-seok karena salah satu tulang
kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi
perwira berwajah penuh darah karena sebuah
matanya tampak pecah!
“Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat
itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak
hendak mengejar meskipun tangannya masih
terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata
dengan Kapak Naga Geni 212 tadi.
Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu
kawannya ini dan berbisik.
“Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di
sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu
tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki
kepandaian seperti dewa!”
“Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti
dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra.
“Kataku jangan dimas!” Ki Rawe Jembor
Akhirnya membentak. “Kau tahu siapa orang
berpakaian hitam itu?!”
Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra
menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh
kerajaan terdahulu.
Mendengar keterangan itu Imo Gantra
berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki.
Rawe Jembor. “Kangmas Jembor. Ternyata

manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya
bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun
rencana menumpasnya habis-habisan...”
“Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat
ini yang penting adalah menamatkan riwayat
pemuda sableng satu ini!”
Wiro
yang
diam-diam
mendengarkan
pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-
garuk kepala. Setelah mengusap darah yang
keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat
tangan kiri seraya berkata.
“Orang yang kalian ingin tangkap atau
bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada
urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku
mau pergi...”
Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang
istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa
gelak-gelak.
“Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat
kami akan menangkap gadis pemberontak itu.
Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih
dulu!” berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
“Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan
dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali
karena senjata rantai berpisau lima miliknya
musnah di hantam kappa Naga Geni 212.
Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya
menyeringai.
Dia
lepaskan
pukulan
angin
puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja
dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah

halaman istana berlobang besar. Bongkahan
tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup
pemandangan.
“Keparat! Jangan biarkan dia lolos!” teriak
Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak dapat
melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup
begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di
pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba
menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak
menghantam dengan Kapak Naga Geni 212,
semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari
sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar.
Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan
kanan
ke
dalam
sebuah
kantong
yang
tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika
dia memukulkan tangannya ke depan maka
berhamburanlah lebih dari selusin senjata
rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini
melesat di udara hampir tanpa suara dan
mengandung racun sangat jahat.
Meskipun
senjata
rahasia
itu
tidak
mengeluarkan
suara
namun
pendengaran
Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu.
Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala.
Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku
maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa
di antaranya sempat menerpa anggota pasukan
yang ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak
terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang
jahat membuat merasakan nyeri di seluruh

peredaran darah lalu akhirnya menemui ajal
setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak
kuat menahan rasa sakit.
Sewaktu tadi menghantam luruh serangan
paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan
Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus
menekan sebuah tombol rahasia pada bagian
hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-
merta dari lubang-lubang pada gagang kapak
yang berjumlah enam buah mencuat keluar
enam buah jarum halus yang meskipun malam
masih
pekat
kelam
tapi
jarum-jarum
itu
memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya
menyambar ke arah Imo Gantra.
“Dimas awas senjata rahasia!” teriak Ki
Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan
pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri
cepat membuang diri ke samping namun kasip.
Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental
oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya
sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang
kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka
cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya
sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya
seperti ada besi menyala di sebelah dalam.
Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe
Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu
lalu berteriak agar beberapa orang menolong
menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika
dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor

tidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di
tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu
mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap
bengitu saja ?

ENAM

WIRO
SABLENG
tidak
tahu
di
mana
letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa
anta
ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung
Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama
Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat
yang
disebutkan
oleh
orang
yang
telah
melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri.
Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang
tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang
tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun
sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu
cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat
membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti
tentang
orang
itu.
Yakni
dia
memiliki
kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para
tokoh silat istana kelihatannya agak gentar
terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan
lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor
ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan
sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi
mempunyai hubungan sangat dekat dengan
Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia
muncul
menyelamatkan
gadis
itu.
Tetapi
apakah maksud sang resi menunggunya di Goa
Selarong?
Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari
dia berusaha mengobati luka pada pipinya
dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.

Agaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun
tampak angker ternyata tidak mengandung
racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti
telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan
pendekar
itu
menelan
sebutir
obat
lalu
mempercepat larinya menuju kearah timur.  
Menjelang tengah hari keesokannya Wiro
sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh
mata memandang yang tampak hanyalah batu-
batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian
batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di
makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada
pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa.
Wiro
menarik
nafas
kesal.
Kepalanya
digaruk berulang kali.
“Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di
daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu
hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu
luar
biasa
hingga
orang
lain
tak
dapat
mendengar.
Berarti
pesannya
memang
ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud
mempermainkan...”
Wiro
memandang
lagi
berkeliling.
Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah
oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
“Gila!”
kata
pendekar
ini
lagi.
Lalu
mendongak
ke
langit.
Sinar
matahari
menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya
terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya
pemuda ini mendapat akal. Dari pada susah-susah mencari mengapa tidak berteriak saja?
Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan
berteriak keras-keras.
“Resi Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang
kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana
kau berada!”
Suara teriakan Wiro membahana di lembah
batu kapur itu. Bergema panjang berulang-
ulang membuat sang pendekar merasa ngeri
sendiri mendengarnya.
Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak
terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali
lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada
jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak.
“Sialan!” maki pemuda ini. Dia memutuskan
menunggu selama sepeminuman teh di tempat
itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul
dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada
tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ
maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang
di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas
lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu
menukik
laksana
sebuah
anak
panah,
menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap
tak kelihatan lagi. 
“Aneh...”
membatin
Wiro.
“Bagaimana
burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi?
Mungkin...” Wiro Melompat dari duduknya. Lalu
pendekar ini lari ke pertengahan lembah, ke

arah mana tadi dilihatnya burung menukik
turun dari udara dan lenyap.
Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana
sebelumnya
dengan
pasti
tampak
burung
menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala
dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah
lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk
satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi
memang ada dalam lobang itu. Binatang ini
segera terbang ke udara ketika Wiro datang
lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang
berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu
ditendangnya.
Tiba-tiba
tiga
buah
lobang
seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri
kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar.
Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu
perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar
tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing
berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan,
membawa tombak dan perisai. Tombak dan
perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh
prajurit-prajurit
kerajaan
dalam
ukuran
sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi
ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa
tombak panjang dan perisai besar itu.
“Kalian bertiga keluar dari dalam tanah!
Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau
manusia benar ?!” bertanya Wiro keheranan.
Anak perempuan di samping kanan tampak

membesarkan bola matanya. 
“Tua bangka tidak tahu peradatan!” Anak
perem--puan itu membentak. “Sebagai tamu
kau tak layak bertanya tapi justru harus
memperkenalkan diri!”
“Aha... Ini baru hebat!” seru Wiro lalu dia
berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si
anak
perempuan.
Setengah
melucu
Wiro
berkata: “Nah, sekarang kita sama-sama tinggi
kawan! Bagaimana pendapatmu?”
Anak
perempuan
itu
tidak
menjawab
apalagi
tertawa.
Matanya
memandang
tak
berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit.
Terdengar suaranya mendesis.
“Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk
menerima kematian?”
“Heh...?” Wiro berpaling dan jadi terkejut
ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah
tegak di samping kanannya dengan ujung
tombak hampir melekat di batang lehernya!
“Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat
gerakannya
dan
tahu-tahu
kini
sudah
membokong?”
“Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!” Si
anak perempuan berkata.
Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua
ternyata
juga
sudah
menodongkan
ujung
tombak besarnya ke batang leher bagian kiri!
“Hai! Apa-apaan ini?!” tanya Wiro Sableng.
Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk

kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau
tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga
dia
tidak
bisa
bergerak.
Benar-benar
mengherankan. Bagaimana dua anak kecil
begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga
dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak
dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan
adu kekuatan. Namun Wiro tak tega kalau dua
anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun
hanya diam dan berteriak bertanya. Anak
perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat
dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya
hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
“Lekas katakan siapa namamu. Datang dari
mana dan apa kepentinganmu datang ke
lembah ini!”
“Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik
aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Wiro
sambil menyengir. “Namaku Wiro Sableng! Aku
barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang
kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus
dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa
diterima?!”
“Soal kau haus atau lapar bukan urusan
krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa
Selarong?”
Anak
perempuan
itu
bertanya.
Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia
memang tidak main-main.
“Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,”
menjelaskan Wiro.

