Kumpulan Cerita Silat Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


selamat datang teman teman di.. https://matjenuh-channel.blogspot.com..dari dusun airputih desa sungainaik.. ikuti grup Facebook matjenuh di kumpulan novel wiro sableng.. cukup agan cari saja dengan mengetikan nama grup kumpulan novel wiro sableng di Facebook... subscribe juga channel matjenuh di YouTube ..ketikan nama matjenuh channel... terimakasih..salam santun dari matjenuh channel 🙏🙏🙏🙏

Jumat, 31 Mei 2024

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SINGA GURUN BROMO

https://matjenuh-channel.blogspot.com



SATU


Warung nasi  Mbok Sinem  kecil.  Tapi  tamunya  selalu penuh dari pagi  sampai

malam.  Lezat  makanannya  terkenal  sampai  ke  mana-mana.  Siangitu  banyak orang

bersantapdi  sana.  Para pengunjung begitu selesai  makan cepa-cepat  membayar  dan pergi.  Mereka  seperti  mengawatirkan sesuatu.  Tapi nyatanya  mereka  tidak pergi

begitu saja  melainkan tegak  di  bawah pohon tak jauh dari  warung.  Orang-orang ini sengaja  berdiri  di  sini,  memandang warung,  sepertinya  ada  sesuatu yang mereka    tunggu dan hendak mereka saksikan.

“Kalau Singa  Gurun Bromo  berani  muncul,  dia  tak bakal  lolos!”  berkata

seorang lelaki mudaberbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawung nya dalam- dalam  dia  melanjutkan “Seharusnya  dia  tak perlu datang ke  Kuto  Inggil  ini.  Ah,

mengapa dia berlaku setolol itu.”

“Bagaimanapun Kuto Inggiladalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah danibunya sudah tak ada, takada sanak tak ada kadang, mana mungkin     dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.

Orang ketiga  ikut bicara.  “Enam tahundia  menghilang.  Kalau dia  berani

muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun lalu?  Waktu dia  melumpuhkan para pengawal  kadipaten,  memberi  malu  Adipati

Dirgo Sampean?”

Orang pertama  rangkapkan kedua  lengannya  di  depan dada  laluberkata.   “Singa Gurun boleh punya segudangilmu. Tapikau lihat berapa orang yang adadi    dalam dandi luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalaudia memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”

“Kita  tidak tahu  apa  yang  sebenarnya terjadi.  Belum tentu  dia  kabur  karena

bersalah.  Bisa  saja  hanya  untuk  menghidari  malapetaka  yang lebih besar.  Kau  tahu sendiri  kedua  orang tuanya  menjadi  korban  dari  masalah yang  tidak pernah

terjelaskan itu … ..”

“Yah ….. Kita lihatsaja. Apa yang bakal terjadi kelak.”

Saat itu didalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu

yang duduk menikmati  makan siang terdapat  enam  orang berpakaian petani.  Yang dua  bertubuhtegap kekar  serta  memiliki pandangan mata  liar.  Mereka  adalahdua

orang perwira  tinggi  kerajaan yang bersama perajurit  manyamar  sebagai petani.  Di

balikbaju-bajugombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak   jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima

puluh tahun.  Sikat mereka  tenang  tapi pandangan mata  keduanya  tajam.  Mereka adalah tokoh-tokoh silat  Istana.  Yang pertama  dikenal  degnan nama  Ki  Bumi

Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.

Kedua  tokohsilat  ini  muncul  di  Kuto  Inggil  atas permintaan   Adipati  Dirgo

Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji

Argomanik,pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan muncul di Kuto Inggil setelah menghilang  selama enam tahun.

Saat  itu udara panas  sekali.  Matahari bersinar  terik.  Sudah sejak lama  hujan tak pernah  turun.  Bumi  Tuhan  menjadi  gersang.  Kalau angin  bertiup  debujalanan

beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.


“Lihat!  Singa  Gurun  datang!”  Seorang   berseru seraya  menunjuk  ke  ujung jalan. Semua mata serta merta memandang kearah yang ditunjuk.

“Dia benar-benarberanimati!”

Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kudacoklat berpakaian dan berikat kepala putih. Debu beterbangandi belakang kuda tunggangannya. Dalam

waktu singkat dia sudah berada didepan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan  kudanya pada  sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul  dia  melangkah menujupintu warung.  Masuk ke  dalam  warung  dilihat nya  hanya  ada  satu bangku  yang masih   kosong, tepat di tengah ruangan.

Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinyadiaberkata   “Aneh satu-satunya  bangku kosong berada  di  tengah ruangan.  Sepertinya  ada  yang sengaja mengatur.”

Setelah melirik  ke  kiri  danke  kanan pemuda  ini  lalumelangkah ke  arah bangkukosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang disekitar meja

berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara bentakan-bentakan.

“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”

“Berani melawan amblas nyawamu!”

Pemuda  yang barusan duduk di  bangku tentusaja  menjadi  kaget  dan

memandang berkeliling. Enam  orang  lelaki  tak  dikenal  mengurung  dengan golok di

tangan.  Yang  dua  dengan  gerakan kilat  menyergap ke  arahnya.  Satu menempelkan

ujung golokke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanyadileher sipemuda.

Setelah sirap kagetnya, sipemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat! Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia miskin!Apaku yang hendak kalian rampok?”

Enam  orang  yang mengurung  tampak berubah kelam  tampang mereka  tanda menahan amarah.  Yang  menghunuskan goloknya  ke  leher  si pemuda  tekankan

senjatanya  hingga  kulit  leher pemuda  ituteriris  luka.  Dia berkata  dengan suara bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dankawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”

“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa, apalagi kambing!”

“Sebelum mampus memang takada salah nya kau bergurau dulu. Nanti kalau  sudahdi liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan- setan kuburan!”

“Eh,  kau menyebut  aku buronan?  Kau  tadi  menyebut  namaku apa?  Singa Gurun…..?

“Panji  Argomanik!  Jangankau berpura-pura!” bentak orang  yang menodong dengnaujung goloknya ke perutsi pemuda.

“Nah,  nah!  Sekarang  kau  menyebut  aku  Panji  Argomanik!  Kalian ini  aneh- aneh saja!  Sudah pergi  sana!  Aku  ke  sini  mau  mengisi perut bukan  ikut-ikutan

sandiwara konyolmu ini!”

“Siapa  yang konyol  dan  siapa  yang main  sandiwara!” bentak salah seorang

dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarahaku

bisa  mencincangmusaat  ini juga.  Tapi  Sri  Baginda  dan Adipati    ingin  melihat  kau mampus ditiang gantugnan!”

“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot sipemuda lalu menyeringai lebar.



“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerakcepat

menusuk ke  arah dada  si pemuda  untuk menotok.  Tapi  dengan cepat  si pemuda  itu

angkat tangan kanannya. Sekali bergerak diaberhasil menangkap lengan Kunto Areng.

“Orang gila!”  desis pemuda  itu.  “Siapapunkau  adanya,  aku muakmelihat   tampangmu! Aku bukan PanjiArgomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si pemuda  tahan tangan  kanan Kunto  Areng  yang  memegang golok  dengan  tangan    kirinya  sedang tangan  kanannya  dengan  cepat  membuat  gerakan  aneh.  Tahu-tahu tubuh perwiratinggikerajaan itu terlemparkeatas. Dari mulut Kunto Areng keluar

suara jerit kesakitan. Sambungan sikudan sambungantulang bahunya berderak.

Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satulagi segera tusukkan goloknya  ke perut  si pemuda. Namun dia  kalahcepat.  Si pemuda  sudahdapat

menerka apa yang bakaldilakukan orang itu. karenanya sebelumtusukandatang dia

sudah berkelit  ke  samping.  Dari  samping dia  hantam  tengkuk Jalak Toga  dengan   pukulan tangan kiri.  Rupanya perwira  ini juga  sudha  maklum  datangnya  serangan balasan itu. diamembungkuk sambil membabatkangoloknya.

“Bretttt!”

Pinggang baju putih si pemuda  robek besar  disamber  golok  Jalak Toga  tapi dirinya  sendiri  selamat.  Warung  nasi  ituserta  merta  menjadi  kacau balau.  Kunto   Areng yang masihdalam keadaan kesakitan, pindahkangoloknya ke tangan kiri. Dia    memberi isyarat pada empat perajurit didekatnya. Kini pemudaberpakaian puihitu

dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru. Si pemuda  yang  meamang memiliki  kepandaian tinggi  dan  saat  itu  hanya

mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengancekatan. Satu kali dia berhasil menjotoskeras mukasalah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini    terpental  dengan muka  yang bersimbahdarah  karena  hidung dan  mulutnya pecah dihantam tinjusi pemuda.

Meskipundikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datangsilih berganti, namun si pemuda  tampaknya  seperti  sengaja  mempermainkan para penyerangnya. Dia berkelebat  kian kemari.  Kadang-kadang naik  ke  ujung bangkupanjang dengan gerakankeras  hingga  ujung bangku  yang lain  mencuat  naik menjadi perisainya.     Terkadang dia melompat ke atas meja yang masihdipenuhimakanan. Lalu enak saja   dia menendangimakanan-makanan ituhinggamencelat melumuri pakaian ataumuka  para pengeroyok.

“Kawan-kawan!”  Kunto Areng berteriakmarah setelah sebutir  telur bercabe    menghantam  mata  kirinya  sehingga  dia jadi  kalang kabut  kesakitandan  keperihan. “Aku perintahkankalian untuk mencincang manusia  satu ini!”  Lalu dia  memberi

isyarat pada  Jalak Toga.  Melihat  isyarat  ini  Jalak Toga  segera robah permainan

goloknya,  mengikuti  gerakan-gerakan Kunto  Areng.  Memang kedua  orang  ini

memiliki  ilmu golok  hebat  yang khusus  dimainkan secara berpasangan.  Serangan

mereka  datang laksana  curahan air  hujan,  membuat  si pemudai  kini  takberani  lagi petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalautak mau tubuhnya terkuntung-   kuntung.  Selain  itu  masihada  serangan tiga perajurit  lainnya  yang  menambah

beratnyatekanan para pengeroyok.

Dua jurus berlalucepat. Lalu dua juruslagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai saling melirik.  Keduanya  sama-sama  heran melihat  kenyataan bahwa  setelah

keluarkan ilmu  golok  andalandan  masihdibantu oleh  tiga perajurit  yang

berkepandaiantidak rendah,  ternyata  senjata-senjata  mereka  masih belum  dapat menyerntuhtubuhlawan, bahkanbajunyapuntidak!

“Kunto……” berkatajalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang dimainkan pemuda ini bukanilmu silatSinga Gurun. Jangan-jangan … … .”



“Mengapa mustiragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan

mustahil  dia  telah mendapatkan  ilmu baru!  Memang terusterang kita belum pernah

melihat jelastampang pemuda inidi masa lalu! Tapiaku yakin kita tiakmenghadapi orang lain. Dia pastiSinga Gurun Bromo!”

Baru saja  kedua  orang  ituselesai  bicara  tiba-tiba pemuda  yang  mereka

keroyokkembali  melompat  ke  atas  meja  makan panjang.  Di  sini  dia  tegak tolak pinggangsambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendakjatuh. Sesekali dia  melompat  sambil  tertawa  mengekehlalu  membuat  gerakanseperti  hendak jatuh

duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbukarenamerekamenyangkatengah    diejek dan melihatsipemudakini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok  terutamadua perwira tinggi itu diam-diamjaditerkejut ketika merekadapatkan justru  dengan membuat gerakan-gerakananehitusi pemuda semakin sulit untuk dirobohkan. Malah dalam  satu gebrakan hebat,  kaki  kiri  lawan berhasil  menghantam  kepala

seorang perajurit  hingga  tak ampun lagi perajurit  ini  terpelanting,  terkapar  di  atas salah satu meja,  tak berkutik  lagi.  Rahang kirinya  remuk.  Dua perajurit  lainnya    menjadiciut nyalinyamasing-masing sementaradua perwira tinggi walaupuntercekat melihat kejadian itutetap harusterus menggempur.

“Para  sahabat!  Biar  kami bantu kalian  meringkus  tikus  comberan ini!”  Satu suara terdengardari luar warung. Sesaat kemudiandua bayangan berkelebat masuk.

Mereka ternyata adalahdua tokohsilat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo.



DUA


Sebenarnya baik Kunto  Areng  maupun Jalak Toga  merasa  agak  malu  menerima

bantuan itukarena hal inimenunjukkan ketidak mampuan merekamerobohkanatau meringkus  si pemuda. Namun  dari pada  urusan  menjadi  kapiran di  mana  mereka

mungkin akan mendapat  malulebih besar  maka  keduanya  diam  saja  danmenerima

bantuankedua  tokoh  silat  itu.  Agar  tidak  terlalu malu  maka  Mangku Sangreng sengaja  berkata  dengan suara  dikeraskan “Memang tugas  kita  semua  untuk

membekuk cacing tanah ini! Tapiaku ingindia dicincangdi tempat ini juga!”

Ki  Bumi  Wirasulo menyeringai.  “Sesuai pesan,  dia justu harus  ditangkap hidup-hidup. Bukankah Sri Bagindadan Adipati Dirgo Sampeaningin menyaksikan

kematiannyad tianggantungan?!”

“Perintah atasan,  apalagi perintah raja  memang harus  dijalankan.  Aku mengikuti apa mau kalian berduasaja!” berkata Kunto Areng.

Dengan masuknya  dua  orang  tokoh berkepandaian tinggi  itujalannya

perkelahiankini  menjadi berat  sebelah.  Tapi  konyolnya, pemdua  yang dikeroyok tetapsaja cengar cengir. Memang sampaidua jurus dimukasipemudamasih belum

tersentuhtangan atau senjata lawan. Namun sedikit demisedikit keadaanya semakin

terjepit.  Di  satusudut  warung dia  harus  bertahan mati-matiandenganhanya

mengandalkan sebuah kursi  kayu.  Dalam  waktusingkat  kursi  kayu ini  musnah berantakandibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!

“Sialan!” maki sipemuda. Kedua tangannya segera diangkat.

Mangku Sanggreng dan  Ki  Bumi  Wirasulo segera  maklum  kalau lawan  hendak menghantam  dengan pukulan tangan kosong jarakjauh  yang mengandung

kesaktian dantenaga dalam. Kedua tokohsilatinisaling memberikanisyarat. Tangan mereka  tampak bergerak  ke pinggang.  Ketika  diangkat  ternyata  mereka  memegang

seutastalihalus berwarna putih. Si pemudamaklum kalau lawan hendak menjiratatau mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tibaada asap

kelabu mengepul  menutupi pemandangan.  Di  lain kejap dia  merasakanada  sesuatu yang menggelung  kedua  lengannya.  Ketika  asap kelabu  sirna,  si pemuda  dapatkan

kedua tangannyatelah terikat ketat oleh talihalus putih itu!

“Celaka!”  keluh si pemuda.  Dia  kerahkan tenaga  untuk meloloskanatau

memutuskanikatantali  halus.  Tapi  sia-sia  saja.  Selagi  dia  sibuk berusaha

membebaskandiri,  Mangku Sanggreng berkelebat  menotok punggungnya  dari

belakang. Tak ampun lagipemuda itu menjadi kaku tegangtakbisaberkutikataupun bersuara!

“Gotongdia!  Lemparkanke  dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.

Empat  orang perajurit  segera  menggotong pemuda  yang tertotok  itu  keluar  lalu melemparkannyakedalamsebuah gerobak yang telah menunggu  di halamandepan  warung. Orang-orang kerajaandandua tokohsilat Istana menyusulkeluar. Sampaidi

luar  Kunto  Areng mendekati  Ki  Bumi  Wirasulo.  “Sesuai pesan begitu  tertangkap Singa  Gurun  Bromo harus  segera  di bawa  ke  Kotaraja.  Tapi  kalaukita  langsung berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalaukita

mampir  duludi  kadipaten.  Selain melapor bukankahAdipati juga  ingin lebih dulu menghajar pemuda keparat itu?”

Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik padaMangku Sanggreng seolah minta pendapat.  Mangku Sanggreng  kemudian berkata  “Tangkapan besar

sudahkita dapat. Rasa tegang kinijelasseudah berkurang. Di samping itu kita perlu



sedikit  istirahat.  Bagaimana  kalaukita menujuke  kadipatensaja  dulu.  Menginap di

sana  lalupagi-pagi  sekali  melanjutkan perjalanan!”  Habis  berkata  begitu mangku Sanggreng mendekatkan mukanyakemuka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.

“Aku sudah beberapa  bulantidakmelihat  tubuhtelanjangNi  Suri  Arni,   perempuan penghibur  di  kadipaten itu.  Kau  tentu akan mencari  kesempatan pula menemui pacarmu sigemukLarawati, bagaimana……?”

Ki  Bumi  Wirasulo  tersenyum. Lalu dia berpaling pada  dua perwira  kerajaan

dan berkata.  “Aku  setuju kita  mampir  dan menginap di  kadipaten.  Besokpagi-pagi sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”




Tepat denganturunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama

Panji  Argomanik  dan  berjuluk  Singa  Gurun  Bromo itu  memasuki  kawasan luar

Kadipaten Lumajang. Saat ituhujan yang sudahlamatidak turuntiba-tibasaja jatuh

rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadidingin.   Waktu rombongan berada  di  kaki  sebuah bukit  kecil.  Di balik bukit  itulah  terletak Lumajang yang menjaditujuan.

“Percepat jalan!  Aku  tak mau basah kuyup  kehujanan!” berteriak  Mangku Sanggreng.

Setiapanggota  rombongan menggebrakkuda-kuda  masing-masing.  Sais gerobak mencambuk dua  kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu

menghambur  lebih cepat.  Kunto  Areng yang berkuda  di  sebelah depantiba-tiba berseru.

“Lihat! Ada nyala api didalam hutan sana!”

“Rombongan berhenti!”  teriak  Mangku Sanggreng.  Lalu mereka  sama memperhatikan kearah hutankecil ditepi kiri jalan.

“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.

“Ya,  memang aneh!”  menyahuti  Jalak Toga.  “Setahuku hutan ini jarang

didatangi  orang.  Hari  gerimis pula.  Siapa  yang menyalakan api  itu?  Kelihatannya seperti api unggun.”

“Mungkinkelompok penjahat pimpinan  Warok Keling!”  ikut bicara  Kunto Areng.

Saat  itu  tercium baudaging panggang yang  sedapdan harum  sekali.  Hal  ini membuat  setiapanggota  rombonganseolah baru menyadari bahwa perut  mereka

memang mintadiisi.

“Hemmmmm,  dugaanmu kurasa betul,  Kunto.”  Kata  Ki  Bumi  Wirasulo.

“Gembong penjahat  itu justrusedangdicari-cari.  Tidak ada  salahnya  kita  saat  ini

berbuat pahala  untuk kerajaan.  Kalau kita berhasil  meangkapnya  Sri  Baginda  tentu sangat berbesar hati. Bagaimana kalaukita menyelidiki?”

Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya  lalumenghirupudara  malam yang gerimisitudalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati-    hati.  Warok Keling memiliki    kepandaiantidak lebihrendahdari  Singa  Gurun

Bromo!”

Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untukikut menyelidiki karenasaat itu keadaan bahu dan sambungan sikunya  masih terasa  sakit  akibat pelintiran Singa

Gurun Bromo waktu terjadi perkelahiandi warung siang tadi. Namun takutdianggap pengecut Kunto terpaksamenyetujui maksud pawan-kawannya itu.

Dua perwira  tinggi  dandua  tokohsilat  Istana berunding.  Kemudian mereka turundarikudamasing-masing mendekatinyala api dari jurusan yang berbeda. Dua


orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang ciderasengajaditinggal untuk menjagagerobakberisiSinga Gurun Bromo.

Semakin dekat  ke  nyala  api  di  dalam  hutan,  semakin santar  dan harum bau daging panggang.  Tak lama  kemudian enam  orang itusudah mengurung perapian.

