Jumat, 31 Mei 2024
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 WIRO SABLENG - SINGA GURUN BROMO
SATU
Warung nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai
malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siangitu banyak orang
bersantapdi sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi
begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata
seorang lelaki mudaberbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawung nya dalam- dalam dia melanjutkan “Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah,
mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggiladalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah danibunya sudah tak ada, takada sanak tak ada kadang, mana mungkin dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. “Enam tahundia menghilang. Kalau dia berani
muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati
Dirgo Sampean?”
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada laluberkata. “Singa Gurun boleh punya segudangilmu. Tapikau lihat berapa orang yang adadi dalam dandi luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalaudia memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena
bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah
terjelaskan itu … ..”
“Yah ….. Kita lihatsaja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu didalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu
yang duduk menikmati makan siang terdapat enam orang berpakaian petani. Yang dua bertubuhtegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalahdua
orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di
balikbaju-bajugombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima
puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokohsilat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo
Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik,pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debujalanan
beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
“Lihat! Singa Gurun datang!” Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung jalan. Semua mata serta merta memandang kearah yang ditunjuk.
“Dia benar-benarberanimati!”
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kudacoklat berpakaian dan berikat kepala putih. Debu beterbangandi belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada didepan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menujupintu warung. Masuk ke dalam warung dilihat nya hanya ada satu bangku yang masih kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinyadiaberkata “Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang sengaja mengatur.”
Setelah melirik ke kiri danke kanan pemuda ini lalumelangkah ke arah bangkukosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang disekitar meja
berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani melawan amblas nyawamu!”
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentusaja menjadi kaget dan
memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di
tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan
ujung golokke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanyadileher sipemuda.
Setelah sirap kagetnya, sipemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat! Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia miskin!Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan
senjatanya hingga kulit leher pemuda ituteriris luka. Dia berkata dengan suara bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dankawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa, apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang takada salah nya kau bergurau dulu. Nanti kalau sudahdi liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan- setan kuburan!”
“Eh, kau menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa Gurun…..?
“Panji Argomanik! Jangankau berpura-pura!” bentak orang yang menodong dengnaujung goloknya ke perutsi pemuda.
“Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh- aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan
sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!” bentak salah seorang
dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarahaku
bisa mencincangmusaat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau mampus ditiang gantugnan!”
“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot sipemuda lalu menyeringai lebar.
“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerakcepat
menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu
angkat tangan kanannya. Sekali bergerak diaberhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!” desis pemuda itu. “Siapapunkau adanya, aku muakmelihat tampangmu! Aku bukan PanjiArgomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh. Tahu-tahu tubuh perwiratinggikerajaan itu terlemparkeatas. Dari mulut Kunto Areng keluar
suara jerit kesakitan. Sambungan sikudan sambungantulang bahunya berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satulagi segera tusukkan goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalahcepat. Si pemuda sudahdapat
menerka apa yang bakaldilakukan orang itu. karenanya sebelumtusukandatang dia
sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan balasan itu. diamembungkuk sambil membabatkangoloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi dirinya sendiri selamat. Warung nasi ituserta merta menjadi kacau balau. Kunto Areng yang masihdalam keadaan kesakitan, pindahkangoloknya ke tangan kiri. Dia memberi isyarat pada empat perajurit didekatnya. Kini pemudaberpakaian puihitu
dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru. Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya
mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengancekatan. Satu kali dia berhasil menjotoskeras mukasalah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini terpental dengan muka yang bersimbahdarah karena hidung dan mulutnya pecah dihantam tinjusi pemuda.
Meskipundikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datangsilih berganti, namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya. Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangkupanjang dengan gerakankeras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya. Terkadang dia melompat ke atas meja yang masihdipenuhimakanan. Lalu enak saja dia menendangimakanan-makanan ituhinggamencelat melumuri pakaian ataumuka para pengeroyok.
“Kawan-kawan!” Kunto Areng berteriakmarah setelah sebutir telur bercabe menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitandan keperihan. “Aku perintahkankalian untuk mencincang manusia satu ini!” Lalu dia memberi
isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini takberani lagi petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalautak mau tubuhnya terkuntung- kuntung. Selain itu masihada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah
beratnyatekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalucepat. Lalu dua juruslagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalandan masihdibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaiantidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat menyerntuhtubuhlawan, bahkanbajunyapuntidak!
“Kunto……” berkatajalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang dimainkan pemuda ini bukanilmu silatSinga Gurun. Jangan-jangan … … .”
“Mengapa mustiragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan
mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terusterang kita belum pernah
melihat jelastampang pemuda inidi masa lalu! Tapiaku yakin kita tiakmenghadapi orang lain. Dia pastiSinga Gurun Bromo!”
Baru saja kedua orang ituselesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka
keroyokkembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak pinggangsambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendakjatuh. Sesekali dia melompat sambil tertawa mengekehlalu membuat gerakanseperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbukarenamerekamenyangkatengah diejek dan melihatsipemudakini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok terutamadua perwira tinggi itu diam-diamjaditerkejut ketika merekadapatkan justru dengan membuat gerakan-gerakananehitusi pemuda semakin sulit untuk dirobohkan. Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala
seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya menjadiciut nyalinyamasing-masing sementaradua perwira tinggi walaupuntercekat melihat kejadian itutetap harusterus menggempur.
“Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu suara terdengardari luar warung. Sesaat kemudiandua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalahdua tokohsilat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo.
DUA
Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima
bantuan itukarena hal inimenunjukkan ketidak mampuan merekamerobohkanatau meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka
mungkin akan mendapat malulebih besar maka keduanya diam saja danmenerima
bantuankedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng sengaja berkata dengan suara dikeraskan “Memang tugas kita semua untuk
membekuk cacing tanah ini! Tapiaku ingindia dicincangdi tempat ini juga!”
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. “Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap hidup-hidup. Bukankah Sri Bagindadan Adipati Dirgo Sampeaningin menyaksikan
kematiannyad tianggantungan?!”
“Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku mengikuti apa mau kalian berduasaja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itujalannya
perkelahiankini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok tetapsaja cengar cengir. Memang sampaidua jurus dimukasipemudamasih belum
tersentuhtangan atau senjata lawan. Namun sedikit demisedikit keadaanya semakin
terjepit. Di satusudut warung dia harus bertahan mati-matiandenganhanya
mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktusingkat kursi kayu ini musnah berantakandibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!” maki sipemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarakjauh yang mengandung
kesaktian dantenaga dalam. Kedua tokohsilatinisaling memberikanisyarat. Tangan mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang
seutastalihalus berwarna putih. Si pemudamaklum kalau lawan hendak menjiratatau mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tibaada asap
kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakanada sesuatu yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan
kedua tangannyatelah terikat ketat oleh talihalus putih itu!
“Celaka!” keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskanatau
memutuskanikatantali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha
membebaskandiri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari
belakang. Tak ampun lagipemuda itu menjadi kaku tegangtakbisaberkutikataupun bersuara!
“Gotongdia! Lemparkanke dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu melemparkannyakedalamsebuah gerobak yang telah menunggu di halamandepan warung. Orang-orang kerajaandandua tokohsilat Istana menyusulkeluar. Sampaidi
luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo. “Sesuai pesan begitu tertangkap Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalaukita langsung berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalaukita
mampir duludi kadipaten. Selain melapor bukankahAdipati juga ingin lebih dulu menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik padaMangku Sanggreng seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata “Tangkapan besar
sudahkita dapat. Rasa tegang kinijelasseudah berkurang. Di samping itu kita perlu
sedikit istirahat. Bagaimana kalaukita menujuke kadipatensaja dulu. Menginap di
sana lalupagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku Sanggreng mendekatkan mukanyakemuka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa bulantidakmelihat tubuhtelanjangNi Suri Arni, perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula menemui pacarmu sigemukLarawati, bagaimana……?”
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan
dan berkata. “Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besokpagi-pagi sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat denganturunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama
Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar
Kadipaten Lumajang. Saat ituhujan yang sudahlamatidak turuntiba-tibasaja jatuh
rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadidingin. Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak Lumajang yang menjaditujuan.
“Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku Sanggreng.
Setiapanggota rombongan menggebrakkuda-kuda masing-masing. Sais gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu
menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depantiba-tiba berseru.
“Lihat! Ada nyala api didalam hutan sana!”
“Rombongan berhenti!” teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama memperhatikan kearah hutankecil ditepi kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang aneh!” menyahuti Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang
didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya seperti api unggun.”
“Mungkinkelompok penjahat pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto Areng.
Saat itu tercium baudaging panggang yang sedapdan harum sekali. Hal ini membuat setiapanggota rombonganseolah baru menyadari bahwa perut mereka
memang mintadiisi.
“Hemmmmm, dugaanmu kurasa betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo.
“Gembong penjahat itu justrusedangdicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini
berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu sangat berbesar hati. Bagaimana kalaukita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalumenghirupudara malam yang gerimisitudalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati- hati. Warok Keling memiliki kepandaiantidak lebihrendahdari Singa Gurun
Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untukikut menyelidiki karenasaat itu keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa
Gurun Bromo waktu terjadi perkelahiandi warung siang tadi. Namun takutdianggap pengecut Kunto terpaksamenyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dandua tokohsilat Istana berunding. Kemudian mereka turundarikudamasing-masing mendekatinyala api dari jurusan yang berbeda. Dua
orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang ciderasengajaditinggal untuk menjagagerobakberisiSinga Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itusudah mengurung perapian.
Mereka melihat adabinatang yang sudahdikulititengahdipanggang di atas nyala api. Mungkinkelinci besar atau anak rusa. Tapi merekatidak menemukan satu orangpun di tempat itu. takada kuda, takada kantong-kantong perbekalan atautikaruntuk tidur.
“Aneh,daging itusudah hampirhangus. Tapitakadasiapapunditempat ini!” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak Toga.
“Tak masukakal,” sahut Mangku Sanggreng. “Sama sekali tidakada tanda- tanda orang berkemahdi tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!” berkata Kunto Areng yang memang ingin
cepat-cepat pergisaja.
“Kita tunggusebentar. Kalau memang tidakada yang muncul kita akan
pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapidaging panggang itu takada salahnyakita
sikat dulu untuk mengganjal perut!” laludiamendekatinyala api. Dengansepotong
ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya ikut mencicipidaging panggang itu. Hanya Kunto Arengdandua orang perajurit yang tidakikut makan. Selesai menghabiskandaging panggang orang-orang itu lalu
bersembunyi di balik pohon atausemak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap takada yang muncul. Kunto Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali sajamelanjutkan perjalananke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggrengpula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru tegang!
TIGA
Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatanterbujur malangmelintang
di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohondan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudahmenjadi mayat dengan kepala hancur. Yang dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpundi tempat itu.
hanyadua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam gerobak ternyata Singa Gurun Bromo takada lagidisitu!
“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggrengdan yang lain-lainnya ikut pucat tampang mereka. Mereka sadar bahwa merekatelah tertipu.
“Celaka! Susah-susahkita menangkap manusia itu, tahu-tahu kinidia lenyap begitusaja!” ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dantak mampu mengeluarkan sepotong ucapanpuntapiotaknya coba berpikir bagaimanahal itubisaterjadi. Singa
Gurun Bromo beradadalam keadaantertotok. Jelas tak mungkindiamelarikandiri.
Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapasipenolong itu? Orang yang menyalakan api dan membakar daging hanyauntuk sekedarmenipu?
“Begitu mudahnya kitatertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidakakan pemuda buronan itubisa
melarikandiri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapisiapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggrengpula. Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara ingintahu beginilahjadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja.