“Seseorang siapa? Setan? Hantu... Tuyul?
Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak
perempuan
yang
membuat
Pendekar
212
mengulum senyum menahan tawa. 
“Orang itu bernama Resi Mandra Botama…”
“Ada apa kau mencari resi itu? Urusan baik
atau urusan jahat?”
“Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang
meminta aku datang.” Berdasarkan pertanyaan
terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro
segera maklum bahwa daerah sekitar situ,
walaupun dia masih belum melihat adanya goa,
pastilah daerah kediaman orang yang telah
menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri.
Hatinya
puas
dan
kini
dia
akan
mempermainkan dan mengganggu ketiga anak
kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya.
Maka diapun berkata “Mengenai urusanku
dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak
perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga
permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti
mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!”
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro
menyeringai.
“Kami harus menggeledah tubuhmu!” Si
gadis tiba-tiba memutuskan.
“Boleh saja!” sahut Wiro. “Tapi buat apa
susah-susah.
Biar
kutanggalkan
seluruh
pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru
kalian puas!”

“Dan aku juga membawa tiga ekor tikus
besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk
kalian. Seorang satu!”
“Ih...!” Kini ketiga bocah itu sama-sama
menunjukkan sikap jijik.
“Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa
Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi
Mandra Botama?”
“Kau membawa barang busuk dan kotor.
Maksud
kedatanganmu
terselubung
tanda
membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi
dari sini!”
“Begitu? Baiklah. Tapi sebelum pergi aku
akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan
kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!”
“Ternyata maksudmu memang jahat! Biar
kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata
begitu si gadis memberi isyarat pada dua
kawannya.
Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro
segera tusukkan tombak masing-masing ke
leher pendekar itu.
Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan
kiri kanan mendorong keras ke samping,
menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak
lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak
jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental,
keduanya tampak jungkir balik, mendarat di
tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu
langsung menyerbu. Si anak gadis cilik tak

tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan
satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng
“Hebat!” seru Wiro memuji polos karena
kagum
melihat
gerakan
ketiga
anak
itu.
Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal
saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat.
Meskipun gerakan tersebut belum disertai
kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku
lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya.
Wiro sendiri yang semula hendak melayani
secara asal-asalan kini harus bertindak hati-
hati. Pertama dia tidak ingin mendapat cidera ,
apalagi
tertusuk
tombak.
Kedua,
jika
menghadapi
secara
sungguhan
dan
membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia
melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi
tetap bersikap dengan segala kelucuannya
sebagai anak-anak.
Setelah mengelak kian kemari akhirnya
Wiro dapat akal. Cara terbaik menghadapi
ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka
terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat
gerakannya.
Namun seolah-olah tahu apa yang ada
dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah
itu pergunakan tameng di tangan kiri masing-
masing untuk melindungi diri. Karena jengkel
akhirnya
Wiro
memutuskan
untuk
menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis
itu. Hanya saja sebelum hal itu sempat

dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar
dari tiga lobang di tanah batu kapur.
“Prajurit-prajuritku!
Cukup
sudah
sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu
itu kedepanku!”
Serta-merta tiga anak kecil itu melompat
keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya
tegak membentuk barisan dan menjura kepada
Wiro Sableng.
“Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi
yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro sambil
usap-usap luka di pipinya.
Si gadis kecil menjawab mewakili kawan-
kawannya.
“Junjungan
kami
ternyata
bersedia
menemui paman raden. Silahkan mengikuti
kami…..”
Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa
terbahak
ketika
dirinya
dipanggil
dengan
sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah
lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke
dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil
menunjuk ke lobang yang di tengah seraya
berkata dengan sikap hormat: “Silahkan paman
raden. Kita masuk lewat lobang itu...”
“Lewat lobang sekecil itu? Dan masuk ke
mana?” tanya Wiro heran.
“Lobangnya tidak kecil!” jawab si gadis.
“Lihat!” Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran
lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga

lobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki
ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika
melihat Wiro masih tegak terheran-heran si
gadis berkata: “Bukankah paman raden hendak
bertemu junjungan kami. Resi Mandra Bo-
tama? Nah, mau menunggu apa lagi?”
“Hemmm... Jadi kau dan dua kawanmu tadi
itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro
manggut-manggut.
“Baiklah.
Aku
percaya
padamu.” Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini
melompat turun ke dalam lobang. Begitu
kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya
langsung merosot meluncur. Ternyata bagian
dalam
lobang
itu
seperti
sebuah
tabung
peluncur
yang
bagian
bawah
dinding-
dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro
tidak dapat melihat apa-apa. Dia mendengar,
gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya. 
Terowongan di bawah tanah itu cukup
panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat
sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah
itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu
aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah
ruangan besar berwarna putih yang diterangi
banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke
dalam ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi,
pintu di belakangnya terhempas keras dan
menutup.

TUJUH

DUA ANAK lelak menyerang Wiro ternyata
sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila
dihadapan seorang kakek bermuka kelimis
lonjong dengan janggut pendek di dagunya.
Orang tua ini mengenakan pakaian hitam,
berikat kepala dan berikat pinggang kain putih.
Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang
panjang masih berwarna hitam. Kakek ini
duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau
yang
kepalanya
telah
dikeringkan
dan
menghadap
ke
arah
Wiro
dengan
mulut
menganga. Di belakangnya tampak sebuah
pembaringan dimana tampak terbujur sesosok
tubuh yang bukan lain adalah tubuh Nawang
Suri.
Gadis
cilik
dibelakang
Wiro
cepat
melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk
bersila disamping dua kawannya.
“Junjungan,
tamu
sudah
kami
antar
kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di
ruangan ini atau menunggu di taman...”
“Taman...?”
Wiro
memandang
heran
berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan
dibawa h tanah itu? Dan dia tidak melihat
pentu lain selain tiga pintu yang berhubungan
dengan tiga terowongan jalan masuk tadi.
Sang junjungan menganggukkan kepala
pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya

tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan
sangat berwibawa, membuat pendekar kita
merasa risih.
“Kalian tetap berada disini sampai urusan
kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian
pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat
pada tamu kita untuk duduk dihadapanku.
Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan
ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi
isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih
dekat kehadapannya. Meski merasa tidak enak,
Wiro menurut saja dan berkata: “Nah orang tua.
Siapapun kau adanya, saya sudah datang
memenuhi permintaanmu. Harap terang kan
segala maksud.”
Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit
dan sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya
kembali serius.
“Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri
lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari
pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan
itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di
luar lobang...”
“Saya
tahu
kau
adalah
Resi
Mandra
Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro.
Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa
diminta dia menjelaskan “Dulu aku adalah
pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat
itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah

beberapa kali kau selamatkan. 
Untuk
semua
perbuatanmu
itu
aku
mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari
ini juga akan kubalas semua jerih payahmu….”
“Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada
niat untuk minta balas jasa...” jawab Wiro. Dia
memanjangkan
leher
memandang
ke
arah
pembaringan.
“Gadis
itu...bagaimana
keadaannya?”
“Tangannya yang patah sudah dibalut Luka
dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling
tidak membutuhkan waktu setengah bulan
untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga
bulan untuk menyambung kembali tulang
lengan yang patah...Kini dia tertidur nyenyak”.
“Kasihan
dia.
Saya
sudah
berkali-kali
menasihatkan agar jangan berlaku nekad...”
“Gadis itu tidak nekad!” memotong Resi
Mandra Botama. “Apa yang diperlihatkannya
adalah satu keberanian sejati, jiwa satria
membela hak dan demi kewajiban!.”
Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal
urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka
jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru
berkata memberi pendapat.
“Saya
tidak
ingin
mencampuri
urusan
kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan.
Hanya saja kalau saya boleh memberikan
pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya
keliru, apapun yang hendak kalian lakukan