Mereka melihat adabinatang  yang sudahdikulititengahdipanggang di atas nyala api. Mungkinkelinci besar atau anak rusa. Tapi merekatidak menemukan satu orangpun    di tempat itu. takada kuda, takada kantong-kantong perbekalan atautikaruntuk tidur.

“Aneh,daging itusudah hampirhangus. Tapitakadasiapapunditempat ini!” kata Ki Bumi Wirasulo.

“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak Toga.

“Tak masukakal,”  sahut  Mangku Sanggreng.  “Sama  sekali  tidakada  tanda- tanda orang berkemahdi tempat ini!”

“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa sabaiknya  kita  tinggalkan tempat  ini!” berkata  Kunto Areng yang memang ingin

cepat-cepat pergisaja.

“Kita  tunggusebentar.  Kalau memang  tidakada  yang muncul  kita  akan

pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapidaging panggang itu takada salahnyakita

sikat dulu untuk mengganjal perut!” laludiamendekatinyala api. Dengansepotong

ranting dia  mengorek  daging panggang lalu  menyantapnya.  Beberapa  orang lainnya ikut mencicipidaging panggang itu. Hanya Kunto Arengdandua orang perajurit yang  tidakikut  makan.  Selesai  menghabiskandaging panggang orang-orang  itu  lalu

bersembunyi di balik pohon atausemak belukar.

Waktu berjalan.  Tunggu punya  tunggu  tetap  takada  yang muncul.  Kunto Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.

Yang  ditanya berpaling pada  Mangku Sanggreng.  “Ya  sudah.  Kita  kembali sajamelanjutkan perjalananke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggrengpula.

Orang-orang itu  segera  kembali  ke  tempat  mereka  meninggalkan kuda  dan gerobak.  Begitu  sampai  di  tempat  semula  semuanya  menjadi  terkejut  dan berseru tegang!



TIGA


Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatanterbujur malangmelintang

di  tanah.  Dua  di  antaranya  tersandar  ke  sebatang pohondan  roda  gerobak.  Empat

sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudahmenjadi mayat dengan kepala hancur. Yang dua  dalam  keadaan sekarat.  Kuda-kuda  tunggangan tak seekorpundi  tempat  itu.

hanyadua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam gerobak ternyata Singa Gurun Bromo takada lagidisitu!

“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.

Ki  Bumi  Wirasulo,  Mangku Sanggrengdan  yang lain-lainnya  ikut pucat tampang mereka. Mereka sadar bahwa merekatelah tertipu.

“Celaka! Susah-susahkita menangkap manusia itu, tahu-tahu kinidia lenyap begitusaja!” ujar Mangku Sanggreng.

Ki  Bumi  Wirasulo walaupun sangat  terpukul  dantak mampu mengeluarkan sepotong ucapanpuntapiotaknya coba berpikir bagaimanahal itubisaterjadi. Singa

Gurun Bromo beradadalam keadaantertotok. Jelas tak mungkindiamelarikandiri.

Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapasipenolong itu? Orang yang menyalakan api dan membakar daging hanyauntuk sekedarmenipu?

“Begitu mudahnya kitatertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja kita  tidak menyelidiki  apa  yang ada  di  sini,  tidakakan pemuda  buronan itubisa

melarikandiri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”

“Jelas memang begitu. Tapisiapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggrengpula. Tak ada yang bisa memberikan jawaban.

“Gara-gara ingintahu beginilahjadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan kita  lakukan sekarang?  Meneruskan perjalanan  ke  Kadipaten  lalu  ke Kotaraja.

Memberi  laporan bahwa  kita  kebobolan?  Kita  semua pasti  akandidamprat  habis- habisan.  Aku akan  kehilangan jabatan  sebagai perwira.  Kalian  semua  bakal

mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu … ..”

“Tutup mulutmu Jalak!”  bentak  Ki  Bumi  Wirasulo tiba-tiba.  “Tak ada gunanya memaki dan menggerutupanjanglebar. Semua salah kita … ..”

“Siapa  tadi  yang punya  usul  untuk  melakukan penyelidikan?!”  memotong Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”

Semua  mata  lantas  ditujukan pada  Ki  Bumi  Wirasulo.  Memang dialah tadi yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api didalam hutan itu.

Paras tokohsilat Istana itujadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduhaku yang salah dan harus  bertanggung jawab?  Bangsat! Aku memang mengajak  tapi

kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harusikut bertanggung jawab!”

“Sudah tak perlukita bertengkar  di  tempat  ini!”  Mangku Sanggreng

menengahi.  “Adipati  dan  Sri  Baginda  yang nanti  akan menjatuhkan putusan.  Kita

harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan duaekor kuda

penarik gerobak itu agar bisaberangkat lebih duludanmelapor dengancepat! Kalian agaknya terpaksaharus jalan kaki. Tapikadipatentakberapa jauh lagi … ..”

“Kau memilihenakmusaja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan

kaki semua harus jalan kaki!” Lalu diacabut goloknya. Dengna senjata inidiputuskan tali-tali pengikat  dua  ekor  kuda  ke  gerobak.  Lalu  digebraknya  binatang-binatang  itu

hinggamenghamburlaridalam kegelapan malam.

“Keparat  kau Jalak Toga!  Apa  maksudmu melakukan hal  itu?!”  bentak Ki

Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudahsiap


menyambuti sergapan orang dengan hantamantinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan cepat menengahi.

“Kalian tolol  semua!  Mengapa bertengkar  dansaling gebuk?  Kita berangkat sama-sama, sampaiditujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” laludengan

langkah terhuyung-huyung karena  bahu  dan  sikunya  masihsakit  Kunto  Areng melangkahlebih dulu.

Ki  Bumi  Wirasulodan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada Jalak Toga.  Terdengar  Ki Bumi  kemudian berkata  dengan suara  ketus.  “Kalian

perwira-perwira  kerajaan memang  sejak dulu  merasa  iri  melihat  Sri Baginda  lebih memperhatikankami  tokoh-tokohsilat  Istana.  Itu semua  karena  ketololankalian

sendiri yang mabuk pangkat … ..”

Jalak Toga  menyeringai.  “Setelah kejadian ini,  kita  akan lihat  Ki  Bumi.

Apakah Sri  Baginda  akantetap  memanjakan kalian tokoh-tokoh  silat  yang kerjanya lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa     main perempuan!”

“KurangajarkauJalak! Jaga mulutmu!” teriakMangku Sanggreng marahlalu

melompat ke hadapan Jalak Togahendak menampar muka perwiratinggiKerajaan itu. Jalak Togacepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas   putus tangancelakamu!”

RahangMangku Sanggreng menggembung.  Ki  Bumi  Wirasulo memegang  bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikithatimu. Masih ada waktu untuk memberi pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”

“Aku bersumpah untuk  menghajarmu  agar  kau bisa bicara  lebih  tahu peradatan!” kata Mangku Sanggrengpula.

Jalak Toga  menjawabdenganmeludah ke  tanah lalu memutar  tubuh  dan melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.

“Aku ingin membunuh bangsat itu malamini juga!” kata  Mangku Sanggreng begitu Jalak Togaberlalu.

“Sama,  aku juga!” jawab Ki  Bumi  Wirasulo.  “Tapi jangan sekarang.  Kita harus mencari saat yang baik … …”





Apa  sebenarnya  yang telah terjadi  sewaktu Ki  Bumi  Wirasulo dan anggota rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?

Hanya beberapa saat setelah orang-orang itumelangkah pergi masukke dalam rimba belantara,  dari baliksebuahpohon besar  di  tepi jalan keluar  satubayangan

putih.  Sosok ini bergerakcepat  menuju gerobak di  mana  tergeletak pemuda  yang

dituduh sebagai  Panji  Argomanik  alias  Singa  Gurun Bromo.  Ketika  dia  hendak

melompat  ke  dalam  gerobak,  dua  orang perajurit pengawal  sempat  melihatnya  dan berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok

di  tanan.  Orang yang  hendak  melompati  gerobakitu  ternyata  seorang pemuda berpakaian serba putih denganikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.

“Siapakau?!” hardik salah seorang perajurit.

Baru saja  dia  membentak begitu,  kaki  kanan pemuda  itu tiba-tiba  melesat. “Krak!” perajurit  yang barusan membentak terpental  dan roboh tanpa  nyawa  lagi. Mukanya hancur dimakan tendangan!



Tentu saja  tiga  kawannya  menjadi  marah.  Dua  lainnya  yang berada  dalam keadaan cidera jugatidak tinggal diam. Mereka cabut golokmasing-masing danikut

membantu kawannya mengeroyoksi pemuda.

Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itumelompat

ke  atas  kereta.  Lalu dari  atas  kereta  tendangan-tendangannya  berkelebat  menebar

maut. Tiga perajurit menemuikematiandilandatendangan kakinya yang memang luar

biasa. Dua perajurit lainnyamasihuntunghanya cideramuntah darah, namun agaknya

nyawa mereka pun tak bakallama. Bagiantubuh merekadisebelahdalamada yang pecah.

Setelah menghajar  keenam perajurit itu, pemuda tadi  berbalikke  arahSinga Gurun Bromo yang tergeletak di  lantai  gerobak.  Dia  telah sempat  menyaksikan

kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.

Si  rambut  coklat  membungkuk.  Dia  memeriksa  tubuh Singa  Gurun  Bromo    dengancepat  lalumembalikkannya.  Dengan  ujung-ujung jarinya  dia  kemudian lepaskantotokandi punggung pemuda itu.

“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.

“Nanti  saja  kujawab pertanyaanmu,” jawabsi pemuda.  “Kita  takada  waktu banyak. Harus lekaspergidarisinisebelum orang-orang itukembali!”

“Sesudah kautolong begini aku justruingin mencarikeparat-keparat itu. Ingin aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannyaseperti ini!”

Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikutakuatautidak?”

“Tidak! Kecuali kauterangkan siapadirimu!”

“Baiklah.  Aku Panji  Argomanik  orang yang  mereka juluki  Singa  Gurun Bromo!” katapemuda itupada akhirnya.

Si  gondrong yang satu jadi  melengakkaget,  garukkepala  dan mendamprat. “Sialan! Gara-gara kauakujadidibuat babak belur begini!”

“Aku sudah tahu apa ang terjadidengandirimusejak awal. Itu sebabnya aku menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api didalam hutandan

memanggang seekor kelincibesarsebagai tipuan. Begitu merekamenyelidi masukke dalam hutanaku segera keluardaripersembunyian!”

“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itutidakbisamembedakan aku dengan kau?!”

“Usia  kita  sebaya.  Potongantubuh agak serupa.  Lagi pula  orang-orang itu tidak pernah mengenal jelas  tampangku.  Apalagi  setelah enam  tahunaku

menghilang!”

“Sialan!” maki sirambut gondrong sambil menggarukkepalanyakembali.

“Dari tadi  kau hanya memaki saja sobat. Coba katakandulusiapa namamu!”

“Aku Wiro Sableng!”

“Namamu boleh juga.  Kuharap  kau tidak  sableng beneran!”  kata  Panji Argomanikalias Singa Gurun Bromo yang asli.

“Kenapakaumenolongku?” tanya Wiro.

“Aku tidak tega. Kau hanya  korban  ketololan  orang-orang itu.  Mereka

mencari  akutapi  menyangka  kaulahSinga  Gurun Bromo itu.  Masakan aku sampai hatimembiarkankaudigantungtanpa salah dandosa!”

“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro

“Bagus.  Cepatlah.  Orang-orang itu agaknya  segera  akan kembali  ke  tempat ini!”

Pendekar 212 WiroSableng garukkepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.

“Gila! Bagaimana aku bisamendapat pengalaman pahitsepertii ini. Kalau tidak kau tolong pasti aku akan jadi mayat ditiang gantungan!”


“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun  dari  atas  gerobak.  Murid Sinto Gendeng bergerakmengikuti.  Di  satu tempat  Wiro bertanya.

“Apadosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”

“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus menemui seseorang duludi Kuto Inggil!”

“Orang tuamu?”

Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudahmeninggal.”

“Hemmmm…..  Kalau begitu pasti  kau  menemui  seorang perempuan. Kekasihmu! Betul?!”

Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimanakaubisa tahu?”

“Mudah saja.  Jika  dalam  keadaan berbahaya  seorang pemuda  masih

memerlukan  menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalahkekasihnya!”

“Rupanyadalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Astaga!  Janagn kau tertawa  keras-keras.  Sekali  terdengar  oleh orang-orang itubisaberbahaya … ..”

“Siapa  takutkkan mereka?  Terus  terang aku penasaran hendak menjajal

kepandaian mereka.  Sialan!  Mereka  menipuku  dengan asap kelabuitu.  Tahu-tahu kedua tanganku sudahterikat!”

“Dua  orang yang muncul  kemudian itulah dua  tokohsilat  Istana. Ki  Bumi Wirasulo dan Mangku sanggreng.  Mereka  selalu berkelahi  berpasangan. Mereka

berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun

merekamemilikikecerdikan luarbiasadan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”

Diam-diam  Wiro mengagumi  ilmu  lari  yang dimiliki  Singa  Gurun Bromo.

Namun jika  dia  mengerahkan  seluruh  kepandaiannya pasti  Singa  Gurun  Bromo  itu

sanggup ditinggalkannya sampaisejauh seratuslangkah di balakangnya. Tapimurid

Sinto Gendengtidakingin  membuat pemuda  itukecewa.  Lagi pula  selain

menyukainya, Wiro juga ingintahu mengapa dia sampaijadi buronan para penguasa.

Lalu karena  dia  yang menjadi pimpinan  dalam pelarian  itu  maka Wiro biarkan sahabat barunya itu berlari disebelah depan.



EMPAT


Dua pemuda  yang barusaling kenal  itu  lari  ke  arah Barat  Kuto Inggil  di  mana

terletaksebuah kampung kecil bernamaTelogosari.

“Hatiku tidakenak….” Kata  Panji  Argomanik begitumereka  memasuki pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap disebelah sana…..?”

Wiro memandang kearah yang ditunjuk Panjidan mengangguk. “Sepertinya barusansaja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.

Panji Argomanik lari laksanaterbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka

masukke Telogosari lewat jalan kecildi sebelah Selatan. Beberapabuah rumahkayu

dalam  keadaangelap gulita  mereka  lewati.  Di  ujung jalan,  dekat  sebuah gubuk kosong Panji  hentikan larinya.  Tangannya  berpegang pada  tiang bambu.  Mukanya

yang merah karenaberlari tampak berubah pucat.

“Ya Tuhan…..” Pemuda ini mengucap.

Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya.  Dia  memperhatikan ke  arah yang

dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu barusajamusnah dimakanapi.

“Rumah kekasihmu….?”

Panjitak menjawab. Dia larisambilberteriak. “Larasati…..!”

Panji  Argomanik  tegak  dengantubuh  gemetar  di  depan puing-puing  rumah yang terbakar. Diaberteriaklagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang

dimakan apiberderak patahlalujatuh. Panjihendakmelompat ke dalam rumah yang masihdikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.

“Jangan lakukan. Semua sudahmusnah!”

“Aku kawatir Larasati ikutterbakar…..” kata Panji danjatuh berlutut.

Wiro memandang  berkeliling.  “Aneh,”  katanya  dalam  hati.  “Rumah satu  ini terbakar.  Tapi penduduknya  yang  diam  di  sekitar  sini  tak  ada  satupun yang  keluar untuk memberikan pertolongan  ataupunsekedarmelihat. Ini  bukan kebiasaan orang

kampung!” Wiro lalukatakan rasa herannya itupada Panji Argomanik.

“Aku yakin ini  bukan kebakaran biasa!”  kata pemuda  berambut  coklat  itu. “Rumah ini  sengaja  dibakar! Jika penduduk  takada yang berani  keluar untuk

menolong, pastiada yang merekatakutkan!”

“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab iniPanji?”

“Tak dapat  dipastikan.  Tapi pangkal  dari  segala  malapetaka  ini  hanya disebabkanoleh satu orang!”

“Siapa?”

“Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!”

“Kalau begitukitabisamenyelidikkeKadipaten.”

Panji  mengangguk.  “Aku memang  sudah bersumpahuntuk mematahkan

batangleher adipatikeparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatkuharus  kaburdari Kuto Inggil. Jugadiapenyebabkematiankedua orang tuaku. Pasti dia juga yang menyuruh bakar  rumah ini.  Larasati…..  Di  mana  kau Larasati…..? Keparat!  Jangan-jangandiatelah membakar kekasihkubersamarumah ini!” Panji Argomanik

melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harusmemastikandulu!” katanya. Lalu dia  mengelilingi  ruamh  yang kobaran apinya  mulai  mengecil.  Tiba-tiba

terdengarteriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.

“Ada apa……?”

“Lihat di balikgedek yan masih terbakar itu … ..”



Wiro merasakan tengkuknyamerinding. Di balikdinding kajang yang hampir musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakanapi. Di atas kaki ada

sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilikkaki  adalah seorang

perempuan.

“Mereka  membakar  Larasati!  Mereka  membunuhkekasihku!”  teriak Panji

Argomanik seperti  gila.  Dia  hendak melompat  ke  dalam  reruntuhan rumah yang

terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.

“Kita bisa mengambiltubuh yang terbakar ituPanji. Tapitidak perludengan

menyabung nyawa melompat masukke dalam api!” Wiro lalu ambilsebatang bambu

yang tersandar  dekat  sumur.  Pada  ujung bambu ini  dikaitkannya  seutas  kawat  yang dibentuk berupa  lingkaran.  Lalu dengan  galah berkawat  itu  dia  coba  menjirat  salah  satu kaki  yang  terjulur  di bawah dinding  kajang.  Bukan pekerjaan mudah,  apalagi    nyala  api  yang  menyengat panas.  Dengantubuh  dan pakaian  kuyup oleh keringat

Wiro berhasilmemasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu  dengan tengkukmasihmerinding,  disaksikandengantegang oleh Panji  Argomanik,   muridEyang Sinto Gendeng inimulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan- lahan.

Sedikit demisedikit sosoktubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar. Mula-mula  kelihatan  sepasang betis  yang sudahhangus  hitam.  Lalu…..  Wiro

mengerenyit.  Panji pejamkankedua  matanya.  Bagiantubuh di  atas betis  sampai  ke pinggang bahkan sampai  ke  dada  hanya  tinggal  tulang belulang  gosong yang tak

dapat dikenalilagi.

“Demi  Tuhan…..  Teruskan  Wiro.  Tarik  lagi.  Aku ingin  memastikan.  Aku ingin melihatbagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.

Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambuitu. Bagiandagusosok

yang terbakar  mulai  kelihatan.  Tapi  celakanya  saat  itu  des!  Lingkaran  kawat  yang dipakai untuk mengait pergelangan kaki putustaktahan panas. Wiro terduduk. Panji

Argomanik mengusap mukanya berulang kali.

“Wiro lakukansesuatu!  Aku harus  melihat  wajah orang itu!”  teriak Panji seperti mau gila.

“Kalau sebagian tubuhnya  sudah gsong,  apa  kaumasihbisa  mengenali tengkorak kepalanya yang mungkin sudahjadidebu?!”

“Tidak!  Janganucapkan itu! Lakukan sesuatu!  Demi  Tuhan  lakukansesuatu atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriakpanji Argomaniklagi.

Wiro berdiri.  Perlahan-lahandijangkaunya  galah bambutadi  laluberdiri,

melangkah dan mencoba  mendekati  runtuhan rumah yang masih terbakar.  Dengan

ujung bambudicobanya  mendorong  dan membalikkan sisa-sisa  dinding kajang.

Sekali, dua kali dansampaitiga kali tidak berhasil. Wiro majulagibeberapa langkah.  Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahandengan segalakekuatan yang ada dia coba lagimembalikkandinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang

yang terbakar  terbalikke  kiri  membuat  nyala  api  serta  debuhitam  menggebubu  ke atas.  Di  tanah,  di  antara puing-puing  hitam  reruntuhan yang  terbakar  tampak satu   kepala  yang sudahhitam  dan  tak  dapat  dikenali  lagi.  Di  atas  kepala  masih tersisa  sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.

“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas PanjiArgomanikmemburu dandadanya turunnaik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin itu mayat Bibi kanoman yang selamainimemelihara  Larasati … .”