Memberi laporan bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akandidamprat habis- habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu … ..”
“Tutup mulutmu Jalak!” bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada gunanya memaki dan menggerutupanjanglebar. Semua salah kita … ..”
“Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan?!” memotong Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api didalam hutan itu.
Paras tokohsilat Istana itujadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduhaku yang salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang mengajak tapi
kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harusikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlukita bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng
menengahi. “Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita
harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan duaekor kuda
penarik gerobak itu agar bisaberangkat lebih duludanmelapor dengancepat! Kalian agaknya terpaksaharus jalan kaki. Tapikadipatentakberapa jauh lagi … ..”
“Kau memilihenakmusaja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan
kaki semua harus jalan kaki!” Lalu diacabut goloknya. Dengna senjata inidiputuskan tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang itu
hinggamenghamburlaridalam kegelapan malam.
“Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki
Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudahsiap
menyambuti sergapan orang dengan hantamantinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan cepat menengahi.
“Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dansaling gebuk? Kita berangkat sama-sama, sampaiditujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” laludengan
langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masihsakit Kunto Areng melangkahlebih dulu.
Ki Bumi Wirasulodan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. “Kalian
perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih memperhatikankami tokoh-tokohsilat Istana. Itu semua karena ketololankalian
sendiri yang mabuk pangkat … ..”
Jalak Toga menyeringai. “Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi.
Apakah Sri Baginda akantetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa main perempuan!”
“KurangajarkauJalak! Jaga mulutmu!” teriakMangku Sanggreng marahlalu
melompat ke hadapan Jalak Togahendak menampar muka perwiratinggiKerajaan itu. Jalak Togacepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas putus tangancelakamu!”
RahangMangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikithatimu. Masih ada waktu untuk memberi pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”
“Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu peradatan!” kata Mangku Sanggrengpula.
Jalak Toga menjawabdenganmeludah ke tanah lalu memutar tubuh dan melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat itu malamini juga!” kata Mangku Sanggreng begitu Jalak Togaberlalu.
“Sama, aku juga!” jawab Ki Bumi Wirasulo. “Tapi jangan sekarang. Kita harus mencari saat yang baik … …”
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itumelangkah pergi masukke dalam rimba belantara, dari baliksebuahpohon besar di tepi jalan keluar satubayangan
putih. Sosok ini bergerakcepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok
di tanan. Orang yang hendak melompati gerobakitu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih denganikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapakau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat. “Krak!” perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi. Mukanya hancur dimakan tendangan!
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam keadaan cidera jugatidak tinggal diam. Mereka cabut golokmasing-masing danikut
membantu kawannya mengeroyoksi pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itumelompat
ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar
maut. Tiga perajurit menemuikematiandilandatendangan kakinya yang memang luar
biasa. Dua perajurit lainnyamasihuntunghanya cideramuntah darah, namun agaknya
nyawa mereka pun tak bakallama. Bagiantubuh merekadisebelahdalamada yang pecah.
Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalikke arahSinga Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan
kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo dengancepat lalumembalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian lepaskantotokandi punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti saja kujawab pertanyaanmu,” jawabsi pemuda. “Kita takada waktu banyak. Harus lekaspergidarisinisebelum orang-orang itukembali!”
“Sesudah kautolong begini aku justruingin mencarikeparat-keparat itu. Ingin aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannyaseperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikutakuatautidak?”
“Tidak! Kecuali kauterangkan siapadirimu!”
“Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun Bromo!” katapemuda itupada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengakkaget, garukkepala dan mendamprat. “Sialan! Gara-gara kauakujadidibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa ang terjadidengandirimusejak awal. Itu sebabnya aku menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api didalam hutandan
memanggang seekor kelincibesarsebagai tipuan. Begitu merekamenyelidi masukke dalam hutanaku segera keluardaripersembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itutidakbisamembedakan aku dengan kau?!”
“Usia kita sebaya. Potongantubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahunaku
menghilang!”
“Sialan!” maki sirambut gondrong sambil menggarukkepalanyakembali.
“Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakandulusiapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!” kata Panji Argomanikalias Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapakaumenolongku?” tanya Wiro.
“Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka
mencari akutapi menyangka kaulahSinga Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai hatimembiarkankaudigantungtanpa salah dandosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro
“Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat ini!”
Pendekar 212 WiroSableng garukkepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila! Bagaimana aku bisamendapat pengalaman pahitsepertii ini. Kalau tidak kau tolong pasti aku akan jadi mayat ditiang gantungan!”
“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerakmengikuti. Di satu tempat Wiro bertanya.
“Apadosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus menemui seseorang duludi Kuto Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudahmeninggal.”
“Hemmmm….. Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan. Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimanakaubisa tahu?”
“Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih
memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalahkekasihnya!”
“Rupanyadalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang itubisaberbahaya … ..”
“Siapa takutkkan mereka? Terus terang aku penasaran hendak menjajal
kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabuitu. Tahu-tahu kedua tanganku sudahterikat!”
“Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokohsilat Istana. Ki Bumi Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka
berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun
merekamemilikikecerdikan luarbiasadan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu
sanggup ditinggalkannya sampaisejauh seratuslangkah di balakangnya. Tapimurid
Sinto Gendengtidakingin membuat pemuda itukecewa. Lagi pula selain
menyukainya, Wiro juga ingintahu mengapa dia sampaijadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan sahabat barunya itu berlari disebelah depan.
EMPAT
Dua pemuda yang barusaling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletaksebuah kampung kecil bernamaTelogosari.
“Hatiku tidakenak….” Kata Panji Argomanik begitumereka memasuki pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap disebelah sana…..?”
Wiro memandang kearah yang ditunjuk Panjidan mengangguk. “Sepertinya barusansaja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksanaterbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka
masukke Telogosari lewat jalan kecildi sebelah Selatan. Beberapabuah rumahkayu
dalam keadaangelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya
yang merah karenaberlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..” Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang
dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu barusajamusnah dimakanapi.
“Rumah kekasihmu….?”
Panjitak menjawab. Dia larisambilberteriak. “Larasati…..!”
Panji Argomanik tegak dengantubuh gemetar di depan puing-puing rumah yang terbakar. Diaberteriaklagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang
dimakan apiberderak patahlalujatuh. Panjihendakmelompat ke dalam rumah yang masihdikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudahmusnah!”
“Aku kawatir Larasati ikutterbakar…..” kata Panji danjatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. “Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar untuk memberikan pertolongan ataupunsekedarmelihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!” Wiro lalukatakan rasa herannya itupada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!” kata pemuda berambut coklat itu. “Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk takada yang berani keluar untuk
menolong, pastiada yang merekatakutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab iniPanji?”
“Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya disebabkanoleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo Sampean!”
“Kalau begitukitabisamenyelidikkeKadipaten.”
Panji mengangguk. “Aku memang sudah bersumpahuntuk mematahkan
batangleher adipatikeparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatkuharus kaburdari Kuto Inggil. Jugadiapenyebabkematiankedua orang tuaku. Pasti dia juga yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati….. Di mana kau Larasati…..? Keparat! Jangan-jangandiatelah membakar kekasihkubersamarumah ini!” Panji Argomanik
melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harusmemastikandulu!” katanya. Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba
terdengarteriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada apa……?”
“Lihat di balikgedek yan masih terbakar itu … ..”
Wiro merasakan tengkuknyamerinding. Di balikdinding kajang yang hampir musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakanapi. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilikkaki adalah seorang
perempuan.
“Mereka membakar Larasati! Mereka membunuhkekasihku!” teriak Panji
Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang
terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambiltubuh yang terbakar ituPanji. Tapitidak perludengan
menyabung nyawa melompat masukke dalam api!” Wiro lalu ambilsebatang bambu
yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat salah satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi nyala api yang menyengat panas. Dengantubuh dan pakaian kuyup oleh keringat
Wiro berhasilmemasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu dengan tengkukmasihmerinding, disaksikandengantegang oleh Panji Argomanik, muridEyang Sinto Gendeng inimulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan- lahan.
Sedikit demisedikit sosoktubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar. Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudahhangus hitam. Lalu….. Wiro
mengerenyit. Panji pejamkankedua matanya. Bagiantubuh di atas betis sampai ke pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak
dapat dikenalilagi.
“Demi Tuhan….. Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku ingin melihatbagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambuitu. Bagiandagusosok
yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang dipakai untuk mengait pergelangan kaki putustaktahan panas. Wiro terduduk. Panji
Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro lakukansesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kaumasihbisa mengenali tengkorak kepalanya yang mungkin sudahjadidebu?!”
“Tidak! Janganucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukansesuatu atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriakpanji Argomaniklagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahandijangkaunya galah bambutadi laluberdiri,
melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan
ujung bambudicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dansampaitiga kali tidak berhasil. Wiro majulagibeberapa langkah. Panasnya api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahandengan segalakekuatan yang ada dia coba lagimembalikkandinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang
yang terbakar terbalikke kiri membuat nyala api serta debuhitam menggebubu ke atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu kepala yang sudahhitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih tersisa sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas PanjiArgomanikmemburu dandadanya turunnaik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin itu mayat Bibi kanoman yang selamainimemelihara Larasati … .”
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih sahabat barunya itu? Wiro tak beranimengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan hal inipasti Larasati diculik … .”
“Mungkinkekasihmutidak adadirumah ketikarumah inidibakar. Berarti dia dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat kupastikan Wiro…. Aku harus menyelidikinya. Aku harus mendatangigedungAdipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro memandang berkeliling. “Aku yakin ada satu atau dua tetangga di sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akangedor dan tanyai mereka!”
Pendekar 212 mendatangisebuah rumahterdekat lalu mengetuk pinturumah itu dengan keras. Digedor berulang kali takada yang menjawabapalagi muncul membuka pintu.
“Sialan!” Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke
rumahdi sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah kaki di sebelahdalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan mukapucat
ketakutan.
“Kami…. Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang berharga yang bisakuserahkan pada kalian … ..”
“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang itulalumenariknya keluar. “Tapi aku akan mematahkan batanglehermukalau kau
tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumahitu!” “Saya……saya … ..”
“Plak!” Wiro tampar orang itu dengankeras hinggadiaterjajar nanar. Saat itu Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya pemuda ini.
“Kau….. Panji…. Kaulah yang merekacari! Di desatersiarkabar bahwakau akan kembalike Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pastiakandatang kesini. Tapi begitu merekatidak menemukankau, merekaterus membakar rumah. Membunuh Ibu Kanoman … ..”
“Bagaimanadengan Larasati?!” tanya Panjimemotong.
“Mereka menculiknya. Mereka membawalarikekasihmu. Kami penduduk tak beranimenolong. Mereka berjumlahsekitar sepuluh orang … .”
“Kau mengenalisiapa mereka….?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain … ..
Mereka menunggangikuda. Mereka melarikandiri setelah mendapatkan Larasati … ..”
Panji Argomanikmendengarkan keterangan itu dengan keduatinjuterkepal.
“Kalau…. Kalau takada lagi yang hendak ditanyakan, izinkanakumasuk. Di dalamanakistriku setengahmatiketakutan … .”
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat itu. “Kita harus mencari petunjuksiapa orang-orang yang menculikkekasihmu,
Panji.”
“Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir putus asa.
“Apasilang sengketamusebenarnya dengankerajaandanAdipati Lumajang?” “Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada
Larasati daningin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marahatas
kejadian itukarena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku karena ingin berbuatpahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangerandan
Sri Baginda!”
“Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena menyangka kauada di rumahkekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang Pangeran ataupetugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati
Lumajang yang menyuruh merekauntuk turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengankain segala? Berati mereka takut wajah masing-masingdikenal penduduk Telogosari!”
menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada
sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya
lalumemperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalahsebuah ladamkuda.