harus di piker masak-masak. Keadaan di luar
sana
sudah
sangat
jauh
berbeda.
Kalian
berjuang, tapi perjuangan kalian akan sia-sia
karena kalian tidak ada beda dengan sebuah
perahu kecil menyongsong badai gelombang
yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di
lupakan saja dan memilih jalan hidup yang
tenang tentram ?”    
Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera
pula
wajahnya
menunjukkan
keseriusan
kembali.
“Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan
lupa badai gelombang yang bagaimanapun
besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat
itulah yang kami tunggu untuk bergerak
kembali...”
“Berarti
pertumpahan
darah
tak
akan
pernah berhenti!” ujar Wiro pula.
“Itu memang sudah aturan kehidupan di
dunia...” menyahuti sang resi.
Wiro menggeleng.
“Kenapa kau menggeleng?”
“Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur
dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!”
Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya
bergetar.
“Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita
bica-kan karena hanya akan mengundang
perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan
pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang

melarangmu
untuk
melakukan
apa
saja.
Tentunya segala akibat dan tanggung jawab
berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau
lebih baik menerangkan mengapa meminta saya
datang ke goa ini….”
“Pertama, seperti kukatakan tadi untuk
mengu capkan rasa terima kasih karena kau
telah menolong puteri raja kami Nawang Suri.
Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah
kau bersedia kawin dengan gadis itu?”
Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga
mendengar ucapan itu.
“Kau terkejut anak muda?” tanya si orang
tua.
“Tentu saja,” jawab Wiro. “Pertanyaanmu
gi...aneh!” Hampir saja pendekar ini hendak
mengucapkan kata gila.
Tapi
sang
resi
langsung
menyambung
dengan pertanyaan: “Apa yang menurutmu gila
atau aneh?”
“Bagaimana kau enak saja menanyakan hal
itu padahal kau bukan orang tua gadis itu...”
“Saat ini kedudukanku lebih kurang sama
dengan orang tuanya....”
“Lain dari pada itu, bagaimanapun juga
Nawang Suri adalah puteri raja sedangkan aku
hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap
orang sinting dimana-mana.
Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini
pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa

demikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari
tiga
langkah.
Tapi
seperti
bisa
memulur
memanjang, tangan kana sang resi tahu-tahu
sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap
yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro
merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu
besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan
tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke
lantai.
Dia
maklum
kalau
orang
tengah
mengujinya 
“Anak muda apa bedanya puteri atau putera
raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi kau
mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk
mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia
mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan
ujar-ujarmu itu...?”
“Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini.
Segala sesuatunya tentu ada pengecualian.
Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani
menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf.
Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri
Resi Mandra Botama menarik tangannya
dari bahu Wiro.
“Urusan yang satu itu kuanggap belum
selesai. Aku memberi waktu satu setengah
tahun padamu untuk memberikan jawaban…”
“Ah...kenapa
urusan
jadi
gila
macam
begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali
terdengar si orang tua berkata.
“Anak
muda,
sementara
urusan

perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda
dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi
menolong atau tidak...”
“Apakah itu?”
“Keris Mustiko Geni,” sahut sang tesi Kini
ha nya tinggal sarungnya saja yang ada pada
kami. Keris nya telah dirampas orang-orang
kerajaan.
Dapatkah
kau
membantu
mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan
itu?”
“Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu
permintaanmu saya akan mencoba,” jawab
Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
“Kau sangat kesusu anak muda?” bertanya
Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri
dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau.
“Maafkan, saya memang harus pergi. Saya
gembira bisa bertemu denganmu...”
“Jangan buru-buru pergi dulu, anak muda.
Ada sesuatu untukmu!”
“Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa
apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan
pamrih...”
“Ini
tak
ada
hubungan
dengan
soal
kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata-
mata pemberian dariku karena aku suka
padamu...”
Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi
Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda.

Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit
harimau
di
hadapannya.
Besarnya
sekira
setelapak
tangan,
berbentuk
bulat
yang
berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai
sudut runcing sebanyak tujuh buah. Satu
berwarna merah satu lagi berwarna putih. 
“Ini adalah Sepasang Cakra Dewa.” berkata
Resi itu. “Yang berwarna merah Cakra Jantan
dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh
mengambil yang merah
“Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf,
saya tak berani menerima pemberianmu...” kata
Wiro seraya membungkuk.
“Jangan membuat aku tersinggung anak
muda: Aku tidak bermaksud menyogokmu!”
Sang resi tampak agak marah.
“Saya tidak mengatakan demikian atau
bermaksud begitu,” sahut Wiro.
“Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila
mengenai sasaran atau serangan meleset dia
akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya
memiliki racun mematikan yang tidak luntur
sampai seratus abad.
Ambillah yang merah ini. Aku berikan
dengan tulus ikhlas...”
Karena Wiro Sableng masih tak
mau
menerima
akhirnya
Resi
Mandra
Botama
menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri
dan melangkah mundur ke sudut ruangan.
“Kau akan saksikan kehebatan senjata ini,

anak muda!’” kata sang resi. Lalu sekali tangan
kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya
bergaung aneh.
Terkejut mendapat serangan tak terduga itu
Wiro berseru kaget dan cepat-cepat rundukkan
kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat
putus rambut yang melingkar di bawah telinga
kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak
mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara
lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama.
Orang
tua
ini
cepat
menangkapnya
dan
memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
“Orang tua, kau hendak membunuhku...”
kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar
suaranya.
Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh
pendekar sepertimu, anak muda,” katanya. Lalu
dia memberi isyarat pada ketiga “prajuritnya”.
Tiga anak kecil yang duduk di sebelah
kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke
dinding sebelah belakang. Menekan salah satu
bagian
dinding.
Secara
aneh
dinding
itu
menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka.
“Selamat jalan anak muda...” kata Resi
Mandra Botama.
“Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri.
Sekali lagi terima kasih…..”
Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro
melangkah
dulu
mendekati
pembaringan.

Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar
lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu
dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak
itu.
“Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku
kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain
kali apakah mau meneruskan permainan di
lembah batu kapur tadi….?”
“Tentu
saja
paman
raden.
Asalkan
junjungan kami memberi izin” jawab ketiga
anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan
dinding belakang dan menutup kembali.
“Aneh...
dunia
ini
memang
penuh
keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata
lobang kediaman Resi Mandra Botama di
sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang
subur. Jika orang berada di taman itu, tak
satupun yang bakal mengetahui bahwa pada
samping batu yang tertutup rumput terdapat
sebuah pintu rahasia. “Pantas orang-orang
Kerajaan
tak
pernah
berhasil
menemukan
tempat persembunyian ini...”
Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan
Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu
ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah
dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir
panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke
arah pohon. Menancap tepat di pertengahan
batang. Begitu menancap secara aneh senjata
ini melejit keluar dan kembali ke arah Wiro.

Cepat-cepat
Wiro
menangkap
benda
itu,
memperhatikannya
penuh
kagum
lalu
menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia
hendak
melangkah
pergi,
sekilas
dia
memandang lagi ke arah pohon yang tadi
ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding.
Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke
daun dilihatnya berubah membiru! “Racun
ganas!
Benar-benar
ganas!”
Pendekar
212
geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.

DELAPAN

“Bagaimana keadaannya...?” tanya Ki Rawe
Jembor.
Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan
gelengkan kepala. Wajahnya murung. “Saat ini
kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang
menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh
aliran
darah
sampai
ke
jantung.
Kami
melakukan beberapa totokan.
Ki Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya.
“Kalian bertiga harus menemukan jalan
menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang
bisa membantu jangan segan-segan minta
tolong!”
“Akan kami perhatikan pesanmu itu, 
Ki Rawe.”
“Apakah kalian ada melihat Raden Mas
Cokro Ningrat?”
Dua orang menggelengkan kepala. Orang
ketiga menjawab “Tidak.”
“Baiklah. Rawat sobatku itu baik-baik.
Nanti aku segera kembali.” Keluar dari kamar Ki
Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana
guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa
pasti orang itu tak ada di istana maka dia
segera
menuju
ke
tempat
kediamannya.
Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada.
Ketika dia hendak meninggalkan tempat itu
seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi.

Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah
bicara.
“Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat.
Hulubalang diminta datang menemuinya di satu
tempat. Harap mengikuti saya….”
Pelipis Ki Rawe Jembor bergerak-gerak.
Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro
Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan
dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia
memegang kendali tertinggi, namun masih ada
Patih Wulung Kerso atasannya.
“Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil
aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia,
bukan ke istana?” bertanya Ki Rawe Jembor.
“Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya
diperintahkan saja...”
“Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada
sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita
sama-sama menemui Raden Mas Cokro Ningrat.
“Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro
meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang
ju...”
Plaak!!
Satu
tamparan
mendarat
di
wajah
penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua
giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari
punggung kuda tunggangannya.
“Sekali lagi kau berani bicara sembrono,
kupatah-kan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe
Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju

istana. Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti
sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan.
Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu
juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke
istana. Dia memang tidak suka pada sang patih
namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja
membuat
dia
diam-diam
merasa
kawatir.
Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat
yang tahu-tahu kemudian mengirim seorang
utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini?
Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang
tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan Pangeran
Purbaya. Pangeran inilah satu-satunya yang
berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra
tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya
saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya
berjudi dan menyabung ayam sangat tidak
pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa
pengganti
yang
lain?
Belum
lagi
urusan
mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas
di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak hal
yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu.
Disamping tanda tanya besar  apakah bala
tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu
akan muncul kembali di bawah pimpinan
Nawang
Suri,
dibantu
oleh
Resi
Mandra
Botama? Lalu kalau pemuda sableng itu ikut-
ikutan muncul suasana pasti bertambah tak
karuan.
Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor

memerintahkan tiga puluh anggota pasukan
pengawal istana untuk mencari Pati Wulung
Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar
sang patih ditemui telah jadi mayat dalam
kamar penyimpanan barang-barang dan senjata
pusaka istana. Ketika Ki Rawe Jembor datang
sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan,
hatinya tercekat. Sekujur tubuh dan wajah
Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman.
Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu
pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni.
Karena hanya senjata itulah satu-satunya yang
memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja
dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan
bencana besar bagi Kerajaan!
Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe
Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang
berada dan menunggu di halaman istana. Dia
berpikir-pikir apakah akan menemui Kepala
Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran
Purbaya lebih dulu.
Akhirnya Ki Rawe Jembor memutuskan
untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran
ini berada di ruangan besar istana di mana
jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi
oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir,
pejabat tinggi istana termasuk putra dan
putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan
lima perwira mengawal ruangan ruangan besar
itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang

kursi di mana Pangeran Purbaya duduk.
Mendengar bisikan orang tua itu pangeran
berdiri
dan
melangkah
mengikuti.
Dalam
sebuah
kamar
mereka
mengadakan
pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu
adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya
segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri
Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga
pengumuman akan disampaikan ke seluruh
kerajaan dan upacara resmi tapi singkat akan
diadakan di depan jenazah Sri Baginda. 
Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki Rawe
Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar.
Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe
mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di
mana sebelumnya kedua orang itu berbicara
dengan ruangan besar di mana jenazah Sri
Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua
ratus langkah. Mereka harus melewati gang
yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan
baru sampai di ruangan besar.
Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba-
tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka.
Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng
kain menghambur keluar. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah senjata yang secara aneh
pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata
terbungkus
ini
orang
tersebut
langsung
menyerang Pangeran Purbaya!.
Seperti
dituturkan.
Pangeran
Purbaya

bukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam
usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki
kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga
dalam
atau
kesaktian.
Karenanya
ketika
mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru
kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan
kedua tangan di muka dada.
“Bangsat kesasar!” teriak Ki Rawe Jembor.
Dia melompat ke depan menyergap penyerang
bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi.
Si penyerang seolah-olah tersentak kaget
melihat Hulubalang istana kelas satu ada di
situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya
terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha
menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang
dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu berhasil
menghindar si penyerang membalikkan diri,
masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi
dia
keluar
dan
membantingkan
pintu
di
belakangnya. Ki Rawe Jembor mengejar sambil
lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong.
Pintu jati yang kokoh itu hancur berkeping-
keping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata
kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan
jendela terpentang lebar. Ki Rawe Jembor
mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya
kegelapan yang menyambut. 
“Hemm...” bergumam Ki Rawe Jembor.
“Seseorang
menginginkah
kematian
diri

Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini
semakin tidak karuan. Kutogede jelas-jelas
dalam cengkaman bencana…..”
Tanpa menutup jendela itu kembali, orang
tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran
Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya
masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan
sang pangeran lalu mengantarkannya kembali
ke
ruang
besar
tempat
Sri
Baginda
disemayamkan.
Setelah
itu
dia
memanggil
perwira-perwira yang bertugas, menceritakan
apa yang barusan terjadi dan mengatakan
sementara
riaden
Cokro
Ningrat
belum
diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan
mengambil alih tugas pimpinan sebagai Kepala
Pasukan
Kerajaan.
Dia
memerintahkan
penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat
ganda. Keselamatan keluarga istana harus
diperhatikan.
“Aku akan meninggalkan istana barang
beberapa
lama.
Kalian
atur
persiapan
penobatan
Pangeran
Purbaya,
termasuk
pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat.
Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari
naik aku pasti sudah kembali!” Begitu Ki Rawe
Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan
samping dia pergi menemui utusan Cokro
Ningrat yang menunggunya sejak tadi. 
Di sebelah timur langit mulai tampak
terang-terang tanah tapi di tepi hutan yang

terletak di sebelah barat Kutogede keadaan
masih diselimuti kepekatan menghitam disertai
udara dingin yang masih mencucuk.
Tak
lama
memasuki
hutan,
dalam
kegelapan
tampak
sebuah
rumah
kayu.
Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas
tampak gelap gulita tapi cii sebelah bawah ada
sinar lampu menyeruak di antara celah-celah
dinding papan.
Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di
sampingnya.
“Raden Cokro menungguku di bangunan
itu?” tanya si orang tua.
Penunggang
kuda
disebelahnya
mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu
tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki
Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga
tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe
lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam
semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak
bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun
dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan
dan
semak
belukar,
bergerak
mendekati
bangunan bertingkat dua.
Tinggal sejarak enam langkah dari dinding
bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat
atas berdesing belasan anak panah.
Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia
cepat menyelinap ke balik pohon besar.
“Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja

hendak menjebak dan membunuhku di tempat
ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan
lebih dahulu!” Habis memaki dalam hati begitu
hulubalang kelas satu ini berteriak; “Cokro
Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan
keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa
maumu sebenarnya!”
Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba-
tiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada
gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di
tempat
itu.
Menyusul
terdengar
seruan
bertanya.
“Siapa di luar sana?!”
“Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama
Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang
kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang
jebakan!”
“Ah...!” terdengar suara kaget dari dalam
bangunan. “Kami kesalahan! Kami kira kau
seorang penyusup!”
Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh
tampak tegak di ambang pintu dan melangkah
keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali.
Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil
menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri
tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar
dari
balik
pohon.
Dengan
hati-hati
dia
menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke
arahnya.
“Cokro! Mengapa Kau menyuruh orang-orang di atas sana memanahku?!” tanya Ki
Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan
dengan Raden Cokro.

SEMBILAN

KAMI KELIRU!”Sahut Raden Cokro Ningrat.

“Mohon
maafmu
kangmas
Jembor.
Sebelumnya
aku
terlah
memberi
perintah
menyerang siapa saja yang mendekati tempat
ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku
kau dan utusanku itu. Ternyata kau muncul
sendirian.
Kau
tak
apa-apa?
Heran,
apa
utusanku tidak menemuimu?”

“Orang itu memang menemuiku….”

“Nah, dimana dia sekarang?”