Wiro menarik  nafas  lega.  Kalau  itu  mayat  orang  lain,  lalu di  mana  kekasih sahabat barunya itu? Wiro tak beranimengucapkan hal itu.

“Kalau penjahat yang melakukan hal  inipasti Larasati diculik … .”



“Mungkinkekasihmutidak adadirumah ketikarumah inidibakar. Berarti dia dalam keadaan selamat.”

“Tak dapat  kupastikan Wiro….  Aku harus  menyelidikinya.  Aku harus mendatangigedungAdipati Dirgo Sampean! Biadab!”

Wiro memandang berkeliling.  “Aku yakin ada  satu atau dua  tetangga  di    sekitar  sini  yang  mengetahui  apa  yang telah terjadi.  Aku  akangedor  dan  tanyai mereka!”

Pendekar 212 mendatangisebuah rumahterdekat lalu mengetuk pinturumah itu dengan keras.  Digedor berulang kali  takada  yang menjawabapalagi  muncul    membuka pintu.

“Sialan!”  Wiro memaki.  Dia  tendang pintu itu sampai jebol  lalu pindah ke

rumahdi  sebelahnya.  Setelah menggedor berulang kali  akhirnya  terdengar  langkah kaki di sebelahdalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan mukapucat

ketakutan.

“Kami….  Kami  tidak punya  apa-apa.  Kami petani  miskin.  Tak ada barang berharga yang bisakuserahkan pada kalian … ..”

“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang itulalumenariknya  keluar.  “Tapi  aku akan mematahkan batanglehermukalau kau

tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumahitu!” “Saya……saya … ..”

“Plak!” Wiro tampar orang itu dengankeras hinggadiaterjajar nanar. Saat itu  Panji  Argomanik sudah  berdiri  di  samping  Wiro.  Begitu  orang bersarung  melihat pemuda  ini,  kedua  matanya  menjadi  besar.  Rupanya  dia  mengenali  siapa  adanya pemuda ini.

“Kau….. Panji…. Kaulah yang merekacari! Di desatersiarkabar bahwakau  akan kembalike Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pastiakandatang kesini. Tapi  begitu merekatidak menemukankau, merekaterus membakar rumah. Membunuh Ibu Kanoman … ..”

“Bagaimanadengan Larasati?!” tanya Panjimemotong.

“Mereka menculiknya. Mereka membawalarikekasihmu. Kami penduduk tak beranimenolong. Mereka berjumlahsekitar sepuluh orang … .”

“Kau mengenalisiapa mereka….?” Tanya Wiro.

Orang yang ditanya menggeleng.

“Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.

“Tidak bisa  saya  ketahui  Panji.  Mereka  menutupi  wajah dengan kain … ..

Mereka menunggangikuda. Mereka melarikandiri setelah mendapatkan Larasati … ..”

Panji Argomanikmendengarkan keterangan itu dengan keduatinjuterkepal.

“Kalau…. Kalau takada lagi yang hendak ditanyakan, izinkanakumasuk. Di dalamanakistriku setengahmatiketakutan … .”

Wiro menarik  tangan Panji  Argomanik,  mengajaknya  meninggalkan tempat itu.  “Kita  harus  mencari petunjuksiapa  orang-orang yang menculikkekasihmu,

Panji.”

“Kalau mereka  bertopeng  siapa  yang bisa  mengenali?!”  ujar  Panji  hampir putus asa.

“Apasilang sengketamusebenarnya dengankerajaandanAdipati Lumajang?” “Aku dituduh membunuh seorang putera  Pangeran yang tergila-gila pada

Larasati daningin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marahatas

kejadian itukarena berlangsung di  wilayah kekuasaannya.  Dia  sengaja  memburuku karena ingin berbuatpahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangerandan

Sri Baginda!”



“Aku ingat  keterangan  orang  tadi.  Katanya  rombongan itu  datang karena menyangka  kauada  di  rumahkekasihmu.  Berarti  mereka  adalah suruhan  sang    Pangeran ataupetugas-petugas  Kerajaan.  Berarti  Sri  baginda  sendiri  atau Adipati

Lumajang yang menyuruh merekauntuk turun tangan!”

“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengankain segala?  Berati  mereka  takut  wajah masing-masingdikenal penduduk Telogosari!”

menjawab Panji.

Pendekar  212 garuk-garuk  kepalanya.  Matanya  kemudian tertumpuk pada

sebuah benda  yag tergeletak di  tanah.  Dia  melangkah mendekati  dan memungutnya

lalumemperlihatkannya pada  Panji  Argomanik.  Benda  itu  ternyata  adalahsebuah ladamkuda.

“Mungkin inibisadijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.

Panjitidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik ke  gedung Kadipaten lebih dulu.  Jika  berangkat  sekarang menjelang pagi  aku bisa sampaike sana.”

“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.



LIMA


Karena  mampu berlari  cepat  menjelang dini  hari  Singa  Gurun Bromo dan

Pendekar 212 Wiro Sablengsudahmemasuki Kadipaten. Panji Argomaniklangsung menujugedung Kadipaten yang terletak didepansebuahalun-alun. Mereka sengaja  datangdari  bagian belakang  gedung  agar  tidakmelewati  lapangan terbuka  di mana

mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.

Setelah memanjat  halaman  belakang kedua pemuda  ini  menyelinap di  balik

jambangan-jambangan besar lalumenyusup kehalaman samping yang gelap. Saat itu

didalam gedungada cahayateranglampu tanda penghuninyaada yang belum tidur.

Begitu Wiro  dan  Panji  bergerak  ke  dekat jendela,  di  dalam  gedung  terdengar  suara

orang bercakap-cakaplalu langkah-langkah kaki  menuju ruang depan.  Pintu depan    terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang ini  membungkuk  hormat  sebelum  turun dari  tangga  gedung Kadipaten.  Mereka

berjalan menemui  lima  orang  lainnya  yang rupanya tidak  ikut  masuk dan  sengaja   menunggu di  halamandepan.  Tak lama  kemudian kesepuluh orang itu tampak meninggalkankadipatendan lenyapditelah kegelapan malam.

“Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan  sepuluh orang itu yang

membakar rumahdan menculik Larasati….” Kata Panji Argomanikpada Wiro.

“Dugaanmu mungkin betul.  Di  sebelah sana  ada  kandang kuda.  Kita  bisa mengambilduakuda tunggangandan mengejar rombongan tadi … .”

“Aku setuju. Kita harus bergerakcepat!” kata Panji pula.

Baru sajakedua pendekarini endak meninggalkan halaman samping itutiba- tiba  di  halaman depan terlihat  enam  orang memasuki pintu gerbang kadipaten.

Seorang penjaga  mendatangi.  Begitu mengenali  siapa  yang datang dengan cepat

penjaga  ini  masukke  dalam  gedung.  Tak lama  kemudiaan penjaga  tadi  muncul     kembali  dan mempersilahkan masukempat  dari  enam  orangyang datang.  Keempat orang yang masuk ini bukan lainadalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu    Kunto Areng dan Jalak Toga.

Melihat  kemunculan orang-orang ini  yang  datangtanpa  kuda  dan pakaian

serta  tubuh basah oleh  keringat,  lalu  muka  dan  rambut  kusut  masai  Adipati  Dirgo Sampean yang barusajahendakmasuk ke dalam kamartidurnya jadi terheran-heran.

Sesuatu pasti  telah terjadi  dengan orang-orang ini pikirnya.  Maka  tanpa

mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung sajabertanya seraya menyapu wajah keempat orang itu dengan pandangantajam.

“Ada apa?!”

“Waktu hendak menujukemari, di tengah jalan kami, kami berpapasandengan serombongan orang. Apaah merekabarusandatang darisini?” yang membuka mulut     adalah Ki Bumi Wirasulo.

Rahang sang Adipati  tampakmenggembung.  “Ki  Bumi!  Kau seperti  orang yang tidak tahu peradatan  saja!  Aku  mengajukan pertanyaan.  Kau bukannya

menjawab malah balik bertanya.  Kalian datang kemari  untuk melapor  atau menanyaiku!”

“Harapmaafkan saya,  Adipati,” jawab Ki  Bumi  Wirasulo denganwajah merah. “Bukan maksud kami berlakukurang ajar. Tapikamimelihat orang-orang itu

rata-rata berwajah garang dankamitidak mengenali mereka. Kami kawatir … …”



“Siapa  adanya  orang-orang itu bukan urusan kalian.  Ki  Bumi,  kau  mewakili kawan-kawanmu.  Katakan saja  apa  yang  telah  terjadi!  Aku  mencium bau takenak saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampeandengan suara keras.

Ki Bumi Wirasulojadi panas hatinya. Dia berpaling padaMangku Sanggreng dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”

Mangku Sanggrengbatuk-batuk dulubeberapa kali. Baru membuka mulut.

“Kami  mengalami  nasib apes  Adipati.  Sebenarnya  kami  telah berhasil

meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu  kami sergap di warung

nasi  Mbok Sinten.  Dalam perjalanankemari  kami  melihat  ada  nyala  api  yang

mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidikkarena bukan mustahil

gerombolan Warok  Keling yang berkemah  di  tempat  itu…..”  Mangku  Sanggreng kemudian menuturkan apa yang terjadiselanjutnya.

TampangAdipati  Lumajang itu  tampakkelam  membesi  begitumendengar seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.

Sesaat sang Adipatitertegak tak bergerak,hanya sepasang matanya saja yang memandang melotot  dan beringas pada  keempat  orang itu.  Perlahan-perlahan

kelihatandia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“C….c….c…!  Bukan main!”  kata  Dirgo Sampean pula.  “Dua  orang tokoh silat  Istana  berkepandaian tinggi.  Dia  orang perwira  tinggi  Kerajaan.  Ditambah

delapan orang perajurit!  Gila!  Tolol  dan menggelikan.  Kalian sampai bisa  ditipu

orang seperti  itu!  Aku  tidak  mau  melaporkan  kejadian ini pada Sri  Baginda.  Kalian harus tanggung jawabsendiridan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”

Keempat orang itu terdiam.

“Kalau begituperintah  Adipati,  kami  akan  mematuhinya.  Tapi  harap jangan bicaraterlalukeras!” berkatamangku Sanggreng.

“Apamaksudmu?!” tanya Dirgo Sampeandengan matakembalimembeliak.

“Kami  bekerja  di  bawah perintah Sri  Baginda.  Tidaklayak  Adipati

mengeluarkan kata-katakasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini  silahkan saja.  Menggebuk merekapunkami  tidak mau tahukarena  memang bekerja  untuk  kerajaandan berada di bawah pimpinanAdipati…..!”

Adipati  Dirgo Sampean menyeringai.  “Jika  kalian berdua  berkata  begitu,

silahkanangkat  kaki  dari  gedung  ini  saat  ini juga!”  Lalu  Adipati  Lumajang  itu   bergegas ke pintu. Pintu depandibukanya lebar-lebar dandia memberi isyarat dengan  goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.

Sebelum keluarkedua tokohsilat Istana itumasihsempat melihat Jalak Toga dan Kunto Areng lontarkan seringaisinis kearah mereka.

Adipati  Dirgo Sampean membantingkan pintu.  Lalu berpaling pada  dua perwira tinggi yang tegak tak bergerak denganwajah kuncup.

“Kalian berdua  tidak usahtakut.  Aku  tidak marahpada  kalian.  Aku hanya melepaskan kebenciankupadadua orang tadi.”

Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Togamenjadilegadan berdarahkembali wajah masing-masing.

“Mereka  sedikit bekerja  tapi  hidupenak.  Mendapat  kesenangandari  Istana. Kita yang telah mengabdipadakerajaan sekian puluhtahun malahtidak diperhatikan.   Kaum penjilatsepertimereka sekali-sekali memang harusdiberipelajaran!”

“Ah,  rupanya bukankami  saja  yang punya pendapat begitu.  Syukur  kalau Adipatimengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.

“Kalian boleh bermalam disini. Besok ada tugasuntuk kalian!”

“Terima kasih,Adipatimasihmempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya membungkuk.



“Kita  orang-orang  satu kelompok  harus  saling    menghormat  dan bekerja sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.

Di  halaman samping begitumelihat  Ki  Bumi  Wirasulo dan Mangku

Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.

“Itu mereka! Kurasa inisaat yang baikuntuk menjajal kembalikehebatankeduanya!”

“Baikbagimutidak bagiku sobat!”  kata  Panji  seraa  menarik celana  sang    pendekar. “Apa yang hendakkaulakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusutdi mana Larasati saat ini berada dansiapa yang telah menculiknya.”

“Ingatladam kuda yang kitatemui itu?ujar Wiro. “Tunggusaja sampaipagi . Kau hanya tinggal menunjukkan padaku dimana orang biasamengupah memperbaiki atau memasang ladam kudanya … ..”

“Cuma adasatudi Kuto Inggil. Bengkel kudaKarjoLugu.” Jawab Panji.

“Bagus  kalau cuma  satu.  Berarti  kita  tidak perlumenghabiskanwaktu menyelidikke mana-mana.”

Kedua  orang itu menunggu  sampai  seorang pengawal  yang melakukan

penjagaan kelilinglenyap diujung gedung. Lalu cepat-cepat merekamenuju halaman  belakang,  memanjat  tembok  dan lenyap  ditelan  kegelapan malandan  udara  dingin menjelang pagi itu.




ENAM


Di bengkel  kuda  milik Karjo  Lugu para pemilikkuda  dapat  membeli  segala

keperluan yang berhubungandengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,

tali  kekang, pelana  dan juga  ladam.  Di  samping ituKarjo  Lugujuga  mengerjakan perbaikan ladamatautapal besi, perbaikan pelana maupun injakankaki.

Pagi  itu Wiro dan Panji  sampai  di  sana  Karjo Lugusudah tampaksibuk di

bengkelnya.  Karjo  Lugu  seorang lelaki  berambut putih  berusia  hampir  enam puluh tahun. Walaupun berusialanjut tapiotot-ototbadannya masih tampakkukuh. Seperti

namanya, orang ini memang bersifat lugudan murah senyum.

KarjoLugumenyambut  salam  yang diucapkan  Panji. Namun ketika  dia

mengangkat kepalanya dan melihatsiapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.

“Pak Lugu…..”kata  Panji,  begitu orang biasa  memanggil  KarjoLugu.  “Kau     kelihatansepertiterkejut melihatku. Apakahwajahku sudah berubah jadisetan?!”

“Anak muda, apa kautaktahudirimudalambahaya berani datang kesini?”

“Rupanya  kausudahmendengar  apa  yang terjadi  siang kemarin di  warung Mbok Sinem,” kata Panji pula dengantersenyum.

“Tentu saja.  Berita  itutersiar  cepat. Kau dikabarkan sudahdiringkus  dan dibawake Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisamuncul disini?”

“Kau takusah merisaukan hal  itu  PakLugu.  Aku baik-baik dan  sehat-sehat saja … .”

“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugupada Panji Argomanik.

“Sahabatku,” jawab Panji.

“Panji, sebaiknya kau cepat pergidarisini. Kalau adamata-mata yang melihat

dan melaporkan kau muncul sertaberbincang-bincang denganku, aku bisacelaka … ..”

“Ada hal pentingyang hendakkamitanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro pula.

“Eng…..” pemilikbengkelkuda itu tampak serba salah.

“Pak Lugu,”  kata  Panji.  “Semasa  hidupnya  kaubersahabat baik dengan ayahku.  Sekarang kami  butuh bantuanmu.  Apa  kau melupakan begitusaja

persahabatandengan ayahku?”

“Tentu saja  bukan begitu.  Tapi  kauadalah orang buronan.  Jika  ada  yang … . Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara didalam saja.” Orang tua itumenunjuk kearah pintu.   Panji  dan  Wiro  segea  masukke  dalam  ruangan di  balik pintu  itu.  KarjoLugu

memandang duluke  arah jalan,  lalu pada  beberapa  bangunan di  sekitarnya.  Bila dirasakannya aman maka orang tua ini segera masukke dalam rumahnya. Sampaidi dalam dia bertanyapadakeduapemuda itu.

“Hal penting apa yang hendakkalian tanyakan?”

Wiro yang menjawab.  “Tadi  malam  rumahLarasati,  kekasihsahabatku ini dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi  kanoman ditemuisudahjadi mayat terbakar hangus … .”

“Ya Tuhan, belum kudengarberita itu…….” seru KarjoLugu.

“Larasati lenyap diculik orang … ..”

“Gusti Allah!” mengucap KarjoLugu.

Wiro meneruskan.  “Kami  tidak tahu  siapa  manusia-manusia biadab yang melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini didekatrumah yang terbakar.”





Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkan nya pada Karjo “Apa  hubungan ladam  ini  dengan hal penting  yang hendak kalian  tanyakan

Yang menjawab kini  adalahPanji  Argomanik.  “Kami  yakin ladam  kuda  ini


adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumahdan  menculik Larasati.  Malam  tadi,  atau pagi-pagi  sebelum  kami  datang,  apakah ada seseorang yang datang membawa  kudanya  yang salah satu kakinya  tidak berladam.

Lalu mintadipasangkan ladam baru … ..”

Paras  Karjo Lugujadi  berubah.  Wiro dan Panji  maklum  sudah.  Keduanya menunggu.

“Pagi  buta  tadi….” Kata  Karjo  Lugu.  “Ada  orang menggedor bengkelku.

Ketika  kubuka  orang ini  tenyata  datang bersama  dua  orang temannya.  Tampang- tampang tak dapat  kukenal  karena  tertutup  kain menyerupai  topeng.  Salah seorang

dari mereka minta agar akumemasangkan ladambarupada kaki kudanya sebelah kiri

belakang.  Aku bilangbesok saja  kalaubengkel  sudahbuka.  Tapi  orang-orang itu

mengancam akan menggorokleherkukalau akutidak melakukannya malam itujuga.

Masih dalam keadaan mengantukaku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang

yang punya kudamembayarcukup tinggi. Tapisebelum diapergidiaberpesan … …”

“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.

“Agar  akutidak  mengaakan pada  siapapun kedatangan mereka  ke bengkelku…..!”

“Hemmmmmm,”  Wiro bergumam  sambil  garuk-garukkepala.  Kalaubegitu mereka  merasa  kawatir  kau  mengenali  salah satu dari  mereka.  Walau mereka

menutupi  wajah masing-masing dengankain…..  Coba  kau ingat-ingat  Pak Lugu.

Mungkinada benda atautanda-tanda pada ketiga orang itu,ditubuh mereka ataupada kuda-kuda  mereka.  Tanda-tanda  yang bisa  mmberi petunjuksiapa  mereka

sebenarnya.”

KarjoLugu mengusap dagunya  yang ditumbuhi janggut-janggut pendek

berwarna putih.  “Rasan-rasanya  memang ada.  Waktu ituakutidak memperhatikan.

Tapisetelah kau mengatakannya akuteringat sesuatu. Salah seorang dariketiga yang

datang itu mengenakan bajuberlengan sangat pendek.  Di  tangannya  sebelah atas,    dekat bahu  ada  sebuah rajah.  Rajah itu bergambar  seekor  kelelawar  yang tengah mengembangkan sayapnya … ..”

“Itu rajah tandakomplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.

“Terima  kasih Pak Lugu.  Keteranganmu sangat berharga.”  Pemuda  bergelar  Singa

Gurun Bromo itu menarik  lengan Wiro,  cepat-cepat  mengajaknya  meninggalkan tempat itu.

“Aku tahu sarang penjahat  keparat  itu. Kita  menujuke  sana  sekarang juga! Larasati pastiberadaditangan mereka!”

“Mendatangi  sarang penjahat  siang-siang begini  apa  tidak terlaluberbahaya, Panji?”

“Aku sudahsiap mati  untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji

Argomanikalian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kautakut kau boleh sajatidakikut dankita berpisah sampaidisini.”