“Mungkin inibisadijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panjitidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa sampaike sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.
LIMA
Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan
Pendekar 212 Wiro Sablengsudahmemasuki Kadipaten. Panji Argomaniklangsung menujugedung Kadipaten yang terletak didepansebuahalun-alun. Mereka sengaja datangdari bagian belakang gedung agar tidakmelewati lapangan terbuka di mana
mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalumenyusup kehalaman samping yang gelap. Saat itu
didalam gedungada cahayateranglampu tanda penghuninyaada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara
orang bercakap-cakaplalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja menunggu di halamandepan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak meninggalkankadipatendan lenyapditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang
membakar rumahdan menculik Larasati….” Kata Panji Argomanikpada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa mengambilduakuda tunggangandan mengejar rombongan tadi … .”
“Aku setuju. Kita harus bergerakcepat!” kata Panji pula.
Baru sajakedua pendekarini endak meninggalkan halaman samping itutiba- tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat
penjaga ini masukke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul kembali dan mempersilahkan masukempat dari enam orangyang datang. Keempat orang yang masuk ini bukan lainadalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datangtanpa kuda dan pakaian
serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo Sampean yang barusajahendakmasuk ke dalam kamartidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa
mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung sajabertanya seraya menyapu wajah keempat orang itu dengan pandangantajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menujukemari, di tengah jalan kami, kami berpapasandengan serombongan orang. Apaah merekabarusandatang darisini?” yang membuka mulut adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampakmenggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya
menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau menanyaiku!”
“Harapmaafkan saya, Adipati,” jawab Ki Bumi Wirasulo denganwajah merah. “Bukan maksud kami berlakukurang ajar. Tapikamimelihat orang-orang itu
rata-rata berwajah garang dankamitidak mengenali mereka. Kami kawatir … …”
“Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau takenak saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampeandengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulojadi panas hatinya. Dia berpaling padaMangku Sanggreng dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggrengbatuk-batuk dulubeberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil
meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung
nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanankemari kami melihat ada nyala api yang
mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidikkarena bukan mustahil
gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu…..” Mangku Sanggreng kemudian menuturkan apa yang terjadiselanjutnya.
TampangAdipati Lumajang itu tampakkelam membesi begitumendengar seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipatitertegak tak bergerak,hanya sepasang matanya saja yang memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan
kelihatandia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C….c….c…! Bukan main!” kata Dirgo Sampean pula. “Dua orang tokoh silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah
delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu
orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda. Kalian harus tanggung jawabsendiridan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”
Keempat orang itu terdiam.
“Kalau begituperintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan bicaraterlalukeras!” berkatamangku Sanggreng.
“Apamaksudmu?!” tanya Dirgo Sampeandengan matakembalimembeliak.
“Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidaklayak Adipati
mengeluarkan kata-katakasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan saja. Menggebuk merekapunkami tidak mau tahukarena memang bekerja untuk kerajaandan berada di bawah pimpinanAdipati…..!”
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu,
silahkanangkat kaki dari gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu bergegas ke pintu. Pintu depandibukanya lebar-lebar dandia memberi isyarat dengan goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluarkedua tokohsilat Istana itumasihsempat melihat Jalak Toga dan Kunto Areng lontarkan seringaisinis kearah mereka.
Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua perwira tinggi yang tegak tak bergerak denganwajah kuncup.
“Kalian berdua tidak usahtakut. Aku tidak marahpada kalian. Aku hanya melepaskan kebenciankupadadua orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Togamenjadilegadan berdarahkembali wajah masing-masing.
“Mereka sedikit bekerja tapi hidupenak. Mendapat kesenangandari Istana. Kita yang telah mengabdipadakerajaan sekian puluhtahun malahtidak diperhatikan. Kaum penjilatsepertimereka sekali-sekali memang harusdiberipelajaran!”
“Ah, rupanya bukankami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau Adipatimengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam disini. Besok ada tugasuntuk kalian!”
“Terima kasih,Adipatimasihmempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya membungkuk.
“Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitumelihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa inisaat yang baikuntuk menjajal kembalikehebatankeduanya!”
“Baikbagimutidak bagiku sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang pendekar. “Apa yang hendakkaulakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusutdi mana Larasati saat ini berada dansiapa yang telah menculiknya.”
“Ingatladam kuda yang kitatemui itu?ujar Wiro. “Tunggusaja sampaipagi . Kau hanya tinggal menunjukkan padaku dimana orang biasamengupah memperbaiki atau memasang ladam kudanya … ..”
“Cuma adasatudi Kuto Inggil. Bengkel kudaKarjoLugu.” Jawab Panji.
“Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlumenghabiskanwaktu menyelidikke mana-mana.”
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan
penjagaan kelilinglenyap diujung gedung. Lalu cepat-cepat merekamenuju halaman belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malandan udara dingin menjelang pagi itu.
ENAM
Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilikkuda dapat membeli segala
keperluan yang berhubungandengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda,
tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping ituKarjo Lugujuga mengerjakan perbaikan ladamatautapal besi, perbaikan pelana maupun injakankaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugusudah tampaksibuk di
bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh tahun. Walaupun berusialanjut tapiotot-ototbadannya masih tampakkukuh. Seperti
namanya, orang ini memang bersifat lugudan murah senyum.
KarjoLugumenyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia
mengangkat kepalanya dan melihatsiapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu…..”kata Panji, begitu orang biasa memanggil KarjoLugu. “Kau kelihatansepertiterkejut melihatku. Apakahwajahku sudah berubah jadisetan?!”
“Anak muda, apa kautaktahudirimudalambahaya berani datang kesini?”
“Rupanya kausudahmendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung Mbok Sinem,” kata Panji pula dengantersenyum.
“Tentu saja. Berita itutersiar cepat. Kau dikabarkan sudahdiringkus dan dibawake Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisamuncul disini?”
“Kau takusah merisaukan hal itu PakLugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat saja … .”
“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugupada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat pergidarisini. Kalau adamata-mata yang melihat
dan melaporkan kau muncul sertaberbincang-bincang denganku, aku bisacelaka … ..”
“Ada hal pentingyang hendakkamitanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro pula.
“Eng…..” pemilikbengkelkuda itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,” kata Panji. “Semasa hidupnya kaubersahabat baik dengan ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitusaja
persahabatandengan ayahku?”
“Tentu saja bukan begitu. Tapi kauadalah orang buronan. Jika ada yang … . Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara didalam saja.” Orang tua itumenunjuk kearah pintu. Panji dan Wiro segea masukke dalam ruangan di balik pintu itu. KarjoLugu
memandang duluke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila dirasakannya aman maka orang tua ini segera masukke dalam rumahnya. Sampaidi dalam dia bertanyapadakeduapemuda itu.
“Hal penting apa yang hendakkalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab. “Tadi malam rumahLarasati, kekasihsahabatku ini dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemuisudahjadi mayat terbakar hangus … .”
“Ya Tuhan, belum kudengarberita itu…….” seru KarjoLugu.
“Larasati lenyap diculik orang … ..”
“Gusti Allah!” mengucap KarjoLugu.
Wiro meneruskan. “Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini didekatrumah yang terbakar.”
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkan nya pada Karjo “Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan
Yang menjawab kini adalahPanji Argomanik. “Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumahdan menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu mintadipasangkan ladam baru … ..”
Paras Karjo Lugujadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya menunggu.
“Pagi buta tadi….” Kata Karjo Lugu. “Ada orang menggedor bengkelku.
Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang- tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang
dari mereka minta agar akumemasangkan ladambarupada kaki kudanya sebelah kiri
belakang. Aku bilangbesok saja kalaubengkel sudahbuka. Tapi orang-orang itu
mengancam akan menggorokleherkukalau akutidak melakukannya malam itujuga.
Masih dalam keadaan mengantukaku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang
yang punya kudamembayarcukup tinggi. Tapisebelum diapergidiaberpesan … …”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar akutidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,” Wiro bergumam sambil garuk-garukkepala. Kalaubegitu mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengankain….. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkinada benda atautanda-tanda pada ketiga orang itu,ditubuh mereka ataupada kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuksiapa mereka
sebenarnya.”
KarjoLugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek
berwarna putih. “Rasan-rasanya memang ada. Waktu ituakutidak memperhatikan.
Tapisetelah kau mengatakannya akuteringat sesuatu. Salah seorang dariketiga yang
datang itu mengenakan bajuberlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas, dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah mengembangkan sayapnya … ..”
“Itu rajah tandakomplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa
Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menujuke sana sekarang juga! Larasati pastiberadaditangan mereka!”
“Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlaluberbahaya, Panji?”
“Aku sudahsiap mati untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji
Argomanikalian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kautakut kau boleh sajatidakikut dankita berpisah sampaidisini.”
Wiro menyeringai. “Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat
adasaturahasiadi balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalahtiga orang yang tadi malam mendatangi
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masihditutupi secarikkain. Karjo Lugumendadak merasa tidakenak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apalagi yang bisakubantu?’
Lelaki yang lengan sebelahatasnya memiliki rajah turundari kudanya. “Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya. Kebetulan kamilewat lagidisini. Saat inikamihendakmembayarnya.”
“Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal kitabisajadi langganan.” Kata KarjoLugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia
menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggangseperti layaknya orang hendak
mengambil uang. Tetapi ketika tangan itukeluar lagi dari balik pakaian, yang
kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilahpisauberkilat yang panjangmatanya
hampirduajengkal. Sebelum KarjoLugumenyadari apa yang akandilakukan orang itu, tiba-tiba pisausudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi
lehernyacepat dicekikhingga suara teriakannya menjadi tertahandan lenyap.
“Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah memberitahusesuatu tentang kami padakedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!” KarjoLugutidakbisa menjawab karenalehernyamasih dicekik sementara perutnya yang bersimbahdarah terasa sakit bukankepalang. Lelaki
berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugukeatas meja tempat penempaan besi. Orang
tua itumengeluhtingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru putus!
TUJUH
Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menujuke Selatan kaki
Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuromerekamembelokmemasukisebuah dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentangsebuah rimbabelantara sarang segala binatangbuas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat
mendekam dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itukedalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling menjadi raja di raja perampok yang memiliki anakbuah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya diamendirikan sebuahkawasan perumahan didalam hutan itu. walaupun hutantapikeadaannya subursekali. Air bersih mudahdidapat. Begitujuga buah sertabinatang buruan yang bisadisantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya
meninggi. Wiro dan Panjiterus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitusampaidi
puncak kelihatanlah belasan rumahkayu yang dipagardengan tiang-tiang terbuat dari batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Padajarak-jarak tertentudi atas pagar ituterdapatsebuah pondok tempat pengawal melakukantugasnyaberjaga-jaga mengawasidaerahsekitarnya. Begitu Wiro dan Panjimuncul mendekati pagar kayu
satu suitan nyaring terdengardarisebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siapdibidikkan ke arahkeduapemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di cabang-cabang terendahmereka berhenti dandari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritankearah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak- anak panah dan sumpritanitu beracun!” kata Panji. Lalu dia membawa kudanya
mendahului Wiro menuju satu tempatterbukahingga semua orang di atas pagar kayu meupun di atas pohondapat melihatnya denganjelas. Wiro menyusul bergerakke samping Panji.
Panji Argomanikkemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku Panji Argomanik dan seorang sahabatingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas rumah penjagganterdengar jawaban. “Dua cacing tanah seperti kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu diaberseru lagi. “Kami memohon sekalilagi! Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan rimbabelantara ini! Harapkalian berdua segera meninggalkan tempat ini atautubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah beracun!”