“Sudah kulemparkan ke dalam semak di
belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor. “Raden
Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak
tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!” 
“Mari
kita
bicara
di
dalam
kangmas
Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa
menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh
dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Meski hatinya semakin jengkel namun Ki
Rawe
Jembor
mengikuti
langkah
Kepala
Pasukan itu. Tapi tangan kanannya diam-diam
tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh
sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak
bermata
tiga
yang
tersembunyi
di
balik
pakaiannya. 
Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro
menutupkan
pintu.
Ki
Rawe
Jembor
memandang sekeliling ruangan. Di situ ada

sebuah meja dengan lampu minyak besar di
atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker
yang duduk di belakang meja. Sekali lihat saja
Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga
manusia itu.
Yang pertama seorang kakek bermuka tirus.
Sebelah
mukanya
berwarna
putih
sebelah
lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat
tumpahan
air
panas.
Namanya
Ronggo
Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat
yang diam di Gunung Merbabu.
Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut
buncit. Mukanya bulat berminyak tertutup oleh
cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang
matanya sangat besar dan berwarna merah.
Kepalanya ditutup dengan kain warna merah.
Dia membawa senjata secara aneh. Senjatanya
yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke
leher dan digantung seperti memakai kalung.
Inilah Warok Tumo Item, raja diraja kaum
perampok yang malang melintang di seantero
Jawa Tengah dan bermukim di sebuah hutan di
kaki tenggara Gunung Sumbing.
Lelaki
ketiga
bermuka
bopeng.
Kedua
matanya yang besar tampak menyeramkan
karena ada lapisan putih yang menutupi bagian
bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti
memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia
mengenakan
rompi
tak
berkancing
hingga
dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi

bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di lehernya
tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari
tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini
dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
“Raden Cokro... tidak sangka kalau kau ter
nyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata Ki
Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak.
Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
“Bukan hanya kenal kangmas Jembor.
Justru mereka adalah kawan-kawanku sejak
lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan
begitu para sobat?”
Warok Tumo Item menyeringai mendengar
ucapan
Cokro
Ningrat.
Lonceng
Maut
mengangyuk. Sebaliknya Ronggo Sampenan
hanya diam saja.
“Tak
usah
sungkan-sungkan
kangmas
Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam
ini kita akan mengadakan perundingan penting.
Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus
diambil cepat. Sebelum matahari muncul di
timur...”
Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak
enak... Dia berkata: “Aku memang tak punya
waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke
Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana.
Banyak masalah yang harus kita pecahkan...”
“Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di
istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah
yang kita hadapi saat ini justru paling penting.

Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan
kerajaan…..”
Hulubalang istana itu menatap paras Raden
Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk
di salah satu kursi yang kosong. Walaupun
matanya masih tetap menatap Raden Cokro
namun ekor matanya melirik ke sudut ruangan
di mana tergantung sehelai kain berwarna
gelap, berukuran pendek dan berbentuk aneh.
“Silahkan kau memberi keterangan akan
maksudmu
Raden
Cokro,”
kata
Ki
Rawe
Jembor.
“Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan
saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan
pemberontak berhasil kita hancurkan dan
Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya
tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang
Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup.
Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri
Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang
mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut
karut bencana besar akan muncul! Karena itu
perlu segera diangkat seorang pimpinan baru.
Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…”
“Hal itu sudah kusadari benar Raden
Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor.
“Aku bersyukur dan merasa gembira kalau
kangmas
menyadari
hal
itu.
Karenanya,
mengingat
Keris
Mustiko
Geni
berhasil
kuamankan saat ini berada di tanganku, aku

tidak
merasa
sungkan
untuk
mengatakan
bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan
akan segera penobatan diriku sebagai raja….”
Ki Rawe Jembor terkejut bukan main
mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan
itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau
memperlihatkan
rasa
terkejutnya
pada
air
mukanya.
“Kau
tak
memberi
jawaban
apa-apa
kangmas...”
berkata
Cokro
Ningrat
seraya
melayangkan pandangan berarti pada Ronggo
Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng
Maut.
“Niatmu
untuk
mengatas
namakan
keselamatan
kerajaan
patut
kupuji
Raden
Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni
lambang tahta kerajaan ada di tanganmu,
namun menurut garis silsilah yang berhak
menjadi raja adalah Pangeran Purbaya...”
“Pangeran
Purbaya?!”
Membuka
mulut
dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia
tertawa gelak-gelak. “Pemuda tolol berotak
miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat
Kutogede!”
“Kangmas Jembor, kau dengar sendiri
pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu
tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku
jadi raja?”
“Lagi pula,” ikut bicara si muka bopeng
Lonceng Maut. “Mengapa kita harus meributkan

soal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan
kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru
soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan
gila…”
“Betul sekali,” kata Cokro Mingrat. “Aku
percaya kangmas Jembor akan berada di pihak
kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala
Pasukan
Kerajaan
akan
kuberikan
pada
kangmas
Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor
tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus
terang dia tidak suka sejak lama terhadap
Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa
kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu
sehubungan dengan kematian Patih Wulung
Kerso dan adanya usaha penyergapan dan
pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
“Apakah Raden mengetahui kalau Patih
Wulung Kerso telah meninggal dunia?”
“Astaga? Bagaimana hal itu bisa terjadi?!”
Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe
Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-
puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya
tampak tenang-tenang saja.
“Dia
tewas
dibunuh
seseorang
yang
mempergunakan senjata sakti!”
“Pembunuhan lagi!” seru Raden Cokro
seraya berdiri dan menggebrak meja dengan
tangan kirinya. “Apakah sudah diketahui siapa
pembunuhnya?”

“Saat ini memang belum. Tapi nanti juga
bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Nah,
kangmas
lihat
sendiri
betapa
kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas
ditangani
bencana
besar
akan
menimpa
Kutogede…”
“Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya
kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe
Jembor.
“Kalau begitu kangmas saya mintakan
tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan
penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan
kuserahkan padamu untuk mengaturnya.”
“Hal itu tak mungkin dilakukan Raden.
Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah
dinobatkan jadi raja.”
Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini
benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari
kursinya.
“Kalau begitu...” terdengar suara Lonceng
Maut
berkata
sambil
permainkan
lonceng
kuning yang tergantung di lehernya. “Sudah
saatnya kita harus menyerbu istana sekarang
juga!”
“Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!”
kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya
berdiri dan melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu, sampean mau pergi ke
mana?” bertanya Ronggo Sampenan.
“Aku akan kembali ke Kutogede.”

“Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini
tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden
Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah
dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng Maut,
Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item
serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu
bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri
di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil
sikap mengurung. 
“Kurasa aku tidak menyinggung siapapun.
Aku hanya minta jangan ada yang melakukan
hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan
mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus
padamu Raden Cokro, kuharap kau suka
mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku.
Senjata itu harus berada di istana.”
Raden Cokro Ningrat tersenyum.
“Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!”
katanya.
Lalu
dari
balik
pakaiannya
dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini
terbungkus kain. Melihat hal ini berubalah
paras Ki Rawe Jembor.
“Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi
mencoba menyergap dan membunuh Pangeran ‘
Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu
juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti
kau bungkus dalam kain agar tidak mudah
diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!”
“Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam.
Sudah
mengetahui
begitu
mengapa
masih

bersikap tidak bersahabat?!” berkata Lonceng
Maut.
“Kalau kami tidak segan-segan membunuh
seorang calon raja apa artinya nyawa manusia
seperti-mu!” menimpali dukun jahat Ronggo
Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau
dari dalam kantong pakaiannya dan mulai
mengunyahnya. Ki Rawe Jembor maklum kalau
orang ini memang suka mengunyah tembakau.
Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu
kerap
digunakan
sebagai
senjata.
Bila
di
sembur dapat menghancurkan bagian tubuh
manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan
buta. 
“Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar
kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke
istana.” Raden Cokro berkata sedang tangannya
menahan daun pintu hingga Hulubalang utama
kerajaan itu tak dapat membukanya.
“Kita berada di pihak yang berlainan Raden.
Beri aku jalan. Buka pintu itu...”
Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk
maka Lonceng Maut membuka mulut: “Tak
perlu kita meminta seperti pengemis pada
manusia tak berguna ini!”
“Betul!”
Menimpali
Ronggo
Sampenan.
“Jikadia tak mau tinggal bersama kita, biar
nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!”
Habis berkata begitu dukun jahat ini
semburkan tembakau di dalam mulutnya ke

arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama
yang
telah
berjaga-jaga
ini
dengan
sigap
rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat
di atas kepalanya, menancap di dinding papan.
Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan
yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam
dihantamkan
ke
arah
Ronggo
Sampenan.
Meleset dan angin pukulan melabrak meja
hingga
terguling
dan
ambruk
berantakan.
Lampu minyak di atas meja ikut terbalik segera
membentuk kobaran api. Perkelahian pecah
sementar bangunan di mana mereka berada
mulai ikut terbakar.
Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor
namun
menghadapi
empat
lawan
tangguh
begitu rupa, dalam keadaan tubuh penuh luka,
memar dan menghitam akibat racun Keris
Mustiko Geni, akhirnya dia menemui ajal.
Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran
api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu
itu.