Wiro menyeringai.  “Aku tidak bisa  menjelaskannya.  Tapi  aku punya  firasat

adasaturahasiadi balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”

Hanya  beberapa  saat  setelah kedua pemuda  itu meninggalkan bengkel  Karjo Lugu,  tiga  orang penunggang kuda  tiba-tiba  muncul.  Si  orang tua  terkejut  ketika

memperhatikan.  Ternyata  mereka  adalahtiga  orang yang tadi  malam mendatangi



untuk dipasangkan ladam baru.  Wajah mereka  masihditutupi  secarikkain.  Karjo Lugumendadak merasa tidakenak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.

“Ah, kalian rupanya. Apalagi yang bisakubantu?’

Lelaki  yang lengan sebelahatasnya  memiliki  rajah turundari  kudanya. “Malam  tadi  kami  lupa  membayar  harga  ladam  dan ongkos pemasangannya. Kebetulan kamilewat lagidisini. Saat inikamihendakmembayarnya.”

“Wah,  kalian orang baik-baik rupanya.  Tidak dibayarpun tidak jadi  apa  asal kitabisajadi langganan.” Kata KarjoLugu pula.

Lelaki  yang  lengannya  dirajah  bergambar  kelelawar  tersenyum.  Dia

menggerakkan tangan kirinya  ke  arah pinggangseperti  layaknya  orang hendak

mengambil  uang.  Tetapi  ketika  tangan itukeluar  lagi  dari  balik pakaian,  yang

kelihatan bukan kantong uang tetapi  sebilahpisauberkilat  yang panjangmatanya

hampirduajengkal. Sebelum KarjoLugumenyadari apa yang akandilakukan orang itu,  tiba-tiba pisausudah  menghujam  dalam  ke perutnya.  Karjo  Lugu  menjerit  tapi

lehernyacepat dicekikhingga suara teriakannya menjadi tertahandan lenyap.

“Tua  bangka  keparat!  Kau  tidak  menepati pesanku.  Kau pasti  telah     memberitahusesuatu tentang kami padakedua orang pemuda itu. Benar?!”

“Ha….h…ha….hu!” KarjoLugutidakbisa menjawab karenalehernyamasih dicekik sementara perutnya yang bersimbahdarah terasa sakit bukankepalang. Lelaki

berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugukeatas meja tempat penempaan besi. Orang

tua  itumengeluhtingi.  Dia berusaha  manarik  nafas panjang tapi  nafasnya justru putus!




TUJUH


Dua pendekar  nekad itu memacu kuda  masing-masing menujuke  Selatan kaki

Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuromerekamembelokmemasukisebuah dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentangsebuah rimbabelantara sarang segala  binatangbuas  dan manusia jahat.  Dulunya  terdapat beberapa  kelompok penjahat

mendekam  dan bersarang  di  tempat  itu.  namun  setelah Warok Keling  muncul,  dia

menggabungkan semua kelompok gerombolan itukedalam kelompoknya. Siapa yang

tidak mau tunuduk padanya  ditumpasnya  sampai  habis.  Saat  itu  Warok Keling  menjadi  raja  di  raja perampok  yang memiliki  anakbuah hempir  seratus  orang.

Bersama kelompoknya diamendirikan sebuahkawasan perumahan didalam hutan itu. walaupun hutantapikeadaannya subursekali. Air bersih mudahdidapat. Begitujuga   buah sertabinatang buruan yang bisadisantap.

Menjelang tengah hari  mereka  sampai  di bagian hutan yang tanahnya

meninggi. Wiro dan Panjiterus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitusampaidi

puncak kelihatanlah belasan rumahkayu yang dipagardengan tiang-tiang terbuat dari batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Padajarak-jarak tertentudi atas pagar ituterdapatsebuah pondok tempat pengawal melakukantugasnyaberjaga-jaga  mengawasidaerahsekitarnya. Begitu Wiro dan Panjimuncul mendekati pagar kayu

satu suitan nyaring terdengardarisebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang  muncul  di  atas pagar.  Mereka  memegang busur  dan panah yang siapdibidikkan ke arahkeduapemuda itu.

Di  sebelah belakang Wiro dan  Panji  mendengar  suara  menggeresek.  Ketika    berpaling mereka  melihat  ada  kira-kira  sepuluh orang meluncur  dari  atas pohon.  Di cabang-cabang terendahmereka berhenti  dandari  sini  mereka  membidikkan pula

panah atau sumpritankearah Wiro dan Panji.

“Kita terkurung!” kata Wiro.

“Tenang saja.  Jangan  membuat  gerakan-gerakan yang mencurigakan.  Anak- anak panah dan sumpritanitu beracun!”  kata  Panji.  Lalu dia  membawa  kudanya

mendahului Wiro menuju satu tempatterbukahingga semua orang di atas pagar kayu meupun di  atas pohondapat  melihatnya  denganjelas.  Wiro menyusul bergerakke samping Panji.

Panji  Argomanikkemudian mengangkat  tangannya.  Lalu  dia berseru.  “Aku Panji Argomanik dan seorang sahabatingin menemui pimpinan kalian!”

Dari  atas  rumah penjagganterdengar jawaban.  “Dua  cacing tanah seperti kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”

“Keparat!” maki Wiro.

“Diam saja!” tukas Panji. Lalu diaberseru lagi. “Kami memohon sekalilagi! Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”

“Bicaralah dengan setan-setan rimbabelantara ini! Harapkalian berdua segera meninggalkan tempat  ini  atautubuh kalian akan kami  tambus  dengan panah-panah  beracun!”

“Edan!”  Kini  Panji  yang keluarkan suara  makian.  “Kalau kita  tidak

diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berartikitaterpaksa menyusup malam   hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluardari sarangnya. Tapi semua itumemakan waktu. Sementara itubanyakhal bisaterjadipada Larasati … …”

“Agaknyakita takada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.

Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.



Sementara  itudi  atas bangunan pagar,  sorang bertubuh tinggi  luar biasa, berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam

sorban berwarna merah diatas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.

“Aku mendengar  suara  suitan lalu  suara  orang berteriak-teriak.  Apa  yang

terjadi?”  tanya  orang  berkulit  hitam  legam  itu.  Suaranya parau dan  sember.  Inilah

manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.

Seorang anak buahnya segera menerangkan.

“Ada duapemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok … .”

“Ah, begitulama akujadi pemimpin kalianbarusekaliterjadi hal seperti ini.

Dua pemuda  itu  rupanya punya  nyali  besar.  Apa mereka  menyebutkan nama  atau gelar?”

“Gelar  tidak,  tapi yang seorang memperkenalkan diri  dangan nama  Panji Argomanik!”

“Panji  Argomanik…..”  mengulang Warok Keling  samgil  mengusap dagunya

yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggutatauberewok dan

kumis  tebal  melintang.  Tapi  Warok Keling justru memelihara  wajah  kelimis  dan wajahnya  yang hitam  cukup keren.  “Panji  Argomanik….  Aku rasa-rasa pernah

mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem….. Jangan-jangan … ..

Hai,  coba  kau tanyakan pada  orang yang  bernama  Argomanikitu.  apakahdia orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”

“Keduanyasudah pergi Warok.”jawabsi anak buah.

“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang itukembali.”

Anggota penjahat itukeluarkanduakali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi.

Di  dalam  rimba belantara  di  luar pagar  empat  anak buah Warok Keling  meluncurturundariatas pohon. Mereka melompat ke tanah lalumencegat Wiro dan Panjisambil membidikkan panah-panah beracun.

“Pimpinankami  meminta  kalian kembali!”  kata  salah seorang di  antara mereka.

Wiro dan Panjisaling pandang.

“Ada apa kamidisuruhkembali?!” bertanya Panji Argomanik.

“Apa  kau orangnya  yang bernama  Panji  Argomanik, bergelar  Singa  Gurun Bromo?”

Panji mengangkat tangannya dan berteriakmembenarkan ucapan itu.

“Kalau begitukau boleh masuk. Tapi  kawanmu  tetap tinggal  ditempat!  Dia tidakcukup layak menginjakkankakiditempat kami!”

“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.

Saat itupintu gerbang kayu tampak terbuka.

“Kau masuklah. Aku biar menunggu disini,” kata Wiro.

Panji  Argomanik mengangkat  tangannya.  “Aku  tidak akan masukkalau temanku initidak diperbolehkanikut serta!”

Dari atas rumah penjagaanterdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu itu. apa dia punya julukan?!”

“Namanya Wiro Sableng!” berteriakPanji.

Sunyisejenak. Lalu dari atas rumah penjagganterdengar suara orang berteriak, bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”

Panji  Argomanik berpaling pada  Wiro.  Murid Sinto Gendenggaruk-garuk kepalanya. “Tidak! Dia tidak … ..”

Wiro tekap mulut  Panji  Argomaniklalu dia  sendiri berteriak.  “Gelarku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”



Kedua  mata  Panji  Argomanik  membeliak besar.  Ketika  Wiro  menurunkan tangannya pemuda bergelar  Singa  Gurun Bromo ituberseru.  “Kau…..!  Jadi  kau    pendekardari Gunung Gede yang terkenal itu?!”

“Aku tidaklebih hebat darikauSinga Gurun Bromo!”

“Jangan merendah! Aku banyak mendengarriwayatmu yang hebat-hebat!”

Wiro tertawa.  “Orang selalumenambah bumbudalam  setiapcerita … ..” katanya.

Dari  atas  rumah penjagaantiba-tiba  terdengar  suaa  teriakan.  “Kalian berdua boleh masuk!”

Pintu gerbang  terbuka.  Kaliini  lebih  besar. Wiro dan Panji  masukke  dalam.

Pintu menutup  kembali.  Begitu  masukke  dalam  dua  orang bertubuh  besar

menghampiri  mereka.  Keduanya  dipersilahkan turun dari  kuda  masing-masing lalu

binatang-binatang itudibawa  ke  satu tempat  untuk ditambatkan.  Kemudian seorang lelaki  muncul,  membawa  mereka  ke  sebuah rumah besar  dari  kayu  bertingkat  dua.

Wiro melangkah sambil  memandang kian kemari.  Dia  melihat banyak anak-anak    tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk di  bawah pohon.  Ada  yang tengah merenda,  ada  yang tengah bercakap-cakap.

Keadaan di  tempat  itubukan seperti  di  sarang perampok tapi  tidakbeda  dengan kampung biasa.

Wiro dan Panjidibawake tingkat rumahkayu besar. Lalu diminta duduk pada

duabuah kursikayu. Di antaradua kursiituterdapatsebuahkursiketiga yang lebih besar dan lebih tinggi. Keduanyadiminta menunggu.

Tak lamakemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban   merahnya. Tapidiakinitelah berganti pakaiandengan sebuah jubah terbuatdarikain    sangat  tebal  yang beratnya  hampir  lima puluh  kati.  Bersamanya  mengikuti  empat orang pengawalbertampang bengis dan membawagolok besar-besar.

Warok Keling duduk di  kursi  besar.  Dia melambaikan tangan pada  keempat   pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka     sang Warok lantas berkata. “Kalian pergisaja. Mereka adalah teman-temanku!”

Mendengar ucapan itukeempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji merasa heran karenatidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.

“Dua  sahabat  muda.  Kuucapkan selamat  daangdi  tempatku yang buruk  ini. seumur  hidup  baru  kali  ini  ada  dua  orang  tokohsilat  yang punya  nama  besar

menyambangikudisini. Kalian inginkusuguhkanapa?”

“Kami  orang biasa-biasa  saja.  Jangan Warok keliwat  memuji,”  kata  Panji. “Terus terang kami memang haus. Tapi kami takingin merepotkanmu.”

“Kau bagaimana?” tanya Warok Kelingpada Wiro.

“Aku memang haus  sekali.  Akutiakmalu-maluminta  minum  apa  saja. Kawankujuga … ..”

Warok Keling tertawa lebar.

“Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terusterang dan polos!” Warok Kelinglalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Iniputeriku,

Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.

Dalam  hatinya  Wiro berkata.  “Sulit  dipercaya.  Manusia  burukhitam begini

rupa punya puteri  secantik ini  dan berkulit  kuning langsat!  Ibunya pasti  seroang bidadari yang tertangkaphidup-hidup dan tak dapat kembalike dunianya!”

“Anakku. Ita kedatangandua orang tamupenting. Harapsediakantuakmanis dan jangan lupa talas rebus makananutamakita yang paling lezat!”

JayengsaruMengangguk. Dia melirik kearah Pendekar 212 sekilas lalumasuk ke dalam dengan langkah-langkahlincah.



“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangandan minuman, sekarang ceriakan apa hal penting yang hendakkau bicarakandenganku!” kata Warok Keling.

“Kami, maksudku aku mengalamikesulitan … ..”

Warok Keling tersenyum  “Aku pernah mendengar  kesulitanmu.  Enam  tahun kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh puteraPangeran Sendoyo … .”

“Bagaimanakaubisa tahu Warok?” tanya Panji heran.

“Aku dananak buahku memang tinggal jauhdi hutan. Tapi kami punya mata dantelinga di mana-mana…. Nah, sekarangceritakan apa kesulitanmu yang lain!”

“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Bagindadan Adipati Lumajang,saat ini aku butuh bantuanmu  dan  kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.

Rumahnyadibakar kemarin malam. Bibinyatewas dan Larasati diculik orang!”

“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kaudatang kemari? Eh, tadi kudengar kau meminta  aku agar bersedia  mengembalikananak gadis  itupadamu.  Apa  kau   kira … .”

“Maafkan aku Warok. Akutidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada  orang memberi  kesaksian bahwa  salah seorang penjahat  yang membakar  dan menculik gadis itumemiliki lengandengan rajah burung kelelawar!”

Warok Keling menggulung lenganbajunya sebelah kirisampaike bahu. Lalu diamemperlihatkan rajah kelelawardi bahunya itu. “Rajahseperti ini?”

“Kira-kira begitu Warok.”

“Seperti  ini?”  Sang Warok buka  kancing  bajunya.  Di  dadanya  kelihatan lagi sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.

Paras  Warok Keling berubah semakin hitam.  “Singa  Gurun Bromo … ..”

katanya  dengan suara  bergetar.  “Jika  tuduhanmu itu tidak benar,  tubuhmu akan

kulemparke luar pagar tanpakepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau juga!”  hardiknya  sehingga pendekar 212 tersentakkaget.  “Siapa  yang memberikan

kesaksian padamu?”

“KarjoLugu. Pemilikbengkel kudadi Kuto Inggil.”

“Aku akan perintahkananakbuahku untuk menyelidik. Tapiada satu hal yang

perlukuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsarikeluarmembawakanminuman tak dalamtabung bambupendek sertarebusan talas yang diurap dengan kelapaparut.

“Aku tahu kalian pastihausdanjuga lapar … .”

Wiro ulurkan tangan  hendak mengambil  tabung  bambu.  Tapi  Warok Keling segera mengepret tangannya.

“Aku tidak  akan menyuruh kalian minum  dan makansebelum  kalian

mendengarduluketeranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. “Aku sudah tiga puluhtahun lebih jadi raja diraja penjahat dikawasan Timur ini. Selama

akumalangmelintang  ratusan orang telah menjadi  korbanku.  Kurampok  habis-

habisandan kubunuh jika merekamelawan. Tapiada satu hal yang harus kalianingat

baik-baik.  Mereka  yang jadi  korbanku adalah  orang-orang  kaya  yang  tidak  mau memberi  hartanya pada  rakyat jelata.  Atau pejabat-pejabat  rakus  yang kekayaannya

seabrek-abrektapitak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan itumereka  dapatkan  dari  hasil  menipu!  Kaum pedagangyang terlalu  rakus  mencari

keuntunganjuga  kujadikan  korbandan  kuburu  di  manapun mereka  berada.  Tapi

dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagibaik-

baik!  Aku  tidak pernah  menculik dan  melarikan anak istri  orang! Waktu datang    kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.

Orang-orang perempuan duduk merenda  atau  melakukan pekerjaan lain  sambil

ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawinsah oleh anak-anak buahku.  Dan anak-anakitubukananak-anak haram!  Ini  memang


perkampungan sarang perampok. Tetapidisinikehidupan lebih baik dari padadi luar sana!  Jadi  ingat!  Kami  bukan tukang culikapalagi  tukang perkosa  orang-orang

perempuan., jika anak buahkubertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan mengajaknya  baik-baik dan tinggal  di  sini.  Jika  mereka  menolak,  mreeka  dilepas

dengan aman. Bahkan diantar pulangsampaike kampung dan rumah mereka! Karena

cara-cara kami itulah makatidakada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami.

Tapi  mereka juga  sungkanuntuk  mendekati  kami,  tidak  seperti  yang  saat  ini  kalian lakukan.  Kalian orang-orang muda  sungguhbisa  dibuat  contoh.  Lalu, pihak

kerajaanpuntidakbisa berbuat  apa-apa  terhadap kami.  Kami  memang penjahat  tapi  sebenarnya  kami  lebih  cocok dikatakansebagai  tanganjahil  yang  merampas  sedikit harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”

Panji  terdiam  mendengar  kata-kata  Warok  Keling itu  sementara  itu  Wiro hanyabisagaruk-garukkepala!

“Aku tidakbisa percaya  akan penjelasanbahwa  ada  anak buahku terlibat

penculikan Larasati. Tetapiakuberjanjiakan menyelidik. Jika betulanak buahkudia  akan kuhukum berat  dan Larasati  akankembali padamu denganselamat!  Sekarang kalian boleh meneguk minumandan mencicipi hidangan!”

Wiro dan Panji  segera  mengulurkan tangan untuk mengambil  tabung tuak

masing-masing.  Tapi  ketika  diangkat  ternyata  tabung-tabung bambuitutidak

bergeraksedikitpun. Seolah-olah melekat kekayumeja. Semakin dikerahkantenaga

untuk mengangkatnya  semakin melekat  keras  kedua  tabung bambuitu.  Wiro dan

Panji segera maklum bahwatuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi mereka  hanya  mengerahkantenaga  kasar  atau tenaga  luar  maka  kini  diam-diam

keduanya  mengerahkan tenaga  dalam.  Di  atas  kursinya  Warok Keling yang tadi

tampak duduk sambil  menyeringai  kini  kelihatan mengernyit.  Keningnya  dipenuhi    percikankeringat. Tubuhnya  yang besar  tampak bergetar.  “Hem….  Dua  anak  muda inimemilikikekuatan tenagadalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam    hati. Dia lalukerahkanseluruh tenagadalamnya pula.

Tuak di  dalam  tabung bambuitu beriak seperti  mendidih.  Wiro dan Panji

merasakan tangan merekasepertidiseranghawa panas. Tapikeduanyatetap bertahan.

Di  samping mereka perlahan-lahantubuh  Warok Keling  tampak terangkat  ke  atas

sampai  setinggi  tiga jengkal.  Wiro  kedipkan  matanya  ke  arah Panji.  Kedua pemuda ini  tiba-tiba  secara  serentaklepaskan pegangan mereka pada  tabung bambu.  Dan

terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.

Karena  tenaga  dalam  wang  Warok kini  lepas  menghantam  tempat  kosong maka  tak ampun lagi  tubuhnya  yang tadi  terangkat  dengantiba-tiba  dankeras  luar biasaterbanting jatuh keataskursi yang didudukinya.

“Brak!”

Kursi  kayu yang  kokoh  itu patahkeempat  kakinya.  Tak ampun  lagi  tubuh tinggi besar Warok Keling jatuh kelantai!

Empat  orang pengawal  keluar  dari  ruangan dalam  sambil  menghunus  golok dansiapuntuk menyerang  Wiro  dan Panji.  Tapi  Warok Keling  cepat bersiri  dan

tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.

“Pergisaja! Tak ada apa-apa disini. Kami hanyabersendaugurau! Ambillah akukursi baru!”

Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera kedalam lalukeluarlagi membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.

Warok Keling sekakeringat yang membasahimukanya.




“Kalian orang-orang  muda  yang hebat.  Kalau  kalian mau,  tadi  kalian bisa mengirimku keakhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencarisilang  sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipitalas rebus yang lezat itu!”

Wiro dan Panji segear ulurkan tangankembali untuk mengambiltabung berisi tuak.  Setealh menegukminuman yang lezat  sejuk itu mereka  mencicipi  talas  rebus

yang dihidangkan. Hanyasesaat setelah sepotong besar talas amblas masukke dalam

perut  mereka,  kedua pemuda  itu  mendadakmerasakan mulut  mereka  menjadi  gatal. Makin digaruk makingatal.