“Edan!” Kini Panji yang keluarkan suara makian. “Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berartikitaterpaksa menyusup malam hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluardari sarangnya. Tapi semua itumemakan waktu. Sementara itubanyakhal bisaterjadipada Larasati … …”
“Agaknyakita takada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing.
Sementara itudi atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa, berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam
sorban berwarna merah diatas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang
terjadi?” tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah
manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera menerangkan.
“Ada duapemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok … .”
“Ah, begitulama akujadi pemimpin kalianbarusekaliterjadi hal seperti ini.
Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau gelar?”
“Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji Argomanik!”
“Panji Argomanik…..” mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya
yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggutatauberewok dan
kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan wajahnya yang hitam cukup keren. “Panji Argomanik…. Aku rasa-rasa pernah
mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem….. Jangan-jangan … ..
Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanikitu. apakahdia orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanyasudah pergi Warok.”jawabsi anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang itukembali.”
Anggota penjahat itukeluarkanduakali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi.
Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling meluncurturundariatas pohon. Mereka melompat ke tanah lalumencegat Wiro dan Panjisambil membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinankami meminta kalian kembali!” kata salah seorang di antara mereka.
Wiro dan Panjisaling pandang.
“Ada apa kamidisuruhkembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan berteriakmembenarkan ucapan itu.
“Kalau begitukau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal ditempat! Dia tidakcukup layak menginjakkankakiditempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.
Saat itupintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar menunggu disini,” kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. “Aku tidak akan masukkalau temanku initidak diperbolehkanikut serta!”
Dari atas rumah penjagaanterdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!” berteriakPanji.
Sunyisejenak. Lalu dari atas rumah penjagganterdengar suara orang berteriak, bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendenggaruk-garuk kepalanya. “Tidak! Dia tidak … ..”
Wiro tekap mulut Panji Argomaniklalu dia sendiri berteriak. “Gelarku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ituberseru. “Kau…..! Jadi kau pendekardari Gunung Gede yang terkenal itu?!”
“Aku tidaklebih hebat darikauSinga Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak mendengarriwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa. “Orang selalumenambah bumbudalam setiapcerita … ..” katanya.
Dari atas rumah penjagaantiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua boleh masuk!”
Pintu gerbang terbuka. Kaliini lebih besar. Wiro dan Panji masukke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu masukke dalam dua orang bertubuh besar
menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itudibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itubukan seperti di sarang perampok tapi tidakbeda dengan kampung biasa.
Wiro dan Panjidibawake tingkat rumahkayu besar. Lalu diminta duduk pada
duabuah kursikayu. Di antaradua kursiituterdapatsebuahkursiketiga yang lebih besar dan lebih tinggi. Keduanyadiminta menunggu.
Tak lamakemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban merahnya. Tapidiakinitelah berganti pakaiandengan sebuah jubah terbuatdarikain sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat orang pengawalbertampang bengis dan membawagolok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka sang Warok lantas berkata. “Kalian pergisaja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itukeempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji merasa heran karenatidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat daangdi tempatku yang buruk ini. seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokohsilat yang punya nama besar
menyambangikudisini. Kalian inginkusuguhkanapa?”
“Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji. “Terus terang kami memang haus. Tapi kami takingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok Kelingpada Wiro.
“Aku memang haus sekali. Akutiakmalu-maluminta minum apa saja. Kawankujuga … ..”
Warok Keling tertawa lebar.
“Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terusterang dan polos!” Warok Kelinglalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Iniputeriku,
Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. “Sulit dipercaya. Manusia burukhitam begini
rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang bidadari yang tertangkaphidup-hidup dan tak dapat kembalike dunianya!”
“Anakku. Ita kedatangandua orang tamupenting. Harapsediakantuakmanis dan jangan lupa talas rebus makananutamakita yang paling lezat!”
JayengsaruMengangguk. Dia melirik kearah Pendekar 212 sekilas lalumasuk ke dalam dengan langkah-langkahlincah.
“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangandan minuman, sekarang ceriakan apa hal penting yang hendakkau bicarakandenganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalamikesulitan … ..”
Warok Keling tersenyum “Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh puteraPangeran Sendoyo … .”
“Bagaimanakaubisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dananak buahku memang tinggal jauhdi hutan. Tapi kami punya mata dantelinga di mana-mana…. Nah, sekarangceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Bagindadan Adipati Lumajang,saat ini aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati.
Rumahnyadibakar kemarin malam. Bibinyatewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kaudatang kemari? Eh, tadi kudengar kau meminta aku agar bersedia mengembalikananak gadis itupadamu. Apa kau kira … .”
“Maafkan aku Warok. Akutidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan menculik gadis itumemiliki lengandengan rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lenganbajunya sebelah kirisampaike bahu. Lalu diamemperlihatkan rajah kelelawardi bahunya itu. “Rajahseperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti ini?” Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. “Singa Gurun Bromo … ..”
katanya dengan suara bergetar. “Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan
kulemparke luar pagar tanpakepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau juga!” hardiknya sehingga pendekar 212 tersentakkaget. “Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?”
“KarjoLugu. Pemilikbengkel kudadi Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkananakbuahku untuk menyelidik. Tapiada satu hal yang
perlukuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsarikeluarmembawakanminuman tak dalamtabung bambupendek sertarebusan talas yang diurap dengan kelapaparut.
“Aku tahu kalian pastihausdanjuga lapar … .”
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling segera mengepret tangannya.
“Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makansebelum kalian
mendengarduluketeranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat. “Aku sudah tiga puluhtahun lebih jadi raja diraja penjahat dikawasan Timur ini. Selama
akumalangmelintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-
habisandan kubunuh jika merekamelawan. Tapiada satu hal yang harus kalianingat
baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya
seabrek-abrektapitak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan itumereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagangyang terlalu rakus mencari
keuntunganjuga kujadikan korbandan kuburu di manapun mereka berada. Tapi
dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagibaik-
baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main.
Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil
ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawinsah oleh anak-anak buahku. Dan anak-anakitubukananak-anak haram! Ini memang
perkampungan sarang perampok. Tetapidisinikehidupan lebih baik dari padadi luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culikapalagi tukang perkosa orang-orang
perempuan., jika anak buahkubertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mreeka dilepas
dengan aman. Bahkan diantar pulangsampaike kampung dan rumah mereka! Karena
cara-cara kami itulah makatidakada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami.
Tapi mereka juga sungkanuntuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian lakukan. Kalian orang-orang muda sungguhbisa dibuat contoh. Lalu, pihak
kerajaanpuntidakbisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi sebenarnya kami lebih cocok dikatakansebagai tanganjahil yang merampas sedikit harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro hanyabisagaruk-garukkepala!
“Aku tidakbisa percaya akan penjelasanbahwa ada anak buahku terlibat
penculikan Larasati. Tetapiakuberjanjiakan menyelidik. Jika betulanak buahkudia akan kuhukum berat dan Larasati akankembali padamu denganselamat! Sekarang kalian boleh meneguk minumandan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak
masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambuitutidak
bergeraksedikitpun. Seolah-olah melekat kekayumeja. Semakin dikerahkantenaga
untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambuitu. Wiro dan
Panji segera maklum bahwatuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi mereka hanya mengerahkantenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam
keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi
tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi percikankeringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar. “Hem…. Dua anak muda inimemilikikekuatan tenagadalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam hati. Dia lalukerahkanseluruh tenagadalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambuitu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji
merasakan tangan merekasepertidiseranghawa panas. Tapikeduanyatetap bertahan.
Di samping mereka perlahan-lahantubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas
sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda ini tiba-tiba secara serentaklepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengantiba-tiba dankeras luar biasaterbanting jatuh keataskursi yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi kayu yang kokoh itu patahkeempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh tinggi besar Warok Keling jatuh kelantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok dansiapuntuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan
tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergisaja! Tak ada apa-apa disini. Kami hanyabersendaugurau! Ambillah akukursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera kedalam lalukeluarlagi membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan.
Warok Keling sekakeringat yang membasahimukanya.
“Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa mengirimku keakhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencarisilang sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipitalas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan tangankembali untuk mengambiltabung berisi tuak. Setealh menegukminuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus
yang dihidangkan. Hanyasesaat setelah sepotong besar talas amblas masukke dalam
perut mereka, kedua pemuda itu mendadakmerasakan mulut mereka menjadi gatal. Makin digaruk makingatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk kemlut Wiro. “Mulutmujugabengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan
menggaruk tiada henti. Lalu sama memandangpada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawagelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuatterhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap lagibibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakinkeras. “Dulu, waktuaku dananak buahkupertama kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama
kelamaan kami jadikebalkarena terbiasa! Maaf sajakalausaat inikalian mengalami nasib sama. Itu bukandisengaja. Ha….ha….ha! Kalian berdua jangan marahpada siapapun!”
Panjiberdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
“Warok, kami mintadiri … ..”
“Silahkan. Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian ketahui. Jika suatuwaktukalian ingin bergabung dengan kami, pintuselaluterbuka!”
Kedua pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika menyeringai tampang-tampang mereka menjadi lucudan ini membuat sang Warok
jadi terpingkal-pingkal!
DELAPAN
Keluardari rimbabelantara hujanderasturun memaksa Wiro dan Panji mencari
tempat untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak jauh dari situ. Keduanya segera berteduh didalam gubuk tanpadinding danatapnya penuh lobang itu.
“Sobat, kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau bilang terpaksakabur dari Kuto Inggil enam tahunlalu. Lalu punya silang sengketa
dengankerajaandanAdipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran Sendoyo?”
Panji meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhantirisan air hujan.
Digelengkannya kepalanya. “Tidak, tidak betul. Ada orangyang mengatur fitnah. Menjebakku demikian rupa hingga tuduhanjatuhan padaku. Aku akan ceritakan
padamu awal malapetaka enam tahun yang laluitu … ..”
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belastahun. Kecantikannya yang
memang luar biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang
pangeran bernama Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja
menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk
melamar Larasati agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu
jenggolo. Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentusaja tak berani menolak walaudia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama
mendengar bahwa puteraPangeran Sendoyo itusuka berjudi, penyabung ayam, suka menggangguanak istri orang dan pantat botolalias suka minuman keras. Secara halus dia menyerahkan persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah
menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengantegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan marah. Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati,
bagaimanapun caranya. Untuk itudia meminta bantuanDirgo Sampean, adipati Lumajang yang membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena dijanjikanakandiberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itumerupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di alun-alun ramai dikunjungi orang. Rumah makandan tempat-tempat minum penuh oleh manusia. Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai
kesempatan untuk bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu Panji memerlukandatang ke pasar untuk mencari seorang teman
karibnya. Belum sampai ke pasar di tengah jalandia berpapasandegnanTayub Jenggolodiiringi oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedangmabuk sehabis menenggak banyakminumandi saturumahminum. Tapi yang terparah adalah puteraPangeran Sendoyo itu.
Begitumelihat Panji, TayuJenggoloseperti kemasukan setandan berteriak
marah. Dia mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya
jadi panas mendengar caci maki itu namun karena tahuTayub Jenggolosedang mabuk maka Panjitidakmelayani. Dia terus sajamelangkah menujuke pasar. Tapi
begituberhadap-hadapantiba-tibaTayub Jenggolomencabutsebuahpisaubesar dari pinggangnya.
Panji Argomanik terkejutsekaliketikamelihat pisau yang digenggam Tayub
Jenggoloadalah pisau miliknya yang diketahuinyatelah hilang sejak tiga hari lalu.
“Aneh, bagaimana pisauitubisa berada di tangan puteraPangeran ini?” pikir
Panji. Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah menyerangnya. Dengancepat Panjimengelak.