SEPULUH

MENJELANG pagi. Sang surya masih belum
terlihat menyembul meski langit di sebelah
timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan
besar
istana
satu
upacara
besar
siap
dilangsungkan.
Yakni
penobatan
Pangeran
Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula
dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah
Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih
Wulung Kerso.
Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi
besar
berukir
kepala
harimau
pada
dua
lengannya
dan
burung
garuda
pada
sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak
mengapit
masing-masing
seorang
perwira
berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan
tameng dan tombak sedang pedang tersisip di
pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret
para pejabat dan petinggi kerajaan. Sedang di
belakang
kursi
Pangeran
Purbaya
duduk
ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan
selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi
serombongan pemain gamelan menembangkan
lagu-lagu sedih.
Suara gamelan berangsur perlahan dan
akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul
keluar seorang gadis membawa baki emas,
melangkah setindak demi setindak menuku
tempat
duduk
Pangeran
Purbaya.
Di

sampingnya
mengawal
empat
prajurit.
Menyusul dua orang tua berjubah putih.
Keduanya adalah pejabat-pejabat Istana paling
tua
yang
di
percayakan
utuk
memimpin
upacara penobatan itu.
Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak
sehelai kain merah putih terlipat rapi yang
berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di
atas
kain
inilah
terletak
mahkota
emas
bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di
sudut ruangan menyerukan kata-kata puji
syukur dan Tuhan Yang Maha Esa.
Gadis
pembawa
mahkota
sampai
di
hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh
rombongan dia menjura membungkukkan diri
sementara semua yang hadir di ruangan itu
telah berdiri.
Dua orang tua berjubah putih maju ke
depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan
tangan
menyentuh
mahkota
sedang
yang
sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang:
“Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan
Yang mempunyai semua kekuasaan di
Kata-kata itu terputus mendadak karena
dari  ruangan sebelah depan istana tiba-tiba
menerobos
tiga
sosok
tubuh.
Yang
satu
berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah
langsung menyambar mahkota yang ada di atas
baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan  terdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut
terpelanting.
Tentu
saja
suasan
menjadi
gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di
kursi
besar.
Dua
orang
perwira
yang
mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang
ke depan. Salah seorang ayunkan tombak
sambil membentak : “Rampok-rampok dari
mana
yang
berani
berbuat
kurang
ajar!
Menganggu jalannya upcara penobatan!”.
“Trang…”
Tusukan tombak tertahan oleh sambaran
golok bermata dua. Tombak itu patah dua
sedang
sang
perwira
kemudian
terdengar
menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini
menancap di perutnya!
“Kami bukan perampok!” salah satu dari
tiga orang yang menerobos masuk berteriak
seraya melompat ke atas sebuah meja. “Kalian
semua
dengar!
Kami
datang
untuk
menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh
berada di mana-mana. Acara penobatan ini
tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja
bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani
menantang nasibnya akan sama dengan perwira
itu!”
Sesaat suasana menjadi hening seperti di
pekuburan. Ketegangan menggantung di udara.
Tapi
hanya
sesaat.
Suasana
gempar
tak
terkendalikan
lagi.
Beberapa
prajurit
dan
perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi sia-sia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu
menyingkir
dengan
suara
gaduh.
Belasan
pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan
termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke
ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil
menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari
ruangan. 
Orang yang tegak di atas meja kembali
berteriak. “Kalian semua tetap di tempat!
Kalian...”
Sebatang anak panah melesat dari arah
jendela di samping kanan, mengarah ke dada
orang yang tegak di atas meja. Namun dengan
hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak
panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar
sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah
jendela. Di belakang jendela terdengar suara
memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang
perwira
yang
tadi
melepaskah
panah
itu
menemui ajalnya.
Orang
di
atas
meja
berteriak
sambil
berkacak pinggang. “Ada lagi yang hendak coba
membokong?!”
Suasana kembali sunyi tapi ketegangan
semakin memuncak.
Siapakah
tiga
manusia
yang
barusan
muncul mengacaukan jalannya upacara besar
di istana itu? Mereka bukan lain adalah Warok
Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang
tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
“Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan
akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang
raja gagasi perkasa! Yang akan melindungi
kerajaan
dari
bencana
keruntuhan
dan
peperangan. 
Lalu
Lonceng
Maut
mengembangkan
tangannya ke arah langkan istana. Di situ
tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam
pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah
menuju kursi besar di ruangan upacara. Di
tangan
kanannya
dia
menggenggam
Keris
Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah,
keris sakti mandraguna lambang tahta kerajaan
yang telah merenggut sekian banyak jiwa.
Warok Tumo Item yang tegak memegang
mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro
sampai
di
hadapannya
segera
meletakkan
mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat
itulah
dari
dalam
menghambur
seorang
perempuan sambil berteriak.
“Manusia-manusia
rendah!
Pengkhianat
busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng
ratu
ibunda
Pangeran
Purbaya.
Entah
bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat
aman, dia berhasil meloloskan diri. Dan kini dia
menghambur ke arah Raden Cokro sambil
menghunus sebilah pisau besar.
Ronggo
Sampenan
cepat
datang
menyongsong dan mendekap perempuan itu.

“Semua
orang
dengar!”
teriak
ibunda
Pangeran Purbaya. “Jangan berdiam diri saja!
Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia
pengkhianat
itu!
Mereka
bukan
hendak
menyelamatkan
kerajaan.
Tapi
peram-pok-
perampok bejat!”
Seperti mendapat semangat maka sejumlah
pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana
segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga
kambratnya.  Namun semua itu tentu saja
merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang
singkat ruangan besar Istana itu telah berubah
menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan
dimana-mana. Darah membasahi dinding dan
lantai. Suara pekik kematian dan erangan
mereka yang meregang nyawa membuat tempat
itu seperti neraka

SEBELAS

PERMAISURI yang malang itu terbaring di
tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan
walaupun kedua matanya telah belut dan
merah karena terus-menerus menangis sehri
semalam.
“Tak pernah kusangka nasib kita akan
seburuk
ini,
Purbaya”
terdengar
suara
perempuan itu di antara isakannya.
Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di
sudut ruangan batu yang merupakan penjara
itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya
tampak kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak
berdarah.
“Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah
bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua
ini.
Entah
bagaimana
pula
dengan
nasib
saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro
benar-benar manusia setan...”
Pangeran Purbaya menghela nafas dalam.
“Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah,
ibunda...” katanya kemudian.
Sang ibunda bangkit dari tidurnya da
menatap tajam pada putranya. “Ucapanmu
hanya
menunjukkan
kelemahan
hatimu.
Seorang putra mahkota tidak boleh berkata
seperti itu…..”
Purbaya gelengkan kepala. “Saat ini aku
bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah

jadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi
bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda
bahwa
dalam
waktu
dekat
kita
akan
menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang
berkuasa pasti akan menggantung kita cepat
atau lambat 
Mendengar kata-kata puteranya itu sang
permaisuri semakin keras tangisnya. “Kita tidak
tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar
atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja
ke dalam jurang ...”
Terdengar rantai pintu besi ruangan batu
itu digeser orang. Sesaat kemudian pintu
terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi
tidak
masuk
secara
wajar
karena
tubuh
keduanya kemudian dibantingkan ke dinding
hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan
itu muncul orang ketiga yang membuat baik
Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri
raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat
berdiri.
“Mengapa kau berada di sini! Bukankah
kau
orangnya
yang
membantu
gadis
pemberontak itu?!”
Orang yang dibentuk menyeringai. “Kau
benar
Pangeran,
dulu
aku
membantunya
karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi
buta ini aku datang kemari untuk menolongmu.
“Jangan percaya pada pemuda gila ini,
Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.