“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk kemlut Wiro. “Mulutmujugabengkak!” ujar Wiro pula.

Kedua pemuda  itu sama-sama  memegangi  mulut  masing-masing.  Dan

menggaruk tiada henti. Lalu sama memandangpada Warok Keling dengan rasa curiga.

Sebaliknya sng Warok tertawagelak-gelak.

“Warok, apa yang kau perbuatterhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap lagibibirnya yang semakin melendung.

Gelak sang Warok semakinkeras. “Dulu, waktuaku dananak buahkupertama kali  makan talas, bibir  kami bengkak dan  gatal-gatal  seperti  kalian.  Tapi  lama

kelamaan kami jadikebalkarena terbiasa! Maaf sajakalausaat inikalian mengalami  nasib sama.  Itu bukandisengaja.  Ha….ha….ha!  Kalian berdua jangan  marahpada siapapun!”

Panjiberdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.

“Warok, kami mintadiri … ..”

“Silahkan.  Aku gembira  mendapat  kunjungan kalian.  Satu hal  agar  kalian   ketahui. Jika suatuwaktukalian ingin bergabung dengan kami, pintuselaluterbuka!”

Kedua pemuda  itu menyeringai.  Karena  mulut  mereka pada bengkak,  ketika menyeringai  tampang-tampang mereka  menjadi  lucudan ini  membuat  sang Warok

jadi terpingkal-pingkal!



DELAPAN


Keluardari rimbabelantara hujanderasturun memaksa Wiro dan Panji mencari

tempat  untuk berlindung.  Untungnya  mereka  menemukan sebuah gubuk reyot tak jauh dari situ. Keduanya segera berteduh didalam gubuk tanpadinding danatapnya   penuh lobang itu.

“Sobat,  kurasa  sekarang saat  yang baik kau menuturkan riwayatmu.  Kau bilang terpaksakabur dari Kuto Inggil enam tahunlalu. Lalu punya silang sengketa

dengankerajaandanAdipati  Lumajang.  Apa betul  kau membunuh putera  Pangeran Sendoyo?”

Panji  meraba  rambutnya  yang  coklat  yang kejatuhantirisan air  hujan.

Digelengkannya  kepalanya.  “Tidak,  tidak betul.  Ada  orangyang  mengatur  fitnah. Menjebakku demikian rupa  hingga  tuduhanjatuhan padaku.  Aku akan ceritakan

padamu awal malapetaka enam tahun yang laluitu … ..”

Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belastahun. Kecantikannya yang

memang luar biasa  telah dibawa  angin keharuman sampai  di  Kotaraja.  Seorang

pangeran bernama  Sendoyo yang mendengar  kecantikan Larasati  itu  telah sengaja

menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk

melamar  Larasati  agar  dapat  dipersunting oleh puteranya  yang bernama  Tayu

jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentusaja tak berani  menolak  walaudia  tidak  suka  akan  lamaran itu.  dia  sudah  sejak lama

mendengar bahwa puteraPangeran Sendoyo itusuka berjudi, penyabung ayam, suka   menggangguanak istri orang dan pantat botolalias suka minuman keras. Secara halus dia  menyerahkan persoalannya pada  Larasati.  Si  gadis,  yang sebenarnya  telah

menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengantegas menolak lamaran itu.

Sang Pangeran  kembali  ke  Kotaraja  dengan perasaan malu,  tersinggung dan marah.  Diam-diam  dia  berusaha  mencari jalan untuk  mendapatkan Larasati,

bagaimanapun caranya.  Untuk itudia  meminta  bantuanDirgo Sampean,  adipati  Lumajang yang membawahi  Kuto Inggil.  Dirgo  Sampean mau membantu karena dijanjikanakandiberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.

Hari itumerupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di    alun-alun ramai  dikunjungi  orang.  Rumah  makandan  tempat-tempat  minum penuh oleh manusia.  Para perjaka  dan para  gadis  mempergunakan hari  ini  sebagai

kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.

Siang itu  Panji  memerlukandatang ke pasar untuk mencari  seorang teman

karibnya.  Belum  sampai  ke pasar  di  tengah jalandia berpapasandegnanTayub Jenggolodiiringi  oleh tiga  orang  temannya.  Keempat pemuda  itu  sedangmabuk sehabis  menenggak banyakminumandi  saturumahminum.  Tapi  yang terparah     adalah puteraPangeran Sendoyo itu.

Begitumelihat  Panji,  TayuJenggoloseperti  kemasukan setandan berteriak

marah.  Dia  mencaci  maki  Panji  dengan kata-kata  kotor.  Walau telinga  dan hatinya

jadi panas  mendengar  caci  maki  itu namun karena  tahuTayub Jenggolosedang mabuk maka Panjitidakmelayani. Dia terus sajamelangkah menujuke pasar. Tapi

begituberhadap-hadapantiba-tibaTayub Jenggolomencabutsebuahpisaubesar dari pinggangnya.

Panji Argomanik terkejutsekaliketikamelihat pisau yang digenggam Tayub

Jenggoloadalah pisau miliknya yang diketahuinyatelah hilang sejak tiga hari lalu.



“Aneh, bagaimana pisauitubisa berada di tangan puteraPangeran ini?” pikir

Panji.  Tapi pemuda  ini  tidak bisa berrpikir  lebih jauh  karena  saat  itu  Tayub  sudah menyerangnya. Dengancepat Panjimengelak.

Tayub membalik,  “Bangsat  kau Panji!  Kau yan hendak merampas  Larasati

dari  tanganku!  Kau tak bakal  dapat  memperistrikannya!  Kau akankawin  dengan cacing-cacing tanah di  liang kubur!  Kau boleh bawa  gelar besarmuSinga  Gurun

Bromo ituke liang kubur!”

Tayub Jenddolo kembali  menyerbu.  Karena  saat  itudia  sedangmabuk dan

Panjisendirisudahmenguasai ilmusilatdari seorang sakti yang diam disebuah goa

di Gurun Bromo sehinggadiamendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah Panji  menghadapi  setiap serangan lawan.  Sementara  itu tiga  orang  kawan Tayub

Jenggolo yang jugadalam keadaan mabuk berteriak-teriakketakutan. Ketiganyalalu melarikandirientah kemana.

Beberapa  lama  kemudian,  seorang pedagang sayur  yang tengah  memikul dagangannya ke pasar menemukan sosokTayub Jenggolotergeletak di tengah jalan  dalam  keadaan mandi  darah.  Muka  dan beberapa  bagiantubuhnya penuh dengan

luka-luka. Sebuah pisaubesar- pisau milikPanji Argomanik menancap di pertengahan dadanya! Panjisendiri lenyapentahkemana!

Setelah kejadian ituserombongan pasukandarikadipaten mendatangirumah kediaman Panji.  Ketika  mereka  tidak menemukan si pemuda  di  sana  maka  mereka

menangkap ayah Panji  Argomanik.  Di  sebuah rumahkayu  merekamenyekap orang tua  itu,  menyiksanya  setiap hari.  Di  luar  disebar kabar jika  Panji  tidakmuncul    menyerahkandiri maka ayahnya akandijadikan tumbalditianggantungan.

Suatu pagi  Panji  Argomanikakhirnya  muncul  di  kadipaten  untuk

menyerahkandiri.  Ayahnya  dilepas. Tapi  dua  hari  kembali  ke  rumah,  orang  tua ini

menghembuskan nafas  karena  luka-luka  dan cidera berat  yang dideritanya.  Kabar

kematian  ayahnya itudisampaikan seorang kawan Panjidi tempat dia disekap. Panji

seperti  hendak gila.  Apalagi  ketika  dia  mendengar bahwa  dirinya  akan digantung

dalam  dua  hari  mendatang.  Kesalahannya  telah terbukti pisau yang menancap di

tubuhTayub  Jenggoloadalah pisau miliknya.  Lalu ada  seorang pedagang  di  Kuto Inggil bernama Janar Gandewo memberikesaksian bahwadia melihat memang Panji

Argomanik yang menusukkan pisauke tubuhTayub jenggolo … .

Selama  satu hari  satu malam  Panji bersemedi  meminta petunjuk pada  Yang Kuasa.  Suatu malam  seperti  mendapat  kekuatangaib, pemuda  ini  menghancurkan   dinding papan tebal dankokoh ruang tahanannya. Dia menghantamroboh dua orang

pengawalditempat itu. Lalu dengan seekor kuda curiandia melarikandiri menujuke Utara.

Larinya  Panji  Argomanik segera  dilaporkan kepada  Adipati  Lumajang.

Rombongan pengejar  yang  terdiri  dari  dua puluh perajurit  dipimpin langsung  oleh Adipati  Dirgo  Sampean.  Karena  mereka  memiliki  seorang ahli pencari jejak  maka

larinyaSinga Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,

rombongan pengejarberhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik dikurung lalu dikeroyok.  Panji  mengamuk hebat  untuk  mempertahankandiri  dan  kehormatannya.  Tapi  musuhterlalubanyak dan  Adipati  Dirgo ternyata  memiliki

kepandaian tinggi pula.  Meskipun berhasil  merobohkan enam  orang perajurit  yang mengeroyoknya  namun dalam keadaan mandi  darah pemuda  itu  akhirnya jatuh

tersungkurditanah.

Adipati  Dirgo Sampean menyambar  tombak yang tersisip di  leher  kudanya lalu melompat  turun.  Tombak itu  dihujamkannya  ke  arah tenggorokan Panji

Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dantiada.



Sesaat  lagi  mata  tombak  akan  menembus  leher  Panji  tiba-tiba  sebauh benda bulat  menghantam pertengahanbatang tombak  hingga  senjata  itu patahdua  dan

terlepas  mental  dari  genggaman Adipati  Dirgo Sampean.  SangAdipati  merasakan

tangannya sepertidisengatapi. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama jugadilakukan oleh para perajurit yang adaditempat itu. Mereka semua melihatada  seorang tua  berjubah putih  berambut panjang putih yang melambai-lambai  ditiup    angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kudahitam. Tapi merekahanya   melihatsekejapan saja. Karena ketika orang tua itumemukulkan kedua tangannya ke depan,  terdengar  deru keras  seperti  munculnya topan prahara.  Pasir  gurun

beterbangan menutupipemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang adadi sana  berusaha  bertahandengan susah payah agar  tubuh mereka  tidak roboh.

Pemandangan merekatertutupolehpasir-pasir yang beterbangan.

Ketika  gelombangangin  mereda  dan pasir  yang beterbangan luruh  ke  tanah kembali  semua  orang terkejut.  Tubuh Panji  Argomanik yang tadi  tergeletak di  atas

pasir  takada  lagi  di  situ.  Memandang ke  arah kiri  mereka  dapatkankakek penunggang  kudahitampunsudahlenyapentahkemana!

Para perajurit yang adaditempat itujadimerinding. Adipati Dirgo Sampean  diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengaradanya setan atau hantu gurun pasir. Tetapikalau bukan setan mana mungkin orang tua itubisamuncul

dan lenyapbersamahilangnya tubuh Panji.

“Pasukan! Kita kembalike Lumajang!” seru Adipati itupada para perajuritnya.

Ketika siuman, mula-mula Panji merasa herandan bertanya-tanya dimanadia  berada  saat  itu.  Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulihkembali  dia  segera mengenali tempat itudaningatkalaudulu diapernah berada disituselama beberapa   tahun. Dengan mengumpulkantenagawalausekujur tubuh dan persendiannyaterasa   sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendiriandalam  goa itu.

“Guru….?!” Suara Panji bergemadan memantul padadinding-dinding goa.

Di  ruang sebelahdalam  goa batu yang  terletak  di  gurun pasir  Bromo itu terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuhtuamuncul.

“Kau sudahsiuman Panji….?”

“Sudah guru.  Saya  tahu pasti.  Guru yang  telah menyelamatkan saya  dari orang-orang itu….. Sayaberterimakasihpadamu guru.”

“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masihmemanjangkanumurmu,” kata  orang tua  sambil  memegang bahu muridnya.  Lalu dia bertanya.  “Mengapa  mereka mengejardaningin membunuhmu?”

Panjilalumenceritakan apa yang terjadi.

Si  orang tua  menarik nafas panjang.  “Ada  orang atau orang-orang yang

sengaja menjebakmu muridku. Dan kaubelum sanggup menghadapi mereka. Jika kau berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”

“Saya mohon petunjukmu guru.”

Si  orang tua  tersenyum  kecut.  “Itu sebabnya  dulukukatakan padamu,  kalau berguru jangan  kepalang tanggung.  Belum  selesai  semua  kepandaia  kuwariskan

padamukau sudahsepertianakkecil minta-mintadiizinkan pulang. Tenagadalammu masihrendah.  Ilmu meringankan  tubuhmumasih cetek.  Kau  memang telah

menyandang julukan hebat.  Singa  Gurun  Bromo.  Tapi  kau  hanya keberatan  gelar muridku!”

“Maafkan segala  tindakan saya  di  masa  lampau guru.”  Kata  Panji.  “Kalau guru tidakkeberatan saya ingin menyambung pelajaran lagidisini … .”



“Pengalaman pahit  itu rupanya  menjadi  guru  terbaik bagimu.  Mungkin  kau memang berjodohuntuk meneruskan pelajaran silatmudisini. Kau akan kugembleng  selama enam tahun. Jika kauberanimintapergi hanya adasatusyarat dariku. Aku tak  akan mengajarkan apa-apa lagipadamu. Dan akutidakingin melihat mukamulagi!”

“Sayaberanimematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.

“Kalau begitukauteruskanduluberistirahat.  Besokpagi-pagi pelajaran pertama akandimulai.”

“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu laludiciumnya penuhhormat danterima kasih.




Hujanderastelah berhenti. Kini udaradingin luarbiasadatang menyungkup. Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya didepandada.

“Nah, itukisahku enam tahunlalu,” kata Panjimenyudahiriwayatnya. “Kini aku muncul untuk meluruskan segalatuduhankeji itu. Aku harus mencaritahusiapa biang racun di  balik  semua  kejadian ini.  Aku  curiga  terhadapPangeran Sendoyo. Kematian ayahkuperlu  aku balaskan.  Dan  yang paling penting  aku  harus  segera menemukan Larasati kembali!”

“Kau tidak menceritakan tentang ibumusetelah  ayahmu meninggal.”  Kata Wiro.

“Ah, itusatusisi gelaplagidarikehidupanku yang malang. Waktuakumasih

mengikuti  guru,  aku mendapat  kabar  dari  seseorang.  Beliau menyusul  ayah sebulan kemudian.”

Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”

“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku. Singa  Gurun Bromo.  Ketika  dia  melepas  aku enam tahunlalu,  dia  menyuruhaku  memakai gelaritu.”

Sunyisesaat didalam gubukitu. “Kita harusberangkat sekarang Wiro.” “Ya. Tapikemanatujuan kita?”

“Aku akan mencari  Janar  Gandewo pedagang keliling  yang memberi kesaksian palsuitu.”

Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itulalunaikkeatas kudamasing- masing.


SEMBILAN


Hari  hampir  malam  ketika  mereka  emmasuki  Kuto  Inggil  dari  arah  Selatan.

Setelah melewati  sebuahlereng bukit  yang  ditumbuhi pohon-pohon  karet  keduanya

menemuisebuahkalikecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit keringakibat musim

panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampakberairkembali walaupun sangat dangkal dan kotor.

Panji  Argomanik  menunggangi  kudanya  di  sebelah depandiikuti  oleh

Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhankelihatan nyalasebuah lampuminyak.

“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk kearahlampu. Lalu dia  mempercepat  lari  kudanya.  Di  satu tempat  kira-kira  lima puluh langkah dari

rumahkecil  di  daerah  terpencil  itu  Panji  turun  dari  kudanya.  Dia  memberi  isyarat

pada  Wiro agar  terus  mengikuti  dengan jalan kaki.  Tinggal beberapa belas  langkah lagidarirumah yang dituju Wiro berbisik.

“Kau duluan saja  Panji.  Aku mau kencing  dulu….. Dari  tadi  aku berusaha menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”

“Sialan! Ada-adasajakelakuanmu!” maki Panjijengkelsekali. Dia tidaklagi memperdulikan Wiro  dan  bergeraksendirian  dalam  rumah  kecil  yang  lantainya    berkolong rendah.

“Ada  nyala  lampu berrarti  ada  orangnya,”  kata  Panji  dalam hati.  Dia

melangkah ke pintu  depan lalu  berseru.  “Janar  Gandewo!  Aku mencarimu!  Lekas keluar!”

Tak ada jawabandaridlam rumahitu.

“Janar!”

“Si…..siapadi luar?!” Tiba-tibaada yang bertayadaridalam rumah. “Aku Panji Argomanik!”

“Tung…..tunggusebentar …”

“Suaranya  seperti  gemetar  dan  gagap.  Ada  sesuatu yang ditakutinya,”  kata Panjidalam hati. Dia menunggusesaat. Tiba-tibanyala lampu dalam rumah padam.

Panji jadi  curiga  dan  melompat  ke  balik  sebatang pohon.  Dia  tak menunggu  lama. Pintu belakang rumahkecil  kelihatanterbuka  lalu seorang lelaki  bertubuh tinggi

langsung melompat  keluar,  dengan cepat  menyelinaphendakmelarikan  diri.  Panji   segera mengejardan menghadang. Sekali sergap sajadiaberhasilmembengbengleher pakaian orang itu.

“Mau kaburke mana Janar?!”

“Si….siapa bilangaku mau kabur…..?” Janar Gandewo sipedagang keliling menjawab tapijelas diaberdustadan sangat ketakutan.

Panji  tarik leher pakaian orang itu  lalu membantingkannya  hingga

punggungnya  terhempas  ke  dinding  rumah. Janar  Gandewo merintih  kesakitan.

Tulang punggungnya seperti luluh. “Kenapakaumemperlakukanakuseperti ini…..?”

“Ini  belum  seberapa!”  kertakPanji.  “Aku tak segan-segan menghancurkan batokkepalamu!”

“A…..apa salahku?!”

“Keparat!  Kau pandai  berpura-pura!”  Tangna  kiri  Panji  bergerak meninju muka Janar Gandewo hingga bibirnyapecahdandua giginya rontok! Janar meraung   kesakitan.  “Kau mau minta  mampus  sekarang juga?!”  bentak Panji  lalukedua

tangannya dicekikkan keleher orang itu.

“Jang….jangan….. Jangan bunuhaku. Apa salahku … ..”



“Siapa  yang menyuruhmu memberi  kesaksian palsu enam  tahunlalu.  Kau bersaksi melihat aku membunuhTayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”

“Aku … ..”

“Bangsat! Jawab cepat!” Panjiangkat lagitangankanannya.

“Aku…. Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akandipotong! Aku akandikebiri!”

“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriakPanji. “Walang Daksi … ..”

“Walang Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”

Janar Gandewo mengangguk.

“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batanglehermu saat ini juga!”

“Aku tidak dusta! Aku  tidakberbohong Panji.  AkutahuWalang Daksi juga disuruh orang lain … .”

“Siapa?!”

“Su…..Sur … …”

Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tibaterdengar suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di mata  kiri  Janar  Gandewo.  Orang  ini  meraung setinggi  langit.  Lidahnya  terjulur.  Mukanyakelihatan menjadi biru.

“Panah beracun!”  desis  Panji  serta  merta  lepaskan cekikannya.  Tubuh  Janar terkulailalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!

Dalam keadaan masih terkesiap Panjitidakmenyadaribahwasaatitusebuah   anak panah lagimelesat dan kali ini sasarannya adalah dirinyasendiri. Dia mendengar suara  berdesing namun perhatiannya  masih tertuju pada  kematian Janar  hingga  dia  bertindak lengah. Sesaatlagianak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba

sebuah benda hitammelesatdalam kegelapan malam, memotong luncurananak panah dan trak!  Anak panah mental patah  dua.  Panji melompat. Saat  itulahdia  baru  sadar

kalau dirinya barusajaterlepas dari bahayamaut!