Tayub membalik, “Bangsat kau Panji! Kau yan hendak merampas Larasati
dari tanganku! Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akankawin dengan cacing-cacing tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmuSinga Gurun
Bromo ituke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itudia sedangmabuk dan
Panjisendirisudahmenguasai ilmusilatdari seorang sakti yang diam disebuah goa
di Gurun Bromo sehinggadiamendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah Panji menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub
Jenggolo yang jugadalam keadaan mabuk berteriak-teriakketakutan. Ketiganyalalu melarikandirientah kemana.
Beberapa lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul dagangannya ke pasar menemukan sosokTayub Jenggolotergeletak di tengah jalan dalam keadaan mandi darah. Muka dan beberapa bagiantubuhnya penuh dengan
luka-luka. Sebuah pisaubesar- pisau milikPanji Argomanik menancap di pertengahan dadanya! Panjisendiri lenyapentahkemana!
Setelah kejadian ituserombongan pasukandarikadipaten mendatangirumah kediaman Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka
menangkap ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumahkayu merekamenyekap orang tua itu, menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidakmuncul menyerahkandiri maka ayahnya akandijadikan tumbalditianggantungan.
Suatu pagi Panji Argomanikakhirnya muncul di kadipaten untuk
menyerahkandiri. Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini
menghembuskan nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar
kematian ayahnya itudisampaikan seorang kawan Panjidi tempat dia disekap. Panji
seperti hendak gila. Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung
dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di
tubuhTayub Jenggoloadalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto Inggil bernama Janar Gandewo memberikesaksian bahwadia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisauke tubuhTayub jenggolo … .
Selama satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang Kuasa. Suatu malam seperti mendapat kekuatangaib, pemuda ini menghancurkan dinding papan tebal dankokoh ruang tahanannya. Dia menghantamroboh dua orang
pengawalditempat itu. Lalu dengan seekor kuda curiandia melarikandiri menujuke Utara.
Larinya Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh Adipati Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka
larinyaSinga Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,
rombongan pengejarberhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik dikurung lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankandiri dan kehormatannya. Tapi musuhterlalubanyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh
tersungkurditanah.
Adipati Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya lalu melompat turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji
Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dantiada.
Sesaat lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda bulat menghantam pertengahanbatang tombak hingga senjata itu patahdua dan
terlepas mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. SangAdipati merasakan
tangannya sepertidisengatapi. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama jugadilakukan oleh para perajurit yang adaditempat itu. Mereka semua melihatada seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kudahitam. Tapi merekahanya melihatsekejapan saja. Karena ketika orang tua itumemukulkan kedua tangannya ke depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun
beterbangan menutupipemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang adadi sana berusaha bertahandengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan merekatertutupolehpasir-pasir yang beterbangan.
Ketika gelombangangin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah kembali semua orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas
pasir takada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkankakek penunggang kudahitampunsudahlenyapentahkemana!
Para perajurit yang adaditempat itujadimerinding. Adipati Dirgo Sampean diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengaradanya setan atau hantu gurun pasir. Tetapikalau bukan setan mana mungkin orang tua itubisamuncul
dan lenyapbersamahilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembalike Lumajang!” seru Adipati itupada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa herandan bertanya-tanya dimanadia berada saat itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulihkembali dia segera mengenali tempat itudaningatkalaudulu diapernah berada disituselama beberapa tahun. Dengan mengumpulkantenagawalausekujur tubuh dan persendiannyaterasa sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendiriandalam goa itu.
“Guru….?!” Suara Panji bergemadan memantul padadinding-dinding goa.
Di ruang sebelahdalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuhtuamuncul.
“Kau sudahsiuman Panji….?”
“Sudah guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari orang-orang itu….. Sayaberterimakasihpadamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masihmemanjangkanumurmu,” kata orang tua sambil memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka mengejardaningin membunuhmu?”
Panjilalumenceritakan apa yang terjadi.
Si orang tua menarik nafas panjang. “Ada orang atau orang-orang yang
sengaja menjebakmu muridku. Dan kaubelum sanggup menghadapi mereka. Jika kau berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si orang tua tersenyum kecut. “Itu sebabnya dulukukatakan padamu, kalau berguru jangan kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaia kuwariskan
padamukau sudahsepertianakkecil minta-mintadiizinkan pulang. Tenagadalammu masihrendah. Ilmu meringankan tubuhmumasih cetek. Kau memang telah
menyandang julukan hebat. Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar muridku!”
“Maafkan segala tindakan saya di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau guru tidakkeberatan saya ingin menyambung pelajaran lagidisini … .”
“Pengalaman pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau memang berjodohuntuk meneruskan pelajaran silatmudisini. Kau akan kugembleng selama enam tahun. Jika kauberanimintapergi hanya adasatusyarat dariku. Aku tak akan mengajarkan apa-apa lagipadamu. Dan akutidakingin melihat mukamulagi!”
“Sayaberanimematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau begitukauteruskanduluberistirahat. Besokpagi-pagi pelajaran pertama akandimulai.”
“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu laludiciumnya penuhhormat danterima kasih.
Hujanderastelah berhenti. Kini udaradingin luarbiasadatang menyungkup. Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya didepandada.
“Nah, itukisahku enam tahunlalu,” kata Panjimenyudahiriwayatnya. “Kini aku muncul untuk meluruskan segalatuduhankeji itu. Aku harus mencaritahusiapa biang racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadapPangeran Sendoyo. Kematian ayahkuperlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan tentang ibumusetelah ayahmu meninggal.” Kata Wiro.
“Ah, itusatusisi gelaplagidarikehidupanku yang malang. Waktuakumasih
mengikuti guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku. Singa Gurun Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahunlalu, dia menyuruhaku memakai gelaritu.”
Sunyisesaat didalam gubukitu. “Kita harusberangkat sekarang Wiro.” “Ya. Tapikemanatujuan kita?”
“Aku akan mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi kesaksian palsuitu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itulalunaikkeatas kudamasing- masing.
SEMBILAN
Hari hampir malam ketika mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah melewati sebuahlereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya
menemuisebuahkalikecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit keringakibat musim
panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampakberairkembali walaupun sangat dangkal dan kotor.
Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depandiikuti oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhankelihatan nyalasebuah lampuminyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk kearahlampu. Lalu dia mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari
rumahkecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi isyarat
pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah lagidarirumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu….. Dari tadi aku berusaha menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-adasajakelakuanmu!” maki Panjijengkelsekali. Dia tidaklagi memperdulikan Wiro dan bergeraksendirian dalam rumah kecil yang lantainya berkolong rendah.
“Ada nyala lampu berrarti ada orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia
melangkah ke pintu depan lalu berseru. “Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas keluar!”
Tak ada jawabandaridlam rumahitu.
“Janar!”
“Si…..siapadi luar?!” Tiba-tibaada yang bertayadaridalam rumah. “Aku Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggusebentar …”
“Suaranya seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata Panjidalam hati. Dia menunggusesaat. Tiba-tibanyala lampu dalam rumah padam.
Panji jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama. Pintu belakang rumahkecil kelihatanterbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi
langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinaphendakmelarikan diri. Panji segera mengejardan menghadang. Sekali sergap sajadiaberhasilmembengbengleher pakaian orang itu.
“Mau kaburke mana Janar?!”
“Si….siapa bilangaku mau kabur…..?” Janar Gandewo sipedagang keliling menjawab tapijelas diaberdustadan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga
punggungnya terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang punggungnya seperti luluh. “Kenapakaumemperlakukanakuseperti ini…..?”
“Ini belum seberapa!” kertakPanji. “Aku tak segan-segan menghancurkan batokkepalamu!”
“A…..apa salahku?!”
“Keparat! Kau pandai berpura-pura!” Tangna kiri Panji bergerak meninju muka Janar Gandewo hingga bibirnyapecahdandua giginya rontok! Janar meraung kesakitan. “Kau mau minta mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalukedua
tangannya dicekikkan keleher orang itu.
“Jang….jangan….. Jangan bunuhaku. Apa salahku … ..”
“Siapa yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahunlalu. Kau bersaksi melihat aku membunuhTayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku … ..”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panjiangkat lagitangankanannya.
“Aku…. Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akandipotong! Aku akandikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriakPanji. “Walang Daksi … ..”
“Walang Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batanglehermu saat ini juga!”
“Aku tidak dusta! Aku tidakberbohong Panji. AkutahuWalang Daksi juga disuruh orang lain … .”
“Siapa?!”
“Su…..Sur … …”
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tibaterdengar suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di mata kiri Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur. Mukanyakelihatan menjadi biru.
“Panah beracun!” desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar terkulailalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panjitidakmenyadaribahwasaatitusebuah anak panah lagimelesat dan kali ini sasarannya adalah dirinyasendiri. Dia mendengar suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia bertindak lengah. Sesaatlagianak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba
sebuah benda hitammelesatdalam kegelapan malam, memotong luncurananak panah dan trak! Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulahdia baru sadar
kalau dirinya barusajaterlepas dari bahayamaut!
Sesosok tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini berkelebat dansiapuntuk menghantam. Tapidiacepat tarik serangannya ketika dilihatnya yang datangadalah Wiro.
“Ada untungnya akukencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin
kitaberdua sudahjadi mayat. Yang dituju sipembokong adalahkau, bukan kunyuk jangkung itu!” Lalu Wiro membungkuk mengambilsebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahananak panah yang tadi dihantamnya dengan batu hitamitu.
“Aku mengenali matapanah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panjimemperhatikananak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan anak panah milik orang-orangnya Warok Keling….” Katanya. “Berarti bangsat itu
memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalamamarahnya Panjikemudian ingat.
“Terima kasih. Kau telah menyelamatkanjiwaku.” Dia memandang ke arah
mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itutadimenyebutkan nama seseorang. Orang yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sursiapa. Dia
jugamenyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun itusekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki kuda dikejauhan itu?”
“Ya … ..”
“Apamaksudmu Wiro?”
“Itu derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya kesempatan untuk mengejarnya! Kau harusmemilihsatudi antara dua. Mengejar si
pembokongataupergike Lembah Waru.”
“Si pembokong itulebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!” sahut Wiro seraya acungkanibu jari tangankanannya. Kedua pendekar ini segera berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda sebelumnya.
Di malam yang gelapdandingin itu memangtidak mudahuntuk mengejar seseorang yang melarikandiri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjukke arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapicelakanyadi satu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar 212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. “Aku mendengar suara kaki-kaki kudadi air … .”
“Kau ingatkalikecil itu?!” ujar Panji.
“Dia pasti tengahmenyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya lenyap. Ayokitakejar!”
Kedua pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama kemudian mereka sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana keliahtankali kecil berair dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda barusaja menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!” kertak Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri. Kau memotong dariarah kanan. Dia pastitidakbisalolos. Apalagidiseberang sana
merupakankawasanterbuka!”
Panji membedal kudanya. Wiro menyentakkantali kekang tunggangannya. Kedua orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di pertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari
belakang.
Orang yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya ditutupisebuah topi berbentukanehdanwajahnya tersembunyi di balik sehelaicadar. Tahu kalauadadua orang mengejarnyasi penunggang kudatadi segera membelokke
kiri dan memacu kudanyasepanjanglereng pedataran. Namun diatidakbisa lari jauh karenadalamwaktusingkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudahtidaktahan lagilepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarahadalah pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran sebilahmatapedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo. Jangankan tubuh manusia,batang pohon pun akanterbabat putusbilakenahantaman pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari balikcadarnya dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewatdibawah kedua kakinya. Hebatnya, karena
kedua tangannyamasih memegang talikekang kuda, ketikamelompat turun kembali
dia membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas pelanakudadan menghambur menjauhikedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidahmengagumikehebatan orang itu. Sebaliknya Panji Argomanikwalaupunterkesiaptapikemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
memanah mati Janar Gandewo lalu hendakmembunuh dirinya pula. Tetapi amarah lebih mempengaruhihinggaPanji ingin membunuh orang inisaat itujuga!