“Memang siapa yang percaya padamu. Kau
tidak lebih baik dari empat keparat yang kini
menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai
dedengkotnya!”
“Dengar kalian berdua. Kita tak punya
banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah
kereta yang akan membawa kalian ke satu
tempat.
Dari
tempat
itu
akan
disebar
pengumuman bahwa kalian berdua masih
hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal
ini maka
urusan dengan empat manusia
keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita
mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta
berkahNya,, kau akan mendapatkan tahta
Kerajaan yang menjadi hakmu itu... Tapi aku
ada syarat…”
Ibu
dan
anak
saling
berpandangan.
Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda
gondrong yang ada di hadapan mereka, yang
bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
“Sampai saat ini orang-orang itu masih
terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik
untuk meninggalkan tempat ini. Mari!”
Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini
seperti memberi semangat pada sang pangeran.
Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga
mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap
di bawah istana dan akhirnya sampai di tembok
timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat

sepbuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah
orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan
berlima mereka menyelinap menuju kereta yang
telah menunggu di luar tembok.
Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran
Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok
tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika
diamati ternyata orang ini adalah Imo Gantra,
bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih
berada
dalam
keadaan
lumpuh
akibat
hantaman jarum.
“Sebelum menyusup ke tempat tahanan
kalian, aku berhasil menemukan dia dan
membawanya ke dalam kereta lebih dulu.
Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku
mengikat sebuah syarat…..”
Mendengar
ucapan
Wiro
itu
Pangeran
Purbaya
bertanya:
“Apa
syarat
yang
kau
maksudkan itu...?”
“Syarat
enteng
saja.
Kalian
kubantu
mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris
Mustiko Geni akan kubawa...”
“Mana
mungkin
begitu!”
tukas
ibunda
Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur
dengan cepat. “Keris itu adalah lambang ikatan
tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan.
Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja...”
“Jangan tolol!” jawab Wiro. “Jika seorang
jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata
itu, apakah dia bisa jadi raja?!”

Ibu dan anak terdiam.
“Apa perjanjianmu dengan paman Imo
Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya.
“Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau
tidak dengan syarat tadi...”
“Aku setuju saja!” jawab Pangeran Purbaya
tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka
mulut namun akhirnya memutuskan untuk
tidak membantah.
“Nah,
perjanjianku
dengan
orang
tua
bermuka
cekung
ini
ialah,
aku
akan
mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di
tubuhnya.
Setelah
sembuh
dia
harus
membantuku menggasak empat keparat yang
sekarang bercokol di istana!”
“Kau telah mencelakainya, apakah paman
Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya
Pangeran Purbaya.
Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo
Gantra.
Suaranya perlahan saja karena tubuhnya
yang lumpuh memang berada dalam keadaan
lemas. “Aku memang sudah menyetujui syarat
pemuda gila itu….”
Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala
sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu
baik-baik...”
Tapi ibunda Pangeran Purbaya msih belum
puas. Dia bertanya. “Setelah kau mendapatkan
Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau

lakukan dengan senjata itu?”
“Akan kuberikan pada seseorang. Tapi
jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas
senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk
menambah noda darah dalam Istana….”
“Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia
memang aneh. Terus terang sebenarnya aku
tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi
perjaka yang bisa keluyuran ke mana-mana...”
“Anak tolol!” bentak bekas permaisuri ketika
mendengar ucapan puteranya itu. “Sekali lagi
kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu
Purbaya!”
Wiro
tertawa
lebar
dan
berkata:
“Bagaimanapun,
tidak
sopan
menampar
seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar. “Kita
hampir sampai...” katanya.
...
MESKIPUN lobang tempat jarum menyusup
sangat kecil dan hampir tertutup, namun
dengan
keahliannya
Wiro
Sableng
dapat
menemukan yakni pada bagian bahu kiri,
pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan
oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro
keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak
yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap
lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo
Gantra. Kemudian Wiro kerahkan tenaga dalam
untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling
susah. Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi

keringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan
untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari
dalam keluar seperti memukul atau melepaskan
pukulan tangan kosong yang mengandung ajian
kesaktian. Hal itu sudaha lumprah bagi seorang
jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah
jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu
dipergunakan
secara
berkebalikan
yakni
menghimpun kekuatan untuk menarik atau
menyedot. 
Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan
dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum
senjata
rahasia
yang
sebelumnya
dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini
tampak melekat pada badan kapak, berwarna
merah karena terlapis darah.
Di atas lantai tanah yang dialasi jerami, Imo
Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang
tadinya
lumpuh.
Lalu
perlahan-lahan
dia
mencoba duduk dan berhasil.
“Makan
ini...”
kata
Wiro
seraya
melemparkan obat berbentuk butiran. Imo
Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro
berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu.
“Kalian sudah siap?” tanya Wiro.
“Kami akan pergi sekarang.”
“Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke
seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu
kembali
kemari,
tapi
langsung
bergabung
dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihak

kita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh
Pangeran Purbaya...!”
Dua prajurit itu menjura. Keduanya naik ke
punggung dua ekor kuda yang membawa
masing-masing sekantong besar surat selebaran
berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan
Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di
tempat yang aman.  Orang-orang yang telah
merampas takhta secara paksa akan mendapat
hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan
yang
setia
pada
Pangeran
Purbaya
dan
Permaisuri
diminta
bersiap-siap
untuk
menyerbu istana.

DUA BELAS

SAMBUTAN rakyat terhadap surat selebaran
itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali.
Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran
Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada
yang
bertindak
sebagai
pimpinan,
namun
berbagai senjata di tangan,dalam jumlah ratusn
bahkan ribuan berbondong-bondong menuju
Istana. 
Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal
istana yang melihat kejadian ini segera bersiap
siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam,
tetapi sebagian besar di antara mereka justru
banyak yang menyeberang dan bergabung,
disambut dengan tempik sorak gegap gempita
oleh rakyat.
Di dalam istana, di mana Raja dan tiga
konconya masih saja asyik berpesta pora,
seorang prajurit datang menemui Warok Tumo
Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi
di
luar
istana.
Lalu
kepada
Warok
itu
diserahkannya surat selebaran yang banyak
bertebaran di kalangan rakyat sampai ke
pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo
Item, surat tersebut diperlihatkannya pada
Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri
sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing
Alaga Cokro Ningrat. 
Cokro
Ningrat
meneguk
dulu
segelas

minuman keras, pemandangannya berkunang-
kunang tapi dia masih dapat membaca apa yang
tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca
dia tertawa mengekeh.
“Hanya sebuah surat edan! Apa yang
ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu
tak punya kekuatan untuk melakukan apapun.
Apalagi hendak menyerbu kemari….”
’Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah
siap dengan senjata di tangan!” kata Warok
Tumo Item.
“Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh
semua mereka yang berani melawan!”
“Betul! Bunuh semua!” Yang bicara adalah
si
bopeng
Lonceng
Maut
yang
duduk
berdampingan dengan dukun jahat Ronggo
Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama
terpengaruh oleh minuman keras.
“Kalian
bertiga
enak-enakan
di
sini
berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para
penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang
melakukan!” Lalu Warok Tumo Item memanggil
seorang perwira dan memerintahkan
’Tak mungkin dilakukan Warok...” kata sang
perwira. “Balatentara yang masih ada di istana
tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain
sudah menyeberang ke pihak musuh….”
“Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat
senjata dan usir para perusuh itu. Kalau
mereka melawan cincang saja!” bentak Warok

Tumo Item.
Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua
menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana.
Ternyata ada dua puluh satu orang yang bisa
dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di
luar
istana,
mereka
bukannya
menyerang
melainkan bergabung dengan rakyat. Praktis
tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada
dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya
dan petugas-petugas dalam istana pun satu
demi satu meninggalkan tempat itu karena
kawatir
mendapat
celaka
bila
penyerbuan
terjadi.
“Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana
minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota
emas tak pernah ditanggalkan sejak saat
pertama diletakkan di atas kepalanya.
“Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi
semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil
memandang berkeliling.
“Tapi masih ada dua orang gila di sini!”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan
besar.
Serentak
keempat
orang
itu
sama
palingkan kepala... Dan di situ mereka melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo
Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni
212 di tangan kanan sedang Imo Gantra
mencekal dua golok besar di tangan kiri dan
kanan.
“Dua orang gila kesasar!” teriak Cokro