Sesosok tubuh melompat  ke  hadapan panji.  Pemuda bergelar  Singa  Gurun Bromo ini berkelebat dansiapuntuk menghantam. Tapidiacepat tarik serangannya     ketika dilihatnya yang datangadalah Wiro.

“Ada untungnya akukencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin

kitaberdua sudahjadi mayat. Yang dituju sipembokong adalahkau, bukan kunyuk jangkung itu!”  Lalu Wiro membungkuk mengambilsebuah benda yakni batu hitam

sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.

Selain memungut batu  hitamnya  Wiro juga  mengambil patahananak panah yang tadi dihantamnya dengan batu hitamitu.

“Aku mengenali matapanah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.

Panjimemperhatikananak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan anak panah milik  orang-orangnya  Warok Keling….”  Katanya.  “Berarti  bangsat  itu

memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalamamarahnya Panjikemudian ingat.

“Terima  kasih.  Kau telah menyelamatkanjiwaku.” Dia  memandang ke  arah

mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itutadimenyebutkan nama seseorang. Orang yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sursiapa. Dia

jugamenyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun itusekarang juga!”

“Kau dengar suara derap kaki kuda dikejauhan itu?”

“Ya … ..”

“Apamaksudmu Wiro?”



“Itu derap kaki  kuda  si pembokong.  Dia belum  lari jauh.  Kita  masih punya kesempatan untuk mengejarnya! Kau harusmemilihsatudi antara dua. Mengejar si

pembokongataupergike Lembah Waru.”

“Si pembokong itulebih dulu!” jawab Panji.

“Tepat!”  sahut Wiro seraya  acungkanibu jari  tangankanannya.  Kedua pendekar  ini  segera berkelebat  ke  tepat  di  mana  mereka  meninggalkan kuda  sebelumnya.

Di  malam yang gelapdandingin itu  memangtidak mudahuntuk mengejar  seseorang yang melarikandiri  dengan menunggang kuda.  Satu-satunya petunjukke arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapicelakanyadi  satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!

“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”

Pendekar  212  tidak  menjawab.  Telinganya  dipasang baik-baik.  “Aku mendengar suara kaki-kaki kudadi air … .”

“Kau ingatkalikecil itu?!” ujar Panji.

“Dia pasti  tengahmenyebrangi  kali  dangkal  itu!  Pantas  derap kaki  kudanya lenyap. Ayokitakejar!”

Kedua pendekar  ini  memacu kuda  masing-masing ke  arah  kiri.  Tak  lama kemudian mereka  sampai  di  satu tempat  ketinggian.  Di  bawah sana  keliahtankali kecil  berair  dangkal.  Di  seberang kali  tampak seorang penunggang kuda  barusaja menyeberangi kali itu.

“Itu bangsatnya!”  kertak Panji.  “Aku  akan memintas jalannya  dari  arah kiri. Kau memotong dariarah kanan. Dia pastitidakbisalolos. Apalagidiseberang sana

merupakankawasanterbuka!”

Panji  membedal  kudanya.  Wiro  menyentakkantali  kekang tunggangannya.    Kedua  orang ini  melesat  dalam  kegelapan malam.  Selewatnya  kali  dangkal  mereka berpencar  menggunting larinya  orang yang  mereka  kejar  dari  dua  arah.  Tepat  di     pertengahan pelataran terbuka,  Panji  telah berada  di  depan,  Wiro menjepit  dari

belakang.

Orang yang dikejar  mengenakan pakaian ringkas  warna  gelap.  Kepalanya   ditutupisebuah topi berbentukanehdanwajahnya tersembunyi di balik sehelaicadar. Tahu kalauadadua orang mengejarnyasi penunggang kudatadi segera membelokke

kiri dan memacu kudanyasepanjanglereng pedataran. Namun diatidakbisa lari jauh karenadalamwaktusingkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudahtidaktahan lagilepaskan satu

pukulan tangan kosong mengandung tenaga  dalam  tinggi.  Yang diarahadalah pinggang orang itu.

Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran  sebilahmatapedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo. Jangankan tubuh manusia,batang pohon pun akanterbabat putusbilakenahantaman  pukulan sakti ini!

Rupanya  orang di  atas  kuda  sudah tahu  kalau dirinya  terancam maut.  Dari balikcadarnya  dia  keluarkan suara  mendengus.  Lalu tubuhnya  tiba-tiba  melesat  ke atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewatdibawah kedua kakinya. Hebatnya, karena

kedua tangannyamasih memegang talikekang kuda, ketikamelompat turun kembali

dia  membuat  gerakan jungkir balik,  di  lain  kejap dia  sudah duduk kembali  di  atas pelanakudadan menghambur menjauhikedua pengejarnya.

Pendekar 212 leletkan lidahmengagumikehebatan orang itu. Sebaliknya Panji Argomanikwalaupunterkesiaptapikemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus    dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia


memanah mati  Janar  Gandewo lalu hendakmembunuh dirinya pula. Tetapi  amarah lebih mempengaruhihinggaPanji ingin membunuh orang inisaat itujuga!

Begitu serangan pertamanyagagal Singa Gurun Bromo menggebrakkudanya dan mengejarkembali. Tapisekali inigerakannyatertahankarena sambil melarikan   diri  orang yang  dikejar  lambaikan tangankanannya.  Puluhan  benda  sebessar-besar

pasir beterbangandiudaramengeluarkan kilauan aneh.

“Awas pasir beracun!”  teriak Pendekar  212 yang mengenali  apa  adanya benda-benda yang melesat kearah sahabatnya itu.

Singa Gurun Bromo menggertakmarah. Tangankanannyadiangkat.

“Wusss!”  Satu gelombangsinar putih kebiruan menderu dahsyat.  Pasir

beracuntersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa kearah orang bercadar. Orang inicepatangkat tangankanannya guna melepaskan pukulan tangan  kosong. Dua kekuatandahsyat saling bentrokandiudara. Terdengar suara berdentum

disusul oleh suara ringkikantiga ekor kuda!

Singa  Gurun  Bromo merasakan sekujur  tubuhnya  seperti  tergontai-gontai     sedang kuda  tunggangannya  menjadi  liar  dan  meringkik tiada  henti.  Pendekar  212 yang berada  takjauh dari Panji  dansempat  tersapu angin serangan juga  merasakan    getaran hebat  menjalari  tuuhnya.  Kuda  tunggangannya  seperti  sempoyongan dan

meringkik beberapa kali.

Yang bernasibburuk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke

samping lalujatuh ke  tanah.  Kudanya  meringkikkeras  dan lari  meninggalkannya.

Puluhan langkah didepan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya

jatuh ke  tanah,  Singa  Gurun  Bromo  segea  melompat  turun  dari  atas  kuda  dan kirimkan tendangan kearah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangankanannya

ke pinggang.

“Wuut!”

Lalu sebilah golok menyambartak terduga. Ujungnya menderudi perutSinga Gurun Bromo  membuat pendekar  ini  terkejut  dancepat  melompat.  Tak urung

sebagianbajunya di sebelah perutmasih kenatersambar ujung senjata lawan hingga robek.

Singa  Gurun Bromo melompat  mundur  sambil pegangi perutnya.  Parasnya berubah mengelam  tanda  amarahnya  sudah mencapai  di puncaknya.  Di  depannya  orang bercadartegak sambil putar-putargoloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu  lenyapdari pemandangan hanya  suaranya  saja  yang terdengar  menderu-deru.

Selangkah demiselangkah, sambilterus memutargoloknya orang ini mendekati Singa

Gurun Bromo.  Tiba-tiba  dia  menyergap ke  depan.  Goloknya berkiblat  dalam  satu bacokanderas. Singa Gurun Bromo mundursatu langkah. Kedua lututnya menekuk.

Bersamaan dengan itukedua  tangannya  menyusup ke  atas.  Begitudia  berhasil

mencekal lengan yang memegang golok itusecepat kilatdiajatuhkandirinya ke tanah. Kaki kanannya menendang kearah perut lawan. Orang bercadarterangkat ke atas lalu  tertarik keras. Goloknya terlepas dantubuhnya terbanting ke tanah. Dari balikcadar

terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!


SEPULUH


Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentusajatersentakkaget begitumendengar

suara jeritan  orang  itu  adalah  suara perempuan.  Sekali  lompat  saja  Singa  Gurun

Bromo sudah berdiridi samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya menginjak leher  laludia  membungkuk dan membetot  lepas  cadar  yang menutupi    wajah orang itu.

“Kau!”  keluar  teriakankaget  dari  mulut  Panji  Argomanikalias  Singa  Gurun Bromo.  Pendekar  212 sendiri  tertegun dengan mulut  ternganga  seperti  tak percaya

pada penglihatannya. Akhirnya dia hanyabisagaruk-garukkepala.

“Jadi  kau rupanya!  Bapaknya perampok besar.  Ternyata  anaknya juga

penjahat  keji!  Mengapa  kauhendak membunuhku?!  Mengapa  kau  membunuh  Janar Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”

“Mulutmu lancang!  Belum  tahu urusan sudahmendamprat!  Jika  kau ada

persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di

tanah dan lehernya  masihdiinjak oleh Singa  Gurun Bromo.  Dia bukan lainadalah Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!

“Baik!  Sekarang jawabdulu pertanyaankutadi. Kalau kautidak menjawab kuinjakhancurbatanglehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.

“Siapa  yanghendakmembunuhmu?  Siapa    itu Janar  Gandewo?” balik

membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak takut mati! Kau mau bunuhakusaat ini juga silahkan!Ayo injak leherku!”

“Akalmu selicikakalbapak moyangmu!”

“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi

sampai  seratus jurus!  Buktikan bahwa  kau  yang punya  gelar  Singa  Gurun  Bromo bukan seorang pendekar banci yang hanyaberanimelawan perempuan!”

Amarah Singa  Gurun Bromo jadi  mendidih  lagi  mendengar  kata-kata

Jayengsari  itu.  “Manusia  sepertimutidak perlu  dihormati!  Matipunkau aku  tak merugi! Nah, mampuslah!”

Singa  Gurun  Bromo  injakkan  kaki  kanannya  kuat-kuat  ke  leher  si  gadis. Namun sebelum hal  ituterjadi,  muridEyang Sinto Gendengcepat  mendorongnya

hinggainjakkannyalepas dantubuhnya terhuyung-huyung.

“Wiro!  Kau hendak membelanya?!  Kau bersekutu dengan gadis  iblis  ini?!” teriak Singa Gurun Bromo marah.

“Tenang Panji,sabardulusedikit,” kata Wiro. “Apa untungkumembela gadis cantik ini…..!”

“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini dengan kata-kata gadis cantik!” semakinnaik darahSinga Gurun Bromo mendengar     pujian Wiro itu.

“Aku tidak  memujinya  berlebihan sobat.  Tapi  memang kenyataannya  dia cantikkan?”  Wiro berpaling pada  si  gadis  sambil  kedipkan matanya  dia  berkata. “Jayeng, berdirilah … .”

Puteri  Warok Keling itu tampakmerengut  walauhatinya  sempat berbunga- bungamendengar pujian Wiro atas kecantikanwajahnya.

“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya PanjiArgomanik dengan suara bergetar menahan amarah.

“DengarPanji, aku punya dugaan bukandia yang membunuh janar Gandewo dan juga bukandia yang tadi hendakmembunuhmudengan panah beracun itu!”



“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”

“Kau lihatsendiri. Dia tidakmembawa busur ataupun kantong panah!”

“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan mengandalkan tipu daya!  Bisa  saja  dia  membuang busur  dan  kantong panahnya  di

tengah jalan!”

Jayengsari  terdengar  mendengus.  Saat  itu  dia  sudah berdiri  di  hadapan  Wiro dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.

“Baik! Sekarang katakanbagaimanakautahu-tahu muncul di tempat ini! Apa keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikandiriketika

kamikejardan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh Janar Gandewojelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”

“Soal panah memanahakutidak menahu.  Perduli  setan!  Aku  tak mau

membicarakannya!  Aku tidak tahu kalaukalian tadi  yang mengejarku!  Aku menyerangmu karenamenyangka kalian orang-orang jahat!”

“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahatenak saja mengatakan kita orang- orang jahat!”

“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelapdan kalian tahu-tahu muncul di belakangku!”

“Kalau kautidak bermaksud  culas  mengapa  kau  menutupi  wajahmudengan cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.

“Hem…… Kau ingintahusebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa

kau merasa tenang mengetahui diaberjalan seorang diridalampakaiandandandanan perempuan?!”

Panji Argomanik terdiam.

“Jayeng,”  Wiro menengahi.  “Coba  katakan  saja  mengapa  kau  ada  di  sini. Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkinkautausiapa

pelakunya?”

“Aku,  aku ditugaskanayahke  Kuto  Inggil.”  Jawab gadis  itu.  “Sebetulnya bukanditugaskan. Tapiaku sendiri yang minta … ..”

“Apa  keperluanmuke  Kuto Inggil?” tanya  Wiro pula.  Kelihatannya  si  gadis mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi

tidaksabarandan merasa sangat jengkel terhadapsahabatnya itu.

“Aku sebenarnya  bermaksud menemui  kalian guna  menyampaikan pesan  ayah.”  Jawab Jayengsari.  “Jejak kalian berhasil  kuketahui  dan kuikuti  sampai  di

tempat  kediaman Janar  Gandewo.  Aku sampai  di  situketika  seorang penunggang

kuda berusaha  melarikandiri.  Kurasa  dialah yang membunuh pedagang keliling itu dan juga hendakmembunuhmu … .”

“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.

“Kalau kauberpendapat begituboleh saja! Penjelasanku cukup sampaidisini. Kau pendekar  gagah bergelar  hebat.  Silahkankauselesaikan sendiri  urusanmu!”

Jayengsari    segera  membalikkan  diri.  Tapi  Wiro cepat  menghampirinya  dan memegang lengannya.

“Jangan pergidulu. Kau jangan marahpadaku…..” kata Wiro membujuk.

“Aku tidak marahpadamu.  Tapi jengkel pada  manusia  satu itu.  Tidak tahu ditolong orang malahmemaki,  menuduh dan  mendamprat  seenaknya!” jawab

Jayengsari.

“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari

tangangadis itu. Jayengsaricepat menariknyasambilberseru. “Ihhhh!” Murid Eyang

Sinto Gendeng  menyengir.  Dia  yakin  kalau  Panji  tak  ada  di  situ  si  gadis pasti  akan senang dipegang dandicium.



“Kau sama sajakurang ajarnya dengandia. Malah lebih kurang ajar!” bentak Jayengsari.

Wiro menyengirlagi. “Aku hanyabergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panjiatau untukku sendiri?

Ah,  kalau pesan itu untukku aku  berharap-harap ayahmumemanggilku mungkin untuk membicarakan soal perjodohankita!”

Jayengsari  terpekikmarah sedangPanji  Argomanik segera  membentak.     “Wiro! Tidak pantas dalam keadaanseperti inikaumasih bisamembanyol!”

Wiro senyum-senyum.  “Banyolankutadi  memang tidak lucu,”  katanya.  Dia   berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”

Jayengsari  tampak       merengut. Namun  kemudian          dia  melanjutkan

keterangannya.  “Aku berusaha  mengejar  orang yang membunuh dengan panah itu.

Tapidia keburu melarikandiri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah keletihantidak berhasil  mengejarnya.  Di  seberang kali  kecil  dia  menghilang.  Justru

begitudia lenyapkalian berduamuncul mengejarku!”

“Sayang bangsat  itu lolos.  Tapi  mungkinkaudapat  mengenali  sosokatau perawakannyameskipungelap?” tanya Wiro.

“Wajahnya  memang tidak sempat  kulihat.  Tapi potongan tubuhnya  aku hampiryakindia adalah Daruka … ..”

“Siapa Daruka?” tanya Wiro.

“Salah seorang anak buah  ayahku.  Dialah yang dicurigai  melakukan penculikanatasdiri Larasati. Tapinyatanyananti ceritanyajadilain … ..”

“Hemmmm….  Kalau  begini jelas  ada  seseorang di  belakangDaruka.”  Kata Wiro.

“Menurut  Janar  Gandewo sebelum mati,  dia  disuruholehWalang Daksi.

Walang Daksi  disuruh  oleh  Suryaning. Lalu  mengapa  Daruka  membunuh  Janar  dan ingin membunuhkujuga?  Berarti  bukan Suryaning yang menyuruh  Daruka!  Tapi

seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panjimemandang pada Wiro.

Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokohsilat

Istana dandua perwirakerajaan itu. berartiada orang lain Panji. Aku mulaimencium

baunya. Nanti sajakukatakan. Mungkin kauakantahu dengan sendirinya. Sekarang

kita  harus  mencari  tahudi  mana  Suryaning menyekap Larasati.”  Wiro memandang

pada puteri  Warok  Keling itu.  Kelihatannya  si  gadis  masihjengkel.  Maka  Wiro mengalihkan pembicaraan.  “Kau masihmeneruskan keteranganmu  yang terputus

tadi?”

“Tak lama  setelah kalian pergi  ayah segera  mengadakan pertemuan dengan  kepala-kepalakelompok untuk menyelidiki siapadi antara para anggota yang berada   di  luar perkampungan.  Kemudian segera  diketahui  bahwa  seorang anak buah ayah sejak beberapawaktulalu tidakada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar tanpa  setahu ayahataupun pimpinan  kelompok  dan  tanpa  suatau  tugas  apapun.

Mungkin sekali  dialah  yang telah membunuh  Karjo Lugu pemilik bengkel  kuda  di

Kuto Inggilitu. Ayah mengirim dua orang anak buahnyauntuk menyelidiklebih jelas.    Seorang lain ditugaskanayahuntuk menemui kalian. Tapiakumeminta agar aku yang    pergi.  Kami berhasil  menemui  Daruka  di  satu tempat. Setelah dipaksa  dia  mengaku memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman    dna  KarjoLugu.  Celakanya  Daruka  sempat  melarikandiri. Namun satu pengakuan    penting sudahdiucapkannya. Yaitu bahwa bukandia yang menculik Larasati. Gadis

itutelah diculiklebih dulu oleh seseorang … ..”

“Siapa?!” tanya Panjicepat.




“Tunggu dulu!”  ujar  Jayengsari.  “Apa  hubunganmudengan seorang dukun perempuan bernamaWalang Daksi?”

“Eh, mengapa kaubertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.

“Dukun ituditemui mati dirumahnya. Ada yang menggantungnya!”

Panji berpaling pada Wiro.

Pendekar 212 garuk-garukkepala. “Berarti kitatidakbisa mencaritahusiapa orang yang disebutkan Janar  Gandewo. Kita  hanya  tahusepotong nama  depannya.

Sur….. Bisa Surga,bisa Susur….. bisa … ..”

“Sudah! Kau janganngacok!” potong Panji dengan suara keras.

“Mungkinakutahu kelengkapan sepotong nama  yang barusankau sebut itu. tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan … .”

“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.

“Suryaning…..” jawab Jayengsari.

“Suryaning?” ujar Panji dengan nadaterkejut dan wajah berubah. “Hanya ada satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”

“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”

“Hah?!  Apa  katamu?!  Suryaning puteri  Adipati  Dirgo  Sampean yang menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.

Jayengsari mengangguk.

“Tidak masukakal. Bagaimana mungkin!” kata Panjimasih tidak berkedip.

“Perempuan menculik perempuan!  Apa perlunya?  Apa  untungnya?!”  ujar

Wiro pula.  “Kalau aku menculikmuatau kau menculikaku,  nah itumasihmasuk akal … ..”

“Kurang ajar!  Siapa  mau menculikmu!”  damprat  Jayengsari  denan mata melototsedang Wiro menutup mulut menahan tawa.

Panji  mendekati  Wiro lalu  berbisik.  “Aku punya  dugaangadis  ini  sengaja menipukita. Dia punya maksudburuk terhadap kita…… Larasatitidak punya silang   sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”

“Yang juga  tidakjelas.  Siapa  yang  membunuh dukun perempuan   bernama Walang Daksi itu.”

Panjimemandang Jayengsari. Lalu diabertanya. “Bagaimanakautahukalau puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”

Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu,akumalah juga tahu di mana kekasihmusekarangdisekap!”

“Kalau begitu lekaskauberitahu padaku tempatnya!”

Kembali  Jayengsari  menyeringai.  “Kau cari  tahulah sendiri!”  katanya.

Rupanya  dia  masihdendam  atas perlakuan Panji  sebelumnya.  Habis  berkata  begitu

gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembalimembujuknya.

“Sobatku cantik.  Jika  kau  mau menolong  orang jangankepalang tanggung.

Ayo kita pergi  sama-sama  ke  tempat  Larasati  disekap. Kau jalan duluan memberi

petunjuk biarkubawa kudamukemari.”  Sebelum gadis itubisamenolak Wiro sudah larike tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang inipada pemiliknyadan mengulurkantalikekang padasi gadis. Dia memandang pada

Jayengsari sambiltersenyum. Mau tak mau hatisi gadis jadi luluhdan lembut jgua.   Sebenarnya dia memang tertarik padamuridEyang Sinto Gendeng ini sejak pertama

kali  melihatnya  di perkampungan.  Gadis  ini  tundukkan kepala.  Baru saat  itu

disadarinya kalauseluruh pakaiannya basah dankotoroleh tanah becekakibat jatuh tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkangadis itu. Maka diacepat berkata.

“Gadis secantikmu tentusajatidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku adasalinandikantong perbekalan. Kau bisagantipakaian saat ini juga … ..”



“Tak perlu,” jawab Jayengsari  cept.  “Aku tidak percaya pada  manusia macammu … .”

“Eh,maksudmu apa?” tanya Wiro.

“Waktu akuganti pakaian kau pastimengintip!”

Pendekar  212  tertawa  bergelak.  Panji  Argomanik mau  tak  maujuga jadi

tertawa.  Jayengsari  memandang pada pemuda bergelar  Singa  Gurun Bromo ini  lalu

berkata  sambil  cemberut.  “Ih…..  Ikut-ikutan  tertawa…..!”  ucapan  Jayengsari membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.


SEBELAS


Walaupun malam  gelap  namun  dari bibir  lembah podnokkayu  itu  masih dapat

terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalumenunjuk kearah pondok. “Itu tempatnya.” Katanyadengan nada dingin.

“Aku masih belum percaya kalau tidakmelihatsendiri!” berucap Singa Gurun Bromo. Lalu disentakkannyatalikekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari

menuruni  lembah.  Dalam  waktusingkat  ketiga  orang itu  sudah berada  di  depan pondokkayu.  Singa  Gurun Bromo di  depansekali  dan lebih dulu melompat  dari

kudanya.

Di dalam pondokyang hanyamerupakan satu ruanganterbukadanditerangi    oleh sebuah lampu minyak berkelapkelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikatdi atas sebuah kursikayu. Dia mengenakan baju dancelana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak penuh robek sampaisebataslutut. Dari robekan itukelihatan sepasang kakinya yang    penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis initerduduk dengan mukapucat danada

air mata jatuhdi atas pipinya.

Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadislain berpakaian serba merah yang saat  itu  memegang seutas  cambuk.  Gadis  satu ini  menutupi  kepalanya  dengan sehelaikain tipis hingga parasnya hanyakelihatan samar-samar.

“Jadi  namamu Larasati  huh?!”  Mulut  di  bali  kain  tipis  berucap  dengan nada ketus.  Tiba-tiba  dia  angkat  tangannya.  Cambuk yang  dipegangnya  berkelebat.

Terdengar  suara  keras  menggidikkan  ketika  cambukitu menghantam  kedua  kaki

gadis  yang duduk terikat  di  kursi.  Si  gadis  menjerit  kesakitan.  Luka  barukelihatan mengoyak kakinya.

Gadis       yang       melakukan       cambukan       tertawa       mengekeh.       “Sakit? Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?!  Gadis cengeng! Sakit yang kau

rasakantidakada artinyadibandin dengan sakithati yang kualamiselama ini!”

“Persetan dengan sakit  hatimu!  Mengapa  kau menculik dan memperlakukan akuseperti ini?! Kau manusia biadab!” teriakgadis dikursi.

“Diam!”  Lalucambuk  itu  menghantam  kembali.  Gadis  di  kursi  kembali menjerit. Kedua kakinyalukalagi. Darah semakin banyak mengucur.

“Namamu Larasati!  Kau bakal  benar-benar  mengalami  lara  seumur  hidup!

Jangan harapkaubakal  mendapatkan pemuda  itu!  Jika  akutidakbisa  mendapatkan Panji Argomanik, kau jugatidak bakalbisamemiliki pemuda bergelarSinga Gurun

Bromo itu!”

“Siapakausebenarnya? Mengapakaumenutupiwajahmudengancadar?! Kau perempuan iblis….!”

Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusiaiblis. Bahkan biasa  lebih buas  dari  iblis!  Sebentar  lagi pekerjaanku akan selesai.  Setelah

wajahmu kurusakaku mau lihat  apakahkekasihmu itumasih mencintaimu!

Hik…hik…hik….!”

“Manusia celaka!Apa yang hendakkaulakukan?!”

“Sabar, jangan banyak  tanya  dulu. Nanti  kau  akan tahu sendiri!”  lalugadis

yang kepalanya  ditutupkain  tipis memutar-mutar  cambuknya.  Dari  mulutnya

kemudianterdengar  suara  teriakankeras.  Bersamaan dengan itu cambuk di  tangan kanannya menghantam kearahwajah gadis diataskursi.

Larasati menjerit.



Saat  itu pula pintu pondokhancur berantakanditerjang orang  dari  luar. Seseorang bekelebat  masuk dan melompat  ke  hadapan gadis  bercadar.  Sekali  dia

mengulurkan tangan,  dia berhasil  menangkapujung cambuk yang  hendak menghantam wajah Larasati!

Gadis  yang memegang cambuk tampak terkejut.  Dia  segera  menyentakkan

cambuk agar  terlepas  dari pegangan Singa  Gurun Bromo.  Tapi pegangan sang

pendekar begitukuat  hingga  sekalipun dia  mengerahkantenaga  sekuatnya,  cambuk itutakbisalepas. Sebaliknya dengansekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik

cambuk hinggasigadisterbetotke depan. Agar dirinyatidak tertarik lebih jauh gadis ini  mau tak mau harus  lepaskan cambuk yang dipegangnya.  Lalu dia  melompat  ke dinding pondok, menajuhiSinga Gurun Bromo.

“Siapa  kau?!”  bentakSinga  Gurun  Bromo dengna  mata  membelalang. “Mengapa kau menculik Larasati?!”

Gadis bercadartertawa tinggi.

“Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”

“Diam!  Jawab pertanyaanku!”  hardik  Singa  Gurun Bromo.  Dia  ingat pada Larasati.  Cambuk yang dipegangnya  dibantingkannya  ke  lantai  lalu dia  segera

menghampiriLarasati, memeluk gadis itusesaat.

Selagi  Panji  Argomanikmembuka  ikatan Larasati,  kesempatan ini

dipergunakanoleh gadis bercadaruntuk melarikandiri. Dia melompat ke pintu. Tapi

dipintusaatitusudahmenghadang Pendekar 212. Di belakangnyaberdiri Jayengsari.

“Eh, kau mau pergike mana?” tegur Wiro. Tangankanannya diulurkan untuk menarik pinggang si  gadis.  Tapi  tiba-tiba  gadis  bercadar  ini  keluarkan  sebilahkeris

dan menusukkannya  ke  dada  Wiro.  Dari  caranya  menikam  serta  gerakan serangan yang tidakmengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekalitidakmemiliki

kepandaian silat,  apalagi  tenaga  dalam.  Karenanya  dengan mudah Wiro dapat meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriakberusahamelepaskandiri.

“Wiro,  lepaskandia!”  kata  Panji  Argomanik.  “Aku akan menanyainya.  Jika diatidakmau membukamulutakan kupatahkan batanglehernya!” Lalu pemuda itu

melangkah ke  hadapansi  gadis  bercadar  yang saat  itubersurut  danbaruberhenti begitu punggungnya tertahandinding pondok.

“Lekas katakan siapa dirimu!Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka cadarmu!”

Gadis bercadarhanya menjawabdengan suara mendengus.

Panji  Argomanik  mulai  hilang sabarnya.  Dia  mengambil  cambuk yang tadi dicampakkannya.

“Tadi  kau hendak merusakmuka  kekasihku!  Sekarang biar  wajahmudulu yang akan kurusak!”

Anehnyasi gadis bercadar malah keluarkan suara tertawanyaring dan panjang.

“Kua  hendak merusakmukaku?!”  katanya  menantang dansambil  maju

selangkah.  “Lakukanlah!”  tiba-tiba  gadis  ini  merenggutkan cadar  yang menutupi kepalanya.

Larasati  yang berada  di  sudut pondokterpekik  ngeri.  Jayengsari  keluarkan seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampakmengernyit bergidik. Sedang Wiro    sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kudukterasa dingin.

Wajah yang tadi  tersembunyi  di balik  cadar  itu  kini  tersingkap jelas

mengerikan. Wajahitubukanwajah seorang gadistapimerupakanwajah  yang sangat seram.  Hidungnya  gerumpung.  Mata  kirinya  menyembul  membeliak.  Kening  dan pipinya penuh guratan  luka  yang dalam.  Bibirnya  sebelah atas  robek sedang yang sebelah bawah menggelantung hampircopot!

“Mahluk bermuka setan! Siapakau?!” teriakPanji Argomanik sambil mundur satu langkah.

Orang itu  keluarkan suara  tertawa panjang.  “Tentu saja  kautidak mengenali diriku Panji.  Tidak  ada  satu orangpun  yang mau mengenalku.  Bahkan ayah dan

ibukupun benci padaku!  Aku  adalah Suryaning, puteri  dananak tunggal  Adipati Dirgo Sampeandari Lumajang!”

Semua  orang  di  dalam pondok  itu  tersentak  kaget  dan  sekaligus juga diselimuti  rasa  ngeri  melihat  wajah seram yang tidak pernah mereka  sangkakan sedikitpun.

“Kalian ngeri?  Takut  ataujijikmelihatku?!”  Suryaning membuka  mulut  dan

majubeberapa  langkah hingga  kini  berada  di  tengah-tengah ruangan.  Sebaliknya

Larasati dan Panjiserta Wiro dan Jayengsari justrubergeser ke sudut-sudut pondok.

Puteri  Adipati  iu tertawa panjang.  “Kalian,  seperti juga  semua  orang tidak pernah

menyangka  wajah seorang puteri  Adipati  sepertiwajahku yang kalian  lihat  saat  ini!

Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahunayahmembawakuke Hutan Jatiroto,  ikut berburu.  Ketika  berkemah,  ayah dan para pengawal  berlakulengah.

Tiba-tibaada seekor harimau menyerbukemah padasaataku terbaring tidurkeletihan.     Binatang itu  memang berhasil  diusir  tapi  dia  sempat  mencakar  wajahku  hingga jadi rusak begini. Semua orang mengiraakukaan mati. Bahkan ayah danibukuberharap

akumati  saja.  Ternyata  aku bertahan hidup.  Tapi  selama bertahun-tahun mereka menyembunyikandiriku.  Mereka  mengurungku di  sebuahkamar.  Hanya  karena

kabaikan para pengawal yang merasa ibaterhadapku aku bisa menyelinapkeluarpada

malam  hari.  Setiap  kesempatanada  kupergunakan untuk mendekati  rumah

kediamanmuPanji. Ketika kau menjadi buronandan menghilang selama enam tahun, akuseperti mau mati rasanya … ..”

Semua  orang yang ada  di  tempat  itujadi  terdiam  mendengar penuturan Suryaning itu.

“Dengar…..”  kata  Panji  Argomanik dengan  suara  gemetar.  “Siapapunkau adanya,  mengapa  kau menculik Larasati.  Mengapa  kau   menganiaya  dan hendak   merusakwajahnya?  Karena  kau iri?  Karena parasnya  cantik danwajahmuseburuk setan?!”

Dari  mulut  Suryaning keluar  suara  menggembor.  “Kau betul  Panji!  Aku    memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kauadalah milikkusendiri! Aku tidakingindia merampasmu dari tanganku!”

“Apamaksudmu…..?” tanya Panji heran.

“Aku sudah lama  mencintaimu Panji…..  Tapi  kau tak pernah membalasnya. Tidak secara nyata, jugatidak dalammimpi!”

Panji berpaling padaLarasati, lalumenoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis ini pastitidak waras!Bertemupunsebelumnya akutidak pernah … ..”

“Memang Panji,  kita  memang tidak pernah bertemu.  Kau tak pernah

melihatku.  Tapi  akusering melihatmu.  Hampir  setiap malam  aku memimpikanmu. Tapi  akutahudiri.  Keadaanku yang begini  tidakmemungkinkanakubisa

memperlihatkan rupa padamu.  Apalagi  mendapatkan cinta  darimu!  Karena  itu aku bersumpah.  Kalau akutidak bisa  memilikimu,  tidak seorang gadis  lainpun boleh

memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat kearah Larasti yang membuat Larasati sepertiterbang nyawanya.

“Jadi karena itukau menculiknya laluhendakmerusak tubuh danwajahnya!” kata Panji pula.



“Betul!  Memang itu  yang hendak  kulakukan!” jawabSsuryaning.  “Tapi ketahuilah,  aku bukan hanya  tak mau  gadis  itujadi  milikmu,  tapi juga  tidakingin

melihat dia jadi istri muda ayahku!”

Terkejutlah semua orang yang adadisitu. Semua mata ditujukan pada Larasati. Gadis inisesaat menutupi wajahnya laluterdengar suaranya di antara isakan. “Adipati  Lumajang memang pernah melamarkupada  Bibi  Kanoman.  Waktu ituaku baru

berusia empat belastahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itutelh berakhir sampaidisitusaja … … .”

“Bagimudanbagibibimu mungkin begitu. Tapibagiayahkutidak. Dia sudah tergila-gila padamu!  Dia  sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan

ditempuhnya  untuk mendapatkanmu.  Ketika  Pangeran Sendoyo setahunkemudian

meminta  ayahku untuk melamarmu guna  dijadikan istri puteranya  yang  bernama

Tayub Jenggolo,ayahkumelihatada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.

Bibimu menolak pinangan sang Pangeran.  Pngeran Sendoyo tersinggung.  Ayahku

memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa  sebenarnya pinangan ituditolak karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di

Kuto Inggil  dikenal  dengna julukan Singa  Gurun Bromo.  Ayahlalu membujuk

Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika

Panji mati, diabisamengulang maksudnyauntuk mengawinimu…..” Sampaidisitu Suryaning menatapke arah Larasati. Yang ditataphanyabisatundukkan kepala.

“Apa yang kemudiandilakukanAdipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.

“Ayah mengumpan putera  sang  Pangeran  yaitu  Tayub Jenggolo  yang  dalam

keadaan mabuk agar  memancing  keributandengan Panji.  Ayah sengaja  membayar

tiga  orang pemuda  kawan-kawan tayub  berpura-pura  mabuk  lalu  mencegat  Pnaji  di

satu tempat. Begitumereka berkelahi ketiga pemuda itumelarikandiri. Lalu sewaktu

tayub tergeletak di  tengah jalan,  seorang penjahat  yang dibayar  ayahku  menusuk puteraPangeran itusampai mati. Mayatnya ditinggalkanditengah jalan … .”

Pelipis  Panji  Argomanik  tampak bergeark-gerak.  Rahangnya  menggembung. “Tayub ditemukandengan pisaumilikku menancap ditubuhnya. Kau tahu bagaimana     pisauituberadaditanganTayub yang kemudiandijadikan senjatapembunuhnya dan

dijadikan buktibahwa akulah yang telah menghabisi puteraPangeran itu?!”

Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata. “Itujugasebagiandarisiasat ayahku agar kau bisaditangkap dandigantung. Pisau itu  disuruhnya curiketikakautidak adadirumah!”

“Manusia  keji!”  rutuk Panji  sambil  kepalkan tinju.  “Siapa  yang melakukan pencurian itu? Kau tahu judasiapa yang sebenarnya membunuhTayub Jenggolo?”

“Orangnya sama … ..”

“Aku sudahdapat memastikansiapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti Daruka!”

Suryaning menoleh pada puteri  Warok Kelin  itulalumenganggukkan kepalanya.

“Kau tahusiapa  yang  membakar  rumah  dan membunuh Bibi  Kanoman?” tanya Larasati.

“Daruka juga.  Adipati  yang  menyuruh  dengan bayaran tinggi.  Daruka

kemudian membawa beberapa  orang penjahat  dari  Barat.  Maksud semula  adalah

untuk menculikmu.  Ketika  Daruka  dan para penjahat  itu  tidak  menemukandirimu, merekamembakar ruamhmudan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka    juga … .”

Belum  sempat  Suryaning melanjutkan ucapannya  tiba-tiba  di  luar pondok terdengar suara orang membentak.



“Anak tak tahu diri!  Apa  yang talah kau ceritakan pada  manusia-manusia keparat itu!”

Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.

Lalu di atas atapadanyalaterang.

“Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.

Semua  orang  lari  berserabutan ke  arah pintu.  Tapi  Pendekar  212  cepat menghalangi.

“Jangan lari lewatpintudepan! Ikuti aku!” teiak Wiro.

Murid Eyang Sinto Gendeng melompat kebagian belakang pondok. Dengan pukulan sakti Kunyuk  Melempar  Buah dia  menghantam  dinding  belakang pondok

hingga  hancur berantakan.  Lewat  dinding yang porakporanda  itu semua  orang lalu menghamburkeluar pondok.

Apa  yang dilakukan Pendekar  212 Wiro Sableng  memang sangat  tepat.  Jika  seandainya merekakeluar lewat satu-satunya pintumaka tubuh mereka akan disambut    oleh panah-panah beracun yang sudahdisiapkan oleh Daruka  dan delapan orang kawan-kawannya!




DUA BELAS


Kelima orang itubersembunyi di balik semakbelukarlebat. Dalam waktusingkat

sebagian dari pondokkayu sudahmusnah dimakan api. Beberapa orang penunggang     kuda  mengitari pondok yang  terbakar.  Mereka  adalah penjahat-penjahat  dari  Barat yang dibawa  serta  oleh  Daruka  untuk membantunya.  Saat  itu  mereka  tidak lagi

mengenakan kain penutup muka. Daruka sendirikelihatandisebereang sana bersama

Adipati Dirgodan beberapa orang anak buahnya sertasekelompok perajurit kadipaten.

Dalam gelap merekajugamelihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro    segera  mengenali  keduanya  dan berbisik pada  Panji.  “Kunto Areng dan Jalak Toga adadi antaamereka.”

Seorang anak buah Daruka  memberitahu bahwa  di  dalam pondok  tidak kelihatan satu orangpun.

“Mereka pastibersembunyi di sekitarsini. Mereka tidakbisa lari. Kuda-kuda   mereka sudahkita preteli…..” Yang bicara adalahAdipati Dirgo Sampean. “Pimpin    anak buahmu melakukan pencarian!  Ingat  takada  satu orangpun  yang boleh  lolos. Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”

“Orang tua bangsat!”  terdengar  Suryaning memaki  dalam  gelap.  Lalu  dia bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.

“Kau mau kemana?” tanya Wiro.

“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.

“Betapapunkesalahan ayahmu,  dia  tetap orang  tuamu.  Janganjadi  anak durhaka. Ayahmuserahkan pada kami … .”

Suryaning jadi  terdiam.  Tapi  dari  kedua  matanya  yang cacad  samar-samar tampakmelelehkan air mata.

Saat  itu  Daruka  dan  tiga  orang  anak buahnya  lewat  di  depan  mereka, memandang kian kemari.  Terangnya  nyala  api  yang membakar pondok  kayu

memaksa Wiro dan empat orang lainnya itumenajuhdan mencari tempatterlindung yang lebih gelap.

“Itu pasti  Daruka…..”  desis  Singa  Gurun  Bromo.  “Aku ingin mengorek jantungnyasaat ini juga!”

“Tidakbisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukumandariayah. Saat ini   aku yang mewakiliayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu sama-    sama berdirilalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah sigadis tampakmerengut. Lalu sekali tubuhnyaberkelebat diasudahmenghambur dari balik  semakbelukar.

Daruka terkejut ketikamelihatada seseorang tiba-tibaberkelebat dari tempat gelapdan berusaha  membetot  tali  kekang kuda.  Dia  lebih  terkejut  lagi  ketika

mengenalibahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lainadalah Jayengsari puteri pimpinannya.

“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.

Saat ituSinga Gurun Bromo sudahmelompat pulake depan Daruka. Melihat   munculnya  sang pendekar  mau tak mau Daruka jadi bergeming juga  nyalinya.  Dia berteriak “Adipati!  Mereka  di  sini!”  Lalu pada  tiga  orang anak buahnya  dia

memerintahkan “Cincang orang berikat  kepala  merah ini!  Aku ingin  menyelesaikan urusan lebih duludengangadis ini!”

Tiga  orang lelaki berbadantegap dengan bersenjatakangolok segear

menggerakkan kuda  masing-masing  menyerbuSinga  Gurun  Bromo.  Tiga  golok menderudalam gelapnya malam.




Singa  Gurun  Bromo  yang  sudah sampai  di puncak amarahnya  tidak  tinggal diam. Jotosannya menghantam kepalakuda di sebelah kanan. Binatang inimeringkik     kesakitandan melemparkan penunggangnya  hingga jatuh  terbanting ke  tanah.

Serangan golok yang datangdari  sebelah kiri  dapat  dielakkannya.  Begitugolok mendesingdi  atas  kepalanya  Singa  Gurun  Bromo melompat  ke  depan.  Kedua

tangannya  menyambar  lengan anak buah Daruka  yang ketiga.  Orang ini  terbetot  ke   depan.  Saat  itujuga  Singa  Gurun  Bromo lipat  tangannya  hingga  golok yang dipegangnya menghujammenembus perutnya sendiri!

“Jayengsari….. Bagaimanakaubisaberadadisini?!” tanya Daruka.

“Kau tak layak bertanya!  Kau tahukau sudahmembuat banyakkesalahan. Warok Keling menugaskanku untuk membawakepalamuke hadapannya!”

“Kau anak yang baik.  Tapi  aku yakin kau bisa jadi  kekasihatau istri  yang baik!”

“Bangsat!Apamaksudmulut kotormu?!” hardik Jayengsari.

“Dengar  gadis  cantik.  Aku sudah lama  diam-diam  menyukaimu.  Bagaimana kalausaat  ini  kau  bergabung bersamaku.  Kalau urusan sudah selesai  kauikut  aku.    Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”

Paras  Jayengsari  kelihatan merah gelap.  “Bagus!  Kuterima  usulmu!  Aku bersedia bergabung! Tapiterima duluini!”

Sebagaianak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan berbagai  ilmu  langsung  oleh  ayahnya  sendiri.  Dibanding  dengan  Daruka,

kepandaiannya  lebih tinggi  dua  tingkat.  Karenanya  sewaktu gadis  ini  melancarkan

satu jotosankeras ke pinggangnya Daruka cepat mengelakselamatkandiri. Walaupun saat  itudia  memegang sebilah golok namun rasa  sukanya  terhadap Jayengsari

membuat  Daruka  tidak tega  untuk mengirimkan bacokan.  Dengan tumit  kirinya  dia coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut

nyawanya.

Sambil  membungkuk Jayengsari  berhasil  menangkap pergelangan kaki

Daruka laluditariknya kuat-kuat ke bawahhingga Daruka yang bertubuh tinggi besar itujatuh dari punggung kudanya. Belum lagi diasampaiditanah jotosan tangan kiri   Jayengsari  melabrak perutnya.  Daruka  mengeluarkan suara  seperti  mau  muntah.    Selagidiategak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiriSinga  Gurun Bromo yang barusaja  menghajar  tiga  orang pengeroyoknya  ayunkantinju    menghantambatokkepalanya.

“Praaaak!”

Batok kepala  Daruka  rengkah.  Tubuhnya  terhempas  ke  tanah,  menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutiklagi.

Beberapa  orang berkuda  menghambur  datang ke  tempat  itu.  di  depan sekali adalahAdipati  Lumajang Dirgo Sampean.  Di  belakangnya  enam penunggang kuda,   tiga diantaranya adalahanakbuahDaruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam

orang ini  merentang busur  menarik panah beracun yang ditujukantepat-tepat pada Jayengsaridan Singa Gurun Bromo.

“Jika  kalianingin  segera  mampus  silahkan bergerak.  Anak-anak panah itu beracun!”

“Adipatikeparat! Kau kira akutakut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.

Adipati  Dirgo  Sampean  menyeringai.  Dia  berpaling pada  Jayengsari  lalu

tersenyum  lebar.  “Bukan main!  Puteri  Warok  Keling ternyata berkomplot  dengan manusia  buronan ini!  rejekiku  besar  sekali  malam  ini!  mendapatkan  buronan

pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala rampok!” Adipatiberpaling ke belakang. “Bunuh pemuda inisekarang juga! Gadis ini tangkaphidup-hidup!”

Tiga  orang  anak buah Daruka  yang  merentang busur  serta  merta  menarik

anak-anak panah lebih ke belakang dansiapmelepaskan kearah Singa Gurun Bromo.

Pada  saat  itu,  di  tempat  gelap  di  mana Wiro dan Suryaning bersembunyi kelihatansinarterang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro danterheran-heran  ketikamelihat tangankanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.

“Apa yang hendakkaulakukan….?” Bertanya Larasati.

Sebagaijawaban Pendekar 212 WiroSablenghantamkan tangnakanannya ke arah tiga orang anak buah Daruka yang siapmelepaskan panah-panah beracun. Saat    itujuga  terdengar  suara  menderu  disertai  berkiblatnya  sinar  terang menyilaukan.  Hawa panas menghampardi tempat itu. kuda-kuda yang adadi tempat itumeringkik   keras. Adipati Dirgo Sampean berteriakkeras lalu melompat turundari aas kudanya.

Sinar panas  menyilaukan  tadi  lewat  di  atasnya.  Lalu terdengar jeritan tiga  orang  di

belakangnya. Ketiganya mencelat keudara sampaiduatombak. Begitujatuh ke tanah mereka sudah tak bernafaslagi. Mati dengantubuh gosong!

Tiga perajurit  yang juda  tengah mengancam  Jayengsari  dengan panah-panah

beracundan tadinya  bersiap-siapuntuk  meringkus  gadis  itu  berlompatan  dari  kuda masing-masing begitupukulan Sinar  Matahari  menyambar  di  udara.  Mereka

bergulingandi tanah.  Panah dan  busur  lepas  entahkemana.  Ketiganya  menyangka  sudahselamat  tapi  selagi  mencoba  bangkit  tendangandemi  tendangan menghantam

kepala, dadadan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malangmelintang. Yang

kena  tendang kepalanya menemui  ajal  saat  itujuga.  Yang  kena  hantaman  di bagian dadamuntah darahdan siapuntuk sekarat. Satunya lagiterkapar mengerang dengan

perut pecah!

“Gadis Iblis! Tak dapat menggantungayahmu, kau juga sudahcukup pantas!”

Dua penunggang kuda  muncul  di  tempat  itu.  merka  adalah Kunto Arengdan yang berteriakadalah  Jalak Toga.  Keduanya  bukan lainadalah perwira-perwira  kerajaan

kaki tanganAdipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turundarikudamasing- masing, lalumenyerbu Jayengsari dengnabersenjatakangolok.

“Bagus!  Akukenal  siapa  kalian!”  teriak Jayengsari.  “Perwira-perwira  culas    macam  kalian harus  disingkirkan  dari  kerajaan!”  dengan  mengandalkan tangan kosong puteri Warok Keling initanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan

kedualawannya yang berkepandaian tinggi itu.

Begitujatuh  di  tanah dan berdiri,  Adipati  Dirgo Sampean langsung disergap

Singa  Gurun Bromo.  Keduanya  sama-sama  mengandalkan tangan kosong.  Berarti sama-sama  mengerahkan pukulan-pukulan sakti  dantenaga  dalam.  Dengan kepandaiannya  yang masihrendah enam tahun laluSinga  Gurun Bromo berhasil

melarikandiri dari tempat sangAdipati menyekapnya. Kini setelah digemblenglagi    selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentusaja semakin tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki  oleh Dirgo Sampean.  Karenanya  dalam waktu

singkat  Adipati  itu segera  terdesak hebat.  Beberapa pukulanSinga  Gurun Bromo berhasil mendaratditubuhnya. Satu mampir di pinggiranmatanya sebelah kiri hingga

robek dan mengucurkandarah.

Dengna  menggertakkanrahangmenahan  sakit  Adipati  Dirgo Sampean kerahkan tenagadalamnya ke tangankanan. Asap hitamaneh tiba-tiba menggebubu

dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.

“Awas asap beracun!” satuteriakan perempuan keluardari tempat gelap. Panji Argomanikcepat  tutup jalan pernafasannya. Kalau  saja  bukankarena  teriakantadi  mungkin sang Adipati  akanmeneruskan serangan asap beracunnya  yang  bisa




mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun diaterkejutsekaliketika mengenali suara yang berteriak  tadi  adalah suara puterinya  sendiri.  Disamping  terkejut  dia juga jadi

sangat marah. Serta mertadia melompat ke balik semakbelukardarimana datangnya teriakan tadi.

“Hemmmm, kalian berdualengkap sudahberadadisini!” kata Adipati Dirgo Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.

“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu jotosan kearah perut sang Adipati.

Karena  masihmempelototi  anaknya  dangadis  yang digilainya  itu  ketika  serangan datangAdipati Dirgsepertitakacuhhanya menepis dengan tangan kirinya. Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlahAdipati ini. Tulanglengannya serasa patah. Selagi dia kesakitan setengahmatiseperti ini puterinya berseru “Ayah,  sebaiknya kau menyerahsaja! Itu lebih baik bagimu!”

“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini … …”

Tadinya  masihada  sedikit  rasa  kasihandalam  diri  Suryaning terhadap  ayahnya.  Tetapi  setelah dimaki  begitu  rupa  gadis  bermuka  cacat  dan  seram  ini jadi mendidihamarahnya.

“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan gadis itudan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman … ..”

“Anak sundal! Seharusnyadulukubiarkankaumatidi rimbabelantara itu!”

Suryaning menjawabtak  kalah sengitnya.  “Kau menyesal punya  anak seburukku! Aku juga menyesal punya ayahsejahatmu!”

Adipati Dirgotak dapat lagimenahanamarahnya. Dia melompat ke hadapan

puterinya  itu  sambil  menghantamkan tangankanannya  ke  muka  Suryaning. Namun jotosannya itutidak sampaidi sasaran karena saat itu Pendekar 212 telahlebih dulu

menggebuknya  dengan pukulan tangan kiri  ke  arah dadanya.  Selagi  Adipati  ini

melintir kesakitanSinga Gurun Bromo yang tadi hampircelaka oleh semburan asap hitamnya melompat dari samping. Dengankedua tangannya dia hendakmematahkan

leherAdipati Dirgo. Begitubernafsunya pendekarini untuk dapat menghabisi musuh

besarnyasaat itujuga, diatidaklagimemperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu

jalak Toga  dan Kunto Areng berhasil  mendesak Jayengsari  ke  dekat  sebuahpohon  besar.  Tanpa  sengaja jalak Toga  melihat  Singa  Gurun Bromo tengah berlari  untuk menerkam Adipati  Dirgo Sampean tanpa  memperhatikan lagi  keadaan sekeliling

atau pun dirinya  sendiri.  Jalak toga  tidak  menyia-nyiakan kesempatan ini.  golok  di tangannyadilemparkannyakearahSinga Gurun Bromo.

“Panji  awas!”  terdengar  suara  orang berteriak.  Orangnya bukan lain  adalah Suryaning puteri sang Adipati.

Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidakada. Wiro sendiriterhalang oleh tubuhAdipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu,

tanpapikir panjangSuryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul   tubuh pemuda ini. Kejap itupula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata   yang seharusnya  menancap di pangkal  leher  Panji  Argomanikitukini  menancap di punggung kiri  Suryaning, terus  tembus  sampai  ke jantungnya!  Dari  mulut  gadis   malanginihanya keluarsatukeluhan pendek. Nafasnya putusdalam keadaan masih

memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!

Adipati Dirgo Sampean berteriaksetinggi langit. Betapapun bencinya dia pada

Suryaning, namun kematiananak darahdagingnya sendiri didepan mata begitu rupa

sangat  mengguncang dirinya.  Dia  meraung dan memegang tubuh anaknya  yang perlahan-lahan merosotjatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.





Dengan tubuh bergetar  Adipati  Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah anak tunggalnya itudi tanah. Sesaat diasepertihendak menangis. Tetapi yang keluar   dari mulutnya adalahsatu raungan dahsyat. Kedua matanya tampaktiba-tiba berubah   merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.

“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan

Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.

“Buk! Bukk!”

Tinju kiri  kanan  Singa  Gurun  Bromo  mendarat  di  dada  sang Adipati.  Tak ampun lagi  tubuhnya  terjengkang jatuh.  Dari  mulutnya  keluar  darah  segar.

Seharusnyapukulan itubisa membuatnyamati paling tidak pingsan. Namun dengan segala  tenaga  yang ada  Adipati  Lumajang  ini bangkit berdiri  kembali  dengan   terhuyung-huyung.

Singa Gurun Bromo siap menghantamkantinjunya sekalilagi, namun saat itu tiba-tiba  muncul  dua  orang penuggang kuda  disertai  sesrombongan pasukandari

Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriakkeras.

“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”

Singa  Gurun Bromo batalkan serangannya.  Adipati  Dirgotertegun lemas.

Pendekar  212 Wiro Sableng yang  hendakmelabrak Jalak Toga juga  hentikan

gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinyatidak mau perduli. Saat itu perwira

ini  tengah  mendesak Jayengsari  habis-habisandan siapuntuk  mengirimkan  satu bacokan maut.  Dia  sama  sekali  tidakmau menghentikan serangannya.  Sebaliknya

Jayengsari  hanya bisa  tertegun diam  seperti  tidakmenyadari  kalau  kematian

mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengankecepatan luarbiasaangkat tubuh Jalak Togalalu dilemparkannya kearah Kunto Areng, tepat padasaat Kunto Areng  tengah membacokkangoloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnyabersarangdi

kepala  Jayengsari  itu  kini  menghantam  rusuk  kiri  Jalak Toga.  Perwira  tinggi  ini menjerit  setinggi  langit.  Tubuhnya  terhempas  ke  tanah.  Darah  memebasahi

pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karenahanya bagian luartubuhnya saja yang terluka ditambah duatulangiga terbabat putus!

Kunto Areng  yang  seperti  tak percaya  dengan apa  yang terjadi  untuk  sesaat

lamanya  tertegunterkesiap.  Tubuhnya  mendadak terasa  lemas  laluakhirnya jatuh terduduk di tanah.

“Hentikan perkelahian!”  terdengar  suara  teriakanseperti tadi  sekali  lagi.

Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan munculternyata adalah tokohsilat  Istana  yaitu  Ki  Bumi  Wirasulo dan Mangku Sanggreng.  Keduanya

memandang berkeliling dan pandangan merekaterhentiketikamelihat Penekar 212.

“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata adadisini. Bagaimana pendapatmu?”

“Isi surat Sri Bagindatidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pulakita sudah mengetahui  dia bukan  Singa  Gurun  Bromo  yang sebenarnya,” jawab  Mangku   Sanggreng. “Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”

Ki  Bumi  Wirasulo  lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya.

Dengan suara  keras  dia  membaca.  “Atas  nama  kerajaandan keadilan Sri  Baginda

memerintahkanuntuk menangkap Adipati  Lumajang Dirgo Sampean.  Yang

bersangkutanterbukti  menjadi perencana  keji  sehingga  terbuhnya  Tayub Jenggolo,

puteraPangeran Sendoyo. Dua orang perwirakerajaan masing-masing Kunto Areng

dan Jalak Toga juga  dinyatakan  ditangkap karena  terbukti  berkomplot  membantu

Adipati Lumajang. Kepadapemuda yang bernamaPanji Argomanik dikenal dengan gelaran Singa  Gurun Bromo dinyatakan bebas  dari  segala  tuduhan  dan kesalahan.

Tertanda Sri Baginda.





Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itukembali. Jalak Toga yang ketikasurat Sri Bagindadibacakan menguatkandiri untuk dapat bangun. Tapi begitumendengar

isi  surat  langsung rebahkembali  dan pingsan.  Adipati  Dirgo  Sampean tampaknya  pasrah saja  karena  dia  tidak bergeak  sedikitpun dan hanya  bisa  memandang kuyu pada Panji argomanik yang berdiri didepannya.

Lain halnya  dengan Kunto Aeng.  Begitumendengar  dirinya  dinyatakan ditangkap tiba-tibadia melompat bangkit melarikandiri. Namun satu tangan tiba-tiba

menahan jidatnya.  Bagaimanapundia  berusaha  mengumpulkan  tenaga  untuk melarikandiri, jidatnyatetapsaja tertahan tangan itu.

“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marahlalumencabut sebilah belatiberkeluk dari pinggangnya. Senjata iniditusakkannya sekuat tenaga ke

perut  orang yang sejak tadi  memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan jidatnya  itutiba-tiba  melesat  ke  atas  lalu turun lagi  mengemplangubun-ubunnya!     Kunto Arengmengeluh  kesakitan.  Kedua  matanya  mendelik jereng dan  tubuhnya

berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit kirinyauntuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang iniroboh ke tanah, mukanya    jatuhtepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!

Panji  Argomanikmasih tertegak tak bergeakketika  Larasati  berlari mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.

“Hentikan tangismu Laras…. Semua sudahberakhir…..” bisik Panji.

Wiro sendiri  celingak  celinguk mencari  seseorang.  Yang dicarinya  adalah jayengsari. Puteri Warok Keling itutiba-tiba lenyap begitusaja.

“Kau mencariaku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling. Astaga, ternyata gadis itubersembunyi di balik punggungnya!

“Lihat  mereka  itu,”  kata  Wiro  sambil  menunjuk pada  Panji  dan Larasati. “Tidakkah kau ingin merangkulakuseperti itu….?”

“Pemuda nakalbermulutusil! Tidak. Akutidak akan mau memelukmu!” kata Jayengsari.

Wiro tertawa  lebar.  “Maksudmutidak,  artinya  tidak di  sini  kan?  Kalau di tempat lain ya mau? Begitu?”

Jeyangsari  menjewer  telinga  kiri  Pendekar  212.  Lalu  telinga  itu  ditariknya keras-kerashingga Wiro mau takmau terpaksamelangkah mangikutigerakankakisi

gadis. Sampaiditempat gelap jayengsari lepaskan jewerannyadantiba-tibasaja dia memeluk pemudaitu dengan penuh nafsusehingga muridEyang Sinto Gendeng itu jadikelagapan.

“Aku membawa pesan khusus  dari  ayah,” bisik  Jayengsari.  “Beliau ingin bicara  denganmu.  Apa  soal  akutidak  tahu.  Yang jelas  kita berangkat  sekarang  juga … ..”

“Meninggalkan orang-orang itu begitusaja?!” ujar Wiro.

“Tahanan kerajaan itu  sudahada  yang  mengurus.  Panji  dan Larasati  bisa

mengurus diri merekaberdua. Merekapasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.

Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itupedulisetan! Kau ikutakuatau harus kujewer lagi?!”

Wiro tertawa  lebar.  Digelungkannya  tangannya  ke pinggang Jayengsari. Kedua insan itukemudian lenyapditelan kegelapandandinginnya malam.




                                  TAMAT


Penulis : Bastian Tito

Created : matjenuh channel

Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Share:

Post Terdahulu

https://matjenuh-channel.blogspot.com

Jumlah pengunjung

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game

Memburu Iblis

 

Pengikut

Blog Archive