Begitu serangan pertamanyagagal Singa Gurun Bromo menggebrakkudanya dan mengejarkembali. Tapisekali inigerakannyatertahankarena sambil melarikan diri orang yang dikejar lambaikan tangankanannya. Puluhan benda sebessar-besar
pasir beterbangandiudaramengeluarkan kilauan aneh.
“Awas pasir beracun!” teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya benda-benda yang melesat kearah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertakmarah. Tangankanannyadiangkat.
“Wusss!” Satu gelombangsinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir
beracuntersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa kearah orang bercadar. Orang inicepatangkat tangankanannya guna melepaskan pukulan tangan kosong. Dua kekuatandahsyat saling bentrokandiudara. Terdengar suara berdentum
disusul oleh suara ringkikantiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai sedang kuda tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212 yang berada takjauh dari Panji dansempat tersapu angin serangan juga merasakan getaran hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan
meringkik beberapa kali.
Yang bernasibburuk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke
samping lalujatuh ke tanah. Kudanya meringkikkeras dan lari meninggalkannya.
Puluhan langkah didepan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya
jatuh ke tanah, Singa Gurun Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan kirimkan tendangan kearah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangankanannya
ke pinggang.
“Wuut!”
Lalu sebilah golok menyambartak terduga. Ujungnya menderudi perutSinga Gurun Bromo membuat pendekar ini terkejut dancepat melompat. Tak urung
sebagianbajunya di sebelah perutmasih kenatersambar ujung senjata lawan hingga robek.
Singa Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya berubah mengelam tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya orang bercadartegak sambil putar-putargoloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu lenyapdari pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demiselangkah, sambilterus memutargoloknya orang ini mendekati Singa
Gurun Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu bacokanderas. Singa Gurun Bromo mundursatu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itukedua tangannya menyusup ke atas. Begitudia berhasil
mencekal lengan yang memegang golok itusecepat kilatdiajatuhkandirinya ke tanah. Kaki kanannya menendang kearah perut lawan. Orang bercadarterangkat ke atas lalu tertarik keras. Goloknya terlepas dantubuhnya terbanting ke tanah. Dari balikcadar
terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
SEPULUH
Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentusajatersentakkaget begitumendengar
suara jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun
Bromo sudah berdiridi samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya menginjak leher laludia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi wajah orang itu.
“Kau!” keluar teriakankaget dari mulut Panji Argomanikalias Singa Gurun Bromo. Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya
pada penglihatannya. Akhirnya dia hanyabisagaruk-garukkepala.
“Jadi kau rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga
penjahat keji! Mengapa kauhendak membunuhku?! Mengapa kau membunuh Janar Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang! Belum tahu urusan sudahmendamprat! Jika kau ada
persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di
tanah dan lehernya masihdiinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lainadalah Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
“Baik! Sekarang jawabdulu pertanyaankutadi. Kalau kautidak menjawab kuinjakhancurbatanglehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa yanghendakmembunuhmu? Siapa itu Janar Gandewo?” balik
membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak takut mati! Kau mau bunuhakusaat ini juga silahkan!Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicikakalbapak moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi
sampai seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo bukan seorang pendekar banci yang hanyaberanimelawan perempuan!”
Amarah Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata
Jayengsari itu. “Manusia sepertimutidak perlu dihormati! Matipunkau aku tak merugi! Nah, mampuslah!”
Singa Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis. Namun sebelum hal ituterjadi, muridEyang Sinto Gendengcepat mendorongnya
hinggainjakkannyalepas dantubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro! Kau hendak membelanya?! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!” teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji,sabardulusedikit,” kata Wiro. “Apa untungkumembela gadis cantik ini…..!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini dengan kata-kata gadis cantik!” semakinnaik darahSinga Gurun Bromo mendengar pujian Wiro itu.
“Aku tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia cantikkan?” Wiro berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata. “Jayeng, berdirilah … .”
Puteri Warok Keling itu tampakmerengut walauhatinya sempat berbunga- bungamendengar pujian Wiro atas kecantikanwajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya PanjiArgomanik dengan suara bergetar menahan amarah.
“DengarPanji, aku punya dugaan bukandia yang membunuh janar Gandewo dan juga bukandia yang tadi hendakmembunuhmudengan panah beracun itu!”
“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihatsendiri. Dia tidakmembawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di
tengah jalan!”
Jayengsari terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakanbagaimanakautahu-tahu muncul di tempat ini! Apa keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikandiriketika
kamikejardan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh Janar Gandewojelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal panah memanahakutidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau
membicarakannya! Aku tidak tahu kalaukalian tadi yang mengejarku! Aku menyerangmu karenamenyangka kalian orang-orang jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahatenak saja mengatakan kita orang- orang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelapdan kalian tahu-tahu muncul di belakangku!”
“Kalau kautidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmudengan cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem…… Kau ingintahusebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa
kau merasa tenang mengetahui diaberjalan seorang diridalampakaiandandandanan perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,” Wiro menengahi. “Coba katakan saja mengapa kau ada di sini. Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkinkautausiapa
pelakunya?”
“Aku, aku ditugaskanayahke Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya bukanditugaskan. Tapiaku sendiri yang minta … ..”
“Apa keperluanmuke Kuto Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi
tidaksabarandan merasa sangat jengkel terhadapsahabatnya itu.
“Aku sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan ayah.” Jawab Jayengsari. “Jejak kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di
tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di situketika seorang penunggang
kuda berusaha melarikandiri. Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu dan juga hendakmembunuhmu … .”
“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau kauberpendapat begituboleh saja! Penjelasanku cukup sampaidisini. Kau pendekar gagah bergelar hebat. Silahkankauselesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan memegang lengannya.
“Jangan pergidulu. Kau jangan marahpadaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marahpadamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu ditolong orang malahmemaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!” jawab
Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari
tangangadis itu. Jayengsaricepat menariknyasambilberseru. “Ihhhh!” Murid Eyang
Sinto Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan senang dipegang dandicium.
“Kau sama sajakurang ajarnya dengandia. Malah lebih kurang ajar!” bentak Jayengsari.
Wiro menyengirlagi. “Aku hanyabergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panjiatau untukku sendiri?
Ah, kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmumemanggilku mungkin untuk membicarakan soal perjodohankita!”
Jayengsari terpekikmarah sedangPanji Argomanik segera membentak. “Wiro! Tidak pantas dalam keadaanseperti inikaumasih bisamembanyol!”
Wiro senyum-senyum. “Banyolankutadi memang tidak lucu,” katanya. Dia berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan
keterangannya. “Aku berusaha mengejar orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapidia keburu melarikandiri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah keletihantidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang. Justru
begitudia lenyapkalian berduamuncul mengejarku!”
“Sayang bangsat itu lolos. Tapi mungkinkaudapat mengenali sosokatau perawakannyameskipungelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku hampiryakindia adalah Daruka … ..”
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan penculikanatasdiri Larasati. Tapinyatanyananti ceritanyajadilain … ..”
“Hemmmm…. Kalau begini jelas ada seseorang di belakangDaruka.” Kata Wiro.
“Menurut Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruholehWalang Daksi.
Walang Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan ingin membunuhkujuga? Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi
seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panjimemandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokohsilat
Istana dandua perwirakerajaan itu. berartiada orang lain Panji. Aku mulaimencium
baunya. Nanti sajakukatakan. Mungkin kauakantahu dengan sendirinya. Sekarang
kita harus mencari tahudi mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang
pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masihjengkel. Maka Wiro mengalihkan pembicaraan. “Kau masihmeneruskan keteranganmu yang terputus
tadi?”
“Tak lama setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan kepala-kepalakelompok untuk menyelidiki siapadi antara para anggota yang berada di luar perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah sejak beberapawaktulalu tidakada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar tanpa setahu ayahataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun.
Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di
Kuto Inggilitu. Ayah mengirim dua orang anak buahnyauntuk menyelidiklebih jelas. Seorang lain ditugaskanayahuntuk menemui kalian. Tapiakumeminta agar aku yang pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman dna KarjoLugu. Celakanya Daruka sempat melarikandiri. Namun satu pengakuan penting sudahdiucapkannya. Yaitu bahwa bukandia yang menculik Larasati. Gadis
itutelah diculiklebih dulu oleh seseorang … ..”
“Siapa?!” tanya Panjicepat.
“Tunggu dulu!” ujar Jayengsari. “Apa hubunganmudengan seorang dukun perempuan bernamaWalang Daksi?”
“Eh, mengapa kaubertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun ituditemui mati dirumahnya. Ada yang menggantungnya!”
Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garukkepala. “Berarti kitatidakbisa mencaritahusiapa orang yang disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahusepotong nama depannya.
Sur….. Bisa Surga,bisa Susur….. bisa … ..”
“Sudah! Kau janganngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkinakutahu kelengkapan sepotong nama yang barusankau sebut itu. tasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan … .”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning…..” jawab Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan nadaterkejut dan wajah berubah. “Hanya ada satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?! Apa katamu?! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk.
“Tidak masukakal. Bagaimana mungkin!” kata Panjimasih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan! Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar
Wiro pula. “Kalau aku menculikmuatau kau menculikaku, nah itumasihmasuk akal … ..”
“Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!” damprat Jayengsari denan mata melototsedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu berbisik. “Aku punya dugaangadis ini sengaja menipukita. Dia punya maksudburuk terhadap kita…… Larasatitidak punya silang sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga tidakjelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama Walang Daksi itu.”
Panjimemandang Jayengsari. Lalu diabertanya. “Bagaimanakautahukalau puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu,akumalah juga tahu di mana kekasihmusekarangdisekap!”
“Kalau begitu lekaskauberitahu padaku tempatnya!”
Kembali Jayengsari menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya dia masihdendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu
gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembalimembujuknya.
“Sobatku cantik. Jika kau mau menolong orang jangankepalang tanggung.
Ayo kita pergi sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi
petunjuk biarkubawa kudamukemari.” Sebelum gadis itubisamenolak Wiro sudah larike tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang inipada pemiliknyadan mengulurkantalikekang padasi gadis. Dia memandang pada
Jayengsari sambiltersenyum. Mau tak mau hatisi gadis jadi luluhdan lembut jgua. Sebenarnya dia memang tertarik padamuridEyang Sinto Gendeng ini sejak pertama
kali melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu
disadarinya kalauseluruh pakaiannya basah dankotoroleh tanah becekakibat jatuh tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkangadis itu. Maka diacepat berkata.
“Gadis secantikmu tentusajatidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku adasalinandikantong perbekalan. Kau bisagantipakaian saat ini juga … ..”
“Tak perlu,” jawab Jayengsari cept. “Aku tidak percaya pada manusia macammu … .”
“Eh,maksudmu apa?” tanya Wiro.
“Waktu akuganti pakaian kau pastimengintip!”
Pendekar 212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak maujuga jadi
tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu
berkata sambil cemberut. “Ih….. Ikut-ikutan tertawa…..!” ucapan Jayengsari membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
SEBELAS
Walaupun malam gelap namun dari bibir lembah podnokkayu itu masih dapat
terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalumenunjuk kearah pondok. “Itu tempatnya.” Katanyadengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau tidakmelihatsendiri!” berucap Singa Gurun Bromo. Lalu disentakkannyatalikekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni lembah. Dalam waktusingkat ketiga orang itu sudah berada di depan pondokkayu. Singa Gurun Bromo di depansekali dan lebih dulu melompat dari
kudanya.
Di dalam pondokyang hanyamerupakan satu ruanganterbukadanditerangi oleh sebuah lampu minyak berkelapkelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikatdi atas sebuah kursikayu. Dia mengenakan baju dancelana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak penuh robek sampaisebataslutut. Dari robekan itukelihatan sepasang kakinya yang penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis initerduduk dengan mukapucat danada
air mata jatuhdi atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadislain berpakaian serba merah yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya dengan sehelaikain tipis hingga parasnya hanyakelihatan samar-samar.
“Jadi namamu Larasati huh?!” Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada ketus. Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar suara keras menggidikkan ketika cambukitu menghantam kedua kaki
gadis yang duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka barukelihatan mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. “Sakit? Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?! Gadis cengeng! Sakit yang kau
rasakantidakada artinyadibandin dengan sakithati yang kualamiselama ini!”
“Persetan dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan akuseperti ini?! Kau manusia biadab!” teriakgadis dikursi.
“Diam!” Lalucambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali menjerit. Kedua kakinyalukalagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup!
Jangan harapkaubakal mendapatkan pemuda itu! Jika akutidakbisa mendapatkan Panji Argomanik, kau jugatidak bakalbisamemiliki pemuda bergelarSinga Gurun
Bromo itu!”
“Siapakausebenarnya? Mengapakaumenutupiwajahmudengancadar?! Kau perempuan iblis….!”
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusiaiblis. Bahkan biasa lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah
wajahmu kurusakaku mau lihat apakahkekasihmu itumasih mencintaimu!
Hik…hik…hik….!”
“Manusia celaka!Apa yang hendakkaulakukan?!”
“Sabar, jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalugadis
yang kepalanya ditutupkain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya
kemudianterdengar suara teriakankeras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan kanannya menghantam kearahwajah gadis diataskursi.
Larasati menjerit.
Saat itu pula pintu pondokhancur berantakanditerjang orang dari luar. Seseorang bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia
mengulurkan tangan, dia berhasil menangkapujung cambuk yang hendak menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan
cambuk agar terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang
pendekar begitukuat hingga sekalipun dia mengerahkantenaga sekuatnya, cambuk itutakbisalepas. Sebaliknya dengansekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik
cambuk hinggasigadisterbetotke depan. Agar dirinyatidak tertarik lebih jauh gadis ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke dinding pondok, menajuhiSinga Gurun Bromo.
“Siapa kau?!” bentakSinga Gurun Bromo dengna mata membelalang. “Mengapa kau menculik Larasati?!”
Gadis bercadartertawa tinggi.
“Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”
“Diam! Jawab pertanyaanku!” hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada Larasati. Cambuk yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera
menghampiriLarasati, memeluk gadis itusesaat.
Selagi Panji Argomanikmembuka ikatan Larasati, kesempatan ini
dipergunakanoleh gadis bercadaruntuk melarikandiri. Dia melompat ke pintu. Tapi
dipintusaatitusudahmenghadang Pendekar 212. Di belakangnyaberdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergike mana?” tegur Wiro. Tangankanannya diulurkan untuk menarik pinggang si gadis. Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilahkeris
dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan yang tidakmengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekalitidakmemiliki
kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriakberusahamelepaskandiri.
“Wiro, lepaskandia!” kata Panji Argomanik. “Aku akan menanyainya. Jika diatidakmau membukamulutakan kupatahkan batanglehernya!” Lalu pemuda itu
melangkah ke hadapansi gadis bercadar yang saat itubersurut danbaruberhenti begitu punggungnya tertahandinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu!Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka cadarmu!”
Gadis bercadarhanya menjawabdengan suara mendengus.
Panji Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi dicampakkannya.
“Tadi kau hendak merusakmuka kekasihku! Sekarang biar wajahmudulu yang akan kurusak!”
Anehnyasi gadis bercadar malah keluarkan suara tertawanyaring dan panjang.
“Kua hendak merusakmukaku?!” katanya menantang dansambil maju
selangkah. “Lakukanlah!” tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi kepalanya.
Larasati yang berada di sudut pondokterpekik ngeri. Jayengsari keluarkan seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampakmengernyit bergidik. Sedang Wiro sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kudukterasa dingin.
Wajah yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas
mengerikan. Wajahitubukanwajah seorang gadistapimerupakanwajah yang sangat seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang sebelah bawah menggelantung hampircopot!
“Mahluk bermuka setan! Siapakau?!” teriakPanji Argomanik sambil mundur satu langkah.
Orang itu keluarkan suara tertawa panjang. “Tentu saja kautidak mengenali diriku Panji. Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan
ibukupun benci padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dananak tunggal Adipati Dirgo Sampeandari Lumajang!”
Semua orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga diselimuti rasa ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan sedikitpun.
“Kalian ngeri? Takut ataujijikmelihatku?!” Suryaning membuka mulut dan
majubeberapa langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya
Larasati dan Panjiserta Wiro dan Jayengsari justrubergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri Adipati iu tertawa panjang. “Kalian, seperti juga semua orang tidak pernah
menyangka wajah seorang puteri Adipati sepertiwajahku yang kalian lihat saat ini!
Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahunayahmembawakuke Hutan Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para pengawal berlakulengah.
Tiba-tibaada seekor harimau menyerbukemah padasaataku terbaring tidurkeletihan. Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi rusak begini. Semua orang mengiraakukaan mati. Bahkan ayah danibukuberharap
akumati saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka menyembunyikandiriku. Mereka mengurungku di sebuahkamar. Hanya karena
kabaikan para pengawal yang merasa ibaterhadapku aku bisa menyelinapkeluarpada
malam hari. Setiap kesempatanada kupergunakan untuk mendekati rumah
kediamanmuPanji. Ketika kau menjadi buronandan menghilang selama enam tahun, akuseperti mau mati rasanya … ..”
Semua orang yang ada di tempat itujadi terdiam mendengar penuturan Suryaning itu.
“Dengar…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemetar. “Siapapunkau adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak merusakwajahnya? Karena kau iri? Karena parasnya cantik danwajahmuseburuk setan?!”
Dari mulut Suryaning keluar suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kauadalah milikkusendiri! Aku tidakingindia merampasmu dari tanganku!”
“Apamaksudmu…..?” tanya Panji heran.
“Aku sudah lama mencintaimu Panji….. Tapi kau tak pernah membalasnya. Tidak secara nyata, jugatidak dalammimpi!”
Panji berpaling padaLarasati, lalumenoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis ini pastitidak waras!Bertemupunsebelumnya akutidak pernah … ..”
“Memang Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah
melihatku. Tapi akusering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu. Tapi akutahudiri. Keadaanku yang begini tidakmemungkinkanakubisa
memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku bersumpah. Kalau akutidak bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh
memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat kearah Larasti yang membuat Larasati sepertiterbang nyawanya.
“Jadi karena itukau menculiknya laluhendakmerusak tubuh danwajahnya!” kata Panji pula.
“Betul! Memang itu yang hendak kulakukan!” jawabSsuryaning. “Tapi ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itujadi milikmu, tapi juga tidakingin
melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang adadisitu. Semua mata ditujukan pada Larasati. Gadis inisesaat menutupi wajahnya laluterdengar suaranya di antara isakan. “Adipati Lumajang memang pernah melamarkupada Bibi Kanoman. Waktu ituaku baru
berusia empat belastahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itutelh berakhir sampaidisitusaja … … .”
“Bagimudanbagibibimu mungkin begitu. Tapibagiayahkutidak. Dia sudah tergila-gila padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan
ditempuhnya untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahunkemudian
meminta ayahku untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama
Tayub Jenggolo,ayahkumelihatada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku
memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan ituditolak karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di
Kuto Inggil dikenal dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayahlalu membujuk
Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika
Panji mati, diabisamengulang maksudnyauntuk mengawinimu…..” Sampaidisitu Suryaning menatapke arah Larasati. Yang ditataphanyabisatundukkan kepala.
“Apa yang kemudiandilakukanAdipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam
keadaan mabuk agar memancing keributandengan Panji. Ayah sengaja membayar
tiga orang pemuda kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di
satu tempat. Begitumereka berkelahi ketiga pemuda itumelarikandiri. Lalu sewaktu
tayub tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk puteraPangeran itusampai mati. Mayatnya ditinggalkanditengah jalan … .”
Pelipis Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung. “Tayub ditemukandengan pisaumilikku menancap ditubuhnya. Kau tahu bagaimana pisauituberadaditanganTayub yang kemudiandijadikan senjatapembunuhnya dan
dijadikan buktibahwa akulah yang telah menghabisi puteraPangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata. “Itujugasebagiandarisiasat ayahku agar kau bisaditangkap dandigantung. Pisau itu disuruhnya curiketikakautidak adadirumah!”
“Manusia keji!” rutuk Panji sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan pencurian itu? Kau tahu judasiapa yang sebenarnya membunuhTayub Jenggolo?”
“Orangnya sama … ..”
“Aku sudahdapat memastikansiapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti Daruka!”
Suryaning menoleh pada puteri Warok Kelin itulalumenganggukkan kepalanya.
“Kau tahusiapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?” tanya Larasati.
“Daruka juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka
kemudian membawa beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah
untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukandirimu, merekamembakar ruamhmudan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka juga … .”
Belum sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok terdengar suara orang membentak.
“Anak tak tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di atas atapadanyalaterang.
“Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat menghalangi.
“Jangan lari lewatpintudepan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat kebagian belakang pondok. Dengan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok
hingga hancur berantakan. Lewat dinding yang porakporanda itu semua orang lalu menghamburkeluar pondok.
Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika seandainya merekakeluar lewat satu-satunya pintumaka tubuh mereka akan disambut oleh panah-panah beracun yang sudahdisiapkan oleh Daruka dan delapan orang kawan-kawannya!
DUA BELAS
Kelima orang itubersembunyi di balik semakbelukarlebat. Dalam waktusingkat
sebagian dari pondokkayu sudahmusnah dimakan api. Beberapa orang penunggang kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendirikelihatandisebereang sana bersama
Adipati Dirgodan beberapa orang anak buahnya sertasekelompok perajurit kadipaten.
Dalam gelap merekajugamelihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro segera mengenali keduanya dan berbisik pada Panji. “Kunto Areng dan Jalak Toga adadi antaamereka.”
Seorang anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak kelihatan satu orangpun.
“Mereka pastibersembunyi di sekitarsini. Mereka tidakbisa lari. Kuda-kuda mereka sudahkita preteli…..” Yang bicara adalahAdipati Dirgo Sampean. “Pimpin anak buahmu melakukan pencarian! Ingat takada satu orangpun yang boleh lolos. Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang tua bangsat!” terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
“Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapunkesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Janganjadi anak durhaka. Ayahmuserahkan pada kami … .”
Suryaning jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar tampakmelelehkan air mata.
Saat itu Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka, memandang kian kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu
memaksa Wiro dan empat orang lainnya itumenajuhdan mencari tempatterlindung yang lebih gelap.
“Itu pasti Daruka…..” desis Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek jantungnyasaat ini juga!”
“Tidakbisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukumandariayah. Saat ini aku yang mewakiliayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu sama- sama berdirilalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah sigadis tampakmerengut. Lalu sekali tubuhnyaberkelebat diasudahmenghambur dari balik semakbelukar.
Daruka terkejut ketikamelihatada seseorang tiba-tibaberkelebat dari tempat gelapdan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengenalibahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lainadalah Jayengsari puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat ituSinga Gurun Bromo sudahmelompat pulake depan Daruka. Melihat munculnya sang pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya. Dia berteriak “Adipati! Mereka di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia
memerintahkan “Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan urusan lebih duludengangadis ini!”
Tiga orang lelaki berbadantegap dengan bersenjatakangolok segear
menggerakkan kuda masing-masing menyerbuSinga Gurun Bromo. Tiga golok menderudalam gelapnya malam.
Singa Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal diam. Jotosannya menghantam kepalakuda di sebelah kanan. Binatang inimeringkik kesakitandan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ke tanah.
Serangan golok yang datangdari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitugolok mendesingdi atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua
tangannya menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke depan. Saat itujuga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang dipegangnya menghujammenembus perutnya sendiri!
“Jayengsari….. Bagaimanakaubisaberadadisini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya! Kau tahukau sudahmembuat banyakkesalahan. Warok Keling menugaskanku untuk membawakepalamuke hadapannya!”
“Kau anak yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasihatau istri yang baik!”
“Bangsat!Apamaksudmulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana kalausaat ini kau bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kauikut aku. Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”
Paras Jayengsari kelihatan merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku bersedia bergabung! Tapiterima duluini!”
Sebagaianak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan berbagai ilmu langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka,
kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan
satu jotosankeras ke pinggangnya Daruka cepat mengelakselamatkandiri. Walaupun saat itudia memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari
membuat Daruka tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut
nyawanya.
Sambil membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki
Daruka laluditariknya kuat-kuat ke bawahhingga Daruka yang bertubuh tinggi besar itujatuh dari punggung kudanya. Belum lagi diasampaiditanah jotosan tangan kiri Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah. Selagidiategak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiriSinga Gurun Bromo yang barusaja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkantinju menghantambatokkepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutiklagi.
Beberapa orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali adalahAdipati Lumajang Dirgo Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda, tiga diantaranya adalahanakbuahDaruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam
orang ini merentang busur menarik panah beracun yang ditujukantepat-tepat pada Jayengsaridan Singa Gurun Bromo.
“Jika kalianingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu beracun!”
“Adipatikeparat! Kau kira akutakut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu
tersenyum lebar. “Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan manusia buronan ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan
pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala rampok!” Adipatiberpaling ke belakang. “Bunuh pemuda inisekarang juga! Gadis ini tangkaphidup-hidup!”
Tiga orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik
anak-anak panah lebih ke belakang dansiapmelepaskan kearah Singa Gurun Bromo.
Pada saat itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi kelihatansinarterang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro danterheran-heran ketikamelihat tangankanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendakkaulakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagaijawaban Pendekar 212 WiroSablenghantamkan tangnakanannya ke arah tiga orang anak buah Daruka yang siapmelepaskan panah-panah beracun. Saat itujuga terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan. Hawa panas menghampardi tempat itu. kuda-kuda yang adadi tempat itumeringkik keras. Adipati Dirgo Sampean berteriakkeras lalu melompat turundari aas kudanya.
Sinar panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang di
belakangnya. Ketiganya mencelat keudara sampaiduatombak. Begitujatuh ke tanah mereka sudah tak bernafaslagi. Mati dengantubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah
beracundan tadinya bersiap-siapuntuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda masing-masing begitupukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka
bergulingandi tanah. Panah dan busur lepas entahkemana. Ketiganya menyangka sudahselamat tapi selagi mencoba bangkit tendangandemi tendangan menghantam
kepala, dadadan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malangmelintang. Yang
kena tendang kepalanya menemui ajal saat itujuga. Yang kena hantaman di bagian dadamuntah darahdan siapuntuk sekarat. Satunya lagiterkapar mengerang dengan
perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat menggantungayahmu, kau juga sudahcukup pantas!”
Dua penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Arengdan yang berteriakadalah Jalak Toga. Keduanya bukan lainadalah perwira-perwira kerajaan
kaki tanganAdipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turundarikudamasing- masing, lalumenyerbu Jayengsari dengnabersenjatakangolok.
“Bagus! Akukenal siapa kalian!” teriak Jayengsari. “Perwira-perwira culas macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan tangan kosong puteri Warok Keling initanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan
kedualawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitujatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap
Singa Gurun Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti sama-sama mengerahkan pukulan-pukulan sakti dantenaga dalam. Dengan kepandaiannya yang masihrendah enam tahun laluSinga Gurun Bromo berhasil
melarikandiri dari tempat sangAdipati menyekapnya. Kini setelah digemblenglagi selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentusaja semakin tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu
singkat Adipati itu segera terdesak hebat. Beberapa pukulanSinga Gurun Bromo berhasil mendaratditubuhnya. Satu mampir di pinggiranmatanya sebelah kiri hingga
robek dan mengucurkandarah.
Dengna menggertakkanrahangmenahan sakit Adipati Dirgo Sampean kerahkan tenagadalamnya ke tangankanan. Asap hitamaneh tiba-tiba menggebubu
dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
“Awas asap beracun!” satuteriakan perempuan keluardari tempat gelap. Panji Argomanikcepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukankarena teriakantadi mungkin sang Adipati akanmeneruskan serangan asap beracunnya yang bisa
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun diaterkejutsekaliketika mengenali suara yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga jadi
sangat marah. Serta mertadia melompat ke balik semakbelukardarimana datangnya teriakan tadi.
“Hemmmm, kalian berdualengkap sudahberadadisini!” kata Adipati Dirgo Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu jotosan kearah perut sang Adipati.
Karena masihmempelototi anaknya dangadis yang digilainya itu ketika serangan datangAdipati Dirgsepertitakacuhhanya menepis dengan tangan kirinya. Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlahAdipati ini. Tulanglengannya serasa patah. Selagi dia kesakitan setengahmatiseperti ini puterinya berseru “Ayah, sebaiknya kau menyerahsaja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini … …”
Tadinya masihada sedikit rasa kasihandalam diri Suryaning terhadap ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi mendidihamarahnya.
“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan gadis itudan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman … ..”
“Anak sundal! Seharusnyadulukubiarkankaumatidi rimbabelantara itu!”
Suryaning menjawabtak kalah sengitnya. “Kau menyesal punya anak seburukku! Aku juga menyesal punya ayahsejahatmu!”
Adipati Dirgotak dapat lagimenahanamarahnya. Dia melompat ke hadapan
puterinya itu sambil menghantamkan tangankanannya ke muka Suryaning. Namun jotosannya itutidak sampaidi sasaran karena saat itu Pendekar 212 telahlebih dulu
menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini
melintir kesakitanSinga Gurun Bromo yang tadi hampircelaka oleh semburan asap hitamnya melompat dari samping. Dengankedua tangannya dia hendakmematahkan
leherAdipati Dirgo. Begitubernafsunya pendekarini untuk dapat menghabisi musuh
besarnyasaat itujuga, diatidaklagimemperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu
jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuahpohon besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling
atau pun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok di tangannyadilemparkannyakearahSinga Gurun Bromo.
“Panji awas!” terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidakada. Wiro sendiriterhalang oleh tubuhAdipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu,
tanpapikir panjangSuryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul tubuh pemuda ini. Kejap itupula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata yang seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanikitukini menancap di punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis malanginihanya keluarsatukeluhan pendek. Nafasnya putusdalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean berteriaksetinggi langit. Betapapun bencinya dia pada
Suryaning, namun kematiananak darahdagingnya sendiri didepan mata begitu rupa
sangat mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang perlahan-lahan merosotjatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
Dengan tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah anak tunggalnya itudi tanah. Sesaat diasepertihendak menangis. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalahsatu raungan dahsyat. Kedua matanya tampaktiba-tiba berubah merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan
Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk! Bukk!”
Tinju kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnyapukulan itubisa membuatnyamati paling tidak pingsan. Namun dengan segala tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkantinjunya sekalilagi, namun saat itu tiba-tiba muncul dua orang penuggang kuda disertai sesrombongan pasukandari
Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriakkeras.
“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgotertegun lemas.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang hendakmelabrak Jalak Toga juga hentikan
gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinyatidak mau perduli. Saat itu perwira
ini tengah mendesak Jayengsari habis-habisandan siapuntuk mengirimkan satu bacokan maut. Dia sama sekali tidakmau menghentikan serangannya. Sebaliknya
Jayengsari hanya bisa tertegun diam seperti tidakmenyadari kalau kematian
mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengankecepatan luarbiasaangkat tubuh Jalak Togalalu dilemparkannya kearah Kunto Areng, tepat padasaat Kunto Areng tengah membacokkangoloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnyabersarangdi
kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karenahanya bagian luartubuhnya saja yang terluka ditambah duatulangiga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat
lamanya tertegunterkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas laluakhirnya jatuh terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!” terdengar suara teriakanseperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan munculternyata adalah tokohsilat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya
memandang berkeliling dan pandangan merekaterhentiketikamelihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata adadisini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi surat Sri Bagindatidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pulakita sudah mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku Sanggreng. “Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki Bumi Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya.
Dengan suara keras dia membaca. “Atas nama kerajaandan keadilan Sri Baginda
memerintahkanuntuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Yang
bersangkutanterbukti menjadi perencana keji sehingga terbuhnya Tayub Jenggolo,
puteraPangeran Sendoyo. Dua orang perwirakerajaan masing-masing Kunto Areng
dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena terbukti berkomplot membantu
Adipati Lumajang. Kepadapemuda yang bernamaPanji Argomanik dikenal dengan gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itukembali. Jalak Toga yang ketikasurat Sri Bagindadibacakan menguatkandiri untuk dapat bangun. Tapi begitumendengar
isi surat langsung rebahkembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya pasrah saja karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu pada Panji argomanik yang berdiri didepannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng. Begitumendengar dirinya dinyatakan ditangkap tiba-tibadia melompat bangkit melarikandiri. Namun satu tangan tiba-tiba
menahan jidatnya. Bagaimanapundia berusaha mengumpulkan tenaga untuk melarikandiri, jidatnyatetapsaja tertahan tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marahlalumencabut sebilah belatiberkeluk dari pinggangnya. Senjata iniditusakkannya sekuat tenaga ke
perut orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan jidatnya itutiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplangubun-ubunnya! Kunto Arengmengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit kirinyauntuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang iniroboh ke tanah, mukanya jatuhtepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji Argomanikmasih tertegak tak bergeakketika Larasati berlari mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras…. Semua sudahberakhir…..” bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah jayengsari. Puteri Warok Keling itutiba-tiba lenyap begitusaja.
“Kau mencariaku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling. Astaga, ternyata gadis itubersembunyi di balik punggungnya!
“Lihat mereka itu,” kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati. “Tidakkah kau ingin merangkulakuseperti itu….?”
“Pemuda nakalbermulutusil! Tidak. Akutidak akan mau memelukmu!” kata Jayengsari.
Wiro tertawa lebar. “Maksudmutidak, artinya tidak di sini kan? Kalau di tempat lain ya mau? Begitu?”
Jeyangsari menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya keras-kerashingga Wiro mau takmau terpaksamelangkah mangikutigerakankakisi
gadis. Sampaiditempat gelap jayengsari lepaskan jewerannyadantiba-tibasaja dia memeluk pemudaitu dengan penuh nafsusehingga muridEyang Sinto Gendeng itu jadikelagapan.
“Aku membawa pesan khusus dari ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin bicara denganmu. Apa soal akutidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang juga … ..”
“Meninggalkan orang-orang itu begitusaja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu sudahada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa
mengurus diri merekaberdua. Merekapasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning.
Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itupedulisetan! Kau ikutakuatau harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari. Kedua insan itukemudian lenyapditelan kegelapandandinginnya malam.
TAMAT
Penulis : Bastian Tito
Created : matjenuh channel
Blog : https://matjenuh-channel.blogspot.com
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212