Ningrat.
Meskipun terpengaruh oleh minuman keras
namun tiga orang lainnya yang berada bersama
sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut
segera loloskan loncengnya yang tergantung di
leher. Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat
loloskan golok bermata duanya. Sedang Ronggo
Sampenan
keluarkan
tembakau,
berkomat
kamit mengunyah tembakau itu sementara
tangan kirinya memegang seutas tali aneh
sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat
ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris
Mustiko Geni dari pinggangnya.
“Jika kalian mau menyerah secara baik-
baik, kerajaan akan mengampunkan semua
kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan
maka bersiaplah untuk mati!”
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak
mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
“Dia menyebut-nyebut kerajaan. Kerajaan
yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro
Ningrat. Lalu sambungnya: “Apakah kalian
tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan
dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing
Alaga Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta
ampun.
Mungkin
aku
masih
bersedia
mengambil kalian berdua menjadi jongos dan
perawat kuda!”
Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak.
“Kita serbu saja mereka sekarang. Selagi

masih dipengaruhi minuman keras...” Berbisik
Imo Gantra.
’Tenang saja. Siapa di antara mereka yang
berbahaya?” balas berbisik Wiro Sableng.
“Si muka bopeng itu. Senjatanya yang
berbentuk
lonceng
bisa
mengganggu
pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu
tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru
itu. Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya.
Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi
permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang
penting hati-hati terhadap Cokro Ningrat. Dia
memegang Keris Mustiko Geni
“Kalau begitu dia yang harus kita bereskan
lebih dahului” kata Wiro pula. Tangan kirinya
bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan
senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama.
Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk
menjajal kehebatan senjata itu.
“Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!” ujar Imo
Gantra ketika dia melihat apa yang ada di
tangan kiri Wiro Sableng. “Dari mana kau
dapatkan senjata itu?!”
“Bukan saatnya untuk bercerita...”
“Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar
mereka satu per satu?!”
“Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!”
ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat
orang itu. “Jadi kalian tak mau menyerah? Dan
memilih mampus percuma?”

Cokro
Ningrat
tegak
dari
kursinya.
Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat.
“Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar
itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah.
“Diberi susu minta racun! Terimalah ini!”
balas
membentak
Wiro.
Tangan
kirinya
bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan
suara bergaung menyambar ke arah Cokro
Ningrat. Percuma pada kekuatan Keris Mustiko
Geni,
Cokro
Ningrat
tidak
merasa
gentar
mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata
mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat
disertai hawa panas menebar. Cakra dewa
tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar dari
Keris
Mustiko
Geni
membuat
senjata
itu
mengapung
ke
atas
namun
selewatnya
sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik.
Cokro Ningrat membentak marah dan cepat
run-dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas
ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan
hingga membentuk lobang besar dan berubah
warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu
seperti hendak tenggelam menembus tembok,
namun di lain kejap melesat kembali ke arah
Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum-
kagum melihat kehebatan senjata itu hampir
terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan
Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan
menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa

nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendang-
gendang telinga hendak mau robek dan jantung
berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo
Sampenan
keluar
semburan
tembakau
menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra. Lalu
menyusul
sambaran
tali
merah
yang
dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara,
terdengar
suara
petir
menyambar
disusul
dengan memerciknya api di ujung tali! Warok
Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata
duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan
tiga tokoh silat itu.  
“Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!” ujar
Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si
kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari
padanya.
Imo Gantra memang sudah siap menunggu.
Dua golok di tangannya kiri kanan menderu
membentuk
dua
lingkaran
besar.
Satu
menyabung
ke
arah
semburan
tembakau
Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi
serangan golok tunggal Warok Tumo Item,
Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu
mendengar suara lonceng merobek telinga
masing-masing,
keduanya
segera
menutup
indera
pendengaran
dengan
aliran
tenaga
dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi
tidak menyakitkan lagi.
“Bangsat-bangsat
rendah!
Kalian
minta
mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.

Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro
Sableng
segera
menyongsong.
Tapi
untuk
membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia
lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212
ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini
tersentak kaget ketika suara menderu seperti
ribuan tawon mengamuk yang keluar dari
senjata lawan menindih kehebatan lonceng
kuningnya. Pakaian dan rambutnya berkibar-
kibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar.
Ketika dia nekat merangsek terus sambil
hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng
itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah
tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan
loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah tarik
pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut
Naga Geni 212 membalik menyapu setengah
lingkaran. 
“Edan!”
teriak
si
bopeng
ketika
dia
merasakan ada sinar putih perak menyambar
panas
luar
biasa.
Kalau
dia
tidak
lekas
bertindak
mundur,
perutnya
sudah
kena
disambar mata kapak.
Kleneng!
Longceng di tangan orang itu terbelah dua.
Satu belahan mental dan menancap di loteng
ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di
tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa
dilepaskan karena loncengan itu seperti telah
berubah laksana bara api akibat aliran panas

yang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng
Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak
melepuh! Kejadian ini cukup membuat Loneeng
Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua
kali
apakah
dia
akan
terus
melanjutkan
perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra
mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo
Item. Namun karena kepala rampok ganas itu
berdua
dengan
si
dukun
jahat
Ronggo
Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra
untuk melayani keduanya sekaligus.
Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng
Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke
arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak
seperti hendak melemparkan Cakra Dewa.
Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke
depan untuk melindungi diri. Namun gerakan
Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah
lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan
lemparan. Cakra Dewa membeset di udara.
Cokro
Ningrat
menjerit
keras.
Tubuhnya
berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya,
kemudian melesat kembali, membalik ke arah
Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan
mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap
dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke
arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut
di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
bibir tampak membiru. Itulah jahatnya racun

Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan
Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian
terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni
lepas
dari
genggamannya.
Mahkota
emas
tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah
kaki
Wiro.
Dengan
tangan
kirinya
Wiro
mengambil mahkota sedang tangannya cepat
memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hati-
hati keris tak bersarung itu diselipkan ke
pinggang sedang mahkota emas dikenakan
seenaknya di kepalanya. 
“Kami menyerah!” teriak Ronggo Sampenan
ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak
Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang
dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke
lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan
membuang goloknya namun nasibnya malang.
Gerakannya
yang
agak
lamban
keburu
didahului tusukan golok Imo Gantra. Ketika
golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak
memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung.
Darah mengucur membasahi lantai. Kedua
tangan Warok Tumo Item menggapai-gapai ke
udara
seperti
berusaha
berpegangan
pada
sesuatu: Tapi dia hanya memegang angin.
Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja,
tapi
belum
sempat
menyentuh
kursi
itu
tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan
terkapar di tanah.
Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap

menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini.
Sementara itu di luar istana terdengar suara
gegap
gempita.
Ratusan
orang
menyerbu
masuk. Di depan sekali tampak Pangeran
Purbaya bersama ibundanya. Wiro masukkan
Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu
tinggalkan
ruangan
ini
dan
menyongsong
Pangeran Purbaya di tangga istana.
“Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku
minta diri sekarang….”
“Apakah kau sudah mendapatkan Keris
Mustiko Geni?” tanya sang pangeran.
“Wiro
mengangguk
sambil
menepuk
pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran
Purbaya
dan
ibunya.
Ketika
dia
hendak
berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni.
Jangan ambil pula mahkota emasku!”
Wiro
tersentak
kaget.
“Astaga!
Mohon
maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!”
kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota
yang masih berada di kepalanya. Orang banyak
tertawa
lebar.
Ibunda
Pangeran
Purbaya
membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang
pangeran lalu berkata: “Pendekar, kau. tidak
kami izinkan pergi. Kau harus menetap di
Kutogede karena kami memutuskan untuk
mengangkatmu
sebagai
Kepala
Pasukan
Kerajaan!”

Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
“Terima kasih atas kepercayaanmu Sri
Baginda...
Tapi...”
Wiro
goyang-goyangkan
tangan kanannya. “Itu tidak termasuk dalam
perjanjian
kita
sebelumnya!”
Lalu
sekali
berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan
rakyat yang berkerumun di tempat itu.
“Pemuda
itu
aneh,
kadang-kadang
menjengkelkan!”
ujar
Pangeran
Purbaya.
“Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia
menyebutku Sri Baginda...”
“Ya, dia memang seperti sinting. Tapi
hatinya polos!” Memuji sang ibunda.
“Tiba-tiba seseorang berteriak.
“Gotong raja kita ke singgasananya!”
Lalu puluhan manusia bergerak berebutan
untuk
menggotong
Pangeran
Purbaya
dan
mendudukannya di atas kursi besar. Imo
Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek
ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.


                                  TAMAT

Penulis : Bastian Tito
Creatid : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive